Pembimbing:
Disusun oleh:
2. Karmila (41201396100006)
FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan
kemudahan yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Tata Laksana Hipertiroid ini. Shalawat serta salam tak lupa kami sampaikan kehadirat Nabi
Besar, Rasulullah Muhammad SAW semoga kita senantiasa mendapat syafa’atnya hingga di
hari akhir nanti.
Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan pula kepada dr. Ikhsan Mokoagow,
Sp.PD, M. Med. Sci yang telah membimbing kami dalam proses pengerjain referat ini dan
juga kepada semua teman-teman yang telah mendukung kami untuk menyelesaikan laporan
ini.
Referat ini kami buat dalam rangka menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Fatmawati. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini
masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar dapat kami jadikan pembelajaran demi kesempurnaan penyusunan
referat ini.
Demikian referat ini kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi kami sebagai penulis
khususnya serta sejawat FK UIN 2017 dan masyarakat luas pada umumnya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
Tangerang Selatan, 27 April 2021
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………2
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3
BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4
BAB II
BAB III
KESIMPULAN ................................................................................................................... 25
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanda dan gejala yang muncul bervariasi sehingga pilihan tatalaksana harus
sesuai dengan etiologi yang menyebabkan kondisi hipertirodisme. Jika tidak
ditangani dengan benar maka dapat menyebabkan badai tiroid, dimana mortalitas
pada dewasa akibat badai tiroid ini mencapai 10-20% dan dilaporkan lebih dari 75%
mortalitas pada populasi RS.4
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid hampir seluruhnya terdiri atas kista-kista bulat yang disebut
folikel, yaitu suatu struktur berongga membentuk suatu unit fungsional. Folikel
5
dikelilingi oleh membrana basalis yang tipis dan jaringan ikat interstisial
membentuk jala-jala retikulin sekeliling membrana basalis.6
Rongga yang dikelilingi oleh sel folikel tersebut terisi oleh suatu bahan
yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan tiroid yang disebut koloid. Konstituen
utama koloid adalah molekul glikoprotein besar yang dikenal dengan tiroglobulin
(Tg), di dalamnya terikat hormon-hormon tiroid dalam berbagai tahap produksi.
Tiroglobulin produksi oleh kompleks golgi-retikulum endoplasma sel folikel. Di
ruang intertisium diantara folikel-folikel kelenjar tiroid terdapat sel sekretorik lain
yaitu sel C. Sel C berfungsi memproduksi hormon kalsitonin yang berperan dalam
metabolisme kalisium.6
Bahan baku untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium yang
diserap dari sirkulasi oleh sel folikel. Tirosin adalah suatu asam amino yang
dibentuk dalam jumlah memadai oleh tubuh. Sedangkan, iodium diperoleh oleh
tubuh dari makanan. Sintesis hormon tiroid terdiri dari 3 tahap utama, yaitu uptake
iodin, oksidasi iodin dan organifikasi, serta sekresi hormon tiroid.6 Kompleks
golgi-retikulum endoplasma sel folikel akan memproduksi tiroglobulin (Tg)
kemudian asam amino tirosin akan masuk ke kedalamnya. Tiroglobulin yang
mengandung tirosin akan masuk ke koloid dengan proses eksositosis. Disisi lain,
untuk masuk ke dalam koloid iodida dibawa dengan proses transport aktif oleh
simporter. 5
6
Di dalam sel folikel, iodida mengalami oksidasi sehingga menjadi bentuk
aktif dengan bantuan enzim tiroperoksidase (TPO). Iodida aktif masuk ke koloid
melalui saluran luminal. Di dalam koloid terjadi perlekatan antara satu iodida aktif
dengan tirosin di dalam molekul tiroglobulin sehingga menghasilkan
monoiodotironin (MIT). Perlekatan dua iodida dengan dengan tirosin
menghasilkan diiodotironin (DIT). Penggabungan MIT dan DIT menghasilkan T3
(triiodotironin) dan penggabungan DIT dan DIT menghasilkan T4 (tetra-
iodotironin/tiroksin). 5
7
T3 dan T4 bebas akan memberikan umpan balik negatif terhadap TRH dan TSH
sehingga menginhibisi sekresi TRH dan TSH secara simultan dan pada akhirnya
akan menyebabkan sintesis hormon tiroid menurun akibat menurunnya uptake
iodide. Selain tingginya kadar hormon tiroid, sekresi TSH juga dapat di inhibisi
oleh beberapa hormon diantaranya yaitu, somatostatin, glukokortikoid, dan
dopamin. Kondisi yang meningkatkan sekresi hormon tiroid juga dipengaruhi oleh
kondisi peningkatan kebutuhan ATP seperti lingkungan yang dingin, hipoglikemia,
5,7
dataran tinggi, kehamilan dan saat stress atau berolahraga.
2.4 Hipertiroid
8
tiroid yang berlebihan, melainkan sel tiroid yang rusak atau mengalami inflamasi
akan melepaskan hormon tiroid berlebihan secara langsung ke dalam pembuluh
darah.8
a. Penyakit Graves
9
b. Struma Multinodosa Toksik (Toxic Multinodular Goiter)
2. Drug-induced Thyroiditis
10
2.5 Prinsip Tatalaksana
2.5.1 Penghambat sintesis dan sekresi hormon tiroid dengan obat anti-tiroid
(ATD)
a) Golongan thioamid
b) Golongan iodide
11
2.5.2 Reduksi massa kelenjar tiroid dengan Radioaktif iodine (RAI) dan
pembedahan
12
2.6 Tatalaksana Graves Disease
2.6.1. RAI
13
yang membuat mereka memiliki risiko komplikasi yang memperburuk
tirotoksikosis.
2.6.2. ATD
Tujuan terapi adalah untuk menjadikan pasien eutiroid secepat dan seaman
mungkin. Obat-obatan ini tidak menyembuhkan hipertiroidisme Graves. Namun,
ketika diberikan dengan dosis yang memadai, mereka sangat efektif dalam
mengendalikan hipertiroidisme. Ketika gagal mencapai eutiroidisme, penyebab
yang biasa terjadi adalah ketidakpatuhan minum obat. Obat antitiroid utama adalah
thionamides; propiltiourasil, carbimazole, dan methimazole. MMI harus digunakan
pada hampir setiap pasien GD. Pada awal terapi MMI, dosis awal 10–30 mg setiap
hari digunakan untuk mengembalikan eutiroidisme, dan dosisnya bisa kemudian
dititrasi ke tingkat pemeliharaan (umumnya 5–10 mg setiap hari). Sangat penting
untuk memberikan dosis MMI yang sesuai agar dapat menormalisasi fungsi tiroid
yang cukup cepat, sambil meminimalkan efek obat yang merugikan.12
14
Berikut panduan kasar untuk dosis awal harian MMI:
Efek samping minor yang umum dari obat antitiroid adalah ruam, urtikaria,
demam, dan artralgia (1-5% pasien). Ini mungkin dapat membaik secara spontan
atau setelah mengganti obat antitiroid alternatif atau pemberian antihistamin pada
pasien ruam.12
Agranulositosis
Hepatotoksisitas
15
klinis ditunjukkan) mencapai >3 kali batas atas normal. Setelah menghentikan
obat, tes fungsi hati harus dipantau setiap minggu sampai ada bukti resolusi. Jika
resolusi tidak jelas, rujuk segera ke ahli gastroenterologi hepatologis untuk
perawatan khusus.
Vaskulitis
16
12-18 bulan, kemudian dihentikan jika tingkat TSH dan TRAb normal saat itu.
Pengukuran level TRAb sebelum menghentikan terapi ATD disarankan karena
membantu dalam memprediksi kapan pasien dapat menyelesaikan pengobatan.
Penilaian TRAb pada akhir terapi ATD adalah metode yang berguna untuk
membagi pasien menjadi dua kelompok: satu dengan peningkatan TRAb persiten
kemungkinan kecil remisi, dan grup dengan TRAb rendah atau tidak terdeteksi,
yang memiliki kemungkinan remisi permanen yang lebih tinggi.
2.6.3. Pembedahan
Tiroidektomi total atau subtotal adalah pilihan bagi pasien yang kambuh
setelah obat antitiroid dan lebih memilihin terapi ini daripada radioiodine.
Beberapa ahli merekomendasikan pembedahan pada individu muda, khususnya
ketika gondok sangat besar. Pasien harus dalam keadaan euthyroid sebelum
pembedahan dengan pemberian ATD pretreatment, dengan atau tanpa β-blocker
untuk menghindari krisis tirotoksik. Pasien dapat diberikan Kalium iodida 5-7 tetes
(0,25–0,35 mL) dalam lugol (8 mg iodida/tetes), SSKI 1-2 tetes (50 mg
iodida/drop) tiga kali sehari dicampur dalam air atau jus selama 10 hari sebelum
operasi. Perawatan ini bermanfaat untuk mengurangi aliran darah tiroid,
vaskularisasi, dan kehilangan darah intraoperatif selama tiroidektomi. Dalam
keadaan tertentu, dimana tidak mungkin membuat pasien dengan GD euthyroid
sebelum tiroidektomi sedangkan kebutuhan untuk tiroidektomi sangat mendesak,
atau ketika pasien alergi terhadap ATD, maka pasien harus ditatalaksana dengan
17
baik menggunakan blokade b-adrenergik, KI, glukokortikoid, dan cholestyramine
preoperative.12
ATD harus dihentikan pada saat tiroidektomi GD, dan b-adrenergik blocker
harus dihentikan perlahan setelah operasi. Jika TSH ditekan sejak sebelum operasi,
T4 dan TSH bebas harus diukur 6-8 minggu pasca operasi, karena pemulihan aksis
hipofisis-tiroid kadang-kadang lambat. Dosis yang tepat dari L-tiroksin akan
bervariasi dengan indeks massa tubuh pasien mulai dengan dosis harian yang
sesuai untuk berat badan pasien (0,8g / lb atau 1,6 μg / kg), dengan pasien usia
lanjut membutuhkan dosis yang lebih kecil.12
Terapi yang efektif dan sering digunakan untuk tata laksana TMNG dan TA adalah
RAI dan pembedahan.12,13 Tujuan terapi pada kondisi ini yaitu dapat menurunkan kadar
hormon tiroid dengan cepat dan stabil dalam waktu yang lama.12
2.7.1. RAI
18
Tujuan terapi ini adalah menghilangkan fase hipertiroid khususnya pada
pasien lansia. Dosis RAI yang digunakan adalah 150-200 μCi (5,55-7,4 MBq) per
gram jaringan yang dikoreksi selama 24 jam, dosis ini lebih tinggi dari yang
dibutuhkan untuk mengobati GD. Sementara itu, dosis RAI untuk mengobati TA
sekitar 10-20 mCi (370-740 MBq) atau aktivitas dihitung berdasarkan ukuran
nodul 150–200 μCi (5,5-7,4 MBq) RAI per gram dikoreksi selama 24 jam. Follow
up dilakukan pada 1-2 bulan pertama setelah terapi RAI untuk TMNG dan TA.
Pemantauan T4 bebas, total T3 dan TSH dilakukan tiap 4-6 minggu selama 6
bulan, atau sampai pasien menjadi hipotiroid dan stabil dengan pengganti hormon.
Jika hipertiroid masih menetap >6 bulan masa terapi RAI untuk TMNG dan TA,
maka terapi RAI ulang dilakukan.12
2.7.2. Pembedahan
Jika terapi ini dipilih sebagai pengobatan untuk TMNG atau TA, pasien harus
dijadikan eutiroid sebelum prosedur operasi dengan pemberian MMI.12 Pada pasien
TMNG, tiroidektomi total atau subtotal harus dilakukan. Sedangkan pada pasien TA,
perlu dilakukan USG sebelum operasi untuk mengevaluasi seluruh kelenjar tiroid dan
mengetahui dimana persisnya letak adenoma tersebut, sehingga operasi dapat
dilakukan pada tempat tertentu saja (lobektomi).12
Pemantauan kalsium serum pasca operasi pada pasien TMNG harus dilakukan.
Kalsium oral dan suplementasi kalsitriol dapat diberikan jika kalsium serum pasien
dibawah nilai normal. Hormon tiroid replacement harus dimulai dengan dosis sesuai
berat pasien (1,6 μg / kg) dan dengan mempertimbangkan usia pasien (usia lanjut
dimulai dari dosis rendah). Kadar TSH harus diukur setiap 1-2 bulan sampai stabil,
kemudian dapat diukur tiap tahun.12
Sedangkan pada pasien TA post operasi, kadar TSH dan T4 bebas dapat
diperiksa 4-6 minggu setelah operasi dan suplementasi hormon tiroid dapat dimulai
jika ada kenaikan TSH di atas nilai normal. Setelah operasi, kadar kalsium serum
tidak perlu diperiksa, dan suplemen kalsium serta calcitriol tidak perlu diberikan.12
2.7.3. ATD
19
pasien akan muncul kembali. Namun, terapi ATD yang dalam jangka waktu yang
lama (seumur hidup) mungkin menjadi pilihan terbaik untuk beberapa individu yang
memiliki harapan hidup yang terbatas dan risiko pembedahan yang tinggi, termasuk
contohnya pada pasien lansia dan pada pasien-pasien dengan kepatuhan terhadap
keselamatan radiasi yang rendah.12 Dosis MMI yang diberikan pada pasien TMNG
atau TA adalah 5–10 mg/hari. Diperlukan pemantauan setiap 3 bulan hingga kadar
hormon tiroid stabil, setelah itu frekuensi pemantauan dapat dikurangi.12
Terapi untuk Graves’ Orbitopathy saat ini berupa pemberian kortikosteroid, radiasi
orbital, dan operasi. Namun, terapi tersebut sering gagal untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien secara signifikan. Oleh karena itu, harus dilakukan pencegahan Graves’
disease menjadi GO. Penilaian faktor risiko pada pasien GD sangat diperlukan untuk
mencegah terjadinya orbitopati. Hal termudah yang dapat dilakukan adalah berhenti
merokok karena perokok pasif dan perokok aktif meningkatkan risiko GO. Pemberian
terapi RAI pada pasien GD dapat meningkatkan resiko terjadinya GO, namun dapat di
cegah dengan pemberian glukokortikoid (prednisone) dengan dosis awal 30 mg/hari
selama 6-12 minggu pasca pengobatan RAI.12 Sementara itu, tatalaksana untuk GO derajat
ringan tanpa faktor risiko kerusakan penyakit mata adalah terapi RAI, ATD, dan
tiroidektomi.
20
Gambar 2.7. Derajat Keparahan GO12
Badai tiroid (Thyroid Storm) adalah kondisi paling berbahaya dari Graves’ disease
dan termasuk kegawatdaruratan dalam endokrin.14 Tingkat kematiannya mencapai 10-25%
sehingga termasuk dalam keadaan mengancam jiwa yang membutuhkan diagnosis dan
tatalaksana yang cepat dan tepat.12,15 Diagnosis badai tiroid secara klinis ditegakkan
menggunakan skala Bruch-Wartofsky Point Scale (BWPS) dengan bukti adanya
dekompensasi sistemik. Jika skor >45 maka pasien membuthkan terapi yang adekuat.
21
Gambar 2.7. Bruch-Wartofsky Point Scale (BWPS)12
Badai tiroid biasanya terjadi pada pasien yang telah mendapat pengobatan untuk
kondisi tirotoksikosis sebelumnya. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan kondisi Badai
tiroid adalah penghentian pengobatan secara mendadak, tiroidektomi, operasi non-tiroidal
pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terdeteksi atau tidak diobati, dan setelah
mengikuti terapi RAI.12
1. Terapi untuk menghambat sekresi dan sintesis hormon tiroid; dapat diberikan obat ATD
dan iodine
2. Terapi untuk mengatasi efek perifer hormon tiroid di level jaringan; dapat diberikan obat
golongan beta-blocker dan glukokortikoid
4. Terapi definitif: Agar tidak terjadi badai tiroid berulang dapat dilakukan terapi RAI atau
pembedahan.12
Pencegahan kondisi badai tiroid dapat dilakukan dengan cara mengedukasi pasien
agar tidak putus pengobatan ATD dan jika modalitas tatalaksana yang dipilih adalah
pembedahan, pastikan pasien berada dalam kondisi eutiroid sebelum dilakukan operasi.12
Penyebab kematian tersering pada kasus badai tiroid adalah kegagalan organ multipel, yang
22
diikuti dengan gagal jantung dan gagal napas, aritmia, DIC, perforasi gastrointestinal,
hypoxic brain syndrome dan sepsis.15
Etiologi hipertiroid yang sering dijumpai pada pasien yang sedang hamil adalah
hipertiroid gestasional dan hipertiroid karena Graves’ disease. Diagnosis hipertiroid pada
kehamilan dapat ditegakkan dengan mengukur kadar serum TSH, total T4 dan T3. Pasien
dinyatakan hipertiroid jika kadar T4 dan T3 meningkat 1,5 kali diatas nilai normal pada
trimester kedua dan ketiga. Hipertiroid pada kehamilan dapat bersifat overt atau subklinis,
yang harus diperhatikan adalah hasil tes fungsi tiroid berbeda pada tiap trimester. Manifestasi
klinis yang menandakan terjadinya hipertiroid pada kehamilan sama seperti hipertiroid pada
umumnya yaitu berat badan tidak bertambah, intoleransi terhadap panas, keringat berlebih,
dan takikardi.12
23
Hipertiroid gestasional umunya bersifat asimtomatik atau gejala ringan serta self
limiting. Penggunaan ATD (terutama MMI) tidak disarankan karena akan menimbulkan
kecacatan pada bayi. Pasien hanya perlu melakukan pemeriksaan fisik dan tes fungsi tiroid
setiap 3-4 minggu, dapat pula diberikan terapi beta bloker (propanolol atau tropolol) untuk
mengurangi gejala. Apabila muncul tanda komplikasi maka segera rujuk untuk tatalaksana
lebih lanjut.12 Pada kasus hipertiroid overt karena Graves’ disease pada kehamilan, PTU
dapat diberikan pada trimester pertama kemudian dilanjutkan dengan menggunakan MMI.12
24
BAB III
KESIMPULAN
Prinsip tatalaksana pada kondisi hipertiroid adalah menghambat sintesis dan sekresi
hormon, mereduksi massa kelenjar, dan meminimalisir efek hormon pada jaringan perifer.
Modalitas yang dapat digunakan adalah pemberian Obat Anti Tiroid (ATD), terapi RAI dan
pembedahan, serta pemberian beta-blocker. Pemilihan modalitas terapi harus didasarkan pada
etiologi dari hipertiroid, ketersediaan modalitas terapi, manfaat, kecepatan pemulihan yang
diharapkan, kelemahan modalitas, efek samping potensial, dan biaya yang didiskusikan
antara dokter dengan pasien.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Lee Stephanie L. 2020. Hyperthyroidism and thyrotoxicosis. Disadur dari
https://emedicine.medscape.com/article/121865-overview
2. De Leo S, Lee SY, Braverman LE. Hyperthyroidism. Lancet.
2016;388(10047):906-918
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2013. Jakarta, 2013. Epub ahead of print 2013.
4. Scharga Erik D. 2020. Hyperthyroidsm, thyroid storm, and graves disease. Disadur
dari https://emedicine.medscape.com/article/767130-overview#a1.
5. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology 14th
Edition. 2014. Epub ahead of print 2014.
6. Lauralee, Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 8th ed. Jakarta: EGC.
2016.
7. Shahid MA, Sharma S. Physiology, Thyroid Hormone. StatPearls
8. Malani PN. Harrison’s Principles of Internal Medicine. JAMA. 2012;
9. Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, Fauci AS, et al. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 20th ed. New York : Mc Graw Hill Education. 2018
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2.
Jakarta:Interna Publishing, 2014
11. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. J ASEAN Fed
Endocr Soc 2012; 27: 34–39.
12. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, et al. American Thyroid Association Guidelines
for Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of
Thyrotoxicosis. Thyroid 2016; 26: 1343–1421.
13. Kravets I. Hypertiroidism: Diagnosis and Treatment. AFP. 2016; 93(5): 363-9.
14. Subekti I, Pramono LA. Current Diagnosis and Management of Graves’ Disease.
Indones J Intern Med. 2018; 50(2): 177-181.
15. Kahaly GJ, Bartalena L, Hegedus L, Leenhardt L, Poppe K, Perace SH. 2018
European Thyroid Association Guidline for management of Graves’
Hyperthyroidism. Karger. 2018; 7: 167-186. DOI: 10.1159/000490384.
26