DEFINISI
Graves disease adalah pnyakit autoimun dimana tiroid terlalu aktif menghasilkan jumlah
yang berlebihan dari hormone tiroid (ketidakseimbangan metabolism serius yang dikenal sebagai
hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan kulit. Penyakit
Graves merupakan bentuk tiroksikosis yang tersering dijumpai dan dapat terjadi pada segala
usia, lebih sering terjadi pada wanita disbanding pria. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih
dari gambaran tirotoksikosis, goiter, ophtalmopathy (exophtalmus), dermopathy (pretibial
myxedema).
A. Etiologi Graves Disease
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang disebabkan thyroidstimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan mengaktifkan thyrotropin receptor
(TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves
berbeda dari penyakit imun lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti
hipertiroid, vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy
(Karasek dan Lewinski, 2003).
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita
mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50%
dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya.
Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi
pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun
(Shahab, 2002; Harrison, 2000).
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis, infeksi, faktor
trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara drastis, chorionic gonadotropin,
periode post partum, kromosom X, dan radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).
1. Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara mengelompok
dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek sehari-sehari sering ditemukan
pengelompokkan penyakit graves dalam satu keluarga atau keluarga besarnya dalam
beberapa generasi. Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang
abnormal. Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita
penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam penyakit graves.
Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang berhubungan dengan alotipe IgG rantai
berat (IgG heavy chain) yang disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan erat
terlihat antara penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3 sedangakan pada orang Jepang
HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4 dan di Filipina seperti dilaporkan oleh
Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan risk-ration 5,1.
Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu memproduksi
immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan dalam mengatur fungsi limfosit Tsupresor dan T-helper dalam memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan
limfosit B untuk membuat TSAb.
2. Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ spesifik, yang
ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid (thyroid stimulating
antibody atau TSAb).
Teori imunologis penyakit graves :
a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif
b. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic khusus
c. rendahnya sel T dengan fungsi suppressor
d. adanya cross reacting epitope
e. adanya ekspresi HLA yang tidak tepat
f.
autoimmunity. Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap komponen
tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode prenatal.
Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari berbagai faktor, misalnya
gangguan faktor imunologik, virologik, hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor
tersebut dapat berefek secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya
autoantibodi dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya
seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated response, yang
biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup meningkatnya TSAb, Anti
TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI
(Cell Mediated Immunoglobulin).
Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb. Setelah terikat
dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis TSH dan merangsang adenilat
siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu reseptor TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali
berbeda karena efeknya yang lama, efek seluler yang ditimbulkannya identik dengan efek
TSH yang berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer pasif ini
mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal, tetapi hanya berlangsung
selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi. Biasanya pengaruhnya akan hilang
dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya TSAb dapat
disebabkan oleh:
a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi yang dapat
bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan yang banyak diteliti adalah
organisme Yersinia enterocolica. Beberapa subtipe organisme ini mempunyai
binding sites untuk TSH, dan beberapa pasien dengan penyakit graves juga
menunjukkan antibodi terhadap anti-Yersinia.
b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal komponen
tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi antigenik, sehingga
bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan TSAb.
c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama dirahim tidak
deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus dirangsang dan mengalami
diferensiasi menjadi antibody-secreting cells yang secara terus-menerus distimulasi.
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik secara cepat
berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap
berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa
hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu
menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4 dan 65% T3
yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik, termasuk 10%
dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas
biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan
kemudian dirubah menjadi T3, atau diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati
dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses
pengeluaran yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang
secara biologis aktif di tingkat sel.
Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid
1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan dengan
reseptornya di inti sel.
2. Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP (adenosin
trifosfat) meningkat.
3. Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.
4. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa janin
C. Patofisiologi Graves Disease
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang
berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi
dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan
dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme
autoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,
oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita
dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila
terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekulmolekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan
antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan antibodi
sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan tiroglobulin
atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk
dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga
menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam
jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi
glikosaminoglikans (Shahab, 2002).
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti
takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama
epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam
otot jantung (Shahab, 2002).
kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi (Price dan
Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal
hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus (Stein, 2000).
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American Thyroid
Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai keadaan awal
tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila keadaan tirotoksikosisnya diobati
secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita.
Kelas 2, ditandai dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3, ditandai dengan
adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel exophthalmometer. Pada kelas 4,
terjadi perubahan otot-otot bola mata berupa proses infiltratif terutama pada musculus
rectus inferior yang akan menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila
mengenai musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam menggerakkan
bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan pada kornea (terjadi keratitis).
Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus opticus, yang akan menyebabkan kebutaan
(Shahab, 2002).
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot ekstraokuler
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler akan menyebabkan proptosis (penonjolan)
dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi
diplopia. Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT
scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi
penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan (Shahab, 2002).
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan
antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak
tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit
graves dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis yang lebih
mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan
adanya palpitasi , dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan (Shahab,
2002).
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang relatif jarang
ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000 kehamilan. Kebanyakan
pasien dilahirkan dari ibu yang menderita penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi
pada ibu dengan keadaan hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan
ablasi iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak juga dapat
dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks newcastle yaitu sebagai berikut:
Tabel 1: Indeks Wayne
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah Berat
Sesak saat kerja
Berdebar
Kelelahan
Suka udara panas
Suka udara dingin
Keringat berlebihan
Gugup
Nafsu makan naik
Nafsu makan turun
Berat badan naik
Berat badan turun
Nilai
+1
+2
+2
-5
+5
+3
+2
+3
-3
-3
+3
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tanda
Tyroid teraba
Bising tyroid
Exoptalmus
Kelopak mata tertinggal gerak bola mata
Hiperkinetik
Tremor jari
Tangan panas
Tangan basah
Fibrilasi atrial
Nadi teratur
Ada
+3
+2
+2
+1
+4
+1
+2
+1
+4
Tidak Ada
-3
-2
-2
-2
-1
-
-3
+3
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada skema dibawah
ini:
pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas (Shahab,
2002).
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit Graves dan
hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan
(axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon
tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam
keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid
tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel
folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus,
sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini
menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan
bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut
TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05
mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4)
(Subekti, 2001; Shahab, 2002; Price dan Wilson, 1995).
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis laboratorik :
a. Pemeriksaan metabolisme basal
pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang baik, harus
dilakukan oleh orang yang berpengalaman.
b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,
untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit (severity) serta
merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan tunggal FT4 atau TSH dirasakan
cukup, tetapi karena masing-masing mempunyai kelemahan maka banyak ahli
menganjurkan untuk menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid
yang tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,
penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal, lebih-lebih di
daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s
mudah dan dijalankan dimana-mana maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini
dianjurkan pada : kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam
jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat keluarga, dan test
antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat dibedakan etiologi tirotoksikosis
apakah morbus graves atau sebab lain
d. Sidik tiroid
jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba atau teraba nodul
yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom marine-lenhardt ditemukan waktu
melakukan sidik tiroid, yang ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas
dasar kelenjar toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non
toksik. Meskipun demikian tidak boleh dilupakan untuk menyingkirkan kemungkinan
keganasan. Graves selalu dengan gondok hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus
tiroid, TRAb dan TPOAb
e. Pemeriksaan terhadap antibodi.
Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun dengan
pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun meningkat sesudah pengobatan
RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua
anti Tg-Ab positif juga positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.
Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara sebagai berikut:
1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis
2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.
3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH yaitu TSAb
(yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs dalam sirkulasi justru rendah)
atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU) yang meningkat.
4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah diagnosis ini
yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah normal dan alkali fosfatase
meningkat.
3. Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas sehingga diagnosis
kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas dapat ditemukan pada miopati
akibat penyakit Graves, namun harus dibedakan dengan kelainan neurologik primer
(Shahab, 2002).
Pada sindrom yang dikenal dengan familial dysalbuminemic hyperthyroxinemia
dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin (albumin-like protein) didalam
serum yang dapat berikatan dengan T4 tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan kadar T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal.
Disamping tidak ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH
serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan penyakit Graves
(Shahab, 2002).
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita laki-laki etnik
Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid disertai hipokalemi. Paralisis
biasanya membaik secara spontan dan dapat dicegah dengan pemberian suplementasi
kalium dan beta bloker. Keadaan ini dapat disembuhkan dengan pengobatan
tirotoksikosis yang adekuat (Shahab, 2002).
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan gejala-gejala
kelainan jantung, dapat berupa:
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung sebelumnya,
dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan pengobatan terhadap
tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat ditemukan gejala-gejala berupa
penurunan berat badan, struma yang kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa
adanya gambaran klinis dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas.
Keadaan ini dikenal dengan apathetic hyperthyroidism (Shahab, 2002).
4.
Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang berat sehingga
dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus terjadinya krisis tiroid pada
penderita tirotoksikosis antara lain:
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
- Terapi yodium radioaktif.
Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati secara
adekuat.
Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma, infeksi akut,
alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda hipermetabolisme
tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar T4
dan T3 didalam serum penderita dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan
dengan kadarnya pada penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid (Shahab, 2002).
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat peningkatan
produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi terbukti bahwa pada krisis
tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor terhadap katekolamin, sehingga jantung dan
jaringan syaraf lebih sensitif terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi (Shahab,
2002).
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari seluruh
kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu terjadinya krisis
tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian intrauterin. Selain itu hipertiroidisme
dapat juga menimbulkan preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan
jantung kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah
serta peningkatan angka kematian perinatal (Mansjoer, 1999).
E. Penatalaksanaan Graves Disease
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom penyakit Graves
adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol
keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap
hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi
Yodium Radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat
ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya (Subekti, 2001;
Shahab, 2002).
1. Obat obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah
tiamazol yang isinya sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme
aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi biosintesis hormon tiroid T-3
dan T-4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat
coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat
sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi T-4 ke T-3 ini, PTU lebih
dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon
tiroid di perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan
biosintesis hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai
dosis tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka
waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan
bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi
spontan, yang biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid
biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis,
diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis
PTU dimulai dengan 100 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20
40 mg/hari dosis terbagi untuk 3 6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis
dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan
metimazol / tiamazol 5 10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan
klinis eutiroid dan kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap
sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab lainnya
seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar
hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis
tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi
selama 1 2 bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5 20 mg perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan timbulnya efek
samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai efek samping agranulositosis
yang lebih kecil), gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi
dalam beberapa bulan pertama pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping
yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.. Agranulositosis
biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk mencegah infeksi perlu
diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian terapi dengan
Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular
toxicity dan Arthralgia Akut. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut,
sebelum memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit
darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah
terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan
memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas
pengobatan yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek samping
yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain,
misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves
adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi remisi.
Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai perkembangan
klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan
diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih
Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi penghambat monoamin oksidase
(Subekti, 2001; Shahab, 2002).
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated radiographic contrast,
potassium perklorat dan litium karbonat, meskipun mempunyai efek menurunkan
kadar hormon tiroid, tetapi jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan
penyakit Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid,
untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif (Shahab,
2002).
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia muda dengan
ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan. Pengobatan dengan Obat
Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman dan relatif murah, namun jangka waktu
pengobatan lama yaitu 6 bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi.
Kelemahan utama pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%. Kekambuhan
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama pengobatan, kepatuhan
pasien dan asupan yodium dalam makanan. Kadar yodium yang tinggi didalam
makanan menyebabkan kelenjar tiroid kurang sensitif terhadap OAT (Shahab, 2002).
2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves dengan cara
kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada tahun 1991 melaporkan
bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya 1,7% pada kelompok penderita yang
mendapat terapi kombinasi methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada
kelompok kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole (Subekti, 2001).
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan struma yang
besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan eutiroid dengan pemberian
OAT (biasanya selama 6 minggu). Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif,
diberikan larutan Lugol atau potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan
untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat ini
masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan tiroid yangn harus
diangkat (Subekti, 2001).
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan
oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid
yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan
2 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan
suplemen
tiroid
setelah
mengalami
tiroidektomi
pada
penyakit
Graves.
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat jarang kambuh.
Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah terjadi karena massa yodium dalam
dosis 131I yang diberikan sangat kecil, hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru
terlihat setelah 8 12 minggu, dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek
yodium radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons
terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh besarnya dosis 131I
dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis kelamin, ras dan asupan yodium dalam
makanan sehari-hari (Shahab, 2002).
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif adalah
hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh besarnya dosis; makin
besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin tinggi angka kejadian hipotiroidisme
(Shahab, 2002).
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 Ci/g berat jaringan tiroid,
didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10% dalam 2 tahun pertama dan sekitar
3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya antigen tiroid
dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH), dapat dicegah dengan
pemberian kortikosteroid sebelum pemberian I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya sangat jarang
terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara mendadak (leakage)
pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk mencegahnya maka sebelum minum
yodium radioaktif diberikan OAT terutama pada pasien tua dengan kemungkinan
gangguan fungsi jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau selama 3 sampai 6
bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi tiroid cukup dipantau setiap 6
sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk mendeteksi adanya hipotiroidisme (Shahab, 2002).
5. Pengobatan Oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan oftalmologis dalam
menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia, iritasi dan rasa kesat pada mata dapat
diatasi dengan larutan tetes mata atau lubricating ointments, untuk mencegah dan
mengobati keratitis. Hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan
merokok, menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata gelap
dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema periorbital.
Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obat-obat yang mempunyai khasiat
imunosupresi dapat digunakan seperti kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT
sendiri dan hormon tiroid. Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan
rehabilitatif seperti dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata
(Shahab, 2002).
Yang menjadi masalah di klinik adalah bila oftalmopati ditemukan pada pasien
yang eutiroid; pada keadaan ini pemeriksaan antibody anti-TPO atau antibody
antireseptor TSH dalam serum dapat membantu memastikan diagnosis. Pemeriksaan CT
scan atau MRI digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kelainan orbita
lainnya (Shahab, 2002).
6. Pengobatan Krisis Tiroid
Pengobatan krisis
tiroid
meliputi
pengobatan
terhadap
hipertiroidisme
antibody, sehingga menghasilkan keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat
antirioid dapat dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid,
tetap dapat menyusui bayinya dengan aman (Subekti, 2001).
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit
Graves
(goiter
difusa
toksika)
yang
merupakan
penyebab
tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik
yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita dibanding pria, terutama pada usia 20
40 tahun.
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal hipertiroidisme, goiter difus
dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses
pematangan tulang. Pada penderita usia tua (>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok
terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi,
dyspnea deffort, tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH. Bila T3 dan T4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi,
maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan
USG tiroid) jarang dilakukan. Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut
yang dapat mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves, yaitu: Obat anti
tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium Radioaktif dengan (I131).
Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme (menghambat produksi
hormon, menghambat pelepasan hormon dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian
kortikosteroid, penyekat beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik
(koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.