Anda di halaman 1dari 28

KETUBAN PECAH DINI

LAPORAN KASUS

disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik madya


SMF Ilmu Penyakit Obstetri dan Ginekologi RSD dr. Soebandi Jember

Oleh
Griselda Fortunata Susilo Putri
152010101007

Pembimbing
dr. Zaki Afif, Sp. OG

SMF ILMU PENYAKIT OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSD dr. SOEBANDI JEMBER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER
2019
BAB 1
PENDAHULUAN

Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum ada tanda-tanda
persalinan. Ketuban Pecah Dini dapat terjadi saat usia kehamilan 37 minggu atau lebih yang
lebih dikenal dengan KPD aterm atau premature rupture of membrane (PROM). Selain itu
KPD juga dapat terjadi saat usia kehamilan kurang dari 37 minggu yang dikenal dengan
istilah KPD preterm atau preterm premature rupture of membranes (PPROM) (POGI, 2016)
Insidensi ketuban pecah dini berkisar antara 8 % sampai 10 % dari semua
kehamilan.Pada kehamilan aterm insidensinya bervariasi antara 6% sampai 19 %, sedangkan
pada kehamilan preterm insidensinya 2 % dari semua kehamilan (Sualman, 2009).
Ketuban pecah dini belum diketahui penyebab pastinya, namun terdapat beberapa
kondisi internal ataupun eksternal yang diduga terkait dengan ketuban pecah dini. Yang
termasuk dalam faktor internal diantaranya usia ibu, paritas, polihidramnion, inkompetensi
serviks dan presentasi janin. Sedangkan yang termasuk dalam faktor eksternal adalah infeksi
dan status gizi. Infeksi dapat mengakibatkan ketuban pecah dini karena agen penyebab
infeksi tersebut akan melepaskan mediator inflamasi yang menyebabkan kontraksi uterus.
Hal ini dapat menyebabkan perubahan dan pembukaan serviks, serta pecahnya selaput
ketuban.
Kejadian KPD sering menjadi masalah yang diperhatikan dalam proses persalinan.
Hal ini karena dampak yang terjadi setelah KPD yaitu berpengaruh pada janin dan ibu.
Ketuban pecah dini sangat berpengaruh pada janin, walaupun ibu belum menunjukkan infeksi
tetapi janin mungkin sudah terkena infeksi karena infeksi intrauterin terjadi lebih dulu
sebelum gejala pada ibu dirasakan. Sedangkan pengaruh pada ibu karena jalan lahir telah
terbuka maka akan dijumpai infeksi intrapartal, infeksi puerpuralis, peritonitis dan septikemi
serta dry-labor. Selain itu terjadi kompresi tali pusat dan lilitan tali pusat pada janin. Hal ini
akan meninggikan mortalitas dan morbiditas perinatal (Kusuma, 2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) adalah selaput ketuban yang pecah sebelum adanya tanda
persalinan (Wiradharma et al., 2013). Ketuban pecah dini (KPD) atau Premature Rupture of
Membrane (PROM) merupakan keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan,
apabila ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 37 minggu, maka disebut sebagai ketuban
pecah dini prematur atau Preterm Premature Rupture of Membrane (PPROM) (Putra dan
Utami, 2017).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput sebelum terdapat tanda tanda persalinan
mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi inpartu terjadi pada pembukaan< 4 cm yang dapat
terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang waktu. Hal ini dapat terjadi pada akhir
kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum
usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam
sebelum waktunya melahirkan.

2.2 Fisiologi

Selaput amnion merupakan lapisan paling dalam dari plasenta, terdiri dari tiga
lapisan: lapisan epitel, selaput basal yang tebal yang mengandung kolagen tipe IV, V, VII,
fibronektin dan laminin, dan stroma yang tidak mengandung pembuluh darah. Selain itu
selaput amnion juga mengandung berbagai macam faktor pertumbuhan, seperti epidermal
growth factor (EGF), keratinocyte growth factor (KGF), hepatocyte growth factor (HGF),
fibroblast growth factor (FGF), transforming growth factor-α (TGF-α), dan transforming
growth factor-β (TGF-β) (Retno et al., 2008).
Dua belas hari setelah ovum dibuah, terbentuk suatu celah yang dikelilingi amnion
primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah tersebut melebar dan amnion
disekelilingnya menyatu dengan mula-mula dengan body stalk kemudian dengan korion yang
akhirnya menbentuk kantung amnion yang berisi cairan amnion. Cairan amnion, normalnya
berwarna putih, agak keruh serta mempunyai bau yang khas agak amis dan manis. Cairan ini
mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan tuannya kehamilan akan menurun dari
1,025 menjadi 1,010. Asal dari cairan amnion belum diketahui dengan pasti, dan masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut. Diduga cairan ini berasal dari lapisan amnion
sementara teori lain menyebutkan berasal dari plasenta.Dalam satu jam didapatkan
perputaran cairan lebih kurang 500 m2.
Amnion atau selaput ketuban merupakan membran internal yang membungkus janin
dan cairan ketuban. Selaput ini licin, tipis, dan transparan. Selaput amnion melekat erat pada
korion (sekalipun dapat dikupas dengan mudah). Selaput ini menutupi permukaan fetal pada
plasenta sampai pada insertio tali pusat dan kemudian berlanjut sebagai pembungkus tali
pusat yang tegak lurus hingga umbilikus janin. Sedangkan korion merupakan membran
eksternal berwarna putih dan terbentuk dari vili-vili sel telur yang berhubungan dengan
desidua kapsularis. Selaput ini berlanjut dengan tepi plasenta dan melekat pada lapisan
uterus.

Gambar 2.2. Gambaran Histologis Lapisan Selaput Amnion

Dalam keadaan normal jumlah cairan amnion pada kehamilan cukup bulan sekitar
1000-1500 cc, keadaan jernih agak keruh, steril, bau khas, agak manis, terdiri dari 98%-99%
air, 1-2 % garam anorganik dan bahan organik (protein terutama albumin), runtuhan rambut
lanugo, verniks kaseosa, dan sel-sel epitel dan sirkulasi sekitar 500cc/jam.
Minggu Taksiran Plasenta Cairan Persen
gestasi Berat anin Amnion Cairan
16 100 100 200 50
28 1000 200 1000 45
36 2500 400 900 24
40 3300 500 800 17
Tabel 2.1 Jumlah Cairan Amnion

Fungsi cairan amnion


1. Proteksi : Melindungi janin terhadap trauma dari luar
2. Mobilisasi : Memungkinkan ruang gerak bagi bayi
3. Hemostatis : Menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (Ph)
4. Mekanik : Menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruang intrauteri
5. Pada persalinan, membersihkan atau melicinkan jalan lahir dengan cairan steril sehingga
melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir

Pecahnya selaput ketuban saat persalinan disebabkan oleh melemahnya selaput


ketuban karena kontraksi uterus dan peregangan yang berulang. Daya regang ini dipengaruhi
oleh keseimbangan antara sintesis dan degradasi komponen matriks ekstraseluler pada selaput
ketuban (Kusuma, 2013).
Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan seperti penurunan jumlah
jaringan kolagen dan terganggunya struktur kolagen, serta peningkatan aktivitas
kolagenolitik. Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks metaloproteinase
(MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang dapat memecah komponen-komponen
matriks ektraseluler. Enzim tersebut diproduksi dalam selaput ketuban. MMP-1 dan MMP-8
berperan pada pembelahan triple helix dari kolagen fibril (tipe I dan III), dan selanjutnya
didegradasi oleh MMP-2 dan MMP-9 yang juga memecah kolagen tipe IV. Pada selaput
ketuban juga diproduksi penghambat metaloproteinase/ tissue inhibitor
metalloproteinase(TIMP). TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-1, MMP-8, MMP-9 dan
TIMP-2menghambat aktivitas MMP-2. TIMP-3 dan TIMP-4 mempunyai aktivitas yang sama
dengan TIMP-1 (Kusuma, 2013).
Keutuhan dari selaput ketuban tetap terjaga selama masa kehamilan oleh karena
aktivitas MMP yang rendah dan konsentrasi TIMP yang relatif lebih tinggi. Saat mendekati
persalinan keseimbangan tersebut akan bergeser, yaitu didapatkan kadar MMP yang
meningkat dan penurunan yang tajam dari TIMP yang akan menyebabkan terjadinya
degradasi matriks ektraseluler selaput ketuban. Ketidakseimbangan kedua enzim tersebut
dapat menyebabkan degradasi patologis pada selaput ketuban. Aktivitas kolagenase diketahui
meningkat pada kehamilan aterm dengan ketuban pecah dini. Sedangkan pada preterm
didapatkan kadar protease yang meningkat terutama MMP-9 serta kadar TIMP-1 yang rendah
(Kusuma, 2013).
Terjadinya gangguan nutrisi merupakan salah satu faktor predisposisi adanya
gangguan pada struktur kolagen yang diduga berperan dalam ketuban pecah dini.
Mikronutrien lain yang diketahui berhubungan dengan kejadian ketuban pecah dini adalah
asam askorbat yang berperan dalam pembentukan struktur triple helix dari kolagen. Zat
tersebut kadarnya didapatkan lebih rendah pada wanita dengan ketuban pecah dini. Pada
wanita perokok ditemukan kadar asam askorbat yang rendah (Kusuma, 2013).

2.3 Etiologi

Penyebab ketuban pecah dini masih belum dapat diketahui dan tidak dapat ditentukan
secara pasti. Adapun yang menjadi faktor risiko menurut (Rukiyah, 2010; Manuaba, 2009;
Winkjosastro, 2011) adalah :
1. Infeksi
Infeksi, yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban dari vagina atau infeksi
pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Penelitian
menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama ketuban pecah dini. Membrana khorioamniotik
terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi
maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas
enzim kolagenolitik. Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan pada persalinan preterm
dengan ketuban pecah dini. Grup B streptococcus merupakan mikroorganisme yang sering
menyebabkan amnionitis.
2. Serviks yang inkompeten
Inkompetensi serviks (leher rahim) adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-
otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka
ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar.
Inkompetensi serviks adalah serviks dengan suatu kelainan anatomi yang nyata, disebabkan
laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau merupakan suatu kelainan kongenital pada
serviks yang memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules
dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan
penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba, 2009).

Gambar 2.1 Serviks pada Kehamilan

3. Peninggian Tekanan Intrauterine,


Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini, misalnya : Trauma (hubungan seksual,
pemeriksaan dalam, amniosintesis), Gemelli (Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua
janin atau lebih). Pada kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya
berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban) relatif kecil sedangkan
dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan
mudah pecah.

4. Kelainan letak janin


Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi
pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
5. Makrosomia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan makrosomia
menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi dan menyebabkan tekanan
pada intra uterin bertambah sehingga menekan selaput ketuban, menyebabkan selaput
ketuban menjadi teregang,tipis, dan kekuatan membran menjadi berkurang, menimbulkan
selaput ketuban mudah pecah.

6. Hidramnion atau Polihidroamnion


Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL. Uterus
dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis adalah
peningkatan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume
tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa
hari saja (Winkjosastro, 2011). Hidramnion dapat terjadi pada kasus anensefalus, atresia
esophagus, gemeli, dan ibu yang mengalami diabetes melitus gestasional. Ibu dengan
diabetes melitus gestasional akan melahirkan bayi dengan berat badan berlebihan pada semua
usia kehamilan sehingga kadar cairan amnion juga akan berlebih.

7. Multipara, Grandemultipara, pada Kehamilan yang Terlalu Sering


Multipara, grandemultipara, pada kehamilan yang terlalu sering akan mempengaruhi
proses embriogenesis sehingga selaput ketuban yang terbentuk akan lebih tipis dan yang akan
menyebabkan selaput ketuban pecah sebelum tanda – tanda inpartu. Selain itu konsistensi
serviks pada persalinan sangat mempengaruhi terjadinya ketuban pecah dini. Pada multipara
dengan konsistensi serviks yang tipis, kemungkinan terjadinya ketuban pecah dini lebih besar
dengan adanya tekanan intrauterin pada saat persalinan. Konsistensi serviks yang tipis dengan
proses pembukaan serviks pada multipara (mendatar sambil membuka hampir sekaligus)
dapat mempercepat pembukaan serviks sehingga dapat beresiko ketuban pecah sebelum
pembukaan lengkap. Ibu yang telah melahirkan beberapa kali lebih berisiko mengalami KPD,
oleh karena vaskularisasi pada uterus mengalami gangguan yang mengakibatkan jaringan ikat
selaput ketuban mudah rapuh dan akhirnya pecah spontan.

8. Usia ibu
Menurut Mundi (2007) umur dibagi menjadi 3 kriteria yaitu < 20 tahun, 20-35 tahun
dan > 35 tahun. Usia reproduksi yang aman untuk kehamilan dan persalinan yaitu usia 20-35
tahun (Winkjosastro, 2011). Pada usia ini alat kandungan telah matang dan siap untuk
dibuahi, kehamilan yang terjadi pada usia < 20 tahun atau terlalu muda sering menyebabkan
komplikasi/ penyulit bagi ibu dan janin, hal ini disebabkan belum matangnya alat reproduksi
untuk hamil, dimana rahim belum bisa menahan kehamilan dengan baik, selaput ketuban
belum matang dan mudah mengalami robekan sehingga dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini. Sedangkan pada usia yang terlalu tua atau > 35 tahun memiliki resiko
kesehatan bagi ibu dan bayinya (Winkjosastro, 2011). Keadaan ini terjadi karena otot-otot
dasar panggul tidak elastis lagi sehingga mudah terjadi penyulit kehamilan dan persalinan.
Salah satunya adalah perut ibu yang menggantung dan serviks mudah berdilatasi sehingga
dapat menyebabkan pembukaan serviks terlalu dini yang menyebabkan terjadinya ketuban
pecah dini. Cunningham et all (2006) yang menyatakan bahwa sejalan dengan bertambahnya
usia maka akan terjadi penurunan kemampuan organ- organ reproduksi untuk menjalankan
fungsinya, keadaan ini juga mempengaruhi proses embryogenesis, kualitas sel telur juga
semakin menurun, itu sebabnya kehamilan pada usia lanjut berisiko terhadap perkembangan
yang janin tidak normal, kelainan bawaan, dan juga kondisi-kondisi lain yang mungkin
mengganggu kehamilan dan persalinan seperti kelahiran dengan ketuban pecah dini.

9. Riwayat Ketuban Pecah Dini


Riwayat KPD sebelumnya berisiko 2-4 kali mengalami KPD kembali. Patogenesis
terjadinya KPD secara singkat ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam
membran sehingga memicu terjadinya KPD aterm dan KPD preterm terutama pada pasien
risiko tinggi. Wanita yang mengalami KPD pada kehamilan atau menjelang persalinan maka
pada kehamilan berikutnya akan lebih berisiko mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari
pada wanita yang tidak mengalami KPD sebelumnya, karena komposisi membran yang
menjadi mudah rapuh dan kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan
berikutnya (Cunningham, 2006).

2.4 Patofisiologi

Mekanisme KPD menurut Manuaba (2010) antara lain :


1. Terjadinya prematur serviks.
2. Membran terkait dengan pembukaan terjadi
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan adanya infeksi yang
mencegah enzim proteolitik dan enzim kolagenase.

Gambar 2.3 Patofisiologi PROM


Matriks metalloprotease (MMP) adalah kumpulan proteinase yang terlibat dalam
remodeling tissue dan degenerasi kolagen. MMP – 2, MMP – 3, dan MMP– 9 ditemukan
dengan konsentrasi tinggi pada kehamilan dengan ketuban pecah dini. Aktivasi protease ini
diregulasi oleh tissue inhibitor of matrixmetalloprotease (TIMPs). TIMPs ini pula rendah
dalam cairan amnion pada wanita dengan ketuban pecah dini. Peningkatan enzim protease
dan penurunan inhibitor mendukung bahwa enzim ini mempengaruhi kekuatan membran fetal
(Sabarudin et al., 2011).
Selain itu terdapat teori yang mengatakan meningkatnya marker-marker apoptosis
dimembran fetal pada ketuban pecah dini berbanding dengan membran pada kehamilan
normal. Banyak penelitian yang mengatakan aktivasi aktivitas degenerasi kolagen dan
kematian sel yang membawa kelemahan pada dinding membran fetal (Sabarudin et al., 2011).

2.5 Klasifikasi
a. Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia <37 minggu sebelum
onset persalinan. KPD sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu
antara 24 sampai kurang dari 34 minggu, sedangkan KPD preterm saat umur
kehamilan ibu antara 34 minggu sampai kurang 37 minggu. Definisi preterm
bervariasi pada berbagai kepustakaan, namun yang paling diterima dan tersering
digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu.
b. KPD pada Kehamilan Aterm Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes
(PROM) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal
pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1 (+) pada usia kehamilan ≥ 37 minggu.

2.6 Diagnosis

Penegakan diagnosis pada ketuban pecah dini antara lain sebagai berikut (POGI,
2016):
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan seperti
urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah dari
vaginanya atau mengeluarkan cairan banyak dari jalan lahir.Keluar air-air (bening keputihan
mengandung verniks kaseosa), tidak ada nyeri maupun kontak uterus. Jika sudah terjadi
infeksi intarpartum ( misalnya amnionitis) didapat keluhan demam tinggi, nyeri abdomen dan
keluar cairan pervagianam berbau
2. Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah,
dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini akan makin jelas.
3. Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam seperti
vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi, cairan yang keluar dari vagina perlu
diperiksa : warna, bau, dan PH nya, yang dinilai adalah
 Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari serviks. Dilihat
juga prolaps tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari amnion yang khas juga harus
diperhatikan.
 Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung diangnosis KPD.
Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien untuk batuk untuk memudahkan
melihat pooling.
 Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test. Kertas lakmus akan
berubah menjadi biru jika PH 6 – 6,5. Sekret vagina ibu memiliki PH 4 – 5, dengan kerta
nitrazin ini tidak terjadi perubahan warna. Kertas nitrazin ini dapat memberikan positif
palsu jika tersamarkan dengan darah, semen atau vaginisis trichomiasis.

4. Mikroskopis (tes pakis).

Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar dapat dilakukan pemeriksaan
mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks posterior. Cairan diswab dan dikeringkan
diatas gelas objek dan dilihat dengan mikroskop. Gambaran “ferning” menandakan cairan
amnion

Gambar 2.6 Gambaran "ferning"


5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk chlamydia, gonnorhea, dan stretococcus group B.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai indeks
cairan amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan amnion yang
berkurang tanpa adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin
terhambat (PJT) maka kecurigaan akan ketuban pecah sangatlah besar, walaupun normalnya
volume cairan ketuban tidak menyingkirkan diagnosis. Selain itu USG dapat digunakan untuk
menilai taksiran berat janin, usia gestasi dan presentasi janin, dan kelainan kongenital janin.

b. Pemeriksaan laboratorium
Pada beberapa kasus, diperlukan tes laboratorium untuk menyingkirkan kemungkinan
lain keluarnya cairan/ duh dari vagina/ perineum. Jika diagnosis KPD aterm masih belum
jelas setelah menjalani pemeriksaan fisik, tes nitrazin dan tes fern, dapat dipertimbangkan.
2.8 Komplikasi
a. Komplikasi Ibu

Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin. Infeksi tersebut
dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis. Pada
sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami endomyometritis
purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak ada yang meninggal dunia (POGI, 2016).
Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan terapi
antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka mortalitas belum
diketahui secara pasti. 40,9% pasien yang melahirkan setelah mengalami KPD harus dikuret
untuk mengeluarkan sisa plasenta,, 4% perlu mendapatkan transfusi darah karena kehilangan
darah secara signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai kematian ibu ataupun morbiditas
dalam waktu lama (POGI, 2016).

b. Komplikasi Janin
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih awal. Periode
laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai persalinan secara umum
bersifat proporsional secara terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi. Sebagai
contoh, pada sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95% pasien akan
mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis terhadap studi yang
mengevaluasi pasien dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak 22 persen memiliki periode
laten 4 minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus yang lahir hidup dapat mengalami
sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, necrotizing enterocolitis,
gangguan neurologi, perdarahan intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan(POGI,
2016).

2.8 Tata Laksana

Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan


morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau akibat
kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu. Prinsipnya penatalaksanaan ini
diawali dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter kemudian
melakukan penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses
kematangan organ janin, dan bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan
persalinan maupun tokolisis (POGI, 2016).
Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan
ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa intervensi,
sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan.
Berikut ini adalah tatalaksana yang dilakukan pada KPD berdasarkan masing-masing
kelompok usia kehamilan (POGI, 2016).

2.8.1 Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu


Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm didapatkan bahwa
morbiditas minor neonatus seperti hiperbilirubinemia dan takipnea transien lebih besar
apabila ibu melahirkan pada usia tersebut dibanding pada kelompok usia lahir 36 minggu.
Morbiditas mayor seperti sindroma distress pernapasan dan perdarahan intraventrikular tidak
secara signifikan berbeda (level of evidence III). Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa
mempertahankan kehamilan adalah pilihan yang lebih baik. (Lieman JM 2005) Ketuban
Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu. Pada usia kehamilan antara 30-34 minggu,
persalinan lebih baik daripada mempertahankan kehamilan dalam menurunkan insiden
korioamnionitis secara signifikan (p<0.05, level of evidence Ib). Tetapi tidak ada perbedaan
signifikan berdasarkan morbiditas neonatus. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa
persalinan lebih baik dibanding mempertahankan kehamilan (POGI, 2016).

2.8.2 Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu


Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis (level of evidence Ib). Tidak ada perbedaan
signifikan terhadap kejadian respiratory distress syndrome. Pada saat ini, penelitian
menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan lebih buruk dibanding melakukan
persalinan (POGI, 2016).

2.8.3 Ketuban Pecah Dini Memanjang


Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm. Dibuktikan dengan 22
uji meliputi lebih dari 6000 wanita yang mengalami KPD preterm, yang telah dilakukan
meta-analisis (level of evidence Ia). Terdapat penurunan signifikan dari korioamnionitis (RR
0,57;95% CI 0,37-0,86), jumlah bayi yang lahir dalam 48 jam setelah KPD` (RR 0,71; 95%
0,58-0,87), jumlah bayi yang lahir dalam 7 hari setelah KPD (RR 0,80; 95% ci 0,71-0,90),
infeksi neonatal (rr 0,68;95% ci 0,53-0,87), dan jumlah bayi dengan USG otak yang
abnormal setelah keluar dari RS (rr 0,82; 95% ci 0,68-0,98). Sehingga dapat disimpulkan
bahwa administrasi antibiotik mengurangi morbiditas maternal dan neonatal dengan menunda
kelahiran yang akan memberi cukup waktu untuk profilaksis dengan kortikosteroid prenatal.
Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan neonatal necrotizing enterocolitis
sehingga antibiotik ini tidak disarankan. Pemberian eritromisin atau penisilin adalah pilihan
terbaik.Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan digunakan bila KPD memanjang (> 24
jam) (POGI, 2016).

Gambar 2.4 Pilihan Antibiotik pada KPD >24 jam

2.8.4 Manajemen Aktif


Pada kehamilan >= 37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun demikian, jika
pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai. Lamanya waktu manajemen
ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien dan keputusan dibuat berdasarkan keadaan per
individu. Induksi persalinan dengan prostaglandin pervaginam berhubungan dengan
peningkatan risiko korioamnionitis dan infeksi neonatal bila dibandingkan dengan induksi
oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih dipilih dibandingkan dengan prostaglandin pervaginam
untuk induksi persalinan pada kasus KPD (POGI, 2016).
Kemajuan pada pelayanan maternal dan manajemen PPROM pada batas yang viable
dapat mempengaruhi angka survival; meskipun demikian untuk PPROM <24 minggu usia
gestasi morbiditas fetal dan neonatal masih tinggi. Konseling kepada pasien untuk
mengevaluasi pilihan terminasi (induksi persalinan) atau manajemen ekspektatif sebaiknya
juga menjelaskan diskusi mengenai keluaran maternal dan fetal dan jika usia gestasi 22-24
minggu juga menambahkan diskusi dengan neonatologis. Beberapa studi yang berhubungan
dengan keluaran/ outcomes, diperumit dengan keterbatasan sampel atau faktor lainnya.
Beberapa hal yang direkomendasikan ) (POGI, 2016).:
a. Konseling pada pasien dengan usia gestasi 22-25 minggu menggunakan Neonatal
Research Extremely Preterm Birth Outcome Data.
b. Jika dipertimbangkan untuk induksi persalinan sebelum janin viable, tatalaksana
merujuk kepada Intermountain’s Pregnancy Termination Procedure.
3

Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD preterm telah dibuktikan
manfaatnya dari 15 RCT yang meliputi 1400 wanita dengan KPD dan telah disertakan dalam
suatu metaanalisis. Kortikosteroid antenatal dapat menurunkan risiko respiratory distress
syndrome (RR 0,56; 95% CI 0,46-0,70), perdarahan intraventrikkular (RR 0,47; 95% CI 0,31-
0,70) dan enterokolitis nekrotikan (RR 0,21; 95% CI 0,05-0,82), dan mungkin dapat
menurunkan kematian neonatus (RR0,68; 95% ci 0,43-1,07) ) (POGI, 2016).
2
Tokolisis pada kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan. Tiga uji teracak 235
pasien dengan KPD preterm melaporkan bahwa proporsi wanita yang tidak melahirkan 10
hari setelah ketuban pecah dini tidak lebih besar secara signifikan pada kelompok yang
menerima tokolisis (levels of evidence Ib) (POGI, 2016).
Gambar 2.5 Algoritma Penatalaksaan Ketuban Pecah Dini
Gambar 2.6 Medikamentosa yang digunakan pada KPD

2.8.5 Penatalaksanaan Komplikasi


Kortikosteroid (betametason 12 mg IM 2x 24 jam) diberikan kepada perempuan
dengan persalinan prematur sebelumnya pada 24-<34 minggu efektif dalam mencegah
sindrom distres pernapasan, perdarahan intraventrikel, enterokolitis nekrotikans dan
mortalitas neonatal (POGI, 2016).
Satu tahap kortikosteroid ekstra sebaiknya dipertimbangkan jika beberapa minggu
telah berlalu sejak pemberian awal kortikosteroid dan adanya episode baru dari KPD preterm
atau ancaman persalinan prematur pada usia gestasi awal. Satu tahapan tambahan
betametason terdiri dari 2x12 mg selang 24 jam, diterima pada usia gestasi <33 minggu,
minimal 14 hari setelah terapi pertama, yaitu saat usia gestasi <30 minggu, berhubungan
dengan penurunan sindrom distres pernapasan, bantuan ventilasi, penggunaan surfaktan, dan
morbiditas neonatal. Akan tetapi, pemberian kortikosteroid lebih dari dua tahap harus
dihindari (POGI, 2016).
Pemberian magnesium sulfat intravena (dosis awal 6 gram selama 20-30 menit, diikuti
dosis pemeliharaan 2 gram/ jam) pada 24-<32 minggu segera dalam 12 jam sebelum
persalinan prematur berhubungan dengan penurunan insidens serebral palsi secara signifikan
(POGI, 2016).
Tokolitik sebaiknya tidak digunakan tanpa penggunaan yang serentak dengan
kortikosteroid untuk maturasi paru-paru. Semua intervensi lain untuk mencegah persalinan
prematur, meliputi istirahat total, hidrasi, sedasi dan lain-lain tidak menunjukkan keuntungan
dalam manajemen persalinan prematur (POGI, 2016).
Pada neonatus prematur, penundaan klem tali pusar selama 30-60 detik (maksimal
120 detik) berhubungan dengan angka transfusi untuk anemia, hipotensi, dan perdarahan
intraventrikel yang lebih sedikit dibandingkan dengan klem segera (< 30 detik) (POGI, 2016).

2.9 Prognosis

Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat kehamilan, lebih
sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi yang lahir antara 34 dan 37
minggu mempunyai komplikasi yang tidak serius dari kelahiran prematur (POGI, 2016).
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. S
Umur : 27 Tahun
Suku : Jawa
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Dsn Plalangan Jatian Pakusari Jember
MRS : 23 Mei 2019
Tanggal Pemeriksaan : 23 Mei 2019

3.2 Anamnesis

Pasien datang ke PONEK IGD RSD dr. Soebandi dari Puskesmas Pakusari jam
00.37 dengan G1P0000Ab000 part 38-39 mgg J/T/H + PROM.
a. Keluhan Utama : Keluar cairan dari jalan lahir
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merasa hamil 9 bulan. Pasien mengeluh kenceng-kenceng disertai keluar cairan
dari jalan lahir sejak 22 Mei 2019 pukul 21.00. Kemudian pasien dibawa ke puskesmas
pukul 23.00. Di puskesmas pasien diperiksa dalam didapatkan VT terdapat bukaan
2cm. Kemudian pukul 00.37 tanggal 23 Mei 2019 pasien dirujuk ke RSD dr. Soebandi
Jember karena KPD.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi : disangkal
Diabetes mellitus : disangkal
Asma : disangkal
Alergi : disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Hipertensi : disangkal
Diabetes mellitus : disangkal
Asma : disangkal
Alergi : disangkal
e. Riwayat Haid
Menarche : 12 tahun
Siklus : ± tiap 28 hari, teratur
Lama : 7 hari
Dismenorhea : tidak merasa nyeri selama haid
HPHT : 20 Agustus 2018
HPL : 27 Mei 2019
f. Riwayat Perkawinan
Menikah : 1 kali
Lama menikah : 1 tahun
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
1. Hamil ini
h. Riwayat KB
disangkal
i. Riwayat Sosial
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pola makan pasien sehari-hari baik dan
teratur. Pasien mengaku tidak memiliki kecenderungan mengonsumsi jenis makanan
tertentu. Pasien tidak memiliki kebiasaan minum alkohol dan merokok. Hubungan
pasien dengan keluarga serta lingkungan sekitar baik.
3.3 Pemeriksaan Umum

Tinggi badan : 153 cm


Berat badan : 51 kg
Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/76 mmHg
Nadi : 86x / menit
Suhu (axiller) : 36,5 °C
RR : 20x / menit

3.4 Pemeriksaan Fisik

a. Status Generalis
Kepala : Oedem kelopak mata - / -
Konjunctiva anemis - / -
Sclera icterus - / -
Sianosis (-)
Dyspnea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
Thorax : Bentuk normal, gerak simetris +/+, retraksi -/-
Pulmo : Suara nafas Simetris +/+, vesikuler +/+, Rhonkhi -/- , Wheezing -/-
Cor : S1S2 tunggal, extra systole (-), gallop (-), murmur (-)
Abdomen : BU (+) dalam batas normal
Ekstremitas : akral hangat + + oedema - -
+ + - -

b. Status Obstetri
Mammae : kolostrum (-), hiperpigmentasi areola mammae, penonjolan glandula
mammae (-)
Abdomen : Inspeksi : Cembung, BSC (-), BSO (-)
Auskultasi : DJJ (+) 144x/menit
Perkusi : Redup (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), TFU 29 cm (3 jari di
bawah pusat ), punggung kanan, letak bujur dengan
presentasi kepala, belum masuk pintu atas panggul
(PAP). His 2x10x30”
Genitalia : VT ø 2 cm, efficement 25%, ketuban (-), letak kepala, bidang
Hodge 1, posisi porsio medial dengan konsistensi lunak, denominator
Sulit dievaluasi, ukuran panggul dalam batas normal
TBJ : 2790 gr

3.5 Resume

Ibu usia 27 tahun datang ke PONEK IGD RSD dr. Soebandi dari Puskesmas
Pakusari jam 00.37 dengan G1P0000Ab000 part 38-39 mgg J/T/H + PROM. Pasien
merasa hamil 9 bulan. Pasien mengeluh kenceng-kenceng disertai keluar cairan dari
jalan lahir sejak 22 Mei 2019 pukul 21.00. Kemudian pasien dibawa ke puskesmas
pukul 23.00. Di puskesmas pasien diperiksa dalam didapatkan VT terdapat bukaan
2cm. Kemudian pukul 00.37 tanggal 23 Mei 2019 pasien dirujuk ke RSD dr. Soebandi
Jember karena KPD. TTV: TD 120/76 mmHg, Nadi 86 x/menit, RR 20x/menit, Tax :
36,5°C. Abdomen: TFU 29 cm, puka, preskep, kepala HI, His 2x10x30”, DJJ (+) 144
x/menit. Genitalia: VT ø 2cm, efficement 25%, ketuban (-), letak kepala, kepala HI,
denominator sulit dievaluasi.
3.6 Diagnosis Kerja
G1P0000Ab000 part 38-39 mgg J/T/H + PROM.

3.7 Planning

 Edukasi :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kondisi pasien, tindakan
yang dilakukan, serta prognosisnya
 Diagnostik :
 DL
 USG
 TTV
 NST
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 Terapi :
 Injeksi Ceftriaxone 2x1 gr
 Usul Oxytosin drip 5 iu dalam 500cc RL dengan 8 tpm, naik 4 tpm/30
menit
 Pro Terminasi berdasarkan NST
 Monitoring :
 Keluhan pasien
 TTV
 USG

3.8. Observasi

 Soap 23/5/2019 pukul 01.05


S/ kenceng- kenceng dan keluar cairan dari jalan lahir
O/ Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu (axiller) : 36,5 °C
RR : 20x/menit
Kepala : Oedem kelopak mata -/-, Konjunctiva anemis -/-, Sclera
icterus - / -, Sianosis (-), Dyspnea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
Thorax : Bentuk normal, gerak simetris +/+, retraksi -/-
Pulmo : Simetris +/+, vesikuler +/+, Rhonkhi -/- , Wheezing -/-
Cor : S1S2 tunggal, extra systole (-), gallop (-), murmur (-)

Abdomen : Inspeksi : Cembung, BSC (-), BSO (-)


Auskultasi : DJJ (+) 152x/menit
Perkusi : Redup (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), TFU 29 cm,
punggung kanan, letak bujur dengan presentasi kepala, masuk
pintu atas panggul (PAP). His 2x10x30”
Genitalia : VT ø 2 cm, efficement 25%, ketuban (-), letak kepala, bidang
Hodge 1, posisi porsio medial dengan konsistensi lunak,
denominatior Sulit dievaluasi, ukuran panggul dalam batas
normal
TBJ : 2790 gr

Ekstremitas : akral hangat + + oedema - -

+ + - -

A/ G1P0000Ab000 part` 38-39 mgg J/T/H + PROM

P/ - Pro terminasi
- Injeksi ceftriaxone 2x1 gr
- Usul Oxytosin drip 5 iu dalam 500cc RL dengan 8 tpm, naik 4 tpm/30 menit

 Soap 10/4/2019 pukul 03.30


S/ pasien ingin meneran
O/ Keadaan umum : Cukup
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 92x/menit
Suhu (axiller) : 36,5 °C
RR : 20x/menit
Kepala : Oedem kelopak mata -/-, Konjunctiva anemis -/-, Sclera
icterus - / -, Sianosis (-), Dyspnea (-)
Leher : Pembesaran KGB (-), Bendungan Vena Leher (-)
Thorax : Bentuk normal, gerak simetris +/+, retraksi -/-
Pulmo : Simetris +/+, vesikuler +/+, Rhonkhi -/- , Wheezing -/-
Cor : S1S2 tunggal, extra systole (-), gallop (-), murmur (-)

Abdomen : Inspeksi : Cembung, BSC (-), BSO (-)


Auskultasi : DJJ (+) 154x/menit
Perkusi : Redup (+)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-), TFU 29 cm,
punggung kanan, letak bujur dengan presentasi kepala, masuk
pintu atas panggul (PAP). His 3.10.35”
Genitalia : VT ø 10 cm, efficement 100%, ketuban (-), letak kepala,
bidang Hodge 3, posisi porsio medial dengan konsistensi lunak,
denominatior uuk, ukuran panggul dalam batas normal
TBJ : 2790 gr

Ekstremitas : akral hangat + + oedema - -

+ + - -

A/ G1P0000Ab000 inp Kala II Riwayat KPD

P/ - Pimpin persalinan

3.9 Outcome Bayi

Telah dilakukan tindakan persalinan pervaginam. Bayi lahir pukul 03.45. Jenis
kelamin perempuan AS 4-6. Ketuban keruh, BB: 2580 gr, PB: 50 cm. cacat (-), anus (+)
3.10 Penatalaksanaan

Monitoring :
 Keluhan pasien
 Fluksus
 TTV
 Kontraksi uterus

3.11 Diagnosis Keluar

P1001Ab000 Post Partum Spontan Hr 0

3.11 Prognosis

Quo ad vitam : bonam


Quo ad functionam : bonam
DAFTAR PUSTAKA

Duff, P., Lockwood, C.J., Barss, V.A. 2016. Preterm prelabor rupture of
membranes. [Online] https://www.uptodate.com/contents/preterm-prelabor-
rupture-of-membranes Diakses tanggal 7 Juni 2018.

Kusuma, A.A.N.J. 2013. Matrix Metalloproteinase (MMP) dan Ketuban Pecah


Dini. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah
Denpasar.

Manuaba IBG. 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan, dan KB Untuk


Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.

Maryuni, Kosasih, D. 2017. Risk Factor of Premature Rupture of Membrane.


National Public Healt Journal. Vol. 11(3): 133-137.

Messidi, A.E., Cameron, A. 2010. Diagnosis of premature Rupture of


Membranes: Inspiration From the Past and Insight for the Future. June
JCOG JUIN: 561-569.

Mishra, S., Joshi, M. 2015. Premature Rupture of Membrane-Risk Factors: A


clinical Study. International Journal of Contemporary Medical research.
Vol.4(1): 146-148.

Muntoha, Suharyono, Endah, N.W. 2013. Hubungan Antara Paparan Asap Rokok
dengan Kejadian Ketuban Pecah Dini pada Ibu Hamil di RSUD
dr.H.Soewondo Kendal. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Vol.12(1):
88-93.

Olabi, A., Mousa, L.S. 2016. Management of Premature Rupture of Membranes.


International Journal of Academic Scientific Research. Vol.4 (2): 21-25.

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016. Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran: Ketuban Pecah Dini. Jakarta: Perkumpulan Obstetri
dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal.

Porna, P. Premature Rupture of Membranes. Journal of Medical Association.


Vol.8 (1): 27-32.

Putra, N., Utami, N. 2017. Rencana Partus Pervaginam pada Kehamilan Aterm
dengan Presentasi Bokong dan Ketuban Pecah Dini. Jurnal Medula Unila.
Vol.7 (2): 81-84.
Retno, E., Effendi, G., Suhendro, G., Handojo. 2008. Pengaruh Pengawet Beku
(Cryopreservation) Terhadap Kadar Epidermal Growth Factor (EGF) Pada
Selaput Amnion. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory. Vol. 15 (1): 22–26.

Sabarudin, U., Mose, J.C., Krisnadi, S.R. 2011. Polimorfisme Gen MMP-9,
Ekspresi MMP-9, dan Indeks Apoptosis Sel Serviks pada Kehamilan 21–36
Minggu. Majalah Kedokteran Bandung. Volume 43(4) :199-206.

Suwardewa, T.G.A. 2009. Hidrasi Maternal pada Kasus Oligohidramnion.


Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP Sanglah
Denpasar.

Velemhenska, M. 2016. management of Pregnancy With Premature Rupture of


Membranes (PROM). Journal of Healt Sciences management and Public
Health. Pages 192-197.

Anda mungkin juga menyukai