Halaman
JUDUL.................................................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................ 1
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................2
2.1 Anatomi............................................................................................3
2.2 Fisiologi............................................................................................3
3.1 Hipertiroid...........................................................................................7
3.1.3 Komplikasi.............................................................................13
3.1.5 Pengobatan...........................................................................14
3.2 Tirotoksikosis......................................................................................17
3.2.2 Etiologi...................................................................................18
3.2.4 Diagnosa...............................................................................20
3.2.5 Penatalaksanaan...................................................................21
3.2.6 Komplikasi.............................................................................24
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Anatomi
Kelenjar tiroid mulai terbentuk pada janin saat akhir bulan pertama kehamilan. Kelenjar
tiroid terletak pada bagian bawah leher yang terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh
ismus yang menutupi cincin trakea dua dan tiga. Kapsul Fibrosa menggantungkan kelenjar ini
pada fasia paratrakea sehingga pada setiap gerakan menelan akan selalu diikuti oleh
terangkatnya kelenjar kearah kranial, yang merupakan ciri khas dari kelenjar tiroid. Sifat
inilah yang digunakan diklinik untuk menentukan apakah suatu bentukan dileher
berhubungan dengan kelenjar tiroid. Berat tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan
yodium, beratnya berkisar 10-20 gram1.
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari A.Tiroidea Superior yang merupakan cabang
dari A.Karotis komunis atau A. Karotis eksterna.Setiap folikel pada thiroid diselubungi oleh
jala-jala kapiler dan limfatik, sedagkan venanya berasal dari pleksus perifolikular yang
menyatu di permukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah
diperkirakan sekitar 5 ml/gram kelenjar/menit. Dalam keadaan hipertiroid aliran ini akan
meningkat sehingga dengan menggunakan stetoskop terdengar bising aliran darah diujung
bawah kelenjar1.
Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus
trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini kearah nodus paralaring yang tepat berada diatas ismus
menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang menuju duktus
thorasikus. Hubungan getah bening ini penting untuk menduga penyebaran keganasan yang
berasal dari kelenjar tiroid1.
2.2 Fisiologi
Tiroid terdiri atas folikel yang merupakan kumpulan dari sel kolumnar. Sel foliker
tersebut mensintesis tiroglobulin (Tg) yang akan disekresiken kedalam lumen folikel. Tg
merupakan glikoprotein. Protein lain yang dihasilkan adalah tiroperoksidase (TPO). TPO
maupun Tg bersifat antigenik, sehingga dapat digunakan sebagai tanda penyakit, misalnya
pada penyakit tiroid autoimun. Hormon utama yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3)
tersimpan dalam koloid sebagai bagian dari tiroglobulin. Hormon ini dilepaskan jikan
tiroglobulin berikatan dengan enzim khusus.1
3
Hormon tiroid mengandung 59-65% yodium. Hormon T3 dan T4 berasal dari
yodinisasi residu tirosin yang ada di tiroglobulin. Proses biosintesis hormon tiroid terjadi
dalam beberapa tahap, yaitu tahap trapping, oksidasi, coupling, storage atau penyimpanan,
deiyodinasi, proteolisis dan pengeluaran hormon tiroid1.
Tahap pertama pembentukan hormon tiroid adalah pompa iodida dari darah ke dalam
sel dan folikel kelenjar tiroid. Membran basal sel tiroid memompakan iodida masuk ke dalam
sel yang disebut dengan penjeratan iodida (iodide trapping). Sel-sel tiroid kemudian
membentuk dan mensekresikan tiroglobulin dari asam amino tirosin. Tahap berikutnya
adalah oksidasi ion iodida menjadi I2 oleh enzim peroksidase. Selanjutnya terjadi iodinasi
tirosin menjadi monoiodotirosin, diiodotirosin, dan kemudian menjadi T4 dan T3 yang diatur
oleh enzim iodinase. Kemudian, hormon tiroid yang telah terbentuk ini disimpan di dalam
folikel sel dalam jumlah yang cukup untuk dua hingga tiga bulan. Setelah hormon tiroid
terbentuk di dalam tiroglobulin, keduanya harus dipecah dahulu dari tiroglobulin, oleh enzim
protease. Kemudian, T4 dan T3 yang bebas ini dapat berdifusi ke pembuluh kapiler di sekitar
sel-sel tiroid. Keduanya diangkut dengan menggunakan protein plasma. Karena mempunyai
afinitas yang besar terhadap protein plasma, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat
dilepaskan ke jaringan. Kira-kira tiga perempat dari tirosin yang teriodinasi dalam
tiroglobulin tidak akan pernah menjadi hormon tiroid, hanya sampai pada tahap
monoiodotirosin atau diiodotirosin. Yodium dalam monoiodotirosin dan diiodotirosin ini
kemudian akan dilepas kembali oleh enzim deiodinase untuk membuat hormon tiroid
tambahan2.
4
Regulasi hormon tiroid adalah sebagai berikut. Hipotalamus sebagai master gland
mensekresikan TRH (Tyrotropine Releasing Hormone) untuk mengatur sekresi TSH oleh
hipofisis anterior. Kemudian tirotropin atau TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dari
hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid dengan perantara cAMP. Mekanisme ini
mempunyai efek umpan balik negatif, bila hormon tiroid yang disekresikan berlebih,
sehingga menghambat sekresi TRH maupun TSH. Bila jumlah hormon tiroid tidak
mencukupi, maka terjadi efek yang sebaliknya2.
Efek yang umum dari hormon tiroid adalah mengaktifkan transkripsi inti sejumlah
besar gen. Oleh karena itu, di semua sel tubuh sejumlah besar enzim protein, protein
struktural, protein transpor, dan zat lainnya akan disintesis. Hasil akhirnya adalah
peningkatan menyeluruh aktivitas fungsional di seluruh tubuh. Hormon tiroid meningkatkan
aktivitas metabolik selular dengan cara meningkatkan aktivitas dan jumlah sel mitokondria,
serta meningkatkan transpor aktif ion-ion melalui membran sel. Hormon tiroid juga
mempunyai efek yang umum juga spesifik terhadap pertumbuhan. Efek yang penting dari
fungsi ini adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak selama kehidupan janin
dan beberapa tahun pertama kehidupan pascalahir 2.
Efek hormon tiroid pada mekanisme tubuh yang spesifik meliputi peningkatan
metabolisme karbohidrat dan lemak, peningkatan kebutuhan vitamin, meningkatkan laju
metabolisme basal, dan menurunkan berat badan. Sedangkan efek pada sistem
kardiovaskular meliputi peningkatan aliran darah dan curah jantung, peningkatan frekuensi
denyut jantung, dan peningkatan kekuatan jantung. Efek lainnya antara lain peningkatan
pernafasan, peningkatan motilitas saluran cerna, efek merangsang pada sistem saraf pusat
(SSP), peningkatan fungsi otot, dan meningkatkan kecepatan sekresi sebagian besar kelenjar
endokrin lain2.
5
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hipertiroid
dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur, sering ditemukan pada
perempuan dari pada laki-laki. Tanda dan gejala penyakit hipertiroid yang paling mudah
dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus), tirotoksikosis (hipersekresi
6
kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai oftalmopati, dan disertai dermopati
meskipun jarang.9
Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti.
Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme tersebut. Berdasarkan
Hormone - Receptor Antibody /TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi. Pada penyakit Graves’,
limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada didalam kelenjar tiroid
yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen
tersebut. Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel
tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, dikenal dengan TSH-R
antibodi. Adanya antibodi didalam sirkulasi darah mempunyai korelasi yang erat dengan
Graves.9
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid yaitu
tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan TSH reseptor (TSH-R). Disamping itu
terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada permukaan membran sel tiroid
dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam proses terjadinya perubahan kandungan orbita
dan kelenjar tiroid penderita penyakitGraves’. Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi
dengan antigen diatas dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma)
akan mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II, seperti DR4)
7
Gambar 3.1 patogenesis penyakit graves
Faktor genetik berperan penting dalam proses otoimun, antara lain HLA-B8 dan
HLA-DR3 pada ras kaukasia, HLA-Bw46 dan HLA-B5 pada ras cina dan HLA-B17 pada
orang kulit hitam. Faktor lingkungan juga ikut berperan dalam patogenesis penyakit tiroid
autoimun seperti penyakit Graves. Virus yang menginfeksi sel-sel tiroid manusia akan
merangsang ekspresi DR4 pada permukaan sel-sel folikel tiroid, diduga sebagai akibat
pengaruh sitokin (terutama interferon alfa). Infeksi basil gram negatif Yersinia enterocolitica,
yang menyebabkan enterocolitis kronis, diduga mempunyai reaksi silang dengan autoantigen
kelenjar tiroid. Antibodi terhadap Yersinia enterocolitica terbukti dapat bereaksi silang
dengan TSH-R antibodi pada membran sel tiroid yang dapat mencetuskan episode akut
penyakit Graves’. Asupan yodium yang tinggi dapat meningkatkan kadar iodinated
untuk terjadinya penyakit tiroid autoimun. Dosis terapeutik dari lithium yang sering
digunakan dalam pengobatan psikosa manik depresif, dapat pula mempengaruhi fungsi sel
limfosit T suppressor sehingga dapat menimbulkan penyakit tiroid autoimun. Faktor stres
8
juga diduga dapat mencetuskan episode akut penyakit Graves’, namun sampai saat ini belum
antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang berhubungan dengan
tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang
terbentuk dari limfosit akan menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga
menyebabkan pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia. Dermopati Graves’
(miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi sitokin didalam jaringan fibroblast
Hormon tiroid mempengaruhi hampir seluruh sistem pada tubuh, termasuk pada
pertumbuhan dan perkembangan, fungsi otot, fungsi Sistem Syaraf Simpatik, Sistem
metabolisme karbohidrat baik pada kadar hormon yang meningkat (hipertiroid) ataupun
menurun (hipotiroid).9
diabetogenik. Variabel intoleransi glukosa dapat terjadi hingga 50% dari pasien
tirotoksokosis dengan kejadian diabetes terjadi pada 2-3%, ketika hipertiroid terjadi pada
individu normal. Perubahan metabolik mungkin terjadi sebagai akibat dari hipertiroidisme
Meskipun resiko terjadinya diabetes melitus hanya berkisar 2-3% pada individu yang
menderita hipertiroidisme namun jika ini dijumpai akan mempengaruhi dan menyebabkan
sulitnya mengontrol glukosa darah oleh karena dua kondisi metabolik yang terjadi secara
bersamaan. Berbagai perubahan metabolisme dapat terjadi selama kondisi hipertiroid dan hal
9
ini dapat mempengaruhi status glukosa darah. Perubahan-perubahan tersebut diantaranya
adalah 6 pada kondisi hipertiroid, waktu pengosongan lambung menjadi lebih cepat. Absorpsi
glukosa pada saluran cerna juga ikut meningkat termasuk aliran darah di vena portal. Ketika
beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan sekresi insulin bisa terjadi pada kondisi
hipertiroid, studistudi lainnya melaporkan level insulin baik diperifer dan sirkulasi portal
justru normal atau meningkat. Sebenarnya kondisi ini bisa tertutupi oleh karena adanya
sekresi insulin yang meningkat termasuk juga degradasi dari insulin tersebut. Pada hipertiroid
insulin clearen meningkat hingga 40%. Kondisi yang berlama-lama dari gangguan fungsi
tiroid ini juga akan menyebabkan gangguan fungsi dari sel beta sehingga akan menurunkan
1. Meningkatnya prekursor glukoneogenik dalam bentuk laktat, glutamin dan alanin dari
2. Meningkatnya konsentrasi free fatty acid (FFA) plasma yang bisa menstimulasi
hepatik glukoneogenesis.
dari
5. Meningkatnya sekresi dan efek glukagon serta adrenalin terhadap sel-sel hati
10
Gambar 3.2 Pengeluaran hormon tiroid pada berbagaisistem organ pada penyakit graves
dibuktikan melalui percobaan isolasi jaringan adiposa dari tikus dan pasien hipertiroid
menunjukkan sensitifitas dari transpor glukosa dan penggunaannya terhadap insulin yang
normal, meningkat atau menurun. Variabilitas hasil ini mungkin sebagai reflek terhadap
perbedaan regional pada jaringan adiposa yang terisolasi. Peningkatan ambilan glukosa dan
pembentukan laktat terhadap oksidasi glukosa dan proses penyimpanan pada kondisi
hipertiroid. Kondisi ini disebabkan karena meningkatnya insulin basal, stimulasi GLUT1,
11
Gambar 3.3 pengaruh pengeluaran hormon tiroid di otot pada penyakit graves
Pada penyakit Graves’ terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan
ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat
hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan.
yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak
bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi,
Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya
terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien
ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi.
Gambaran klinik klasik dari penyakit Graves’ antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme,
12
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang umum ditemukan
antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak
tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit Graves’
dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan
percepatan proses pematangan tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ),
manifestasi klinis yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan
miopati, ditandai dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan
berat badan. 9
3.1.3 Komplikasi
disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi oleh tulang-tulang orbita
dari bola mata dan gangguan pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.
Pembesaran otototot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT scanning atau MRI.
Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior, akan terjadi penekanan nervus opticus
Autoantibodi tiroid, TgAb, dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves’
maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves’.
Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada
eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. Untuk dapat
perlu mengetahui mekanisme umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan
kelenjar tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4)
13
dan tri-iodotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating hormon
(TSH). Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya
ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun. Pada penyakit Graves’,
adanya antibodi terhadap reseptor TSH di membran sel folikel tiroid, menyebabkan
perangsangan produksi hormon tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid
menjadi tinggi. Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi.
Pemeriksaan TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap
hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi
kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik, dapat
3.1.5 Pengobatan.
ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis
pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves’, yaitu: Obat anti tiroid,
pembedahan dan terapi yodium radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal
antara lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat
antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya. 9
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan imidazol. Tiourasil
dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol dipasarkan dengan nama
14
metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol
yang isinya sama dengan metimazol. Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan
biosintesis hormon tiroid T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi
ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer (hanya PTU, tidak pada
metimazol). 9
Atas dasar kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer.
panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosisi tunggal. Belum ada
kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai dosis dan jangka waktu pengobatan
yang optimal dengan OAT. Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti
tiroid (PTU dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang biasanya
dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan. Untuk mencegah
dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis
pemeliharaan (dosis kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Regimen umum terdiri dari
pemberian PTU dengan dosis awal 100-150 mg setiap 6 jam. Setelah 4-8 minggu, dosis
menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon
secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves’. Methimazole mempunyai masa kerja
15
yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan
dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2 bulan, dilanjutkan dengan dosis
Ada juga pendapat ahli yang menyebutkan bahwa besarnya dosis tergantung pada
beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai dengan 3 x 100-200 mg/hari
dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40 mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu
pertama. Setelah periode ini dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis
dan biokimia.20 Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis
terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat
mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila
dengan dosis awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di
penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas fisis dan psikis. Meskipun
gangguan fungsi hati, lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan
pertama pengobatan. 9
terapi dengan Obat Anti Tiroid dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium
radioaktif. Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk
mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika. Efek samping lain yang jarang terjadi
namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,
16
laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada
penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali fungsi yang terganggu, dan
selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain seperti I131 atau operasi. Bila timbul
efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba diganti dengan obat jenis
yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.17 Evaluasi pengobatan perlu
dilakukan secara teratur mengingat penyakit Graves’ adalah penyakit autoimun yang
klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan
diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan eutiroid.
Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil yang masih mampu
mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga
tercapai remisi. 9
3.2 Tirotoksikosis
17
disebabkan oleh penyakit Graves, sisanya karena gondok multinodular toksik dan adenoma
toksik.
Tabel 1. Penyebab Tirotoksikosis1
Karsinoma tiroid
Struma ovarii
Mutasi TSH-r
Grave’s Disease
Merupakan penyebab tersering dari tirotoksikosis, prevalensi pada wanita lebih sering
daripada laki-laki. Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari gambaran berikut ini :
1. Tirotoksikosis
2. Goiter
3. Opthalmopathy (exopthalmus)
4. Dermopathy (pretibial myxedema)
Pada penderita usia muda pada umumnya didapatkan palpitasi, nervous, mudah lelah,
hiperkinesia, diare, keringat berlebihan, tidak tahan terhadap udara panas dan lebih suka
terhadap udara dingin. Didapatkan penurunan berat badan tanpa disertai penurunan nafsu
makan, kelenjar tiroid membesar, didapatkan tanda-tanda mata tirotoksikosis (exoptalmus)
dan umumnya terjadi takikardi ringan. Kelemahan otot dan kehilangan massa otot terutama
pada kasus berat yang ditandai penderita biasanya tidak mampu berdiri dari kursi tanpa
bantuan. Pada penderita diatas 60 tahun yang menonjol adalah manifestasi kardiovaskular
18
dan miopati dengan keluhan utama adalah palpasi, sesak waktu melakukan aktivitas, tremor,
nervous dan penurunan berat badan.
Dermopati merupakan penebalan pada kulit terutama pada tibia bagian bawah sebagai
akibat dari penumpukan glikoaminoglikan (non pitting edema), keadaan ini sangat jarang
hanya terjadi 2-3% penderita.
Tabel 2. Gejala serta tanda Hipertiroid umumnya ada pada penyakit Graves 1
Genitourinaria Oligomenorea,amenorea,libido
turun,infertil,ginekomastia
Darah dan limfatik Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri tulang
skelet
3.2.4 Diagnosa
Diagnosis pasti dari suatu penyakit hampir diawali oleh kecurigaan klinis. Pemeriksaan
minimal yang harus dikerjakan bila ada kecurigaan hipertiroid adalah FT4 dan TSHs. Apabila
didapatkan peningkatan FT4 dan penurunan TSHs maka hipertiroid dapat ditegakkan.
19
Hipertiroid dengan atau tanpa goiter apabila tidak disertai dengan exopthalmus harus
dilakukan pemeriksaan radioiodine uptake. Bila didapatkan peningkatan uptake maka
diagnosis Grave’s disease dan toxic nodular goiter dapat ditegakkan. Radioiodine uptake
yang rendah didapatkan pada hipertiroid yang baik, tiroiditis sub akut, tiroiditis hashimoto
fase akut, pengobatan dengan levotyroxin yang jarang yaitu struma ovarii.
Apabila FT4 dan TSHs keduanya meningkat maka harus dicurigai adanya tumor pituitari
yang memproduksi TSH. Apabila FT4 normal sedangkan TSHs rendah maka FT3 harus
diperiksa, diagnosis Grave’s disease stadium awal dan T3-secreting toxic nodules dapat
ditegakkan apabila FT3 meningkat. Apabila FT3 rendah didapat pada euthyroid sick sindrom
atau pada penderita yang mendapatkan terapi dopamin atau kortikosteroid.
Untuk itu telah dikenal indeks klinis Wayne dan New Castle yang didasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik yang teliti. Kemudian diteruskan dengan pemeriksaan penunjang untuk
konfirmasi diagnosis anatomis, status tiroid dan etiologi1.
Tabel 3 Indeks Wayne
2. Berdebar +2
3. Kelelahan +3
6. Keringat Berlebihan +3
7. Gugup +2
1. Thyroid teraba +3 -3
20
2. Bising Thyroid +2 -2
3. Exopthalmus +2 -
5. Hiperkinetik +4 -2
6. Tremor Jari +1 -
7. Tangan Panas +2 -2
8. Tangan basah +1 -1
9. Fibrilasi Atrial +4 -
21
selanjutnya dosis diturunkan menjadi 5-20 mg setiap pagi sebagai dosis
rumatan.
Tabel 4.Efek berbagai obat yang digunakan dalam pengelolaan Tirotoksikosis 1
Ada dua metode yang dapat digunakan dalam penggunaan OAT ini. Pertana
berdasarkan titrasi: mulai dosis besar dan kemudian berdasarkan klinis/laboratoris dosis
diturunkan sampai mencapai dosis terendah dimana pasien masih dalam keadaan eutiroid.
Kedua dengan blok-substitusi, dalam metode ini pasien diberi dosis besar terus menerus dan
apabila mencapai keadaan hipotiroid, maka ditambah hormon tiroksin hingga mencapai
eutiroid1.
Terapi diberikan sampai mengalami remisi spontan, pada sekitar 20-40%
mengalami perbaikan dalam 6 bulan-1.5 tahun. Observasi diperlukan dalam jangka panjang
oleh karena angka kekambuhan sangat tinggi yaitu sekitar 50-60%4. Efek samping yang
sering rash, urtikaria, demam dan malaise, alergi, eksantem, nyeri otot dan atralgia yang
jarang keluhan gastrointestinal, perubahan rasa, dan yang paling ditakuti yaitu
agranulositosis. Untuk evaluasi gunakan gambaran klinis1.
22
2. Tiroidektomi
Pada penderita dengan kelenjar gondok yang besar atau dengan goiter nultinoduler
maka tiroidektomi subtotal merupakan pilihan. Operasi ini baru dilaksanakan jika pasien
dalam keadaan eutiroid, secara klinis ataupun biokimia. Dua minggu sebelum operasi
penderita diberikan solutio lugol dengan dosis lima tetes dua kali sehari. Pemberian solutio
lugol bertujuan untuk mengurangi vaskularisasi kelenjar, sehingga akan mempermudah
jalannya operasi1.
Pada sebagian penderita Grave’s disease membutuhkan suplemen hormon tiroid setelah
dilakukan tiroidektomi. Komplikasi pada pembedahan adalah hipoparatiroid dan terjadi
kerusakan pada nervus recurrent laryngeal. Hipoparatiroid bisa terjadi permanen atau
sepintas. Setiap pasien pasca operasi perlu dipantau apakah terjadi remisi, hipotiroidisme atau
residif. Operasi yang tidak direncanakan dengan baik membawa resiko terjadinya krisis tiroid
dengan mortalitas yang amat tinggi1.
3. Yodium Radioaktif (radio active iodium-RAI)
Untuk menghindari krisis tiroid lebih baik pasien disiapkan dengan OAT menjadi
eutiroid, meskipun pengobatan tidak mempengaruhi hasil akhir pengobatan RAI. Dosis RAI
berbeda, ada yang bertahap untuk mencapai eutiroid tanpa hipotiroid, ada yang langsung
dengan dosis besar untuk mencapai hipotiroid kemudian ditambah tiroksin sebagai substitusi.
Kekhawatiran bahwa radiasi akan menyebabkan karsinoma tidak terbukti. Satu-satunya
kontraindikasi adalah graviditas. Komplikasi ringan, kadang terjadi tiroiditis sepintas. Pada
enam bulan pasca radiasi disarankan untuk tidak hamil.
Tabel 5. Keuntungan dan kerugian berbagai pengobatan Tiroroksikosis1
23
3.2.6 Komplikasi
1. Krisis Tiroid
Krisis tiroid adalah tirotoksikosis yang sangat membahayakan dan merupakan suatu
kondisi eksaserbasi akut dari tirotoksikosis. Hampir semua kasus disertai oleh faktor
pencetus. Hingga kini patogenesis krisis tiroid belum jelas : free-hormon meningkat, naiknya
free-hormon mendadak, efek T3 pasca transkripsi, meningkatnya kepekaan sel sasaran.
Tabel 6. Faktor Pencetus Krisis Tiroid
Krisis tiroid ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan tidak ada kriteria laboratorium
yang spesifik untuk mendiagnosis krisis tiroid. Kriteria diagnostik untuk krisis tiroid dibuat
oleh Burch-Wartofsky untuk membedakan apakah tirotoksikosis, impending crisis tiroid atau
krisis tiroid3. Kecurigaan krisis tiroid apabila terdapat trias: menghebatnya tanda
tirotoksikosis, kesadaran menurun dan hipertermia1.
Tabel 7 Kriteria Diagnostik untuk Krisis Tiroid3,5
37,2-37,7oC 5 99-109 5
37,8-38,3oC 10 110-119 10
38,4-38,8oC 15 120-129 15
38,9-39,4oC 20 130-139 20
39,5-39,9oC 25 ≥140 25
24
≥ 40oC 30 b. Congestive Heart failure
Absent 0
Mild 5
( Pedal edema )
Moderate ( bibasiler rales ) 10
Severe ( pulmonary edema ) 15
c. Atrial Fibrilasi
AF present 10
Absent 0
Absent 0 Absent 0
Mild Moderate 10
Agitation 10 Diarrhea
Moderate Nausea/Vomiting
Delirium Abdominal pain
Psychosis 20 Severe 20
Extreme lethargy Unexplained Jaundice
Severe Negatif 0
Seizure Positif 10
Coma
30
25
Terapi Suportif
Pasang naso gastrik tube diperlukan untuk pemberian oral
Keseimbangan cairan dan infus glukosa untuk nutrisi
Oksigen
Status Kardiorespirasi
Kompres dingin
Acetaminophen (hindari penggunaan aspirin karena dapat melepas T4 dari TBG
(Thyroid Binding Globulin) sebagai akibat serum FT4 meningkat. Chlorpromazine
50-100 mg IM dapat digunakan untuk mengatasi agitasi dan dapat menghambat
termoregulasi sentral maka dapat digunakan untuk pengobatan hiperpireksia.
Phenobarbital, dapat digunakan sebagai sedatif
Multivitamin
Terapi Khusus
Terapi awal PTU 400 mg PO dengan dosis rumatan 100-200 mg setiap 4 jam atau
dengan menggunakan methimazole dengan dosis awal 40 mg PO dilanjutkan dengan
10 mg setiap 4 jam. PTU merupakan tionamid pilihan pertama, karena dapat pula
menghambat konversi perifer T4 menjadi T3. Namun sayangnya obat ini tidak
tersedia dalam bentuk injeksi sehingga harus diberikan melalui pipa nasogastrik7,8.
Solutio lugol 6 tetes setiap 6 jam harus diberikan 1 jam setelah pemberian PTU
Propanolol dengan dosis 10-40 mg PO setiap 6 jam atau 0,5-1 mg IV setiap 3 jam.
Propanolol sering digunakan dengan tujuan menurunkan konversi T4 menjadi T3
dan menghambat pengaruh perifer hormon tiroid7,8.
Hydrocortison hemisuccinate dosis 100-200 mg IV atau dexamethason 2 mg IV
setiap 8 jam.
Terapi faktor pencetus (misalnya infeksi).
BAB IV
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Aru W. Sudowo et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 5 Jilid 3, Jakarta : Interna
Publishing; h2003-08
2. Guyton,ArthurC.Hall,JohnE.2007.Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta: EGC
3. Bursch HB, Wartofsky L.1993.Life-threatening thyrotoxicosis: Thyroid storm.
Endocrinol Metab Clin North Amer 22,63.
4. Tjokroprawiro, A.2002.Practical Guidlines with formula 41668 for the treatment of
thyroid crisis. Clinical Experiences:Morning report Dept.of Internal Medicine,
Airlangga University of Medicine, Surabaya.
5. Tjokroprawiro.2005.Thyrois Storm: A Life Threatening Thyrotoxicosis
(Theraupetic Guidelines with formula TS 41668 24-6).Presented at Workshop and
Hands on Experiences V Thyroid Surgery. School of Head and Neck Surgery for
general Surgeon. Surabaya 22-24 August.
6. Djokomoeljanto R. Pengelolaan Hipotiroidisme dan hipertiroidisme secara umum.
Naskah lengkap Endokrinologi Klinis IV.Eds Johan S.Masjhur dan Sri Hartini KS
Kariadi. Perkeni Bandung 2002 hlm RI.
7. Jameson L,Weetman A.Disorders of the Thyroid gland. In:Braunwald E, Fancy AS
Kasper DL,eds.Harrison’s Principles of internal medicine.15 th ed.New York: Mc
Graw hill; 2001.p.2060-84.
8. Debaveye Y, Ellger B,Berghe GVN. Acute endocrine disorder. In RK Albert etal
(eds) Clinical Critical Care medicine. Mosby Inc Philadelphia,PA. 2006.p.497-06.
9. Aru W. Sudowo et all, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI), Dalam : R.
Djokomoeljanto, Hipertiroidisme dan Tirotoksikosis Edisi 5 Jilid 3, Jakarta : Interna
Publishing 2011; h2003-08
27