Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

Graves Disease

Oleh:

Rizky Harsya Maulana

1620221195

Pembimbing:

dr. Mursida Syarifuddin Kamran, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT


DALAM
RSUD PASAR MINGGU PERIODE 15 OKTOBER–22
DESEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN
NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN

Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, tahun1830, adalah
penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi berlebihan dari
kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves disease lazim juga
disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk pembesaran kelenjar
gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan atau pembesaran kelanjar
tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa bermacam-macam.
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang paling
sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering
ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves yang
paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus),
tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai
oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang.
Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme yang
belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita penyakit Graves.
Berdasarkan ciri-ciri penyakitnya, penyakit Graves dikelompokkan ke dalam
penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya antibodi terhadap reseptor
TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor Antibody / TSHR-Ab) dengan
kadar bervariasi.
Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi tiap
tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi pada usia
40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki maupun
perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi penyakit grave
sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang kulit hitam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid


Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya
memiliki berat 15 - 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam hormon, yaitu
tiroksin (T4), triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid merupakan
kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan kiri),
dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat di bawah
cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang membentang ke
atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.

Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:


1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta
atau A. anonyma.
Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:
1. V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).
2. V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).
3. V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri).

Persarafan kelenjar tiroid:


1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang
N.vagus)
3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita
suara terganggu (serak/stridor)

Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid


1. Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan residu
tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula melibatkan enzim
tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini diperkirakan
juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik
secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan
kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon
tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55% T4
dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3
memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun,
sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau
diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar 80%
T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran yodium
di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid yang secara
biologis aktif di tingkat sel.

Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid


1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan
dengan reseptornya di inti sel.
2. Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP
(adenosin trifosfat) meningkat.
3. Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.
4. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa janin

B. Definisi Graves Disease


Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh
produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan
gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, dan
oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol)

C. Etiologi Graves Disease


Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan
mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis dan
melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun lainnya
karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid, vascular
goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy.
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15%
penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit
yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan
autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur.
Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.
1. Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara
mengelompok dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek
sehari-sehari sering ditemukan pengelompokkan penyakit graves dalam satu
keluarga atau keluarga besarnya dalam beberapa generasi. Abnormalitas ini
meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang abnormal. Meskipun demikian
TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita penyakit gaves
diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.
2. Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ
spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar tiroid
(thyroid stimulating antibody atau TSAb).
Teori imunologis penyakit graves :
a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif
b. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic
khusus
c. rendahnya sel T dengan fungsi suppressor
d. adanya cross reacting epitope
e. adanya ekspresi HLA yang tidak tepat
f. adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi
g. adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.
Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem imun tidak
bereaksi atau memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen tubuh
sendiri yang disebut mempunyai toleransi imunologik terhadap komponen
diri. Apabila toleransi ini gagal dan sistem imun mulai bereaksi terhadap
komponen diri maka mulailah proses yang disebut autoimmunity. Akibatnya
ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap komponen tubuh, dan
terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode prenatal.
Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari berbagai
faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik, hormonal dan
faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek secara tunggal
maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya autoantibodi dapat
menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan sebaliknya seringkali
autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated response,
yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya mencakup
meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi terhadap
jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell Mediated Immunoglobulin).
Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb.
Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis
TSH dan merangsang adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu
reseptor TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali berbeda karena efeknya yang
lama, efek seluler yang ditimbulkannya identik dengan efek TSH yang
berasal dari hipofisis. Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun
umum. Terbentuknya TSAb dapat disebabkan oleh:
a. Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi
yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan
yang banyak diteliti adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa
subtipe organisme ini mempunyai binding sites untuk TSH, dan
beberapa pasien dengan penyakit graves juga menunjukkan antibodi
terhadap anti-Yersinia.
b. Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal
komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi
antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan
TSAb.
c. Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama
dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb harus
dirangsang dan mengalami diferensiasi menjadi antibody-secreting
cells yang secara terus-menerus distimulasi. Aktivasi, pengembangan
dan kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan interleukin atau
sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah kondisi
autoimmun dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH. Penyakit
graves adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi
dengan faktor endogen dan faktor lingkungan untuk menjadi penyakit.
Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA seperti
TNF-β, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor
TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa
faktor infeksi.
3. Radiasi Tiroid eksternal
Dilaporkan kasus eksoftalmus dan tirotoksikosis sesudah
mengalami radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara teoritis
radiasi ini yang merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan hipotiroidisme,
dapat melepaskan antigen serta menyulut penyakit tiroid autoimmun.
Iradiasi memberi efek bermacam-macam pada subset sel T, yang
mendorong disregulasi imun.
4. Chorionic Gonadothropin Hormon
Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh
jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi secara
imunologik cross-react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini ialah hCG
(yang mempunyai sub unuit alfa yang sama dengan TSH) atau derivat hCG
yang desialated. Efek yang menyerupai efek TSH pun dikeluarkan oleh
karsinoma testis embrional (seminoma testis). Secara klinis gejala
tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum, dimana T4 dan juga
T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau hebat maka klinis
terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya berhenti maka kadar
hormon tiroid diatas kembali normal.

D. Patofisiologi Graves Disease


Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap
antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang
limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang
disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid
sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan
TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi
yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme autoimunitas
merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,
oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid
yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R).
Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas
dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer
cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola
mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan
menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan
pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi
sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikans
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena
terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung (Shahab,
2002).
Gambar 1: Patogenesis Penyakit Graves

E. Gambaran Klinis Graves Disease


1. Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri
tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme
berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang
berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat
semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun
nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan srta atrofi
otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal
yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan
pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata
dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran
klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal
hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American
Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan
singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang
umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia,
diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin.
Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat berupa amenore atau
infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan
percepatan proses pematangan tulang
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis
yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan
miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, tremor, dan penurunan berat
badan
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak
juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks Wayne atau indeks
Newcastle yaitu sebagai berikut:
Tabel 1: Indeks Wayne
Indeks Wayne
Gejala Yang Baru Timbul Dan
No Nilai
Atau Bertambah Berat
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3

No Tanda Ada Tidak Ada


1 Tyroid teraba +3 -3
2 Bising tyroid +2 -2
3 Exoptalmus +2 -
4 Kelopak mata tertinggal gerak bola mata +1 -
5 Hiperkinetik +4 -2
6 Tremor jari +1 -
7 Tangan panas +2 -2
8 Tangan basah +1 -1
9 Fibrilasi atrial +4 -
Nadi teratur
< 80x per menit - -3
10
80 – 90x per menit - -
> 90x per menit +3 -
Hipertyroid jika indeks ≥ 20
2. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada
skema dibawah ini:

Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium


Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin
(T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan dengan
thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4 rendah,
maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon
tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun.
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon
tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi.
Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang
tidak terdeteksi. Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan
penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh karena itu disebut
TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar TSH sampai angka
mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat diperiksa kadar
T-4 bebas (free T-4/FT-4)
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis laboratorik :
a. Pemeriksaan metabolisme basal
pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang
baik, harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman.
b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,
untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit
(severity) serta merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan
tunggal FT4 atau TSH dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing
mempunyai kelemahan maka banyak ahli menganjurkan untuk
menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid yang tidak
saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,
penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal,
lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena
pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana
maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada : kasus
dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam jangka
pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat keluarga, dan
test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat dibedakan
etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain
d. Pemeriksaan terhadap antibodi.
Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun
dengan pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun meningkat
sesudah pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk menggantikan
anti-Tg-Ab, sebab hampir semua anti Tg-Ab positif juga positif untuk
anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.

Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara


sebagai berikut:
1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis
2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.
3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH
yaitu TSAb (yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs
dalam sirkulasi justru rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU)
yang meningkat.
4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk kearah
diagnosis ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau dibawah
normal dan alkali fosfatase meningkat.
5. Diagnosis Banding
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita
laki-laki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid
disertai hipokalemi. Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat
dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan
ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan
gejala-gejala kelainan jantung, dapat berupa:
- Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
- High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit jantung
sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki dengan
pengobatan terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua dapat
ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang kecil,
atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis dari
manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini
dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism”.

4. Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang
berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus
terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain:
- Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
- Terapi yodium radioaktif.
- Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak diobati
secara adekuat.
- Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma,
infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda
hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai
41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari
simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita dengan
krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada penderita
tirotoksikosis tanpa krisis tiroid .
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat
peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi
terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor
terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif
terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi.
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2% dari
seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu
terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian
intrauterin. Selain itu hipertiroidisme dapat juga menimbulkan preeklampsi
pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung kongestif,
tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir rendah serta
peningkatan angka kematian perinatal

F. Penatalaksanaan Graves Disease


Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom
penyakit Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama
ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal
ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,
yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan
pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya
1. Obat – obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya
sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat
oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU,
tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi
T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang
memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan
kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon
lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis
dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT. Beberapa
kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU dan
methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya
dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-
obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi
keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis kecil
diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan 100 –
200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20 – 40 mg/hari
dosis terbagi untuk 3 – 6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis
dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia.
Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis
terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 – 10 mg/hari yang
masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar FT4
dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum memberikan efek
perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan bertahap sampai
dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-faktor penyebab
lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis
Propylthiouracil mempunyai kelebihan dibandingkan
methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,
sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase
akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat
diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis
methimazole 40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai
efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati,
lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana
untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,
Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut.
Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit
darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama
setelah terapi. Bila ditemukan efek samping, penghentian penggunaan
obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan
selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti radioiodine
131I atau operasi. Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti
pruritus, dapat dicoba ganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari
PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan
kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan
sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan
sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil
yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang
menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati
dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian
Obat Anti Tiroid dosis rendah.
3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila
terdapat T3 toksikosis), karena hormon-hormon itulah yang
memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah,
kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan
eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah
berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata

b. Obat Golongan Penyekat Beta


Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis
tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas,
dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di
samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat,
meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya berkisar
80 mg/hari
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat
beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan
nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40
mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit
kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi
ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat
golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan
gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh fibrilasi
atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan bradiaritmia,
fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam terapi
penghambat monoamin oksidase.

c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated
radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat,
meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi
jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit Graves.
Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis tiroid, untuk
persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium radioaktif.
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia
muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang ringan.
Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan, aman
dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6 bulan
sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama
pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi setelah
pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama
pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.
Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar
tiroid kurang sensitif terhadap OAT.

2. Pengobatan dengan cara kombinasi Obat Anti Tiroid-tiroksin


Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves
dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada
tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya 1,7%
pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi methimazole dan
tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok kontrol yang hanya
mendapatkan terapi methimazole.

3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita dengan
struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam keadaan
eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu). Tiroidektomi
total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein dengan oftalmopati
Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu banyak jaringan tiroid
yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi relaps. Kebanyakan ahli
bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan tiroid. Walaupun demikan
kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen tiroid setelah
mengalami tiroidektomi pada penyakit Graves. Hipoparatiroidisme dan
kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan komplikasi pembedahan

4. Terapi Yodium Radioaktif


Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar tiroid melalui efek
ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2 mm, menimbulkan
iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang berarti pada jaringan
lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti dengan nekrosis seluler,
dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan fibrosis disertai respons
inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat tergantung pada jumlah 131I
yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas kelenjar tiroid. Oleh karena itu
mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid dini (dalam waktu 2 – 6 bulan) atau
lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I dengan cepat dan sempurna diabsorpsi
melalui saluran cerna untuk kemudian dengan cepat pula terakumulasi di
dalam kelenjar tiroid.
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil
atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan
yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak
hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut
pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat.
Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu, dan bila perlu
terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium radioaktif dapat
diberikan obat-obat penyekat beta dan atau Obat Anti Tiroid.
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif
adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh
besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin
tinggi angka kejadian hipotiroidisme.
Efek samping lain yang perlu diwaspadai adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya
antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH),
dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian
I131
2. Hipotiroidisme atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara
(ketiganya sangat jarang terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara
mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk
mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT
terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi jantung

5. Pengobatan Krisis Tiroid


Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap hipertiroidisme
(menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon dan
menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat
beta dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatic (koreksi
cairan, elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.

6. Penyakit Graves Dengan Kehamilan


Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai
keadaan hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka kematian
janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila ternyata hamil juga
dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu diberikan obat
antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar FT-4 pada
kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi. PTU lebih
dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan hipertiroidisme,
karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit, dan tidak ada efek
teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak dianjurkan, karena akan
memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di samping karena sebagian
tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat menyebabkan hipotiroidisme.
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama
pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan
mekanisme yang belum diketahui terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan
peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan
keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat
dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid, tetap
dapat menyusui bayinya dengan aman.
BAB III
KESIMPULAN

Penyakit Graves (goiter difusa toksika) yang merupakan penyebab tersering


hipertiroidisme adalah suatu penyakit autoimun. Penyakit ini mempunyai
predisposisi genetik yang kuat dimana lebih banyak ditemukan pada wanita
dibanding pria, terutama pada usia 20 – 40 tahun.
Gambaran klinik klasik dari penyakit graves adalah tri tunggal
hipertiroidisme, goiter difus dan eksoftalmus. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang. Pada penderita usia tua
(>60 tahun), manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi
kardiovaskuler dan miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort,
tremor, nervous dan penurunan berat badan.
Pemeriksaan laboratorium untuk penyakit grave adalah FT4, T3, dan TSH.
Bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika
kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pemeriksaan
penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) jarang dilakukan.
Komplikasi: Krisis tiroid (Thyroid storm) adalah eksaserbasi akut yang dapat
mengancam jiwa penderita hipertiroidisme.
Ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,
yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dengan Tiroidektomi dan Terapi Yodium
Radioaktif dengan (I131). Pengobatan krisis tiroid meliputi pengobatan terhadap
hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan hormon
dan menghambat konversi T4 menjadi T3, pemberian kortikosteroid, penyekat beta
dan plasmafaresis), normalisasi dekompensasi homeostatik (koreksi cairan,
elektrolit dan kalori) dan mengatasi faktor pemicu.
DAFTAR PUSTAKA

Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.


Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media Aesculapius,
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 – 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 4, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 2009: hal 725 – 778
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18
Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,
EGC, Jakarta, 2000: hal 606 – 630
Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 – 5
Weetman P. A., Grave’s Disease. The New England Journal of Medicine.
Massachusetts Medical Society. 2000.

Anda mungkin juga menyukai