Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN PRAKTIKUM TOKSIKOLOGI

“PENGUJIAN ANESTESIK FASE TOKSODINAMIK DAN

TOKSOKINETIK EFEK SISTEMIK XENOBIOTIKA PADA MENCIT”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK III

NURHASANAH

JABARIA Z. ABD HAKIM

NURJANAH RAHARUSUN

MUH. ILHAM

NOVIA FARDIANTI

JUMARDI KAMARUDIN

NARNI BUGIS

KURNIATI

PROGRAM STUDI DIII ANALISIS KESEHATAN

STIKes MEGA REZKY MAKASSAR


2015-2016

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Toksikologi adalah ilmu yang menetapkan batas aman dari bahan kimia
(Casarett and Doulls, 1995). Selain itu toksikologi juga mempelajari
jelas/kerusakan/ cedera pada organisme (hewan, tumbuhan, manusia) yang
diakibatkan oleh suatu materi substansi/energi, mempelajari racun, tidak saja
efeknya, tetapi juga mekanisme terjadinya efek tersebut pada organisme dan
mempelajari kerja kimia yang merugikan terhadap organisme. Banyak sekali
peran toksikologi dalam kehidupan sehari-hari tetapi bila dikaitkan dengan
lingkungan dikenal istilah toksikologi lingkungan dan ekotoksikologi.
Dua kata toksikologi lingkungan dengan ekotoksikologi yang hampir
sama maknanya ini sering sekali menjadi perdebatan. Toksikologi lingkungan
adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik yang dihasilkan dari suatu
kegiatan dan menimbulkan pencemaran lingkungan (Cassaret, 2000) dan
Ekotoksikologi adalah ilmu yang mempelajari racun kimia dan fisik pada
mahluk hidup, khususnya populasi dan komunitas termasuk ekosistem, termasuk
jalan masuknya agen dan interaksi dengan lingkungan (Butler, 1978). Dengan
demikian ekotoksikologi merupakan bagian dari toksikologi lingkungan.
Toksodinamik adalah mekanisme kerja suatu polutan/ zat terhadap
suatu organ sasaran pada umumnya melewati suatu rantai reaksi yang dapat
dibedakan menjadi 3 fase utama,yaitu:
a) Fase Eksposisi
b) Fase Toksokinetik
c) Fase Toksodinamik

Jenis-jenis zat kimia toksik yang umum di tempat kerja:

a. Zat padat walaupun kecil kemungkinan untuk menyebabkan keracunan,


tetapi dapat masuk ke mulut melalui makanan, dapat terhirup maupun
terabsorpsi melalui kulit jika berubah bentu. Padahal beberapa proses
industri memungkinkan zat padat berubah menjadi debu, gas maupun uap
dan akhirnya menjadi cair.
b. misalnya: debu kayu, asap dan uap las, pembakaran polyurethane (bahan
plastik).
c. Debu adalah partikel kecil dari zat padat, misal: debu semen, debu
fiberglass, debu kapas, debu biji-bijian,debu asbes, dll. Bahaya debu
terutama bila terhirup dalam sistem pernafasan.
d. Cairan banyak ditemukan dalam proses dan produk industri, misal: asam
dan solvent. Banyak dari cairan kimia juga mengeluarkan uap yang sangat
toksik jika terhirup. Cairan ini juga terabsorpsi ke dalam sistem peredaran
darah melalui kulit.
e. Uap bisa berasal dari bentuk alamiah zat tersebut dalam temperatur normal
maupun uap dari zat cair. Selain dapat bersifat iritatif bagi kulit, mata dan
saluran pernafasan, uap juga dapat bersifat flammable atau mudah terbakar
dan explosive atau mudah meledak.
f. Gas dapat berasal dari perubahan bentuk zat padat maupun cair dalam
kondisi panas. Gas dapat terdeteksi dari bau dan warna, tetapi ada
beberapa gas yang tidak bisa terdeteksi dengan bau dan warna, contoh gas
CO. Gas mudah terhirup dan efeknya sering dirasakan ketika kondisi tubuh
sudah sangat rapuh. Gas juga dapat bersifat flammable atau explosive.

Sifat toksokinetik (farmakokinetik dan metabolisme) opiat dapat dijadikan


landasan untuk menduga kemungkinan mendeteksi opiat baik di dalam
spesimen biologis (darah atau urin) pada waktu tertentu setelah pemakaian
serta hambatan-hambatan yang mungkin muncul dalam merunut sumber opiat
yang telah dikunsumsi (Wirasuta, et al 2002, 2003, 2005). Tabel 2
menggambarkan kemungkinan-kemungkianan senyawa opiat yang dapat
dideteksi di darah atau urin berdasarkan alur metabolismenya.

Obat yang digunakan dalam menimbulkan anastesia disebut sebagai


anestetik, dan kelompok obat ini dibedakan dalam anastetik umum dan anastetik
local. Bergantung pada dalamnya pembiusan, anastetik umum dapat
memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri , atau efek anestesia
yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan aestetik local
hanya dapat menimbulkan efek analgesia. Anestetik umum bekerja di susunan
saraf pusat sedangkan anesteti local bekerja langsung pada serabut saraf di
perifer.
Dasar saraf pusat sangat peka terhadap obat-obatan,akibatnya sebagian
besar obat-obatan jika diberikan dalam dosis yang cukup besar menimbulkan
efek yang mencolok terhadap neurotransmisi diberbagai system saraf pusat.
Kerja neurotransmitter di pascasinaps akan diikuti dengan pembentukan second
messenger dalam hal ini cAMP yang selanjutnya mengubah tansmisi di neuron.
Disamping asetilkolin sebagai neurotransmitter klasik, dikenal juga katekolamin,
serotonin, GABA, adenosine serta berbagai asam amino dan peptide endogen
yang bertindak sebagai neurotransmitter atau yang memodulasi neurotransmitter
di SSP, misalnya asam glutamate dengan mekanisme hambatan pada reseptor
NMDA (N- metal-D- Aspartat).
Anastetik umum dikelompokkan berdasarkan bentuk fisiknya, tetapi
pembagian ini tidak sejalan dengan penggunaan di klinik yang pada dasarnya
dibedakan atas 2 cara, yaitu secara inhalasi atau intravena. Eter, halotan,
enfluran, isofluran, metoksifluran, etiklorida, trikloretilen, dan fluroksen
merupakan cairan yang mudah menguap Yang dieliminasi melalui saluran
pernapasan.meskipun zat-zat ini kontak dengan pasien hanya beberapa jam saja,
namun dapat menimbulkan aritmia pada jantung selama proses anastetika
berlangsung
Terlepas dari cara penggunaannya suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai” Trias Anastesia”, yaitu efek
hipnotik (menidurkan), efek analgesia, dan efek relaksasi otot.

B. Maksud praktikum

1) Bagaimana pengujian aktivitas pengujian anestesik fase toksodinamik

dan toksokinetik efek sistemik xenobiotika pada mencit

2) Bagaimana gejala terjadinya anestetik sistemik xenobiotika pada mencit.

C. Tujuan Percobaan
Setelah menyelesaikan percobaan ini mahasiswa dapat :

1) Untuk mengetahui tujuan aktivitas anestesik fase toksodinamik dan

toksokinetik efek sistemik xenobiotika pada mencit

2) Untuk mengetahui gejala terjadinya anestetik sistemik xenobiotika pada

mencit.

BAB II
TINJAUN PUSTAKA

Mekanisme Efek Toksik


Perjalanan zat kimia dalam tubuh diawali dari masuknya zat tersebut ke
dalam tubuh melalui intravaskuler (Injeksi IV, Intrakardial, intraarteri) atau
ekstravaskuler (Oral, Inhalasi, injeksi Intramuskuler, Rektal). Selanjutnya zat
masuk sirkulasi sistemik dan distribusikan keseluruh tubuh. Proses distribusi
memungkinkan zat atau metabolitnya sampai pada tempat kerjanya (reseptor).
Zat kimia ditempat kerjanya atau reseptornya berinteraksi dan dampaknya
menimbulkan efek. Interaksi dari zat kimia atau metabolitnya yang berlebihan
dapat menghasilkan efek toksik. Jadi, penentu ketoksikan suatu zat kimia adalah
sampai nya zat kimia utuh atau metabolit aktifnya di sel sasaran dalam jumlah
yang berlebihan. Pada sisi lain, zat kimia dapat mengalami metabolisme menjadi
senyawa non aktif dan dieksresikan (eliminasi) yang dapat mengurangi
sampainyaatau jumlah zat kimia dalam sel sasarannya. Dengan demikian,
timbulnya efek toksik dipengaruhi juga oleh selisih antara absorbsi dan distribusi
dengan eleminasinya. Jadi toksisitas suatu zat sangat ditentukan oleh absorbsi,
distribusi, metabolisme, dan eksresi.
Jalur Masuk Toksik
Jalur masuk bahan kimia ke dalam tubuh berbeda menurut situasi paparan.
Metode kontak dengan racun melalui cara berikut:
1) Tertelan
Efeknya bisa lokal pada saluran cerna dan bisa juga sistemik. Contoh
kasus: overdosis obat, pestisida.
1) Topikal (melalui kulit)
Efeknya iritasi lokal, tapi bisa berakibat keracunan sistemik. Kasus ini
biasanya terjadi di tempat industri. Contoh: soda kaustik, pestida
organofosfat.
2) Topikal (melalui mata)
Efek spesifiknya pada mata dan bisa menyebabkan iritasi lokal. Contoh :
asam dan basa, atropin.
3) Inhalasi
Iritasi pada saluran nafas atas dan bawah, bisa berefek pada absopsi dan
keracunan sistemik. Keracunan melalui inhalasi juga banyak terjadi di
tempat-tempat industri. Contoh : atropin, gas klorin, CO (karbon
monoksida).
4) Injeksi
Efek sistemik, iritasi lokal dan bisa menyebabkan nekrosis. Masuk ke
dalam tubuh bisa melalui intravena, intramuskular, intrakutan maupun
intradermal.
Lamanya & Frekwensi Pemaparan
Efek toksis bisa dihasilkan oleh pemaparan akut dan atau kronis ke agent-
agent kimia. Pemaparan Akut didefinisikan sebagai satu pemaparan tunggal atau
berkali-kali dalam satu waktu yan singkat (sama dengan atau kurang dari 24
jam). Sedangkan Efek Kronik terjadi apabila agent menumpuk dalam system
biologi absorpsi melebihi metabolisme dan atau ekskresi atau bila satu agent
menghasilkan efek-efek toksis yang irreversible atau apabila disana ada waktu
yang cukup untuk satu sistem untuk kembali dari effek toksis dalam interval
frekwensi pemaparan.
Fase Toksokinetik
Terdapat dua proses yang berperanan penting pada fase toksokinetik
atau farmakokinetik:
1. Proses transpor (meliputi absorbsi, distribusi dan ekskresi)
Proses transpor zat kimia dalam tubuh organisme dapat berlangsung
melalui:
a. Tranpor pasif yaitu pengangkutan zat kimia melalui difusi pasif zat
kimia terlarut melintasi membran sel. Laju difusi dipengaruhi oleh
gradien konsentrasi di kedua sisi membran sel dan juga dipengaruhi
oleh tetapan difusi zat.
b. Transpor aktif yaitu pengangkutan melalui sistem transpor khusus
dengan bantuan molekul pengemban atau molekul pembawa.
Jumlah molekul yang dapat ditransportasi per satuan waktu
tergantung pada kapasitas sistem yaitu jumlah tempat ikatan dan
angka pertukaran tiaptiap tempat ikatan tersebut. Apabila
konsentrasi zat kimia dalam sistem transpor terus menerus meningkat,
maka akhirnya akan tercapai suatu titik jenuh sehingga laju
transpor tidak meningkat terus menerus tetapi akan mencapai titik
maksimum.
2. Perubahan metabolik atau biotransformasi
Biotransformasi dapat dibedakan menjadi dua fase reaksi yaitu
reaksi fase I (reaksi penguraian) dan reaksi fase II (reaksi konjugasi).
Reaksi penguraian meliputi pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi.
Reaksi penguraian akan menghasilkan atau membentuk zat kimia dengan
gugus polar yaitu gugus —OH, -NH2 atau —COON. Pada reaksi
konjugasi, zat kimia yang memiliki gugus polar akan dikonjugasi dengan
pasangan reaksi yang terdapat dalam tubuh organisme sehingga
berubah menjadi bentuk terlarut dalam air dan dapat diekskresikan oleh
ginjal. Reaksi konjugasi umumnya bersifat reaksi detoksifikasi sehingga
produk konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Walaupun
reaksi biotransformasi, khususnya konjugasi, pada umumnya
menyebabkan inaktivasi zat tetapi metabolit aktif dapat terbentuk
karena adanya perubahan kimia, terutama oksidasi. Apabila metabolit
aktif bersifat toksik, maka dikatakan telah terjadi toksifikasi.
Fase Toksodinamik
Fase toksodinamik atau farmakodinamik meliputi interaksi antara
molekul zat kimia toksik dengan tempat kerja spesifik yaitu reseptor. Organ
target dan tempat kerja tidak selalu sama, sebagai contoh: suatu zat kimia
toksik yang bekerja pada sel ganglion pada sistem saraf pusat juga dapat
menimbulkan efek kejang pada otot seran lintang. Konsentrasi zat toksik
menentukan kekuatan efek biologi yang ditimbulkan. Pada umumnya dapat
ditemukan konsentrasi zat kimia toksik yang cukup inggi dalam hepar (hati) dan
ren (ginjal) karena pada kedua organ tersebut zat toksik dimetabolisme dan
diekskresi. Kerja kebanyakan zat aktif biologik, terutama zat toksik
umumnya disebabkan oleh interaksi zat tersebut dengan enzim. Kerja terhadap
enzim yang berperanan pada proses biotransformasi xenobiotik dan termasuk
fase toksokinetik tidak termasuk interaksi, sedangkan kerja terhadap enzim
yang berpengaruh langsung pada timbulnya efek toksik termasuk interaksi.
Interaksi antara zat toksik dengan sistem enzim antara lain berupa: inhibisi
enzim secara tidak bolakbalik, inhibisi enzim secara bolak-balik, pemutusan
reaksi biokimia, inhibisi fotosintetik pada tumbuhan air, sintesis zat
mematikan, pengambilan ion logam yang penting bagi kerja enzim dan
inhibisi penghantaran elektron dalam rantai pernafasan.
Dalam tanda-tanda khas dari sifat racun suatu agent kimia khusus terbukti
bahwa dibutuhkan informasi tidak hanya untuk pengaruh-pengaruh dosis tunggal
(akut) dan jangka lama (KRONIS), tetapi juga untuk pemaparan jangka
menengah.
Tepatnya, pemaparan demikian disebut sebagai pemaparan jangka pendek
(satu minggu atau lebih) ataupun subkronik (biasanya : 3 bulan) dalam program
pengujian daya racun.
Gambar Skema Mekanisme Toksikologi
Mekanisme Kerja dan Efek Toksik

Kontak Penggunaan (Fase Eksposisi)

Bentuk Farmaseutika (Fisika)

Fase Toksokinetik

Absorbsi Biotransformasi

(Biologi)

Deposisi Distribusi Ekskresi

Fase Toksodinamik

Efek Farmakologis (Kimia)

Interaksi tokson dengan reseptor

Efek Klinis Efek Toksik

Anastesi Umum
Anestesi umum atau pembiusan umum adalah kondisi atau prosedur ketika
pasien menerima obat untuk amnesia, analgesia, melumpuhkan otot, dan sedasi.
Anestesi umum memungkinkan pasien untuk menoleransi prosedur bedah yang
dalam kondisi normal akan menimbulkan sakit yang tak tertahankan, berisiko
eksaserbasi fisiologis yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak
menyenangkan. Anestesi umum dapat menggunakan agen intravena (injeksi)
atau inhalasi, meskipun injeksi lebih cepat yaitu memberikan hasil yang
diinginkan dalam waktu 10 hingga 20 detik.
Kombinasi dari agen anestesi yang digunakan untuk anestesi umum
membuat pasien tidak merespon rangsangan yang menyakitkan, tidak dapat
mengingat apa yang terjadi (amnesia), tidak dapat mempertahankan proteksi
jalan napas yang memadai dan/atau pernapasan spontan sebagai akibat dari
kelumpuhan otot dan perubahan kardiovaskuler.
Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan
terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran
secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute
pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan
intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik maupun farmakokinetik
(Ganiswara, 1995).
Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan
yang cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi, terutama yang berhubungan
dengan koordinasi pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-
fungsi otonom yang lain pada waktu-waktu tertentu. Beberapa anestetik umum
berbeda potensinya berdasarkan sifat farmakokinenik dan farmako dinamik yang
berbeda pula. Selain itu sifat farmasetika obat juga mempengaruhi potensi
anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai dengan potensi depresi
sususan saraf pusat yang kuat, sehingga perlu dilakukan pemantauan yang ketat,
untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat kematian.
( Ganiswara, 1995 ).
Tahapan Anestesi
1. Stadium 1 (analgesia)
a. Penderita mengalami analgesi,
b. Rasa nyeri hilang,
c. Kesadaran berkurang
2. Stadium II (delirium/eksitasi)
a. Penderita tampak gelisah dan kehilangan kesadaran
b. Penderita mengalami gerakan yang tidak menurut kehendak (tertawa,
berteriak, menangis, menyanyi)
c. Volume dan kecepatan pernapasan tidak teratur
d. Dapat terjadi mual dan muntah
e. Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi
f. Midriasis, hipertensi
3. Stadium III (anestesia,pembedahan/operasi)
a. Pernapasan menjadi dangkal, cepat, dan teratur, seperti pada keadaan
tidur (pernapasan perut)
b. Gerakan mata dan refleks mata hilang / gerakan bola mata tidak menurut
kehendak
c. Otot menjadi lemas, misal; kepala dapat digerakkan ke kanan dan ke kiri
dengan bebas; lengan diangkat lalu dilepaskan akan jatuh bebas tanpa
ditahan
4. Stadium IV (paralisis medula oblongata)
a. Kegiatan jantung dan pernapasan spontan terhenti.
b. Terjadi depresi berat pusat pernapasan di medulla oblongata dan pusat
vasomotor. Tanpa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat
meninggal. Maka taraf ini sedapat mungkin dihindarkan.
Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena
diproduksi melalui reaksi kimia sederhana antara etil alkohol dengan asam
sulfat) digunakan pertama kali tahun 1540 oleh Valerius Cordus, botani Prusia
berusia 25 tahun. Eter sudah dipakai dalam dunia kedokteran, namun baru
digunakan sebagai agen anestetik pada manusia di tahun 1842, ketika Crawford
W. Long dan William E. Clark menggunakannya pada pasien. Namun
penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun kemudian, di Boston, 16
Oktober 1846, William T. G. Morton memperkenalkan demostrasi publik
penggunaan eter sebagai anestetik umum (Morgan dan Mikhail, 2002). Eter
dapat dimasukkan kedalam derivat alkohol dimana H dari R-O-[H] digantikan
oleh gugus R lainnya. Eter adalah oksida organik yang berstrukur:
[R]-C-O-C-[R]
Alkohol
Alkohol mempunyai rumus umum R-OH. Strukturnya serupa dengan air, tetapi
satu hidrogennya diganti dengan satu gugus alkil. Gugus fungsi alkohol adalah
gugus hidroksil, -O. Alkohol tersusun dari unsur C, H, dan O. Struktur alkohol :
R-OH primer, sekunder dan tersier.
1. Sifat fisika alkohol :
a. Titik didih alkohol lebih besar dari pada titik didih alkena dengan jumlah
unsur C yang sama (etanol = 78oC, etena = -88,6oC)
b. Umumnya membentuk ikatan hidrogen
c. Berat jenis alkohol lebih besar dari pada berat jenis alkena
d. Alkohol rantai pendek (metanol, etanol) larut dalam air (=polar)
2. Struktur Alkohol : R – OH
R-CH2-OH               (R)2CH-OH                     (R)3C-OH
Primer                      sekunder                          tersier
3. Pembuatanalkohol :
a. Oksi mercurasi – demercurasi
b. Hidroborasi – oksidasi
c. Sintesis Grignard
d. Hidrolisis alkil halida
4. Penggunaanalkohol :
a. Metanol : pelarut, antifreeze radiator mobil, sintesis formaldehid,
metilamina, metilklorida, metilsalisilat, dll
b. Etanol : minuman beralkohol, larutan 70 % sebagai antiseptik, sebagai
pengawet, dan sintesis eter, koloroform, dll.
5. Tatanama alkohol
Nama umum untuk alkohol diturunkan dari gugus alkol yang melekat  pada –
OH dan kemudian ditambahkan kata alkohol. Dalam sisitem IUAPAC,
akhiran-ol menunjukkan adanya gugus hidroksil. Contoh-contoh berikut
menggambarkan contoh-contoh penggunaan kaidah IUPAC (Nama umum
dinyatakan dalam tanda kurung).
6. Farmakokinetik
a. Absorbsi
1) Absorbsi oral alkohol berlangsung secara cepat dilambung dan usus
halus. Kadar puncak plasma pada keadaan puasa dicapai dalam waktu
30 menit (Ramchandi, 2010).
2) Kecepatan absorpsi bervariasi, tergantung beberapa faktor, antara
lain:volume, jenis, dan konsentrasi alkohol yang dikonsumsi. Alkohol
dengan konsentrasi rendah diabsorpsi lebih lambat. Namun, alkohol
dengan konsentrasi tinggi akan menghambat proses pengosongan
lambung. Selain itu, karbonasi juga dapat mempercepat absorpsi
alkohol.
3) Kecepatan minum yaitu semakin cepat seseorang meminumnya,
semakin cepat absorpsi terjadi.
4) Makanan memegang peranan besar dalam absorpsi alkohol. Jumlah,
waktu, dan jenis makanan sangat mempengaruhi. Makanan tinggi
lemak secara signifikan dapat memperlambat absorpsi alkohol. Efek
utama makanan terhadap alkohol adalah perlambatan pengosongan
lambung. Metabolisme lambung, seperti juga metabolisme hati, dapat
secara signifikan menurunkan bioavailabilitas alkohol sebelum
memasuki sistem sirkulasi (Ramchandi, 2010).
b. Distribusi
Alkohol didistribusikan melalui cairan tubuh. Distribusi
berlangsung cepat, alkohol tersebar secara merata ke seluruh jaringan
dan cairan tubuh. Volume of distribution alkohol kira-kira sama dengan
total cairan tubuh (0,5-0,7 L/kg). Pada sistem SSP, kadar alkohol
meningkat secara cepat sebab otak menerima aliran darah yang banyak
dan alkohol dapat melewati sawar darah otak. Alkohol juga dapat
menembus sawar urin dan masuk ke janin (Weathermon, 1999).
c. Metabolisme
Metabolisme primer alkohol adalah di hati, dengan melalui 3 tahap
(Weathermon, 1999) :
1) Pada tahap awal, alkohol dioksidasi menjadi acetaldehyde oleh
enzim alkohol dehydrogenase (ADH). Enzim ini terdapat sedikit
pada konsentrasi alkohol yang rendah dalam darah. Kemudian saat
kadar alkohol dalam darah meningkat hingga tarap sedang (social
drinking), terjadi zero-order kinetics, dimana kecepatan
metabolisme menjadi maksimal, yaitu 7-10 gram/jam (setara dengan
sekali minum dalam satu jam). Namun kecepatan metabolisme
tersebut sangat berbeda antara masing-masing individu, dan bahkan
berbeda pula pada orang yang sama dari hari ke hari.
2) Tahap kedua reaksi metabolisme, acetaldehyde diubah menjadi
acetate oleh enzim aldehyde dehydrogenase. Dalam keadaan
normal, acetaldehyde dimetabolisme secara cepat dan biasanya
tidak mengganggu fungsi normal. Namum saat sejumlah besar
alkohol di konsumsi, sejumlah acetaldehyde akan menimbulkan
gejala seperti sakit kepala, gastritis, mual, pusing, hingga perasaan
nyeri saat bangun tidur.
3) Tahap ketiga merupakan tahap akhir, terjadi konversi gugus acetate
dari koenzim A menjadi lemak, atau karbondioksida dan air. Enam
tahap ini juga dapat terjadi pada semua jaringan dan biasanya
merupakan bagian dari siklus asam trikarbosilat (siklus Krebs).
Jaringan otak dapat mengubah alkohol menjadi asetaldehid, asetil
koenzim A, atau asam asetat.
d. Ekskresi
Ekskresi Alkohol lewat paru-paru dan urin. Hanya kurang lebih 2-
10% yang diekskresikan dalam bentuk utuh (Wiria, 2007).
7. Farmakodinamik
Efek konsumsi alkohol terutama pada susunan saraf pusat (SSP)
adalah sebagai pendepresi. Konsumsi Alkohol berefek sedasi dan
antiansietas dan pada kadar yang lebih tinggi dapat menyebabkan
ataksia,bicara tak jelas, tidak dapat menentukan keputusan dan perilaku
inhibisi, yang dapat menimbulkan kesan adanya efek stimulasi SSP dari
alkohol. Proses mental yang dipengaruhi sejak awal adalah yang
berhubungan dengan latihan dan pengalaman.daya ingat, konsentrasi dan
daya mawas diri menjadi tumpul lalu hilang. Rasa kepercayaan diri
meningkat, kepribadian menjadi ekspansif dan bersemangat, perasaan
tidak terkontrol dan letupan emosi yang nyata. Perubahan psikis ini
disertai gangguan sensorik dan motorik (Wiria, 2007).
8. Mekanisme Kerja
Alkohol mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di
otak. Ini terjadi karena penghambatan atau penekanan saraf perangsang.
Sejak lama diduga efek depresi Alkohol pada SSP berdasarkan melarutnya
lewat membrane lipid. Efek Alkohol terhadap berbagai saraf berbeda karena
perbedaan distribusi fosfolipid dan kolesterol di membrane tidak seragam.
Data eksperimental menyokong dugaan mekanisme kerja lakohol di SSP
serupa barbiturate (Ramchandi, 2010).

Eter (dietil eter)


Eter didapat dengan memanaskan (dehidrasi) etil alkohol dengan asam
sulfur dibawah 130oC.
C2H5OH + H2SO4 C2HSO4 + H2O
C2H5HSO4 +C2H5OH  H2SO4 + C2H5C2H5
Pada anestesi ringan, seperti halnya anestetik lain, eter menyebabkan
dilatasi pembuluh darah kulit sehingga timbul kemerahan terutama di daerah
muka, pada anastesi yang lebih dalam kulit menjadi lembek, pucat dingin dan
basah. Terhadap pembuluh darah ginjal, eter menyebabkan vasokonstriksi
sehingga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus dan produksi urin secara
reversible (FKUI, 1989).
Eter diabsorpsi dan diekskresi melalui paru sebagian kecil diekskresikan
juga melalui air susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh. Eter dapat
digunakan dengan berbagai metode anastesi. Pada pengguanaan secara open
drop uap eter akan turun ke bawah karena ± 6-10 kali lebih berat daripada udara.
Penggunaan secara semi closed method dalam kombinasi dengan oksigen atau
N2O tidak dianjurkan pada operasi dengan tindakan keuterisasi. Sebab, tetap ada
bahaya timbulnya ledakan, dan bila api mencapai paru penderita akan mati
karena jaringan terbakar atau paru-parunya pecah ( FKUI, 1989 ).
Jumlah eter yang dibutuhkan tergantung dari berat badan dan kondisi
penderita, kebutuhan dalamnya anastesi dan teknik yang digunakan. Untuk
induksi, digunakan 10-20% volume uap eter dalam oksigen atau campuran
oksigen dan N2O. untuk dosis penunjang stadium III membutuhkan 5-15%
volume uap eter ( FKUI, 1989 ).
1. Sifat Fisik
Merupakan cairan tidak berwarna yang mudah menguap (volatile) yang
berbau khas. Berat molekulnya 74 dengan titik didih 35oC. Tekanan uap jenuh
pada 20oC adalah 245 mmHg, berat jenis uap eter 2,6, koefisien partisi darah
atau gas 12,0, MAC 1,92, tidak bereaksi dengan pengikat CO2 (soda lime),
sampai mudah terbakar atau meledak, dapat terurai oleh udara, cahaya dan
panas menjadi peroksida eter dan asetaldehid karena itu harus disimpan pada
tempat gelap dan dingin ( FKUI, 1989 ).
2. Farmakologi
a. Sistem sirkulasi
Denyut nadi akan meningkat karena pelepasan katekolamin yang
merangsang simpatis dan depresi vagal. Pada stadium lebih dalam denyut
nadi akan kembali normal. Aritmia jarang terjadi dan penggunaan
adrenalin relatif aman pada anastesi dengan eter. Tekanan darah dapat
menurun pada anestesi yang mencapai di bawah plana 2 stadium 3 dan
terus progresif karena depresi otot rangka, otot pembuluh darah, otot
jantung dan pusat vasomotor ( FKUI, 1989 ).
b. Sistem pernafasan
Pada permulaan frekuensi pernafasan bertambah, dan melambat pada
stadium anestesi dalam. Sekresi kelenjar ludah meningkat (hipersekresi).
Uap eter ini sangat iritatif menimbulkan batuk dan spasme jalan nafas.
Karena itu induksi anestesianya harus bertahap dimulai dari konsentrasi
rendah. Induksi sering tidak lancer, demikian pula masa pemulihan cukup
lama ( FKUI, 1989 ).
c. Susunan saraf pusat
Stadium analgesia akan diikuti oleh eksitasi dan anastesi disebabkan
depresi pada korteks dan medulla. Tekanan intracranial akan meningkat
karena dilatasi pembuluh darah otak. Eter kadang menyebabkan kejang
(klonus eter), yaitu stretch reflex yang berlebihan dan sering terlihat pada
stadium dangkal ( FKUI, 1989 ).
d. Susunan saraf otonom
Rangsang sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin
plasma yang berakibat peningkatan denyut jantung, produksi glikogen dan
gula darah. Karena itu harus hati-hati pada pasien dengan diabetes,
kontraksi limpa, dilatasi usus dan menghambat peristaltic, dilatasi bronkus,
dilatasi arteri koroner, dilatasi pupil, peningkatan frekuensi
nafas.Sebaliknya rangsang semtral parasimpatis eter menyebabkan depresi
(FKUI, 1989).
e. Sistem pencernaan
Mual dan muntah terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan anastesi
eter. Tonus gastrointestinal akan menurun terutama usus halus. Fungsi hati
juga menurun tetapi akan kembali normal dalam 24 jam. Eter juga
menekan sekresi empedu dan garam-garamnya ( FKUI, 1989 ).
f. Sistem otot
Relaksasi otot sangat baik. Jelas bahwa eter mempunyai efek-efek
yang mempunyai triad anestesi yaitu analgesia, hypnosis dan relaksasi
otot, sehingga anastesi dengan eter tidak memerlukan gabungan dengan
obat lain ( FKUI, 1989 ).
3. Keuntungan
a. Murah dan mudah didapat di Indonesia
b. Tidak perlu digabung dengan obat-obat lain karena telah memenuhi triad
anestesi.
c. Zat anastesi yang cukup aman dengan batas keamanan yang lebar
(margin of safety) sehingga petugas yang kurang pengalaman pun dapat
menggunakan eter.
d. Alat yang digunakan cukup sederhana dan portable misalnya jenis EMO
(Epstein, Macintosh dan Oxford)
4. Kekurangan
a. Mudah meledak dan terbakar
b. Bau tidak enak dan mengiritasi jalan nafas, sehingga induksi tidak lancar
dan masa pemulihan lama.
c. Menimbulkan hipersekresi kelenjar ludah
d. Menyebabkan mual dan muntah
e. Hiperglikemia
5. Efek fisiologi
a. Sistem respirasi
Eter mengiritasi membran mukosa traktus respiratorius, menstimulasi
aliran mukus yang berlebihan, dan dapat menyebabkan batuk dan spasme
laring. Penggunaan premedikasi seperti atropin dan scopalamin
diperlukan untuk mengurangi aliran sekret. Pada fase awal anestesi, ater
menyebabkan stimulasi respirasi yang bermakna. Walaupun volume tidal
menurun, namun peningkatan laju pernafasan dapat mennyebabkan
ventilasi permenit yang lebih tinggi dan PaCO2 yang normal atau
menurun sedikit. Respirasi dipertahankan sampai konsentrasi eter dalam
darah tinggi. Eter, seperti halotan, berguna pada pasien asma karena
memiliki efek bronkodilasi (Collins, 1996).
b. Sistem saraf pusat
Terjadi depresi jaras descenden ireguler. Tanda klasik anestesi adalah
efek dari eter. Pada neuron, yang memenuhi efek sentral seperti transeksi
farmakologi berturut turut dari aksis serebrospinal (Collins, 1996).
Investigasi dari mekanisme yang tepat dan dan tempat aksi
mengungkapkan blokade dari sinaps pusat. Depresi pada multisinaps pada
formasio retikularis otak tengah. Terjadi depresi pada pengaturan suhu
dan pusat muntah, juga oksidasi jaringan dan pusat vasomotor (Collins,
1996).
c. Sirkulasi
Selama induksi, tekanan darah meningkat karena peningkatan volume
sekuncup dan nadi, keduanya terjadi karena peningkatan katekolamin.
Efek ini terjadi bahkan pada induksi lambat. Selama perawatan, tekanan
darah turun ke tingkat sebelum di anastesi atau di bawah itu, sementara
nadi tetap meningkat. Bila waktu anestesi memanjang lebih dari satu jam,
walaupun tidak ada perdarahan, tekanan darah tetap rendah dan stabil
(Collins, 1996).
d. Endokrin
Selain stimulasi medulla glandula adrenal, korteks adrenal juga
terpengaruh. Selama anestesi, terjadi sekitar 2/3 kali peningkatan 17-
hydroxycorticosteroid. Selama induksi anestesi dan selama pembedahan,
sejumlah besar ACTH dikeluarkan secara berkala, dengan dua sampai tiga
puncak pada plasma. Sebaliknya, kadar kortisol bebas meningkat.
Penelitian Oyama, dkk menunjukkan bahwa peningkatan kortisol bebas
plasma adalah karena peningkatan aktivitas ACTH plasma (Collins, 1996;
Oyama, dkk, 1968).
6. Indikasi
Indikasi penggunaan eter termasuk pada kasus asma, penyakit bronkospastik,
dan penyakit jantung koroner (Collins, 1996).
7. Kontra indikasi
Eter tidak boleh digunakan dalam kasus asidosis, penyakit respirasi akut,
peningkatan tekanan intracranial, diabetes, dan debil (Collins, 1996).
Kloroform
Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3).
Kloroform dikenal karena sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun
kebanyakan digunakan sebagai pelarut nonpolar di laboratorium atau industri.
Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun mudah menguap. Senyawa
kloroform adalah senyawa haloalkana yang mengikat tiga atom halogen klor (Cl)
pada rantai C-nya. Senyawa kloroform dapat dibuat dengan bahan dasar berupa
senyawa organik yang memiliki gugus metil (-CH3) yang terikat pada atom C
karbonil atau atom C hidroksi yang direaksikan dengan pereaksi halogen (Cl2).
Struktur dari kloroform yaitu CHCL3.
Pada suhu dan tekanan normal, kloroform sangat mudah menguap, tidak
berwarna, dan tidak mudah terbakar. Kloroform merupakan anestesi yang efektif
dibandingkan dengan nitrit oxide, eter dan alkohol bila digunakan secara inhalasi.
Hal ini disebabkan karena induksi dari kloroform bekerja secara cepat dan lancar
sehingga stadium dari anestesi lebih cepat terlampaui. Namun, praktek ini
dihentikan karena menyebabkan kematian karena pernapasan, aritmia jantung, dan
gagal jantung. Kloroform sangat baik dan cepat diabsorbsi, dimetabolisme, dan
dieliminasi oleh hewan mamalia ataupun manusia baik melalui oral, inhalation,
atau dermal exposure ( Anonim, 1995 ).
Metabolisme kloroform di dalam tubuh tergantung pada dosis paparannya.
Pada manusia dosis tunggal kloroform secara oral adalah 0,5 mg dan 50-52%
dapat diserap oleh tubuh dan melalui proses metabolisme diubah menjadi
karbondioksida. Level puncak dalam darah adalah hingga 1,5 jam dan memiliki
waktu paruh 13 sampai dengan 90 menit. Kloroform dosis tunggal secara inhalasi
adalah 5 mg dan terserap dalam tubuh hingga 80% (Anonim, 1997).
Kloroform yang masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi akan tetap berada di
dalam tubuh dan akan di metabolisme oleh hati. Kloroform bersifat lipofilik yaitu
larut dalam jaringan lemak sehingga menyebabkan transpor normal oksigen
terganggu dan lama kelamaan akan menimbulkan efek anestesi. Metabolit dari
kloroform yaitu phosgene, carbene and klorin yang mempunyai aktivitas
sitotoksik. Sebenarnya, mekanisme kerja kloroform sebagai anestesi umum belum
diketahui secara pasti. Tetapi, berdasarkan penelitian pada tahun 2008, kloroform
bekerja untuk menghambat kerja dari kanal ion TRPC5 yang berfungsi untuk
transmisi nyeri dan mengatur denyut jantung dan sebagian besar kanal tersebut
berada di otak (Anonim, 1995).
Penggunaan kloroform yang berkepanjangan dapat menyebabkan toksemia.
Paparan akut kloroform menyebabkan sakit kepala, gangguan kesadaran, kejang,
paralysis pernapasan dan gangguan sistem saraf otonom seperti mual dan muntah.
Selain itu, kloroform juga dapat menyebabkan iritasi saluran pencernaan
(Alexander, 2001).
Metanol
Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus,
adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Ia merupakan bentuk alkohol
paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia berbentuk cairan yang ringan,
mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang
khas (berbau lebih ringan daripada etanol). metanol digunakan sebagai bahan
pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol
industri.
Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri.
Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah
beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan
sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air.
Reaksi kimia metanol yang terbakar di udara dan membentuk karbon
dioksida dan air adalah sebagai berikut:
2 CH3OH + 3 O2 → 2 CO2 + 4 H2O
Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus
berhati-hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera
akibat api yang tak terlihat.
Karena sifatnya yang beracun, metanol sering digunakan sebagai bahan
aditif bagi pembuatan alkohol untuk penggunaan industri; Penambahan "racun" ini
akan menghindarkan industri dari pajak yang dapat dikenakan karena etanol
merupakan bahan utama untuk minuman keras (minuman beralkohol). Metanol
kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia dahulu merupakan produk
samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol dihasilkan melului proses multi
tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk
membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida; kemudian, gas hidrogen dan
karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis untuk
menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik dan tahap
sintesisnya adalah eksotermik.
BAB III

METODE KERJA

A. ALAT DAN BAHAN


1. Alat
a. 5 buah toples
b. Pinset
c. Stopwatch
d. Spoit
2. Bahan

a. Alkohol 95%dan 70%


b. Eter
c. Kapas
d. Kloroform
e. Masker
f. Mencit
g. Methanol
B. Cara Kerja

1. LARUTAN ETER 1 ml

a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan.


b. Pipet 1 ml larutan eter, kemudian serapkan pada kapas.
c. Dimasukkan kapas tersebut kedalam toples yang telah terdapat mencit.
d. Kemudian nyalakan stopwatch dan lihat gejala yang terjadi pada mencit.
e. Lalu catat durasinya saat ada gejala pada mencit.
2. LARUTAN METANOL 1 ml
a. Diiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Pipet 1 ml larutan methanol, kemudian serapkan pada kapas.
c. Dimasukkan kapas tersebut kedalam toples yang telah terdapat mencit.
d. Kemudian nyalakan stopwatch dan lihat gejala yang terjadi pada mencit.
e. Lalu catat durasinya saat ada gejala pada mencit.
3. LARUTAN CLOROFORM 0,5 ml
a. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Pipet 1 ml larutan cloroform ,kemudian serapkan pada kapas.
c. Dimasukkan kapas tersebut kedalam toples yang telah terdapat mencit.
d. Kemudian nyalakan stopwatch dan lihat gejala yang terjadi pada mencit.
e. Lalu catat durasinya saat ada gejala pada mencit.
4. LARUTAN ALKOHOL 70% 1 ml
a. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Pipet 1 ml larutan alkohol 70%, kemudian serapkan pada kapas.
c. Dimasukkan kapas tersebut kedalam toples yang telah terdapat mencit.
d. Kemudian nyalakan stopwatch dan lihat gejala yang terjadi pada mencit.
e. Lalu catat durasinya saat ada gejala pada mencit.
5. LARUTAN ALKOHOL 96% 1 ml
a. Siapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Pipet 1 ml larutan alkohol 96%, kemudian serapkan pada kapas.
c. Dimasukkan kapas tersebut kedalam toples yang telah terdapat mencit.
d. Kemudian nyalakan stopwatch dan lihat gejala yang terjadi pada mencit.
e. Pada saat 30 menit keluarkan mencit dari dalam toples dan angkat
menggunakan pinset liat apakah mencit mati atau tidak.
f. Lalu catat durasinya saat ada gejala pada mencit.

BAB IV

PEMBAHASAN

A. GAMBAR PENGAMATAN
B. TABEL PENGAMATAN
Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan yang di lakukan yaitu sebagai berikut
:

Waktu mulai
No Bobot mencit Xenobiotika Waktu mati
terjadi gejala

1 15 gr Kloroform 13 detik 2 menit

2 19 gr Eter 52 detik 2 menit 45 detik

3 18 gr Alcohol 96% 22 detik 29 menit 59


detik

4 14,4 gr Alcohol 70% 22 detik  30 menit

5 Methanol

2. ALKOHOL 96%

NO GEJALA DURASI KEPEKAAAN

1. Miosis 4:43,9:11, 25:34 +


2. Miarisasi - -

3. Vasokontraksi _

4. Vasodilatasi 8:12 +

5. Brokokontraksi _ -

6. Brokodilatasi - -

7. Tremor 0:59, 3:46, 5:26, 7:30, +


9:57, 16:09, 23:05

8. Strub 10:11

9. Biuresis - -

10. Groowing 0:22, 3:01, 3:10, 4:06, +++


5:56, 6:02, 6:17, 7:30,
7:36, 7:48, 9:11, 9:49,
10:39, 11:29, 11:50,
11:53, 12:16, 12:30,
13:09, 13:20, 13:33,
13:50, 14:18, 14:31,
14:59, 15:56, 16:15,
17:04, 17:39, 18:00,
18:28, 18:50, 19:28,
19:25, 20:19, 20:25,
20:59, 21:10, 21:23,
21:54. 22:19, 22:49,
23:15, 23:49, 24:28,
25:04, 25:13, 26:18,
27:07, 27:55, 28:20,
28:40, 29:06, 29:33, 29:59

11. Ekso Flamus 1:49 +

12. Floming 6:47, 10:30 +

13. Saliva 26: 46 +

3. ALKOHOL 70%
NO GEJALA DURASI KEPEKAAAN

1. Miosis

2. Miarisasi

3. Vaso kontraksi

4. Vaso dilatasi

5. Brokokontraks
i

6. Brokodilatasi

7. Tremor

8. Strub

9. Biuresis

10. Groowing

11. Ekso Flamus

12. Floming

13. Saliva

4. Kloroform

NO GEJALA DURASI KEPEKAAAN

1. Miosis 1 menit +

2. Miarisasi - -

3. Vaso kontraksi - -

4. Vaso dilatasi - -

5. Brokokontraks - -
i

6. Brokodilatasi 45 detik ++

7. Tremor 40-45 detik ++


8. Strub - -

9. Biuresis - -

10. Groowing 13 detik ++

11. Ekso Flamus 1 menit 42 detik ++

12. Floming - -

13. Saliva - -

14 Mati 2 Menit

4.Eter

NO GEJALA DURASI KEPEKAAAN

1. Miosis 52 detik ++

2. Miarisasi - -

3. Vaso kontraksi - -

4. Vaso dilatasi 1 menit 21 detik ++

Brokokontraks
5. - -
i

6. Brokodilatasi - -

7. Tremor 33 detik ++

8. Strub - -

9. Biuresis 2 menit 2 detik ++

10. Groowing - -

11. Ekso Flamus 1 menit 47 detik ++

12. Floming 2 menit 23 detik ++

13. Saliva - -
14. Mati 2 menit 54 detik

5. Methanol

NO GEJALA DURASI KEPEKAAAN

1. Miosis 3`50, 21`33, dan 27`43 +

2. Miarisasi -

3. Vaso kontraksi -

4. Vaso dilatasi -

3`23, 13`12, 14`15, 15`49,


16, 18`43, 23`59, 24`13,
5. Brokontraksi ++
24`50, 26`42, 27`59,
28`54 dan 29`24

6. Brokodilatasi -

7. Tremor 17`26, 17`50, dan 29`05

8. Strub -

9. Biuresis 2`17

10`33, 11`22, 11`29, 12,


12`18, 12`38, 12`48,
13`24, 13`47, 13`55, 14,
14` 07, 14`15, 14`39,
10. Groowing +++
14`46, 15`00, 15`09,
16`17, 16`27, 16`36,
16`35, 17`11, 17`40,dan
17`50

11. Ekso Flamus -

12. Floming 10`24, +


13. Saliva -

C. PEMBAHASAN
Percobaan kali ini ingin diketahui bagaimana kerja dan efek suatu obat
pada sistem saraf pusat. Mekanisme kerja dari anestetik umum adalah bahwa
anestetik umum merupakan keadaan depresi umum yang sifatnya reversible
dari banyak pusat SSP, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan yang
agak mirip dengan pingsan.Anastetik umum ini digunakan untuk
menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi serta menimbulkan relaksasi
pada pembedahan.
Tikus yang digunakan dalam praktikum dilakukan pengorbanan terlebih
dahulu. pengorbanan dapat dilakukan dengan cara anastesi lokal maupun
dengan cara dislokasi lokal. Anastesi lokal dilakukan dengan cara memasukkan
tikus kedalam toples yang telah dijenuhkan dengan larutan eter, kloroform,
alcohol 96% dan 70% dan metanol tertutup, tunggu hingga tikus dalam keadaan
mati atau sampai mengeluarkan efek toksokinetik dan efek toksodinamik.
Pada percobaan ini diamati dan dihitung onset serta durasi zat-zat
anestesi. Zat uji yang digunakan untuk anastesi umum didalam percobaan ini
yaitu kloroform, eter dan alkohol 96%, alcohol 70% dan metanol. Onset adalah
mula kerja obat, dihitung mulai waktu mencit diberi zat uji sampai mencit
teranestesi, sedang durasi adalah lama bekerja obat, dihitung mulai mencit
teranestesi sampai mencit sadar atau mati.
Pada percobaan menggunakan eter, onset yang diperoleh yaitu 52 detik
dan gejala yang ditunjukkan pada mencit yaitu miosis, vaso dilatasi, tremor,
diuresis, eksofalamus, flooming dan akhirnya mati pada menit ke 2 lewat 45
detik. Tetapi percobaan kali ini mencit tertidur sampai mati, Mekanisme kerja
dari eter yaitu eter melakukan kontraksi pada otot jantung, terapi in vivo ini
dilawan oleh meningginya aktivitas simpati sehingga curah jantung tidak
berubah, eter menyebabkan dilatasi pembuluh darah kulit. Eter diabsorpsi dan
diekskresi melalui paru-paru, sebagian kecil diekskresi urin, air susu, dan
keringat. Efek sampingnya yaitu iritasi saluran pernafasan, depresi nafas,
mual..
Percobaan menggunakan kloroform diperoleh onset 13 detik dan gejala
yang ditunjukkan pada mencit yaitu miosis, brakodilator, tremor, grooming,
eksofalamus dan mati ada menit ke 2. Mekanisme kerja kloroform, merusak sel
hati melalui metabolik reaktif yaitu radikal triklorometil. Radikal ini secara
kovalen mengikat protein dan lipid jenuh sehingga terbentuk peroksidasi lipid
pada membran sel yang akan menyebabkan kerusakan yang dapat
mengakibatkan pecahnya membran sel peroksidasi lipid yang menyebabkan
penekanan pompa Ca2+ mikrosom yang dapat menyebabkan gangguan awal
hemostatik Ca2+ sel hati yang dapat menyebabkan kematian sel.
Percobaan menggunakan alkohol 96% diperoleh onset 22 detik dan
durasinya 29 menit 59 detik, kemudian gejala yang ditunjukkan pada mencit
yaitu grooming, vasodilatasi, tremor, straub, eksofalamus, flooming dan
salivasi. Jika dibandingkan dengan literatur alkohol dapat mengurangi waktu
tidur, merangsang sekresi asam lambung dan salivasi, Selanjutnya penggunaan
zat uji eter menghasilkan gejala miosis, vasodilatasi, tremor, diuresis,
eksofalamus, flooming, hal ini tidak sesuai dengan literatur dimana efek yang
ditimbulkan pada penggunaan eter harusnya depresi nafas, keringat, dan
ekskresi urin. Pada penggunaan zat uji kloroform, hasil yang didapat yaitu
miosis, brakodilator, tremor, grooming, eksofalamus dan mati menurut literatur
harusnya gejalanya mengalami grooming atau gelisah.Hal ini berarti praktikum
sudah sesuai dengan literature.
Pada praktikum yang kami lakukan, dengan perlakuan alkohol 95%
mencit yang diberi perlakuan mengalami eksitasi dan anestesi. Namun, jika
dibandingkan dengan mencit yang diberi perlakuan kloroform dan eter, mencit
yang diberi perlakuan alkohol lebih lambat atau lama untuk eksitasi dan
anestesi.
Kloroform merupakan anestesi yang efektif dibandingkan dengan nitrit
oxide, eter dan alkohol bila digunakan secara inhalasi. Hal ini disebabkan
karena induksi dari kloroform bekerja secara cepat dan lancar sehingga stadium
dari anestesi lebih cepat terlampaui. Namun, praktek ini dihentikan karena
menyebabkan kematian karena pernapasan, aritmia jantung, dan gagal jantung.
Kloroform sangat baik dan cepat diabsorbsi, dimetabolisme, dan dieliminasi
oleh hewan mamalia ataupun manusia baik melalui oral, inhalation, atau
dermal exposure. Kloroform adalah salah satu jenis anestesi umum yang efektif
digunakan melalui inhalasi. Hal ini dikarenakan sifat dari kloroform yang
mudah menguap sehingga cepat berikatan dengan oksigen sehingga stadium
eksitasi, anestesi dan kematiannya paling cepat. Efek samping lain dari
penggunaan kloroform, antara lain:
a. Ingesti
menyebabkan rasa terbakar pada mulut dan tenggorokan, nyeri dada
dan muntah.
b. Skincontact
menyebabkan iritasi pada kulit seperti kemerahan dan nyeri
c. Mata
menyebabkan iritasi pada mata, dan dapat terjadi kerusakan mata
(Anonim, 2005).
Pada eter dari stadium eksitasi ke stadium anestesi membutuhkan
waktu yang lama atau bahkan tak terhingga karena jenis anestesi umum ini
akan efektif apabila digunakan melalalui intravena. Alkohol dapat efektif
apabila penggunaannya melalui jalur oral ( Ganiswarna, 1995).
1. Yang cepat menimbulkan eksitasi : kloroform
2. Yang cepat menimbulkan anastesi : kloroform
3. Yang cepat menimbulkan kematian : kloroform
Dari hasil praktikum dari kelima mencit hanya dua yang mengalami
kematian, ketiga mencit tidak mengalami kematian, hanya terjadi perubahan
tingkah laku dan pernapasan (eksitasi dan anestesi). Hal ini disebabkan oleh
beberapa kekurangan praktikum, yaitu:
1) Dosis setiap obat anestesi umum yang kurang tepat
2) Pemberian obat anestesi umum tidak dilakukan bersama dalam hitungan
detik yang tepat
3) Tutuptoples tidak menutup secara sempurna. Hal ini memungkinkan
penguapan obat anestesi umum menguap keluar.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hasil praktikum menunjukkan bahwa onset dan durasi bahan

kloroform paling toksikologi, eter kurang toksikologi, alkohol 96% dan

alkohol 70% sama lebih toksikologi dibanding eter.

2. Hasil praktikum menunjukkan bahwa gejala bahan alkohol

90% dan 70% paling banyak menimbulkan gejala, eter lebih banyak

menimbulkan gejala, metanol sangat kurang menimbulkan gejala dan

kloroform kurang menimbulkan gejala.

B. Saran

Untuk praktikum selanjutnya, lebih baik menggunakan referensi tabel

yang lebih lengkap, bila dibandingkan dengan tabel warna yang saat ini

digunakan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. chloroform Avaiable from : http://www.general-

anaesthesia.com/images/chloroform.htm. Acces on 24 Maret 2010.

Anonim. 1997. ChloroformAvaiable from :

http://www.atsdr.cdc.gov/tfacts6.html. Acces on 24 Maret 2010.

Anonim. 2005. chloroform Avaiable from :

www.odh.ohio.gov/ASSETS/IVEIVC506200F0IVE0AAA96D8IV6ABC0

9FIII5/Chloroform%2520Fact%2520Sheet.pdf. Acces on 24 Maret 2010.

Anonim, 2009. chloroform Avaiable from :

http://www.jtbaker.com/msds/englishhtml/C2915.htm. Acces on 24 Maret

2010.

Anda mungkin juga menyukai