PENDAHULUAN
1
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, identifikasi masalah yang dapat
dirumuskan adalah berapa kadar katekin yang terkandung di dalam biji pinang
(Areca catechu L)?
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.1.1 Klasifikasi Tanaman Pinang
Nama ilmiah tanaman pinang atau nama latin tanaman pinang
adalah Areca catechu L. Klasifikasi tumbuhan pinang adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Viridiplantae
Infra Kingdom: Streptophyta
Super Divisi : Embryophyta
Divisi : Tracheophyta
Sub Divisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Super Ordo : Lilianae
Ordo : Arecales
Famili : Aracaceae
Genus : Areca L
Spesies : Areca catehu L
4
2.3 Khasiat dan Manfaat
Menurut Marshall dalam Sullivan (2000) biji pinang banyak digunakan
manusia sebagai penenang dan ada diurutan ke empat setelah nikotin, ethanol dan
kafein dan biji pinang banyak dimakan oleh berjuta-juta orang antara Pantai
Timur Benua Afrika dan Pasifik Barat. Di Indonesia biji pinang digunakan juga
dalam dunia pengobatan yaitu mengobati penyakit seperti cacingan, perut
kembung, luka, batuk berdahak, diare, kudis, koreng, terlambat haid, keputihan,
beri-beri, malaria, difteri, tidak nafsu makan, sembelit, sakit pinggang, gigi dan
gusi (Arisandi, 2008).
Secara empiris biji pinang dapat mengatasi berbagai jenis penyakit.
Berbagai menfaat yang dapat diperoleh dari pemanfaatan biji pinang adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai kebutuhan pokok, sumber energi dan untuk upacara adat,
2. Sebagai pengganti rokok, mengatur pencernaan dan mencegah ngantuk,
3. Sebagai bahan kosmetik dan pelangsing.
4. Sebagai bahan baku obat.
5. Sebagai antidepresi.
Selain biji pinang yang dapat dimanfaatkan, penggunaan paling populer
adalah kegiatan menyirih yaitu dengan bahan campuran buah pinang, daun sirih
dan kapur. Pinang atau jambe adalah salah satu kelengkapan dalam menyirih
dikalangan orang-orang tua. Kegemaran makan buah pinang tua, baik yang
dicampur dengan ramuan daun sirih, gambir, cengkeh, maupun kapur, bukan lagi
pemandangan yang langka melainkan sudah menjadi tradisi dari dulu hingga
sekarang oleh laki-laki dan perempuan. Masyarakat yang rutin makan sirih setiap
hari mengaku kesehatan giginya terjamin dan terhindar dari penyakit gigi. Melihat
dari manfaat buah pinang untuk bahan baku industri farmasi, kosmetika dan bahan
pewarna tekstil, kiranya terdapat pula khasiat lain dari buah pinang muda
(Arisandi, 2008).
2.4 Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang
umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Senyawa flavanoid merupakan suatu
5
kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-
senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan biru serta sebagai zat warna
kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Flavanoid mempunyai
kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin
benzene (C6) terikat pada suatu rantai propane (C3) sehingga membentuk suatu
susunan C6-C3-C6.
Pada tumbuhan tinggi, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetativ
maupun dalam bunga. Senyawa ini berperan penting dalam menentukan warna,
rasa, bau, serta kualitas nutrisi makanan. Tumbuhan umumnya hanya
menghasilkan senyawa flavonoid tertentu. Keberadaan flavonoid pada tingkat
spesies, genus atau familia menunjukkan proses evolusi yang terjadi sepanjang
sejarah hidupnya. Bagi tumbuhan, senyawa flavonoid berperan dalam pertahanan
diri terhadap hama, penyakit, herbivori, kompetisi, interaksi dengan mikrobia,
dormansi biji, pelindung terhadap radiasi sinar UV, molekul sinyal pada berbagai
jalur transduksi, serta molekul sinyal pada polinasi dan fertilitas jantan.
2.5 Katekin
Katekin adalah senyawa polifenol alami, merupakan metabolit sekunder
dan termasuk dalam penyusun golongan flavonoid (Harbone,1996). Katekin
merupakan senyawa fungsional dominan yang terdapat dalam gambir. Ekstrak
gambir juga mengandung asam catechu tanat dan quercetine (pewarna kuning).
Komponen utama gambir adalah katekin (asam katekin atau asam catechu) dan
asam katekin tannat (catechin anhydrid). Katekin bila mengalami pemanasan
cukup lama atau pemanasan dengan larutan bersifat basa dengan mudah akan
menjadi katekin tannat karena kondensasi sendiri dan menjadi mudah larut dalam
air dingin atau air panas (Hayani, 2003).
Bentuk sederhana penyusun catechin adalah catechol dengan struktur
aromatis.
6
Katekin biasanya disebut juga asam catechoat dengan rumus kimia
C15H14O6, tidak berwarna, dan dalam keadaan murni sedikit tidak larut dalam air
dingin tetapi sangat larut dalam air panas, larut dalam alkohol dan etil asetat,
hampir tidak larut dalam koloroform, benzen dan eter. Selain itu, Katekin
berbentuk kristal halus menyerupai jarum, larut dalam air mendidih dan alkohol
dingin. Katekin bersifat asam lemah (pKa1 = 7.72 dan pKa2 = 10.22) sukar larut
dalam air dan sangat tidak stabil diudara terbuka. Bersifat mudah teroksidasi pada
pH mendekati netral (pH 6,9) dan lebih stabil pada pH lebih rendah (2,8 dan 4,9).
Katekin juga mudah terurai oleh cahaya dengan laju reaksi lebih besar pada pH
rendah (3,45) dibandingkan pH 4,9 (Lucida, 2006). Katekin dalam larutan asam
asetat akan membentuk larutan yang bening, tetapi jika direaksikan dengan besi
klorida (FeCl3) akan membentuk cairan berwarna hijau. Katekin bersifat sebagai
antimikroba, memperkuat pembuluh darah, melancarkan air seni dan menghambat
pertumbuhan sel kanker (Wahluyo, 2007).
2.6 Metode
2.6.1 Skrinning Fitokimia
Skrinning fitokimia atau penapisan kimia adalah tahap awal untuk
mengidentifikasi kandungan kimia yang terkandung dalam tumbuhan,
karna pada tahap ini dapat diketahui golongan senyawa kimia yang
terkandung dalam suatu tumbuhan yang sedang diuji. Metode yang
digunakan dalam skrinning fitokimia harus memiliki persyaratan sebagai
berikut :
1. Metodenya sederhana dan cepat
2. Peralatan yang digunakan sesedikit mungkin
3. Selektif dalam mengidentifikasi senyawa-senyawa tertentu
4. Dapat memberikan informasi tambahan mengenai keberadaan
senyawa tertentu dalam kelompok senyawa yang diteliti.
Golongan senyawa kimia dapat ditentukan dengan cara uji warna,
penentuan kelarutan, bilangan Rf, dan ciri spektrum UV. Namun, secara
umum penentuan golongan senyawa kimia dilakukan dengan cara uji
7
warna menggunakan pereaksi yang spesifik karena dirasakan lebih
sederhana (Harborne,1996).
Keterangan :
W0 = bobot cawan kosong (gram)
W1 = bobot ekstrak awal (gram)
W2 = bobot cawan + ekstrak setelah diabukan (gram)
Parameter kadar abu adalah bahan dipanaskan pada temperatur
dimana senyawa organik dan turunannya terdestruksi dan menguap.
Sehingga tinggal unsur mineral dan anorganik, yang memberikan
gambaran kandungan mineral internal dan eksternal yang berasal
dari proses awal sampai terbentuknya ekstrak. Parameter kadar abu
ini terkait dengan kemurnian dan kontaminasi suatu ekstrak
(Depkes RI, 2000).
B. Kadar Sari
Penetapan senyawa terlarut dalam pelarut tertentu (air dan etanol)
bertujuan untuk mengetahui jumlah senyawa yang tersari (terlarut)
dalam senyawa tertentu. Jumlah senyawa yang larut dalam pelarut
dari suatu simplisia biasanya spesifik. Penetapan penentuan dari
parameter ini dilakukan dengan melarutkan ekstrak dengan pelarut
etanol dan air untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan
jumlah senyawa kandungan secara gravimetrik. Dalam hal tertentu
dapat diukur senyawa terlarut dalam pelarut lain, misalnya heksana,
metanol, dan lain-lain. Penetapan ini didapatkan gambaran awal
jumlah kandungan senyawa dalam suatu ekstrak.
C. Susut pengeringan
Penetapan susut pengeringan adalah persentase senyawa yang
menghilang selama proses pemanasan (tidak hanya
8
menggambarkan air yang hilang, tetapi juga senyawa menguap lain
yang hilang). Pengukuran sisa zat dilakukan dengan pengeringan
pada temperatur 105°C selama 30 menit atau sampai berat konstan
dan dinyatakan dalam persen (metode gravimetri). Susut
pengeringan = (bobot awal - bobot akhir)/bobot awal x 100%.
2.6.3 Maserasi
Maserasi adalah salah satu jenis metoda ekstraksi dengan sistem
tanpa pemanasan atau dikenal dengan istilah ekstraksi dingin, jadi pada
metoda ini pelarut dan sampel tidak mengalami pemanasan sama sekali.
Sehingga maserasi merupakan teknik ekstraksi yang dapat digunakan
untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas.Namun
biasanya maserasi digunakan untuk mengekstrak senyawa yang tidak tahan
panas (termolabil) atau senyawa yang belum diketahui sifatnya. Karena
metoda ini membutuhkan pelarut yang banyak dan waktu yang lama.
Secara sederhana, maserasi dapat kita sebut metoda “perendaman” karena
memang proses ekstraksi dilakukan dengan hanya merendam sample tanpa
mengalami proses lain kecuali pengocokan (bila diperlukan). Prinsip
penarikan (ekstraksi) senyawa dari sample adalah dengan adanya gerak
kinetik dari pelarut, dimana pelarut akan selalu bergerak pada suhu kamar
walaupun tanpa pengocokan. Namun untuk mempercepat proses biasanya
dilakukan pengocokan secara berkala.
Kelebihan maserasi yaitu dapat digunakan untuk jenis senyawa
tahan panas ataupun tidak tahan panas. Selain itu tidak diperlukan alat
yang spesifik, dapat digunakan apa saja untuk proses perendaman.
Sedangkan kekurangan maserasi membutuhkan waktu yang lama, biasanya
paling cepat 3x24jam, disamping itu membutuhkan pelarut dalam jumlah
yang banyak.
9
kromatografi dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh
kerapatan maksimum. Alat yang digunakan terdiri dari corong G-3,
sumbat karet, pengisap yang dihubungkan dengan pompa vakum serta
wadah penampung fraksi. Walaupun KCV memerlukan jumlah sampel
yang lebih banyak dari pada kromatografi lapis tipis (KLT), KCV tetap
ekonomis dalam sisi biaya. Kromatografi cair vakum dapat digunakan
untuk fraksinasi dan memurnikan fraksi. Metode KCV digunakan karena
lebih efektif dan efisien dalam pemisahan dibandingkan kromatografi
kolom gravitasi
10
Dalam kromatografi adsorpsi, pengelusi eluen naik sejalan dengan pelarut
(misalnya dari heksana ke aseton, ke alkohol, ke air). Eluen pengembang
dapat berupa pelarut tunggal dan campuran pelarut dengan susunan
tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai kemurnian yang
tinggi. Terdapatnya sejumlah air atau zat pengotor lainnya dapat
menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan. Prinsip KLT adalah
adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi adalah penyerapan pada pemukaan,
sedangkan partisi adalah penyebaran atau kemampuan suatu zat yang ada
dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan. Kecepatan
gerak senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung pada
(Soebagil,2002).
Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi)
yang diperoleh. Derajat retensi pada kromatografi lempeng biasanya
dinyatakan sebagai faktor resensi. Nilai Rf sangat karakterisitik untuk
senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang
mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah,
begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar.
Senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga
menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara
0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi
kepolaran eluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).
11
aliran fase gerak diatur. Begitu sampel masuk ke dalam fase diam, fase
gerak ditambahkan secara kontinyu sampai terjadi pemisahan. Fraksi
ditampung pada botol penampung fraksi setiap kurang lebih 3 ml,
kemudian keseluruhan fraksi yang dihasilkan dilakukan KLT
penggabungan. Fraksi hasil KLT penggabungan yang mempunyai pola
pemisahan sama (harga Rf sama) digabungkan, kemudian diuapkan
dengan penguap putar vakum dan masing-masing kelompok fraksi yang
diperoleh diuji dengan pereaksi flavonoid.
12
Diupayakan untuk menggunakan pelarut yang paling nonpolar yang
mungkin. Harus diperhatikan bahwa makin lama senyawa kontak dengan
adsorben, maka makin besar kemungkinan senyawa tersebut mengalami
peruraian. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh disaring menggunakan
corong berkaca masir atau menggunakan membran.
Kelebihan dari penggunaan KLT Preparatif adalah biaya yang
digunakan murah dan memakai peralatan paling dasar. Sementara
kekurangannya antara lain : adanya kemungkinan senyawa yang diambil
dari plat adalah senyawa beracun, waktu yang diperlukan dalam proses
pemisahan cukup panjang ,adanya pencemar setelah proses ekstraksi
senyawa dari adsorben dan biasanya rendemen yang diperoleh berkurang
dari 40%-50% dari bahan awal (Kristanti, 2008).
13
berisi larutan persediaan hingga terdapat kira-kira 2 nm lapisan
NaOAc pada dasar kuvet, lalu dikocok, kemudian diukur.
Pengukuran spektrum NaOAc + H3BO3 diukur setelah
ditambahkan serbuk H3BO3 pada larutan persediaan yang
kemudian dicampur/dikocok (banyaknya serbuk H3BO3 kira-
kira setengah dari NaOAc yang ditambahkan sebelumnya).
Setelah diukur, cuplikan dibuang dan sel dicuci.
3. Pengukuran spektrum dengan pereaksi geser AlCl3 dilakukan
dengan menambahkan enam tetes pereaksi geser AlCl3 ke
dalam larutan persediaan, kemudian diukur panjang
gelombangnya. Untuk spektrum dengan pereaksi geser AlCl3 +
HCl dilakukan dengan cara menambahkan tiga tetes HCl,
kemudian dicampur dan diukur. Akhirnya cuplikan dibuang dan
sel dicuci.
14
BAB III
TATA KERJA
3.1 Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah chamber,mortar dan
stamper, gelas ukur 10 ml, gelas ukur 100 ml, beaker glass, spatel, pipet tetes,
kolom, statip, vial, botol 100 ml, pinset, plat KLT, pipa kapiler, alat KCV.
3.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji pinang (Areca catechu
L), n-Heksan, etil asetat, air, silika gel 60, silika gel 60H, metanol, aseton,
kloroform, butanol, asam asetat,eter, toluen, penampak bercak FeCl3
15
Selanjutnya diuji ulang dengan penambahan larutan gelatin 1%.
Adanya endapan berwarna putih menunjukan bahwa dalam
simplisia tersebut terdapat senyawa tanin.
d. Golongan Senyawa Monoterpenoid dan Seskuiterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian lapisan eternya
diambil dan diuapkan hingga kering. Pada residu ditetesi pereaksi
vanilin sulfat. Terbentuknya warna-warna menunjukan adanya
senyawa mono dan seskuiterpenoid.
e. Golongan Senyawa Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian lapisan eter
diuapkan. Pada residu ditetesi larutan pereaksi Liebermann
Burchard. Terbentuknya warna ungu menunjukan adanya senyawa
triterpenoid, sedangkan bila terbentuk warna hijau-biru
menunjukan adanya golongan senyawa steroid.
f. Golongan Senyawa Kuinon
Serbuk simplisia dipanaskan dengan air suling, kemudian disaring.
Setelah dingin, filtrat ditetesi larutan KOH 5%. Terbentuknya
warna kuning hingga merah menunjukan adanya golongan senyawa
kuinon dalam simplisia tersebut.
g. Golongan Senyawa Saponin
Serbuk simplisia dipanaskan dengan air, kemudian disaring.
Setelah dingin filtrat dikocok kuat-kuat selama + 30 detik.
Terbentuknya busa yang persisten selama beberapa menit
menunjukan adanya golongan senyawa saponin dalam simpisia
tersebut.
16
ditimbang sebelumnya. Lalu dipanaskan residu pada suhu 105˚C
sampai bobotnya konstan. Kemudian dihitung kadarnya dalam
persen sari larut air.
b. Kadar Sari Larut Etanol
Simplisia ditimbang sebanyak 5 gram kemudian dimasukkan ke
dalam botol coklat lalu ditambahkan air 100 ml etanol 95%.
Selanjutnya dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama dan
dibiarkan selama 18 jam kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh
lalu diuapkan 20 ml dalam cawan kosong yang telah ditimbang
sebelumnya. Lalu dipanaskan residu pada suhu 105˚C sampai
bobotnya konstan. Kemudian dihitung kadarnya dalam persen sari
larut etanol.
17
Setelah hasil KLT didapat kemudian diamati eluen yang menunjukkan
pemisahan paling baik, untuk digunakan pada proses fraksinasi. Hasil KLT
disemprot dengan penampak bercak FeCl3 hingga terbentuk warna abu-abu
kehitaman.
18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada penelitian ini dilakukan suatu isolasi senyawa katekin dalam
simplisia biji pinang (Areca catechu L). Tujuannya yaitu untuk mengetahui kadar
atau banyaknya senyawa katekin di dalam biji pinang. Pada penelitian ini terlebih
dahulu dilakukan karakterisasi simplisia untuk mengetahui simplisia yang
digunakan memenuhi persyaratan dan dilanjutkan dengan skrinning fitokimia
untuk mengetahui ada tidaknya keberadaan katekin dan senyawa lain yang
terdapat dalam biji pinang.
Simplisia sebagai suatu bahan yang akan mengalami proses lanjutan atau
langsung dikonsumsi harus memiliki standarisasi. Hal ini penting sebagai acuan
segala sesuatu mengenai cara penggunaan simplisia, karena simplisia yang berasal
dari bahan alam biasanya memiliki keragaman, terutama dalam kandungan zat
aktifnya sehingga diperoleh mutu dan kualitas yang sama serta standar
penggunaan simplisia sangat diperlukan.
19
mikroba sehingga dapat menurunkan mutu dan kualitas dari simplisia tersebut.
Sementara pada penentuan kadar sari larut etanol tidak ditambahkan kloroform,
karena etanol sudah memiliki sifat antibakteri jadi tidak perlu ditambahkan
kloroform. Hasil karakterisasi simplisia dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakterisasi Simplisia Biji Pinang
Pengujian Hasil Persyaratan MMI
Kadar sari larut air 1,4% >18 %
Kadar sari larut etanol 1,2% > 9,7%
Berdasarkan tabel di atas kadar sari larut etanol yang didapat lebih kecil
dibandingkan dengan kadar sari larut air. Hal ini dikarenakan kemungkinan
pengocokan yang kurang maksimal pada kadar sari larut etanol sehingga hasilnya
lebih kecil dari kadar sari larut air. Data kadar sari dalam pelarut tertentu biasanya
diperlukan untuk menentukan pelarut yang akan digunakan untuk mengekstraksi
senyawa tertentu agar senyawa yang diperoleh lebih banyak tertarik dari simplisia
yang akan diekstrak.
20
Saponin +
Keterangan : (+) = Terdeteksi
(-) = Tidak terdeteksi.
Berdasarkan data di atas penapisan fitokimia dari biji pinang (Areca
catechu L) memberikan hasil postif pada uji identifikasi flavonoid, steroid dan
triterpenoid, seskuiterpen dan monoterpen, tannin, kuinon, dan saponin.
Sedangkan untuk alkaloid hasilnya negatif. Diketahui bahwa katekin dari biji
pinang mengandung flavonoid. Perbedaan kandungan suatu senyawa simplisia
meliputi jenis maupun kadarnya. Pada penapisan fitokimia flavonoid, perubahan
warna yang terjadi menunjukkan warna kuning kemerahan. Pada uji identifikasi
flavonoid, penambahan amil alkohol untuk menarik aglikon dari senyawa
flavonoid, dimana sebelumnya flavonoid dihidrolisa dengan HCl menjadi glikon
dan aglikon. Penambahan serbuk Mg dan HCl pekat untuk mereduksi agar ikatan
gula pecah sehingga mudah ditarik oleh amil alkohol.
21
Tabel 4.3 Rendemen Ekstrak Biji Pinang
Simplisia Berat simplisia Berat ekstrak Rendemen %
Biji kedelai 500 gram 25,3601 gram 5,072%
22
(g) (h)
Gambar 4.4.1 (a) Aseton, (b) Metanol, (c) Eter, (d) Etil asetat, (e) N-heksan, (f)
Kloroform, (g) Toluen, (h) Butanol.
Kemudian dilanjutkan KLT dengan eluen dua pengembang. Berikut ini
adalah gambar-gambar hasil KLT dengan menggunakan eluen dua pengembang
yang diamati di bawah lampu UV 254.
(a) (b)
(c) (d)
23
(e) (f)
Gambar 4.4.2 a) Kloroform : Aseton (1:1 ; 3:7 ; 7:3), (b) N-heksan : Metanol (1:1
; 3:7 ; 7:3), (c) N-heksan : Eter (1:1 ; 3:7 ; 7:3), (d) N-heksan : Butanol (1:1 ; 3:7 ;
7:3), (e) N-heksan : Etil Asetat (1:1 ; 3:7 ; 7:3), (f) N-heksan : Aseton (1:1 ; 3:7 ;
7:3), (g) Percobaan ke-2 N-heksan : Butanol (1:1 ; 3:7 ; 7:3), (h) Percobaan ke-2
Kloroform : Aseton (1:1), (i) Percobaan ke-2 N-heksan : Metanol (1:1), (j)
Percobaan ke-3 N-heksan : Butanol (1:1).
Dan yang terakhir eluen tiga pengembang. Pemilihan pengembang ini
berdasarkan tingkat kepolarannya untuk menyeleksi pengembang mana yang
cocok dalam menarik senyawa yang diinginkan pada ekstrak. Berikut ini adalah
hasil KLT dengan menggunakan eluen tiga pengembang.
24
(a) (b)
(b) (d)
(e) (f)
25
(g)
Gambar 4.3.3 (a) N-heksan : Aseton : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ; 7:3:1), (b) N-heksan :
Etil Asetat : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ; 7:3:1), (c) N-heksan : Metanol : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ;
7:3:1), (d) Kloroform : Metanol : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ; 7:3:1), (e) N-heksan :
Butanol : Air (1:1:1 ; 3:7:1 ; 7:3:1), (f) Percobaan ke-2 N-heksan : Aseton : Air
(1:1:1 ; 3:7:1), (g) Percobaan ke-2 Kloroform : Metanol : Air (1:1:1 ; 3:7:1).
Dari berbagai hasil pengembangan KLT didapatkan spot noda yang kurang
baik dimana hasilnya terdapat tailing atau berekor pada spot. Adanya ekor atau
tailing pada spot dapat disebabkan karena penotolan sampel yang terlalu banyak.
Selain itu tailing juga dapat disebabkan oleh afinitas zat pada bahan penyerap
yang lebih besar dibandingkan dengan kemampuan fase gerak untuk membawa
zat-zat tersebut sehingga banyak bagian dari zat tersebut yang akan tertinggal di
fase diam. Namun, umumnya tailing dapat diatasi dengan cara melarutkan
kembali sampel ekstrak dengan asam atau dengan melaukan elusi secara bertahap
dengan fase gerak yang semakin polar (Sudarmadji, 2007).
26
cepat. Fraksinasi dilakukan untuk memisahkan kandungan metabolit sekunder
berdasarkan sifat kepolarannya. Sebelum mengelusi sampel, dilakukan preparasi
kolom terlebih dahulu dengan melarutkan silika gel 60H menggunakan n-heksana
diaduk secara cepat. Hal ini merupakan salah satu langkah mengaktifkan silika gel
yang sebelumnya belum aktif. Kemudian silika langsung dituangkan kedalam
kolom kemudian dihisap pelarutnya dengan mesin vakum. N-heksana terus
ditambahkan seiring dengan penghisapannya hingga kolom memadat. Proses
penyiapan kolom yang dilakukan ini disebut dengan metode basah. Pada saat
silika gel dicampurkan dengan n-heksana terlihat bahwa kedua senyawa ini tidak
bercampur, hal ini dikarenakan n-heksana dan silika gel berbeda kepolarannya,
yaitu n-heksana merupakan non polar dan silika gel polar. Adapun KVC ini
merupakan pemisahan fraksi berdasarkan pelarutnya. Agar fraksi tertentu turun,
maka harus ditingkatkan kepolarannya dari non polar, semi polar sampai polar,
hal ini dikarenakan di dalam sampel itu terdapat senyawa yang berbeda
kepolarannya. Untuk meningkatkan kepolaran pelarut dilakukan perbandingan
campuran pelarut, pada mulanya pelarut non polar dicampur dengan pelarut semi
polar dengan perbandingan tertentu, dan sampai nanti pelarut semipolar dicampur
dengan pelarut polar dengan perbandingan tertentu. Sehubungan dengan hasil
KLT, eluen yang digunakan pada KCV ini adalah n-heksana : etil asetat dan etil
asetat : metanol dengan elusi gradien.
Sampel atau fraksi yang turun sesuai dengan kepolaran pelarut yang
digunakan. Bila pelarut yang digunakan adalah n-heksana (non polar) maka fraksi
yang akan turun adalah senyawa non polar, sedangkan senyawa polar tidak turun
karena tidak larut dengan pelarut n-heksana. Dari hasil KCV, ada 11 fraksi yang
ditampung dalam botol 100 ml untuk masing-masing pelarut yang digunakan.
Hasil rendemen yang diperoleh untuk masing-masing pelarut dengan berbagai
perbandingan dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4.5.1 Rendemen Dengan Pelarut N-heksan : Etil asetat
Perbandingan Berat awal (gram) Berat akhir (gram) Rendemen (%)
20:0 96,9269 37,3140 3,871
18:2 97,0163 97,3856 3,693
16:4 93,5929 93,9727 3,798
14:6 106,3266 106,8228 4,962
12:8 97,6591 98,3315 6,724
27
10:10 108,8595 109,5153 6,558
8:12 97,5831 97,9491 3,66
6:14 108,0632 108,5435 4,803
4:16 96,8979 97,4047 5,068
2:18 106,6548 106,9869 3,321
0:20 107,3481 107,9397 5,916
(a)
28
(b)
Gambar 4.5.1 Kromatografi Lapis Tipis Terhadap Seluruh Fraksi KCV Pada UV
254 nm dan 366 nm: (a) N-heksana : Aseton : Air (3:7:1), (b) Kloroform :
Metanol : Air (3:7:1).
Gambar 4.5.2 Kromatografi Lapis Tipis Terhadap Tiga Fraksi KCV Dengan
Pengembang N-heksana : Aseton : Air (3:7:1) Pada Fraksi 100:0 ; 90:10 ; 80:20
dibawah lampu UV 254 dan 366 nm.
29
3 14,2903 14,4410 441,93
4 12,4368 12,5713 101,17
5 13,9134 13,9376 70,96
6 11,9051 11,9341 85,04
7 14,1525 14,1633 31,67
8 14,4349 14,4798 133,43
9 13,3099 13,3387 84,45
10 11,7492 11,7905 121,11
11 14,2135 14,2565 126,09
12 14,3202 14,4032 243,40
13 11,9703 12,0113 120,23
14 13,7170 13,7739 116,86
15 11,7337 11,7800 135,77
16 12,7317 12,7793 139,58
17 11,8427 11,9408 287,68
18 12,6217 12,6724 148,68
19 11,7344 11,8519 344,57
20 13,9704 14,0227 153,37
21 14,3852 14,4320 137,24
22 14,0655 14,1694 304,69
23 14,4084 14,5346 370,08
24 11,8925 11,9327 117,88
25 11,6987 11,7932 227,12
26 11,3139 11,3380 70,67
27 12,2096 12,2479 112,31
28 15,0596 15,0869 80,05
29 12,3373 12,3870 145,47
30 11,7976 11,8394 122,58
(a) (b)
Gambar 4.6.1 Kromatografi Lapis Tipis Terhadap Seluruh Subfraksi
Kromatografi Kolom Dengan Pengembang N-heksana : Aseton : Air (3:7:1) Pada
Lampu UV 254 nm. (a) Fraksi 1-15, (b) Fraksi 16-30.
Setelah dilakukan KLT kembali, dari 30 vial tersebut dipilih fraksi nomor
3, 4, dan 5 karena hasil KLT untuk ketiga fraksi tersebut menunjukkan adanya
30
spot walaupun spot yang diperoleh tidak terlalu bagus. Selanjutnya ketiga fraksi
tersebut di KLT terus menerus dengan 3 pengembang yang sesuai sampai
diperoleh pemisahan yang diinginkan dimana harus terbentuk spot tunggal tanpa
adanya tailing. Berikut ini adalah hasil KLT dari ketiga fraksi terpilih dengan
menggunakan berbagai macam eluen tiga pengembang yang sesuai.
(a) (b)
31
(g) (h)
32
(e)
Gambar 4.6.5 Kromatografi Lapis Tipis Dengan Berbagai Eluen Tiga
Pengembang Pada UV 254; (a) Metanol : Aseton : Air (2:7:1 ; 2:8:1 ; 4:6:1), (b)
Kloroform : Aseton : Air (3:7:1), (c) Kloroform : Etil Asetat : Air (3:7:1), (d) N-
heksan : Aseton : Air (3:7:1), (e) Kloroform : Etil Asetat : Metanol (1:1:1).
Berdasarkan dari beberapa hasil setelah dilakukan KLT dengan mencoba
berbagai eluen 3 pengembang dan berbagai perbandingan hasil yang diperoleh
tidak menunjukkan adanya spot tunggal justru terdapat beberapa hasil yang
semakin buruk dengan adanya tailing disetiap spot. Hal ini menunjukkan bahwa
kemungkinan dalam fraksi tersebut masih banyak pengotor sehingga harus
dilakukan pemisahan lanjutan. Tetapi, karena keterbatasan waktu proses isolasi
senyawa katekin ini hanya dilakukan sampai KLT dan tidak dapat dilanjutkan
sehingga belum diperoleh katekin murni.
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa belum diperolehnya
senyawa katekin murni dan spesifik dari simplisia biji pinang (Areca catechu L)
karena diperkirakan masih terdapat banyak pengotor. Hal ini dapat dilihat dari
adanya tailing pada setiap spot saat dilakukan KLT.
5.2 Saran
Pada saat isolasi senyawa katekin ini, setiap tahap dan prosesnya harus
dilakukan secara benar dan sangat teliti juga perlu dilakukan pemisahan lanjutan
agar diperoleh katekin murni yang terbebas dari pengotornya.
34
DAFTAR PUSTAKA
35
LAMPIRAN
(g) (h)
Gambar hasil skrinning fitokimia pada biji pinang (Areca catechu L); (a)
Triterpenoid & Steroid (+), (b) Monoterpene & Seskuiterpen (+), (c) Alkaloid (-),
(d) Saponin (+), (e) Kuinon (+), (f) Tanin (+), (g) Kadar sari larut etanol, (h)
Kadar sari larut Air.
36