Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hal yang penting bagi kehidupan masyarakat.
Namun keluhan kesehatan ringan seperti pusing, demam, nyeri perut dan
berbagai keluhan lainnya sering kali dialami oleh banyak orang. Meskipun
ringan, namun dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Keluhan-keluhan
ringan sebenarnya dapat diatasi sendiri dengan swamedikasi, namun
pengobatan sendiri menjadi tidak mudah bila tidak memiliki pengetahuan
tentang hal tersebut. Kemudahan tentu bukanlah hal utama, yang lebih penting
justru adalah bagaimana cara melakukan swamedikasi dengan benar.
Swamedikasi atau pengobatan sendiri adalah tindakan yang dilakukan
untuk mengatasi masalah kesehatan dengan menggunakan obat-obatan yang
dapat dikonsumsi tanpa pengawasan dari dokter. Obat-obatan yang digunakan
untuk pengobatan sendiri atau swamedikasi biasa disebut dengan obat tanpa
resep atau obat OTC (over the counter). Adapun definisi swamedikasi menurut
WHO adalah pemilihan dan penggunaan obat modern, herbal, mau pun obat
tradisional oleh seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala
penyakit. Swamedikasi merupakan bagian dari upaya masyarakat menjaga
kesehatannya sendiri. Dari data World Health Organization, di banyak negara
sampai 80% orang yang sakit mencoba untuk melakukan pengobatan sendiri
oleh penderita. Dasar hukum swamedikasi di Indonesia bersandar pada
permenkes No.919/MENKES/PER/X/1993.
Data faktual menunjukkan bahwa 66% orang sakit di Indosnesia
melakukan swamedikasi sebagai usaha pertama dalam menanggulangi
penyakitnya. Persentase tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan 44%
penduduk yang langsung berobat jalan ke dokter (BPS, 2009). Meski begitu,
tingginya angka ini harus tetap diwaspadai, pasalnya pada pelaksanaan
swamedikasi, diprediksi akan banyak terjadi kesalahan penggunaan obat

1
(Medication error) yang disebabkan karena keterbatasan pengetahuan
masyarakat akan obat dan penggunaannya (Depkes, 2006)
Sesuai dengan penelitian Riset Dasar Kesehatan Nasional Tahun 2013,
sejumlah 103.860 atau 35,2% dari 294.959 rumah tangga di Indonesia
menyimpan obat untuk swamedikasi. Dari 35,2% rumah tangga yang
menyimpan obat, proporsi 35,7% menyimpan obat keras dan 27,8%
menyimpan antibiotik. Dari jumlah tersebut, 81,9% menyimpan obat keras
dan 86,1% menyimpan antibiotik yang diperoleh tanpa resep. Data ini jelas
menunjukkan bahwa sebagai perilaku swamedikasi di Indonesia masih
berjalan tidak rasional (Riskesdes, 2013).
Faktor-faktor seperti social ekonomi, kemudahan akses pada produk obat,
manajemen penyakit dan rehabilitasi, demografi dan epidemiologi, reformasi
pada sektor kesehatan dan juga ketersediaan produk-produk baru yang mudah
digunakan turut berperan meningkatkan perilaku swamedikasi. Namun bukan
berarti asal mengobati, justru pasien harus mencari informasi obat yang sesuai
dengan penyakitnya dan apotekerlah yang bisa berperan di sini. Apoteker bisa
memberikan informasi obat yang objektif dan rasional. Swamedikasi boleh
dilakukan untuk kondisi penyakit yang ringan, umum dan tidak akut.
Informasi yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara
pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan
atau minuman atau aktifitas yang hendaknya dihindari selama terapi dan
informasi lain yang diperlukan (Anief, 1997).
Swamedikasi didukung dengan tersedianya obat bebas yang dapat
diperoleh diberbagai toko obat atau apotek tanpa resep dokter. Dalam
melakukan upaya swamedikasi dan untuk memperoleh keamanan serta
mendapatkan efektivitas obat secara optimal, masyarakat sebaiknya mencari
tahu mengenai informasi obat yang digunakan. Informasi dapat diperoleh dari
media seperti internet, koran, buku ataupun dari apoteker tempat obat dibeli.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai swamedikasi. Makalah ini
bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan informasi kepada para pembaca

2
tentang pengobatan sendiri/ swamedikasi yang diharapkan dapat
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
A. Apakah yang dimaksud dengan swamedikasi?
B. Obat dan golongan obat apa saja yang boleh dilakukan swamedikasi ?
C. Penyakit apa saja yang dapat dilakukan swamedikasi?
D. Apa saja masalah penggunaan obat pada swamedikasi ?
1.3 Tujuan Penulisan
A. Mengetahui apa yang dimaksud dengan swamedikasi.
B. Mengetahui obat dan golongan obat yang boleh dilakukan
swamedikasi.
C. Mengetahui penyakit apa yang dapat dilakukan swamedikasi.
D. Mengetahui masalah penggunaan obat pada swamedikasi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Swamedikasi
Swamedikasi atau self medication adalah penggunaan obat-obatan tanpa
resep oleh seseorang atas inisiatifnya sendiri (FIP, 1999). Dasar hukum
swamedikasi adalah peraturan Menteri Kesehatan No. 919
Menkes/Per/X/1993. Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa swamedikasi
merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan oleh seseorang dalam
mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang dideritanya tanpa terlebih
dahulu melakukan konsultasi kepada dokter. Namun penting untuk dipahami
bahwa swamedikasi yang tepat, aman dan rasional tidak dengan cara
mengobati tanpa terlebih dahulu mencari informasi umum yang bisa diperoleh
tanpa harus melakukan konsultasi dengan pihak dokter. Adapun informasi
umum dalam hal ini bisa berupa etiket atau brosur. Selain itu, informasi
tentang obat bisa juga diperoleh dari apoteker pengelola apotek, utamanya
dalam swamedikasi obat keras yang termasuk dalam daftar obat wajib apotek
(Depkes RI,2006; Zeenot,2013).
Apabila dilakukan dengan benar, maka swamedikasi merupakan
sumbangan yang sangat besar bagi pemerintah, terutama dalam pemeliharaan
kesehatan secara nasional (Depkes RI, 2008).
2.2 Tujuan Swamedikasi
Swamedikasi bertujuan untuk meningkatkan kesehatan diri, mengobati
penyakit ringan dan mengelola pengobatan rutin dari penyakit kronis setelah
melalui pemantauan dokter. Sedangkan fungsi dan peran swamedikasi lebih
terfokus pada penanganan terhadap gejala secara cepat dan efektif tanpa
intervensi sebelumnya oleh konsultan medis kecuali apoteker, sehingga dapat
mengurangi beban kerja pada kondisi terbatasnya sumber daya dan tenaga
(WHO, 1998)
2.3 Keuntungan dan Kerugian Swamedikasi
a. Keuntungan

4
Mencegah dan mengatasi gejala penyakit ringan yang tidak
memerlukan dokter, memungkinkan aktivitas masyarakat tetap berjalan
dan tetap produktif, menghemat biaya dokter dan penebusan obat resep
yang biasanya lebih mahal, meningkatkan kepercayaan diri dalam
pengobatan sehingga menjadi lebih aktif dan peduli terhadap kesehatan
diri (WHO, 2000). Bagi paramedis kesehatan hal ini amat membantu,
terutama di pelayanan kesehatan primer seperti puskesmas yang jumlah
dokternya terbatas. Selain itu, praktik swamedikasi meningkatkan
kemampuan masyarakat luas mengenai pengobatan dari penyakit yang
diderita hingga pada akhirnya, masyarakat diharapkan mampu
memanajemen sakit sampai dengan keadaan kronisnya (WSMI, 2010).
b. Kerugian
Akan tetapi bila penatalaksanaannya tidak rasional, swamedikasi
dapat menimbulkan kerugian seperti: kesalahan pengobatan karena
ketidaktepatan diagnosis sendiri; penggunaan obat yang terkadang tidak
sesuai karena informasi bias dari iklan obat di media; pemborosan waktu
dan biaya apabila swamedikasi tidak rasional; dapat menimbulkan reaksi
obat yang tidak diinginkan seperti sensitivitas, alergi, efek samping atau
resistensi (Holt et al, 1986).
2.4 Faktor Penyebab Swamedikasi
Ada beberapa faktor penyebab swamedikasi yang keberadaannya hingga saat
ini semakin mengalami peningkatan. Beberapa faktor penyebab tersebut
berdasarkan hasil penelitian WHO; antara lain sebagai berikut :
a. Faktor sosial ekonomi
Seiring dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, yang
berdampak pada semakin meningkatnya tingkat pendidikan, sekaligus
semakin mudahnya akses untuk memperoleh informasi, maka semakin
tinggi pula tingkat ketertarikan masyarakat terhadap kesehatan. Sehingga
hal itu kemudian mengakibatkan terjadinya peningkatan dalam upaya
untuk berpartisipasi langsung terhadap pengambilan keputusan kesehatan
oleh masing-masing individu tersebut.

5
b. Gaya hidup
Kesadaran tentang adanya dampak beberapa gaya hidup yang bisa
berpengaruh terhadap kesehatan, mengakibatkan banyak orang memiliki
kepedulian lebih untuk senantiasa menjaga kesehatannya daripada harus
mengobati ketika sedang mengalami sakit pada waktu-waktu mendatang.
c. Kemudahan memperoleh produk obat
Saat ini, tidak sedikit dari pasien atau pengguna obat lebih memilih
kenyamanan untuk membeli obat dimana saja bisa diperoleh dibandingkan
dengan harus mengantri lama di Rumah Sakit maupun klinik.
d. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktik sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang
benar sekaligus lingkungan perumahan yang sehat, berdampak pada
semakin meningkatnya kemampuan masyarakat untuk senantiasa menjaga
dan mempertahankan kesehatannya sekaligus mencegah terkena penyakit.
e. Ketersediaan produk baru
Semakin meningkatnya produk baru yang sesuai dengan
pengobatan sendiri dan terdapat pula produk lama yang keberadaannya
juga sudah cukup populer dan semenjak lama sudah memiliki indeks
keamanan yang baik. Hal tersebut langsung membuat pilihan produk obat
untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia (Zeenot, 2013).
2.5 Obat dan Penggolongannya Dalam Swamedikasi
Obat merupakan zat yang dapat bersifat sebagai obat atau racun.
Sebagaimana terurai dalam definisi obat bahwa obat dapat bermanfaat untuk
diagnosa, pencegahan penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan,
yang hanya didapatkan pada dosis dan waktu yang tepat, namun dapat bersifat
sebagai racun bagi manusia apabila digunakan salah dalam pengobatan dengan
dosis yang berlebih atau tidak sesuai aturan yang telah ditetapkan, dan bahkan
dapat menimbulkan kematian. Pada dosis yang lebih kecil, efek pengobatan
untuk penyembuhan penyakit tidak akan didapatkan (Anief, 1997).
Obat tanpa resep adalah obat untuk jenis penyakit yang pengobatannya
dianggap dan ditetapkan sendiri oleh masyarakat dan tidak begitu

6
membahayakan jika mengikuti aturan memakainya (Anief, 1997). Golongan
obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri adalah golongan obat
bebas dan obat bebas terbatas dan obat wajib apotek (SK Menkes NO.
2380/1983).
2.5.1 Obat Bebas
Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat
dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh
obat dari golongan ini adalah parasetamol (Depkes,2008).
Pemakaian obat bebas ditujukan untuk mengatasi penyakit ringan
sehingga tidak memerlukan pengawasan dari tenaga medis selama
diminum sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan, hal ini dikarenakan
jenis zat aktif pada obat bebas relatif aman. Efek samping yang
ditimbulkan pun minimum dan tidak berbahaya. Karena semua informasi
penting untuk swamedikasi dengan obat bebas tertera pada kemasan atau
brosur informasi di dalamnya, pembelian obat sangat disarankan dengan
kemasannya (BPOM,2004).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan obat
bebas adalah : lihat tanggal kedaluwarsa obat; baca dengan baik
keterangan tentang obat pada brosur; perhatikan indikasi penggunaan
karena merupakan petunjuk kegunaan obat untuk penyakit; perhatikan
dengan baik dosis yang digunakan, untuk dewasa atau anak-anak;
perhatikan dengan baik komposisi zat berkhasiat dalam kemasan obat;
perhatikan peringatan-peringatan khusus dalam pemakaian obat,
perhatikan tentang kontraindikasi dan efek samping obat (Depkes, 2006).

Gambar 1. Logo Obat Obat Bebas

7
2.5.2 Obat Bebas Terbatas
Obat bebas terbatas yaitu obat yang dapat diperoleh tanpa resep
dokter, namun dalam penggunaannya harus memperhatikan peringatan-
peringatan tertentu. Obat ini juga dapat diperoleh di apotek, toko obat,
toko dan pedagang eceran. Pada kemasan obat ini ditandai dengan
lingkaran hitam dengan latar berwarna biru, juga disertai peringatan
dengan latar belakang warna hitam. Contoh obat bebas terbatas adalah
obat-obat batuk, obat flu, obat pereda rasa nyeri, obat yang mengandung
antihistamin (Depkes,2008).

Gambar 2.
Logo Obat Bebas Terbatas
Adapun peringatan yang dicantumkan ada 6 macam sesuai dengan
aturan pemakaian masing-masing obatnya, yaitu :
a. Peringatan no.1: Awas! Obat Keras, Bacalah Aturan Pakainya !
b. Peringatan no.2: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dikumur, jangan
ditelan
c. Peringatan no.3: Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari
badan
d. Peringatan no.4: Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar
e. Peringatan no.5: Awas! Obat Keras. Tidak Boleh Ditelan
f. Peringatan no.6: Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan
(Depkes,2008).

8
Gambar 3. Tanda Peringatan Obat Bebas Terbatas

2.5.3 Obat Wajib Apotek


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan NO. 347/
MENKES/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang
dapat diserahkan oleh apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.
Berikut beberapa ketentuan yang harus dipatuhi apoteker dalam
memberikan obat wajib apotek kepada pasien.
a. Apoteker berkewajiban untuk melakukan pencatatan yang benar
mengenai data pasien, mencakup nama, alamat, umur, dan penyakit
yang sedang dideritanya.
b. Apoteker berkewajiban untuk memenuhi ketentuan jenis sekaligus
jumlah yang bisa diserahkan kepada pasien, sesuai dengan ketentuan
yang berlaku, yang diatur oleh Keputusan Pemerintah Kesehatan
tentang daftar obat wajib apotek (OWA).
c. Apoteker berkewajiban memberikan informasi yang benar tentang obat
yang diserahkan, mencakup indikasi, kontra-indikasi, cara pemakaian,
cara penyimpanan, dan efek samping yang tidak diinginkan yang
paling dimungkinkan akan timbul sekaligus tindakan yang disarankan
apabila hal itu memang benar-benar terjadi.
Sesuai Permenkes NO. 919/MENKES/PER/X/1993, kriteria obat yang
dapat diserahkan tanpa resep adalah:

9
a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak
di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat wajib apotek (OWA) tidak
memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
c. Penggunaannya tidak memerlukan cara atau alat khusus yang harus
melibatkan tenaga kesehatan, semisal dokter atau perawat.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi
di Indonesia.
e. Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.
Obat ini aman dikonsumsi bila sudah melalui konsultasi dengan
apoteker. Tujuan digolongkannya obat ini adalah untuk melibatkan
apoteker dalam praktik swamedikasi. Tidak ada logo khusus pada
golongan obat wajib apotek, sebab secara umum semua obat OWA
merupakan obat keras. Sebagai gantinya, sesuai dengan ketetapan Menteri
Kesehatan No 347/MenKes/SK/VII/1990 tentang DOWA 1; No
924/MenKes/PER/X/1993 tentang DOWA 2; No
1176/MenKes/SK/X/1999 tentang DOWA 3 diberikan Daftar Obat Wajib
Apotek untuk mengetahui obat mana saja yang dapat digunakan untuk
swamedikasi. Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi,
obat saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat
yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit
topikal (BPOM, 2004).
2.6 Pelayanan Swamedikasi
Untuk melakukan pengobatan sendiri secara benar, masyarakat harus
mampu menentukan jenis obat yang diperlukan untuk mengatasi penyakitnya.
Hal ini dapat disimpulkan dari beberapa hal (Depkes, 2006) :
a. Gejala atau keluhan penyakitnya.
b. Kondis khusus misalnya hamil
c. Pengalaman alergi atau reaksi yang tidak diingankan terhadap obat
tertentu.

10
d. Nama obat, zat berkhasiat, kegunaan, cara pemakaian, efek samping
dan interaksi obat yang dapat dibaca pada etiket atau brosur obat.
e. Pilih obat yang sesuai dengan gejala penyakit dan tidak ada interaksi
obat dengan obat yang sedang diminum.
f. Berkonsultasi dengan apoteker.
Setelah tahap pemilihan dipastikan sesuai, langkah selanjutnya
adalah (Depkes, 2008) :
a. Mengetahui kegunaan dari tiap obat, sehingga dapat mengevaluasi
sendiri perkembangan sakitnya.
b. Menggunakan obat tersebut secara benar (cara, aturan, lama
pemakaian) dan tahu batas kapan mereka harus menghentikan
swamedikasi dan segera minta pertolongan petugas kesehatan.
c. Mengetahui efek samping obat yang digunakan sehingga dapat
memperkirakan apakah suatu keluhan yang timbul kemudian itu suatu
penyakit baru atau efek samping obat.
d. Mengetahui siapa yang tidak boleh menggunakan obat tersebut.
2.7 Penyakit dan Pilihan Obat pada Swamedikasi
Berdasarkan beberapa penelitian, penyakit-penyakit yang paling sering diobati
secara swamedikasi, antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare, dan gastritis
(Supardi dan Raharni,2006; Abay dan Amelo,2010).
2.7.1 Demam
Demam bukan merupakan suatu penyakit, tetapi hanyalah
merupakan gejala dari suatu penyakit. Suhu tubuh normal adalah 37°C,
apabila suhu tubuh lebih dari 37,2°C pada pagi hari dan lebih dapat
menimbulkan overdosis. Jika menggunakan asetosal, sebaiknya diminum
setelah makan atau bersamaan dengan makanan karena obat tersebut
berisiko mengiritasi lambung (Depkes RI,2007).
2.7.2 Nyeri
Nyeri merupakan suatu gejala yang menunjukkan adanya
gangguangangguan di tubuh seperti peradangan, infeksi dan kejang otot.
Contoh : nyeri karena sakit kepala, nyeri haid, nyeri otot, nyeri karena

11
sakit gigi, dan lain-lain. Obat nyeri adalah obat yang mengurangi nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran. Rasa nyeri disebabkan oleh rangsangan
pada ujung syaraf karena kerusakan jaringan tubuh yang disebabkan antara
lain :
a. Trauma, misalnya karena benda tajam, benda tumpul, bahan kimia, dan
lain-lain.
b. Proses infeksi atau peradangan Penanggulangan dengan terapi non
obat adalah: Tetap aktif fokuskan pada pekerjaan anda
c. Kompres hangat pada nyeri otot
d. Gunakan obat penghilang nyeri
e. Bila nyeri berlanjut hubungi dokter Beberapa obat nyeri yang dapat
digunakan pada pengobatan sendiri, antara lain ibuprofen, asetosal dan
parasetamol. Obat-obat tersebut juga dapat digunakan untuk
menurunkan panas. Ibuprofen memiliki terapi antiradang lebih tinggi
dibanding efek penurun panas, sedangkan asetosal dan parasetamol
efek penurun demamnya lebih tinggi dibanding efek anti nyeri (Depkes
RI,2007).
Dosis pemakaian untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali
sehari. Batas waktu penggunaan obat nyeri pada pengobatan sendiri adalah
tidak lebih dari lima hari (Depkes RI,2006).
2.7.3 Batuk
Batuk merupakan refleks yang terangsang oleh iritasi paru-paru
atau saluran pernapasan. Bila terdapat benda asing selain udara yang
masuk atau merangsang saluran pernapasan, otomatis akan batuk untuk
mengeluarkan atau menghilangkan benda tersebut. Batuk biasanya
merupakan gejala infeksi saluran pernapasan atas (misalnya batuk-pilek,
flu) dimana sekresi hidung dan dahak merangsang saluran pernapasan.
Batuk juga merupakan cara untuk menjaga jalan pernapasan tetap bersih.
Ada dua jenis batuk yaitu batuk berdahak dan batuk kering. Batuk
berdahak adalah batuk yang disertai dengan keluarnya dahak dari batang
tenggorokan. Batuk kering adalah batuk yang tidak disertai keluarnya

12
dahak. Batuk dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain; infeksi (flu,
bronkitis, pneumonia, TBC, dan kanker paru-paru), alergi dan
penyempitan saluran pernafasan. Penanggulangan dengan terapi non obat
adalah:
a. Minum banyak cairan (air atau sari buah) akan menolong
membersihkan tenggorokan, jangan minum soda atau kopi.
b. Hentikan kebiasaan merokok
c. Hindari makanan yang merangsang tenggorokan (makanan dingin
atau berminyak) dan udara malam.
d. Madu dan tablet hisap pelega tenggorokan dapat menolong
meringankan iritasi tenggorokan dan dapat membantu mencegah
batuk kalau tenggorokan anda kering atau pedih.
e. Hirup uap air panas (dari semangkuk air panas) untuk mencairkan
sekresi hidung yang kental supaya mudah dikeluarkan. Dapat juga
ditambahkan sesendok teh balsam/minyak atsiri untuk membuka
sumbatan saluran pernapasan
f. Minum obat batuk yang sesuai
g. Bila batuk lebih dari 3 hari belum sembuh segera ke dokter
h. Pada bayi dan balita bila batuk disertai napas cepat atau sesak
harus segera dibawa ke dokter atau pelayanan kesehatan. Obat
batuk dibagi menjadi 2 yaitu ekspektoran (pengencer dahak) dan
antitusif (penekan batuk)
 Obat Batuk Berdahak (Ekspektoran) seperti Gliseril
Guaiakolat, Bromheksin, Kombinasi Bromheksin dengan
Gliseril Guaiakolat dan Obat Batuk Hitam (OBH).
 Obat Penekan Batuk (Antitusif) seperti Dekstrometorfan
HBr (DMP HBr), Difenhidramin HCl (Depkes RI,2007).
2.7.4 Flu
Flu adalah suatu infeksi saluran pernapasan atas. Orang dengan
daya tahan tubuh yang tinggi biasanya sembuh sendiri tanpa obat. Pada
anak-anak, lanjut usia dan orang yang memiliki daya tahan tubuh rendah

13
lebih cenderung menderita komplikasi seperti infeksi bakteri sekunder. Flu
ditularkan melalui percikan udara pada saat batuk, bersin, dan tangan yang
tidak dicuci setelah kontak dengan cairan hidung/mulut. Infeksi saluran
pernafasan bagian atas disebabkan oleh virus influenza. Penanggulangan
dengan terapi non obat adalah:
a. Istirahat yang cukup
b. Meningkatkan gizi makanan dengan protein dan kalori yang tinggi
c. Minum air yang banyak dan makan buah segar yang banyak
mengandung vitamin
d. Minum obat flu untuk mengurangi gejala/keluhan e. Periksa ke
dokter bila gejala menetap sampai lebih dari 3 hari (Depkes
RI,2007).
Obat flu hanya dapat meringankan keluhan dan gejala saja, tetapi tidak
dapat menyembuhkan. Obat flu yang diperoleh tanpa resep dokter umumnya
merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat, yaitu:
a. Antipiretik-analgetik untuk menghilangkan rasa sakit dan
menurunkan demam.
b. Antihistamin, untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan atau
reaksi alergi lain yang menyertai flu. Bekerja dengan menghambat
efek histamin yang dapat menyebabkan alergi. Contoh: CTM dan
difenhidramin HCl.
c. Dekongestan, untuk meredakan hidung tersumbat. Contoh:
fenilpropanolamin, fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.
d. Antitusif, ekspektoran dan mukolitik untuk meredakan batuk yang
menyertai flu. Obat flu dengan berbagai merek dagang dapat
mengandung kombinasi yang sama, sehingga tidak dianjurkan
menggunakan berbagai merek obat flu pada saat bersamaan. Dosis
pemakaian untuk dewasa umumnya tiga kali sehari. Batas waktu
penggunaan obat flu pada pengobatan sendiri adalah tidak lebih
dari tiga hari (Depkes RI,2006).

14
2.7.5 Maag
Sakit maag adalah peningkatan produksi asam lambung sehingga
terjadi iritasi lambung. Maag atau sakit lambung memiliki gejala khas
berupa rasa nyeri atau pedih pada ulu hati meskipun baru saja selesai
makan. Namun kalau rasa pedih hanya terjadi sebelum makan atau di
waktu lapar dan hilang setelah makan, biasanya karena produksi asam
lambung berlebihan dan belum menderita sakit maag. Penyakit maag akut
umumnya lebih mudah ditangani daripada maag kronis. Pada maag akut
biasanya belum ada gejala kerusakan yang jelas pada dinding lambung;
mungkin hanya disebabkan oleh berlebihnya produksi asam lambung
sesaat atau akibat makanan yang merangsang terlalu banyak. Sedangkan
pada maag kronis penderita bisa mengalami pembengkakan atau radang
pada dinding lambung, luka sampai perdarahan. Peningkatan produksi
asam lambung dapat terjadi karena :
1. Makanan atau minuman yang merangsang lambung yaitu makanan
yang pedas atau asam, kopi, alcohol, Faktor stres baik stres fisik
(setelah pembedahan, penyakit berat, luka bakar) maupun stres mental.
2. Obat-obat tertentu yang digunakan dalam jangka waktu lama (misal
obat rematik, anti inflamasi)
3. Jadwal makan yang tidak teratur (Depkes RI,2007).
Terapi obat untuk gastritis pada pengobatan sendiri dapat diobati
dengan antasida. Antasida adalah obat yang bekerja dengan cara menetralkan
asam lambung yang berlebih, dan melindungi selaput lendir lambung.
Antasida yang beredar di pasaran biasanya terdiri dari campuran garam
aluminium dan garam magnesium agar tidak menimbulkan sembelit ataupun
diare. Kandungan lain antasida adalah simetikon, yaitu zat yang berkhasiat
membantu pengeluaran gas yang berlebih di dalam saluran cerna. Dosis
pemakaian antasida untuk dewasa umumnya tiga hingga empat kali sehari.
Batas pemakaian antasida pada pengobatan sendiri tidak boleh lebih dari 2
minggu kecuali atas saran dokter. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
pasien pada penggunaan antasida, antara lain:

15
a. Antasida dalam bentuk tablet harus dikunyah terlebih dahulu
sebelum ditelan
b. Antasida diminum satu jam sebelum makan. Penggunaan
terbaiknya adalah saat gejala timbul pada waktu lambung kosong
dan menjelang tidur malam.
c. Antasida dapat mengganggu absorbsi obat-obat tertentu, misalnya
antibiotik. Beri jarak minimal satu jam bila digunakan bersamaan.
d. Antasida tidak dianjurkan untuk penggunaan rutin atau jangka
panjang (Depkes RI,2006).
2.7.6 Diare
Diare adalah buang air besar dalam bentuk cair lebih dari tiga kali
dalam sehari, biasanya disertai sakit dan kejang perut. Jenis-jenis diare
antara lain :
1. Diare akut, disebabkan oleh infeksi usus, infeksi bakteri, obat-obat
tertentu atau penyakit lain. Gejala diare akut adalah tinja cair, terjadi
mendadak, badan lemas kadang demam dan muntah, berlangsung
beberapa jam sampai beberapa hari.
2. Diare kronik, yaitu diare yang menetap atau berulang dalam jangka
waktu lama, berlangsung selama 2 minggu atau lebih.
3. Disentri adalah diare disertai dengan darah dan lendir. Diare yang
hanya sekali-sekali tidak berbahaya dan biasanya sembuh sendiri.
Tetapi diare yang berat bisa menyebabkan dehidrasi dan bisa
membahayakan jiwa. Dehidrasi adalah suatu keadaan dimana tubuh
kekurangan cairan tubuh yang dapat berakibat kematian, terutama pada
anak/bayi jika tidak segera diatasi. Bila penderita diare banyak sekali
kehilangan cairan tubuh maka hal ini dapat menyebabkan kematian,
terutama pada bayi dan anak-anak di bawah umur lima tahun. Pada
kasus yang jarang, diare yang terus-menerus mungkin merupakan
gejala penyakit berat seperti tipus, cholera atau kanker usus. Obat yang
dianjurkan untuk mengatasi diare adalah oralit untuk mencegah
kekurangan cairan tubuh, Adsorben dan Obat Pembentuk Massa (yang

16
termasuk dalam kelompok ini adalah Norit (karbo adsorben),
kombinasi Kaolin-Pektin dan attapulgit). Kegunaannya adalah untuk
mengurangi frekuensi buang air besar, memadatkan tinja, menyerap
racun pada penderita diare (Depkes RI,2007).
2.8 Pengobatan Rasional
Kerasionalan dalam penggunaan obat sangat dibutuhkan, mengingat obat
dapat bersifat sebagai racun apabila penggunaannya tidak tepat (Anief, 1997).
Menurut WHO penggunaan obat dikatakan rasional bila pasien menerima obat
yang sesuai dengan kebutuhannya, periode waktu yang adekuat dan harga
yang terjangkau. Kriteria penggunaan obat rasional menurut Depkes RI (2008)
adalah :
a. Tepat diagnosis
Obat diberikan sesuai dengan diagnosis. Apabila diagnosis tidak
ditegakkan dengan benar maka pemilihan obat akan salah.
b. Tepat indikasi
Penyakit Obat yang diberikan harus yang tepat bagi suatu penyakit.
c. Tepat pemilihan obat
Obat yang dipilih harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.
d. Tepat dosis
Dosis, jumlah, cara, waktu dan lama pemberian obat harus tepat. Apabila
salah satu dari empat hal tersebut tidak dipenuhi menyebabkan efek terapi
tidak tercapai.
1. Tepat Jumlah Jumlah obat yang diberikan harus dalam jumlah yang
cukup.
2. Tepat cara pemberian Cara pemberian obat yang tepat adalah Obat
Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula
antibiotik tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk
ikatan sehingga menjadi tidak dapat diabsorpsi sehingga menurunkan
efektifitasnya.
3. Tepat interval waktu pemberian Cara Pemberian obat hendaknya
dibuat sederhana mungkin dan praktis agar mudah ditaati oleh pasien.

17
Makin sering frekuensi pemberian obat per hari (misalnya 4 kali
sehari) semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang harus
diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.
4. Tepat lama pemberian Lama pemberian obat harus tepat sesuai
penyakitnya masing – masing. Untuk Tuberkulosis lama pemberian
paling singkat adalah 6 bulan, sedangkan untuk kusta paling singkat 6
bulan. Lama pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10 –
14 hari.
e. Tepat penilaian kondisi pasien
Penggunaan obat disesuaikan dengan kondisi pasien, antara lain harus
memperhatikan: kontraindikasi obat, komplikasi, kehamilan, menyusui,
lanjut usia atau bayi.
f. Waspada terhadap efek samping
Obat dapat menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan yang
timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, seperti timbulya mual,
muntah, gatal-gatal, dan lain sebagainya.
g. Efektif, aman, mutu terjamin, tersedia setiap saat, dan harga terjangkau
Untuk mencapai kriteria ini obat dibeli melalui jalur resmi.
h. Tepat tindak lanjut (follow up)
Apabila pengobatan sendiri telah dilakukan, bila sakit berlanjut
konsultasikan ke dokter.
i. Tepat penyerahan obat (dispensing)
Penggunaan obat rasional melibatkan penyerah obat dan pasien sendiri
sebagai konsumen. Resep yang dibawa ke apotek atau tempat penyerahan
obat di Puskesmas akan dipersiapkan obatnya dan diserahkan kepada
pasien dengan informasi yang tepat.
j. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang diberikan
Ketidakpatuhan minum obat terjadi pada keadaan berikut :
1. Jenis sediaan obat beragam
2. Jumlah obat terlalu banyak

18
3. Frekuensi pemberian obat per hari terlalu sering
4. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa informasi
5. Pasien tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai cara
menggunakan obat
6. Timbulnya efek samping
Kerasionalan penggunaan obat menurut Cipolle terdiri dari beberapa
aspek, di antaranya: ketepatan indikasi, kesesuaian dosis, ada tidaknya
kontraindikasi, ada tidaknya efek samping dan interaksi dengan obat dan
makanan, serta ada tidaknya polifarmasi (penggunaan lebih dari dua obat
untuk indikasi penyakit yang sama (Hermawati, 2012).
2.9 Masalah penggunaan obat dalam swamedikasi
Masalah dalam penggunaan obat pada swamedikasi antara lain meliputi
penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga tidak
ekonomis. Masalah tersebut biasanya dikenal dengan istilah penggunaan obat
yang tidak rasional. Pengobatan dikatakan tidak rasional jika (Depkes, 2008) :
a. Banyaknya obat dengan berbagai merek seringkali membuat konsumen
bingung memilih antara obat yang baik dan aman untuk dikonsumsi.
b. Maraknya penyebaran iklan obat-obatan melalui media televisi dan
mediamedia lain mempunyai peran yang cukup besar bagi masyarakat
untuk memilih obat tanpa resep.
c. Kemudahan memperoleh obat secara bebas dapat menyebabkan
masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah menjadi korban pemakaian
obat yang tidak rasional. Hal tersebut terlihat dari perkembangan jumlah
apotek dan toko obat di Indonesia yang meningkat.
d. Perkembangan baru dalam pelayanan penjualan obat melalui apotek. Kini
apotek tidak hanya mau melakukan pengiriman obat ke rumah, tapi juga
buka 24 jam, hingga melayani pemesanan melaui internet. Kemudahan
semacam ini juga mempunyai kontribusi dalam pengobatan sendiri
(Kartajaya, 2011).

19
2.10 Efek samping obat dalam swamedikasi
Efek samping obat adalah efek tidak diinginkan dari pengobatan dengan
pemberian dosis obat yang digunakan untuk profilaksis, diagnosis maupun
terapi (WHO, 1972). Beberapa reaksi efek samping obat dapat timbul pada
semua orang, sedangkan ada beberapa obat yang efek sampingnya hanya
timbul pada orang tertentu (Mariyono dan Suryana, 2008).
Secara umum obat-obat yang digunakan dalam praktik swamedikasi
cenderung aman, tidak berbahaya dan memiliki angka kejadian timbul efek
samping yang rendah (BPOM, 2004). Pada swamedikasi, efek samping yang
biasa terjadi: pada kulit, berupa rasa gatal, timbul bercak merah atau rasa
panas; pada kepala, terasa pusing; pada saluran pencernaan, terasa mual, dan
muntah, serta diare; pada saluran pernafasan, terjadi sesak nafas; pada jantung
terasa dada berdetak kencang (berdebar-debar); urin berwarna merah sampai
hitam (Depkes 2008).

20
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Swamedikasi merupakan salah satu upaya yang sering dilakukan oleh
seseorang dalam mengobati gejala sakit atau penyakit yang sedang
dideritanya tanpa terlebih dahulu melakukan konsultasi kepada dokter.
Namun penting untuk dipahami bahwa swamedikasi yang tepat, aman
dan rasional tidak dengan cara mengobati tanpa terlebih dahulu mencari
informasi umum yang bisa diperoleh tanpa harus melakukan konsultasi
dengan pihak dokter.
2. Golongan obat yang dapat digunakan pada pengobatan sendiri yaitu
golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek.
3. Berdasarkan beberapa penelitian, penyakit-penyakit yang paling sering
diobati secara swamedikasi, antara lain demam, batuk, flu, nyeri, diare,
dan gastritis
4. Masalah dalam penggunaan obat pada swamedikasi antara lain meliputi
penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman, dan juga
tidak ekonomis. Masalah tersebut biasanya dikenal dengan istilah
penggunaan obat yang tidak rasional.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abay, S., dan Amelo, W. (2010). Assessment of Self Medication Practice Among
Medical, Pharmacy, and Health Science Student in Gondar University,
Ethiopia. Journal of Young Pharmacists. 2(3): 306-310.

Anief., Moh. (1997). Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press

Badan Pengawas Obat dan Makanan, 2004, Pengobatan Sendiri. Majalah Info
Pom, 5(6): 1-5

Badan Pusat Statistik Jakarta Pusat,2009. Pedoman Pendataan Survei Angkatan


Kerja Nasional Tahun 2009. Jakarta Pusat : Badan Pusat Statistik.

DepKes RI, 1983. Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus untuk Obat Bebas dan Obat Bebas
Terbatas, Jakarta.

DepKes RI, 1990. Keputusan Menteri Kesehatan No. 347/MenKes/SK/VII/1990


tentang Obat Wajib Apotek, Jakarta.

Depkes, 1993, Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 919/MenKes/PER/X/1993


tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep, Departemen
Kesehatan RI, Jakarta.

Depkes RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah
Sakit di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.

Depkes RI. (2007). Profil Kesehatan 2007. Departemen Kesehtan RI.

Departemen Kesehatan RI. 2008. Profil kesehatan Indonesia 2007. Jakarta :


Depkes RI Jakarta

FIP, 1999, Joint Statement By The International Pharmaceutical Federation and


The World Self-Medication Industry: Responsible Self-Medication, FIP &
WSMI, 1-2 cit. Yunita, N., Athijah, U., Wijaya, I.N., dan Hermawati, M.,
2008, Kinerja Apotek dan Harapan Pasien terhadap Pemberian Informasi Obat
pada Pelayanan Swamedikasi di beberapa Apotek di Surabaya, Majalah
Farmasi Airlangga, 6 (2), 41-44.

Hermawati, D. (2012). Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan


Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek
Kecamatan Simanggis, Depok. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Program Studi Farmasi UI. Halaman: 79-81.

22
Holt, G.A. dan Edwin, L.H., 1986, The Pros and Cons of Self-Medication,
Journals of Pharmaceutical Technology, 213-8.

Kartajaya, H. (2011). Self Medication, Who Benefits and Who is At Loss.


Indonesia: MarkPlus Insight. Halaman 3-11.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang


Kemenkes RI

Mariyono, H.H., & Suryana, K., 2008, Adverse Drug Reactions, Vol IX, No.2.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 924/ Menkes/ Per/ X/ 1993 Tentang Daftar
124 Obat Wajib Apotek No. 2

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1176/ Menkes/ Per/ X/ 1999 Tentang Daftar
Obat Wajib Apotek No. 3

Supardi, S., dan Raharni. (2006). Penggunaan obat yang sesuai dengan aturan
dalam pengobatan sendiri keluhan demam, sakit kepala, batuk, dan flu (hasil
analisis lanjut data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001). Jurnal
Kedokteran Yarsi. 14(1): 61-69.

World Health Organization, 1998, The Role of The Pharmacist in Self-care and
Selfmedication, Hangue: World Health Organization, 17p.

World Health Organization, 2000, Guidelines for the Regulatory Assessment of


Medicinal Products for use in Self-Medication, World Health Organization,
Geneva

World Self-Medication Industry, 2010, Responsible self-care and self-medication:


a worldwide review of consumer surveys. Ferney-Voltare: WSMI, 16 p.
Available at: . 3 mar. 2014.

Zeenot, Stephen. 2013. Pengelolaan&PenggunaanObatWajibApotek. DMEDIKA


(Anggota IKAPI).

23
SOAL UKAI SWAMEDIKASI

1. Peringatan yang tercantum pada obat kumu?


a. P no 1
b. P no 2
c. P no 3
d. P no 4
e. P no 5
2. Seorang ibu datang ke Apotek untuk membeli obat untuk mengatasi
mabok perjalanan anaknya. Pasien tersebut menginginkan obat yang
terbuat dari herbal. Bahan obat herbal apa yang dapat digunakan untuk
mengatasi mabok diperjalanan?
a.madu
b.kunyit
c.kayumanis
d.cabe
e. jahe
3. Seorang perempuan usia 18 tahun datang ke apotek membeli obat untuk
meredakan nyeri perut karena sedang mengalami menstruasi. Apakah obat
yang tepat untuk diberikan kepada pasien tersebut?
a. Kodein
b. Asam mefenamat
c. Kalium Diklofenak
d. Ketorolac
e. Ibuprofen
( Ibuprofen dapat menurunkan produksi hormon prostaglandin yang
memicu kram perut)
4. Seorang pasien, laki-laki 25 tahun mengeluhkan susah buang air besar.
Setiap kali merasakan rangsangan defekasi tidak ada feses yang bias
dikeluarkan. Pilihan obat apa yang bias diberikan kepada laki-laki
tersebut?
a. Loperamid

24
b. Oralit
c. Karbon aktif
d. Bisakodil
e. Norit
5. Seorang pasien laki-laki usia 25 tahun dating ke apotek dengan keluhan
gatal di tenggorokkan dan batuk tanpa disertai dahak. Diketahui pasien
tidak memiliki riwayat penyakit lain ataupun alergi. Obat apakah yang
diberikan oleh apoteker untuk mengatasi keluhannya tersebut?
a. Dekongestan
b. Antipiretik
c. Analgesik
d. Ekspektoran
e. Antitusif
6. Seorang pasein laki-laki yang sedang mengalami iritasi pada mata, datang
ke apotek untuk membeli obat tetes mata yang berisi tetrahidrolizone HCl
0,05%, Benzalkonium Chloride 0,01%. Obat tersebut termasuk obat bebas
terbatas yang dilengkapi dengan tanda peringatan. Apakah tanda
peringatan yang terdapat pada kemasan obat yang dibeli pasien tersebut?

a. P no. 1
b. P no. 2
c. P no. 3
d. P no. 4
e. P no. 5
7. Seorang pemuda datang ke Apotek untuk membeli parasetamol. Apoteker
harus memberikan informasi bahwa banyak obat mengandung parasetamol
dan diminta berhati- hati untuk tidak meminum parasetamol sampai
overdosis. Apa efek toksik dari overdosis parasetamol?
a.nefrotoksik
b.sitotoksik
c.ototoksik

25
d.hepatotoksik
e. neurotoksik
8. Seorang perempuan datang ke Apotek membeli obat yang berisi zat aktif
natrium laurel sulfoasetat 0,045 gram dalam bentuk gel kemasan tube
untuk mengatasi sembelit yang diderita anaknya (laki-laki, usia 6 tahun).
Pasien memperhatiakn dalam kemasan obat terdapat tanda lingkaran
berwarna hijau dengan garis tepi warna hitam. Apa golongan obat yang
dibeli oleh pasien tersebut?
a. Obat bebas
b. Obat bebas terbatas
c. Obat keras
d. Psikotropika
e. Narkoika
9. Ny A. mempunyai bayi laki-laki, usia 3 bulan dengan BB 4 kg. Anaknya
mengalami demam hingga 38,5C, karena sudah larut malam maka Ny A
pergi membeli obat ke apotek terdekat rumahnya yang buka 24 jam. Ny. A
menanyakan kepada apoteker untuk mengatasi demam anaknya sebelum
pergi ke dokter. Sediaan farmasi apa yang paling sesuai untuk anak
tersebut?
a. Drops
b. Suppositoria
c. Tablet kunyah
d. Tablet
e. Sirup
10. Seorang bapak yang memiliki anak berusia 6/9 bulan datang ke apotek
mengenai keluhan diare anaknya. Frekuensi diare sudah 5 kali sejak pagi
hari. Diare dengan bentuk cairan dengan sedikit ampas tanpa lendir atau
darah. Bayi tidak mengalami demam. Penanganan swamedikasi yang
sudah diberikan adalah suspensi Kaolin-Pectin. Si bapak meminta oralit
dari apotek untuk di berikan ke anaknya. Bagaimanakah tindakan apoteker
tentang hal ini?

26
a. Tidak memberikan oralit
b. Menyarankan pemberian liperamide
c. Oralit dapat diberikan
d. Memberikan rehidrasi parenteral
e. Memberikan antibiotik

27

Anda mungkin juga menyukai