PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara kerja Spiramisin sebagai obat antibiotik ?
2. Apakah efek samping yang ditimbulkan oleh Spiramisin?
C. Tujuan Penulisan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. RUMUS KIMIA
ASAL: Spiramisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces ambofaciens.
Zat ini berupa kristal berwarna kekuningan, larut dalam air sebanyak 2mg/ml.
KIMIA:
Macrolide
merupakan
suatu
kelompok
senyawa
yang
berhubungan erat, dengan ciri suatu cincin lakton (biasanya terdiri dari 14 atau 16
atom) di mana terkait gula-gula deoksi. Antibiotik ini tidak stabil dalam suasana
asam, kurang stabil pada suhu kamar tetapi cukup stabil pada suhu rendah.
Aktvitas in vitro paling besar dalam suasana alkalis. Larutan netral Spiramisin
yang disimpan pada suhu kamar akan turun potensinya dalam beberapa hari, tetapi
bila disimpan pada suhu 50 biasanya tahan sampai beberapa minggu.
dan
aktivitasnya
tidak
tergantung
pada
proses
boleh dipakai bersama lindamisin atau linkomisin karena mereka bersaing untuk
mendapatkan reseptor.
tinggi.
Reaksi Alergi
Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan
eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan.
Efek samping yang berat akibat pemakaian Spiramisin dan turunanya
jarang terjadi.
Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan
eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah
reaksi kepekaan yang terutama ditimbulkan oleh Spiramisin estolat (sekarang
tidak dipasarkan di Indonesia). Reaksi ini timbul pada hari ke 10-20 setelah
dimulainya terapi. Gejalanya berupa nyeri perut yang menyerupai nyeri pada
kolesistitis akut, mual dan muntah.kemudian timbul ikterus, demam leukositosis
III. FARMAKOKINETIK
Spiramisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas, aktivitasnya hilang oleh
cairan lambung dan absorpsi diperlambat oleh adanya makanan dalam lambung.
Untuk mencegah pengerusakan oleh asam lambung, basa Spiramisin diberi
selaput yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau
etilsuksinat. Dengan dosis oral 500mg Spiramisin basa dapat dicapai kadar
puncak 0,3-1,9 ug/ml dalam waktu 4 jam.
Hanya 2-5 % Spiramisin yang diekskresi dalam bentuk aktif melalui urin.
Spiramisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktif dalam
empedu dapat melebihi 100x kadar yang tercapai dalam darah.
Masa paruh eliminasi Spiramisin adalah sekitar 1,6 jam. Dalam keadaan
insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi dosis.
Spiramisin berdifusi dengan baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali ke
otak dan cairan serebrospinal. Kadarnya dalam jaringan prostat hanya sekitar 40%
dari kadar yang tercapai dalam darah. Pada ibu hamil, kadar Spiramisin dalam
sirkulasi fetus adalah 5-20% dari kadar obat dalam sirkulasi darah ibu.
Obat ini diekskresi terutama melalui hati. Dialisis peritonial dan hemodialisis
tidak dapat mengeluarkan Spiramisin dari tubuh.
Pada wanita hamil pemberian Spiramisin stearat dapat meningkatkan aktivitas
serum aspartat aminotransferase (AST) yang akan kembali ke nilai normal
walaupun terapi diteruskan.
Obat ini memberikan waktu paruh yang singkat dan efek pengikatan pada
proteinnya sedang.
Obat ini dieksresikan ke dalam empdu, feses, dan sebagian kecil, dalam
urin.Karena jumlah yang dieksresikan kedalam urin sedikit, maka insufisiensi
ginjal bukan merupakan kontra indikasi bagi pemakai Spiramisin.
FARMAKOKINETIK A-D-M-E:
1. A: Pemberian Spiramisin basa dihancurkan oleh asam lambung
sehingga
ester. Semua obat ini diabsorpsi secara adekuat setelah pemberian peroral.
2. D: Distribusi Spiramisin ke seluruh cairan tubuh baik kecuali ke
cairan sebrospinal. Obat ini merupakan satu diantara sedikit antibiotika
yang bedifusi ke dalam cairan prostat dan mempunyai sifat akumulasi
unit ke dalam makrofag. Obat ini berkumpul di hati.Adanya inflamasi
menyebabkan penetrasinya ke jaringan lebih baik.
3. M: Metabolisme Spiramisin dimetabolisme secara ekstensif dan
diketahui menghambat oksidasi sejumlah obat melalui interaksinya
dengan sistemsitokrom P-450.
4. E: Ekskresi Spiramisin terutama dikumpulkan dan diekskresikan
dalam bentuk aktif dalam empedu. Reabsorpsi parsial terjadi melalui
sirkulasi enterohepatik.
IV. SEDIAAN
Sedian dari Spiramisin berupa;
1.
Kapsul/ tablet
2.
Sirup/suspensi
3.
Tablet kunyah
4.
Indikasi:
Spiramisin digunakan untuk infeksi saluran napas, seperti tonsilitis, faringitis,
bronkitis, pneumonia, sinusitis dan otitis media.
Kontra Indikasi:
Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap spiramisin atau antibiotik makrolida
lainnya.
Efek Samping:
Efek samping yang serius dari spiramisin sangat jarang. Mual, muntah, diare,
nyeri epigastrik, ruang kulit dan urtikaria adalah efek samping yang biasanya
muncul pada pemberian oral.
Interaksi Obat:
Efek hepatotoksik dipertinggi oleh tetrasiklin.
Spiramisin bersifat antagonis dengan penisilin, streptomisin, kanamisin, neomisin,
dan polimiksin.
Perhatian:
1. Spiramisin harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan
hati karena dapat menyebabkan hepatotoksik.
2. Spiramisin tidak dianjurkan untuk ibu menyusui dan pada trimester pertama
kehamilan.
3. Hati - hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi ginjal.
4. Keamanan penggunaan pada bayi dan neonatus belum diketahui dengan pasti.
Spiramisin.
Dihasilkan
oleh
Streptomyces
ambofaciens.
Berkhasiat
sebagai
NO
1
GENERIK
Erytromisin
Spiramisin
NAMA DAGANG
PABRIK
Erysanbe
Sanbe
Erythrocyn
Abbot Indonesia
Rovamycine
Spiradan
Dankos
3.
Roxythromycin
Rulid
Hoechst
Azithromycin
Zithromax
Pfizer
Zycin
Interbat
KLASIFIKASI
Klasifikasi insektisida antibiotika dan makrolida menurut Alan Wood
(2006) adalah sebagai berikut:
o PENJELASAN SINGKAT
Makrolida: Avermectin
Abamektin (abamectin)
Abamektin tersusun atas sedikitnya 80% avermektin B1a dan tidak lebih
dari 20% avermektin B1b.
Tsubamec,
dan
Wito.
Digunakan
(misalnya:
Agrimec)
untuk
Emamektin (emamectin)
Makrolida: Milbemycin
Milbemektin (milbemectin)
(Actinomycetes)
Streptomyces
hygroscopius
subsp.
Makrolida: Spinosin
Spinosad
GABA, tetapi peranannya belum jelas. Racun kontak dan racun perut.
- LD50 oral: 3783 mg/kg bb (tikus jantan), >5000 mg/kg bb (tikus betina).
Makrolida: Naktin
Polinaktin (polynactins)
peka terhadap obat ini. Strain S. Aureus yang resisten terhadap Spiramisin sering
dijumpai di rumah sakit (strain nosokomial).
Batang gram positif yang peka terhadap Spiramisin ialah Cl. Perfringes,
C. Diphtheriae, dan L. Monocytogenes.
Spiramisin tidak aktif terhadap kebanyakan kuman gram negatif, namun
ada beberapa spesies yang sangat peke terhadap Spiramisin yaitu N.gnorrhoeae,
Campylobacter jejuni, M. Pneumoniae, Legionella pneumophilia, dan C.
Trachomatis. H. Influenzae mempunyai kepekaan yang berfariasi erhadap obat ini.
BAB III
PEMBAHASAN
Penelitian mengenai obat spiramisin telah banyak dilakukan, antaralain
oleh Widiastuti dan Murdiati (2011) dengan judul Penelitian Residu Antibiotika
Spiramisin Pada Hati Dan Daging Ayam Pedagingyang Dicekok Antibiotika
Spiramisin. Menurut penelitian Spiramisin adalah salah satu antibiotika
golongan makrolida yang banyak digunakan di bidang peternakan untuk
pengobatan penyakit saluran pernafasan atau sebagai imbuhan untuk pemacu
pertumbuhan. Namun penggunaan obat hewan yang melebihi dosis yang
ditentukan dan/atau saat pemotongan yang tidak memperhatikan waktu hentinya
akan menimbulkan residu pada produk ternak. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui distribusi terbentuknya residu spiramisin pada organ
hati dan daging (otot) dari ayam pedaging usia 6 minggu yang dicekok dengan
1 g/l spiramisin selama 7 hari berturut-turut. Residu spiramisin dari sampel organ
hati dan daging yang telah diekstraksi kemudian dianalisis dengan kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT). Residu spiramisin yang terbentuk dalam daging (otot)
sangat cepat menghilang dan sehari pasca penghentian pencekokan residu sudah
tidak terdeteksi lagi. Sebaliknya, konsentrasi residu padaorgan hati terdeteksi
lebih tinggi dan mampu bertahan lebih dari 7 hari pasca penghentian
dibandingkan dengan residu pada daging ayam.
Pada penelitian ini digunakan 50 ekor ayam pedaging (galur Shaver
Starbro, PT Cargill) berumur 6 minggu dengan berat badan sekitar 1 1,2 kg
yang dipelihara secara liter dan dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok A
(perlakuan) yang terdiri atas 36 ekor (3 ekor diantaranya untuk cadangan)
yang dicekok dengan 1 mllarutan spiramisin dengan dosis 1 g/l selama 7 hari
berturut-turut dan kelompok B (kontrol negatif) sebanyak 15 ekor (4 ekor
diantaranya untuk cadangan) yang tidak diberi cekokan. Ayam yang telah
dicekok dengan spiramisin selama 7 hari berturut-turut kemudian diterminasi
sesaat setelah pencekokan terakhir (0 jam), dan selanjutnya pada jam ke-12,
24, 36, 48, 60, 72, 96, 120, 144 dan 168 setelah pemberian terakhir
spiramisin untuk dilakukan koleksi terhadap daging (otot) dan organ hati dan
disimpan pada suhu -45C sampai waktu analisis.
Analisis residu spiramisin dilakukan dengan mengeskstraksi terlebih
dulu 10 g sampel hati maupun daging (otot) yang telah dihomogenkan dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan sebanyak 60 ml
asetonitril ke dalamnya dan kemudian dikocok dengan shakerselama 1 jam.
Ekstrak asetonitil disaring
dan
dikeringkan
pada
ditambah dengan 20 ml bufer fosfat (pH 6), dan selanjutnya dicuci dengan 20 ml
heksana sebanyak 3 kali dan fasa heksana dibuang. Fasa bufer fosfat yang
tertinggal diulangi untuk diekstraksi sebanyak 3 kali dengan 20 ml kloroform
yang akhirnya dikeringkan dengan rotavapor pada suhu 45C. Kemudian ekstrak
kering
dilarutkan
berada
sebesar
0,41
ppm,
selanjutnya
12
jam
ppm. Residu yang ditemukan pada organ hati lebih tinggi dan bertahan lebih
lama melebihi 7 hari pascapenghentian
daging. Penelitian sejenis yang dilakukan oleh BOSC et al. (1993) dengan
dosis 0,8 g/l (800 ppm) selama 3 hari dan dilakukan pengamatan konsentrasi
residu
pada
hari pascapemberian
juga
menunjukkan
bahwa residu
spiramisin tidak terdeteksi pada daging maupun kulit, namun terlihat lebih
tinggi pada hati dibandingkan dengan ginjal.
Penelitian kedua tentang obat spiramisin pernah dilakukan oleh Pinca,
Djati dan RifaI (2014). dengan judul penelitian Analisis Mobilisasi Sel T CD4 +
dan CD8+ pada Timus Ayam Pedaging Pasca Infeksi Salmonella typhimurium dan
Pemberian Simplisia Polyscias obtusa. menurut penelitian Penggunaan
antibiotik Bacitracin, kuramicin, higramomicin, kolistin, kiamisin, spiramisin,
tiamulin, virginiamisin, aviamisin, flavomisin dan tetrasiklin biasa ditambahkan
kedalam dalam pakan sebagai perlindungan bagi ternak dari penyakit.
Penelitian mengenai obat spiramisin juga pernah dilakukan oleh Nofiani,
Nurbetty dan Sapar (2009). Menurut penelitian mereka peningkatan jumlah kasus
resistansi bakteri patogen terhadap antibiotik akhir-akhir ini memicu peningkatan
pencarian sumber senyawa antimikroba yang baru. Salah satu sumber potensial
penghasil senyawa antimikroba adalah bakteri yang berasosiasi dengan spons.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh ekstrak bakteri yang berasosiasi dengan
spons yang memiliki aktivitas antimikroba. Berdasarkan skrining aktivitas
antimikroba dengan metode goresan pada agar diperoleh 2 isolat yang berpotensi
menghasilkan senyawa yang mempunyai aktivitas antimikroba yaitu: LCS 1 dan
LCS 2. Selanjutnya kedua isolat bakteri di perbanyak dan metabolit sekunder
antibiotik
telah
banyak
mengetahui
ada
ketuban; ii) pengujian molekuler plasenta dan darah tali pusat, tes serologi ibuanak komparatif dan pemeriksaan klinis saat lahir; iii) Pemeriksaan neurologis
dan oftalmologi dan survei serologis selama tahun pertama kehidupan.
Wanita hamil harus menghindari daging mentah atau kurang matang
begitu juga susu segar. Karena hubungan yang jelas antara Toxoplasma dan
kucing, juga sering disarankan untuk menghindari paparan untuk kotoran kucing,
dan menahan diri dari berkebun (kotoran kucing mungkin ada di tanah) atau
setidaknya memakai sarung tangan (Kapperud G, et al., 1996).
Kucing umumnya terinfeksi Toxoplasma pada umur dibawah 6 bulan
bulan pertama kehidupan mereka. Mereka menumpahkan ookista hanya untuk
waktu singkat (1-2 minggu) setelah terinfeksi. Namun, ookista ini terkubur
dalam tanah akan bersporulasi dan tetap menular untuk jangka waktu lebih dari
satu tahun (Hill D & Dubey JP, 2002). Beberapa penelitian menunjukkan hidup
dalam sebuah rumah tangga dengan kucing dewasa bukan merupakan faktor
risiko yang signifikan untuk infeksi T. gondii, Namun, resiko meningkat jika
terdapat anak kucing.
Pengobatan ini sangat penting bagi wanita hamil yang baru terinfeksi,
untuk mencegah infeksi janin. Karena sistem kekebalan tubuh bayi tidak
berkembang sepenuhnya untuk tahun pertama kehidupan, dan kista tangguh
yang membentuk seluruh tubuh sangat sulit untuk memberantas dengan
antiprotozoans, infeksi bisa sangat serius dalam muda.
Untuk toksoplasmosis akut diberikan Pirimetamin sebagai obat tunggal
maupun dikombinasi dengan Sulfadiazin. Terapi kombinasi biasanya diberikan
dengan suplemen asam folat untuk mengurangi kejadian trombositopenia. Terapi
kombinasi terutama dipakai pada pasien HIV. Klindamisin juga dapat digunakan
pada fase akut. Spiramisin adalah antibiotik yang paling sering digunakan untuk
wanita hamil untuk mencegah infeksi pada janin.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Spiramycin adalah kelompok obat antibiotik mikrolid yang berfungsi mengatasi
berbagai macam infeksi. Obat ini sering digunakan untuk mengobati
toksoplasmosis pada wanita hamil karena dapat menurunkan risiko penyebaran
infeksi pada bayi yang belum lahir. selain itu Spiramisin digunakan untuk infeksi
saluran nafas, seperti tonsilitis, faringitis, bronkitis, pneumonia, sinusitis dan otitis
media.
DAFTAR PUSTAKA