Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Antibiotika adalah segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang
mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam
organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Penggunaan antibiotika
khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi, meskipun dalam
bioteknologi dan rekayasa genetika juga digunakan sebagai alat seleksi terhadap
mutan atau transforman. Antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan
atau memutus satu mata rantai metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri.
Antibiotika berbeda dengan desinfektan karena cara kerjanya. Desifektan
membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang tidak wajar bagi kuman
untuk hidup.
Tidak seperti perawatan infeksi sebelumnya, yang menggunakan racun
seperti strychnine, antibiotika dijuluki peluru ajaib: obat yang membidik
penyakit tanpa melukai tuannya. Antibiotik tidak efektif menangani infeksi akibat
virus, jamur, atau nonbakteri lainnya, dan Setiap antibiotik sangat beragam
keefektifannya dalam melawan berbagai jenis bakteri. Ada antibiotika yang
membidik bakteri gram negatif atau gram positif, ada pula yang spektrumnya
lebih luas. Keefektifannya juga bergantung pada lokasi infeksi dan kemampuan
antibiotik mencapai lokasi tersebut. salah satu jenis obat yang digunakan adalah
obat antibiotik dari golongan makrolida.

Sejarah makrolida diawali ketika perusahaan Sankyo dan Merck berhasil


mengisolasi milbemisin dan avermektin yang memiliki struktur mirip, dan
ternyata efektif digunakan sebagai insektisida.Keduanya merupakan hasil
fermentasi yang memanfaatkan Streptomyces yang berbeda.
Spiramisin, turunan dari bakteri seperti jamur, Streptomyces erythraeus,
pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1950an. Spiramisin menghambat
sintesis protein. Dalam dosis rendah sampai sedang, obat ini mempunyai efek
bakteriostatik, dan dengan dosis tinggi, efeknya bakterisidal. Spiramisin dapat
diberikan melalui oral atau intravena. Karena asam lambung merusak obat,
berbagai garam Spiramisin (contoh etilsuksinat, stearate, dan estolat) dipakai
untuk mengurangi disolusi (pecah menjadi partikel-partikel kecil) di dalam
lambung dan memungkinkan absorpsi terjadi pada usus halus. Untuk pemakaian
intravena senyawa Spiramisin laktobionat dan Spiramisin gluseptat, dipakai untuk
meningkatkan absorbsi obat.
Spiramisin aktif melawan hampir semua bakteri gram positif, kecuali
staphylococcusaureus, dan cukup aktif melawan beberapa bakteri gram yang aktif.
Obat ini sering di resepkan sebagai pengganti penisilin. Obat ini merupakan obat
pilihan untuk pneumonia akibat mikoplasma dan penyakit legionnaire.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara kerja Spiramisin sebagai obat antibiotik ?
2. Apakah efek samping yang ditimbulkan oleh Spiramisin?
C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sifat farmakologi, farmakodinamik, farmakokinetik, serta


toksisitas penggunaan Spiramisin sebagai obat antibiotik
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja dan efektivitas Spiramisin sebagai obat
antibiotik.
3. Mempelajari penelitian yang telah dilakukan orang lain sebagai referensi
pembuatan makalah.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. RUMUS KIMIA
ASAL: Spiramisin dihasilkan oleh suatu strain Streptomyces ambofaciens.
Zat ini berupa kristal berwarna kekuningan, larut dalam air sebanyak 2mg/ml.
KIMIA:

Macrolide

merupakan

suatu

kelompok

senyawa

yang

berhubungan erat, dengan ciri suatu cincin lakton (biasanya terdiri dari 14 atau 16
atom) di mana terkait gula-gula deoksi. Antibiotik ini tidak stabil dalam suasana
asam, kurang stabil pada suhu kamar tetapi cukup stabil pada suhu rendah.
Aktvitas in vitro paling besar dalam suasana alkalis. Larutan netral Spiramisin
yang disimpan pada suhu kamar akan turun potensinya dalam beberapa hari, tetapi
bila disimpan pada suhu 50 biasanya tahan sampai beberapa minggu.

Gb. Rumus molekul mikrolida


Spiramisin terdiri dari :
1. aglikon eritronolid
2. gula amino desosamin dan gula netral kladinosa

3. Membentuk garam pada gugus dimetilamino ( 3 ) dengan asam,


contoh: garam stearat bersifat sukar larut dalam air dengan rasa yang
sedikit pahit.
4. Membentuk ester pada gugus hidroksi ( 2 ) yang tetap aktif secara
biologis

dan

aktivitasnya

tidak

tergantung

pada

proses

hidrolisis.contoh: ester-ester etilsuksinat, estolat, dan propinoat.yang


tidak berasa.
Obat ini sulit larut dalam air (0,1%) namun dapat langsung larut pada zatzat pelarut organik. Larutan ini cukup satabil pada suhu 40 OC, namun dapat
kehilangan aktivitas dengan cepat pada suhu 20oC dan pada suhu asam.
Spiramisin biasanya tersedia dalam bentuk berbagai ester dan garam.
II. FARMAKODINAMIK
Spiramisin menekan sintesis protein bakteri. Mula kerja dari preparat oral
adalah 1 jam, waktu untuk mencapai puncak adalah 4 jam, dan lama kerjanya 6
jam.
A. EFEK SAMPING DAN REAKSI YANG MERUGIKAN
Efek samping dan reaksi yang merugikan dari Spiramisin adalah gangguan
gastrointrestinal, seperti mual dan muntah, diare, dan kejang abdomen. Reaksi
alergi terhadap Spiramisin jarang terjadi. Hepatotoksisitas (toksisitas hati) dapat
terjadi jika obat dipakai bersama obat-obat hepatotoksik lainnya, seperti
asetaminofen (dosis tinggi ), fenotiazin, dan sulfonamid. Spiramisin, nampaknya
lebih mempunyai efek toksik pada liver di bandingkan dengan eritormisin.
Kerusakan hati biasanya bersifat reversibel jika obat dihentikan. Spiramisin tidak

boleh dipakai bersama lindamisin atau linkomisin karena mereka bersaing untuk
mendapatkan reseptor.

EFEK SAMPING YANG LAIN:


1. Gangguan epigastrik
Efek samping ini paling sering dan dapat mengakibatkan ketidakpatuhan
pasien terhadap Spiramisin
2. Ikterus Kolestatik
Efek samping ini terjadi terutama pada Spiramisin estolat. Reaksi ini timbul
pada hari ke 10-20 setelah dimulainya terapi. Gejalanya berupa nyeri perut
yang menyerupai nyeri pada kolestasis akut, mual, muntah, kemudian timbul
ikterus, demam, leukositosis dan eosinofilia; transaminase serum dan kadar
bilirubin meninggi; kolesitogram tidak menunjukkan kelainan.
3. Ototoksisitas
adalah Ketulian sementara berkaitan dengan Spiramisin terutama dalam dosis
4.

tinggi.
Reaksi Alergi
Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan
eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan.
Efek samping yang berat akibat pemakaian Spiramisin dan turunanya

jarang terjadi.
Reaksi alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan
eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Hepatitis kolestatik adalah
reaksi kepekaan yang terutama ditimbulkan oleh Spiramisin estolat (sekarang
tidak dipasarkan di Indonesia). Reaksi ini timbul pada hari ke 10-20 setelah
dimulainya terapi. Gejalanya berupa nyeri perut yang menyerupai nyeri pada
kolesistitis akut, mual dan muntah.kemudian timbul ikterus, demam leukositosis

dan eosinofilia, transaminase serum dan kadar bilirubin meninggi, kolesistogram


tidak menunjukkan kelainan.
Gejala klinis dan patologis sangat mirip dengan gangguan yang
ditimbulkan oleh klorpromazin. Kelainan ini biasanya menghilang dalam
beberapa hari setelah terapi dihentikan. Efek samping ini dijumpai pula pada
penggunaan Spiramisin etilsuksinat tetapi jarang sekali terjadi. Spiramisin oral
(terutama dalam dosis besar) sering menimbulkan iritasi saluran cerna seperti
mual, muntah dan nyeri epigastrium. Suntikan IM lebih dari 100mg menimbulkan
sakit yang sangat hebat. Pemberian 1g dengan infus IV sering disusul oleh
timbulnya tromboflebitis.
Ketulian sementara dapat terjadi bila Spiramisin diberikan dalam dosis
tinggi melalui IV. Spiramisin dilaporkan meningkatkan toksisitas karbamazepin,
kortikosteroid, siklosporin, digoksin, warfarin, dan teofilin.

III. FARMAKOKINETIK
Spiramisin diserap baik oleh usus kecil bagian atas, aktivitasnya hilang oleh
cairan lambung dan absorpsi diperlambat oleh adanya makanan dalam lambung.
Untuk mencegah pengerusakan oleh asam lambung, basa Spiramisin diberi
selaput yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau
etilsuksinat. Dengan dosis oral 500mg Spiramisin basa dapat dicapai kadar
puncak 0,3-1,9 ug/ml dalam waktu 4 jam.

Hanya 2-5 % Spiramisin yang diekskresi dalam bentuk aktif melalui urin.
Spiramisin mengalami pemekatan dalam jaringan hati. Kadar obat aktif dalam
empedu dapat melebihi 100x kadar yang tercapai dalam darah.
Masa paruh eliminasi Spiramisin adalah sekitar 1,6 jam. Dalam keadaan
insufisiensi ginjal tidak diperlukan modifikasi dosis.
Spiramisin berdifusi dengan baik ke berbagai jaringan tubuh kecuali ke
otak dan cairan serebrospinal. Kadarnya dalam jaringan prostat hanya sekitar 40%
dari kadar yang tercapai dalam darah. Pada ibu hamil, kadar Spiramisin dalam
sirkulasi fetus adalah 5-20% dari kadar obat dalam sirkulasi darah ibu.
Obat ini diekskresi terutama melalui hati. Dialisis peritonial dan hemodialisis
tidak dapat mengeluarkan Spiramisin dari tubuh.
Pada wanita hamil pemberian Spiramisin stearat dapat meningkatkan aktivitas
serum aspartat aminotransferase (AST) yang akan kembali ke nilai normal
walaupun terapi diteruskan.
Obat ini memberikan waktu paruh yang singkat dan efek pengikatan pada
proteinnya sedang.
Obat ini dieksresikan ke dalam empdu, feses, dan sebagian kecil, dalam
urin.Karena jumlah yang dieksresikan kedalam urin sedikit, maka insufisiensi
ginjal bukan merupakan kontra indikasi bagi pemakai Spiramisin.

FARMAKOKINETIK A-D-M-E:
1. A: Pemberian Spiramisin basa dihancurkan oleh asam lambung
sehingga

obat ini diberikan dalam bentuk tablet salut enterik atau

ester. Semua obat ini diabsorpsi secara adekuat setelah pemberian peroral.
2. D: Distribusi Spiramisin ke seluruh cairan tubuh baik kecuali ke
cairan sebrospinal. Obat ini merupakan satu diantara sedikit antibiotika
yang bedifusi ke dalam cairan prostat dan mempunyai sifat akumulasi
unit ke dalam makrofag. Obat ini berkumpul di hati.Adanya inflamasi
menyebabkan penetrasinya ke jaringan lebih baik.
3. M: Metabolisme Spiramisin dimetabolisme secara ekstensif dan
diketahui menghambat oksidasi sejumlah obat melalui interaksinya
dengan sistemsitokrom P-450.
4. E: Ekskresi Spiramisin terutama dikumpulkan dan diekskresikan
dalam bentuk aktif dalam empedu. Reabsorpsi parsial terjadi melalui
sirkulasi enterohepatik.

IV. SEDIAAN
Sedian dari Spiramisin berupa;
1.

Kapsul/ tablet

2.

Sirup/suspensi

3.

Tablet kunyah

4.

Dan obat tetes oral

SEDIAAN DAN POSOLOGI YANG LAIN

Tabel Posologi Spiramisin Preparat Kemasan Posologi/ cara pemberian


Keterangan Spiramisin:
Kapsul/tablet 250 mg dan 500 mg Dewasa : 1-2 g/hari, dibagi dalam 4 dosis
Anak : 30-50 mg/kg berat badan sehari dibagi dalam 4 dosis Dosis dapat
ditingkatkan 2x lipat pada infeksi berat Obat diberikan sebelum makan
Spiramisin stearat Kapsul 250 mg dan tablet 500 mg Suspensi oral
mengandung 250 mg/5 ml Dewasa : 250-500 mg tiap 6 jam atau 500 mg tiap
12 jam Anak : 30-50 mg/kg berat badan sehari dibagi dalam beberapa dosis
Idem Spiramisin etilsuksinat Tablet kunyah 200 mg Suspensi oral
mengandung 200 mg/5 ml dalam botol 60 ml Tetes oral mengandung 100
mg/2,5 ml dalam botol 30 ml Dewasa : 400-800 mg tiap 6 jam atau 800 m tiap
12 jam Anak: 30-50 mg/kg berat badan sehari dibagi dalam beberapa dosis
Obat tidak perlu diberikan sebelum makan

Indikasi:
Spiramisin digunakan untuk infeksi saluran napas, seperti tonsilitis, faringitis,
bronkitis, pneumonia, sinusitis dan otitis media.
Kontra Indikasi:
Pasien dengan riwayat hipersensitif terhadap spiramisin atau antibiotik makrolida
lainnya.

Efek Samping:
Efek samping yang serius dari spiramisin sangat jarang. Mual, muntah, diare,
nyeri epigastrik, ruang kulit dan urtikaria adalah efek samping yang biasanya
muncul pada pemberian oral.
Interaksi Obat:
Efek hepatotoksik dipertinggi oleh tetrasiklin.
Spiramisin bersifat antagonis dengan penisilin, streptomisin, kanamisin, neomisin,
dan polimiksin.
Perhatian:
1. Spiramisin harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan
hati karena dapat menyebabkan hepatotoksik.
2. Spiramisin tidak dianjurkan untuk ibu menyusui dan pada trimester pertama
kehamilan.
3. Hati - hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi ginjal.
4. Keamanan penggunaan pada bayi dan neonatus belum diketahui dengan pasti.

VI. GOLONGAN MAKROLIDA LAIN


Anti biotika golongan makrolid mempunyai persamaan yaitu terdapatnya
cincin lakton yang besar dalam rumus molekulnya. Spiramisin yang dianggap
paling penting dari golongan ini akan dibicarakan sebagai contoh utama dari
kelompok ini. Dalam kelompok ini termasuk juga spirasimin, roksitrosimin, dan
klaritromisin.
a)

Spiramisin.

Dihasilkan

oleh

Streptomyces

ambofaciens.

Berkhasiat

sebagai

bakteriostatik, dengan mekanisme kerja merintangi sintesis protein bakteri.


Antibiotik ini tidak stabil dalam suasana asam (mudah terurai oleh asam lambung)
dan kurang stabil pada suhu kamar. Untuk mencegah pengrusakan oleh asam
lambung maka dibuat tablet salut selaput atau yang digunakan jenis esternya
(stearat dan estolat) .
Karena memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin,
maka obat ini digunakan sebagai alternatif pengobatan pengganti penisilin, bagi
yang sensitif terhadap penisilin.
Sediaan : Spiramisin (generik) kapsul 250 mg, 500 mg

Spesialite obat-obat golongan makrolida

NO
1

GENERIK
Erytromisin

Spiramisin

NAMA DAGANG

PABRIK

Erysanbe

Sanbe

Erythrocyn

Abbot Indonesia

Rovamycine

Rhone Poulenc Ind

Spiradan

Dankos

3.

Roxythromycin

Rulid

Hoechst

Azithromycin

Zithromax

Pfizer

Zycin

Interbat

KLASIFIKASI
Klasifikasi insektisida antibiotika dan makrolida menurut Alan Wood
(2006) adalah sebagai berikut:

Insektisida antibiotika: allosamin dan thuringiensin

Insektisida lakton makrosiklik (makrolida)

- Kelompok avermektin: abamektin, doramektin, emamektin, eprinomektin,


ivermektin, selamektin
- Kelompok milbemisin: lepimektin, milbemektin, moksidektin
- Kelompok spinosin: spinetoram dan spinosad
- Kelompok naktin: dinaktin, trinaktin, tetranaktin, polinaktin

o PENJELASAN SINGKAT
Makrolida: Avermectin
Abamektin (abamectin)

Penjelasan singkat: Insektisida dan akarisida ini diisolasi dari fermentasi


bakteri Streptomyces avermitilis (Actinomycetes). Efeknya sebagai
akarisida dilaporkan oleh I. Putter dkk., pada tahun 1981, dan
diintroduksikan oleh Merck Sharp & Dohme Agvet (sekarang Syngenta).

Abamektin tersusun atas sedikitnya 80% avermektin B1a dan tidak lebih
dari 20% avermektin B1b.

Hama yang dapat dikendalikan: Digunakan untuk mengendalikan stadia


motile dari akarina, leaf miner (pengorok daun), serangga penusukpengisap, kumbang colorado, dsb., pada tanaman hias, kapas, jeruk,
sayuran, kentang, dan sebagainya.

Mode of action: Abamektin adalah racun syaraf yang bekerja dengan


menstimulasi produksi gamma-amino asam butirat (GABA: gammaaminobutyric acid, suatu penghambat neurotransmitter), menyebabkan
serangga yang terpapar mengalasi paralisis. Abamektin merupakan racun
kontak dan racun perut, sangat sedikit sifat sistemiknya, tetapi memiliki
sifat translaminar.
Di Indonesia abamektin terdaftar dengan nama-nama dagang, antara lain:

Agrimec, Amect, Aspire, Bamex, Calebtin, Catez, Demolish, Dimectin, Diomec,


Kiliri,Mitigate, Numectin, Promectin, Schumec, Sidamec, Stamec, Supemec,
Taldin,

Tsubamec,

dan

Wito.

Digunakan

(misalnya:

Agrimec)

untuk

mengendalikan Aphis pomi (apel), Thrips parvispinus (cabai), pengorok daun


Phyllocnitis citrella (jeruk), hama-hama Spodoptera, Phaedonia, Lamprosema,
Etiella, Riptortus (kedelai), Maruca (kacang panjang), Liriomyza spp. dan Thrips
palmi (kentang), Plutella (kubis) (Anton, 2006).

Emamektin (emamectin)

Penjelasan singkat: Insektisida ini diisolasi dari fermentasi bakteri


Streptomyces avermitilis (Actinomycetes). Emamektin tersusun atas
emamektin B1a dan emamektin B1b, dan diproduksi dalam bentuk
emamektin-benzoat.

Hama yang dapat dikendalikan: Emamektin terutama sangat baik untuk


mengendalikan larva Lepidoptera, dengan efek tambahan terhadap thrips,
tungau dan pengorok daun, pada tanaman sayuran, jagung, teh, kapas, dan
kedelai. Juga direkomendasikan digunakan dengan cara injeksi pohon
(pinus).

Mode of action: Emamektin terutama adalah racun kontak, yang


mempunyai efek sebagai racun perut. Hanya memiliki sediukit efek
sebagai racun sistemik (diserap lewat akar tanaman), tetapi memiliki efek
translaminar yang kuat. Terhadap serangga bekerja sebagai racun syaraf,
yang secara biokimia bekerja dengan menstimulasi gamma amino asam
butirat (GABA).

Makrolida: Milbemycin
Milbemektin (milbemectin)

Penjelasan singkat: Insektisida dan akarisida ini dihasilkan dari fermentasi


bakteri

(Actinomycetes)

Streptomyces

hygroscopius

subsp.

aureolacrimosus. Milbemektin tersusun atas 2 jenis milbemisin yang


homolog, yakni milbemisin A3 (metil-milbemisin) dan milbemisin A4
(etil-milbemisin), dengan perbandingan 3 : 7.

Hama yang dapat dikendalikan: Milbemektin merupakan insektisida dan


akarisida yang kuat, digunakan untuk mengendalikan tungau merah dan
tungau merah jambu pada jeruk, dan tungau-tungau lainnya termasuk
spider mite. Juga direkomendasikan untuk mengendalikan pengorok daun
pada jeruk dan teh.

Mode of action: Bekerja sebagai racun syaraf, yang merangsang produksi


gamma amino asam butirat (GABA), sehingga menghambat kerja
neurotransmiter. Milbemektin adalah racun kontak dan racun perut, semi
sistemik dengan efek translaminar.

Makrolida: Spinosin
Spinosad

Penjelasan singkat: Insektisida spinosad komersial merupakan campuran


dari spinosin A dan spinosin B, yang diperoleh sebagai metabolit sekunder
dari fermentasi dari bakteri aerobik, gram-positif, Saccharopolyspora
spinosa (Actinomycetes).

Hama yang dapat dikendalikan: Spinosad direkomendasikan untuk


mengendalikan larva Lepidoptera, pengorok daun, thrips, dan kumbang
pemakan daun, pada sayuran, jagung, kapas, anggur, tanaman hias. Juga
digunakan di bidang peternakan.

Mode of action: Secara biokimia spinosad bekerja pada reseptor nikotinik


asetilkholin, tetapi pada lokasi yang berbeda dengan isteksida dari kelas
nikotinoid atau neonikotinoid. Spinosad juga mempengaruhi reseptor

GABA, tetapi peranannya belum jelas. Racun kontak dan racun perut.
- LD50 oral: 3783 mg/kg bb (tikus jantan), >5000 mg/kg bb (tikus betina).

Makrolida: Naktin
Polinaktin (polynactins)

Penjelasan singkat: Akarisida polinaktin, yang merupakan campuran dari


dinaktin, trinaktin dan tetranaktin, merupakan metabolit sekunder dari
fermentasi Streptomyces aureus isolat S-3466.

Hama yang dapat dikendalikan: Sangat efektif, terutama pada kondisi


basah, untuk mengendalikan tungau (akarina) seperti Tetranychus
cinnabarinus, Tetranychus urticae dan Panonychus ulmi pada tanaman
buah.

Mode of action: Secara biokimia, polinaktin bekerja mempengaruhi


mitokondria. Air sangat penting untuk bekerjanya senyawa kimia ini.

VII. AKTIVITAS ANTI MIKROBA


Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman dengan jalan
berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit 50S, dan bersifat
bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis kuman dan kadarnya.
Spektrum antimikroba. In vitro, efek terbesar Spiramisin terhadap kokus gram
positif, seperti

Str. Pyogenes dan Str. Pneumoniae. Str. Viridans mempunyai

kepekaan yang bervariasi tehadap Spiramisin. S. Aureus hanya sebagian yang

peka terhadap obat ini. Strain S. Aureus yang resisten terhadap Spiramisin sering
dijumpai di rumah sakit (strain nosokomial).
Batang gram positif yang peka terhadap Spiramisin ialah Cl. Perfringes,
C. Diphtheriae, dan L. Monocytogenes.
Spiramisin tidak aktif terhadap kebanyakan kuman gram negatif, namun
ada beberapa spesies yang sangat peke terhadap Spiramisin yaitu N.gnorrhoeae,
Campylobacter jejuni, M. Pneumoniae, Legionella pneumophilia, dan C.
Trachomatis. H. Influenzae mempunyai kepekaan yang berfariasi erhadap obat ini.

BAB III
PEMBAHASAN
Penelitian mengenai obat spiramisin telah banyak dilakukan, antaralain
oleh Widiastuti dan Murdiati (2011) dengan judul Penelitian Residu Antibiotika
Spiramisin Pada Hati Dan Daging Ayam Pedagingyang Dicekok Antibiotika
Spiramisin. Menurut penelitian Spiramisin adalah salah satu antibiotika
golongan makrolida yang banyak digunakan di bidang peternakan untuk
pengobatan penyakit saluran pernafasan atau sebagai imbuhan untuk pemacu
pertumbuhan. Namun penggunaan obat hewan yang melebihi dosis yang
ditentukan dan/atau saat pemotongan yang tidak memperhatikan waktu hentinya
akan menimbulkan residu pada produk ternak. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui distribusi terbentuknya residu spiramisin pada organ
hati dan daging (otot) dari ayam pedaging usia 6 minggu yang dicekok dengan
1 g/l spiramisin selama 7 hari berturut-turut. Residu spiramisin dari sampel organ

hati dan daging yang telah diekstraksi kemudian dianalisis dengan kromatografi
cair kinerja tinggi (KCKT). Residu spiramisin yang terbentuk dalam daging (otot)
sangat cepat menghilang dan sehari pasca penghentian pencekokan residu sudah
tidak terdeteksi lagi. Sebaliknya, konsentrasi residu padaorgan hati terdeteksi
lebih tinggi dan mampu bertahan lebih dari 7 hari pasca penghentian
dibandingkan dengan residu pada daging ayam.
Pada penelitian ini digunakan 50 ekor ayam pedaging (galur Shaver
Starbro, PT Cargill) berumur 6 minggu dengan berat badan sekitar 1 1,2 kg
yang dipelihara secara liter dan dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok A
(perlakuan) yang terdiri atas 36 ekor (3 ekor diantaranya untuk cadangan)
yang dicekok dengan 1 mllarutan spiramisin dengan dosis 1 g/l selama 7 hari
berturut-turut dan kelompok B (kontrol negatif) sebanyak 15 ekor (4 ekor
diantaranya untuk cadangan) yang tidak diberi cekokan. Ayam yang telah
dicekok dengan spiramisin selama 7 hari berturut-turut kemudian diterminasi
sesaat setelah pencekokan terakhir (0 jam), dan selanjutnya pada jam ke-12,
24, 36, 48, 60, 72, 96, 120, 144 dan 168 setelah pemberian terakhir
spiramisin untuk dilakukan koleksi terhadap daging (otot) dan organ hati dan
disimpan pada suhu -45C sampai waktu analisis.
Analisis residu spiramisin dilakukan dengan mengeskstraksi terlebih
dulu 10 g sampel hati maupun daging (otot) yang telah dihomogenkan dan
dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml dan ditambahkan sebanyak 60 ml
asetonitril ke dalamnya dan kemudian dikocok dengan shakerselama 1 jam.
Ekstrak asetonitil disaring

dan

dikeringkan

pada

suhu 45C, kemudian

ditambah dengan 20 ml bufer fosfat (pH 6), dan selanjutnya dicuci dengan 20 ml

heksana sebanyak 3 kali dan fasa heksana dibuang. Fasa bufer fosfat yang
tertinggal diulangi untuk diekstraksi sebanyak 3 kali dengan 20 ml kloroform
yang akhirnya dikeringkan dengan rotavapor pada suhu 45C. Kemudian ekstrak
kering

dilarutkan

dengan 200 l campuran asetonitril dan 0,1 M natrium

dihidrogen fosfat (23 : 77) dan selanjutnya diidentifikasi dan dianalisis


terhadap residu spiramisin dengan menyuntikkan 20 l sampel ke dalam alat
KCKT Waters 501 HPLC Pump (Waters, Milford, USA) dengan kolom Bondapak C18(Waters, Milford, USA) dan fasa gerak yang terdiri atas campuran
asetonitril dan 0,1 M natrium dihidrogen fosfat (23 : 77) dengan kecepatan
alir 1,0 ml/menit dan detektor UV pada panjang gelombang 231 nm.
Hasil analisis residu spiramisin pada organ hati dan daging dari ayam
kelompok A yang dicekok 1g/l (1000 ppm) selama 7 hari berturutturut dapat
dilihat pada Tabel 1. Sedangkan residu pada hewan kelompok B tidak terdeteksi
adanya spiramisin (data tidak ditampilkan). Residu spiramisin yang

berada

dalam daging sangat cepat menghilang. Konsentrasi sesaat (0 jam) setelah


pemberian dosis terakhir yaitu

sebesar

0,41

ppm,

selanjutnya

12

jam

kemudian meningkat menjadi 1,17 ppm. Namun sehari pasca penghentian


pencekokan residu spiramisin sudah tidak terdeteksi lagi, sedangkan residu
pada organ hati memperlihatkan bahwa konsentrasi 24 jam pasca penghentian
besarnya residu masih cukup rendah,yaitu 0,30 ppm, selanjutnya meningkat dan
mencapai puncaknya hingga 134,36 ppm pada jam ke-60 setelah penghentian
pemberian spiramisin, kemudian turun menjadi 2,27 ppm pada 168 jam (hari
ke-7) setelah pemberian terakhir, namun konsentrasi pada saat itu belum
berada di bawah BMR yang ditetapkan FAO/WHO (2010) yaitu sebesar 0,60

ppm. Residu yang ditemukan pada organ hati lebih tinggi dan bertahan lebih
lama melebihi 7 hari pascapenghentian

dibandingkan keberadaannya pada

daging. Penelitian sejenis yang dilakukan oleh BOSC et al. (1993) dengan
dosis 0,8 g/l (800 ppm) selama 3 hari dan dilakukan pengamatan konsentrasi
residu

pada

hari pascapemberian

juga

menunjukkan

bahwa residu

spiramisin tidak terdeteksi pada daging maupun kulit, namun terlihat lebih
tinggi pada hati dibandingkan dengan ginjal.
Penelitian kedua tentang obat spiramisin pernah dilakukan oleh Pinca,
Djati dan RifaI (2014). dengan judul penelitian Analisis Mobilisasi Sel T CD4 +
dan CD8+ pada Timus Ayam Pedaging Pasca Infeksi Salmonella typhimurium dan
Pemberian Simplisia Polyscias obtusa. menurut penelitian Penggunaan
antibiotik Bacitracin, kuramicin, higramomicin, kolistin, kiamisin, spiramisin,
tiamulin, virginiamisin, aviamisin, flavomisin dan tetrasiklin biasa ditambahkan
kedalam dalam pakan sebagai perlindungan bagi ternak dari penyakit.
Penelitian mengenai obat spiramisin juga pernah dilakukan oleh Nofiani,
Nurbetty dan Sapar (2009). Menurut penelitian mereka peningkatan jumlah kasus
resistansi bakteri patogen terhadap antibiotik akhir-akhir ini memicu peningkatan
pencarian sumber senyawa antimikroba yang baru. Salah satu sumber potensial
penghasil senyawa antimikroba adalah bakteri yang berasosiasi dengan spons.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh ekstrak bakteri yang berasosiasi dengan
spons yang memiliki aktivitas antimikroba. Berdasarkan skrining aktivitas
antimikroba dengan metode goresan pada agar diperoleh 2 isolat yang berpotensi
menghasilkan senyawa yang mempunyai aktivitas antimikroba yaitu: LCS 1 dan
LCS 2. Selanjutnya kedua isolat bakteri di perbanyak dan metabolit sekunder

yang dihasilkan di panen dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut metanol.


Nilai konsentrasi hambat minimum (KHM) ekstrak LCS 1 terhadap S. aureus,
Salmonella sp. dan Bacillus subtilis berturut-turut adalah 1.000 g/sumur,
950 g/sumur dan 800 g/sumur. Nilai KHM ekstrak LCS 2 adalah 500
g/sumur terhadap S. aureus, 1.050 g/sumur terhadap Salmonella sp., 350
g/sumur terhadap P. aeruginosa dan 750 g/sumur terhadap B. subtilis.
Berdasarkan nilai KHM tersebut, ekstrak senyawa dari bakteri LCS1 dan LCS 2
menunjukkan aktivitas antimikroba yang lemah.
Studi tentang bakteri patogen resistan

antibiotik

telah

banyak

dilakukan. Hasil penelitian menunjukka bahwa terjadi peningkatan jumlah kasus


bakteri patogen resistan antibiotik. Tahun 2005 lebih 19.000 kasus kematian di
Amerika dan Inggris disebabkan Staphylococcus aureus resistan methicillin
(SARM) (Kennedy et al., 2009). Kasus kematian yang disebabkan SARM
meningkat tajam dari 51 kasus pada tahun 1993 sampai

1.652 tahun 2006

di Inggris. Strain Aeromonas hydrophila dan Aeromonas veronii yang diisolasi


dari air minum, pasien rumah sakit dan daging menunjukkan resisten
terhadap ampisilin, amoksilin, sefasetril, klokasilin, linkomisin, spiramisin dan
penisilin G (Orozova et al., 2008).
Penelitian selanjutnya mengenai obat Spiraminsin pernah dilakukan oleh
Wahyuni (2014). Menurutnya Dibanyak negara deteksi antibodi terhadap
Toxoplasma dilakukan secara rutin pada ibu hamil untuk

mengetahui

ada

tidaknya infeksi akut maupun kronis. Untuk mengetahui adanya toxoplasmosis


kongenital pada bayi dari ibu yang tedeteksi positif serologis di rekomendasikan
untuk: i) diagnosisprenatal berdasarkan uji molekul cairan dan USG pemeriksaan

ketuban; ii) pengujian molekuler plasenta dan darah tali pusat, tes serologi ibuanak komparatif dan pemeriksaan klinis saat lahir; iii) Pemeriksaan neurologis
dan oftalmologi dan survei serologis selama tahun pertama kehidupan.
Wanita hamil harus menghindari daging mentah atau kurang matang
begitu juga susu segar. Karena hubungan yang jelas antara Toxoplasma dan
kucing, juga sering disarankan untuk menghindari paparan untuk kotoran kucing,
dan menahan diri dari berkebun (kotoran kucing mungkin ada di tanah) atau
setidaknya memakai sarung tangan (Kapperud G, et al., 1996).
Kucing umumnya terinfeksi Toxoplasma pada umur dibawah 6 bulan
bulan pertama kehidupan mereka. Mereka menumpahkan ookista hanya untuk
waktu singkat (1-2 minggu) setelah terinfeksi. Namun, ookista ini terkubur
dalam tanah akan bersporulasi dan tetap menular untuk jangka waktu lebih dari
satu tahun (Hill D & Dubey JP, 2002). Beberapa penelitian menunjukkan hidup
dalam sebuah rumah tangga dengan kucing dewasa bukan merupakan faktor
risiko yang signifikan untuk infeksi T. gondii, Namun, resiko meningkat jika
terdapat anak kucing.
Pengobatan ini sangat penting bagi wanita hamil yang baru terinfeksi,
untuk mencegah infeksi janin. Karena sistem kekebalan tubuh bayi tidak
berkembang sepenuhnya untuk tahun pertama kehidupan, dan kista tangguh
yang membentuk seluruh tubuh sangat sulit untuk memberantas dengan
antiprotozoans, infeksi bisa sangat serius dalam muda.
Untuk toksoplasmosis akut diberikan Pirimetamin sebagai obat tunggal
maupun dikombinasi dengan Sulfadiazin. Terapi kombinasi biasanya diberikan
dengan suplemen asam folat untuk mengurangi kejadian trombositopenia. Terapi
kombinasi terutama dipakai pada pasien HIV. Klindamisin juga dapat digunakan

pada fase akut. Spiramisin adalah antibiotik yang paling sering digunakan untuk
wanita hamil untuk mencegah infeksi pada janin.

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Spiramycin adalah kelompok obat antibiotik mikrolid yang berfungsi mengatasi
berbagai macam infeksi. Obat ini sering digunakan untuk mengobati
toksoplasmosis pada wanita hamil karena dapat menurunkan risiko penyebaran
infeksi pada bayi yang belum lahir. selain itu Spiramisin digunakan untuk infeksi
saluran nafas, seperti tonsilitis, faringitis, bronkitis, pneumonia, sinusitis dan otitis
media.

DAFTAR PUSTAKA

Gunawan, S.G. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi


dan Terapeutik FK UI: Jakarta.
Harmita dan Radji, M., 2008. Kepekaan Terhadap Antibiotik. Dalam: Buku Ajar
Analisis Hayati, Ed.3. EGC, Jakartar: 1-5
Theodorus, 1996. Penuntun praktis peresepan obat. Jakarta: EGC
L.K. Joice &R.H Evelyn, 1996. Farmakologi Pendekatan dalam proses
keperawatan. Alih Bahasa: dr. Peter Anugrah.
Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai