FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
OSTEOARTHRITIS
OLEH:
Citra Annisa Fitri
11120192082
PEMBIMBING:
dr. Indah Lestari, Sp. PD, FINASIM
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Pembimbing,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala berkah dan
berjudul ”Osteoarthritis”. Penulisan laporan kasus ini dibuat sebagai salah satu
pihak dan dokter dan konsulen, akhirnya penyusunan laporan kasus ini dapat
terima kasih kepada dr. Indah Lestari, Sp.PD, FINASIM, selaku pembimbing
dalam penyusunan laporan kasus ini dalam memberikan motivasi, arahan, serta
kasih pula yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang secara langsung
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
V. Diagnosis Kerja
Osteoarthritis Genu
VI. Terapi
Edukasi Arthroscopic lateral lutut kiri dan Arthroplasty lutut kiri
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degenerative dimana
keseluruhan struktur dari sendi mengalami perubahan patologis melibatkan
kartilago, lapisan sendi, ligament dan tulang. OA terkait dengan penuaan dan
kemungkinan akan tetap mempengaruhi sendi yang terus-menerus terpapar faktor
resiko sepanjang tahun sehingga menyebabkan nyeri dan kekakuan pada sendi. 5,6
2.2. EPIDEMIOLOGI
Menurut WHO, prevalensi OA di seluruh dunia pada pria adalah 9,6% dan
pada wanita berusia di atas 60 tahun sebanyak 18%. Sementara di Indonesia,
prevalensi OA pada usia 61 tahun adalah 5%. Sementara itu, prevalensi OA lutut
masih cukup tinggi di Indonesia, yang menyumbang 15,5% pada pria dan 12,7%
pada wanita dari total populasi Indonesia yang berjumlah 255 juta orang.6,7
OA adalah salah satu dari sepuluh penyakit paling melumpuhkan di negara
maju. Karena sifatnya yang kronis dan progresif, dampak sosial-ekonomi di
banyak negara maju dan berkembang sangat besar.OA merupakan penyakit yang
menyebabkan nyeri hebat dan cacat pada pasien, sehingga mengganggu aktivitas
sehari-hari. Akibatnya, sebanyak 80% memiliki keterbatasan dalam beraktivitas
dan 25% di antaranya bahkan tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari.6,7
OA lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki
yaitu 68,67%. Secara statistik perempuan memiliki body mass index (BMI) diatas
rata-rata dan tingkat obesitas pada wanita adalah 4% dan pada laki-laki 2%. Pada
perempuan menopause, akan terjadi penumpukan lemak terutama pada sendi
bagian bawah dan menyebabkan peningkatan beban pada sendi.6,7
2.3. ETIOPATOGENESIS
Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua, yaitu OA primer
dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yang mana penyebabnya
tidak diketahui dan tidak ada hubunganya dengan penyakit sistemik maupun
perubahan lokal pada sendi. OA sekunder merupakan OA yang didasari oleh
adanya kelainan endokrin, inflamai, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas
mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih banyak
ditemukan daripada OA sekunder.8
Jejas mekanis dan kimiawi pada synovia sendi yang terjadi multifaktorial
antara lain karena faktor umur, stress mekanis atau penggunaaan sendi yang
berlebihan, defek antomik, obesitas, genetik, humoral dan faktor kebudaayaan.
Jejas mekanis ini diduga merupakan faktor penting yang merangsang
terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan
synovial sendi yang mengakibatkan terjadinya inflamasi sendi, kerusakan kodrosit
dan nyeri.8
Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan
periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan
tekaann vena intramedullar pada trabekula dan subkondrial. Selain kondrosit,
sinoviosit juga berperan pada patogenesis OA, terutama setelah terjadi sinovitis,
yang menyebabkan nyeri dan perasaan tidak nyaman. Sinoviosit yang mengalami
peradangan akan menghasilkan Matrix Metalloproteinases (MMPs) dan berbagai
sitokin yang akan dilepaskan ke dalam rongga sendi dan merusak matriksrawan
sendi serta mengaktifkan kondrosit. Pada akhirnya tulang subkondral juga akan
ikut berperan, dimana osteoblas akan terangsang dan menghasilkan enzim
proteolitik.8,9
Pada tahap awal penyakit, nyeri episodik sering dipicu setelah satu atau dua
hari penggunaan yang terlalu aktif dari sendi yang sakit, misalnya orang dengan
OA lutut yang melakukan olahraga lari jarak jauh dan beberapa hari kemudian
timbul rasa nyeri pada sendi. Seiring proses berjalannya penyakit, rasa nyeri
menjadi terus menerus dan bahkan mengganggu di malam hari. Gejala kaku sendi
pada pagi hari cukup umum dijumpai, durasinya berkaitan dengan keparahan
penyakit. Kekakuan sendi bisa terjadi setelah tidak melakukan aktivitas selama
beberapa jam. Pada pemeriksaan muskuloskeletal mungkin ditemukan edema,
deformitas, krepitasi, dan terbatasnya pergerakan sendi. Nyeri tekan pada
umumnya ditemukan di sekitar persendian. 15
Tidak ada tes darah rutin diindikasikan untuk pemeriksaan pasien dengan
OA kecuali terdapar gejala dan tanda arthritis inflamasi. Pemeriksaan cairan
sinovial sering lebih membantu diagnosis daripada foto sinar-x. Jika jumlah cairan
sinovial putih adalah> 1000/L. 15
2.9. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana OA berdasar atas distribusinya (sendi yang terkena) dan berat
ringannya sendi yang terkena. Pengelolaannya terdiri dari 3 hal 18,19:
1. Terapi non-farmakologis
Tujuan utama dari manajemen pasien dengan OAadalah mengontrol rasa sakit
dan membawa peningkatan fungsidan kualitas hidup terkait kesehatan, dengan
menghindari racunefek farmakologis.8,18,19
a) Edukasi :Agar pasien mengetahui sedikit seluk beluk penyakitnya,
bagaimana menjaganya agar tidak bertambah parah serta persendiannya
tetap dapat dipakai. pendidikan pasien, olahraga, kontak pribadi, fisioterapi,
alat bantu, patela menekan alas kaki yang tepat dan intervensi bedah
mungkin diperlukan.
b) Terapi Fisik dan Rehabilitasi :Terapi ini untuk melatih pasien agar
persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi
sendi yang sakit.Penurunan Berat Badan :Berat badan yang berlebihan
ternyata merupakan faktor yang akan memperberat penyakit OA. Oleh
karenanya berat badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Apaila
berat badan berlebihan, maka harus diusahan penurunan berat badan, bila
mungkin mendekati berat badan ideal
c) Penurunan Berat Badan :Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan
faktor yang akan memberat pada penyakit OA. Oleh karenanya,berat badan
harus selalu dijaga agar tidak berlebihan, maka harus diusahakan penurunan
berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal.
2. Terapi Farmakologik
Tahap kedua Terapi Farmakologi: (lebih efektif bila dikombinasi dengan terapi
nonfarmakologi diatas) 18,19 :
• Pendekatan terapi awal
a. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, dapat diberikan
salah satu obat berikut ini, bila tidak terdapat kontraindikasi pemberian
obat tersebut:
• Acetaminophen (kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS).
b. Untuk OA dengan gejala nyeri ringan hingga sedang, yang memiliki
risiko pada sistim pencernaan (usia >60 tahun, disertai penyakit
komorbid dengan polifarmaka, riwayat ulkus peptikum, riwayat
perdarahan saluran cerna, mengkonsumsi obat kortikosteroid dan atau
antikoagulan), dapat diberikan salah satu obat berikut ini:
• Acetaminophen ( kurang dari 4 gram per hari).
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) topikal
• Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) non selektif, dengan
pemberian obat pelindung gaster (gastro- protective agent). Obat
anti inflamasi nonsteroid (OAINS) harus dimulai dengan dosis
analgesik rendah dan dapat dinaikkan hingga dosis maksimal hanya
bila dengan dosis rendah respon kurang efektif.
c. Untuk nyeri sedang hingga berat, dan disertai pembengkakan sendi,
aspirasi dan tindakan injeksi glukokortikoid intraartikular (misalnya
triamsinolone hexatonide 40 mg) untuk penanganan nyeri jangka
pendek (satu sampai tiga minggu) dapat diberikan, selain pemberian
obat anti-inflamasi nonsteroid per oral (OAINS).
• Injeksi intraartikular/intra lesi
Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan
utama dalam penanganan OA. Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra
artikular yakni penanganan simtomatik dengan steroid, dan
viskosuplementasi dengan hyaluronan untuk memodifikasi perjalanan
penyakit.18.19
1) Kortikosteroid (triamsinolone hexacetonide dan methyl
prednisolone)
Dapat diberikan pada OA lutut, jika mengenai satu atau dua sendi
dengan keluhan nyeri sedang hingga berat yang kurang responsif
terhadap pemberian OAINS. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat
dan benar untuk menghindari penyulit yang timbul. Sebagian besar
literatur tidak menganjurkan dilakukan penyuntikan lebih dari sekali
dalam kurun 3 bulan atau setahun 3 kali terutama untuk sendi besar
penyangga tubuh. Dosis untuk sendi besar seperti lutut 40-50
mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi kecil biasanya digunakan
dosis 10 mg. 18,19
2) Viskosuplemen: Hyaluronan
Terdapat dua jenis hyaluronan di Indonesia: high molecular weight
dan low molecular weight atau tipe campuran. Penyuntikan intra
artikular viskosuplemen ini dapat diberikan untuk sendi lutut.18,19
Cara pemberian: diberikan berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan
interval satu minggu (2 sampai 2,5 ml Hyaluronan untuk jenis low
molecular weight, 1 kali untuk jenis high molecular weight, dan 2 kali
pemberian dengan interval 1 minggu untuk jenis tipe campuran).18,19
Analgesik oral dan topikal non-opoid dapat diterapkan pada analgesik kulit.
Untuk pasien yang tidak responsif terhadap pemberian ini, penggunaan obat
antiinflamasi non steroid (NSAID) dianggap tepat. Suntikan kortikosteroid
direkomendasikan untuk pasien dengan OA lutut, terutama ketika tanda-tanda
peradangan lokal dengan efusi sendi hadir. Pasien dengan gejala OA lutut yang
parah mungkin memerlukan intervensi bedah mis. osteotomy atau arthopathy
sendi local.18,19
a) Analgesik Oral Non Opiat :Pada umumnya pasien telah mencoba untuk
mengobati sendiri penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau
menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan yang dijual bebas
yang mampu mengurangi rasa sakit.18,19
b) Analgesik Topikal :Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan
dipasaran dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien
telah mencoba terapi dengan cara ini, sebelum memakai obat-obat peroral
lainnya 18,19:
1. Krim rubefacients dan capsaicin : Beberapa sediaan telah tersedia di
Indonesia dengan cara kerja pada umumnya bersifat counter irritant.
2. Krim NSAIDs
Selain zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, perlu diperhatikan
campuran yang dipergunakan untuk penetrasi kulit. Salah satu yang
dapat digunakan adalah gel piroxicam, dan sodium diclofenac.
c) Obat Anti Inflamasi Non Steroid : pemberian OAINS, oleh karena obat
golongan ini disamping mempunyai efek analgetik juga memiliki efek anti
inflamasi. Oleh karena pasien OA kebanyakan berusia lanjut, maka
pemberian obat ini harus hati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek
sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian yang sederhana. Obat ini
membantu meredakannyeri dan bengkak. Jenis OAINS termasuka aspirin,
ibuprofen dan naproxen. Namun, penggunaan jangka panjang OAINS
dapat menyebabkan masalah lambung seperti ulkus dan pendarahan.18,19
d) Chondroprotective Agent :Yang dimaksud dengan Chondroprotective
Agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan
tulang rawan sendi pada pasien OA. Sampai saat ini yang termasuk dalam
kelompok obat ini adalah: tetrasiklin, asam hialuronat, kondrotin sulfat,
glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide desmutase dan sebagainya18,19 :
Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai efek menghambat kerja enzime
MMP. Salah satu contohnya doxycycline. Sayangnya obat ini baru
dipakai oleh hewan belum dipakai pada manusia.
Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan
dalam degradasi tulang rawan, antara lain: hialuronidase, protease,
elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis
proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi.
Pada penelitian Rejholec tahun 1987 pemakaian GAG selama 5 tahun
dapat memberikan perbaikan dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga,
kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara statistik bermakna.
Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan
kelompok vertebra, dan terutama terdapat pada matriks ekstraseluler
sekeliling sel. Menurut penelitian Ronca dkk (1998), efektivitas
kondroitin sulfat pada pasien OA mungkin melalui 3 mekanisme
utama, yaitu : 1. Anti inflamasi 2. Efek metabolik terhadap sintesis
hialuronat dan proteoglikan. 3. Anti degeneratif melalui hambatan
enzim proteolitik dan menghambat oksigen reaktif.
Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas
enzim lisozim dan bermanfaat dalam terapi OA
Superoxide Dismutase, dapat diumpai pada setiap sel mamalia dam
mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan
hydroxyl radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak
asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde
dapat merusak kondroitin secara langsung. Dalam percobaan klinis
dilaporkan bahwa pemberian superoxide dismutase dapat mengurangi
keluhan-keluhan pada pasien OA.
Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan
utama dalam penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan
selektifitas dalam penggunaan modalitas terapi ini, mengingat efek
merugikan baik yang bersifat lokal maupun sistemik.
e) Terapi Bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil mengurangi
rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi
yang mengganggu aktivitas sehari-hari. Bagi penderita dengan OA yang
sudah parah, maka operasi merupakan tindakan yang efektif. Operasi yang
dapat dilakukan antara lain arthroscopic debridement, joint debridement,
dekompresi tulang, osteotomi dan artroplasti.18,19
Algoritme Terapi Osteoarthritis
DAFTAR PUSTAKA
1. S Joewono, I Haryy, K Handono, B Rawan, P Riardi. Chapter 279 :
Osteoartritis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV FKUI 2006. 1195-
1202
2. Mora JC, Przkora R, Almeida YC. Knee osteoarthritis: pathophysiology and
current treatment modalities. Journal of Pain Research 2018:11 2189–2196
3. Fauci, Anthony S, et al. 2012. Osteoarthritis. Dalam : Harrison’s Principles
Of Internal Medicine Eighteenth Edition. The McGraw-Hill Companies.
4. B Mandelbaum, W David. Etiology and Pathophysiology of Osteoarthritis.
ORTHO Supersite Februari 1 2005.
5. The WHO Manual of Diagnostic Imaging : Radiographic Anatomy and
Interpretation of the Musculoskeletal. 2002. Hal 131.
6. Pratiwi AI. 2015. Diagnosis and Treatment Osteoarthritits. J Majority
4(4):10-17
7. Ahamd IW, Rahmawati LD, Wardhana TH. Demographic Profile, Clinical
and Analysis of Osteoarthritis Patients in Surabaya. BiomolecularAnd Health
Science Jounal. 2018. Vol 01(01):4.
8. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, et.al. Osteoarthritis : Ilmu Penyaki Dalam.
Jilid III, Ed 6th. Chapter 421. Interna Publishing. 2014. Hal: 3197-3209.
9. Joem WP, Klaus U, et.al. The Epidemiology, Etiology, Diagnosis, and
Treatment of Osteoarthritis of the Knee. Dtsch Arztebl Int. 2010; 107(9):
152–62.
10. Chen D, Shen J, Zhao W, et.al. Osteoarthritis: toward a comprehensive
understanding of pathological mechanism ;Bone Research.2017. Vol 5. Hal.
1-13
11. Widhiyanto L, Desnantyo AT, Djuari L. Correlation Between Knee
Osteoarthritis (Oa) Grade And Body Mass Index (Bmi) In Outpatients Of
Orthopaedic And Traumatology Department Rsud Dr. Soetomo. Journal
Orthopaedi and Traumatology Surabaya.2019. Vol 6(2).p24-32.
12. DB Kenneth. Harrison Principle of Internal Medicine 16th edition. Chapter
312 : Osteoartritis. Mc Graw Hills 2005. 2036-2045
13. Heidari B. Knee osteoarthritis prevalence, risk factors, pathogenesis and
features: Part ICaspian J Intern Med. 2011; 2(2):205-212.
14. Villafane JH. Exercise and Osteoarthritis : an update. Journal of Exercise
Rehabilitation 2018;14(4).p 538-9.
15. Lespasio MJ, Piuzzi NS, Husni ME. Knee Osteoarthritis : a primer. The
Permanente Journal/Perm J. 2017;21:16-183.
16. Herring W. Learning Radiology Recognixing the Basics. 3rd ed.Elsevier.
Philadelphia. 2016 .Hal 255-8
17. Murray JRD, Holmes EJ, Misra RR.A-Z of Musculoskeletal and Trauma
Radiology. Cambridge University Press. Hal 96-8
18. MJ Islam, MA Yusuf, MS Hossain, et.al. Updated Management of
Osteoarthritis: A Review. Journal of Science Foundation, July 2013, Vol. 11,
No. 2; pp:49-55
19. Wood AMD, Brock TM, Heil K. Review on the Management of Hip and
Knee Osteoarthritis. International Journal of Chronic Diseases. Hindawi.
2013. 1-9