Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

Tata Laksana Hipertiroid

Pembimbing:

dr. Ikhsan Mokoagow, Sp.PD, M. Med. Sci

Disusun oleh:

1. Desi Ayu Rahmadiani (41201396100004)

2. Karmila (41201396100006)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu’alaikum, Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkah, rahmat, dan
kemudahan yang telah diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan referat yang berjudul
Tata Laksana Hipertiroid ini. Shalawat serta salam tak lupa kami sampaikan kehadirat Nabi
Besar, Rasulullah Muhammad SAW semoga kita senantiasa mendapat syafa’atnya hingga di
hari akhir nanti.

Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan pula kepada dr. Ikhsan Mokoagow,
Sp.PD, M. Med. Sci yang telah membimbing kami dalam proses pengerjain referat ini dan
juga kepada semua teman-teman yang telah mendukung kami untuk menyelesaikan laporan
ini.

Referat ini kami buat dalam rangka menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam RSUP Fatmawati. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini
masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar dapat kami jadikan pembelajaran demi kesempurnaan penyusunan
referat ini.
Demikian referat ini kami susun, semoga dapat bermanfaat bagi kami sebagai penulis
khususnya serta sejawat FK UIN 2017 dan masyarakat luas pada umumnya.
Wassalamu’alaikum, Wr. Wb.
Tangerang Selatan, 27 April 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………2
DAFTAR ISI ........................................................................................................................ 3

BAB I

PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................ 5

BAB III

KESIMPULAN ................................................................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 26

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hipertiroidisme merupakan serangkaian gangguan yang melibatkan sintesis


dan sekresi hormon tiroid secara berlebihan oleh kelenjar tiroid, yang menyebabkan
kondisi hipermetabolik yang disebut dengan tirotoksikosis.1

Etiologi hipertoroidsme paling banyak ditemukan adalah garves disease,


toxic multinodular goiter, dan toxic adenoma.1 Prevalensi dari hipertiroidisme ini
sebanyak 0.8% di eropa dan 1.3% di Amerika serikat, kejadiannya meningkat
sejalan dengan usia, dan lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. Menurut
RISKESDAS 2013, prevalensi hipertiroid di Indonesia adalah 0,4% dengan
karakteristik lebih tinggi pada wanita (0,6%), Usia >45 tahun, faktor sosial ekonomi
menengah-atas dengan pendidikan tinggi dan tinggal diperkotaan. 2,3

Tanda dan gejala yang muncul bervariasi sehingga pilihan tatalaksana harus
sesuai dengan etiologi yang menyebabkan kondisi hipertirodisme. Jika tidak
ditangani dengan benar maka dapat menyebabkan badai tiroid, dimana mortalitas
pada dewasa akibat badai tiroid ini mencapai 10-20% dan dilaporkan lebih dari 75%
mortalitas pada populasi RS.4

Pilihan tatalaksana hipertiroid diantaranya obat antitiroid, Radioactive


iodine (RAI), serta pembedahan. Pemilihan terapi didasarkan atas kondisi klinis
pasien, usia, tingkat keparahan penyakit, faktor komorbid, dan lain-lain.1

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid terletak di inferior laring, tepat di bawah kartilago tiroid


laring, bentuknya seperti kupu-kupu. Kelenjar tiroid memiliki 2 bagian, yaitu lobus
lateral kanan dan kiri, serta isthmus yang menjadi penghubung kedua lobus lateral
dan terletak pada bagian anterior trakea. Pada sebagian orang dapat ditemukan
lobus piramidal tiroid pada bagian superior isthmus, yang merupakan variasi
normal.5

Kelenjar tiroid mendapat suplai darah langsung dari arteri carotis


communis dan arteri subclavia. Arteri carotis communis bercabang menjadi arteri
tiroid superior yang memperdarahi kelenjar tiroid bagian superior, sedangkan arteri
subclavia membentuk cabang menjadi arteri tiroid inferior yang memberikan suplai
darah ke bagian inferior kelenjar tiroid. Arus balik vena dari kelenjar tiroid, yakni
vena tiroid superior dan vena tiroid media akan bermuara ke vena jugularis interna
sedangkan vena tiroid inferior bermuara ke cabang dari vena brachiocephalica.5

Gambar 2.1. Anatomi tiroid5

2.2 Histologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid hampir seluruhnya terdiri atas kista-kista bulat yang disebut
folikel, yaitu suatu struktur berongga membentuk suatu unit fungsional. Folikel

5
dikelilingi oleh membrana basalis yang tipis dan jaringan ikat interstisial
membentuk jala-jala retikulin sekeliling membrana basalis.6

Rongga yang dikelilingi oleh sel folikel tersebut terisi oleh suatu bahan
yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan tiroid yang disebut koloid. Konstituen
utama koloid adalah molekul glikoprotein besar yang dikenal dengan tiroglobulin
(Tg), di dalamnya terikat hormon-hormon tiroid dalam berbagai tahap produksi.
Tiroglobulin produksi oleh kompleks golgi-retikulum endoplasma sel folikel. Di
ruang intertisium diantara folikel-folikel kelenjar tiroid terdapat sel sekretorik lain
yaitu sel C. Sel C berfungsi memproduksi hormon kalsitonin yang berperan dalam
metabolisme kalisium.6

Gambar 2.2. Histologi Tiroid6

2.3 Sintesis Hormon Tiroid

Bahan baku untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium yang
diserap dari sirkulasi oleh sel folikel. Tirosin adalah suatu asam amino yang
dibentuk dalam jumlah memadai oleh tubuh. Sedangkan, iodium diperoleh oleh
tubuh dari makanan. Sintesis hormon tiroid terdiri dari 3 tahap utama, yaitu uptake
iodin, oksidasi iodin dan organifikasi, serta sekresi hormon tiroid.6 Kompleks
golgi-retikulum endoplasma sel folikel akan memproduksi tiroglobulin (Tg)
kemudian asam amino tirosin akan masuk ke kedalamnya. Tiroglobulin yang
mengandung tirosin akan masuk ke koloid dengan proses eksositosis. Disisi lain,
untuk masuk ke dalam koloid iodida dibawa dengan proses transport aktif oleh
simporter. 5

6
Di dalam sel folikel, iodida mengalami oksidasi sehingga menjadi bentuk
aktif dengan bantuan enzim tiroperoksidase (TPO). Iodida aktif masuk ke koloid
melalui saluran luminal. Di dalam koloid terjadi perlekatan antara satu iodida aktif
dengan tirosin di dalam molekul tiroglobulin sehingga menghasilkan
monoiodotironin (MIT). Perlekatan dua iodida dengan dengan tirosin
menghasilkan diiodotironin (DIT). Penggabungan MIT dan DIT menghasilkan T3
(triiodotironin) dan penggabungan DIT dan DIT menghasilkan T4 (tetra-
iodotironin/tiroksin). 5

Pada keadaan tertentu, ketika adanya stimulasi pengeluaran hormon tiroid


maka sel folikel akan melakukan fagositosis pada sebagian koloid yang
mengandung Tg. Enzim lisosom akan ikut berpartisipasi pada fagositosis tersebut
untuk memisahkan produk beriodium dari Tg. T3 dan T4 berdifusi ke dalam
peredaran darah (sekresi). MIT dan DIT mengalami deiodinase dan iodida bebas
akan didaur ulang kembali.5

Gambar 2.3. Sintesis Hormon Tiroid5

2.4 Regulasi Sekresi Hormon Tiroid

Thyrotropin releasing hormone (TRH) dari hipotalamus akan menstimulasi


sekresi thyroid stimulating hormone (TSH) oleh pituitary anterior. TSH akan
menuju kelenjar tiroid dan menstimulasi sel folikularnya untuk mensintesis dan
mensekresi hormon tiroid ke dalam sirkulasi darah.5,7

Rendahnya kadar T3 dan T4 di dalam darah atau laju metabolisme akan


menstimulasi hipotalamus untuk mensekresi TRH. Sedangkan peningkatan kadar

7
T3 dan T4 bebas akan memberikan umpan balik negatif terhadap TRH dan TSH
sehingga menginhibisi sekresi TRH dan TSH secara simultan dan pada akhirnya
akan menyebabkan sintesis hormon tiroid menurun akibat menurunnya uptake
iodide. Selain tingginya kadar hormon tiroid, sekresi TSH juga dapat di inhibisi
oleh beberapa hormon diantaranya yaitu, somatostatin, glukokortikoid, dan
dopamin. Kondisi yang meningkatkan sekresi hormon tiroid juga dipengaruhi oleh
kondisi peningkatan kebutuhan ATP seperti lingkungan yang dingin, hipoglikemia,
5,7
dataran tinggi, kehamilan dan saat stress atau berolahraga.

Gambar 2.4. Regulasi hormon tiroid6

2.4 Hipertiroid

2.4.1 Definisi Hipertiroid

Hipertiroid adalah sebuah kondisi terjadinya peningkatan produksi dan


pelepasan hormon tiroid. Thyrotoxicosis didefinisikan sebagai keadaam klinis yang
diakibatkan oleh kelebihan aktivitas tiroid. Maka dari itu, tirotoksikosis tidak sama
dengan hipertiroid. Thyrotoxicosis bisa saja terjadi pada kondisi disfungsi tiroid
yang tidak disebabkan oleh hipertiroid. Contohnya adalah pada kondisi tiroiditis.
Pada saat terjadi tiroiditis, yang terjadi adalah bukan peningkatan produksi hormon

8
tiroid yang berlebihan, melainkan sel tiroid yang rusak atau mengalami inflamasi
akan melepaskan hormon tiroid berlebihan secara langsung ke dalam pembuluh
darah.8

2.4.2 Epidemiologi Hipertiroid

Prevalensi penyakit hipertiroid pada wanita adalah 0,5-2.0% dan 10 kali


lebih sering pada wanita dibanding pria. Di Amerika Serikat prevalensi hipertiroid
diperkirakan 1,2% dengan prevalensi 0,5% pada hipertiroid overt dan 0,7%
hipertiroid subklinik. Hipertiroidisme meningkat seiring bertambahnya usia.
Insiden hipertiroidisme ringan juga dilaporkan lebih tinggi di daerah yang
kekurangan yodium. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar RI (Riskesdas,
2013) prevalensi penyakit hipertiroid di Indonesia adalah 0,6% pada wanita dan
0,2% pada pria dengan rincian pada usia 15-24 tahun 0,4%, usia 25-34 tahun 0,3%
dan usia ≥ 35 tahun 0,5%.3

2.4.3 Etiopatogenesis Hipertiroid

Etiologi yang paling sering adalah penyakit Graves sekitar 60%-90%,


kemudian struma multinodosa toksik (Toxic Multinodular Goiter), adenoma toksik
(Toxic Adenoma, TA), dan Tiroiditis.

a. Penyakit Graves

Penyakit Graves merupakan penyakit autoimun organ spesifik yang


ditandai dengan adanya antibody yang merangsang kelenjar tiroid yaitu Thyroid
Stimulating Antibody (TSAb) atau Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI).
TSAb tersebut akan berikatan dengan reseptor TSH di sel folikel kelenjar tiroid
untuk mengaktifkan kelenjar tiroid untuk mensintesis dan sekresi hormon tiroid
dan meningkatkan pertumbuhan kelenjar tiroid (hipertrofi). Hal tersebut
menyebabkan penyakit Graves memiliki karakteristik pembengkakan difus pada
kelenjar tiroid. Keberadaan TSAb/TSI bisa dideteksi dengan menggunakan
Thyrotropin binding Inhibitory Immunoglobulin Assay (TBII Assay). Pemeriksaan
ini berguna untuk monitoring ibu hamil dengan penyakit Graves untuk
memperkirakan adanya TSI pada neonatus yang disalurkan melalui plasenta.9

9
b. Struma Multinodosa Toksik (Toxic Multinodular Goiter)

Struma multinodosa toksik (Toxic Multinodular Goiter, TMNG)


disebabkan karena mutasi pada TSH sehingga menyebabkan pembentukan nodul di
beberapa area. Nodul-nodul tersebut memiliki aktvitas yang berlebihan secara
fungsional sehingga hormon tiroid disintesis dan disekresi secara berlebihan.9

c. Adenoma toksik (Toxic Adenoma, TA)

Adenoma toksik (Toxic Adenoma, TA) menyebabkan tumbuhnya nodul


pada kelenjar tiroid akibat dari mutasi TSH. Sama halnya dengan TMNG, namun
nodul pada TA tidak lebih dari satu. Nodul tersebut bersifat hiperfungsi sehingga
hormon tiroid disintesis dan disekresi secara berlebihan.9

d. Painless or Transient (silent) Thytroiditis

Painless or Transient (silent) Thytroiditis terjadi akibat proses autoimun


yang mendestruksi jaringan kelenjar tiroid sehingga menyebabkan sekresi dari
hormon tiroid. Etiologi lain penyebab hipertiroidisme adalah tiroiditis
granulomatosa subakut (de Quervain), drug-induced thyroiditis, tiroiditis
hiperemesis gravidarum postpartum.9

1. Tiroiditis Granulomatosa Subakut (de Quervain)

Tiroiditis Granulomatosa Subakut (de Quervain) merupakan suatu


proses inflamasi pada jaringan kelenjar tiroid. Penyebab inflamasi tersebut
adalah infeksi virus. Inflamasi tersebut memicu sekresi hormon tiroid.
Gejala klinis yang dirasakan seperti penyakit inflamasi pada umumnya
biasanya disertai demam dan nyeri hebat. 9

2. Drug-induced Thyroiditis

Amiodarone adalah obat yang dapat memicu sintesis hormon tiroid


berlebih. Akibatnya terjadi tirotoksikosis tipe 1 dan tipe 2. 9

3. Tiroiditis Hiperemesis Gravidarum Postpartum

Kadar Beta HCG yang tinggi dapat menstimulasi reseptor TSH


sehingga terjadi sintesis dan sekresi hormon tiroid. 9

10
2.5 Prinsip Tatalaksana

Prinsip tatalaksana pasien dengan hipertiroid terbagi menjadi beberapa modalitas:11

2.5.1 Penghambat sintesis dan sekresi hormon tiroid dengan obat anti-tiroid
(ATD)

Tatalaksana menggunakan ATD terbagi menjadi 2 golongan :

a) Golongan thioamid

Golongan thioamid menghambat pembentukan hormon tiroid


dengan cara kompetitif reaksi katalis peroksidase tiroid sehingga mencegah
penggabungan iodium ke residu tirosin dan tiroglobulin. Obat yang
termasuk golongan ini antara lain : Propylthiourasil (PTU), Carbimazole,
Tiamazole, Methimazole.

PTU juga menghambat deiodinase perifer dari T4 dan T3. Obat


thioamide memiliki puncak kadar dalam serum pada 1 hingga 2 jam setelah
masuk ke tubuh, dengan waktu paruh methimazole 4-6 jam dan PTU 1-1
jam 30 menit. Efek penurunan aktivitas hormone tiroid biasanya
membutuhkan waktu beberapa hari, hal tersebut diakibatkan oleh obat yang
mencegah sintesis namun tidak menghilangkan hormon tiroid yang telah
disintesis. Pada pasien dengan hipertiroidisme berat, perbaikan baru terlihat
jelas pada waktu 1-2 hari.

b) Golongan iodide

Iodida bekerja dengan cara menghambat sintesis hormon tiroid,


menghambat pelepasan hormon ke aliran darah (Kompetisi dengan TSH
dan cAMP dalam stimulasi sekresi hormone tiroid) dan mengurangi ukuran
dan vaskularisasi kelenjar hiperplastik yang tampak setelah 10-14 hari
(biasanya digunakan sebelum tiroidektomi). Iodida bekerja sangat cepat
untuk tirotoksikosis namun tidak digunakan untuk terapi hipertiroidisme
jangka panjang karena efek antitiroid yang cenderung menghilang.

11
2.5.2 Reduksi massa kelenjar tiroid dengan Radioaktif iodine (RAI) dan
pembedahan

Pemilihan pasien sangat penting dalam penatalaksanaan hipertiroidisme.


131
I adalah yang paling sering diberikan dalam tatalaksana menggunakan RAI.
131
Hipertiroidisme yang diterapi dengan pemberian I peroral akan menimbulkan
penurunan aktivitas kelenjar tiroid berlebih dalam waktu 2-3 bulan. Isotop ini akan
secara cepat dan efisien diserap oleh kelenjar tiroid dan pancaran sinar β yang
bersifat destruktif selanjutnya akan bekerja secara khusus pada jaringan tiroid
dengan efek minimal pada jaringan sekitar. Kelenjar tiroid mampu dihancurkan
131
secara utuh oleh I dalam kurun waktu 6-18 minggu. Hipotiroidisme memang
akan terjadi pada sekitar 10% pasien yang menjalani terapi dalam 1 tahun pertama
setelah 131I diberikan, dan akan meningkat sekitar 2-3% per tahun setelahnya. Oleh
sebab itu, hipotiroid iatrogenik haruslah di pertimbangkan sebelum operasi pada
131
pasien yang pernah mendapat terapi I. Kontraindikasi terapi ini ialah ibu hamil
karena kelenjar tiroid janin dapat mengkonsentrasikan isotopnya.

2.5.3 Minimalisir efek hormone tiroid pada jaringan menggunakan Beta-


blocker

Tatalaksana menggunakan obat beta blocker direkomendasikan pada


seluruh pasien tirotoksikosis simptomatik. Terlebih pasien usia lanjut, dan pasien
yang memiliki risiko kardiovaskular. Dosis b-blocker sangat tinggi diperlukan
untuk mengelola gejala tirotoksikosis dan menurunkan heart rate agar mendekati
batas normal, tetapi kebanyakan sering diberikan dalam dosis rendah hingga
sedang. Pemberian CCB oral, baik verapamil dan diltiazem, juga telah terbukti
mempengaruhi denyut jantung pada pasien yang tidak mentolerir atau pasien yang
tidak dapat diberikan agen penghambat b-adrenergik. Obat ini umumnya
dikontraindikasikan pada pasien dengan asma bronkospastik. Maka, pada pasien
dengan asma bronkospastik, pasien dengan penyakit saluran napas obstruktif
ringan atau Fenomena Raynaud simtomatik, agen selektif b-1 dapat digunakan
dengan hati-hati, dengan pemantauan rutin terhadap status pernapasan.

12
2.6 Tatalaksana Graves Disease

Setelah didiagnosis pasien menderita hipertiroid dan penyebabnya adalah Graves’


Disease (GD), pasien dan dokter harus memilih antara tiga inisial terapi yang efektif dan
relatif aman yaitu: terapi RAI, ATD, atau tiroidektomi. Penentuan penatalaksaan
berdasarkan ketersediaan modalitas terapi, manfaat, kecepatan pemulihan yang
diharapkan, kelemahan modalitas, efek samping potensial, dan biaya yang didiskusikan
antara dokter dengan pasien.12

Gambar 2.5. Modalitas terapi pada graves disease12

2.6.1. RAI

Tujuan terapi RAI pada GD adalah untuk mengontrol hipertiroidisme


dengan membuat hipotiroid pasien. Perawatan ini sangat efektif, asalkan dosis
radiasi yang cukup disimpan di tiroid. Strategi praktis adalah berikan dosis tetap
berdasarkan fitur klinis, seperti tingkat keparahan tirotoksikosis, ukuran gondok
(meningkatkan dosis yang dibutuhkan), dan tingkat penyerapan radioiodine
(mengurangi dosis yang dibutuhkan). Dosis umumnya berkisar antara 370 MBq
(10 mCi) dan 555 MBq (15 mCi). Namun, RAI dapat menyebabkan efek samping
jangka pendek berupa peningkatan kadar hormon tiroid. Untuk mencegah
eksaserbasi klinis hipertiroidisme, pemberian MMI atau carbimazole sebelum dan
sesudah pengobatan RAI dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
hipertiroidisme berat, orang tua, dan individu dengan komorbiditas substansial

13
yang membuat mereka memiliki risiko komplikasi yang memperburuk
tirotoksikosis.

Pada pasien dengan komplikasi kardiovaskular seperti fibrilasi atrium,


gagal jantung, atau hipertensi pulmonal dan CKD, infeksi, trauma, diabetes
mellitus yang tidak terkontrol, dan penyakit serebrovaskular atau penyakit paru-
paru, RAI harus dihindari pada kelompok ini jika memnungkinkan. Selain itu, obat
penghambat b-adrenergik harus digunakan secara bijak pada pasien ini dalam
persiapan untuk terapi RAI. Karbimazol atau methimazole harus dihentikan 2-3
hari sebelum administrasi radioiodine untuk mencapai penyerapan yodium yang
optimal, dan dapat dimulai kembali 3-7 hari setelah radioiodine.

Follow up dilakukan 1-2 bulan pertama setelah terapi RAI untuk GD


berupa penilaian T4 bebas, total T3, dan TSH. Pemantauan biokimia harus
dilanjutkan setiap 4 hingga 6 minggu selama 6 bulan, atau sampai pasien menjadi
hipotiroid dan stabil pada hormon tiroid penggantian. Hipertiroidisme persisten
dapat diobati dengan dosis kedua radioiodine, biasanya 6 bulan setelah dosis
pertama. Pasien yang persisten dengan kadar TSH menurun serta kadar T3 total
dan T4 bebas normal mungkin tidak memerlukan perawatan ulang segera tetapi
harus dipantau dengan cermat apakah akan kambuh atau menjadi hipotiroidisme.
Pada persentase kecil pasien dengan hipertiroidisme yang sulit disembuhkan
dengan RAI, pembedahan harus dipertimbangkan.12

2.6.2. ATD

Tujuan terapi adalah untuk menjadikan pasien eutiroid secepat dan seaman
mungkin. Obat-obatan ini tidak menyembuhkan hipertiroidisme Graves. Namun,
ketika diberikan dengan dosis yang memadai, mereka sangat efektif dalam
mengendalikan hipertiroidisme. Ketika gagal mencapai eutiroidisme, penyebab
yang biasa terjadi adalah ketidakpatuhan minum obat. Obat antitiroid utama adalah
thionamides; propiltiourasil, carbimazole, dan methimazole. MMI harus digunakan
pada hampir setiap pasien GD. Pada awal terapi MMI, dosis awal 10–30 mg setiap
hari digunakan untuk mengembalikan eutiroidisme, dan dosisnya bisa kemudian
dititrasi ke tingkat pemeliharaan (umumnya 5–10 mg setiap hari). Sangat penting
untuk memberikan dosis MMI yang sesuai agar dapat menormalisasi fungsi tiroid
yang cukup cepat, sambil meminimalkan efek obat yang merugikan.12

14
Berikut panduan kasar untuk dosis awal harian MMI:

 5-10 mg jika T4 bebas 1-1,5 kali batas atas normal


 10–20 mg untuk T4 bebas 1,5–2 kali batas atas normal
 30–40 mg untuk T4 gratis 2–3 kali batas atas normal

Pedoman kasar ini harus disesuaikan untuk masing-masing pasien,


berdasarkan gejala, ukuran kelenjar, dan kadar T3 total. Level serum T3 penting
untuk dipantau karena beberapa pasien dengan MMI memiliki kadar T4 bebas
normal tetapi T3 serum terus meningkat yang menunjukkan tirotoksikosis yang
masih berlangsung.12

Propylthiouracil diberikan dengan dosis 100-200 mg setiap 6–8 jam, dan


biasanya diberikan dalam dosis terbagi. Karena hepatotoksisitas propiltiourasil,
maka FDA menyatakan penggunaannya hanya diberikan pada trimester pertama
kehamilan, pengobatan badai tiroid, dan pasien dengan efek samping minor
terhadap methimazole. Jika propiltiourasil digunakan, direkomendasikan untuk
pemantauan tes fungsi hati.

Efek samping minor yang umum dari obat antitiroid adalah ruam, urtikaria,
demam, dan artralgia (1-5% pasien). Ini mungkin dapat membaik secara spontan
atau setelah mengganti obat antitiroid alternatif atau pemberian antihistamin pada
pasien ruam.12

Efek samping mayor ATD meliputi:

 Agranulositosis

PTU pada dosis berapa pun tampaknya lebih mungkin menyebabkan


agranulositosis dibandingkan dengan MMI dosis rendah.

 Hepatotoksisitas

Hepatotoksisitas MMI digambarkan khas sebagai kolestatik, tetapi penyakit


hepatoselular juga dapat terlihat. Sebaliknya, PTU dapat menyebabkan nekrosis
hati fulminant yang mungkin berakibat fatal; sehingga jika hal itu terjadi
transplantasi hati diperlukan pada beberapa pasien yang memakai PTU. PTU harus
dihentikan jika transaminase level (ditemukan secara kebetulan atau diukur secara

15
klinis ditunjukkan) mencapai >3 kali batas atas normal. Setelah menghentikan
obat, tes fungsi hati harus dipantau setiap minggu sampai ada bukti resolusi. Jika
resolusi tidak jelas, rujuk segera ke ahli gastroenterologi hepatologis untuk
perawatan khusus.

 Vaskulitis

PTU dan MMI dapat menyebabkan antibodi sitoplasmik antineutrofil


(pANCA)-positif vaskulitis pada pembuluh kecil atau diketahui juga sebagai lupus
yang diinduksi obat. Risiko vaskulitis meningkat dengan durasi terapi. Biasanya,
myeloperoxidase granulosit adalah antigen yang ditargetkan pada ANCA, tetapi
antibodi terhadap banyak protein lain juga terlihat. ANCA-positif vaskulitis lebih
sering terjadi pada pasien etnis Asia. Ketika obat dihentikan, ANCA perlahan
menghilang pada sebagian besar individu. Anak-anak lebih mungkin untuk terjadi
ANCA-positif vaskulitis terkait PTU. Dalam kebanyakan kasus, vaskulitis sembuh
dengan pemberhentian pemberian obat meskipun terapi imunosupresif mungkin
diperlukan.12

Mengetahui efek samping ATD, maka pemeriksaan darah dasar dapat


dilakukan untuk membantu untuk mempertimbangkan pemberian terapi ATD, jika
jumlah neutrofil absolut dasar <1000/mm3 atau kadar enzim transaminase hati
meningkat lebih dari 5 kali lipat di atas batas normal seharusnya dipertimbangkan
kembali untuk memulai terapi ATD.12

Evaluasi biokimia berupa T4 bebas serum dan T3 total harus dilakukan


sekitar 2-6 minggu setelah mulai terapi, tergantung pada tingkat keparahan
tirotoksikosis dan dosis obat yang diberikan. Serum T3 harus dipantau karena
kadar T4 bebas serum bisa menjadi normal padahal terjadi peningkatan total T3
serum persisten. TSH serum dapat tetap ditekan selama beberapa bulan setelah
memulai terapi. Oleh karena itu TSH serum bukan parameter yang baik untuk
memantau terapi. Setelah pasien eutiroid, dosis MMI biasanya bisa dikurangi 30%-
50%, dan pengujian biokimia diulang dalam 4-6 minggu. Setelah tingkat euthyroid
tercapai dengan dosis minimal pengobatan. Evaluasi klinis dan laboratorium dapat
dilakukan dengan interval 2-3 bulan. Jika seorang pasien menerima MMI jangka
panjang (> 18 bulan), interval ini bisa ditingkatkan menjadi 6 bulan. Jika MMI
dipilih sebagai terapi utama untuk GD, maka obat harus dilakukan selama kira-kira

16
12-18 bulan, kemudian dihentikan jika tingkat TSH dan TRAb normal saat itu.
Pengukuran level TRAb sebelum menghentikan terapi ATD disarankan karena
membantu dalam memprediksi kapan pasien dapat menyelesaikan pengobatan.
Penilaian TRAb pada akhir terapi ATD adalah metode yang berguna untuk
membagi pasien menjadi dua kelompok: satu dengan peningkatan TRAb persiten
kemungkinan kecil remisi, dan grup dengan TRAb rendah atau tidak terdeteksi,
yang memiliki kemungkinan remisi permanen yang lebih tinggi.

Pada pasien dengan TRAb yang terus-menerus tinggi dapat melanjutkan


ATD dan pemeriksaan ulang TRAb setelah 12-18 bulan atau memilih terapi
definitif alternatif dengan RAI atau operasi. Sedangkan jika TRAb negatif dan
fungsi tiroid normal di akhir 12-18 bulan terapi MMI, maka pemberian obat
dihentikan. Jika seorang pasien mengalami kekambuhan, terapi RAI atau
pembedahan dapat dipertimbangkan. Untuk mendeteksi kekambuhan sedini
mungkin maka dibutuhkan pemeriksaan fungsi tiroid setiap 2 hingga 3 bulan untuk
6 bulan pertama, kemudian tiap 4-6 bulan untuk 6 bulan berikutnya, dan kemudian
setiap 6-12 bulan. Seorang pasien dianggap dalam remisi jika mereka telah
memiliki TSH serum, T4 bebas, dan T3 total normal selama 1 tahun sesudah
penghentian terapi ATD.12

2.6.3. Pembedahan

Tiroidektomi total atau subtotal adalah pilihan bagi pasien yang kambuh
setelah obat antitiroid dan lebih memilihin terapi ini daripada radioiodine.
Beberapa ahli merekomendasikan pembedahan pada individu muda, khususnya
ketika gondok sangat besar. Pasien harus dalam keadaan euthyroid sebelum
pembedahan dengan pemberian ATD pretreatment, dengan atau tanpa β-blocker
untuk menghindari krisis tirotoksik. Pasien dapat diberikan Kalium iodida 5-7 tetes
(0,25–0,35 mL) dalam lugol (8 mg iodida/tetes), SSKI 1-2 tetes (50 mg
iodida/drop) tiga kali sehari dicampur dalam air atau jus selama 10 hari sebelum
operasi. Perawatan ini bermanfaat untuk mengurangi aliran darah tiroid,
vaskularisasi, dan kehilangan darah intraoperatif selama tiroidektomi. Dalam
keadaan tertentu, dimana tidak mungkin membuat pasien dengan GD euthyroid
sebelum tiroidektomi sedangkan kebutuhan untuk tiroidektomi sangat mendesak,
atau ketika pasien alergi terhadap ATD, maka pasien harus ditatalaksana dengan

17
baik menggunakan blokade b-adrenergik, KI, glukokortikoid, dan cholestyramine
preoperative.12

Komplikasi utama pembedahan yaitu perdarahan, edema laring,


hipokalsemia karena hipoparatiroidisme, dan kerusakan pada nervus laryngeus
recuren. Komplikasi di atas dapat diminimalkan ketika prosedur dilakukan oleh
ahli bedah yang sangat berpengalaman. Tingkat kekambuhan tiroidektomi total
mendekati 0% sedangkan subtotal tirodektomi memiliki kemungkinan 8%
kemungkinan terjadinya kekambuhan dalam waktu 5 tahun.

ATD harus dihentikan pada saat tiroidektomi GD, dan b-adrenergik blocker
harus dihentikan perlahan setelah operasi. Jika TSH ditekan sejak sebelum operasi,
T4 dan TSH bebas harus diukur 6-8 minggu pasca operasi, karena pemulihan aksis
hipofisis-tiroid kadang-kadang lambat. Dosis yang tepat dari L-tiroksin akan
bervariasi dengan indeks massa tubuh pasien mulai dengan dosis harian yang
sesuai untuk berat badan pasien (0,8g / lb atau 1,6 μg / kg), dengan pasien usia
lanjut membutuhkan dosis yang lebih kecil.12

2.7 Tatalaksana Toxic Multinodular Goiter dan Toxic Adenoma

Terapi yang efektif dan sering digunakan untuk tata laksana TMNG dan TA adalah
RAI dan pembedahan.12,13 Tujuan terapi pada kondisi ini yaitu dapat menurunkan kadar
hormon tiroid dengan cepat dan stabil dalam waktu yang lama.12

2.7.1. RAI

Pemberian pengobatan sebelum RAI dapat menurunkan faktor resiko


terjadinya komplikasi. Pada pasien-pasien TMG dan TA yang diterapi
menggunakan RAI, perburukan keadaan hipertiroid dengan peningkatan frekuensi
nadi dan gangguan jantung seperti aritmia sering terjadi. Oleh karena itu,
direkomendasikan pemberian beta-bloker untuk mencegah takiaritmia post RAI
khususnya pada pasien lansia (>60 tahun) dan pasien dengan gangguan
kardiovaskular atau hipertiroid parah. Sementara itu, pasien usia muda tidak
memerlukan pemberian ATD sebelum terapi RAI. Selain beta-bloker, pengobatan
dengan MMI sebelum terapi RAI juga harus dipertimbangkan pada pasien yang
memiliki resiko tinggi mengalami komplikasi. ATD dapat dilanjutkan 3-7 hari
setelah terapi RAI.12

18
Tujuan terapi ini adalah menghilangkan fase hipertiroid khususnya pada
pasien lansia. Dosis RAI yang digunakan adalah 150-200 μCi (5,55-7,4 MBq) per
gram jaringan yang dikoreksi selama 24 jam, dosis ini lebih tinggi dari yang
dibutuhkan untuk mengobati GD. Sementara itu, dosis RAI untuk mengobati TA
sekitar 10-20 mCi (370-740 MBq) atau aktivitas dihitung berdasarkan ukuran
nodul 150–200 μCi (5,5-7,4 MBq) RAI per gram dikoreksi selama 24 jam. Follow
up dilakukan pada 1-2 bulan pertama setelah terapi RAI untuk TMNG dan TA.
Pemantauan T4 bebas, total T3 dan TSH dilakukan tiap 4-6 minggu selama 6
bulan, atau sampai pasien menjadi hipotiroid dan stabil dengan pengganti hormon.
Jika hipertiroid masih menetap >6 bulan masa terapi RAI untuk TMNG dan TA,
maka terapi RAI ulang dilakukan.12

2.7.2. Pembedahan

Jika terapi ini dipilih sebagai pengobatan untuk TMNG atau TA, pasien harus
dijadikan eutiroid sebelum prosedur operasi dengan pemberian MMI.12 Pada pasien
TMNG, tiroidektomi total atau subtotal harus dilakukan. Sedangkan pada pasien TA,
perlu dilakukan USG sebelum operasi untuk mengevaluasi seluruh kelenjar tiroid dan
mengetahui dimana persisnya letak adenoma tersebut, sehingga operasi dapat
dilakukan pada tempat tertentu saja (lobektomi).12

Pemantauan kalsium serum pasca operasi pada pasien TMNG harus dilakukan.
Kalsium oral dan suplementasi kalsitriol dapat diberikan jika kalsium serum pasien
dibawah nilai normal. Hormon tiroid replacement harus dimulai dengan dosis sesuai
berat pasien (1,6 μg / kg) dan dengan mempertimbangkan usia pasien (usia lanjut
dimulai dari dosis rendah). Kadar TSH harus diukur setiap 1-2 bulan sampai stabil,
kemudian dapat diukur tiap tahun.12

Sedangkan pada pasien TA post operasi, kadar TSH dan T4 bebas dapat
diperiksa 4-6 minggu setelah operasi dan suplementasi hormon tiroid dapat dimulai
jika ada kenaikan TSH di atas nilai normal. Setelah operasi, kadar kalsium serum
tidak perlu diperiksa, dan suplemen kalsium serta calcitriol tidak perlu diberikan.12

2.7.3. ATD

Obat Anti-tiroid tidak menyebabkan kesembuhan total pada pasien TMNG


maupun TA. Oleh karena itu, jika ATD dihentikan, maka gejala tirotoksikosis pada

19
pasien akan muncul kembali. Namun, terapi ATD yang dalam jangka waktu yang
lama (seumur hidup) mungkin menjadi pilihan terbaik untuk beberapa individu yang
memiliki harapan hidup yang terbatas dan risiko pembedahan yang tinggi, termasuk
contohnya pada pasien lansia dan pada pasien-pasien dengan kepatuhan terhadap
keselamatan radiasi yang rendah.12 Dosis MMI yang diberikan pada pasien TMNG
atau TA adalah 5–10 mg/hari. Diperlukan pemantauan setiap 3 bulan hingga kadar
hormon tiroid stabil, setelah itu frekuensi pemantauan dapat dikurangi.12

Gambar 2.6. Modalitas Terapi TMNG dan TA.12

2.8 Tatalaksana Graves’ Orbitopathy

Terapi untuk Graves’ Orbitopathy saat ini berupa pemberian kortikosteroid, radiasi
orbital, dan operasi. Namun, terapi tersebut sering gagal untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien secara signifikan. Oleh karena itu, harus dilakukan pencegahan Graves’
disease menjadi GO. Penilaian faktor risiko pada pasien GD sangat diperlukan untuk
mencegah terjadinya orbitopati. Hal termudah yang dapat dilakukan adalah berhenti
merokok karena perokok pasif dan perokok aktif meningkatkan risiko GO. Pemberian
terapi RAI pada pasien GD dapat meningkatkan resiko terjadinya GO, namun dapat di
cegah dengan pemberian glukokortikoid (prednisone) dengan dosis awal 30 mg/hari
selama 6-12 minggu pasca pengobatan RAI.12 Sementara itu, tatalaksana untuk GO derajat
ringan tanpa faktor risiko kerusakan penyakit mata adalah terapi RAI, ATD, dan
tiroidektomi.

20
Gambar 2.7. Derajat Keparahan GO12

2.9 Tatalaksana Badai Tiroid

Badai tiroid (Thyroid Storm) adalah kondisi paling berbahaya dari Graves’ disease
dan termasuk kegawatdaruratan dalam endokrin.14 Tingkat kematiannya mencapai 10-25%
sehingga termasuk dalam keadaan mengancam jiwa yang membutuhkan diagnosis dan
tatalaksana yang cepat dan tepat.12,15 Diagnosis badai tiroid secara klinis ditegakkan
menggunakan skala Bruch-Wartofsky Point Scale (BWPS) dengan bukti adanya
dekompensasi sistemik. Jika skor >45 maka pasien membuthkan terapi yang adekuat.

21
Gambar 2.7. Bruch-Wartofsky Point Scale (BWPS)12

Badai tiroid biasanya terjadi pada pasien yang telah mendapat pengobatan untuk
kondisi tirotoksikosis sebelumnya. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan kondisi Badai
tiroid adalah penghentian pengobatan secara mendadak, tiroidektomi, operasi non-tiroidal
pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terdeteksi atau tidak diobati, dan setelah
mengikuti terapi RAI.12

Gambar 2.8. Obat-Obatan untuk Badai Tiroid12

Strategi pengobatan badai tiroid secara umum dibagi menjadi 4, yaitu:

1. Terapi untuk menghambat sekresi dan sintesis hormon tiroid; dapat diberikan obat ATD
dan iodine

2. Terapi untuk mengatasi efek perifer hormon tiroid di level jaringan; dapat diberikan obat
golongan beta-blocker dan glukokortikoid

3. Terapi untuk mengatasi dekompensasi sistemik

4. Terapi definitif: Agar tidak terjadi badai tiroid berulang dapat dilakukan terapi RAI atau
pembedahan.12

Pencegahan kondisi badai tiroid dapat dilakukan dengan cara mengedukasi pasien
agar tidak putus pengobatan ATD dan jika modalitas tatalaksana yang dipilih adalah
pembedahan, pastikan pasien berada dalam kondisi eutiroid sebelum dilakukan operasi.12
Penyebab kematian tersering pada kasus badai tiroid adalah kegagalan organ multipel, yang

22
diikuti dengan gagal jantung dan gagal napas, aritmia, DIC, perforasi gastrointestinal,
hypoxic brain syndrome dan sepsis.15

2.10 Tatalaksana Hipertiroid pada Kehamilan

Etiologi hipertiroid yang sering dijumpai pada pasien yang sedang hamil adalah
hipertiroid gestasional dan hipertiroid karena Graves’ disease. Diagnosis hipertiroid pada
kehamilan dapat ditegakkan dengan mengukur kadar serum TSH, total T4 dan T3. Pasien
dinyatakan hipertiroid jika kadar T4 dan T3 meningkat 1,5 kali diatas nilai normal pada
trimester kedua dan ketiga. Hipertiroid pada kehamilan dapat bersifat overt atau subklinis,
yang harus diperhatikan adalah hasil tes fungsi tiroid berbeda pada tiap trimester. Manifestasi
klinis yang menandakan terjadinya hipertiroid pada kehamilan sama seperti hipertiroid pada
umumnya yaitu berat badan tidak bertambah, intoleransi terhadap panas, keringat berlebih,
dan takikardi.12

Gambar 2.9. Tatalaksana Hipertiroid pada kehamilan12

23
Hipertiroid gestasional umunya bersifat asimtomatik atau gejala ringan serta self
limiting. Penggunaan ATD (terutama MMI) tidak disarankan karena akan menimbulkan
kecacatan pada bayi. Pasien hanya perlu melakukan pemeriksaan fisik dan tes fungsi tiroid
setiap 3-4 minggu, dapat pula diberikan terapi beta bloker (propanolol atau tropolol) untuk
mengurangi gejala. Apabila muncul tanda komplikasi maka segera rujuk untuk tatalaksana
lebih lanjut.12 Pada kasus hipertiroid overt karena Graves’ disease pada kehamilan, PTU
dapat diberikan pada trimester pertama kemudian dilanjutkan dengan menggunakan MMI.12

2.11 Tatalaksana Hipertiroid Subklinis

Hipertiroid subklinis ditatalaksana ketika kadar TSH terus-menerus <0,1 mU/L.


pengobatan SH direkomendasikan pada lansia (usia >65 tahun), pasien lansia dengan
komorbid seperti penyakit jantung, osteoporosis, wanita menopause yang tidak menggunakan
estrogen atau bifosfonat, serta pada individu dengan gejala hipertiroid yang nyata
(simptomatik).12,13

Jika termasuk dalam kategori yang harus ditatalaksana, penatalaksanaan harus


didasarkan pada etiologi disfungsi tiroid dan prinsip penatalaksanaanya sama dengan
pengobatan hipertiroidisme overt.12 Tujuan terapi pada kondisi ini adalah membuat pasien
euthyroid dengan TSH kadar normal. Keberhasilan terapi pada SH dapat dilihat berdasarkan
gejala hipertiroid yang dirasakan, kepadatan tulang, atau kadar serum TSH.12

24
BAB III

KESIMPULAN
Prinsip tatalaksana pada kondisi hipertiroid adalah menghambat sintesis dan sekresi
hormon, mereduksi massa kelenjar, dan meminimalisir efek hormon pada jaringan perifer.
Modalitas yang dapat digunakan adalah pemberian Obat Anti Tiroid (ATD), terapi RAI dan
pembedahan, serta pemberian beta-blocker. Pemilihan modalitas terapi harus didasarkan pada
etiologi dari hipertiroid, ketersediaan modalitas terapi, manfaat, kecepatan pemulihan yang
diharapkan, kelemahan modalitas, efek samping potensial, dan biaya yang didiskusikan
antara dokter dengan pasien.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Lee Stephanie L. 2020. Hyperthyroidism and thyrotoxicosis. Disadur dari
https://emedicine.medscape.com/article/121865-overview
2. De Leo S, Lee SY, Braverman LE. Hyperthyroidism. Lancet.
2016;388(10047):906-918
3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar 2013. Jakarta, 2013. Epub ahead of print 2013.
4. Scharga Erik D. 2020. Hyperthyroidsm, thyroid storm, and graves disease. Disadur
dari https://emedicine.medscape.com/article/767130-overview#a1.
5. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology 14th
Edition. 2014. Epub ahead of print 2014.
6. Lauralee, Sherwood. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 8th ed. Jakarta: EGC.
2016.
7. Shahid MA, Sharma S. Physiology, Thyroid Hormone. StatPearls
8. Malani PN. Harrison’s Principles of Internal Medicine. JAMA. 2012;
9. Jameson JL, Kasper DL, Longo DL, Fauci AS, et al. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. 20th ed. New York : Mc Graw Hill Education. 2018
10. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2.
Jakarta:Interna Publishing, 2014
11. Indonesian Clinical Practice Guidelines for Hyperthyroidism. J ASEAN Fed
Endocr Soc 2012; 27: 34–39.
12. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, et al. American Thyroid Association Guidelines
for Diagnosis and Management of Hyperthyroidism and Other Causes of
Thyrotoxicosis. Thyroid 2016; 26: 1343–1421.
13. Kravets I. Hypertiroidism: Diagnosis and Treatment. AFP. 2016; 93(5): 363-9.
14. Subekti I, Pramono LA. Current Diagnosis and Management of Graves’ Disease.
Indones J Intern Med. 2018; 50(2): 177-181.
15. Kahaly GJ, Bartalena L, Hegedus L, Leenhardt L, Poppe K, Perace SH. 2018
European Thyroid Association Guidline for management of Graves’
Hyperthyroidism. Karger. 2018; 7: 167-186. DOI: 10.1159/000490384.

26

Anda mungkin juga menyukai