Anda di halaman 1dari 25

Case Report Session

GRAVES DISEASE

Perseptor :

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2015
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Tiroid

Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan isthmus

yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian keempat yaitu lobus

piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis tengah. Lobus ini merupakan

sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal.

Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 – 30 gram dan terletak antara tiroidea dan

cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang disebut true

capsule.

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :

a. Tiroidea superior yang merupakan cabang dari A. Carotis Externa

b. A. Tiroidea Inferior yang merupakan cabang dari A. Subclavia

c. A. Tiroidea Ima yang merupakan cabang dari Arcus Aorta


Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal tiroid

sebelum masuk ke laring.


2. Fisiologi Tiroid

Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan hormon

Tiroksin atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah sebagian besar T3 dan

T4 terikat oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin (TBPA) dan

Thyroxin Binding Globulin (TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan

berperan dalam mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating

hormone ( TSH ) yang dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya

dipengaruhi oleh thyrotropine-releasing hormone ( TRH ). Kelenjar thyroid juga

mengeluarkan calcitonin dari parafolicular cell, yang dapat menurunkan kalsium serum

berpengaruh pada tulang.

Fungsi hormon tiroid antara lain :

1) meningkatkan kecepatan metabolisme

2) efek kardiogenik

3) simpatogenik

4) pertumbuhan dan sistem saraf


Pembesaran kelenjar tiroid atau struma diklasifikasikan berdasarkan efek

fisiologisnya, klinis, dan perubahan bentuk yang terjadi. Struma dapat dibagi menjadi :

1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh, berdasarkan

perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid meliputi seluruh lobus, seperti yang

ditemukan pada Grave’s disease.

b. Nodosa, yaitu jika pembesaran kelenjar tiroid hanya mengenai salah satu lobus,

seperti yang ditemukan pada Plummer’s disease.

2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada tubuh,

berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi

a. Diffusa, seperti yang ditemukan pada endemik goiter

b. Nodosa, seperti yang ditemukan pada keganasan tiroid

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :

1) Hiperplasia dan Hipertrofi

Setiap organ apabila dipicu untuk bekerja akan mengalami kompensasi dengan cara

memperbesar dan memperbanyak jumlah selnya. Demikian juga dengan kelenjar tiroid

pada saat pertumnuhan akan dipacu untuk bekerja memproduksi hormon tiroksin

sehingga lama kelamaan akan membesar, misalnya saat pubertas dan kehamilan.

2) Inflamasi atau Infeksi

Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut, tiroiditis subakut

(de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto)

3) Neoplasma

Jinak dan ganas


Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon tiroid di

dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar berlebih atau

biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau biasa disebut

hipotiroid. Gejala yang timbul pada hipertiroid adalah :

 Peningkatan nafsu makan dan penurunan berat badan

 Tidak tahan panas dan hiperhidrosis

 Palpitasi, sistolik yang tinggi dan diastolik yang rendah sehingga menghasilkan

tekanan nadi yang tinggi (pulsus celler) dan dalam jangka panjang dapat menjadi

fibrilasi atrium

 Tremor

 Diare

 Infertilitas, amenorrhae pada wanita dan atrofi testis pada pria

 Exophtalmus

Gejala yang timbul pada hipotiroid adalah kebalikan dari hipertiroid :

 Nafsu makan menurun dan berat badan bertambah

 Tidak tahan dingin dan kulit kering bersisik

 Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah

 Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan tungkai

3. Struma Difusa Toksik

1. Definisi

Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit ini juga

biasa disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus, hipertiroidi

dan eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti

berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas, penurunan berat

badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan polidefekasi (


sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran kelenjar tiroid, kadang

terdapat juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan miopatia ekstrabulbi.

Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya terdapat peran dari

suatu antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan stimulus terhadap

peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan peningkatan absorbsi yodium

radiokatif oleh kelenjar tiroid.

Gambar : penderita penyakit Graves

2. Patofisiologi

Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit otoimun, dimana

penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan pasti. Penyakit ini mempunyai

predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang

erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit

Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih

banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian

tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun.

Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang

berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk

mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan
reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan

fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah

mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan penyakit. Mekanisme

otoimunitas merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya hipertiroidisme,

oftalmopati, dan dermopati pada penyakit Graves.

Sampai saat ini dikenal ada 3 otoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu

tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-R). Disamping itu

terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid

dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita

dan kelenjar tiroid penderita penyakit Graves.

Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas dan bila

terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan mengekspresikan molekul-

molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4) untuk mempresentasikan

antigen pada limfosit T.

Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan

HLA-DR3 pada ras Kaukasus, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras Cina dan HLA-B17 pada

orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid

otoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan

merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat

pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica,

yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan otoantigen

kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang

dengan TSH-R antibody pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut

penyakit Graves. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated
immunoglobulin yang bersifat lebih imunogenik sehingga meningkatkan kecenderungan

untuk terjadinya penyakit tiroid otoimun.

Dosis terapeutik dari lithium yang sering digunakan dalam pengobatan psikosa manik

depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel limfosit T suppressor sehingga dapat

menimbulkan penyakit tiroid otoimun. Faktor stres juga diduga dapat mencetuskan episode

akut penyakit Graves, namun sampai saat ini belum ada hipotesis yang memperkuat dugaan

tersebut.

Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer cells) dan

antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan

tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang

terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga

menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.

Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam

jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan terjadinya akumulasi

glikosaminoglikans.

Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan katekolamin, seperti

takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya hiperreaktivitas katekolamin, terutama

epinefrin diduga disebabkan karena terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot

jantung.

Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan

ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat

hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.

Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis

yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak

bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi,
takikardi, diare dan kelemahan sampai atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa

oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati

yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra

melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan

mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain

adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus.

Gambar : Skema patogenesis penyakit Graves

3. Gejala Klinis

Gejala dan tanda yang timbul merupakan manifestasi dari peningkatan metabolisme di

semua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara klinis terlihat jelas. Peningkatan

metabolisme menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, dan seringkali asupan ( intake)

kalori tidak mencukupi kebutuhan sehingga terjadi penurunan berat badan secara drastis.

Peningkatan metabolisme pada sistem kardiovaskuler terlihat dalam bentuk

peningkatan sirkulasi darah, antara lain dengan peningkatan curah jantung/ cardiac output

sampai dua-tiga kali normal, dan juga dalam keadaan istirahat. Irama nadi meningkat dan
tekanan denyut bertambah sehingga menjadi pulsus celer; penderita akan mengalami

takikardia dan palpitasi. Beban pada miokard, dan rangsangan saraf autonom dapat

mengakibatkan kekacauan irama jantung berupa ektrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi

ventrikel.

Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul

polidefekasi dan diare.

Hipermetabolisme susunan saraf biasanya menyebabkan tremor, penderita sulit tidur,

sering terbangun di waktu malam. Penderita mengalami ketidakstabilan emosi, kegelisahan,

kekacauan pikiran, dan ketakutan yang tidak beralasan yang sangat menggangu.

Pada saluran napas, hipermetabolisme menimbulkan dispnea dan takipnea yang tidak

terlalu mengganggu. Kelemahan otot terutama otot-otot bagian proksimal, biasanya cukup

mengganggu dan sering muncul secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh gangguan elektrolit

yang dipicu oleh adanya hipertiroidi tersebut.

Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia. Kelainan

mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor pada jaringan

ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan lemaknya menjadi

hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit. Akibatnya terjadi

eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat keratitis. Gangguan gerak

otot akan menyebabkan strabismus.

4. Diagnosis

 Anamnesis

Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang sulit

dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa penderita karena

timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan utama biasanya berupa
salah satu dari meningkatnya gugup, berdebar-debar atau kelelahan. Dari penelitian pada

sekelompok penderita didapatkan 10 gejala yang menonjol yaitu:2

− Kelelahan atau kelemahan otot-otot

− Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik

− Diare atau sering buang air besar

− Intoleransi terhadap udara panas

− Keringat berlebihan

− Perubahan pola menstruasi

− Tremor

− Berdebar-debar

− Penonjolan mata dan leher

Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai beberapa

tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang penderita tidak menyadari

penyakitnya.

Pada pemeriksaan klinis didapatkan gambaran yang khas yaitu : seorang penderita tegang

disertai cara bicara dan tingkah laku yang cepat, tanda-tanda pada mata, telapak tangan basah

dan hangat, tremor, oncholisis, vitiligo, pembesaran leher, nadi yang cepat, aritmia, tekanan

nadi yang tinggi dan pemendekan waktu refleks Achilles. Atas dasar tanda-tanda klinis

tersebut sebenarnya suatu diagnosis klinis sudah dapat ditegakkan.

 Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi

Pemeriksa berada di depan penderita. Penderita sedikit duduk dengan kepala sedikit fleksi

atau leher terbuka sedikit hiperekstensi agar m. sternokleidomastoideus relaksasi sehingga

kelenjar tiroid mudah dievaluasi

Apabila terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa komponen berikut:
- Lokasi: lobus kanan, lobus kiri, atau ismus

- Ukuran: besar/kecil, permukaan rata/noduler

- Jumlah: uninodusa atau multinodusa

- Bentuk: apakah difus (leher terlihat bengkak) ataukah berupa noduler lokal

- Gerakan: pasien diminta untuk menelan, apakah pembengkakannya ikut bergerak

- Pulsasi: bila nampak adanya pulsasi pada permukaan pembengkakan

2. Palpasi

Pasien diminta untuk duduk, leher dalam posisi fleksi, pemeriksa berdiri di belakang pasien

dan meraba tiroid dengan menggunakan kedua tangan. Beberapa hal yang perlu dinilai pada

pemeriksaan palpasi:

- Perluasan dan tepi

- Gerakan saat menelan, apakah batas bawah dapat diraba atau tidak dapat diraba trakea

dan kelenjarnya

- Konsistensi, temperatur, permukaan, dan adanya nyeri tekan

- Hubungan dengan m. sternokleidomastoideus (tiroid letaknya lebih dalam dari

musculus ini)

- Limfonodi dan jaringan sekitarnya

3. Auskultasi

“Bruit sound” pada ujung bawah kelenjar tiroid.

4. Pemeriksaan tambahan

a. Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka menjadi merah

b. Tremor sign: tangan kelihatan gemetaran. Jika tremor halus, diperiksa dengan

meletakkan sehelai kertas di atas tangan

c. Pemeriksaan Oftalmopati

d. Indeks Wayne
e. Indeks New Castle
 Pemeriksaan Penunjang

f. Pemeriksaan laboratorium :

1. Kadar T4 & T3 meningkat (tirotoksikosis)

2. Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan diagnosis

Grave disease.

3. Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat

antitiroid seperti thioamides.

4. Pemeriksaan Gula darah pada pasien diabetes, penyakit grave dapat

memperberat diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar A1C yang

meningkat dalam darah

5. Kadar antibodi terhadap kolagen XIII menunjukan Grave Oftalmofati yang

sedang aktif.

g. Pemeriksaan Radiologi

1. Foto Polos Leher  Mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekanan pada

trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanan kelenjar

yang membesar.

2. Radio Active Iodine (RAI)  scanning dan memperkirakan kadar uptake

iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis banding penyebab hipertiroid.

3. USG  Murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi

pertama pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasil pemeriksaan

laboratorium

4. CT Scan  Evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa

dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea (apakah ada

penyempitan, deviasi dan invasi).


5. MRI  Evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus

hipertiroid)

6. Radiografi nuklir  dapat digunakan untuk menunjang diagnosis juga

sebagai terapi.

5. Diagnosis Banding

a. Struma nodular toksik

b. Tumor colli anterior

c. Thyroid Papillary Carcinoma

6. Tatalaksana

1) Tirostatika (OAT- obat anti tiroid)

Obat terpenting adalah kelompok derivat tioimidazol (CBZ, karbimazol 5

mg, MTZ, metimazol 5, 10, 30 mg) dan derivat tiourasil (PTU, propiltiourasil

50, 100 mg). Obat ini menghambat organifikasi iodine sehingga menurunkan

kadar hormon tiroid dan menghambat reaksi autoimun. PTU juga berefek

menghambat konversi T3 menjadi T4 di perifer. Dosis dimulai dengan 30mg

CBZ, 30mg MTZ, dan 400mg PTU perhari dalam dosis terbagi. Biasanya

eutiroid tercapai dalam 4-6 minggu, kemudian dosis dititrasi sesuai respon

klinis, lama pengobatan selama 1 - 1,5 tahun, kemudian dihentikan untuk melihat

apakah terjadi remisi.

2) Beta-blocker

Kebanyakan gejala umum hipertiroid seperti palpitasi, tremor dan anxietas,

dimediasi oleh peningkatan reseptor beta adrenergik. Beta blocker bekerja

menghilangkan gejala ini. Obat ini tidak membantu menurunkan peningkatan

hormon tiroid tetapi membantu mengatasi gejala saat pengobatan dengan

tirostatika. Contoh obat yang sering dipakai adalah propanolol, indikasi :


a. Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada

pasien muda dengan struma ringan, sedang dan tirotoksikosis.

b. Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau

sesudah pengobatan yodium radioaktif.

c. Krisis tiroid

Penyekat adrenergik β pada awal terapi diberikan, sementara menunggu

pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian anti tiroid.

Propanolol dosis 40-200 mg dalam 4 dosis pada awal pengobatan, pasien

kontrol setelah 4-8 minggu. Penggunaan beta blocker ini tidak boleh

diberikan kepada pasien yang mengalami asma dan gagal jantung.

3) Pembedahan.

Terapi bedah (tiroidektomi subtotal), diperginakan bagi pasien-pasien

dengan kelenjar yang sangat besar atau goiter multinoduler. Terapi ini juga

dapat menjadi pilihan bagi mereka yang mengalami penyakit Graves jika tidak

ada toleransi pada obat-obat antitiroid. Untuk dilakukannya terapi bedah ini

juga harus diperhatikan dari segi usianya, ukuran kelenjer, sisa kelenjer yang

tersisa dan asupan iodin. Sebelum dilakukannya tiroidektomi ini pasien diberi

obat antitiroid sampai eutiroid (kira-kira 6 minggu), kemudian dua hari sebelum

operasi diberi larutan jenuh kalium iodida sebanyak 5 tetes 2 kali sehari.

Langkah ini untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi.

4) Terapi iodin radioaktif.

Terapi ini aman dan cocok untuk segala jenis hipertiroid khususnya

pada mereka yang berusia lanjut. Selain itu juga dapat diberikan kepada pasien

dengan komplikasi penyakit Graves dan opthalmopathy. Beberapa studi


menyatakan bahwa pengobatan dengan radioiodine ini dapat memperburuk

kondisi opthalmophaty pada sebagian kecil pasien yang perokok.

7. Prognosis

Prognosis untuk pasien dengan hipertiroid umumnya baik dengan

penatalaksanaan yang tepat. Pasien harus segera dimonitor setelah mendapatkan

pengobatan hipertiroid jenis apapun dalam tiga bulan pertama. Setelah satu

tahun pertama pasien dimonitor setiap tahun walaupun asimtomatis.


BAB II
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. Y
Umur : 18 th
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Arosuka, Kab. Solok
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 20/01/2015
Suku : Minang
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

I. ANAMNESIS
Pada pasien dilakukan autoanamnesis pada tanggal 20 Januari 2015

Keluhan Utama
Dada terasa berdebar-debar sejak 1 minggu yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang


 Dada terasa berdebar-debar sejak 1 minggu yang lalu, tidak dipengaruhi oleh aktifitas
dan emosi.
 Tangan sering terasa panas sejak 10 hari yang lalu
 Pasien merasakan sering cemas sejak satu minggu yang lalu tanpa sebab yang jelas
 Nafsu makan meningkat sejak 4 hari yang lalu
 Pasien merasakan adanya penurunan berat badan
 Demam (-)
 Diare (-)
 Sering berkeringat banyak (-)
 Pasien sedang hamil 11-12 Minggu (G1P0A0H0)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang mengalami keluhan yang sama.

II. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit sedang, tampak lemah


Kesadaran : CMC
Kesan gizi : Gizi baik
Tanda vital :

TD  120/60 mmHg
Nadi  100x/menit
Nafas  25x/menit
Suhu  37,5oC

Kepala : normosefali, rambut hitam, tidak mudah dicabut, distribusi merata.


Mata : Sklera Ikterik (-/-)
Konjungtiva Anemis (-/-)
Eksoftalmus (-)
Telinga : Nyeri tekan dan ketok mastoid (-/-)
Nyeri tarik aurikula (-/-)

Hidung : Tidak ditemukan kelainan

Mulut : Bibir tidak kering, tidak pucat, tidak sianosis, faring tidak hiperemis
Leher : KGB tidak membesar
Tiroid : Teraba benjolan bilateral, ikut bergerak saat menelan, simetris kanan-
kiri, permukaan rata, nyeri tekan negatif, konsistensi kenyal, batas
tegas ukuran sekitar 5x2x0,5x cm, bising tiroid (-)

Thorax

Jantung

Inspeksi: ictus cordis tidak terlihat

Palpasi: ictus cordis teraba pada 1 jari lateral LMCS RIC V

Perkusi: batas kanan jantung : LSD


batas kiri jantung : 1 jari lateral LMCS RIC V
batas atas jatntung : RIC II
Auskultasi: BJ I & II reguler, gallop (-), murmur (-)

Paru

Inspeksi: pergerakan napas simetris kiri-kanan

Palpasi: fremitus teraba sama kiri-kanan

Perkusi: sonor pada kedua hemithorax

Auskultasi: suara napas vesikular, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen

Inspeksi: tidak membuncit, kulit sawo matang, venektasi (-)


Auskultasi: bising usus (+) normal
Palpasi: supel, nyeri tekan (-), turgor kulit baik, hepar dan lien tidak teraba, undulasi (-)
Perkusi: timpani pada seluruh abdomen

Ekstremitas : inspeksi: warna kulit sawo matang, ikterik (-), palmar eritema (-),
deformitas (-), kuku normal, tremor (-)
Akral hangat: + | +
+|+
Edema: -|-
-|-

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Penilaian Indeks Wayne

Gx subyektif Angka Gx obyektif Ada Tidak


Dispneu d’effort +1 √ Tiroid teraba +3 √ -3
Palpitasi +2 √ Bruit +2 -2 √
Kelelahan +2 √ Eksoftalmus +2 - √
Suka Panas -5 Lid retraction +2 - √
Suka Dingin +5 √ Lid lag +1 - √
Keringat Banyak +3 Hiperkinesis +1 -2 √
Nervous +2 √ Tangan Panas +2 √ -2
Tangan Basah +1 Nadi
Tangan Panas -1 √ 80x/mnt - -3
Nafsu makan ↑ +3 √ 80-90x/mnt - -
Nafsu makan ↓ -3 90x/mnt +3 √ -
BB naik -3 < 11 = Eutiroid Skor : 19
BB turun +3 √ 11-18 = Normal
Fibrilasi Atrium +4 > 19 = Hipertiroid

Penilaian Indeks New Castle


Item Grade Score Item Grade Score
Age of onset 15-24 √ 0 Hyperkinesis Present 4
25-34 4 Absent 0√
35-44 8 Tremor Present 7
45-55 12 Absent 0√
>55 16 Pulse >90 16 √
Psychological presipitant Present -5 80-90 8
Absent 0 <80 0
Frequent Checking Present √ -3 Thyroid bruit Present 18 √
Absent 0 Absent 0
Severe anticipatory anxiety Present √ -3 Exopthalmos Present 9
Absent 0 Absent 0
Increase appetite Present √ 5 Lid retraction Present 2√
Absent 0 Absent 0
Goiter Present √ 3 Score : 38 (doubtful)
Absent 0
Pemeriksaan lab darah

20/1/2015

Hb : 16,4 gr/dl
Leukosit : 9.000 mm3

Trombosit : 212.000 mm3


Ht : 44 %
GDS : 121

SGOT : 30

SGPT : 24

T3 : 3,84 (0,6-1,32)

T4 : 24,86 (4,9-9,3)

TSH : 0,05 (0.25-5)

IV. DIAGNOSIS KERJA

Struma Difus Toksika

V. DIAGNOSIS BANDING
- Tumor colli anterior

VI. PENATALAKSANAAN

1. Tatalaksana
 Ist/Diet TKTP
 Infus Nacl 0,9% 12jam/kolf
 PTU 3x100 mg
VII. PROGNOSIS
 ad vitam : ad bonam
 ad sanationam : dubia ad bonam
 ad fungsionam : dubia ad bonam
DAFTAR PUSTAKA

1. Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme,


dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid III. Pusat Penerbitan Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta.
2. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi Juli
2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-18
3. Jasalim, Umar. 2011. Struma Difusa Toksik. FK Universitas Mulawarman. Samarinda.

4. Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK Universitas


Sebelas Maret. Surakarta.
5. Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid. FK USU. Medan.
6. Chew, Shern L., and Leslie, David. 2006. Clinical Endrocrinology and
Diabetes. Churchill Livingstone Elseiver : USA (hal ; 8)
7. Gardner, David G. 2004. Greenspan’s Basic and Clinical Endrocrinology.
McGraw Hill Companies : USA (hal: 248)
8. Jameson, Larry J. et al. 2006. Harrison’s Endocrinology. McGraw Hill : USA
(hal :86)
9. Garry, Dimitry. (2013) Penyakit Tiroid pada Kehamilan. CDK-206/ vol. 40 no. 7, th.
10. Reid, Jeri. 2005. Hyperthyroidism : Diagnosis and Theraphy. American Family
Physician, vol 72. http;//www.aafp.org/afp : 5 juli 2008.

Anda mungkin juga menyukai