Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
“Uji Disolusi Intrinsik”

Hari/Jam Praktikum : Rabu, 6 Maret 2019 (13.00-16.00)


Asisten Lab : 1. Wichelia Nisya
2. Wiwit Nurhidayah

Florencia Irena K 260110160122


Rusydina S 260110160123
Marcellino 260110160124
Ega Megawati 260110160125
Nita Rahmasari 260110160126
Nabilah 260110160127
Hafiz F 260110160128
Sri Indrayani 260110160130
Rezkia Azka 260110160133

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2019
I. Tujuan
Mempelajari pengaruh keadaan bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat,
solvate) terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi
untuk bentuk sediaannya
II. Prinsip

2.1 Persamaan Noyes-Whitney


Laju dimana suatu padatan melarut di dalam suatu pelarut telah
diajukan dalam batasan-batasan kuantitatif oleh Noyes dan Whitney.
Persamaan tersebut dapat dituliskan sebagai:
dM DS dC DS
= (Cs-C) atau = (Cs-C)
dt h dt Vh
(Martin, et al, 1993).
2.2 Kecepatan Disolusi
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan ke dalam
beaker yang berisi air atau dimasukkan ke dalam saluran cerna (saluran
gastrointestin), obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk
padatnya. Seringkali disolusi merupakan tahapan yang membatasi atau
tahap yang mengontrol laju bioabsorpsi obat-obat yang memiliki kelarutan
rendah, karena tahapan ini sering kali merupakan tahap yang paling lambat
dari berbagai tahapan yang ada dalam pelepasan obat dari bentuk sediannya,
dan perjalanannya ke dalam sirkulasi sistemik (Martin, et al, 1993).

2.3 Hukum Lambert-Beer

Absorbansi setara dengan konsentrasi dalam sampel, sehingga


semakin besar absorbansi maka semakin besar konsentrasi atau kadar zat uji
dalam sampel (Adeeniyo, 2013).

III. Teori Dasar

Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan


atau tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat
digolongkan sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat
dengan cara menekan massa serbuk lembab dengan tekanan rendah ke
dalam lubang cetakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan
tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dapat
dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk dan penandaan permukaan tergantung
pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995).
Badan Pemeriksaan Obat dan Makanan (BPOM) mempersyaratkan uji
disolusi terbanding (profil disolusi) berdasarkan perbandingan profil disolusi
antara obat inovator dan obat “copy” (generik dan generik bermerek) untuk
memastikan kualitas dan sifat-sifat produk obat dengan perubahan minor
dalam formulasi atau pembuatan setelah izin pemasasran obat. Sebelum
melakukan uji bioekuivalensi, BPOM juga menganjurkan untuk melakukan
uji disolusi in vitro yang dilaporkan dalam bentuk profil disolusi antara obat
uji dan pembanding/inovator (BPOM, 2005).
Disolusi adalah suatu proses perpindahan molekul obat dari bentuk
padat ke dalam larutan suatu media. Uji ini dimaksudkan untuk mengetahui
banyaknya zat aktif yang terlarut dan memberikan efek terapi di dalam tubuh.
Kecepatan absorbsi obat tergantung pada pemberian yang dikehendaki dan
juga harus dipertimbangkan frekuensi pemberian obat (Syamsuni, 2007).
Terdapat dua jenis disolusi yaitu disolusi intrinsik dan nyata. Disolusi
intrinsik adalah disolusi bahan aktif murni. Adapun laju disolusi
intrinsik/Intrinsic Dissolution Rate (IDR) didefinisikan sebagai laju disolusi
dari zat aktif yang murni, dimana kondisi luas permukaan, suhu, agitasi, dan
media pH dan kekuatan ion dibuat konstan. Oleh karena itu, dari IDR bisa
didapatkan informasi tentang kemurnian kimia dan kesetaraan obat dari
sumber yang berbeda. Penentuan laju disolusi dapat menjadi penting selama
pengembangan molekul baru, karena dengan melakukan uji disolusi dapat
memprediksi masalah yang berpotensi untuk molekul baru tersebut (Issa dan
Ferraz, 2011).
Aplikasi uji disolusi intrinsik adalah terkait dengan penggunaannya
sebagai alat untuk karakterisasi obat dalam bentuk solid seperti penentuan
parameter termodinamik yang terkait dengan transisi dari fase kristal, derajat
hidrasi, pengamatan fenomena perpindahan massa dalam proses disolusi,
evaluasi laju disolusi obat di berbagai media (variasi pH atau penggunaan
surfaktan), dan hubungan antara laju disolusi zat aktif dan bentuk kristalnya
(Issa dan Ferraz, 2011).
Terdapat dua tipe alat untuk uji disolusi intrinsik yaitu sistem fixed-
disk yang hanya tertera dalam USP dan sistem rotating-disk yang tertera
dalam USP dan European and British pharmacopeias (Issa dan Ferraz, 2011).

(Issa dan Ferraz, 2011).


Menurut Farmakope Indonesia Edisi V (2015), uji disolusi dilakukan
menggunakan alat tipe 2 dengan 50 rpm selama 45 menit dengan media
disolusi berupa air sebanyak 900ml. Kemudian dilakukan penetapan jumlah
Guaifenesin yang terlarut pada panjang gelombang serapan maksimum ±
274nm dan dalam waktu 45 menit zat harus terlarut 75% dari jumlah yang
tertera di etiket.
Kecepatan disolusi dapat digambarkan oleh persamaan Noyes-
Whitney yang mirip dengan hukum difusi Fick (Shargel dkk., 2005). Hukum
difusi fick secara matematis dinyatakan sebagai berikut:

J adalah fluks atau jumlah yang larut per satuan waktu melalui satu
satuan luas permukaan dengan arah tegak lurus (mg.cm-2det-1), D
merupakan tetapan kecepatan difusi (cm-2det-1), dan dC/dX adalah gradien
konsentrasi. Apabila tebal lapisan jenuh = h, maka jarak yang ditempuh oleh
obat untuk berdifusi mencapai pelarut dX = h. Perubahan konsentrasi dC sama
dengan perubahan kadar obat pada lapisan jenuh Cs dan kadar obat yang
terlarut dalam pelarut adalah C. Substitusinya ke dalam persamaan Fick akan
memberikan persamaan:

Jika k` = D/h, maka persamaan ini identik dengan persamaan Noyes–whitney


(Parrott, 1971) yang secara matematis diungkapkan sebagai berikut :

dW/dt = kecepatan disolusi; k` = tetapan kecepatan disolusi; S = luas


permukaan total efektif partikel; Cs = konsentrasi obat pada lapisan jenuh;
dan C = konsentrasi obat dalam pelarut (Parrott, 1971).

IV. Alat dan Bahan


3.1. Alat
a. Alat-alat gelas
b. Motor pemutar
c. Penyangga (holder)
d. sampel (berupa pellet)
e. Tabung disolusi
f. Spektrofotometri UV
g. Stopwatch
h. Vial
3.2. Bahan
a. Medium Disolusi
b. Teofilin

V. Prosedur
Ditimbang sampel bahan obat sebanyak kurang lebih 300 mg.
Sampel dibentuk menjadi pellet dengan tekanan 5 ton selama 5 menit.
Pellet di letakkan pada penyangga, kemudian bagian atas dituangi lilin cair
sehingga hanya satu permukaan pellet yang terbuka dan bersinggungan
dengan medium disolusi secara langsung. Penyangga yang sudah berisi
sampel lalu ditutup dan dihubungkan dengan motor pemutar. Tabung
bercobaan diisikan dengan 900 ml medium disolusi berupa aquadest. Suhu
medium disolusi diatur dengan thermostat pada 37 ± 0,5 °C.
Pellet yang sudah dipasangkan pada penyangga dicelupkan dalam
medium disolusi, diatur agar tidak ada gelembung udara di bawahnya,
kemudian dipasangkan pada motor pemutar dan diputar dengan kecepatan
100 putaran per menit. Diberi jarak antara permukaan pellet dengan dasar
tabung disolusi sebesar 2 cm. Sampel hasil disolusi diambil tiap selang
waktu tertentu, yaitu pada menit ke 5, 10, 20, 30, 34, dan 60. Sampel yang
diperoleh ditentukan kadarnya secara spektrofotometrik pada gelombang
bahan obat.
VI. Hasil

Hasil Spektro Uji Disolusi (280 nm)

Menit Arata-rata
A1 A2 A3
ke-
5 0,0976 0,1000 0,0964 0,098
10 0,2476 0,2481 0,2418 0,245833
20 0,4864 0,4908 0,4869 0,488033
30 0,5241 0,5159 0,5245 0,5215
45 1,0048 1,0696 1,0388 1,037733
60 1,5569 1,4789 1,5522 1,529333
Hasil Spektro Uji Disolusi Teofilin
1.8
1.6
y = 0.025x - 0.0537
1.4 R² = 0.9697
1.2
ABSORBANSI

1
0.8 Series1
0.6 Linear (Series1)
0.4
0.2
0
0 20 40 60 80
WAKTU

Pada Menit ke-5

 Absorbansi = 0,098
y = 0,025x – 0,0537
0,098 = 0,025x – 0,0537
x = 6.068 ppm
x = 6.068 μg/mL
 Konsentrasi x vol media = 6.068 μg/mL x 900 mL = 5461.2 μg
5 𝑚𝑚
 FK5 = 900 𝑚𝑚 x 5461.2 μg = 30.34 μg
5461.2
 % disolusi = x 100% = 1.82%
μg
300000 μg

Pada Menit ke-10

 Absorbansi = 0,245833
y = 0,025x – 0,0537
0,245833 = 0,025x – 0,0537
x = 11,98 ppm
x = 11,98 μg/mL
 Konsentrasi x vol media = 11,98 μg/mL x 900 mL = 10783,19 μg
 Kadar total = 10783,19 μg + 30.34 μg = 10813,53 μg
5 𝑚𝑚
 FK5 = 900 𝑚𝑚 x 10813,53 μg = 60,07 μg
10813,53
 % disolusi = x 100% = 3,6 %
μg
300000 μg

Pada Menit ke-20

 Absorbansi = 0,488033
y = 0,025x – 0,0537
0,488033 = 0,025x – 0,0537
x = 21,66932 ppm
x = 21,66932 μg/mL
 Konsentrasi x vol media = 21,66932 μg/mL x 900 mL = 19502,38 μg
 Kadar total = 19502,38 μg + 60,07 μg = 19562,45 μg
5 𝑚𝑚
 FK5 = 900 𝑚𝑚 x 19562,45 μg = 108,68 μg
19562,45
 % disolusi = x 100% = 6,52 %
μg
300000 μg

Pada Menit ke-30

 Absorbansi = 0,5215
y = 0,025x – 0,0537
0,5215 = 0,025x – 0,0537
x = 23,008 ppm
x = 23,008 μg/mL
 Konsentrasi x vol media = 23,008 μg/mL x 900 mL = 20707,2 μg
 Kadar total = 20707,2 μg + 108,68 μg = 20815,88 μg
5 𝑚𝑚
 FK5 = 900 𝑚𝑚 x 20815,88 μg = 115,64 μg
20815,88
 % disolusi = x 100% = 6,94 %
μg
300000 μg

Pada Menit ke-45


 Absorbansi = 1,037733
y = 0,025x – 0,0537
1,037733 = 0,025x – 0,0537
x = 43,657 ppm
x = 43,657 μg/mL
 Konsentrasi x vol media = 43,657 μg/mL x 900 mL = 39291,59 μg
 Kadar total = 39291,59 μg + 115,64 μg = 39407,23 μg
5 𝑚𝑚
 FK5 = 900 𝑚𝑚 x 39407,23 μg = 218,93 μg
39407,23
 % disolusi = x 100% = 13,14 %
μg
300000 μg

Pada Menit ke-60

 Absorbansi = 1,529333
y = 0,025x – 0,0537
1,529333 = 0,025x – 0,0537
x = 63,32 ppm
x = 63,32 μg/mL
 Konsentrasi x vol media = 63,32 μg/mL x 900 mL = 56989,2 μg
 Kadar total = 56989,2 μg + 218,93 μg = 57208,13 μg
57208,13
 % disolusi = x 100% = 19 %
μg
300000 μg

μg
μg
Ppm FK terdisolusi
Time XA terdisolusi %
(μg/L) (μg) yang
(μg/900 ml)
terkoreksi
5 0,098 6.068 5461.2 30.34 - 1.82
10 0,245833 11,98 10783,19 60,07 10813,53 3,6
20 0,488033 21,66932 19502,38 108,68 19562,45 6,52
30 0,5215 23,008 20707,2 115,64 20815,88 6,94
45 1,037733 43,657 39291,59 218,93 39407,23 13,14
60 1,529333 63,32 56989,2 - 57208,13 19

Grafik Disolusi Tablet Teofilin


20
18
16
14
12
% disolusi

10
8 Series1
6
4
2
0
0 10 20 30 40 50 60 70
waktu

VII. Pembahasan

Selain fase farmakodinamik, obat juga akan mengalami fase


farmakokinetiknya di dalam tubuh untuk kemudian memberikan efek
terapeutiknya. Fase farmakokinetik yang akan dialami obat yaitu absorpsi,
distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Untuk dapat memulai fase
farmakokinetik dengan absorpsi, maka obat harus dapat terlepas (terliberasi)
dari bentuk sediaannya dan/atau kemudian terjadi pelarutan (disolusi) zat
aktif secara progresif. Dinyatakan bahwa laju penyerapan merupakan fungsi
dari laju pelarutan zat aktif di dalam cairan tubuh dan laju difusi molekul-
molekul yang terlarut dalam cairan tersebut melintasi membran seluler.
Oleh karena itu, profil disolusi menjadi faktor penting yang harus
diperhatikan untuk melihat ketersediaan hayati obat, terutama untuk bentuk
sediaan solid. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada praktikum
kali ini dilakukan uji disolusi intrinsik terhadap sediaan tablet teofilin.
Disolusi obat dapat diartikan sebagai proses pelarutan zat aktif;
pembentukan dispersi molekular dalam air. Pada praktikum ini disolusi
dapat dikatakan sebagai proses hancurnya sediaan tablet teofilin hingga
terlepasnya zat aktif dari bentuk sediaan, kemudian terjadi kontak antara
pastikel zat aktif dengan medium disolusinya dan terjadilah proses melarut.
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui seberapa cepat
kelarutan dari bahan baku obat ketika berkontak dengan cairan tubuh
manusia (melalui medium disolusi yang kondisinya disamakan dengan
cairan tubuh manusia), sehingga dapat diketahui efektivitas obat dalam
memberikan efek farmakologisnya. Adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kecepatan disolusi suatu obat diantaranya yaitu viskositas,
pH pelarut (lingkungan), temperatur, pengadukan, ukuran partikel,
polimorfisme, dan sifat permukaan zat.
Praktikum diawali dengan pembuatan tablet teofilin terlebih dahulu,
yaitu dengan penempaan zat aktif theophyllinum dengan bobot 300 mg
setiap tabletnya tanpa penambahan zat tambahan dikarenakan akan
dilakukan uji disolusi intrinsik, dimana kelarutan intrinsik merupakan
kelarutan suatu zat yang tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor luar. Kelarutan
intrinsik adalah kelarutan zat saat dalam bentuk molekul atau tak terion
(Alishlah, dkk, 2014). Menurut Alache (1993), pelarutan intrinsik
merupakan pelarutan dari suatu serbuk yang mempertahankan luas
permukaan yang tetap, yang biasanya dinyatakan dalam mg/cm2menit,
dimana umumnya meliputi obat-obat dengan kecepatan disolusi yang sangat
lambat disebabkan oleh kelarutannya yang sangat kecil.
Tablet dibuat menjadi 3 tablet untuk membandingkan profil
disolusi yang baik antara tablet satu dengan yang lainnya. Hasil tablet yang
didapatkan setelah pengempaan kurang solid dan rapuh. Hal tersebut dapat
disebabkan karena tidak adanya penambahan zat eksipien apapun sehingga
daya ikat tablet menjadi buruk.
Selanjutnya, sebagian permukaan tablet disalut atau dilapisi dengan
lilin. Hal ini bertujuan untuk mereduksi luas permukaan yang dapat
berpengaruh dalam uji disolusi ini. Semakin kecil luas permukaan
kontaknya dengan medium disolusi, maka tablet akan semakin lambat
melarut. Faktor lain yang mempengaruhi disolusi adalah suhu medium atau
pelarut. Suhu medium dikondisikan sama dengan suhu normal tubuh yaitu
37oC. Kecepatan 100 rpm digunakan untuk mempercepat kelarutan teofilin
karena faktor pengadukan juga merupakan faktor yang akan mempercepat
disolusi.
Adapun mekanisme disolusi sediaan tablet dalam cairan tubuh
yaitu tablet yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam
lambung akan terpecah mengalami disintegrasi menjadi granul kecil yang
terdiri dari zat aktif obat tersebut dan zat eksipiennya. Granul selanjutnya
dipecah lagi menjadi serbuk dan zat aktifnya akan terion dan larut dalam
cairan lambung atau usus. Kelarutan terion merupakan kelarutan zat saat
dalam bentuk terionnya yang dapat dipengaruhi oleh faktor luar seperti salah
satunya faktor keasaman atau pH. Kelarutan terion dari bahan obat yang
bersifat asam lemah seperti teofilin yang memiliki pKa 8,1 (NCBI, 2019)
akan memiliki kelarutan yang meningkat pada kondisi pH lingkungan yang
semakin tinggi (basa). Hal tersebut dikarenakan pada keadaan basa, teofilin
akan semakin banyak terion dan kemudian terlarut. Oleh karena itu, pH
medium disolusi menggunakan dapar atau buffer untuk mempertahankan
pH.
Selama proses disolusi berlangsung, diambil larutan hasil disolusi
pada rentang waktu tertentu untuk dilihat absorbansinya menggunakan
spektrometer uv, sebab terdapat gugus kromofor berupa gugus benzen pada
teofilin sehingga teofilin memiliki serapan pada area UV-Visible.
Struktur Teofilin
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa
kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan.
Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan
informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch”
lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan
melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan
ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1998).
Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis
spektroskopi yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik)
ultraviolet dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan
memakai instrument spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis adalah
alat yang digunakan untuk mengukur transmitasi, reflektansi dan
absorbansi dari cuplikan sebagai fungsi dari panjang gelombang. Prinsip
kerja spektrofotometer UV-Vis adalah interaksi yang terjadi antara energi
yang berupa sinar monokromatis dari sumber sinar dengan materi yang
berupa molekul. Besar energi yang diserap tertentu dan menyebabkan
elektron terksitasi dari keadaan dasar ke keadaan terksitasi yang memiliki
energi lebih tinggi. Prinsip kerja spektrofotometer berdasarkan hukum
Labert-Beer, yaitu bila cahaya monokromatik (lo) melalui suatu media
(larutan), maa sebagian cahaya tersebut diserap (la), sebagian dipantulkan
(lr), dan sebagian lagi dipancarkan (lt). Profil disolusi tablet teofilin
dilakukan dengan menggunakan metode spektrofotometri UV-Visible.
Profil disolusi ini merupakan salah satu tahap yang digunakan sebagai
dasar pengujian bioavaibilitas. Metode spektofotometri UV-Visible
merupakan cara yang sederhana dalam menetapkan jumlah zat yang
sangat kecil dengan biaya yang tidak mahal.

Pada penelitian ini pengujian dilakukan pada menit ke-5, 10,


20, 30, 45, dan 60 data yang diperoleh dengan adanya variasi waktu
menunjukan perbedaan konsentrasi dari sampel dengan menggunakan
panjang gelombang maksimum pada 280 nm dengan serapan (absorbansi)
pada masing-masing menit didapatkan 0,098; 0,245833; 0,488033;
0,5215; 1,037733; 1,529333. Dan didapatkan persamaan kurva baku Y =
0,025X – 0,0537 (X dalam μg/mL) dengan nilai R2 0,9697. Sehingga
didapatkan persentase hasil uji disolusi pada masing-masing menit sebesar
1,82%; 3,6 %; 6,52 %; 6,94 %; 13,14 %; 19 %.

Dari data di atas terlihat bahwa absorbansi yang


dihasilkan cukup tepat seiring peningkatan waktu, karena hasil
absorbansinya mengalami peningkatan. Dan hasil dari perhitungan
didapatkan pula % nilai absorbansi mengalami peningkatan. Persamaan
kurva baku Y = 0,025X – 0,0537 dengan R 0.9697 pada panjang
gelombang antara 270-280 nm. Nilai r yang didapat sangat baik, karena
nilai nya mendekati 1. Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya
akan digunakan untuk menghitung kadar sampel tablet theofilin pada uji
disolusi. Hal yang terlebih dahulu harus dilakukan sebelum pelaksanaan
uji disolusi adalah pembuatan kurva baku dari sampel zat yang akan
dianalisis.

VIII. Simpulan
Pada praktikum kali ini didapatkan % disolusi pada menit ke 5 sebesar
1,82%, pada meit ke 10 sebesar 3,6%, pada menit ke 20 sebesar 6,52%,
pada menit ke 30 sebesar 6,94%, pada menit ke 45 sebesar 13,14% dan
pada menit ke 60 sebesar 19%. Hal ini menunjukkan bahwa seiring
meningkatnya waktu, meningkat pula persen disolusi.
DAFTAR PUSTAKA

Adeeniyo, C. E. 2013. Basic Calibration of UV/Vis Spectrophotometer.


International Journal of Science and Technology. 2(3) : 247-251.

Alache. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika, Edisi kedua. Surabaya : Airlangga


University Press.
Alishlah, T., Wisudyaningsih, B. and Ameliana, L., 2014. Pengaruh Trietanolamin
terhadap Karakteristik Fisika Kimia dan Laju Pelepasan Ibuprofen dalam
Sediaan Gel Dispersi Padat Ibuprofen-PEG 6000 (Effect of Triethanolamine
on Physicochemical Characteristic and Dissolution Rate of Ibuprofen in
Ibuprofen-PEG 600. Pustaka Kesehatan, 2(3), pp.422-426.
Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Indonesia No. HK 00.05.3.1818 tentang Pedoman Uji
Bioekivalesi. Jakarta: BPOM.
Depkes RI. 2015. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Depkes RI. Hal 506-508.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan.
Issa, M. G., dan H. G. Ferraz. 2011. Intrinsic Dissolution as a Tool for Evaluating
Drug Solubility in Accordance with the Biopharmaceutics Classification
System. Dissolution Technologies. Vol 18 (2):17–23.
Martin, A., J. Swarbrick, and A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisika Edisi Ketiga.
Jakarta: UI Press.

NCBI. 2019. Theophylline. Available at:


https://pubchem.ncbi.nlm.nih.gov/compound/theophylline#section=Top
[Accessed ob 12th March 2019].
Parrott, E.L. 1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics.
Mineapolis: Burgess Publishing Company. Hal 64-66, 73-83.
Shargel, L. dan Yu. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan, Edisi
Kedua. Surabaya: Airlangga University Press.
Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya : Airlangga
University Press.

Anda mungkin juga menyukai