Gejala Klinis dan Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut
Ivan Laurentius S 102011265 / F8 Mahasiswa FK UKRIDA Semester 5 FK UKRIDA 2011 Jalan Arjuna Utara No. 6, Jakarta 11510 E-mail: archgear@gmail.com
Pendahuluan Gagal jantung (GJ) adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara adekuat, akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Gagal Jantung Akut (GJA) didefinisikan sebagai serangan cepat / rapid / onset atau adanya perubahan pada gejala-gejala atau tanda-tanda dari gagal jantung yang berakibat diperlukannya tindakan atau terapi secara urgent. GJA dapat berupa serangan pertama GJ, atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya. Pasien dapat memperlihatkan kedaruratan medik seperti edema paru akut. 1
Anamnesis Penyakit yang mengenai sistem kardiovaskuler bisa timbul dengan berbagai keluhan: nyeri dada; sesak napas; edema; palpitasi; sinkop; kelelahan; stroke; penyakit vaskuler perifer. 1. Nyeri dada Nyeri seperti apa? Terasa di sebelah mana? Menjalar ke mana? Bagaimana onsetnya? Mendadak? Bertahap? Apa yang sedang dilakukan saat rasa nyeri timbul? Apa yang memperberat rasa nyeri? Apa yang meredakannya? Seberapa berat rasa nyeri? Pernahkah terasa nyeri sebelumnya? Apa lagi yang dirasakan pasien? Mual? Muntah? Berkeringat? Palpitasi? Demam? Kecemasan? 2
Batuk? Hemoptisis? Apa pendapat pasien mengenai penyakitnya?
1. Iskemia Jantung Secara klasik nyeri dada dirasakan di sentral dengan penjalaran ke lengan kiri, kedua tangan, dan/atau rahang (akan tetapi, seringkali penyakit ini timbul atipik). Pasien bisa menggambarkan nyeri tersebut sebagai rasa tertekan, tertindih beban berat, atau menusuk. Onsetnya bertahap, mungkin dipicu oleh kegiatan fisik, udara dingin, atau kecemasan. Bisa berkurang dengan beristirahat dan GTN Miocard Infark bisa memiliki gejala tambahan berupa mual, berkeringat, muntah, dan kecemasan (bahkan takut mati). 2. Perikarditis Nyeri sentral, tajam, dan tidak berhubungan dengan aktivitas. Bisa berkurang bila duduk tegak. Bisa diperberat dengan inspirasi atau batuk. 3. Nyeri pleuritik Nyeri tajam yang diperberat oleh respirasi, pergerakan, dan batuk.
2. Sesak napas Sesak napas akibat penyakit jantung paling umum disebabkan oleh edema paru. Rasa sesak lebih jelas saat berbaring mendatar (ortopnea) atau bisa timbul tiba-tiba di malam hari (PND) atau timbul dengan aktivitas ringan. Sesak napas bisa disertai dengan batuk dan mengi, dan jika sangat berat, disertai sputum merah muda berbusa.
3. Edema (pembengkakan, biasanya akibat akumulasi cairan) Edema perifer biasanya dipengaruhi hal lain, umumnya mengenai tungkai dan area sakral. Jika sangat berat, bisa terjadi edema yang lebih meluas.
4. Palpitasi 3
Mungkin terdapat sensasi denyut jantung cepat atau berdebar. Tentukan provokasi, onset, durasi, kecepatan, dan irama denyut jantung, serta frekuensi episode palpitasi. Apakah episode tersebut disertai nyeri dada, sinkop, dan sesak napas?
5. Sinkop (kehilangan kesadaran mendadak dan singkat) Sinkop bisa terjadi akibat takiaritmia, bradikardia, atau kadang-kadang, diinduksi oleh aktivitas pada stenosis aorta (juga ditemukan pada keadaan neurologis seperti epilepsi). Apa yang dapat diingat oleh pasien? Apa yang sedang dilakukan? Adakah palpitasi, nyeri dada, atau gejala lain? Adakah saksi mata? Apa yang digambarkan oleh saksi mata? (apakah pasien tampak pucat, kemerahan saat mulai pulih, gerakan abnormal?) Apakah pasien menggigit lidah, mengalami inkontinesia urin? Seberapa cepat pasien pulih? 2
Riwayat penyakit dahulu. Tanyakan faktor-faktor risiko penyakit jantung iskemik (ischemic heart disease, IHD), misalnya merokok, hipertensi, diabetes, hiperlipidemia, IHD sebelumnya, penyakit serebrovaskular, atau penyakit vaskular perifer (periphelar vascular disease, PVD). Tanyakan riwayat demam demam reuma. Tanyakan pengobatan gigi yang baru dilakukan (endokarditis infektif). Adakah murmur jantung yang telah diketahui? Adakah penyalahgunaan obat intravena? Riwayat keluarga. Adakah riwayat IHD, hiperlipidemia, kematian mendadak, kardiomiopati, atau penyakit jantung kongenital dalam keluarga? Riwayat sosial. Apakah pasien merokok atau pernah merokok? Bagaimana konsumsi alkohol pasien? Apa pekerjaan pasien? Bagaimana kemampuan olahraga pasien? Adakah keterbatasan gaya hidup akibat penyakit? Obat-obatan. Tanyakan obat-obatan untuk penyakit jantung dan obat yang memiliki efek samping ke jantung. 2
Pemeriksaan Fisik 1. Pemeriksaan Fisik Umum Apakah pasien tampak sakit ringan atau berat? Apakah pasien nyaman / distress / kesakitan / cemas? Apakah pasien memerlukan resusitasi segera? 4
Pertimbangkan perlunya penggunaan oksigen, akses intravena, atau pemantauan EKG. Apakah pasien tampak pucat, sianosis, sesak, batuk, dan sebagainya? Berapa suhu pasien? Perhatikan adanya parut, sputum, dan sebagainya. Stigmata hiperkolesterolemia (arkus, xantelasma) dan kebiasaan merokok?
2. Tangan Adakah jari tabuh (clubbing), bintik perdarahan, dan perfusi perifer yang baik?
3. Nadi Berapa kecepatan, irama, volume, dan sifat nadi radialis? Nilailah sifat nadi di pembuluh darah besar (brakialis, karotis, femoralis). Apakah semua denyut perifer teraba? Adakah perlambatan radialis-femoralis?
4. Tekanan darah Bagaimana tekanan sistolik, diastolik, serta tekanan nadi? Adakah penurunan TD postural? Untuk mengukur TD diastolic gunakan Korotkoff V (saat bunyi menghilang)
5. Tekanan vena jugularis Berapa tinggi JVP? (sebutkan dalam sentimeter di atas angulus sternalis (atau klavikula) bila sudut 45.) Adakah refluks hepatojugularis (atau tes abdominojugularis)? (peningkatan JVP saat dilakukan penekanan kuat pada kuadran kanan atas abdomen) Adakah gelombang JVP abnormal (misalnya gelombang meriam)? Lakukan inspeksi mulut, lidah, gigi, dan prekordium (cari adanya jaringan parut dan pulsasi abnormal). Lakukan palpasi untuk posisi dan sifat denyut apeks. Adakah heave venrikel kanan, adakah thrill? 5
Lakukan auskultasi jantung. Dengarkan bunyi jantung pertama, kedua (apakah terpisah secara normal?), bunyi jantung tambahan (adakah gallop?), murmur sistolik, murmur diastolik, gesekan (rub), klik, serta bruit karotis dan femoralis. Lakukan auskultasi dengan posisi lateral kiri (khususnya untuk murmur mitral) dan membungkuk ke depan saat ekspirasi (khususnya untuk murmur diastolik awal pada regurgitasi aorta). Lakukan auskultasi paru: adakah efusi pleura atau ronki? Adakah edema perifer (pergelangan kaki, tungkai, sakrum)? Lakukan palpasi denyut perifer: radialis; brakialis; karotis; femoralis; poplitea; tibialis posterior; dorsalis pedis. Lakukan palpasi hati. Adakah pembesaran? Apakah berdenyut (menunjukkan regurgitasi trikuspid)? Adakah asites?
6. Funduskopi: adakah perubahan akibat hipertensi? 2
Pemeriksaan Penunjang 1. Elektrokardiogram (EKG) Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting, meliputi frekuensi debar jantung, irama jantung, sistem konduksi dan kadang etiologi dari GJA. Kelainan segmen ST; berupa ST segmen elevasi infark miokard (STEMI) atau Non STEMI. Gelombang Q petanda infark transmural sebelumnya. Adanya hipertrofi, bundle branch block, disinkroni elektrikal, interval QT yang memanjang, disritmia atau perimiokarditis harus diperhatikan.
2. Foto Toraks Foto toraks harus diperiksakan secepat mungkin saat masuk pada semua pasien yang diduga GJA, untuk menilai derajat kongesti paru, dan untuk mengetahui adanya kelainan paru dan jantung yang lain seperti efusi pleura, infiltrate atau kardiomegali.
3. Analisa Gas Darah Arterial Analisa gas darah arterial, memungkinkan kita untuk menilai oksigenasi (pO 2 ) fungsi respirasi (pCO 2 ) dan keseimbangan asam basa (pH) dan harus dinilai pada setiap pasien dengan respiratory distress berat. Asidosis petanda perfusi jaringan yang buruk atau retensi CO 2
6
dikaitkan dengan prognose buruk. Pengukuran dengan pulse oxymetry dapat mengganti analisa gas darah arterial. Akan tetapi tidak bisa memberikan informasi pCO 2 atau keseimbangan asam basa, dan tidak bisa dipercaya pada sindroma low output yang berat atau vasokonstriksi dan status syok.
4. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim hati, dan INR harus merupakan pemeriksaan awal pada semua penderita GJA. Kadar natrium yang rendah, urea dan kreatinin yang tinggi memberikan prognose buruk pada GJA, walau tidak ada SKA. Peningkatan dari Troponin yang disertai dengan SKA merupakan petanda prognosa yang tidak baik.
5. Natriuretic Peptide B-type natriuretic peptides (BNP dan NT-pro BNP) yang diperiksa pada fase akut dapat diterima sebagai prediktif negatif untuk meng-eklusi GJ, walau tidak sepenting pada GJK dalam praktik sehari-hari. Belum ada kesepakatan mengenai referensi nilai BNP atau NT-pro BNP pada GJA. Pada saat serangan (flash) edema paru atau mitral regurgitasi akut, kadar natriuretic peptide bisa masih normal saat masuk RS. Namun pemeriksaan BNP atau NT pro BNP saat masuk dan sebelum pulang, akan memberikan informasi prognostik yang penting.
6. Ekokardiografi Ekokardiografi memegang peranan yang sangat penting untuk evaluasi kelainan structural dan fungsional dari jantung yang berkaitan dengan GJA. Semua penderita GJA harus dievaluasi / ekokardiografi secepat mungkin. Penemuan dengan ekokardiografi bisa langsung menentukan strategi pengobatan. Pencitraan echo/dopler harus diperiksakan untuk evaluasi dan memonitor fungsi sistolik ventrikel kiri dan kanan secara regional dan global, fungsi diastolic, struktur dan fungsi valvular, kelainan perikard, komplikasi mekanis dari infark akut, adanya disinkroni, juga dapat menilai semi kuantitatif, non invasive, tekanan pengisian dari ventrikel kanan dan kiri, stroke volume dan tekanan arteri pulmonalis, yang dengan demikian bisa menentukan strategi pengobatan. Echo/dopler dapat diulang sesuai kebutuhan dan dapat mengganti pemeriksaan atau monitoring invasif. 1 7
Diagnosis Kerja Diagnosis GJA dapat diambil berdasarkan simptom simptom yang ada dan penemuan klinis. Konfirmasi dan pemantauan dari diagnosis diperoleh dari anamnesis yang teliti, pemeriksaan jasmani, EKG, foto thorax, ekokardiografi, dan penemuan laboratorium dan analisa gas darah dan biomarker spesifik. Gambaran klinik khas dari GJA adalah kongesti paru, walaupun beberapa pasien lebih banyak memberikan gambaran penurunan curah jantung dan hipoperfusi jaringan yang lebih mendominasi penampilan klinis. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan pengisian vena adalah sangat penting, adanya sistolik murmur dan diastolik murmur, demikian juga irama gallop sangat perlu dideteksi pada auskultasi bunyi jantung. Mitral ineffisiensi sangat sering ditemukan pada fase akut. Adanya stenosis aorta atau ineffisiensi arota juga harus dideteksi. Kongesti paru dideteksi dengan dengan auskultasi dada dimana ditemukan ronki basah pada kedua basal paru dan konstriksi bronchial pada seluruh lapangan paru sebagai petanda peninggian dari tekanan pengisian ventrikel kiri. Tekanan pengisian jantung kanan dapat dinilai dari evaluasi pengisian vena jugularis. Efusi pleura umumnya ditemukan pada dekompensasi akut dari GJH. 1 Edema paru akut biasa timbul bersamaan dengan dispnea, diaphoresis, dan sianosis. Edema Paru Akut (EPA) adalah akumulasi cairan di paru-paru yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan dengan cepat. Edema paru kardiogenik akut merupakan gejala yang dramatik ditandai dengan derajat transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru dari kejadian gagal jantung kiri yang akut. Hal ini dapat diakibatkan oleh gangguan pada jalur keluar dari atrium kiri, peningkatan volume yang berlebihan di ventrikel kiri, disfungsi diastolik atau sistolik dari ventrikel kiri atau obstruksi pada jalur keluar dari ventrikel kiri. Akibat akhir yang ditimbulkan adalah hipoksia berat, dispnea, diaphoresis, dan sianosis.
Diagnosis Banding 1. Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) Gagal nafas akut/ARDS terjadi bilamana pertukaran oksigen terhadap karbondioksida dalam paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbon 8
dioksida dalam sel-sel tubuh. Sehingga menyebabkan tegangan oksigen kurang dari 50 mmHg (Hipoksemia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih besar dari 45 mmHg (hiperkapnia). ARDS ditandai dengan gagal nafas akut yang di akibatkan hypoxia yang diikuti dengan adanya sistemik atau keterlibatan paru paru tanpa adanya tandadari gagal jantung. ARDS merupakan bentuk yang paling sering terjadi dari cedera paru akut dan biasanya ditandai dengan bilateral, penyebaran infiltrat pada paru yg menyeluruh dari radiografi, tekanan kapiler pulmonari <18 mm Hg. Faktor faktor risiko yang biasanya terjadi pada ARDS seperti sepsis, infeksi, syok, aspirasi dari isi gaster, luka memar pada paru, trauma non toraks, menghirup racun, dan sering transfusi darah. Pasien yang menderita ARDS biasanya tampak bernafas berat dengan cepat, kekurangan oksigen ke paru paru, dan kekurangan kadar oksigen di darah. Analisa gas darah arteri dan foto x-ray bagian dada dapat digunakan sebagai tanda diagnosis awal. 4
2. Pneumonia Pneumonia adalah radang paru yang bisa disebabkan oleh kuman tipikal yaitu Streptococcus pneumoniae dan atipikal seperti Mycoplasma pneumoniae. Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan yang tinggi di seluruh dunia. 3
Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan imunitas. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang yang lanjut usia dan sering terjadi pada orang yang menderita PPOK. Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit Diabetes Mellitus, payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit saraf kronik dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain yaitu kebiasaan merokok, pasca infeksi virus, DM, keadaan imunodefisiensi, kelainan dan kelemahan struktur organ dada serta penurunan kesadaran. Pemeriksaan fisis seperti demam, sesak nafas dan tanda-tanda konsolidasi paru (perkusis paru yang pekak, ronki nyaring dan suara pernapasan bronkial). Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan radiologis pola radiologis dapat berupa pneumonia alveolar dengan gambaran air bronkhogram (airspace disease). Bentuk lesinya berupa kavitasi dengan air-fluid level, juga bisa terdapat pembentukan kista. Pemeriksaan laboratorium seperti biasanya terjadi leukositosis kalau infeksi oleh karena bakteri, tetapi bisa juga terdapat leukopenia kalau terjadi depresi imunitas. Pemeriksaan bakteriologis (sputum) dan dapat dilakukan pemeriksaan serologi (titer antibodi terhadap virus, 9
legionella dan mikoplasma). Gejala klinisnya tidak terlalu khas, terdapat demam, sesak napas, dapat juga terjadi gangguan kesadaran karena hipoksia pada pasien Pneumonia Nosokomial. 4
3. Gagal Jantung Kronik (GJK) Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik dalam keadaan istirahat maupun latihan, edema dan tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat dan sudah diderita sejak lama. Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Penyebab dari gagal jantung perlu diidentisifikasi, terutama yang bersifat reversibel karena prognosis akan menjadi lebih baik. 1
Etiologi Ada banyak kondisi kardiovaskular yang merupakan kausa dari GJA dan juga faktor- faktor yang dapat mencetuskan (precipitating factors) terjadinya GJA. Semua faktor-faktor ini sangat penting untuk diidentifikasi; dan dihimpun untuk mengatur strategi pengobatan. Penyakit kardiovaskular dan non kardiovaskular dapat mencetuskan GJA. Contoh yang paling sering antara lain: 1. Peninggian afterload pada penderita hipertensi sistemik atau pada penderita hipertensi pulmonal 2. Peninggian preload karena volume overload atau retensi air 3. Gagal sirkulasi (circulatory failure) seperti pada keadaan high output states antara lain pada infeksi, anemia, atau thyrotoxicosis.
Kondisi lain yang dapat mencetuskan GJA adalah ketidakpatuhan minum obat-obat GJ, atau nasehat-nasehat medik, pemakaian obat seperti NSAIDs, cyclo-oxygenase (COX) inhibitor, dan thiozolidinediones (multiorgan failure) Simptom gagal jantung bisa juga dicetuskan oleh faktor-faktor non kardiovaskular seperti penyakit paru obstruktif, atau adanya penyakit organ lanjut (end-organ disease) terutama disfungsi renal. Pengobatan insial yang tepat dan pengobatan jangka panjang yang sesuai sangat diperlukan. Bila mungkin, koreksi kelainan anatomis yang mendasarinya seperti penggantian 10
katup atau revaskularisasi, dapat mencegah episode GJA dan memperbaiki prognose jangka panjang. 1
Epidemiologi Walaupun akhir-akhir ini terjadi penurunan mortalitas sesuai usia akibat penyakit jantung koroner dan stroke, namun prevalensi populasi yang terkena gagal jantung (GJ) telah meningkat selama lebih dari 2 dekade, terutama akibat proses penuaan. GJ menyerang sekitar 5 juta orang Amerika, dan sebanyak 550.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahun. GJ adalah penyakit kardiovaskular yang paling mahal di Amerika Serikat, dengan pengeluaran setiap tahun lebih dari $20 juta, dan merupakan indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit pada orang berusia lebih dari 65 tahun. GJ juga menyebabkan kunjungan ke praktik dokter mencapai 12 miliar setiap tahun, dan di antara penyakit kardiovaskular lain, GJ menempati urutan kedua setelah hipertensi untuk indikasi diperlukannya kontak dengan dokter secara rawat jalan. GJ merupakan kondisi yang sangat mematikan, dengan angka harapan hidup 5 tahun kurang dari 50% pada laki- laki dan perempuan. GJ terdaftar sebagai penyebab kematian primer pada lebih 45.000 kasus setiap tahun dan sebagai penyebab tambahan 238.000 kasus. Hampir 80% penderita GJ yang dirawat di rumah sakit dan lebih dari 85% kematian akibat GJ terjadi pada orang berusia lebih dari 65 tahun. 5
Patofisiologi Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrient tubuh. Gagal jantung disebabkan akibat disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung diastolik sering terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis). Ketika ventrikel harus memompa secara berkelanjutan melawan kelebihan beban yang sangat tinggi (peningkatan resistensi), sel otot hipertrofi dan menjadi kaku. Kekakuan sel otot menyebabkan penurunan daya regang ventrikel, sehingga menurunkan pengisian ventrikel, kelainan relaksasi diastolik, dan penurunan volume sekuncup. Volume diastolik akhir ventrikel kiri mengalami peningkatan dan memantul kembali ke sirkulasi paru, menyebabkan hipertensi paru. Karena volume sekuncup turun dan akibatnya tekanan darah turun, reflex baroreseptor teraktivasi. 11
Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. Kerusakan otot sehingga tidak mampu berkontraksi secara penuh, dan sekali lagi, volume sekuncup turun. Penurunan volume sekuncup menyebabkan penurunan tekanan darah, yang segera diikuti dengan inisiasi respons refleks menyesuaikan untuk mengembalikan ke kondisi sebelumnya. Karena ventrikel yang rusak tidak mampu mengembalikan volume sekuncup, refleks tetap berlanjut. Terutama, stimulasi simpatis reseptor B 1 jantung menjadi kronis. Penelitian menyatakan bahwa pengaktifan respon simpatis yang kronis pada akhirnya menurunkan kadar kalsium di dalam, dan pelepasan kalsium dari, reticulum sarkoplasmik sel-sel miokard. Penurunan kalsium otot jantung menyebabkan eksitasi-kontraksi ganda, akibatnya produksi kekuatan otot jantung menghilang, disritmia, dan akhirnya terjadi disfungsi kontraktil serta perubahan bentuk sel otot jantung. Dengan semakin memburuknya proses penyakit gagal jantung juga memengaruhi peningkatan progresif volume diastolik akhir pada peregangan sel otot jantung melebihi panjang optimumnya, akibatnya tegangan yang dihasilkan menjadi berkurang karena ventrikel teregang oleh darah. Gagal jantung menjadi lingkaran setan yang tidak berkesudahan: semakin terisi berlebihan pada ventrikel, semakin sedikit darah yang dapat dipompa keluar sehingga akumulasi darah dan peregangan serabut otot bertambah. Akibatnya, volume sekuncup, curah jantung, dan tekanan darah turun. Respons-respons refleks tubuh yang mulai bekerja sebagai jawaban terhadap penurunan tekanan darah akan secara bermakna memperburuk situasi. 6
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai respon terhadap menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup: 1. Mekanisme Frank Starling Menurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat menyebabkan kontraksi menjadi lebih kuat sehingga curah jantung meningkat. 2. Perubahan neurohormonal Peningkatan aktivitas simpatis merupakan mekanisme paling awal untuk mempertahankan curah jantung. Katekolamin menyebabkan kontraksi otot jantung yang lebih kuat (efek inotropik positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis juga turut berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) yang bersifat 12
mempertahankan volume darah yang bersirkulasi dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu dilepaskan juga counter-regulator peptides dari jantung seperti natriuretic peptides yang mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis serta turut mengaktivasi sistem saraf simpatis dan sistem RAA. 3. Remodeling dan hipertrofi ventrikel Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap peningkatan kebutuhan maka terjadi berbagai macam remodeling termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya terjadi peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure overload (misalnya pada hipertensi, stenosis katup), hipertrofi ditandai dengan peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran ini memberikan pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel bertambah tanpa penambahan ukuran ruang jantung. Namun, bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya pada regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat jantung juga bertambah yang disebut hipertrofi eksentrik, dengan penambahan ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding. Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung memompa darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan fungsional dan struktural yang semakin mengganggu fungsi ventrikel kiri. 7
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis GJA memberikan gambaran / kondisi spektrum yang luas dan setiap klasifikasi tidak akan dapat menggambarkan secara spesifik. Pasien dengan GJA biasanya akan memperlihatkan salah satu dari enam bentuk GJA. Edema paru tidak selalu menyertai semua ke enam bentuk GJA. Gambar 1 dapat memperlihatkan kemungkinan terjadinya tumpang tindih dari ke enam bentuk GJA ini. Keenam bentuk dari PJA ini adalah:
13
Gambar 1. Manifestasi Klinis Gagal Jantung Akut 1
1. Perburukan atau gagal jantung kronik (GJK) dekompensasi, adanya riwayat perburukan yang progresif pada penderita yang sudah diketahui dan mendapat terapi sebelumnya sebagai penderita GJK dan dijumpai adanya kongesti sistemik dan kongesti paru. Tekanan darah yang rendah pada saat masuk RS, merupakan petanda prognose buruk. 2. Edema paru; pasien dengan respiratory distress yang berat, pernafasan yang cepat, dan orthopnea dan ronki pada seluruh lapangan paru. Saturasi O 2 arterial biasanya <90% pada sihi ruangan, sebelum mendapat terapi oksigen. 3. Gagal jantung hipertensif, terdapat gejala dan tanda-tanda gagal jantung yang disertai dengan tekanan darah tinggi dan biasanya fungsi sistolik jantung masih relatif cukup baik, juga terdapat tanda-tanda peninggian tonus simpatitik dengan takhikardia dan vasokonstriksi. Pasien mungkin masih eu volemia atau hanya hipovolemia yang ringan. Umumnya memperlihatkan kongesti paru tanpa tanda-tanda kongesti sistemik. 4. Syok kardiogenik, didefinisikan sebagai adanya bukti tanda-tanda hipoperfusi jaringan yang disebabkan pleh gagal jantung, walau sesudah preload dan aritmia berat sudah dikoreksi secara adekuat. Tida ada parameter hemodinamik diagnostic yang pasti. Akan tetapi cirri khas dari syok kardiogenik dalah tekanan darah sistolik yang rendah (tekanan darah sistolik <90 mmHg, atau penurunan dari tekanan arteriol rata-rata (mean arterial pressure >30 mmHg), dan tidak adanya produksi urin, atau berkurang (<0,5 ml/kg/jam) . gangguan irama jantung sering ditemukan. Tanda-tanda hipoperfusi organ dan kongesti paru timbul dalam waktu cepat. 14
5. Gagal jantung kanan terisolasi, ditandai dengan adanya sindroma low out put tanpa disertai oleh kongesti paru dengan peninggian tekanan vena jugularis dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian ventrikel kiri yang rendah. 6. Sindroma koroner akut (SKA) dan gagal jantung; banyak penderita GJA timbul bersamaan dengan SKA yang dibuktikan dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Kira-kira 15% penderita SKA memperlihatkan gejala dan tanda-tanda GJ. Episode GJA biasanya disertai atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia, AF, VT). 1
Di samping itu, ada beberapa klasifikasi GJA yang biasa dipakai di ICCU, antara lain: 1. Klasifikasi Killip, berdasarkan tanda-tanda klinis sesudah infark jantung akut. 2. Klasifikasi Forester yang juga berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik pada infark akut. 1
Stage I Tidak terdapat gagal jantung. Tidak terdapat tanda dekompensasi jantung. Prognosis kematian sebanyak 6%
Stage II Gagal jantung. Terdapat : ronkhi, S3 gallop, dan hipertensi vena pulmonalis, kongesti paru dengan ronkhi basah halus pada lapang bawah paru. Prognosis kematian sebanyak 17%
Stage III Gagal jantung berat, dengan edema paruberat dan ronkhi pada seluruh lapang paru. Prognosis kematian sebanyak 38%
Stage IV Shock Kardiogenik. Pasien hipotensi dengan SBP <90mmHg, dan bukti adanya vasokontriksi perifer seperti oliguria, sianosis, dan berkeringat. Prognosis kematian sebanyak 67% Tabel 1. Klasifikasi Gagal Jantung Akut Killip 7
Penatalaksanaan 15
Tujuan primer pengobatan adalah mencegah terjadinya gagal jantung dengan cara mengobati kondisi-kondisi yang menuju terjadinya gagal jantung, terutama hipertensi dan/atau arteri koroner. Jika disfungsi miokard sudah terjadi, tujuan pertama adalah mengobati/menghilangkan penyebab dasarnya, jika mungkin (misalnya iskemia, penyakit tiroid, alkohol, obat). Jika penyebab dasar tidak dapat dikoreksi, pengobatan ditujukan untuk: (1) mencegah memburuknya fungsi jantung dengan perkataan lain memperlambat progresi remodeling miokard, sehingga dapat mengurangi mortalitas; dan (2) mengurangi gejala-gejala gagal jantung sehingga memperbaiki kualitas hidup pasien. Untuk tujuan (1) diberikan penghambat ACE dan -blocker, di samping mengurangi beban kerja jantung. Untuk tujuan (2) diperlukan pengurangan overload cairan dengan diuretik, penurunan resistensi perifer dengan vasodilatator, dan peningkatan kontraktilitas miokard dengan obat inotropik. Tujuan (1) adalah tujuan utama pengobatan gagal jantung kronik, sedangkan tujuan (2) adalah tujuan utama pengobatan gagal jantung akut. 8
1. Penatalaksanaan Medika Mentosa Morfin diindikasikan pada tahap awal pengobatan GJA berat, khususnya pada pasien gelisah dan dispnea. Morfin menginduksi venodilatasi, dilatasi ringan pada arteri dan dapat mengurangi denyut jantung. Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk sindrom koroner akut dengan atau tanpa gagal jantung. Namun, tidak ada bukti manfaat heparin atau low molecular weight heparin (LMWH) pada GJA saja. Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi perifer dan mengurangi preload. Beberapa vasodilator yang digunakan adalah: a. Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium pada GJA kanan, khususnya pada pasien sindrom koroner akut. Pada dosis rendah, nitrat hanya menginduksi venodilatasi, tetapi bila dosis ditingkatkan secara bertahap dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner. 16
b. Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik dengan hormon endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type natriuretic peptides dalam merespon peningkatan tegangan dinding, peningkatan tekanan darah, dan volume overload. Kadar B-type natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung dan berhubungan dengan keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP mencakup vasodilatasi, diuresis, natriuresis, dan antagonis terhadap sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki efek vasodilator vena, arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload dan afterload, serta meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung. Nesiritid terbukti mampu mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan plasebo. Nesiritid juga mengurangi tekanan kapiler baji paru. c. Dopamine merupakan agonis reseptor -1 yang memiliki efek inotropik dan kronotropik positif. Pemberian dopamine terbukti dapat meningkatkan curah jantung dan menurunkan resistensi vaskular sistemik. d. Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehingga terjadi akumulasi cAMP intraseluler yang berujung pada inotropik dan lusitropik positif. Obat ini biasanya digunakan pada pasien dengan curah jantung rendah dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi serta resistensi vaskular sistemik yang tinggi. e. Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor -1, -2, dan pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek inotropik positif, efek peningkatan denyut jantung lebih rendah disbanding dengan agonis -adrenergik. Obat ini juga menurunkan Systemic Vascular Resistance (SVR) dan tekanan pengisian ventrikel kiri. f. Epinefrin dan norepinefrin menstimulasi reseptor adrenergik -1 dan -2 di miokard sehingga menimbulkan efek inotropik kronotropik positif. Epinefrin bermanfaat pada individu yang curah jantungnya rendah dan atau bradikardi. g. Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau ibutilide dapat ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah. h. Nitropusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan preload dan after load. Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel sehingga preload menurun. Obat ini 17
juga mengurangi curah jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti dengan penurunan resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah ginjal sehingga sistem RAA tidak teraktivasi secara berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem neurohormonal.
ACE-inhibitor tidak diindikasikan untuk stabilisasi awal GJA. Namun, bila stabil 48 jam boleh diberikan dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap dengan pengawasan tekanan darah yang ketat. Diuretik diindikasikan bagi pasien GJA dekompensasi yang disertai gejala retensi cairan. Pemberian loop diuretic secara intravena dengan efek yang lebih kuat lebih diutamakan untuk pasien GJA. Sementara itu, pemberian -blocker merupakan kontraindikasi pada GJA kecuali bila GJA sudah stabil. Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer (hipotensi) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika dan vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati. Di samping itu, ada obat-obat yang harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati, yakni: antiinflamasi nonsteroid (AINS) dan coxib; antiaritmia kelas I; antagonis kalsium (non- dihidropiridin dan dihidropiridin kerja singkat); antidepresi trisiklik; kortikosteroid; dan litium. 8
2. Penatalaksanaan Non-Medika Mentosa Terapi nonfarmakologik terdiri atas: 1. Diet : pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid darah, atau berat badannya. Asupan NaCl harus dibatasi menjadi 2-3 gr Na/hari, atau < 2 g/hari untuk gagal jantung sedang sampai berat. Restriksi cairan menjadi 1,5-2 L/ hari hanya untuk gagal jantung berat. 2. Merokok : harus dihentikan. 3. Aktivitas fisik : olahraga yang teratur seperti berjalan atau bersepeda dianjurkan untuk pasien gagal jantung yang stabil dengan intensitas yang nyaman bagi pasien. 4. Istirahat : dianjurkan untuk gagal jantung akut atau tidak stabil. 5. Bepergian : hindari tempat-tempat tinggi dan tempat-tempat yang sangat panas atau lembab, dan gunakan penerbangan-penerbangan pendek. 8
18
Komplikasi Komplikasi dari gagal jantung akut dapat berupa edema paru yang merupakan sebuah kedaruratan medik yang terjadi akibat peningkatan tekanan kapiler. Pembesaran ruang jantung yang dapat menyebabkan gangguan jalur elektrik dan menyebabkan aritmia. Adanya thrombus di ventrikel kiri, akibat dari pembesaran ventrikel kiri dan penurunan curah jantung. Syok kardiogenik. Yang merupakan suatu sindrom klinis kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik; tetapi petunjuk umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Pada gagal jantung terjadi syok terkompensasi dimana terjadi usaha untuk menstabilkan sirkulasi guna mencegah kemunduran lebih lanjut. Namun terjadi manifestasi sistemik terjadi keadaan hipoperfusi yang memperburuk hantaran oksigen dan nutrisi serta pembuangan sisa sisa metabolit pada tingkat jaringan sehingga saat masuk tahap dimana sudah terjadi kerusakan sel yang hebat dan tidak dapat dihindari, pada akhirnya terjadi kematian.
Prognosis Data yang diperoleh dari beberapa registry terbaru dari GJA dan beberapa survey yang telah dipublikasikan seperti the Euro-Heart Failure Survey II, the ADHERE registry di Amerika Serikat dan survey nasional dari Italia, Perancis, dan Finlandia. Namun banyak dari pasien- pasien yang masuk dalam registry ini adalah penderita-penderita dengan usia lanjut dengan faktor-faktor comorbid cardiovaskuler dan non cardiovaskuler yang sangat banyak, dengan prognose jangka pendek dan jangka panjang yang buruk. Sindroma koroner akut merupakan kausa yang paling sering dari gagal jantung akut yang baru. Kematian di RS yang tinggi didapatkan pada pasien dengan syok kardiogenik berkisar antara 40-60%. Sangat berbeda dengan pasien gagal jantung akut hipertensif angka kematian di rumah sakit rendah dan kebanyakan pulang dari rumah sakit dalam keadaan asimptomatik. Rata-rata perawatan di RS akibat GJA dari the Euro Heart Survey adalah 9 hari. Dari study registry yang dirawat karena GJA, hampir separuh di antaranya dirawat kembali paling tidak sekali dalam 12 bulan pertama. Estimasi kombinasi kematian dan perawatan ulang untuk 60 hari sejak perawatan diperkirakan berkisar antara 30-50%. Indikator prognostik selanjutnya sama dengan yang dijumpai pada gagal jantung kronik lainnya. 1
19
Kesimpulan GJA dapat berupa serangan pertama GJ, atau perburukan dari gagal jantung kronik sebelumnya. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. GJA memerlukan tindakan atau terapi secara urgent. Prognosis penyakit tergantung dari kausa GJA.
Daftar Pustaka 1. Manurung D. Gagal Jantung Akut. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiadi S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2009.h.1586-95. 2. Gleadle J. At a Glance: Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.h.23-4. 3. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture Notes: Kardiologi. 4 th ed. Jakarta: Erlanga; 2005. 4. Papadakis MA, Mcphee SJ, Rabow MW. Current Medical Diagnosis & Treatment. 15 th ed. US America: The McGraw-Hill Companies; 2013.h.270-9;322-3. 5. Lin TL, Rypkema SW, editors. Manual Washington: Terapi Rawat Jalan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2010.h.137. 6. Corwin EJ. Buku Saku Patofisiologi. 3 rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2009.h.504. 7. Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Principle of Internal Medicine. 18 th ed. US America: The McGraw-Hill Companies; 2012. 8. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth, editors. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007.h.300-2.