Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pinang (Areca catechu L) adalah semacam tumbuhan palem yang tumbuh
di daerah Asia, dan Afrika Bagian Timur, Pasifik. Di Indonesia sendiri, pinang
banyak terdapat di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Indonesia termasuk dalam negara yang bisa dikatakan sebagai negara pengekspor
pinang terbesar di dunia dengan volume ekspor mencapai seratus sepuluh ribu ton
pada tahun 2007 dan meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Pinang di dunia
berasal dari Indonesia. Di negara-negara maju seperti Belgia, Belanda, Jerman,
Korea Selatan, dan China pinang dimanfaatkan sebagai bahan baku farmasi, akan
tetapi di Indonesia pemanfaatan pinang masih sangat minim. Di Indonesia, pinang
bukan merupakan bahan yang umum dikonsumsi oleh masyarakat. Penggunaan
paling populer adalah kegiatan menyirih yaitu dengan bahan campuran buah
pinang, daun sirih dan kapur. Zat yang terkandung dalam biji pinang (Areca
catechu L) umumnya memiliki kandungan katekin yang beragam, sehingga
diperlukan penanganan lebih lanjut untuk meningkatkan kemurnian katekin dari
biji pinang.
Berdasarkan hal-hal diatas, maka dilakukan identifikasi dan isolasi katekin
pada biji pinang untuk menentukan senyawa metabolit sekunder yang paling
banyak terdapat pada ekstrak biji pinang (Areca catechu L). Dalam penelitian ini
dilakukan isolasi katekin pada biji pinang dengan metode yang sesuai, seperti
ekstraksi cara dingin (maserasi), KCV (kromatografi cair vakum), kromatografi
lapis tipis, kromatografi kolom dan dimurnikan dengan metode kromatografi lapis
tipis preparatif. Dipilihnya metode-metode tersebut karena berdasarkan literatur
yang diperoleh dari berbagai jurnal internasional mengenai isolasi dan identifikasi
senyawa katekin, kebanyakan para peneliti menggunakan metode-metode tersebut
sehingga dengan adanya acuan dari jurnal-jurnal tersebut diharapkan pada
penelitian ini dapat memperoleh senyawa katekin dalam biji buah pinang dengan
kadar tinggi.

1
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang dapat
dirumuskan adalah berapa kadar katekin yang terkandung di dalam biji pinang
(Areca catechu L)?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian yang ingin dicapai yaitu mengetahui kadar katekin yang
terkandung di dalam biji pinang (Areca catechu L).

1.4 Kegunaan Penelitian


Kegunaan dalam penelitian ini, diantaranya:
1. Bagi mahasiswa, sebagai salah satu pengembangan ilmu pengetahuan,
sehingga bisa menambah wawasan mengenai manfaat bahan-bahan
alam yang bermanfaat untuk kesehatan dan pembuatan obat dari bahan
alam dengan metode yang sederhana.
2. Bagi mahasiswa, dapat mengetahui kadar katekin yang terkandung
dalam biji pinang (Areca catechu L).

1.5 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Bahan Alam Gedung I Sekolah
Tinggi Farmasi Indonesia setiap hari Rabu pukul 15.00-18.00 dan 19.00-21.00.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Pinang (Areca catechu L)

Gambar 2.1 Tanaman Pinang

Pinang (Areca catechu L) merupakan tanaman yang sekeluarga dengan


kelapa. Salah satu jenis tumbuhan monokotil ini tergolong palem-paleman. Di
masyarakat umumnya spesies ini sering disebut dengan pinang atau pinang sirih.
Kadang tumbuh liar di tepi sungai dan di tempat-tempat lain. Pohon pinang
tumbuh tegak dan tingginya 10-30 m, diameternya 15-20 cm dan batangnya tidak
bercabang (Arisandi, 2008). Pinang termasuk jenis tanaman yang cukup dikenal
luas di masyarakat karena secara alami penyebarannya pun cukup luas di berbagai
daerah. Nama lain dari pinang adalah Jambe, Penang, Woham, Pineng, Pineung
(Jawa), Batang Mayang, Batang Bongkah, Batang Pinang, Pining, Bonai
(Sumatera), Gahat, Gehat, Kahat Laam, Hunoto, Luguto, Poko Rapu, Amongun
(Sulawesi), Biwa, Biwasoi, Mucillo Palm (Maluku). Pinang asli dari kawasan
Asia Tenggara yaitu Filipina, Semenanjung Malaka dan Kepulauan Hindia Timur.
Sekitar 24 jenis dapat dijumpai di Malaysia, Kalimantan dan Sulawesi. Pinang
adalah tanaman yang memiliki banyak manfaat, tetapi belum dianggap sebagai
komoditas utama. Pemanfaatan pinang sebagai ramuan yang dimakan bersama
sirih, telah menjadi kebiasaan secara turun temurun pada berbagai daerah tertentu
di Indonesia, tetapi konsumennya terbatas. Agar berbagai manfaat pinang dapat
dinikmati banyak orang, maka perlu ada inovasi untuk memanfaatkan pinang
dalam pengolahan berbagai produk pangan, sehingga mudah dikonsumsi. Dengan
demikian akan lebih banyak konsumen yang merasakan manfaat biji pinang
(Septiatin, 2008)

3
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Pinang
Nama ilmiah tanaman pinang atau nama latin tanaman pinang
adalah Areca catechu L. Klasifikasi tumbuhan pinang adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Viridiplantae
Infra Kingdom: Streptophyta
Super Divisi : Embryophyta
Divisi : Tracheophyta
Sub Divisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Super Ordo : Lilianae
Ordo : Arecales
Famili : Aracaceae
Genus : Areca L
Spesies : Areca catehu L

2.2 Kandungan yang Terdapat Dalam Biji Pinang


Biji pinang rasanya pahit, pedas, dan hangat. Menurut penelitian para ahli,
yang dikutip oleh ”The Merck Index”, khasiat yang diberikan oleh biji pinang
adalah arecoline yang merupakan sebuah ester metil tetrahidrometil-nikotinat
yang berwujud minyak basa keras. Senyawa lain yang terkandung dalam biji
pinang adalah arecaidine atau arecaine, choline atau bilineurine, guvacine,
guvacoline dan tannin dari kelompok ester glukosa yang menggandeng beberapa
gugusan pirogalol. Sifat astringent dan hemostatik dari zat tannin inilah yang
berkhasiat untuk mengencangkan gusi dan menghentikan perdarahan (Anonim,
2011). Juga ditegaskan bahwa kandungan kimia dalam biji buah pinang yaitu 0,3-
0,6% alkaloida seperti arekolin, arekolidine, arekain, guvakolin, guvasine dan
isoguvasine. Selain itu biji buah pinang juga mengandung tanin, lemak (palmitic,
oleic, linoleic, palmitoleic, stearic, myristic acid), saponin, steroid, asam amino,
choline, flavonoid, katekin, kanji dan resin (Dalimartha, 2009).

4
2.3 Khasiat dan Manfaat
Menurut Marshall dalam Sullivan (2000) biji pinang banyak digunakan
manusia sebagai penenang dan ada diurutan ke empat setelah nikotin, ethanol dan
kafein dan biji pinang banyak dimakan oleh berjuta-juta orang antara Pantai
Timur Benua Afrika dan Pasifik Barat. Di Indonesia biji pinang digunakan juga
dalam dunia pengobatan yaitu mengobati penyakit seperti cacingan, perut
kembung, luka, batuk berdahak, diare, kudis, koreng, terlambat haid, keputihan,
beri-beri, malaria, difteri, tidak nafsu makan, sembelit, sakit pinggang, gigi dan
gusi (Arisandi, 2008).
Secara empiris biji pinang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit.
Berbagai menfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan biji pinang adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai kebutuhan pokok, sumber energi dan untuk upacara adat,
2. Sebagai pengganti rokok, mengatur pencernaan dan mencegah ngantuk,
3. Sebagai bahan kosmetik dan pelangsing.
4. Sebagai bahan baku obat.
5. Sebagai antidepresi.
Selain biji pinang yang dapat dimanfaatkan, penggunaan paling populer
adalah kegiatan menyirih yaitu dengan bahan campuran buah pinang, daun sirih
dan kapur. Pinang atau jambe adalah salah satu kelengkapan dalam menyirih
dikalangan orang-orang tua. Kegemaran makan buah pinang tua, baik yang
dicampur dengan ramuan daun sirih, gambir, cengkeh, maupun kapur, bukan lagi
pemandangan yang langka melainkan sudah menjadi tradisi dari dulu hingga
sekarang oleh laki-laki dan perempuan. Masyarakat yang rutin makan sirih setiap
hari mengaku kesehatan giginya terjamin dan terhindar dari penyakit gigi. Melihat
dari manfaat buah pinang untuk bahan baku industri farmasi, kosmetika dan bahan
pewarna tekstil, kiranya terdapat pula khasiat lain dari buah pinang muda
(Arisandi, 2008).

2.4 Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang
umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Senyawa flavanoid merupakan suatu

5
kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-
senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru serta sebagai zat warna
kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavanoid mempunyai
kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin
benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk suatu
susunan C6-C3-C6.
Pada tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetativ
maupun dalam bunga. Senyawa ini berperan penting dalam menentukan warna,
rasa, bau, serta kualitas nutrisi makanan. Tumbuhan umumnya hanya
menghasilkan senyawa flavonoid tertentu. Keberadaan flavonoid pada tingkat
spesies, genus atau familia menunjukkan proses evolusi yang terjadi sepanjang
sejarah hidupnya. Bagi tumbuhan, senyawa flavonoid berperan dalam pertahanan
diri terhadap hama, penyakit, herbivori, kompetisi, interaksi dengan mikrobia,
dormansi biji, pelindung terhadap radiasi sinar UV, molekul sinyal pada berbagai
jalur transduksi, serta molekul sinyal pada polinasi dan fertilitas jantan.

2.5 Katekin
Katekin adalah senyawa polifenol alami, merupakan metabolit sekunder
dan termasuk dalam penyusun golongan flavonoid (Harbone,1996). Katekin
merupakan senyawa fungsional dominan yang terdapat dalam gambir. Ekstrak
gambir juga mengandung asam catechu tanat dan quercetine (pewarna kuning).
Komponen utama gambir adalah katekin (asam katekin atau asam catechu) dan
asam katekin tannat (catechin anhydrid). Katekin bila mengalami pemanasan
cukup lama atau pemanasan dengan larutan bersifat basa dengan mudah akan
menjadi katekin tannat karena kondensasi sendiri dan menjadi mudah larut dalam
air dingin atau air panas (Hayani, 2003).
Bentuk sederhana penyusun catechin adalah catechol dengan struktur
aromatis.

Gambar 2.5 Struktur Katekin

6
Katekin biasanya disebut juga asam catechoat dengan rumus kimia
C15H14O6, tidak berwarna, dan dalam keadaan murni sedikit tidak larut dalam air
dingin tetapi sangat larut dalam air panas, larut dalam alkohol dan etil asetat,
hampir tidak larut dalam koloroform, benzen dan eter. Selain itu, Katekin
berbentuk kristal halus menyerupai jarum, larut dalam air mendidih dan alkohol
dingin. Katekin bersifat asam lemah (pKa1 = 7.72 dan pKa2 = 10.22) sukar larut
dalam air dan sangat tidak stabil diudara terbuka. Bersifat mudah teroksidasi pada
pH mendekati netral (pH 6,9) dan lebih stabil pada pH lebih rendah (2,8 dan 4,9).
Katekin juga mudah terurai oleh cahaya dengan laju reaksi lebih besar pada pH
rendah (3,45) dibandingkan pH 4,9 (Lucida, 2006). Katekin dalam larutan asam
asetat akan membentuk larutan yang bening, tetapi jika direaksikan dengan besi
klorida (FeCl3) akan membentuk cairan berwarna hijau. Katekin bersifat sebagai
antimikroba, memperkuat pembuluh darah, melancarkan air seni dan menghambat
pertumbuhan sel kanker (Wahluyo, 2007).

2.6 Metode
2.6.1 Skrinning Fitokimia
Skrinning fitokimia atau penapisan kimia adalah tahap awal untuk
mengidentifikasi kandungan kimia yang terkandung dalam tumbuhan,
karna pada tahap ini dapat diketahui golongan senyawa kimia yang
terkandung dalam suatu tumbuhan yang sedang diuji. Metode yang
digunakan dalam skrinning fitokimia harus memiliki persyaratan sebagai
berikut :
1. Metodenya sederhana dan cepat
2. Peralatan yang digunakan sesedikit mungkin
3. Selektif dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa tertentu
4. Dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan
senyawa tertentu dalam kelompok senyawa yang diteliti.
Golongan senyawa kimia dapat ditentukan dengan cara uji warna,
penentuan kelarutan, bilangan Rf, dan ciri spektrum UV. Namun, secara
umum penentuan golongan senyawa kimia dilakukan dengan cara uji

7
warna menggunakan pereaksi yang spesifik karena dirasakan lebih
sederhana (Harborne,1996).

2.6.2 Karakterisasi Simplisia


A. Kadar Abu
Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
(Depkes RI, 2000 : 17).
𝑊2−𝑊0
%Kadar Abu Total = 𝑥 100%
𝑊1

Keterangan :
W0 = bobot cawan kosong (gram)
W1 = bobot ekstrak awal (gram)
W2 = bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (gram)
Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur
dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap.
Sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik, yang memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal
dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Parameter kadar abu
ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak
(Depkes RI, 2000).
B. Kadar Sari
Penetapan senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (air dan etanol)
bertujuan untuk mengetahui jumlah senyawa yang tersari (terlarut)
dalam senyawa tertentu. Jumlah senyawa yang larut dalam pelarut
dari suatu simplisia biasanya spesifik. Penetapan penentuan dari
parameter ini dilakukan dengan melarutkan ekstrak dengan pelarut
etanol dan air untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan
jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu
dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain, misalnya heksana,
metanol, dan lain-lain. Penetapan ini didapatkan gambaran awal
jumlah kandungan senyawa dalam suatu ekstrak.
C. Susut pengeringan
Penetapan susut pengeringan adalah persentase senyawa yang
menghilang selama proses pemanasan (tidak hanya

8
menggambarkan air yang hilang, tetapi juga senyawa menguap lain
yang hilang). Pengukuran sisa zat dilakukan dengan pengeringan
pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan
dan dinyatakan dalam persen (metode gravimetri). Susut
pengeringan = (bobot awal - bobot akhir)/bobot awal x 100%.

2.6.3 Maserasi
Maserasi adalah salah satu jenis metoda ekstraksi dengan sistem
tanpa pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, jadi pada
metoda ini pelarut dan sampel tidak mengalami pemanasan sama sekali.
Sehingga maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dapat digunakan
untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas.Namun
biasanya maserasi digunakan untuk mengekstrak senyawa yang tidak tahan
panas (termolabil) atau senyawa yang belum diketahui sifatnya. Karena
metoda ini membutuhkan pelarut yang banyak dan waktu yang lama.
Secara sederhana, maserasi dapat kita sebut metoda “perendaman” karena
memang proses ekstraksi dilakukan dengan hanya merendam sample tanpa
mengalami proses lain kecuali pengocokan (bila diperlukan). Prinsip
penarikan (ekstraksi) senyawa dari sample adalah dengan adanya gerak
kinetik dari pelarut, dimana pelarut akan selalu bergerak pada suhu kamar
walaupun tanpa pengocokan. Namun untuk mempercepat proses biasanya
dilakukan pengocokan secara berkala.
Kelebihan maserasi yaitu dapat digunakan untuk jenis senyawa
tahan panas ataupun tidak tahan panas. Selain itu tidak diperlukan alat
yang spesifik, dapat digunakan apa saja untuk proses perendaman.
Sedangkan kekurangan maserasi membutuhkan waktu yang lama, biasanya
paling cepat 3x24jam, disamping itu membutuhkan pelarut dalam jumlah
yang banyak.

2.6.4 Kromatografi Cair Vakum


Kromatografi cair vakum adalah kromatografi kolom yang
dipercepat dan bekerja pada kondisi vakum, fase gerak digerakkan dengan
kondisi vakum sehingga prosesnya berlangsung cepat. Kolom

9
kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh
kerapatan maksimum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3,
sumbat karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta
wadah penampung fraksi. Walaupun KCV memerlukan jumlah sampel
yang lebih banyak dari pada kromatografi lapis tipis (KLT), KCV tetap
ekonomis dalam sisi biaya. Kromatografi cair vakum dapat digunakan
untuk fraksinasi dan memurnikan fraksi. Metode KCV digunakan karena
lebih efektif dan efisien dalam pemisahan dibandingkan kromatografi
kolom gravitasi

2.6.5 Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode
pemisahan komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan
bahan adsorben inert. KLT merupakan salah satu jenis kromatografi
analitik. KLT sering digunakan untuk identifikasi awal, karena banyak
keuntungan menggunakan KLT, di antaranya adalah sederhana dan murah.
KLT termasuk dalam kategori kromatografi planar, selain kromatografi
kertas. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan
bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat
digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya
hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan
dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen
untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari
kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi
senyawa murni skala kecil (Fessenden,2003).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan suatu teknik yang
sederhana yang banyak digunakan, metode ini menggunakan lempeng
kaca atau lembaran plastik yang ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan
kering. Untuk menotolkan larutan cuplikan pada lempeng kaca, pada
dasarnya menggunakan mikro pipet atau pipa kapiler. Setelah itu, bagian
bawah dari lempeng dicelup dalam larutan pengelusi di dalam wadah yang
tertutup. Pertimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (eluen)
umumnya sama dengan pemilihan eluen untuk kromatografi kolom.

10
Dalam kromatografi adsorpsi, pengelusi eluen naik sejalan dengan pelarut
(misalnya dari heksana ke aseton, ke alkohol, ke air). Eluen pengembang
dapat berupa pelarut tunggal dan campuran pelarut dengan susunan
tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai kemurnian yang
tinggi. Terdapatnya sejumlah air atau zat pengotor lainnya dapat
menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan. Prinsip KLT adalah
adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi adalah penyerapan pada pemukaan,
sedangkan partisi adalah penyebaran atau kemampuan suatu zat yang ada
dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan. Kecepatan
gerak senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung pada
(Soebagil,2002).
Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi)
yang diperoleh. Derajat retensi pada kromatografi lempeng biasanya
dinyatakan sebagai faktor resensi. Nilai Rf sangat karakterisitik untuk
senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang
mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah,
begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar.
Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga
menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara
0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi
kepolaran eluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).

2.6.6 Kromatografi Kolom


Fase diam yang digunakan pada kromatografi kolom adalah silika
gel, sedangkan fase geraknya digunakan fase gerak yang memberikan
pemisahan terbaik pada kromatografi kolom. Pelarut (fase gerak yang
digunakan) dimasukkan ke dalam kolom sampai hampir penuh dan
keadaan kran kolom tertutup. Setelah itu kecepatan aliran kolom diatur
dan bubur dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam kolom sampai
seluruh bubur masuk ke dalam kolom. Setelah bubur masuk, fase diam ini
dielusi hingga homogen. Sementara itu sampel dilarutkan dalam pelarut,
kemudian sampel dimasukkan dengan hati-hati melalui dinding kolom dan

11
aliran fase gerak diatur. Begitu sampel masuk ke dalam fase diam, fase
gerak ditambahkan secara kontinyu sampai terjadi pemisahan. Fraksi
ditampung pada botol penampung fraksi setiap kurang lebih 3 ml,
kemudian keseluruhan fraksi yang dihasilkan dilakukan KLT
penggabungan. Fraksi hasil KLT penggabungan yang mempunyai pola
pemisahan sama (harga Rf sama) digabungkan, kemudian diuapkan
dengan penguap putar vakum dan masing-masing kelompok fraksi yang
diperoleh diuji dengan pereaksi flavonoid.

2.6.7 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif (KLTP)


KLT Preparatif dapat digunkaan untuk memisahkan bahan dalam
jumlah gram, namun sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah
milligram (Kristanti, 2008). Seperti halnya KLT secara umum, KLT
Preparatif juga melibatkan fase diam dan fase gerak. Dimana fase diamnya
adalah sebuah plat dengan ukuran ketebalan bervariasi. Untuk jumlah
sampel 10-100 mg, dapat dipisahkan dengan mengunakan KLT Preparatif
dengan adsorben silika gel atau aluminium oksida, dengan ukuran 20x20
cm dan tebal 1 mm, jika tebalnya di dua kalikan, maka banyaknya sampel
yang dapat dipisahkan bertambah 50%, seperti halnya KLT biasa,
adsorben yang paling umum digunakan pada KLT Preparatif adalah silika
gel (Kristanti, 2008).
Sebelum ditotolkan pada plat KLT Preparatif, sampel dilarutkan
terlebih dahulu dalam sedikit pelarut. Pelarut yang baik adalah pelarut
yang mudah menguap, misalnya n-heksana, diklorometana atu etil asetat.
Karena jika pelarut yang digunakan tidak mudah menguap, maka akan
terjadi pelebaran pita. Konsentrasi sampel juga sebaiknya hanya 5-10%.
Sampel yang ditotolkan harus berbentuk pita yang sesempit mungkin
karena baik tidaknya pemisahan juga bergantung pada lebarnya pita
(Kristanti, 2008).
Setelah plat KLT Preparatif dielusi, pita yang kedudukannya telah
diketahui dikerok dari plat. Selanjutnya senyawa harus diekstraksi dari
adsorben dengan pelarut yang sesuai (5 ml pelarut untuk 1 gram adsorben).

12
Diupayakan untuk menggunakan pelarut yang paling nonpolar yang
mungkin. Harus diperhatikan bahwa makin lama senyawa kontak dengan
adsorben, maka makin besar kemungkinan senyawa tersebut mengalami
peruraian. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh disaring menggunakan
corong berkaca masir atau menggunakan membran.
Kelebihan dari penggunaan KLT Preparatif adalah biaya yang
digunakan murah dan memakai peralatan paling dasar. Sementara
kekurangannya antara lain : adanya kemungkinan senyawa yang diambil
dari plat adalah senyawa beracun, waktu yang diperlukan dalam proses
pemisahan cukup panjang ,adanya pencemar setelah proses ekstraksi
senyawa dari adsorben dan biasanya rendemen yang diperoleh berkurang
dari 40%-50% dari bahan awal (Kristanti, 2008).

2.6.8 Karakterisasi Golongan Senyawa Flavonoid


Karakterisasi golongan senyawa flavonoid dilakukan dengan
metode spektrofotometri UV-Vis.
a. Karakterisasi golongan senyawa flavonoid dengan
spektrofotometer UV-Vis. Pengukuran spektrum UV-Vis dilakukan
pada panjang gelombang 250-500 nm. Sebanyak 1 mg isolat
dilarutkan dalam 100 mL metanol (larutan persediaan), kemudian
diukur panjang gelombangnya. Selanjutnya untuk mengetahui
kedudukan gugus hidroksi pada inti flavanoid dilakukan dengan
menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan. Pereaksi
geser yang digunakan antara lain natrium hidroksida, natrium
asetat, natrium asetat dan asam borat, aluminium klorida,
aluminium klorida dan asam klorida. Tahapan keja penggunaan
pereaksi geser adalah sebagai berikut:
1. Setelah mengukur spektrum cuplikan dalam metanol,
ditambahkan 3 tetes NaOH ke dalam kuvet, dikocok hingga
bercampur. Kemudian diukur panjang gelombangnya. Setelah
diukur, cuplikan dibuang dan sel dicuci.
2. Pengukuran spektrum dengan pereaksi geser NaOAc dilakukan
dengan cara menambahkan serbuk NaOAc dalam kuvet yang

13
berisi larutan persediaan hingga terdapat kira-kira 2 nm lapisan
NaOAc pada dasar kuvet, lalu dikocok, kemudian diukur.
Pengukuran spektrum NaOAc + H3BO3 diukur setelah
ditambahkan serbuk H3BO3 pada larutan persediaan yang
kemudian dicampur/dikocok (banyaknya serbuk H3BO3 kira-
kira setengah dari NaOAc yang ditambahkan sebelumnya).
Setelah diukur, cuplikan dibuang dan sel dicuci.
3. Pengukuran spektrum dengan pereaksi geser AlCl3 dilakukan
dengan menambahkan enam tetes pereaksi geser AlCl3 ke
dalam larutan persediaan, kemudian diukur panjang
gelombangnya. Untuk spektrum dengan pereaksi geser AlCl3 +
HCl dilakukan dengan cara menambahkan tiga tetes HCl,
kemudian dicampur dan diukur. Akhirnya cuplikan dibuang dan
sel dicuci.

14
BAB III
TATA KERJA

3.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah chamber,mortar dan
stamper, gelas ukur 10 ml, gelas ukur 100 ml, beaker glass, spatel, pipet tetes,
kolom, statip, vial, botol 100 ml, pinset, plat KLT, pipa kapiler, alat KCV.

3.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji pinang (Areca catechu
L), n-Heksan, etil asetat, air, silika gel 60, silika gel 60H, metanol, aseton,
kloroform, butanol, asam asetat,eter, toluen, penampak bercak FeCl3

3.3 Metode Penelitian


3.3.1 Skrinning Fitokimia
a. Golongan Senyawa Alkaloid
Simplisia dibasakan dengan amonia kemudian digerus dalam
mortir, selanjutnya ditambah beberapa mL kloroform sambil terus
digerus. Lapisan kloroform diambil dan ditambah HCl 2N, lalu
dikocok kuat-kuat. Lapisan asam dipisahkan, kemudian dibagi
menjadi 3 bagian. Bagian pertama digunakan sebagai blanko.
Bagian kedua ditetesi dengan larutan pereaksi Mayer, kemudian
diamati ada atau tidaknya endapan berwarna putih atau terjadinya
kekeruhan. Bagian terakhir ditambahkan beberapa tetes larutan
pereaksi Dragendorff, kemudian diamati ada atau tidaknya endapan
berwarna jingga coklat.
b. Golongan Senyawa Flavonoid
Simplisia ditambahkan serbuk magnesium dan HCl 2N, dipanaskan
dan kemudian disaring dan dibiarkan dingin. Terhadap filtrat
ditambahkan amil alkohol dan dikocok kuat-kuat. Adanya
flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah yang dapat
ditarik oleh amil alkohol.
c. Golongan Senyawa Tanin dan Polifenol
Serbuk simplisia dipanaskan dengan air suling, kemudian disaring.
Setelah dingin, sebagian filtrat ditetesi larutan FeCl3, terbentuknya
warna biru-hitam menunjukan adanya senyawa polifenolat.

15
Selanjutnya diuji ulang dengan penambahan larutan gelatin 1%.
Adanya endapan berwarna putih menunjukan bahwa dalam
simplisia tersebut terdapat senyawa tanin.
d. Golongan Senyawa Monoterpenoid dan Seskuiterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian lapisan eternya
diambil dan diuapkan hingga kering. Pada residu ditetesi pereaksi
vanilin sulfat. Terbentuknya warna-warna menunjukan adanya
senyawa mono dan seskuiterpenoid.
e. Golongan Senyawa Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian lapisan eter
diuapkan. Pada residu ditetesi larutan pereaksi Liebermann
Burchard. Terbentuknya warna ungu menunjukan adanya senyawa
triterpenoid, sedangkan bila terbentuk warna hijau-biru
menunjukan adanya golongan senyawa steroid.
f. Golongan Senyawa Kuinon
Serbuk simplisia dipanaskan dengan air suling, kemudian disaring.
Setelah dingin, filtrat ditetesi larutan KOH 5%. Terbentuknya
warna kuning hingga merah menunjukan adanya golongan senyawa
kuinon dalam simplisia tersebut.
g. Golongan Senyawa Saponin
Serbuk simplisia dipanaskan dengan air, kemudian disaring.
Setelah dingin filtrat dikocok kuat-kuat selama + 30 detik.
Terbentuknya busa yang persisten selama beberapa menit
menunjukan adanya golongan senyawa saponin dalam simpisia
tersebut.

3.3.2 Karakterisasi Simplisia


a. Kadar Sari Larut Air
Simplisia ditimbang sebanyak 5 gram kemudian dimasukkan ke
dalam botol coklat lalu ditambahkan air 100 ml dan 4 tetes
kloroform. Selanjutnya dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama
dan dibiarkan selama 18 jam kemudian disaring. Filtrat yang
diperoleh lalu diuapkan 20 ml dalam cawan kosong yang telah

16
ditimbang sebelumnya. Lalu dipanaskan residu pada suhu 105˚C
sampai bobotnya konstan. Kemudian dihitung kadarnya dalam
persen sari larut air.
b. Kadar Sari Larut Etanol
Simplisia ditimbang sebanyak 5 gram kemudian dimasukkan ke
dalam botol coklat lalu ditambahkan air 100 ml etanol 95%.
Selanjutnya dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama dan
dibiarkan selama 18 jam kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh
lalu diuapkan 20 ml dalam cawan kosong yang telah ditimbang
sebelumnya. Lalu dipanaskan residu pada suhu 105˚C sampai
bobotnya konstan. Kemudian dihitung kadarnya dalam persen sari
larut etanol.

3.3.3 Ekstraksi Metode Maserasi


Simplisia biji pinang dihaluskan dengan blender (jangan terlalu
halus) lalu ditimbang sebanyak 500 gram dan dimasukan ke dalan dirigen.
Kemudian ditambahkan etanol 96% sebanyak 1,5 L lalu direndam selama
3x24 jam dimana pelarutnya diganti tiap 24 jam. Ekstrak cair yang
diperoleh diuapkan sampai menjadi ekstrak kental kemudin dilakukan KLT
(kromatografi lapis tipis).

3.3.4 Kromatografi Lapis Tipis


Ekstrak kental etanol ditotolkan pada plat silika dengan beberapa
variasi eluen yaitu satu pengembang, dua pengembang, dan tiga
pengembang dengan cara plat silika gel diberi tanda batas pada bagian atas
dan bawah masing masing 0,5 cm. Ekstrak kental diencerkan menggunakan
metanol, kemudian ditotolkan ekstrak pada plat KLT menggunakan pipa
kapiler, tunggu hingga mengering, kemudian dimasukkan ke dalam
chamber yang berisi eluen yang telah dijenuhkan terlebih dahulu
menggunakan kertas saring sebagai penanda bahwa eluen sudah jenuh,
tunggu hingga eluen mengelusi sampai mencapai garis batas atas, kemudian
diambil plat KLT dan keringkan. Lalu dilihat becak pada lampu UV 254 dan
366 nm. Dilakukan pengulangan dengan pelarut lain yang telah ditentukan.

17
Setelah hasil KLT didapat kemudian diamati eluen yang menunjukkan
pemisahan paling baik, untuk digunakan pada proses fraksinasi. Hasil KLT
disemprot dengan penampak bercak FeCl3 hingga terbentuk warna abu-abu
kehitaman.

3.3.5 Kromatografi Cair Vakum


Pada saat preparasi sampel, ekstrak ditimbang sebanyak 10 gram,
kemudian alat KCV disiapkan dan dirangkai. Silika gel 60H dimasukkan
kedalam beaker glass 500 ml sampai penuh dan dioven selama 30 menit
lalu dibuat bubur silika dengan menambahkan n-Heksana. Bubur silika
dimasukkan ke dalam kolom KCV lalu dielusi dengan n-Heksana sampai
memadat. Sampel ekstrak dimasukkan kedalam kolom KCV lalu dielusi
dengan campuran 2 pelarut n-Heksana dan etil asetat dengan perbandingan
0:20 – 20:0 dan dilakukan juga untuk campuran 2 pelarut etil asetat dan
metanol dengan perbandingan 100:0 – 0:100. Fraksi ditampung dalam botol
100 ml kemudian fraksi hasil KCV diuapkan sampai kering lalu ditimbang
bersama botolnya. Selanjutnya fraksi dilarutkan dengan 5 ml metanol lalu
tiap fraksi di KLT.

3.3.6 Kromatografi Kolom


Dirangkai alat kromatografi kolom. Terlebih dahulu dibuburkan
silica gel dengan menggunakan n-heksana diaduk hingga homogen lalu
dimasukkan kedalam kolom kromatografi. Kemudian dielusi menggunakan
n-heksana hingga silica gel padat dan homogen, fraksi hasil KCV dengan
perbandingan 90:10 yang telah di pekatkan dimasukkan kedalam kolom
kromatografi yang telah berisi bubur silika gel, lalu ditambahkan fase gerak
etil asetat : metanol (90 : 10) secara perlahan lahan dan diatur sehingga
aliran fasa yang keluar dari kolom sama banyaknya dengan penambahan
fase gerak dari atas. Fraksi ditampung tiap 5 ml dalam 30 vial.

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan suatu isolasi senyawa katekin dalam
simplisia biji pinang (Areca catechu L). Tujuannya yaitu untuk mengetahui kadar
atau banyaknya senyawa katekin di dalam biji pinang. Pada penelitian ini terlebih
dahulu dilakukan karakterisasi simplisia untuk mengetahui simplisia yang
digunakan memenuhi persyaratan dan dilanjutkan dengan skrinning fitokimia
untuk mengetahui ada tidaknya keberadaan katekin dan senyawa lain yang
terdapat dalam biji pinang.
Simplisia sebagai suatu bahan yang akan mengalami proses lanjutan atau
langsung dikonsumsi harus memiliki standarisasi. Hal ini penting sebagai acuan
segala sesuatu mengenai cara penggunaan simplisia, karena simplisia yang berasal
dari bahan alam biasanya memiliki keragaman, terutama dalam kandungan zat
aktifnya sehingga diperoleh mutu dan kualitas yang sama serta standar
penggunaan simplisia sangat diperlukan.

4.1 Hasil Karakterisasi Simplisia


Untuk pengujian karakterisasi simplisia dilakukan uji kadar sari larut air
dan kadar sari larut etanol. Uji kadar sari larut air dan etanol merupakan pengujian
untuk penetapan jumlah kandungan senyawa yang dapat terlarut dalam air (kadar
sari larut air) dan kandungan senyawa yang dapat terlarut dalam etanol (kadar sari
larut etanol). Metode penentuan kadar sari digunakan untuk menentukan jumlah
senyawa aktif yang terekstraksi atau terlarut dalam pelarut tertentu dari sejumlah
simplisia. Penentuan kadar sari juga dilakukan untuk melihat hasil dari ekstraksi,
sehingga dapat terlihat pelarut yang cocok untuk dapat mengekstraksi senyawa
tertentu. Pada penentuan kadar sari larut air dan etanol, simplisia dikocok selama
6 jam pertama dan kemudian didiamkan selama 18 jam hal ini bertujuan agar
senyawa yang ada pada simplisia dapat tertarik oleh pelarut tersebut.
Ketika penentuan kadar sari larut air, simplisia ditambahkan kloroform
terlebih dahulu, penambahan kloroform tersebut bertujuan sebagai zat
antimikroba atau sebagai pengawet. Karena apabila hanya air saja maka akan
ditumbuhi mikroba karena air merupakan media yang baik untuk pertumbuhan

19
mikroba sehingga dapat menurunkan mutu dan kualitas dari simplisia tersebut.
Sementara pada penentuan kadar sari larut etanol tidak ditambahkan kloroform,
karena etanol sudah memiliki sifat antibakteri jadi tidak perlu ditambahkan
kloroform. Hasil karakterisasi simplisia dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakterisasi Simplisia Biji Pinang
Pengujian Hasil Persyaratan MMI
Kadar sari larut air 1,4% >18 %
Kadar sari larut etanol 1,2% > 9,7%

Berdasarkan tabel di atas kadar sari larut etanol yang didapat lebih kecil
dibandingkan dengan kadar sari larut air. Hal ini dikarenakan kemungkinan
pengocokan yang kurang maksimal pada kadar sari larut etanol sehingga hasilnya
lebih kecil dari kadar sari larut air. Data kadar sari dalam pelarut tertentu biasanya
diperlukan untuk menentukan pelarut yang akan digunakan untuk mengekstraksi
senyawa tertentu agar senyawa yang diperoleh lebih banyak tertarik dari simplisia
yang akan diekstrak.

4.2 Skrinning Fitokimia


Penapisan fitokimia atau skrinning fitokimia dilakukan terhadap serbuk
simplisia untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terkandung
dalamsimplisia tersebut. Pengujian ini merupakan pengujian pendahuluan yang
biasa dilakukan sebelum dilakukan pengujian-pengujian lanjutan. Adanya
pengetahuan mengenai kandungan senyawa metabolit sekunder yang terkandung
didalam simplisia, akan memudahkan dalam identifikasi kemungkinan aktivitas
dari simplisia yang digunakan. Pengujian skrinning fitokimia dilakukan terhadap
simplisia biji pinang. Hasil skrinning fitokimia dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Skrining Fitokimia Simplisia Biji Pinang
Golongan senyawa Hasil
Alkaloid -
Flavonoid +
Tanin +
Monoterpen dan sesquiterpen +
Steroid dan triterpenoid +
Kuinon +

20
Saponin +
Keterangan : (+) = Terdeteksi
(-) = Tidak terdeteksi.
Berdasarkan data di atas penapisan fitokimia dari biji pinang (Areca
catechu L) memberikan hasil postif pada uji identifikasi flavonoid, steroid dan
triterpenoid, seskuiterpen dan monoterpen, tannin, kuinon, dan saponin.
Sedangkan untuk alkaloid hasilnya negatif. Diketahui bahwa katekin dari biji
pinang mengandung flavonoid. Perbedaan kandungan suatu senyawa simplisia
meliputi jenis maupun kadarnya. Pada penapisan fitokimia flavonoid, perubahan
warna yang terjadi menunjukkan warna kuning kemerahan. Pada uji identifikasi
flavonoid, penambahan amil alkohol untuk menarik aglikon dari senyawa
flavonoid, dimana sebelumnya flavonoid dihidrolisa dengan HCl menjadi glikon
dan aglikon. Penambahan serbuk Mg dan HCl pekat untuk mereduksi agar ikatan
gula pecah sehingga mudah ditarik oleh amil alkohol.

4.3 Ekstraksi Maserasi


Dilakukan ekstraksi dari simplisia biji pinang dengan cara dingin yaitu
maserasi dimana pelarut yang digunakan adalah etanol 96% sebanyak 1,5 L.
Proses maserasi dilakukan selama 3x24 jam dimana pelarut diganti tiap 24 jam
dan dikocok yang bertujuan agar metabolit sekunder yang terdapat dalam biji
pinang tidak rusak dan agar terjadi kontak langsung antara pelarut dengan
simplisia. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam
karena dengan perendaman simplisia akan terjadi pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga
metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik
dan ekstraksi senyawa akan sempurna karena dapat diarur lama perendaman yang
dilakukan. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektivitas
yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut
tersebut. Digunakannya etanol sebagai pelarut dikarenakan etanol merupakan
pelarut universal yang memungkinkan dapat menarik senyawa-senyawa yang
terdapat dalam simplisia biji pinang tersebut. Setelah dimaserasi, ekstrak etanol
yang diperoleh kemudian diuapkan dan dihitung rendemennya. Hasil rendemen
yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 4.3.

21
Tabel 4.3 Rendemen Ekstrak Biji Pinang
Simplisia Berat simplisia Berat ekstrak Rendemen %
Biji kedelai 500 gram 25,3601 gram 5,072%

Hasil dari rendemen tersebut cukup kecil yang menunjukkan kemungkinan


tidak banyak metabolit sekunder yang tertarik karena makin besar rendemen maka
metabolit sekunder yang tertarik semakin banyak dan sebaliknya.

4.4 Uji Pemantauan Kromatografi Lapis Tipis


KLT ini dilakukan dengan ditotolkannya ekstrak kental etanol 96% yang
didapat dari maserasi yang sebelumnya ekstrak kental etanol tersebut dilarutkan
terlebih dahulu dengan kurang lebih 5 ml metanol. Fase diam yang digunakan
adalah plat silika sedangkan fase gerak yang digunakan mula-mula eluen satu
pengembang kemudian dilanjutkan eluen dua pengembang dan eluen tiga
pengembang. Hasil KLT dengan eluen satu pengembang dapat dilihat pada
gambar-gambar berikut yang diamati di bawah lampu UV 254 dan 366.

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

22
(g) (h)

Gambar 4.4.1 (a) Aseton, (b) Metanol, (c) Eter, (d) Etil asetat, (e) N-heksan, (f)
Kloroform, (g) Toluen, (h) Butanol.
Kemudian dilanjutkan KLT dengan eluen dua pengembang. Berikut ini
adalah gambar-gambar hasil KLT dengan menggunakan eluen dua pengembang
yang diamati di bawah lampu UV 254.

(a) (b)

(c) (d)

23
(e) (f)

(g) (h) (i) (j)

Gambar 4.4.2 a) Kloroform : Aseton (1:1 ; 3:7 ; 7:3), (b) N-heksan : Metanol (1:1
; 3:7 ; 7:3), (c) N-heksan : Eter (1:1 ; 3:7 ; 7:3), (d) N-heksan : Butanol (1:1 ; 3:7 ;
7:3), (e) N-heksan : Etil Asetat (1:1 ; 3:7 ; 7:3), (f) N-heksan : Aseton (1:1 ; 3:7 ;
7:3), (g) Percobaan ke-2 N-heksan : Butanol (1:1 ; 3:7 ; 7:3), (h) Percobaan ke-2
Kloroform : Aseton (1:1), (i) Percobaan ke-2 N-heksan : Metanol (1:1), (j)
Percobaan ke-3 N-heksan : Butanol (1:1).
Dan yang terakhir eluen tiga pengembang. Pemilihan pengembang ini
berdasarkan tingkat kepolarannya untuk menyeleksi pengembang mana yang
cocok dalam menarik senyawa yang diinginkan pada ekstrak. Berikut ini adalah
hasil KLT dengan menggunakan eluen tiga pengembang.

24
(a) (b)

(b) (d)

(e) (f)

25
(g)
Gambar 4.3.3 (a) N-heksan : Aseton : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ; 7:3:1), (b) N-heksan :
Etil Asetat : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ; 7:3:1), (c) N-heksan : Metanol : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ;
7:3:1), (d) Kloroform : Metanol : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ; 7:3:1), (e) N-heksan :
Butanol : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ; 7:3:1), (f) Percobaan ke-2 N-heksan : Aseton : Air
(1:1:1 ; 3:7:1), (g) Percobaan ke-2 Kloroform : Metanol : Air (1:1:1 ; 3:7:1).
Dari berbagai hasil pengembangan KLT didapatkan spot noda yang kurang
baik dimana hasilnya terdapat tailing atau berekor pada spot. Adanya ekor atau
tailing pada spot dapat disebabkan karena penotolan sampel yang terlalu banyak.
Selain itu tailing juga dapat disebabkan oleh afinitas zat pada bahan penyerap
yang lebih besar dibandingkan dengan kemampuan fase gerak untuk membawa
zat-zat tersebut sehingga banyak bagian dari zat tersebut yang akan tertinggal di
fase diam. Namun, umumnya tailing dapat diatasi dengan cara melarutkan
kembali sampel ekstrak dengan asam atau dengan melaukan elusi secara bertahap
dengan fase gerak yang semakin polar (Sudarmadji, 2007).

4.5 Kromatografi Cair Vakum


Ekstrak kental yang telah diperoleh kemudian difraksinasi menggunakan
metode Kromatografi Cair Vakum (KCV) untuk memisahkan ekstrak kasar yang
mengandung senyawa metabolit sekunder menjadi fraksi-fraksi yang lebih
sederhana dengan menggunakan silika gel 60H sebagai adsorben. Pemisahan ini
memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan aliran fasa geraknya dibantu
dengan pompa vakum untuk memudahkan penarikan sehingga proses berlangsung

26
cepat. Fraksinasi dilakukan untuk memisahkan kandungan metabolit sekunder
berdasarkan sifat kepolarannya. Sebelum mengelusi sampel, dilakukan preparasi
kolom terlebih dahulu dengan melarutkan silika gel 60H menggunakan n-heksana
diaduk secara cepat. Hal ini merupakan salah satu langkah mengaktifkan silika gel
yang sebelumnya belum aktif. Kemudian silika langsung dituangkan kedalam
kolom kemudian dihisap pelarutnya dengan mesin vakum. N-heksana terus
ditambahkan seiring dengan penghisapannya hingga kolom memadat. Proses
penyiapan kolom yang dilakukan ini disebut dengan metode basah. Pada saat
silika gel dicampurkan dengan n-heksana terlihat bahwa kedua senyawa ini tidak
bercampur, hal ini dikarenakan n-heksana dan silika gel berbeda kepolarannya,
yaitu n-heksana merupakan non polar dan silika gel polar. Adapun KVC ini
merupakan pemisahan fraksi berdasarkan pelarutnya. Agar fraksi tertentu turun,
maka harus ditingkatkan kepolarannya dari non polar, semi polar sampai polar,
hal ini dikarenakan di dalam sampel itu terdapat senyawa yang berbeda
kepolarannya. Untuk meningkatkan kepolaran pelarut dilakukan perbandingan
campuran pelarut, pada mulanya pelarut non polar dicampur dengan pelarut semi
polar dengan perbandingan tertentu, dan sampai nanti pelarut semipolar dicampur
dengan pelarut polar dengan perbandingan tertentu. Sehubungan dengan hasil
KLT, eluen yang digunakan pada KCV ini adalah n-heksana : etil asetat dan etil
asetat : metanol dengan elusi gradien.
Sampel atau fraksi yang turun sesuai dengan kepolaran pelarut yang
digunakan. Bila pelarut yang digunakan adalah n-heksana (non polar) maka fraksi
yang akan turun adalah senyawa non polar, sedangkan senyawa polar tidak turun
karena tidak larut dengan pelarut n-heksana. Dari hasil KCV, ada 11 fraksi yang
ditampung dalam botol 100 ml untuk masing-masing pelarut yang digunakan.
Hasil rendemen yang diperoleh untuk masing-masing pelarut dengan berbagai
perbandingan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.5.1 Rendemen Dengan Pelarut N-heksan : Etil asetat
Perbandingan Berat awal (gram) Berat akhir (gram) Rendemen (%)
20:0 96,9269 37,3140 3,871
18:2 97,0163 97,3856 3,693
16:4 93,5929 93,9727 3,798
14:6 106,3266 106,8228 4,962
12:8 97,6591 98,3315 6,724

27
10:10 108,8595 109,5153 6,558
8:12 97,5831 97,9491 3,66
6:14 108,0632 108,5435 4,803
4:16 96,8979 97,4047 5,068
2:18 106,6548 106,9869 3,321
0:20 107,3481 107,9397 5,916

Tabel 4.5.2 Rendemen Dengan Pelarut Etil Asetat : Metanol


Perbandingan Berat awal (gram) Berat akhir (gram) Rendemen (%)
100:0 112,3036 112,8569 5,533
90:10 96,2091 96,5641 3,55
80:20 101,1245 101,4095 2,85
70:30 104,7552 105,7713 10,161
60:40 96,1352 96,5194 3,842
50:50 98,4899 98,6673 1,774
40:60 105,6098 107,7405 21,307
30:70 104,1296 106,9282 27,986
20:80 97,6023 98,6331 10,308
10:90 104,7112 106,0523 13,411
0:100 107,3426 108,8666 15,24

Fraksi-fraksi tersebut diuapkan dan dilarutkan dengan metanol yang


kemudian dilakukan kembali KLT dengan menggunakan eluen 3 pengembang
dimana eluen yang dipilih adalah n-heksana : aseton : air dengan perbandingan
3:7:1 karena eluen dengan perbandingan tersebut menghasilkan spot yang lebih
baik dari eluen yang lain. KLT 3 pengembang ini mencakup pada kepolaran eluen
yang akan digunakan dari non polar, semi polar dan polar sehingga akan diketahui
kemurnian dari isolat tersebut. Jika kemurniannya rendah nantinya akan ada
senyawa lain yang akan naik atau terbawa oleh fase gerak dari masing-masing
fase gerak tersebut.

(a)

28
(b)
Gambar 4.5.1 Kromatografi Lapis Tipis Terhadap Seluruh Fraksi KCV Pada UV
254 nm dan 366 nm: (a) N-heksana : Aseton : Air (3:7:1), (b) Kloroform :
Metanol : Air (3:7:1).

Gambar 4.5.2 Kromatografi Lapis Tipis Terhadap Tiga Fraksi KCV Dengan
Pengembang N-heksana : Aseton : Air (3:7:1) Pada Fraksi 100:0 ; 90:10 ; 80:20
dibawah lampu UV 254 dan 366 nm.

4.6 Kromatografi Kolom


Dari 22 fraksi hasil KCV dipilih fraksi dengan perbandingan 90:10 untuk
subfraksinasi dengan cara kromatografi kolom gravitasi menggunakan eluen etil
asetat : metanol (90:10). Fraksi ditampung tiap 5 ml dalam vial kecil sebanyak 30
vial.
Tabel 4.6.1 Hasil Rendemen Subfraksinasi Kromatografi Kolom
Berat Vial Kosong Berat Vial + Fraksi
Vial ke- Rendemen (%)
(gram) (gram)
1 14,4697 14,5997 381,23
2 14,4357 14,5560 352,78

29
3 14,2903 14,4410 441,93
4 12,4368 12,5713 101,17
5 13,9134 13,9376 70,96
6 11,9051 11,9341 85,04
7 14,1525 14,1633 31,67
8 14,4349 14,4798 133,43
9 13,3099 13,3387 84,45
10 11,7492 11,7905 121,11
11 14,2135 14,2565 126,09
12 14,3202 14,4032 243,40
13 11,9703 12,0113 120,23
14 13,7170 13,7739 116,86
15 11,7337 11,7800 135,77
16 12,7317 12,7793 139,58
17 11,8427 11,9408 287,68
18 12,6217 12,6724 148,68
19 11,7344 11,8519 344,57
20 13,9704 14,0227 153,37
21 14,3852 14,4320 137,24
22 14,0655 14,1694 304,69
23 14,4084 14,5346 370,08
24 11,8925 11,9327 117,88
25 11,6987 11,7932 227,12
26 11,3139 11,3380 70,67
27 12,2096 12,2479 112,31
28 15,0596 15,0869 80,05
29 12,3373 12,3870 145,47
30 11,7976 11,8394 122,58

(a) (b)
Gambar 4.6.1 Kromatografi Lapis Tipis Terhadap Seluruh Subfraksi
Kromatografi Kolom Dengan Pengembang N-heksana : Aseton : Air (3:7:1) Pada
Lampu UV 254 nm. (a) Fraksi 1-15, (b) Fraksi 16-30.
Setelah dilakukan KLT kembali, dari 30 vial tersebut dipilih fraksi nomor
3, 4, dan 5 karena hasil KLT untuk ketiga fraksi tersebut menunjukkan adanya

30
spot walaupun spot yang diperoleh tidak terlalu bagus. Selanjutnya ketiga fraksi
tersebut di KLT terus menerus dengan 3 pengembang yang sesuai sampai
diperoleh pemisahan yang diinginkan dimana harus terbentuk spot tunggal tanpa
adanya tailing. Berikut ini adalah hasil KLT dari ketiga fraksi terpilih dengan
menggunakan berbagai macam eluen tiga pengembang yang sesuai.

(a) (b)

(c) (d) (e) (f)

31
(g) (h)

Gambar 4.6.3 Kromatografi Lapis Tipis Terhadap Tiga Subfraksi Kromatografi


Kolom di UV 254; (a) N-heksan : Aseton : Air (3:7:1; 5:5:1; 6:4:1; 7:3:1), (b) N-
heksan : Aseton : Air (3:7:1 + 1 tetes asam asetat), (c) N-heksan : Etil Asetat : Air
(3:7:1), (d) N-heksan : Etil Asetat : Air (3:7:1) yang telah disemprot dengan
penampak bercak FeCl3, (e) Metanol : Aseton : Air (3:7:1), (f) Metanol : Aseton :
Air (3:7:1) yang telah disemprot dengan penampak bercak FeCl3, (g) Percobaan
ke-2 Metanol : Aseton : Air (3:7:1), (h) Percobaan ke-2 Metanol : Aseton : Air
(3:7:1) yang telah disemprot dengan penampak bercak FeCl3.

(a) (b) (c) (d)

32
(e)
Gambar 4.6.5 Kromatografi Lapis Tipis Dengan Berbagai Eluen Tiga
Pengembang Pada UV 254; (a) Metanol : Aseton : Air (2:7:1 ; 2:8:1 ; 4:6:1), (b)
Kloroform : Aseton : Air (3:7:1), (c) Kloroform : Etil Asetat : Air (3:7:1), (d) N-
heksan : Aseton : Air (3:7:1), (e) Kloroform : Etil Asetat : Metanol (1:1:1).
Berdasarkan dari beberapa hasil setelah dilakukan KLT dengan mencoba
berbagai eluen 3 pengembang dan berbagai perbandingan hasil yang diperoleh
tidak menunjukkan adanya spot tunggal justru terdapat beberapa hasil yang
semakin buruk dengan adanya tailing disetiap spot. Hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan dalam fraksi tersebut masih banyak pengotor sehingga harus
dilakukan pemisahan lanjutan. Tetapi, karena keterbatasan waktu proses isolasi
senyawa katekin ini hanya dilakukan sampai KLT dan tidak dapat dilanjutkan
sehingga belum diperoleh katekin murni.

33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa belum diperolehnya
senyawa katekin murni dan spesifik dari simplisia biji pinang (Areca catechu L)
karena diperkirakan masih terdapat banyak pengotor. Hal ini dapat dilihat dari
adanya tailing pada setiap spot saat dilakukan KLT.

5.2 Saran
Pada saat isolasi senyawa katekin ini, setiap tahap dan prosesnya harus
dilakukan secara benar dan sangat teliti juga perlu dilakukan pemisahan lanjutan
agar diperoleh katekin murni yang terbebas dari pengotornya.

34
DAFTAR PUSTAKA

Arisandi Y. 2008. “Khasiat Tanaman Obat”.Jakarta: Pustaka Buku Merah.


Dalimartha, S. 2009. “Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 4”. Jakarta : Puspa
Swara. pp. iv
Departemen Kesehatan RI. 1989. “Materia Medika Indonesia Jilid II (MMI-II)”.
Jakarta: Penerbit Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan.
Fessenden R.J dan J.S Fessenden.2003.”Dasar-Dasar Kimia Organik”.Jakarta:
Erlangga
Gandjar, I. G. & Rohman, A.2007.“Kimia Farmasi Analisis”. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,
Harborne.1996. “Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan Terbitan Kedua”. Terjemahan K. Padmawinata dan I. Soediro.
Bandung : ITB
Hayani, E. 2003. “Analisis Kadar Catechin dari Gambir Dengan Berbagai
Metode”. Buletin Teknik Pertanian. 8 (1), 31-33.Hegar, B. 2007.
Lucida, H. 2006. “Determintion of The Ionization Constants and The Stability of
Catechin From Gambir (Uncaria gambir Roxb).”ASOPMS 12
International Coference. Padang
Robinson,T.1995.“Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi Edisi
VI”.Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB.
Septiatin, A. 2008. “Apotik Hidup dan Rempah-Rempah, Tanaman Hias, dan
Tanaman Liar”. Bandung: Yrama Widya.
Soebagio. 2002. “Kimia Analitik II”. Malang: Universitas Negeri Malang.
Sudarmadji,S. 2007. “Analisa Bahan Makanan dan Pertanian”. Yogyakarta :
Penerbit Liberty
Waluyo, L,. 2007. “Mikrobiologi Umum”.Malang: UPT Penerbita UMM.

35
LAMPIRAN

(a) (b) (c)

(d) (e) (f)

(g) (h)
Gambar hasil skrinning fitokimia pada biji pinang (Areca catechu L); (a)
Triterpenoid & Steroid (+), (b) Monoterpene & Seskuiterpen (+), (c) Alkaloid (-),
(d) Saponin (+), (e) Kuinon (+), (f) Tanin (+), (g) Kadar sari larut etanol, (h)
Kadar sari larut Air.

36

Anda mungkin juga menyukai