Anda di halaman 1dari 18

Abnormalitas Pergerakan Mata pada Kasus-Kasus Multiple Sclerosis

Sashank Prasad, MDa, Steven L. Galetta, MDb

Kata Kunci

Multiple sclerosis, abnormalitas pergerakan okuler, neuroanatomi, neuroimaging

Multiple sclerosis (MS) merupakan salah satu kondisi inflamatorik yang


menyerang myelin sistem saraf pusat (SSP) dan dapat menyebabkan terjadinya
defisit-defisit neurologis pada penderitanya. Abnormalitas pergerakan mata (eye
movement abnormalities) menjadi salah satu manifestasi MS yang umum, yang
dapat dijumpai baik pada saat onset atau selama periode berlangsungnya
penyakit.1 Faktanya, abnormalitas pergerakan mata pada penderita MS berkorelasi
dengan keseluruhan ketidakmampuan yang disebabkan oleh penyakit tersebut.2
Dalam artikel ini, penulis mendiskusikan gangguan-gangguan yang terjadi pada
peralihan pandangan (gaze shifting), pemusatan/mempertahankan pandangan
(gaze holding), dan kesejajaran okuler (ocular alignment) pada pasien-pasien MS,
dengan penekanan pembahasan terhadap prinsip-prinsip neuroanatomis yang
mendasarinya dan temuan-temuan patologis yang dijumpai pada pemeriksaan
fisik dan penunjang yang dilakukan.

Kemajuan teknologi pencitraan neurologis yang terjadi memungkinkan


dilakukannya diagnosis MS pada tahap/stadium sedini mungkin dan dapat
digunakan untuk memonitor progresi kondisi subklinis dan kasus silent disease.
Meskipun MRI merupakan salah satu modalitas yang tak dapat diabaikan dalam
manajemen pasien-pasien MS, tetapi MRI sendiri tidak sepenuhnya sensitif dalam
mendeteksi lesi-lesi yang terjadi, sehingga keberadaannya tidak dapat
menggantikan peranan dan manfaat pemeriksaan neurologis yang komprehensif.
Sebagai contoh, keberadaan sejumlah lesi berukuran kecil pada batang otak dapat
menyebabkan terjadinya abnormalitas klinis yang kentara, sementara keberadaan
lesi-lesi tersebut seringkali berada diluar jangkauan deteksi MRI. Lebih lanjut,
disosiasi poten yang terdapat antara temuan-temuan klinis dan radiografi tersebut
menjadi pijakan dan dasar atas penekanan pentingnya dilakukannya lokalisasi
klinikoanatomis dengan penuh dengan kehati-hatian. Penilaian yang adekuat
terhadap gangguan visual yang tidak terlalu kentara seringkali dapat berpengaruh
besar terhadap pengambilan dan pelaksanaan keputusan klinis yang rasional
dalam manajemen pasien-pasien yang menderita MS.

OFTALMOPLEGIA INTERNUKLEARIS (INTERNUCLEAR


OPHTHALMOPLEGIA)

Oftalmoplegia internuklearis (Internuclear ophthalmoplegia; INO)


menunjukkan berlangsungnya disrupsi (gangguan) pada pergerakan/sakade
horisontal yang cepat dan terkoordinasi (disruption of rapid, coordinated,
horizontal saccade)yang terjadi akibat keterlambatan atau keterbatasan aduksi.3-6
Berlangsungnya aduksi konjugata (conjugate adduction) pada horizontal
saccades yang normal difasilitasi oleh serangkaian interneuron-interneuron yang
berada dalam nukleus abducens. Serabut-serabut saraf tersebut membentang dan
menyeberangi linea mediana dan berlanjut melalui fasikulus longitudinalis medial
kontralateral (contralateral medial longitudinal fasciculus; MLF) dari pons
menuju subnukleus rektus medial dari komplek motorik okuler pada otak tengah
(medial rectus subnucleus of the ocular motor complex) (Gambar 1). MLF
tersebut memiliki lapisan myelin yang ekstensif guna menunjang kelangsungan
transmisi neural yang cepat untuk aduksi satu mata dan aduksi mata yang satunya
agar tetap mendekati sinkronisasi yang baik.7 Bahkan, berlangsungnya gangguan
minor pada kecepatan transmisi tersebut melalui MLF dapat mengakibatkan
terjadinya gejala-gejala yang terjadi akibat terganggunya sinkronisitas tersebut,
yang menyebabkan terjadinya ocular misalignment selama berlangsungnya
horizontal saccades. Tidak seperti halnya sejumlah traktus bermyelin lainnya,
dimana apabila terjadi gangguan minor hanya menyebabkan terjadinya defisit
klinis neurologis yang tak kentara, sistem yang mengkoordinasikan horizontal
saccades sangat sensitif terhadap perubahan atau gangguan kecepatan transmisi,
sehingga hal tersebut menjadikan INO sebagai manifestasi yang sering dijumpai
pada pasien-pasien MS.
Defisit aduksi pada kasus INO dapat termanifestasi sebagai keterlambatan
selama berlangsungnya horizontal duction (adduction lag, terutama saat
berlangsungnya full excursion pada mata) atau dapat termanifestasi sebagai aduksi
inkomplet (incomplete adduction) yang menyebabkan terjadinya incomitant
exotropia (Gambar 2). Normalnya, berlangsungnya rapid horizontal saccade
disebabkan oleh impuls yang dihasilkan oleh formasio retikularis pontin
paramedian (paramedian pontine reticular formation; PPRF) (lihat Gambar 1).
Berlangsungnya eccentric gaze yang terjadi mengikuti saccade tersebut diregulasi
oleh serangkaian fungsi yang dihailkan oleh keberadaan sejumlah input yang
beradal dari nukleus vestibularis media (medial vestibular nucleus) dan nukleus
prepositus hipoglossus (nucleus prepositus hypoglossus). Step function tersebut
berasal dari velocity information oleh proses integrasi neural, dan berperan dalam
manajemen gaze holding melalui regulasi gaya elastis (elastic force) yang
dihasilkan oleh jaringan orbital. Demielinasi MLF dapat mempengaruhi high
frequency discharges yang diperlukan untuk menimbulkan rapid saccadic pulse,
sementara tidak mempengaruhi lower frequency discharges yang dibutuhkan
untuk kelangsungan step function yang berkaitan yang menentukan dan
meregulasi jangkauan aduksi (range of adduction).3 Selain hal tersebut,
alternatifnya, jangkauan aduksi biasanya tidak mengalami gangguan karena jaras-
jaras yang meregulasi jangkauan aduksi terpisah dari MLF sehinggamasih dapat
memediasi terjadinya full adducting excursion.8

Meskipun terjadi defisiensi aduksi selama horizontal saccades, fungsi normal


rectus medialis pada kasus INO dapat diperiksa melalui dilakukannya tes
konvergensi mata (Gambar 3). Konvergensi dimediasi oleh input-input yang
berbeda yang berasal dari medial rectus subnucleus, dan jarang dimediasi oleh
input-input yang tiba melalui MLF, Disosiasi antara ketebatasan aduksi pada
horizontal saccades dan aduksi yang tetap baik selama berlangsungnya
konvergensi menunjukkan terdapatnya peranan alamiah nukleus supranuklearis
pada defisit aduksi yang terjadi pada kasus INO yang masih memiliki komponen-
komponen nuklearis dan supranuklearis aduksi yang masih intak. Pada beberapa
kasus, meskipun disfungsi MLS dapat terjadi di sekitar area rostral, dimana
subnekleus rectus medial sendiri juga mengalami kerusakan; sehingga, gangguan
aduksi selama horizontal saccades biasanya akan disertai dengan terjadinya
kelainan konvergensi. Kondisi tersebut dikenal dengan istilah anterior INO of
Cogan yang mana diagnosisnya sendiri masih belum dapat dibedakan dengan
mudah dengan INO dan palsy nervus ke-3 parsial (partial third nerve palsy).9

Pasien-pasien yang menderita INO unilateral umumnya tidak mengalami


eksotopia yang signifikan pada pandangan primer (significant exotropia in
primary gaze), dimana hal tersebut disebabkan masih intaknya tonus konvergensi
(intact convergence tone). Berbeda halnya dengan lesi-lesi MLF bilateral yang
seringkali dapat mneyebabkan terjadinya eksotropia (lihat Gambar 3). Presentasi
klinis yang terjadi sering dipermudah dengan akronim WEBINO (wall-eyed
bilateral INO) syndrome.

Ketidaksejajaran (misalignment) yang disebabkan oleh INO dapat


mengakibatkan terjadinya sejumlah gejala oftalmik yang berbeda-beda,
diantaranya berupa pandangan kabur, diplopia, gangguan pada stereopsis, dan
astenopis (kelelahan pada mata).10 Normalnya, akan terjadi supresi sensorik
kortikal (cortical sensory suppression) selama berlangsungnya saccades guna
mengeliminasikan kekaburan/blur yang diakibatkan oleh ketidaktepatan
pemusatan penglihatan pada retina (retinal slippage), akan tetapi pada kasus INO,
kekaburan pandangan yang terjadi diakibatkan oleh kegagalan mekanisme
tersebut untuk mensupresi dengan sepenuhnya input-input yang berasal dari mata
yang mengalami keterlambatan saccade (slowed saccades).3 Derajat gejala-gejala
visual yang terjadi umumya berada dalam proporsi yang sesuai dengan derajat
INO yang dialami, dan pasien-pasien yang menderita INO derajat ringan biasanya
asimtomatis. Karena terjadinya kelelahan selama pemakaian mata (use-related
fatigue) untuk melihat dan berlangsungnya fenomena Uhtoff (perburukan gejala-
gejala seiring dengan peningkatan suhu tubuh) yang umum dijumpai pada pasien-
pasien MS, gejala-gejala visual yang disebabkan oleh Ino seringkali berfluktuasi
di sepanjang harinya. Sejumlah pasien yang menderita INO dapat saja memiliki
respons horizontal pursuit, optokinetik, dan vestibulookularis yang masih
normal.11 Fungsi-fungsi tersebut masih utuh karena kelangsungannya dimediasi
oleh sinyal neural berfrekuensi rendah (lower-frequency neural signals) yang
masih jaras transmisi yang utuh meskipun terjadi demielinasi pada MLF, atau
karena fungsi-fungsi tersebut juga dimediasi oleh koneksi-koneksi alternatif yang
terdapat antara nuklei n. abducens dan okulomotorius.

INO sering dihubungkan dengan terjadinya nistagmus horisontal patologis


yang dapat dijumpai lebih prominen pada mata yang mengalami abduksi
(dissociated horizontal nystagmus most prominent in the abducting eye) (Gambar
4). Nistagmus fase lambat (slow phase of nystagmus) seringkali terjadi menuju
arah yang berlawanan dengan arah pandangan yang dilakukan (attempted gaze),
dan disertai dengan berlangsungnya quick saccades yang searah dengan arah
pandangan yang dilakukan. Nistagmus tersebut terjadi dalam fase lambat yang
khas yang umumnya berlangsung dalam exponentially decaying wave form.3
Seiring dengan semakin ekstensifnya penyimpangan yang terjadi, amplitudo atau
frekuensi nistagmus akan mengalami peningkatan.3 Terdapat beberapa mekanisme
yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya abducting nystagmus pada
kasus-kasus INO. Salah satu kemungkinannya diperkirakan bahwa terjadi respons
adaptif sentral (central adaptive response) guna mereduksi kekaburan penglihatan
(visual blurring) yang terjadi. Guna mengatasi kelemahan aduksi (adduction
weakness) yang terjadi, maka berlangsunglah sebuah mekanisme kompensatorik
berupa peningkatan pulsasi saccadic (saccadic pulse) (yang dapat terjadi pada
kedua mata sesuai dengan hukum Hering mengenai dwi inervasi).3,12 Meskipun
respons adaptif yang berlangsung dapat memperbaiki aduksi yang terjadi pada
mata yang mengalami parese/mata paretik (paretic eye), respons adaptif tersebut
dapat mengganggu kelangsungan abduksi pada mata non paretik melalui 2
mekanisme. Pertama, peningkatan pulsasi (pulse amplification) dapat
menyebabkan terjadinya saccadic hypermetria; kedua, pulse-step mismatch yang
terjadi dapat menyebabkan berlangsungnya slow postsaccadic drift with
exponential decay. Berdasarkan hal tersebut, fenomena nistagmus abduksi
(phenomenon of abducting nystagmus) yang terjadi pada kasus-kasus INO
unilateral diperkirakan akan menjadi semakin ekstensif apabila pasien-pasien
memiliki kebiasaan untuk memfiksasikan pandangan dengan menggunakan mata
yang paretik, yang memaksa untuk dilakukan adaptasi sental yang lebih ekstensif
juga. Di lain pihakm apabila pasien tersebut terbiasa memfiksasikan pandangan
dengan menggunakan mata non paretik, maka dapat dimungkinkan tidak dijumpai
terjadinya abducting nystagmus.3 Zee dan koleganya13 menunjukkan bahwa pada
beberapa pasien (tidak seluruh pasien) yang menderita INO, penggunaan plester
mata jangka panjang (prolonged eye patching) selama 1-5 hari pada mata yang
paretik dapat mereduksi abducting nystagmus yang terjadi, sedangkan
pemasangan plester pada mata non paretik dapatmeningkatkan frekuensi
berlangsungnya abducting nystagmus. Di lain pihak, pemasangan plester
sementara (temporary patching) salah satu mata (atau pasien diminta untuk
melakukan horizontal saccades dalam ruang gelap) tidak dapat mereduksi
abducting nystagmus yang terjadi, dimana temuan-temuan tersebut menunjukkan
bahwa nistagmus yang terjadi tidak disebabkan oleh online target-position error
signals, tetapi lebih merupakan mekanisme adaptif jangka panjang (a stored,
long-term adaptive mechanism).3

Mekanisme adaptif sentral yang berlangsung tidak sepenuhnya


berkontribusi atas abducting nystagmus yang terjadi, karena diketahui bahwa
tidak semua pasien mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan yang
diprediksikan paska dilakukannya pemasangan plester pada mata.13 Penjelasan
alternatif atas hal tersebut berupa terjadinya disrupsi/gangguan pada jaras-jaras
inhibitorik yang melewati MLF dan dipostulatkan bahwa jaras-jaras tersebut
melintasi otak tengah (midbrain) menuju rectus medial antagonis dari mata
kontralateral.14 Mengikuti dengan penjelasan alternatif tersebut, gangguan
terhadap inhibisi dari motoneuron-motorneuron rectus medial dapat mereduksi
berlangsungnya abducting step function pada mata yang bersangkutan dan
menyebabkan terjadinya pergerakan lambat dari posisi abduksi (a slow movement
back from the abducted position). Meskipun demikian, penjelasan tersebut
tampaknya hanya sesuai untuk digunakan dalam memprediksikan berlangsungnya
hypometric abducting saccades, bukannya hypermetric abducting saccades yang
lebih sering dijumpai terjadi dalam tatanan praktis klinis.3

Penjelasan lainnya atas abducting nystagmus yang terjadi pada kasus-


kasus INO berupa terjadinya kerusakan atau cedera pada sejumlha struktur
tambahan diluar MLF yang diperkirakan terlibat langsung dalam menyebabkan
berlangsungnya asymmetric gaze-holding disturbance, yang mana dapat
termanifestasi pada derajat yang lebih berat pada mata non paretik. Meskipun
demikian, sesuai dengan penjelasan tersebut, abducting nystagmus yang terjadi
akan memiliki bentuk gelombang yang khas menyerupai gigi gergaji (typical saw-
tooth waveform) (yang mana komponen lambat nistagmus memiliki kecepatan
yang konstan, hal tersebut berhubungan langsung dengan terjadinya mekanisme
pemusatan pandangan yang tidak sufisien/insufficient gaze-holding mechanisms),
bukannya dalam bentuk gelombang berupa exponentially decaying waveform
yang umumnya dijumpai.3 Pada INO derajat berat, mata yang terkena biasanya
selain akan mengalami keterlambatan aduksi (adduction slowing), juga akan
mengalami keterlambatan abduksi (abduction slowing). Penjelasan potensial atas
reduksi kecepatan abduksi yang terjadi berupa, kelangsungan abduksi normal
bergantung terhadap keberadaan inhibisi yang adekuat atas rectus medial
antagonis dalam mata yang sama, yang mana mekanisme inhibisi tersebut dapat
terganggu akibat terjadinya lesi pada MLF.15 Selain itu, terdapat sebuah penjelasan
alternatif, dimana pasien-pasien INO yang mengalami keterlambatan abduksi,
nyata-nyatanya mengalami lesi-lesi pada pontin yang ekstensif, dimana hal lesi-
lesi yang terjadi tersebut tidak terbatas pada MLF saja, tetapi juga dapat
melibatkan lesi-lesi yang terjadi pada nukleus atau fasikulus n. abducens, atau
struktur-struktur lainnya.6,16

Manifestasi klinis atas lesi-lesi MLF tidak hanya terbatas berupa kelainan
horizontal saccades saja. MLF sendiri terbentuk dari berbeagai serabut-
serabut/jaras-jaras saraf yang memediasi berlangsungnya pergerakan mata ke arah
vertikal (pursuit, vestibular, and otolithic pathways); gangguan yang terjadi pada
pergerakan pandangan mata ke arah vertikal (vertical gaze) juga sering dijumpai
pada kasus-kasus INO.11,17,18 Gangguan vertical gaze yang terjadi seringkali
termanifestasi sebagai staircasing ductions yang mereda dengan dilakukannya
pergerakan horisontal. Pada pasien-pasien yang menderita INO bilateral dapat
dijumpai terjadinya gangguan vertical gaze holding yang signifikan, yang dapat
menyebabkan terjadinya primary-position atau gaze-evoked vertical nystagmus.
Berbeda halnya dengan abducting nystagmus dengan exponentially decaying slow
waveform, nistagmus vertikal pada INO memiliki pola gelombang yang khas
menyerupai gigi gergaji (typical saw-tooth waveform) yang ditimbulkan oleh
berlangsungnya mekanisme gaze holding yang tidak sufisien. Kerusakan yang
terjadi pada jaras-jaras utrikularis dalam MLF dapat menyebabkan terjadinya
ketidaksejajaran vertikal pada mata (vertical misalignment of the eyes), yang
termanifestasi dalam bentuk deviasi asimetris (skew deviation) atau
berlangsungnya full ocular tilt reaction (Gambar 5).

Pengukuran dan penilaian pergerakan mata yang tepat, dengan


menggunakan metode-metode tertentu, seperti okulografi menggunakan sinar
infra merah (infrared oculography), dapat digunakan sebagai modalitas untuk
mendeteksi dan mengetahui derajat INO dengan sangat akurat. Sehingga,
kedepannya modalitas tersebut menjadi standar baku (gold standard) yang dapat
memberikan akurasi pemeriksaan bahkan bagi pasien-pasien yang diharuskan
menjalani perawatan inap dan berada dalam kondisi yang lemah. 19 Dengan
menggunakan metode tersebut, Fohman dan koleganya menemukan bahwa kasus-
kasus INO derajat berat dapat dideteksi dengan akurat secara virtual oleh berbagai
klinisi (tanpa mempedulikan tingkatan pelatihan yang telah diperoleh), tetapi
diagnosis kasus-kasus INO derajat ringan seringkali (lebih banyak) terlewatkan
oleh sejumlah klinisi, dibandingkan dengan ahli neuro-oftalmologi yang telah
terlatih.

Sejumlah pengukuran dan perekaman metrik atas pergerakan mata telah


digunakan untuk menentukan kuantitas dan derajat INO. Diantaranya berupa
penggunaan versional dysconjugacy index (VDI), yang dapat membandingkan
kecepatan puncak abduksi (peak velocities for abduction) pada salah satu mata
dengan kecepatan puncak aduksi pada mata lainnya.20,21 Penggunaan medalitas
tersebut memberikan menfaat berupa minimalisasi kesalahan atas keberadaan
variasi-variasi intra- maupun inter-individual dari absolute saccade velocities
(sebagai contoh, dapat diakibatkan oleh faktor kelelahan). VDI yang diperoleh
juga dinilai dengan menggunakan sebuah analisis Z score dan histogram, dimana
metode tersebut merupakan metode statistik yang lebih baik dalam menentukan
dan membedakan hasil yang normal dengan hasil yang abnormal. 22 VDI
mengukur use velocity, bukannya mengukur amplitudo final yang seringkali
berada dalam nilai normal pada kasus-kasus INO. First-pass amplitude sendiri
digunakan unruk mengevaluasi rasio antara posisi abduksi dan aduksi mata
(abducting and adducting eye position) saat mata yang mengalami abduksi
(abducting eye) telah menyelesaikan saccade-nya.23 Dalam sejumlah studi terkini
dilakukan phase-plane analysis, dimana dilakukan plotting kecepatan mata (eye
velocity) secara langsung sebagai sebuah fungsi yang menentukan posisi mata,
serta dilakukan eliminasi efek-efek variasi temporal (temporal variations) yang
timbul.24 Derajat kuantitas Ino yang diperoleh bermanfaat untuk mengetahui efek-
efek dari kelelahan dan terjadinya fenomena Uhtoff, dan lebih penting lagi karena
dapat digunakan sebagai sebuah metode obyektif guna menentukan terapi-terapi
simtomatis yang dapat diberikan beserta evaluasinya.25

Pada pasien-pasien yang menderita INO seringkali dijumpai terjadinya


abnormalitas pada pons atau otak tengah yang dapat dideteksi melalui
pelaksanaan MRI.26 Frohman dan koleganya mempelajari sebanyak 58 pasien-
pasien MS dan INO dan menjumpai sensitivitas yang dimiliki oleh modalitas
pencitraan menggunakan densitas proton (proton density imaging), T2-weighted
imaging, dan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) imaging adalah sebesar
100%, 88%, dan 48%. Meskipun tidak disebutkan dengan cukup jelas dalam studi
tersebut, diketahui bahwa derajat keparahan INO berhubungan dengan temuan-
temuan yang dijumpai pada pemeriksaan MRI; kasus-kasus INO derajat ringan
memiliki normal rate yang lebih besar pada pemeriksaan MRI yang dilakukan.
Lebih lanjut, karena pasien-pasien MS yang tidak menderita INO tidak disertakan
dalam studi ini, maka spesifitas abnormalitas yang ditemukan pada MRI tidak
dapat diketahui dengan pasti. Pada beberapa kasus, temuan MRI yang
mengimplikasikan terjadinya abnormalitas pada regio tersebut seringkali tidak
berkorelasi dengan gejala klinis yang dialami pasien. Selain itu, terdapat
pengukuran INO dengan menggunakan jenis metode MRI lain, yakni yang dengan
menggunakan diffusion tensor imaging (DTI), dimana digunakan spatial
constraints of water diffusion allow yang dapat digunakan untuk menilai dan
mengevaluasi integritas dari berbagai traktus yang terdapat dalam substansi alba. 27
Fox dan koleganya menemukan terdapatnya korelasi yang adekuat antara derajat
keparahan INO (dinilai dengan menggunakan VDI) dengan rerata difusivitas
substansi alba pada MLF (mean white matter diffusivity in the MLF), dimana
temuan tersebut mengindikasikan bahwa DTI dapat digunakan sebagai modalitas
turunan dan penanda sekunder atas intregitas jaringan otak.

PALSY MOTORIK OKULER FASIKULARIS ATAU NUKLEARIS


(NUCLEAR OR FASCICULAR OCULAR MOTOR PALSY)

MS dapat menyebabkan terjadinya strabismus akuisita (acquired


strabismus) yang dapat termanifestasi sebagai palsy fasikularis atau nuklearis
salah satu dari tiga nervi okularis motorik, 16,28,29 Pada kasus palsy nervus ke-6, lesi
fasikuler yang terjadi menyebabkan terjadinya gangguan abduksi dari mata
ipsilateral, tetapi tidak mempengaruhi aduksi mata lainnya (Gambar 6). Meskipun
demikian, keberadaan sebuah lesi pada nukleus nervus ke-6, dapat menyebabkan
terjadinya ipsiversive gaze palsy, yang terdiri dari beberapa defisit abduksi
ipsilateral dan aduksi kontralateral. Dalam frekuensi yang lebih jarang,
keberadaan sebuah lesi pada pontine dapat juga berpengaruh terhadap nukleus
nervus ke-6 (atau pada PRRF) dan MLF ipsilateral. Efek yang disebabkan oleh
lesi tersebut berasal dari kombinasi ipsiversive gaze palsy dan INO ipsilateral
yang terjadi, dimana kondisi tersebut sering dikenal dengan istilah one-and-a-
half syndrome, dan satu-satunya pergerakan mata horisontal nyang tersisa (tetap
normal) hanya berupa abduksi dari mata kontralateral ketika melihat kearah lateral
(abduction of the contralateral eye on lateral gaze) (lihat Gambar 6).30,31

Pada kasus palsy nervus ke-3, keberadaan sebuah lesi fasikuler dapat
menyebabkan defisit parsial pada elevasi, depresi, aduksi, atau elevasi palpebra
pada mata ipsilateral.30 Dalam beberapa kasus yang jarang dijumpai, lesi-lesi
tersebut bersifat highly selective dan hanya menyebabkan terjadinya kelemahan
pada satu otot tunggal saja. Selain itu, terjadinya lesi diskrit (tak kentara) pada
fasikulus nervus ke-3 dapat menyebabkan kelainan yang menyerupai kasus
superior/inferior divisional nerve palsy (yang mana sering terlokalisasi pada sinus
kavernosa anterior atau orbita).32

Keberadaan sebuah lesi pada nervus ke-3 dapat menyebabkan terjadinya


kelemahan rectus superior bilateral (tentunya selain juga menyebabkan terjadinya
sejumlah defisit ipsilateral), karena serabut-serabut yang berasal dari subnukleus
rectus superior berjalan melalui nukleus kontralateral dan bergabung dengan
nervus kontralateralnya. Selain itu, palsy nukelaris nervus ke-3 seringkali dapat
menyebabkan terjadinya ptosis bilateral, karena nukleus kaudatus sental yang
tidak berpasangan tersebut (unpaired central caudal nucleus) menginervasi kedua
m. levator palpebrae.

Posisi normal kelopak mata diregulasi oleh keberadaan sejumlah input


yang diterima m. levator palpebrae. Motoneuron-motoneuron dari kedua m.
levator palpebrae berasal dari unpaired central caudate subnucleus (CCN) of the
ocular motor complex. Lesi-lesi yang terjadi pada fasikula tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya ptosis unilateral, yang seringkali menjadi defisit
tambahan atas berbagai defisit yang disebabkan oleh palsy parsial dari nervus ke-
3. CCN tersebut berada dibawah kontol dari sekelompok sel yang berada
didekatnya yang dikenal dengan nama M-group cells, yang memperoleh input
inhibitorik (tonic inhibitory inputs) dari nukleus komisuralis posterior. Disrupsi
yang terjadi terhadap penerimaan input-input tersebut pada bagian dorsal orak
tengah dapat menyebabkan terjadinya retraksi kelopak (tanda Collier). M-group
cells tersebut mengkopel dan memfasilitasi berlangsungnya kontraksi dari m.
levator palpebrae dan sejumlah otot okuler yang bekerja ke arah vertikal sesuai
dengan input yang berasal dari kolikuli superior.34 Lesi-lesi tertentu pada lokasi
tersebut dapat menyebabkan berlangsungnya disosiasi pergerakan mata dan
kelopak mata yang abnormal. Blefarospasme (kontraksi okuli orbikularis yang uat
dan involunter) dapat disebabkan oleh lesi-lesi MS yang terjadi pada batang otak,
dimana hal tersebut diperkirakan akibat denerasi supersensitivitas nukleus facialis
atau disinhibisi releks nervus facialis (denervation supersensitivity of the facial
nucleus or disinhibition of facial nerve relexes).35 Terjadinya belfaroklonus
disertai nyeri terutama yang melibatkan okuli orbikulasris juga dapat dijumpai
terjadi pada MS, diperkirakan kondisi tersebut perhubungan dengan penyebaran
impuls yang efatik (ephaptic spread of impulses). Meskipun demikian, dalam
sejumlah studi MRI yang mempelajari pasien-pasien tersebut tidak ditemukan
keberadaan lokalisasi lesi-lesi yang konsisten.36,37

Lesi pada nukleus nervus ke-4 atau fasikulus proksimal dapat


menyebabkan berlangsungnya hiperdeviasi mata kontralateral. Karena terdapatnya
kerja m. oblik superior, hiperdebiasi palsy n. ke-4 dapat ditemukan dalam derajat
yang paling besar ketika pasien melakukan contralateral gaze dan ketika
memiringkan kepala ke arah ipsilateral (ipsilateral head tilt). Dalam kasus yang
lebih jarang, keberadaan lesi soliter dapat menyebabkan berlangsungnya
kombinasi antara INO dengan palsi nervus ke-4 kontralateral, karena kedekatan
(proksimitas) anatomis MLF dengan nukleus dan fasikulus nervus ke-4 (Gambar
7).38

SKEW DEVIATION

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pada kasus INO dapat


ditemukan terjadinya skew deviation karena MLF sendiri tersusun dari beberapa
jaras utrikularis yang meregulasi posisi vertikal mata, yang juga diregulasi oleh
interneuron-interneuron yang berasal dari nukleus abducens menuju subnukleus
rectus medial (lihat Gambar 5). Pada sejumlah kasus dimana terjadi kerusakan
selektif pada jaras-jaras utrikularis, tetap dijumpai terjadinya skew deviation,
meskipun tidak disertai dengan terjadinya INO. Ketidakseimbangan input-input
utrikuler dapat menyebabkan terjadinya cyclovertical misalignment pada mata,
terutama disertai dengan berlangsungnya pola comitant vertical deviation yang
tidak mengikuti karakteristik pola yang terjadi baik pada kasus palsy nervus ke-3
maupun ke-4, dan dengan keberadaan sebuah lesi pada otak tengah, maka posisi
mata ipsilateral berada pada posisi yang lebih tinggi. Terutama, dapat dijumpai
terjadinya intorsio relatif dari mata yang lebih tinggi (karena intorsio dari mata
yang lebih tinggi lebih besar dibandingkan dengan intorsio yang terjadi pada mata
yang lebih rendah). Pada saat berlangsungnya ocular tilt reaction (OTR),
hiperdeviasi yang terjadi disertai dengan head tilt away dari mata yang berada
pada posisi lebih tinggi. Selain diplopia, sejumlah pasien-pasien yang mengalami
skew deviation atau OTR mendeskripsikan terjadinya tilting of the subjective
visual vertical.39

NISTAGMUS

Gaze holding yang normal dimediasi oleh sejumlah velocity-position


neural integrators; untuk horizontal gaze, struktur-struktur penting yang terlibat
terdapat dalam medula (nuklei vestibularis media dan nukleus prepositus
hipoglossus) dan untuk vertical gaze, terdapat pada otak tengah (nuklei Cajal
interstisial).40 Nuklei vestibularis superior juga diperkirakan turut berkontribusi
dalam vertical gaze holding via koneksi-koneksinya melalui MLF. Integrator-
integator neural tersebut memproyeksikan jaras-jaras yang berasal dari struktur
tersebut menuju tonsila serebelaris (flokulus dan paraflokulus) yang berfungsi
dalam fine-tune velocity-position coding dan meregulasi kelangsungan gaze
holding yang normal.

Disfungsi yang terjadi pada berbagai integrator neural tersebut dapat


menyebabkan terjadinya gangguan gaze holding dan menimbulkan
berlangsungnya nistagmus patologis. Salah satu pola nistagmus yang paling
umum dijumpai adalah gaze-evoked nystagmus. Gangguan gaze holding yang
lebih signifikan dapat mengakibatkan terjadinya primary position jerk nystagmus.
Downbeat nystagmus seringkali disebabkan oleh sebuah lesi serebelar atau
serviko-medularik yang mengganggu integritas proyeksi dari kanalis
semisirkularis posterior, sehingga menyebabkan terjadinya tonic upward deviation
pada mats yang disertai dengan berlangsungnya fast downward corrective
movements. Bertolak belakang dengan hal tersebut, upbeat nystagmus lebih jarang
dijumpai terjadi, dimana biasanya diakibatkan oleh lesi-lesi pada pontomedular
atau pontomesensefalik yang mengganggu keintakan proyeksi yang berasal dari
kanalis semisirkularis anterior. Rebound nystagmus merupakan sebuah istilah
yang digunakan untuk menyebut transient jerk nystagmus yang terjadi paska
peralihan dari eccentric gaze menuju primary position, yang disertai dengan fast
phase yang menjauhi arah lateral gaze sebelumnya. Acquired periodic alternating
nystagmus memiliki null point yang mengalami pergeseran (shifting null point)
dimana arah nistagmus akan mengalami perubahan setiap 90-120 detik dan
berlangsungnya periode istirahat (intervening rest period) selama 5-10 detik.41,42
Kondisi tersebut diperkirakan disebabkan oleh kerusakan pada pusat serebelar
yang bertanggungjawab dalam meregulasi velocity storage mechanisms dan
stabilitas dari vestibulo-ocular reflex (VOR). Terdapat suatu bentuk see-saw
nystagmus yang asimetris, yang disertai dengan keberadaan intorsio dan elevasi
salah satu mata dengan ekstorsi dan depresi sinkron pada mata lainnya yang dapat
disebabkan oleh lesi-lesi yang terjadi pada otak tengah yang mendisrupsi input-
input neural menuju vertical gaze-holding centers.43,44

Bentuk nistagmus yang umum lainnya berupa pendular nystagmus, yang


seringkali disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada interkoneksi antara
integrator-integrator neural pada batang otak dengan gaze-holding centers yang
terdapat pada tonsilae serebelar.45,46 Demielinasi dan keterlambatan konduksi yang
terjadi di sepanjang jaras-jaras tersebut, sering dijumpai pada kasus MS, dan dapat
mendisrupsi fungsi normalnya dengan signifikan, sehingga menyebabkan
berlangsungnya pola lecutan impuls spontan yang abnormal.Onset terjadinya
nistagmus biasanya sesuai dengan karakteristik dan lokasi yang terjadi selama
beberapa bulan pertama, dimana temuan tersebut menunjukkan bahwa
deaferensiasi neural yang terjadi turut berkontribusi dalam patofisiologi tersebut.
Kombinasi antara nistagmus penduler dengan temor palatal seringkali diakibatkan
oleh sebuah lesi yang berada dalam regio segitiga Gullain-Mollaret (didalamnya
terdapat nukleus dentata, pedunkulus serebelaris posterior, nukleus rubra, traktus
tegmentalis sentral, inferior olive, dan pedunkulus serebelaris inferior).47,48 Selain
itu, juga sering dijumpai terjadinya hipertrof inferior olivary hypertrophy yang
kentara pada pemeriksaan MRI. Gangguan penglihatan monokuler juga dapat
berkontribusi dalam berlangsungnya acquired dissociated pendular nystagmus.49

Terdapat beberapa obat-obatan yang tersedia untuk meredakan nistagmus


dan dapat memebrikan manfaat simtomatis yang signifikan bagi pasien-pasien
MS.50 Clonazepam, baclofen, gabapentin, dan memantine merupakan sejumlah
agen anti nistagmus yang pemberiannya dapat ditoleris dengan cukup baik dan
berperan efektif ketika diberikan pada beberapa pasien. 51 Sejauh ini, golongan
aminopiridin telah dipelajari guna mereduksi berbagai gejala yang diakibatkan
oleh MS,52 dan secara spesifik, dapat digunakan dalam mereduksi nistagmus yang
terjadi. Terdapat beberapa bentuk nistagmus patologis yang diperkirakan
diakibatkan oleh pereduksian inhibisi fisiologis dari nuklei serebelar oleh serabut-
serabut Purkinje serebelar, sementara golongan aminopiridin sendiri merupakan
agen K-channel blockers yang diduga dapat memfasilitasi aksi potensial sel-sel
Purkinje. Baik 4-aminopyridine53 maupun 3,4-diaminopyridine54 menunjukkan
terdapatnya efikasi penggunaannya dalam beberapa trial klinis yang dilakukan,
tetapi munculnya sejumlah efek samping seperti mual, muntah, dan kejang
membatasi penggunaan agen-agen tersebut.

SACCADIC ACCURACY

The accuracy of saccadic excursions is under the control of inputs from the
posterior fastigial nuclei and dorsal vermis in the cerebellum, which calibrate the
size of the saccadic pulse. Dysfunction of these pathways leads to saccadic
dysmetria; hypermetric saccades result from damage to the deep nuclei and
hypometric saccades result from damage to the vermis alone. Furthermore,
dysmetric saccades in one direction of gaze can occur from unilateral lesions.55
For example, a lesion of the inferior cerebellar peduncle (affecting the climbing
fibers) may cause contralateral hypometric saccades, which occurs because of
reduced stimulation of the ipsilateral fastigial nucleus, and consequently reduced
stimulation of the contralateral PPRF (Fig. 8). In contrast, a lesion of the Hook
bundle region near the superior cerebellar peduncle will cause contralateral
hypermetric saccades (Fig. 9).55 The reason for contralateral hypermetric
saccades is that fibers from the fastigial nucleus to th contralateral PPRF first
travel across the midline superiorly to circle the superior cerebellar peduncle
before descending to the PPRF.56

SACCADIC INTRUSIONS

Stable fixation is maintained by pause-cell neurons, which are located in the


pontine raphe between the two abducens nuclei. They prevent the occurrence of
unwanted saccadic pulses by tonically inhibiting the saccadic premotor burst
neurons in the PPRF and the midbrain. Dysfunction of pause cells leads to
extraneous saccades interrupting fixation. A square-wave jerk, for example, is a 1-
to 5_-movement away from and back to the primary position, with an inter-
saccadic latency of 150 to 200 milliseconds. Saccadic interruptions with a larger
excursion (up to 1040_) and a shorter inter-saccadic latency (up to 80
milliseconds) are termed macro squarewave jerks. When large saccadic intrusions
occur across the midline in a to-and-fro pattern, they are termed macro-saccadic
oscillations. In ocular flutter, back-to-back horizontal saccades occur without an
inter-saccadic latency. If the saccadic movements occur in the horizontal and
vertical planes, they are termed opsoclonus.30 In micro-saccadic flutter, low-
amplitude, back-to-back saccades occur but are generally seen only on
ophthalmoscopy or eye movement recordings.57
IMPAIRED SMOOTH PURSUIT AND IMPAIRED SUPPRESSION OF THE
VESTIBULO-OCULAR REFLEX

Smooth pursuit movements function to minimize retinal slippage of a moving


foveated target. They are generated by cortical and subcortical areas, including
V5/MST, the frontal eye fields, the dorsolateral pontine nucleus, the cerebellar
flocculus and dorsal vermis, the vestibular nuclei, and ultimately the ocular motor
nuclei. Lesions to these pathways are common in MS and often produce low-gain
pursuit, in which eye movements are disproportionately slower than the moving
target.58,59 Compensatory catch-up saccades are generated to reestablish visual
object tracking. In natural circumstances, head movements often accompany eye
movements to maintain fixation of a moving target. In this situation, the vestibulo-
ocular reflex must be suppressed to maintain fixation. Lesions of the cerebellar
flocculus commonly impair VOR cancellation, resulting in poor fixation of targets
during dynamic head and eye movements. Suppression of the VOR can be
assessed by having the subject view the thumb on their own outstretched arm
while rotating their chair. If VOR cancellation is deficient, the intact VOR causes
the eyes to drift opposite the direction of the head movement, and compensatory
catch-up saccades will occur.

IKHTISAR

Terdapat beberapa bentuk abnormalitas pergerakan mata yang umum


dijumpai terjadi pada pasien-pasien MS. Lesi-lesi demielinasi yang disebabkan
oleh MS dapat bersifat sangat selektif, seringkali terjadi pada berbagai
jaras/serabut saraf pada batang otak dan serebelar yang memiliki peranan krusial
dalam memediasi dan meregulasi pergerakan mata yang terkoordinasi, gaze
holding, dan kesejajaran okuler yang normal. Keterlambatan transmisi neural yang
terjadi di sepanjang jaras-jaras tersebut dapat mengakibatkan terjadinya INO,
palsy motorik okuler, ocular misalignment, nistagmus patologis, impaired
saccades, saccadic intrusions, maupun impaired pursuit. Dilakukannya
pemeriksaan neuro-oftalmika terinci dan komprehensif pada pasien-pasien MS
yang mengalami keluhan visual dapat berkontribusi bagi dihasilkannya diagnosis
yang benar dengan lokalisasi neuroanatomis yang sangat spesifik. Kemudian,
pelaksanaan evaluasi yang menyeluruh dapat digunakan sebagai dasar penentuan
terapi-terapi simtomatis dan dapat digunakan sebagai modalitas untuk memantau
dan memonitor progresi penyakit.

Anda mungkin juga menyukai