Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU

AKIBAT PENGGUNAAN OPIOIDA

Disusun oleh:

Michaella Janet - 01073190058

Pembimbing:

Dr. dr. Hartati Kurniadi, Sp.KJ (K).,MHA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA

SANATORIUM DHARMAWANGSA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA

HARAPAN PERIODE 4 MEI 2020 - 16 MEI 2020

JAKARTA
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR TABEL v

BAB I PENDAHULUAN 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1 Definisi 2

2.2 Epidemiologi 2

2.3 Reseptor Opioid 3

2.4 Mekanisme Terjadinya Nyeri 4

2.5 Cara Kerja Opioid 4

2.6 Sumber Opioid 6

2.7 Macam-Macam Opioid 7

2.8 Efek Opioid 9

2.9 Faktor Risiko Penggunaan Opioid 11

2.10 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioid 11

2.10.1 Intoksikasi Opioid 12

2.10.2 Keadaan Putus Zat (withdrawal) Opioid (24,28,30) 12

2.10.3 Penggunaan Yang Merugikan (Harmful Use) (28) 13

2.10.4 Sindrom Ketergantungan (Dependence Syndrome) (28) 13

2.10.5 Gangguan Psikotik (Psychotic Disorder) 14

ii
2.10.6 Sindrom Amnesik (Amnesic Syndrome) 14

2.10.7 Opioid Menginduksi Gangguan Depresi (25, 19) 14

2.10.8 Opioid Menginduksi Gangguan Ansietas 15

2.10.9 Opioid Menginduksi Bunuh Diri 16

2.11 Toleransi Opioid 16

2.12 Pemeriksaan Laboratorium 16

2.13 Tatalaksana 18

2.13.1 Tatalaksana Pada Intoksikasi Opioid 18

2.13.2 Tatalaksana Pada Putus Zat Opioid 18

2.13.3 Tatalaksana Pada Ketergantungan Opioid 19

BAB III KESIMPULAN 23

BAB IV DAFTAR PUSTAKA 24

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Papaver somniferum 6

iv
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Efek Opioid Terhadap Subtipe Reseptor Opioid6 4

v
BAB I

PENDAHULUAN

Ada sekitar 20,5 juta jiwa mulai dari umur 12 ke atas yang menggunakan opioid

pada tahun 2015 dan ditemukan sekitar 72.000 orang Amerika yang meninggal

karena overdosis opioid pada tahun 2017 yang meningkat sebanyak 2 kali lipat

selama 10 tahun terakhir.2 Sedangkan di Indonesia sendiri terdapat sekitar 148.000-

195.000 orang di Indonesia yang menggunakan opioid.22

Pada orang-orang dengan gangguan penggunaan opioid biasanya akan terus

berjalan sampai beberapa tahun dan walaupun ada sedikit periode dimana seseorang

tidak menggunakan zat tersebut. Pada orang-orang yang sudah diberikan

penanganan juga kondisi relapse cukup sering terjadi sehingga gangguan

penggunaan opioid sendiri sebenarnya adalah suatu hal yang cukup sulit untuk

ditangani.19

Oleh sebab itu, pengetahuan mengenai mekanisme kerja opioid pada otak,

bagaimana cara opioid bekerja hingga menimbulkan adiksi dan gangguan mental

lainnya juga sangat penting untuk membantu mencegah terjadinya gangguan

penggunaan opioid atau efek samping lainnya. Kemudian tatalaksana untuk

penggunaan opioid juga sangat penting untuk diketahui untuk membantu dokter

menangani efek yang disebabkan oleh opioid tersebut.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Opioid adalah salah satu jenis obat yang digunakan untuk mengurangi rasa

nyeri dan memberikan efek yang menyenangkan. Opioid bekerja dengan cara

berinteraksi dengan reseptor opioid yang berada di sel saraf di tubuh dan otak.1-3

Opioid digunakan untuk mengatasi nyeri akut sedang sampai berat terutama

pada bagian viseral seperti penyembuhan luka atau post operasi, penanganan

kanker aktif, palliative care, dan lain-lain. Namun selain mengurangi rasa nyeri,

opioid juga bisa menyebabkan rasa mengantuk, kebingungan mental, euphoria,

mual, konstipasi, dan pada dosis tinggi juga bisa menyebabkan depresi napas dan

hipotensi. Selain itu penggunaan yang berulang juga bisa menyebabkan

ketergantungan dan toleransi sehingga pemakaian opioid harus selalu diawasi.2

2.2 Epidemiologi

Gangguan penggunaan opioid paling sering muncul pertama kali pada usia

remaja akhir atau akhir 20-an.19 Pada tahun 2015 terdapat 20,5 juta jiwa umur 12

keatas yang mengalami gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat.1

Sedangkan pada tahun 2017 terdapat lebih dari 72 ribu orang Amerika yang

meninggal karena overdosis obat, hal ini meningkat sebanyak 2 kali lipat selama 10

tahun.2

Dari penelitian lain ditemukan bahwa perempuan lebih cenderung mengalami

rasa sakit yang kronik sehingga mereka lebih banyak diresepkan obat pereda nyeri

dengan dosis yang lebih tinggi dan mereka menggunakannya dalam jangka waktu

2
yang lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini menyebabkan

perempuan lebih cenderung untuk mengalami ketergantungan terhadap obat-obat

pereda nyeri dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini bisa dilihat dari data pada tahun

1999 sampai 2010 ditemukan ada 48.000 perempuan yang overdosis obat pereda

nyeri.1 Selain itu menurut penelitian di Croatia menyatakan bahwa intensitas nyeri

pascaoperasi lebih banyak dilaporkan oleh perempuan karena mereka lebih sensitif

dan memiliki toleransi yang lebih rendah terhadap rasa nyeri. 35

Di Indonesia terdapat 148.000-195.000 orang yang menggunakan opioid,

17.000-26.000 diantaranya berasal dari Jawa Barat, 6.000-9.000 lainnya berasal

dari Bandung.22

2.3 Reseptor Opioid

Ada 3 jenis reseptor opioid yaitu reseptor µ (mu), reseptor δ (delta), dan reseptor

κ (kappa). Ikatan opioid pada reseptor reseptor µ menghasilkan efek analgesi spinal

dan supraspinal, sedasi, inhibisi respirasi, penurunan waktu transit gastrointestinal,

dan modulasi pelepasan neurotransmiter dan hormon. Opioid alami di dalam tubuh

yang memiliki afinitas paling tinggi terhadap reseptor µ adalah endorfin kemudian

diikuti enkefalin, dan afinitas paling rendah dimiliki oleh dinorfin.6,7

Ikatan opioid pada reseptor δ menghasilkan efek analgesi spinal dan

supraspinal, modulasi pelepasan hormon dan neurotransmiter. Opioid alami dalam

tubuh yang memiliki afinitas paling tinggi adalah enkefalin diikuti dengan endorfin

dan dinorfin.

Ikatan opioid pada reseptor κ akan menghasilkan efek analgesia spinal dan

supraspinal, efek psikotomimetik, dan penurunan waktu transit gastrointestinal.

3
Opioid alami dalam tubuh yang memiliki afinitas paling tinggi terhadap reseptor

ini adalah dinorfin kemudian diikuti oleh endorfin dan enkefalin.6,7

Tabel 2. 1 Efek Opioid Terhadap Subtipe Reseptor Opioid6

2.4 Mekanisme Terjadinya Nyeri

Otak dan sistem saraf terdiri dari sel yang disebut neuron. Masing-masing

neuron terdiri dari badan sel, akson, dan akson terminal. Pada akson terminal

terdapat pre-synaptic, synaptic cleft, dan post-synaptic. Masuknya ion kalsium

menyebabkan pelepasan neurotransmiter ke dalam pre-synaptic, dimana

neurotransmiter tersebut akan menyeberang ke post-synaptic dan berikatan dengan

reseptor yang ada di post-synaptic neuron. Hal ini akan menginisiasi secondary

neuron yang akan menyebarkan sinyal rasa nyeri ke otak.36

2.5 Cara Kerja Opioid

Normalnya endorfin dihasilkan oleh tubuh, namun ketika tidak ada endorfin

yang dihasilkan maka neuron penghambat akan menghasilin neurotransmiter untuk

mencegah neuron yang ada di jaringan otak sekitar untuk menghasilkan dopamin.

4
Salah satu kegiatan yang bisa membantu menghasilkan endorfin adalah olahraga

sehingga ketika terbentuk endorfin, endorfin akan mengaktivasi 3 reseptor opioid

(mu, kappa, dan delta) yang akan menghalangi neuron penghambat untuk

melepaskan neurotransmiter sehingga dopamin bisa dihasilkan.23

Ketika dopamin bekerja di area yang memproses rasa nyeri seperti di thalamus,

batang otak, dan prefrontal cortex, hal ini akan menyebabkan orang tersebut merasa

rasa sakit yang dirasakan berkurang. Ketika dopamine bekerja di reward pathway

seperti di area ventral tegmental, nucleus accumbens, dan prefortal cortex maka

akan muncul perasaan menyenangkan yang akan membuat mereka merasa

nyaman.23

Namun bila opioid kuat yang berasal dari luar tubuh berikatan dengan reseptor

opioid, hal ini akan menyebabkan banyak dopamin yang terbentuk dan selain bisa

membuat rasa nyeri jadi terkontrol bisa juga muncul efek seperti euforia yang tidak

bisa dikontrol karena zat tersebut sampai ke bagian otak yang mengontrol reward

pathway sehingga muncul efek high. Tujuan dari reward pathway sendiri adalah

untuk melatih otak mengulang aktivitas dopamin yang menghasilkan rasa senang

sehingga ketika efek “senang” ini dihasilkan setelah seseorang menggunakan

opioid maka otak akan belajar untuk mengulang perilaku untuk mendapatkan efek

tersebut kembali.15

Selain itu opioid yang berikatan dengan reseptor opioid yang akan menekan

sistem saraf pusat dan memperlambat pesan antara otak dengan bagian tubuh

lainnya. Hal ini akan menyebabkan perlambatan napas dan detak jantung.17 Bila

napas dan detak jantung menurun pada titik tertentu, seseorang bisa henti napas dan

terjadi overdosis.

5
Overdosis opioid bisa menyebabkan cedera lainnya hingga kematian, namun

bisa diatasi dengan RJP serta pemberian naloxone dimana naloxone juga berikatan

dengan reseptor opioid tapi naloxone memiliki efek berkebalikan dengan opioid.20

2.6 Sumber Opioid

Opioid diekstrak dari tumbuhan opium poppy atau Papaver somniferum

yang sering ditemukan di Turki. Pada kapsul biji Papaver somniferum yang belum

matang bisa ditemukan getah yang menjadi cikal bakal opium, morfin, kodein dan

heroin. Papaver somniferum adalah tanaman yang tingginya bisa mencapai 1-5

meter.

Gambar 2.1. Papaver somniferum

Di dalam opium terdapat beberapa alkaloid antara lain morfin (10-15%), kodein (1-

3%), noskapin (4-8%), papaverine (1-3%), dan thebain (1-2%) yang banyak

digunakan untuk pengobatan. Contohnya seperti morfin dan kodein yang digunakan

sebagai pereda nyeri, kodein dan noskapin sebagai obat batuk. Opium sendiri bisa

digunakan dengan cara ditusukkan ke kulit, peroral, atau dihirup.4-6

6
2.7 Macam-Macam Opioid

Opioid memiliki beberapa macam jenis, antara lain:8,9

A. Morfin

Ketergantungan morfin sangat sering terjadi karena hanya dengan sedikit

pemakaian bisa menyebabkan munculnya ketergantungan, hal ini bisa

ditandai dengan adanya toleransi. Morfin bekerja langsung di dalam sistem

saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit.11

B. Kodein

Kodein sering kali ditemukan di obat batuk sirup, namun kodein juga

merupakan opioid untuk mengatasi nyeri dari yang ringan sampai sedang.

Kodein sudah dibuktikan bisa digunakan untuk menangani masalah diare

terutama yang berhubungan dengan irritable bowel syndrome karena zat ini

akan dipecahkan di liver dan kembali menjadi morfin sehingga ketika zat

ini dipecahkan, zat ini akan mempengaruhi pusat penghargaan yang ada di

otak yang menghasilkan perasaan menyenangkan dan sejahtera.11

C. Heroin

Efek yang dihasilkan oleh heroin mirip seperti yang dihasilkan oleh morfin.

Heroin memiliki sifat yang mudah larut dalam lemak dan bereaksi lebih

cepat daripada morfin sehingga cepat menghasilkan efek euforia, hal ini

menyebabkan heroin populer di kalangan penyalahguna. Heroin juga tidak

diperkenankan untuk penggunaan klinis karena memiliki potensi untuk

terjadi ketergantungan yang cukup tinggi. Heroin bisa digunakan dengan

cara dihirup, disuntik, dan dikonsumsi. Pengguna akan merasakan

7
perubahan dalam waktu 7-8 detik bila disuntikkan lewat IV, dan 5-8 menit

bila disuntikkan lewat IM.10,11

D. Fentanil

Fentanil bisa digunakan untuk mengatasi nyeri sedang hingga berat. Zat ini

bisa digunakan untuk penanganan jangka panjang, hal ini diduga menjadi

salah satu faktor resiko mengapa fentanil menjadi salah satu zat yang paling

adiktif.11

E. Oksikodon

Oksikodon sering digunakan sebagai obat pereda nyeri sedang hingga berat.

Penggunaannya secara oral cukup efektif karena efek metabolisme lini

pertama hepar obat-obatan tersebut lebih rendah daripada morfin. Obat-

obatan ini biasanya digunakan secara kombinasi dengan analgesik lainnya

seperti paracetamol, aspirin, atau ibuprofen. Obat-obatan ini berkaitan

dengan efek depresi pernapasan dan ketergantungan yang lebih rendah

daripada morfin.1,12

F. Buprenorfin

Obat-obatan ini digunakan untuk untuk mengatasi nyeri sedang. Efek

depresi pernapasan yang dihasilkannya rendah. Buprenorfin adalah agonis

parsial pada reseptor µ dan bersifat antagonis pada reseptor κ. Buprenorfin

memiliki efek disosiasi yang lama pada reseptor µ dan durasi aksi yang

lama. Hal ini membuat buprenorfin dapat digunakan untuk detoksifikasi

heroin. Oleh karena efek ini pula, intoksikasi buprenorfin sulit ditangani

menggunakan nalokson. Pentazocin, nalbufin, dan butorfanol adalah agonis

reseptor κ dengan aefek parsial agonis-antagonis pada reseptor opioid κ.13,14

8
G. Metadon

Metadon memiliki aktivitas analgesik yang baik. Pemberiannya dilakukan

secara oral. Metadon sendiri dimetabolisme di hepar, sehingga keadaan

disfungsi hepar dapat meningkatkan kadar metadon dalam darah.

Dibandingkan morfin, efek withdrawal yang ditimbulkan lebih ringan

sehingga metadon digunakan sebagai subtitusi opioid ketika terjadi

ketergantungan fisik. Selain karena efek withdrawal metadon, durasi

kerjanya yang lebih pajang juga diharapkan bisa mengurangi keinginan

untuk menggunakan opioid pada jangka waktu yang berdekatan sehingga

bisa mengurangi jumlah penggunaan opioid.16

H. Tramadol

Tramadol memiliki efek agonis lemah terahadap reseptor µ. Tramadol juga

menghambat pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin sehingga hal

ini membedakan tramadol dengan opioid lainnya. Tramadol sering

digunakan untuk menangani nyeri neuropatik. Efek mereka hanya dilawan

secara parsial oleh nalokson. Apabila tramadol diberikan dengan obat

golongan MAOI, maka sindrom serotonin dapat muncul. Pemberian

tramadol dan tapentadol berhubungan dengan peningkatan risiko kejang

dan dikontraindikasikan pada pasien dengan epilepsi.21

2.8 Efek Opioid

Efek opioid akan berbeda-beda pada setiap orang dan tidak ada level

penggunaan yang aman, walaupun hanya menggunakan sedikit opioid namun hal

ini tetap berbahaya bagi seseorang. Efek yang timbul pada masing-masing orang

9
bisa dilihat dari berat badan, tinggi badan, kesehatan orang tersebut. Selain itu bisa

juga dilihat dari obat-obatan lain yang digunakan bersamaan dengan penggunaan

opioid, jumlah opioid yang dikonsumsi, kekuatan dari jenis opioid yang digunakan,

seberapa sering seseorang menggunakan opioid tersebut.10

Pada orang-orang yang menggunakan opioid pada umumnya akan merasakan

efek seperti relaksasi, mengantuk, menjadi lebih ceroboh, kebingungan, melantur,

pernapasan dan detak jantung yang melambat. Selain itu penggunaan opioid juga

akan menyebabkan mulut dan hidung yang kering, hal ini dikarenakan penggunaan

opioid akan menyebabkan sekresi yang dihasilkan oleh membran mukosa jadi

semakin sedikit. Pada pengguna opioid dengan cara injeksi maka akan ditemukan

bekas luka suntikan pada lengan bagian bawah dan sering kali disertai dengan

pengerasan pada vena, dimana hal ini bisa menyebabkan edema periferal dan

membuat pengguna beralih menyuntikkan opioid tersebut lewat vena-vena lain

seperti vena pada tungkai bawah, leher, ataupun selangkangan, hal ini membuat

bisa ditemukannya luka-luka suntikan pada bagian lain.10,17,19

Jika menggunakan opioid jangka panjang maka akan terjadi efek seperti

meningkatkan toleransi terhadap zat opioid, hal ini bisa dilihat dari kemampuan

seseorang untuk beradaptasi terhadap jumlah dosis yang digunakan, maksud dari

pernyataan di atas adalah seseorang bisa menggunakan opioid dan baru muncul

efek dari opioid tersebut setelah mencapai dosis yang harusnya bisa menyebabkan

overdosis pada orang-orang yang belum pernah atau baru menggunakan opioid.

Selain itu penggunaan opioid jangka panjang juga bisa menyebabkan disfungsi

ereksi pada pria. Pada orang-orang yang menggunakan opioid dengan cara dihirup

akan menyebabkan munculnya iritasi pada mukosa hidung dan kadang disertai

10
dengan perforasi septum hidung. Selain itu penggunaan jangka panjang juga akan

meningkatnya risiko terjadinya HIV karena penggunaan jarum suntik yang tidak

steril.10,19

2.9 Faktor Risiko Penggunaan Opioid

Ada beberapa faktor risiko yang bisa berkaitan dengan penggunaan opioid

antara lain lingkungan individu, keluarga, teman sebaya, dan sosial. Di luar dari

lingkungan seseorang, genetik juga berperan penting baik langsung maupun tidak

langsung. Sebagai contohnya, bila seseorang memiliki kepribadian yang selalu

ingin mencoba hal yang baru atau ingin mencari sesuatu yang bisa membuat dirinya

merasa senang maka orang-orang tersebut memiliki probabilitas untuk menjadi

salah satu pengguna opioid.19

2.10 Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Opioid

Beberapa gangguan mental dan gangguan fisik lainnya bisa disebabkan oleh

penggunaan opioid. Beberapa contoh gangguan mental yang sering terjadi adalah

depresi berat, gangguan kecemasan, gangguan psikotik, dan gangguan paranoid.

Namun dari semua gangguan mental tersebut, gangguan depresi berat dan

gangguan kecemasan adalah salah satu yang paling sering terjadi. Selain itu juga

penggunaan opioid bisa menyebabkan munculnya keinginan untuk bunuh diri. Dari

penelitian sebelumnya ditemukan bahwa orang-orang yang menggunakan opioid

memiliki risiko bunuh diri sebanyak 20 kali lipat dibandingkan dengan orang-orang

yang tidak menggunakan zat tersebut.22

11
2.10.1 Intoksikasi Opioid

Bila opioid dikonsumsi dalam dosis besar akan menyebabkan intoksikasi

opioid yang akan menyebabkan munculnya gejala seperti gangguan memori atau

perhatian, mual, berkurangnya hasrat seksual, delirium, euforia, sedasi atau kantuk

yang bisa berkembang menjadi koma, depresi pernapasan, disartria, dan gangguan

persepsi, suhu badan rendah, kulit terasa dingin. Intoksikasi akan mengancam

nyawa karena terjadi depresi pernapasan. Pasien juga akan mengalami gejala

konstipasi yang disebabkan karena penurunan bising usus dan saluran pencernaan.

Pasien juga akan mengalami gangguan pengelihatan karena efek dari pinpoint

pupil, namun bila sudah terjadi overdosis yang parah maka akan menimbulkan

dilatasi pupil.10,18,19,28

2.10.2 Keadaan Putus Zat (withdrawal) Opioid (24,28,30)

Gejala withdrawal opioid akan muncul setelah penghentian penggunaan

opioid. Bila opioid dikonsumsi lewat penggunaan oral maka gejala tersebut akan

timbul dalam 1 sampai 2 hari setelah penghentian penggunaan, namun bila opioid

digunakan dengan cara penyuntikan intravena maka gejala withdrawal akan

muncul dalam waktu beberapa jam.

Gejala yang muncul akan bermacam-macam, seperti kecemasan, mudah

marah, insomnia, mialgia atau kram otot, sakit kepala, mual dan muntah, diare,

kram perut, merinding, dilatasi pupil, lakrimasi, rhinorrhea, menguap, demam.24

Gejala-gejala ini akan menyebabkan kesulitan dalam kegiatan sosial, pekerjaan dan

lain-lain sehingga menyebabkan gangguan mental lainnya.28

12
Gejala withdrawal opioid akan hilang dalam 18-24 jam setelah

pemberhentian dosis pertama pada orang yang menggunakan short-acting opioid.30

2.10.3 Penggunaan Yang Merugikan (Harmful Use) (28)

Penggunaan opioid yang merugikan bisa ditandai ketika penggunaan opioid

sudah merusak kesehatan, baik secara fisik maupun mental namun belum

menujukkan gejala-gejala sindrom ketergantungan. Selain itu adanya masalah atau

disfungsi psikososial karena penggunaan opioid juga sudah termasuk sebagai

penggunaan yang merugikan.28

2.10.4 Sindrom Ketergantungan (Dependence Syndrome) (28)

Ketika seseorang sudah memiliki keinginan yang sangat kuat atau sering

juga disebut sebagai dorongan impulsif untuk menggunakan opioid terus menerus

untuk memperoleh efek dari opioid tersebut maka hal ini sudah masuk ke sindrom

ketergantungan sehingga menyebabkan seseorang untuk kesulitan mengontrol

perilaku dalam penggunaan zat tersebut.

Penghentian atau pengurangan penggunaan opioid akan menyebabkan

timbulnya gejala putus zat atau sering disebut juga withdrawal yang membuat

orang tersebut merasa tidak nyaman sehingga menyebabkan orang tersebut ingin

terus menggunakan opioid untuk menghindari gejala putus zat.

Sudah terjadi toleransi sehingga orang tersebut harus meningkatkan dosis

yang digunakannya untuk memperoleh efek yang sama. Dan walaupun pengguna

opioid mengetahui dampak buruk dari opioid terhadap tubuh mereka, mereka akan

tetap menggunakan opioid tersebut.28

13
2.10.5 Gangguan Psikotik (Psychotic Disorder)

Penggunaan opioid bisa menyebabkan munculnya gejala-gejala psikotik

seperti halusinasi, kesalahan indektifikasi, waham yang sifatnya kecurigaan atau

merasa dikejar-kejar, gangguan psikomotor seperti semangat yang berlebihan atau

stupor, serta bisa juga disertai dengan perasaan sangat ketakutan atau rasa senang

yang berlebihan.28

2.10.6 Sindrom Amnesik (Amnesic Syndrome)

Sindrom amnesik ditandai dengan adanya gangguan daya ingat jangka

pendek yang menonjol yang terkadang disertai dengan gangguan daya ingat jangka

panjang namun gangguan daya ingat segera masih dalam batas normal.

Orang dengan sindrom amnesik akan merasa kesulitan untuk menyusun

kembali urutan kronologis karena memiliki gangguan sensasi waktu walaupun

kesadarannya tidak terganggu. Perubahan kepribadian menjadi apatis dan

kehilangan inisiatif serta lebih sering untuk mengabaikan keadaan juga sering

terjadi.28

2.10.7 Opioid Menginduksi Gangguan Depresi (25, 19)

Opioid akan menyebabkan gejala seperti putus asa, rasa bersalah yang

sering kali berhubungan dengan depresi. Peneliti berpikir bahwa terjadi perubahan

pada level hormon, serta sistem reward dan kesenangan di otak pengguna opioid

sehingga hal ini akan menimbulkan gejala depresi yang semakin lama akan semakin

parah sehingga menyebabkan seseorang memiliki gangguan depresi.19,25

14
Gangguan depresi akibat penggunaan opioid harus menyebabkan gejala

klinis yang signifikan serta gangguan dalam bidang sosial, pekerjaan dan lain-lain.

Gejala klinis pada gangguan depresi adalah memiliki minimal 2 gejala utama dan

minimal 2 gejala lainnya. Gejala utama yang dimaksud adalah afek depresif,

kehilangan minat dan kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju

meningkatnya keadaan mudal lelah dan menurunnya akvitias. Sedangkan gejala

lainnya adalah konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri

berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pemandangan masa

depan yang suram dan pesimistik, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau

bunuh diri, tidur yang terganggu, dan nafsu makan menurun.19

2.10.8 Opioid Menginduksi Gangguan Ansietas

Gangguan anxietas juga bisa diinduksi oleh penggunaan opioid. Hal ini

merupakan salah satu efek dari opioid karena salah satu gejala yang dihasilkan dari

withdrawal opioid adalah gejala cemas atau disebut juga ansietas, sehingga pada

beberapa orang hal ini akan menyebabkan gangguan mental bila tidak diatasi

dengan baik.25,26

Gejala klinis pada gangguan ansietas contohnya seperti merasa cemas

karena khawatir akan ada hal buruk yang terjadi atau merasa berada di ujung

tanduk. Selain itu juga ada gejala ketegangan motorik seperti sakit kepala, gelisah,

dan gemetar. Gejala lainnya yang bisa timbul adalah overaktivitas otonomik

contohnya kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, kepala terasa

pusing, dan mulut kering.25,26

15
2.10.9 Opioid Menginduksi Bunuh Diri

Risiko bunuh diri meningkat pada orang-orang yang menggunakan opioid

sebanyak 20 kali lipat dibandingkan dengan orang-orang yang tidak menggunakan

zat tersebut. Beberapa faktor yang bisa menyebabkan bunuh diri pada orang-orang

yang menggunakan opioid adalah depresi berat dan gangguan kecemasan atau

dalam keadaan intoksikasi.22

2.11 Toleransi Opioid

Orang-orang yang menggunakan opioid jangka panjang walaupun dengan

penggunaan yang tepat akan mengalami toleransi. Toleransi adalah keadaan dimana

efektivitas obat tersebut menurun sehingga tidak menghasilkan efek yang sama

seperti saat awal digunakan. Maka untuk mendapatkan efek yang sama seperti pada

dosis terapeutik awal harus dilakukan peningkatan dosis.27

Ada dua teori yang menjelaskan etiologi terjadinya toleransi yaitu karena

reseptor opioid menjadi lebih tidak sensitif terhadap opioid, yang kedua karena

neuron yang ada menghilangkan reseptor opioid dari dinding sel sehingga reseptor

yang bisa berikatan dengan opioid menjadi lebih sedikit sehingga kemampuan

untuk menghasilkan efek yang seharusnya dihasilkan oleh penggunaan opioid juga

jadi menurun.27

2.12 Pemeriksaan Laboratorium

Ada beberapa pemeriksaan laboratorium yang bisa digunakan untuk

menunjang diagnosis penggunaan opioid seperti pemeriksaan urin. Pada

16
pemeriksaan urin dipstick bisa ditemukan positif jika menggunakan heroin, morfin,

kodein, oksikodon, maupun propoksifen. Zat-zat ini bisa dideteksi dalam 12-36 jam

setelah penggunaan. Namun pada penggunaan seperti metadon, buprenorfin, dan

LAAM (L-alpha-acetylmethadol) pemeriksaan urin yang ditemukan akan negatif

karena ketiga zat ini harus diuji secara spesifik baru akan menunjukkan hasil yang

bermakna. Ketiga zat ini bisa menunjukkan hasil positif sampai lebih dari satu

minggu.19

Selain pengecekan urin, untuk mendeteksi seseorang menggunakan opioid

juga bisa dilakukan pemeriksaan hepatitis karena 80-90% orang-orang yang

menggunakan injeksi opioid akan menderita hepatitis sehingga ada baiknya untuk

melakukan pengecekan antigen hepatitis untuk mengecek hepatitis aktif, antibodi

hepatitis untuk mengecek infeksi hepatitis yang sudah lewat dan tes fungsi liver.

Fungsi liver akan meningkat pada orang-orang yang menderita hepatitis ataupun

cedera liver karena kontaminasi dengan injeksi opioid.19

Tes laboratorium lainnya yang bisa dilakukan kepada orang-orang yang

menggunakan opioid dengan cara injeksi adalah tes HIV/AIDS. Para pengguna

opioid terutama dengan jenis heroin di Amerika Serikat ada sekitar 60% yang

terbukti mengalami HIV/AIDS.19 Tes laboratorium yang bisa dilakukan untuk

pengecekan HIV/AIDS antara lain adalah tes antibodi ELISA (enzyme-linked

immunosorbent assay), PCR (polymerase chain reaction) untuk mendeteksi DNA

atau RNA HIV dalam darah dimana tes ini bisa digunakan bila tes antibody

meragukan, dan yang terakhir adalah tes antibodi-antigen yang dikenal dengan p24.

P24 dapat terdeteksi 2-6 minggu setelah terinfeksi, tes ini bisa dilakukan sebelum

antibody HIV terdeteksi.37

17
2.13 Tatalaksana

2.13.1 Tatalaksana Pada Intoksikasi Opioid

Pertama-tama harus dilakukan penghentian penggunaan opioid supaya

opioid yang beredar dalam tubuh tidak bertambah jumlahnya. Setelah penggunaan

dihentikan maka harus dilakukan pemantauan tanda-tanda vital secara berkala

karena salah satu efek intoksikasi opioid pada tubuh adalah depresi pernapasan

yang akan berbahaya karena dapat mengancam jiwa seseorang. Bila terdapat

perburukan yang ditandai dengan depresi pernapasan maka harus segera diberikan

alat bantu napas yaitu ventilator. Bila terjadi intoksikasi yang sangat parah dan

mengancam jiwa, pasien harus segera diberikan naloxone.29

Naloxone bekerja sebagai antagonis opioid yang diberikan melalui

intravena dengan dosis 10 miligram. Mekanisme kerja dari naloxone sendiri adalah

dengan menggantikan opioid dari reseptor opioid untuk mencegah aktivasi dari

reseptor karena opioid. Naloxone biasanya digunakan untuk orang-orang yang

menggunakan opioid dalam jangka waktu lama.29

2.13.2 Tatalaksana Pada Putus Zat Opioid

Pada keadaan putus zat opioid atau sering juga disebut sebagai withdrawal

state terdapat 3 tatalaksana yang berbeda yaitu tatalaksana non medis, tatalaksana

simptomatik, dan detoksifikasi metadon.

Pada tatalaksana non medis bisa dilakukan pembatasan akses ke zat opioid

sampai tidak ada gejala withdrawal. Pada tatalaksana simptomatik akan diberikan

clonodin (contoh: catapres) untuk mengurangi gejala-gejala autonomic withdrawal

18
contohnya seperti takikardia, serta bisa diberikan loperamide sebagai obat untuk

gejala diare yang disebabkan oleh efek withdrawal dari opioid. Detoksifikasi

metadon bisa diberikan dengan dosis 5-20 miligram 3 kali sehari tergantung dari

dosis opioid yang digunakan. Setelah pasien stabil maka dosis metadon dikurangi

sebanyak 5 miligram perhari atau dikurangi 10 miligram perhari sampai tercapai 10

miligram dosis metadon setelah itu baru dikurangi 2 miligram perharinya. Jika

gejala withdrawal tidak dapat ditekan dalam waktu 1 jam bisa diberikan lebih

banyak, namun pada umumnya pemberian dosis awal metadon tidak boleh melebihi

30 miligram dan total dalam 24 jam tidak melebihi 40 miligram karena 40 miligram

metadon akan menjadi dosis yang fatal pada orang-orang yang nontolerant. Selain

itu pemberian metadon dengan dosis yang sama seperti dosis pertama kali diberikan

juga akan berbahaya pada orang-orang yang nontolerant bila dilanjutkan selama 2

hari karena akan terjadi peningkatan metadon dalam darah.30

2.13.3 Tatalaksana Pada Ketergantungan Opioid

Banyak penelitian yang mengatakan bahwa gangguan mental bisa menjadi

salah satu faktor yang mendukung alasan penggunaan opioid.31 Sehingga langkah

utama untuk menghentikan ketergantungan opioid adalah dengan mengobati

penyebabnya yaitu dengan mengobati gangguan mental yang menyertakan

penggunaan opioid tersebut. Setelah itu menerapkan 12 langkah model pemulihan

yang ditulis oleh alcoholic anonymous dalam kehidupan sehari-hari pengguna. 12

model pemulihan memiliki arti dari masing-masing stepnya.33

Pada step pertama ditekankan tentang 2 kata yaitu powerless yang artinya

mengakui bahwa pengguna tidak memiliki kontrol untuk melawan alkohol yang

19
dalam kondisi ini artinya untuk melawan opioid dan unmanageable yang artinya

mengakui bahwa menggunakan opioid membuat efek negatif dalam hidup

penggunanya. Pada step kedua menekankan tentang hope atau harapan. Pada step

ini ingin disampaikan bahwa disamping kebiasaan pengguna untuk menggunakan

opioid, kesembuhan itu adalah sesuatu hal yang mungkin terjadi. Pada step ketiga

berbicara tentang action atau tindakan. Pada step ini pengguna diminta untuk

mencari pertolongan atau mengekspresikan rasa terima kasih mereka, untuk

menekan rasa egois mereka. Pada kalimat God as we understood Him maksudnya

adalah proses kesembuhan, support system. Pada step keempat menekankan

eliminasi kemungkinan untuk penolakan dengan 3 hal yaitu jujur dan berani dengan

cara mengakui kesalahan, mencari dengan cara pikirkan dan tulis semua pikiran,

kata-kata dan perbuatan pengguna, dan yang terakhir moral yaitu ketika

memikirkan semua hal itu pengguna juga harus memikirkan apa yang benar

terhadap keinginan egois mereka sendiri. Inti dari step keempat adalah ketika

seseorang mengetahui kekuatan dan kelemahan mereka maka mereka akan bisa

membuat pilihan yang lebih baik. Pada step kelima membahas tentang mencari

bantuan dengan cara berbicara kepada orang lain untuk membantu mengatasi

perasaan bersalah atau malu yang dialami pengguna. Pada step keenam ditekankan

untuk melepaskan kebiasaan dan sifat buruk pengguna, menjadi lebih baik dan

belajar untuk memiliki kebiasaan yang lebih baik maka dunia di sekitar pengguna

juga akan berubah jadi lebih baik. Pada step ketujuh adalah kesempatan dimana

seseorang bisa melihat dirinya sebagaimana mestinya, semua hal buruk dan baik.

Ada 3 alasan kenapa rasa malu penting pada step ini yaitu karena rasa malu

membuat pengguna menyadari seberapa parahnya dia sudah rusak, untuk

20
membantu mereka mengetahui batasan mereka, dan untuk membantu mereka sadar

ada kekuatan yang lebih tinggi yang membantu mereka untuk mengubah hidupnya.

Pada step kedelapan dilakukan untuk membantu mereka sadar seberapa besar

kerusakan yang sudah mereka tinggalkan ketika mereka sangat adiktif terhadap

opioid. Mereka juga harus mengetahui apa yang sudah mereka buat sampai

menyakiti orang lain untuk melanjutkan kedepannya. Pada step kesembilan

ditekankan untuk membuat catatan tentang nama-nama yang harus ditindaklanjuti

dengan minta maaf yang tulus, mencoba memperbaiki kesalahan dan meminta maaf

namun hal ini bukan berarti harus dimaafkan. Pada step kesepuluh ditekankan untuk

tetap bertumbuh dan tetap berjalan di jalan yang benar supaya tidak jatuh ke lubang

yang sama lagi. Pada step kesebelas lebih menekankan tentang step spiritual, tetap

berdoa dan meditasi. Pada step ini membahas tentang lebih mendekatkan diri

kepada Tuhan. Pada step kedua belas ditekankan untuk menyebarkan 12 model

pemulihan kepada sesama pengguna untuk membantu orang-orang yang mencoba

keluar dari masalah yang sama.33

Selain tatalaksana non medis bisa juga dilakukan tatalaksana medis yaitu

dengan pemberian naltrexone 50 miligram peroral sebanyak 4 kali sehari untuk

menghalangi reward effect dari opioid, selain itu juga bisa diberikan metadon 60-

100 miligram peroral 4 kali sehari untuk mengurangi hasrat ingin menggunakan

opioid dan mengurangi konsekuensi psikososial dan komorbiditas medis akibat

opioid. Bisa juga diberikan LAAM (Levo-Alpha-Acetylmethadol) yang bekerja

sebagai agonis opiate jangka panjang yang bisa bertahan sekitar 92 jam di dalam

tubuh seseorang. LAAM bekerja mirip dengan metadon namun bisa diberikan dosis

setiap 2-3 hari sekali.30,32

21
22
BAB III

KESIMPULAN

Opioid adalah salah satu jenis obat pereda nyeri yang didapatkan dari

tumbuhan Papaver somniferum atau disebut juga opium poppy dan sintetik yang

digunakan dengan cara dihirup atau ditusukkan ke kulit.1-6

Di Indonesia terdapat 148.000-195.000 orang yang menggunakan opioid.22

Sedangkan pada tahun 2017 terdapat lebih dari 72 ribu orang Amerika yang

meninggal karena overdosis obat.2

Cara kerja opioid adalah dengan berikatan dengan reseptor opioid dan

menghasilkan dopamin yang akan bekerja di thalamus, batang otak, dan spinal cord

untuk mengurangi rasa nyeri dan juga di reward pathway yang menyebabkan efek

menyenangkan dan menimbulkan ketergantungan.15,23

Penggunaan opioid ini akan menimbulkan gangguan mental dan perilaku

seperti intoksikasi opioid, keadaan putus zat opioid, penggunaan yang merugikan,

sindrom ketergantungan, gangguan psikotik, sindrom amnesik, opioid menginduksi

gangguan depresi, dan opioid menginduksi gangguan ansietas.10,18,19,22 Selain itu

opioid juga bisa menyebabkan timbulnya toleransi yaitu keadaan dimana efektivitas

obat menurun sehingga tidak menghasilkan efek yang sama seperti saat awal

digunakan maka harus dilakukan peningkatan dosis.27

Penatalaksaanaan gangguan penggunaan opioid sendiri terbagi menjadi tiga

yaitu tatalaksana pada intoksikasi opioid, putus zat opioid, dan ketergantungan

opioid.29-33

23
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Opioid Addiction 2016 Facts & Figures . Rockville: American Society of

Addiction Medicine; 2016. (https://www.asam.org/docs/default-

source/advocacy/opioid-addiction-disease-facts-figures)

2. Saxon A. Opioid Use Disorder [Internet]. American Psychiatric

Association; 2018 [cited 2020 May 5]. Available from:

https://www.psychiatry.org/patients-families/addiction/opioid-use-

disorder/opioid-use-disorder

3. CDC. Opioid Basics [Internet]. Centers for Disease Control and Prevention.

Centers for Disease Control and Prevention; 2020 [cited 2020 May 5].

Available from: https://www.cdc.gov/drugoverdose/opioids/index.html

4. OPIOID. [Internet]. 2018 [cited 5 May 2020];11(1). Available from:

https://ojs3.unpatti.ac.id/index.php/moluccamedica/article/view/867

5. The Editors of Encyclopaedia Britannica. Opium poppy [Internet].

Encyclopædia Britannica. Encyclopædia Britannica, inc.; 2017 [cited 2020

May 5]. Available from: https://www.britannica.com/plant/opium-poppy.

6. Eskasasnanda I. FENOMENA KECANDUAN NARKOTIKA. SEJARAH

DAN BUDAYA [Internet]. 2014 [cited 5 May 2020];8(1). Available from:

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2

&ved=2ahUKEwi3_5PN3Z3pAhXEXCsKHXsYCscQFjABegQIBBAB&

url=http%3A%2F%2Fjournal.um.ac.id%2Findex.php%2Fsejarah-dan-

budaya%2Farticle%2Fdownload%2F4755%2F2237&usg=AOvVaw0BM

UCFC9UeiXHggEKDwOCh

24
7. Pleuvry B. Opioid Receptors And Their Ligands: Natural And Unnatural.

British Journal of Anaesthesia. 1991;66(3):370–80.

8. Hardey S, Thomas S, Stein S, Kelley R, Ackermann K. Opioid Abuse:

Opiates vs. Opioids: What are Opiates? [Internet]. American Addiction

Centers. 2020 [cited 2020 May 5]. Available from:

https://americanaddictioncenters.org/opiates

9. Butanis B. What Are Opioids? [Internet]. What Are Opioids? 2018 [cited

2020 May 5]. Available from:

https://www.hopkinsmedicine.org/opioids/what-are-opioids.html

10. Alcohol and Drugs Foundations. Opioids [Internet]. Opioids - Alcohol and

Drug Foundation. 2020 [cited 2020 May 5]. Available from:

https://adf.org.au/drug-facts/opioids

11. Hardey S, Thomas S, Stein S, Kelley R, Ackermann K. Heroin Addiction

Treatment: Issues of Abuse & Recovery Needs [Internet]. American

Addiction Centers. 2020 [cited 2020May6]. Available from:

https://americanaddictioncenters.org/heroin-treatment

12. Kalso E. Oxycodone. Journal of Pain and Symptom Management.

2005;29(5):47–56.

13. Foster B, Twycross R, Mihalyo M, Wilcock A. Buprenorphine. Journal of

Pain and Symptom Management. 2013;45(5):939–49.

14. Coe MA, Lofwall MR, Walsh SL. Buprenorphine Pharmacology Review.

Journal of Addiction Medicine. 2019;13(2):93–103.

15. Fields HL, Margolis EB. Understanding opioid reward. Trends in

Neurosciences. 2015;38(4):217–25.

25
16. Fullerton CA, Kim M, Thomas CP, Lyman DR, Montejano LB, Dougherty

RH, et al. Medication-Assisted Treatment with Methadone: Assessing the

Evidence. Psychiatric Services. 2014;65(2):146–57.

17. Kosten T, George T. The Neurobiology of Opioid Dependence:

Implications for Treatment. Science & Practice Perspectives. 2002;1(1):13–

20.

18. Fareed A, Stout S, Casarella J, Vayalapalli S, Cox J, Drexler K. Illicit

Opioid Intoxication: Diagnosis and Treatment. Substance Abuse: Research

and Treatment. 2011;5.

19. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of

mental disorders: DSM-5. Arlington, VA: American Psychiatric

Association; 2017.

20. ADVANZ Pharma. Naloxone Hydrochloride Injection USP 400

micrograms/1ml (0.4mg/ml, 1ml) [Internet]. Naloxone Hydrochloride

Injection USP 400 micrograms/1ml (0.4mg/ml, 1ml) - Summary of Product

Characteristics (SmPC) - (emc). 2013 [cited 2020May6]. Available from:

https://www.medicines.org.uk/emc/product/6589/smpc

21. Young JWS, Juurlink DN. Tramadol. Canadian Medical Association

Journal. 2013;185(8).

22. Arijanto I. HUBUNGAN ANTARA STATUS KETERGANTUNGAN

OPIOID DAN MASALAH PSIKIATRIK PADA PENGGUNA OPIOID

INTRAVENA. Sosiohumaniora. 2007;9(2):136–44.

23. Schiller EY, Goyal A, Cao F, Mechanic O J. Opioid Overdose. Treasure

Island, FL: StatPearls Publishing; 2020.

26
24. Prommer E. Opioid Withdrawal: Creating More Problems. Journal of Pain

and Symptom Management. 2007;33(2):114–5.

25. Miller NS, Oberbarnscheidt T. DSM-5 Psychiatric Diagnoses and Opioid

Use Disorder. Journal of Addiction Research & Therapy. 2017;08(02).

26. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan

DSM-5. 2nd ed. Jakarta: BIKJ FK-Unika Atma Jaya; 2013.

27. Dumas EO, Pollack GM. Opioid Tolerance Development: A

Pharmacokinetic/Pharmacodynamic Perspective. The AAPS Journal.

2008;10(4).

28. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik

(Psychotropic Medication). 3rd ed. Jakarta: BIKJ FK Unika Atma Jaya;

2002.

29. Dydyk A M, Jain N K, Gupta M. Opioid Use Disorder. Treasure Island, FL:

StatPearls Publishing; 2020.

30. Kosten TR, Baxter LE. Review article: Effective management of opioid

withdrawal symptoms: A gateway to opioid dependence treatment. The

American Journal on Addictions. 2019;28(2):55–62.

31. Davis MA, Lin LA, Liu H, Sites BD. Prescription Opioid Use among

Adults with Mental Health Disorders in the United States. The Journal of

the American Board of Family Medicine. 2017;30(4):407–17.

32. Stotts AL, Dodrill CL, Kosten TR. Opioid dependence treatment: options

in pharmacotherapy. Expert Opinion on Pharmacotherapy.

2009;10(11):1727–40.

27
33. Mendola A, Gibson RL. Addiction, 12-Step Programs, and Evidentiary

Standards for Ethically and Clinically Sound Treatment Recommendations:

What Should Clinicians Do? AMA Journal of Ethics. 2016;18(6):646–55.

34. Lubis N, Krisnani H, Fedryansyah M. Pemahaman Masyarakat Mengenai

Gangguan Jiwa Dan Keterbelakangan Mental. Prosiding Penelitian dan

Pengabdian kepada Masyarakat. 2015;2(3).

35. Prabandari DA, Indriasari I, Maskoen TT. Efektivitas Analgesik 24 Jam

Pascaoperasi Elektif di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2017.

Jurnal Anestesi Perioperatif. 2018;6(2):98–104.

36. Yam M, Loh Y, Tan C, Adam SK, Manan NA, Basir R. General Pathways

of Pain Sensation and the Major Neurotransmitters Involved in Pain

Regulation. International Journal of Molecular Sciences. 2018;19(8):2164.

37. Fearon M. The Laboratory Diagnosis of HIV Infections. Canadian Journal

of Infectious Diseases and Medical Microbiology. 2005;16(1):26-30.

28

Anda mungkin juga menyukai