Anda di halaman 1dari 31

1

REFERAT
UVEITIS ANTERIOR

Pembimbing:
dr. Yulia Fitriani, Sp. M

Oleh:
Nur Indah Rahayu G4A015113

SMF MATA
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2016
2

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
UVEITIS ANTERIOR

Oleh:
Nur Indah Rahayu G4A015113

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian SMF


Mata RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada Maret 2016

Dokter Pembimbing

dr. Yulia Fitriani, Sp. M


3

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Traktus uvea terdiri dari koroid, corpus ciliares dan iris. Uveitis

merupakan suatu peradangan pada iris (iritis), corpus ciliare (siklitis), iris dan

corpus ciliare (iridosiklitis) dan koroid (koroiditis). Uveitis anterior adalah

inflamasi struktur uvea bagian anterior. Penyakit ini berkaitan dengan trauma

okular akibat penyakit sistemik termasuk juvenile rheumatoid arthritis,

spondilitis ankilosa, sindrom reiter, sarkoidosis, herpes zoster dan sifilis.

Insidensi uveitis anterior sebesar 8 per 100000 per tahun dengan kelompok

usia tertinggi terjadi 20 sampai 50 tahun dengan puncak usia pada dekade

ketiga (Maiya dan Sundip, 2014). Oleh karena uveitis berkaitan dengan

penyakit sistemik sehingga ketika tidak terdeteksi dan tidak tertangani dapat

menyebabkan kehilangan penglihatan. Pengenalan terhadap tanda dan gejala

uveitis anterior penting untuk mengidentifikasi, menangani serta menghindari

terjadinya komplikasi.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui tentang uveitis anterior

2. Tujuan Khusus

i. Mengetahui definisi, klasifikasi, epidemiologi uveitis anterior

ii. Mengetahui etiologi uveitis anterior

iii. Mengetahui tanda, gejala, pafisiologi uveitis anterior


4

iv. Mengetahui penegakan diagnosis dan diagnosis banding uveitis

anterior

v. Mengetahui penatalaksanaan uveitis anterior

vi. Mengetahui komplikasi uveitis anterior

vii. Mengetahui prognosis uveitis anterior

viii. Menyelesaikan tugas referat dari kepaniteraan klinik di SMF Mata

RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo.


5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Uvea

Tunica vaskulosa pigmentosa dari belakang ke depan disusun oleh choroidea,

corpus ciliare dan iris (Snell, 2006).

1. Choroidea, terdiri atas lapisan luar berpigmen dan lapisan dalam yang

sangat vaskular (Snell, 2006).

2. Corpus ciliare

Corpus ciliare mempunyai bentuk segitiga, apex terletak dekat

koroid dan basis dekat dengan iris. Pada bagian luar, corpus ciliare

melekat pada scleral spur sehingga membentuk spatium supraciliare

antara corpus ciliare dengan sclera. Permukaan dalam corpus ciliare

berkontak dengan permukaan vitreous dan berlanjut sebagai retina

(Giampani dan Jair, 2013).

Bagian anterior corpus ciliare disebut pars plikata atau corona

ciliare dan dikarakteristikan dengan processus ciliare yang tersusun atas

major processus ciliare (radial) dan minor atau intermediate processus

ciliare serta pada permukaan posteriornya melekat pada ligamentum

suspensorium. Pars plikata berdekatan dengan permukaan posterior iris.

Processus ciliare mempunyai luas permukaan yang besar untuk ultrafiltrasi

dan transport aktif cairan (Snell, 2006; Giampani dan Jair, 2013).

Bagian posterior corpus ciliare disebut pars plana atau orbicularis

ciliare, flat dan sangat berpigmen pada permukaan dalam dan berlanjut
6

dengan koroid pada bagian orra serrata. Corpus ciliare tersusun atas otot,

pembuluh darah dan epitel (Giampani dan Jair, 2013).

M. cilliaris terdiri atas serabut-serabut otot polos

meridianal/longitudinal dan sirkular/spichteric dan obliq. Otot longitudinal

merupakan serat paling luar, melekat pada scleral spur melalui corpus

ciliare bagian anterior dan trabecular meshwork pada limbus dan pada

bagian posterior dengan lamina suprakoroid. Kontraksi serat longitudinal

akan membuka trabecular meshwork dan kanalis schlemm. Serat

sirkular/spinchteric terletak pada bagian anterior dalam dan berjalan

paralel ke limbus. Insersio pada posterior iris, dan ketika berkontraksi,

zonula berelaksasi sehingga akan meningkatkan diameter aksis lensa dan

kecembungannya. Serat obliq (radial/intermediate) berhubungan dengan

longitudinal dan sirkular, ketika berkontraksi akan melebarkan spatium

trabecular uvea (Snell, 2006; Giampani dan Jair, 2013).

Corpus ciliare disuplai oleh a. ciliare anterior dan a. ciliare longus

membentuk circulus arteri major yang juga menyuplai iris dan koroid

anterior. Endotel pembuluh darah tidak mempunyai sitoplasma, hal ini

dapat meningkatkan permeabilitasnya. Epitel permukaan dalam processus

ciliare dan pars plana dilapisi oleh dua lapis epitel. Bagian luar oleh epitel

berpigmen (granul melanin) yang tersusun oleh sel kuboid dan berdekatan

dengan stroma serta berlanjut dengan retinal pigmented epithelium. Bagian

dalam dibentuk oleh epitel tidak berpigmen, epitel kolumnar dan

berdekatan dengan humor aqueous pada posterior chamber serta berlanjut

dengan retina (Snell, 2006; Giampani dan Jair, 2013).


7

M. ciliaris dipersarafi oleh serabut parasimpatis dari n.

oculomotorius. Terdapat pula serat simpatis yang berasal dari ganglion

servikal superior (Snell, 2006).

Gambar 2.1. Transition zone (American Academy of Ophtalmology,

2016).

3. Iris dan pupil

Iris adalah diafragma berpigmen yang tipis dan kontraktil dengan

lubang di tengahnya, yaitu pupil. Iris tergantung di dalam humor aquous di

antara kornea dan lensa. Tepi iris melekat pada permukaan anterior corpus

ciliaris. Iris membagi ruang antara lensa dan kornea menjadi camera

anterior dan camera posterior.Serabut-serabut otot iris bersifat involuntar

dan terdiri atas serabut-serabut sirkular dan radial. Serabut sirkular

membentuk m. spinchter pupillae dan tersusun di sekitar pinggir pupil.

Serabut-serabut radial membentuk m. dilator pupillae, yang merupakan

lembaran tipis serabut-serabut radial dan terletak dekat permukaan

posterior (Snell, 2006).


8

M. spinchter pupillae dipersarafi oleh serabut parasimpatis n.

occulomotorius. M. dilator pupillae dipersarafi oleh serabut simpatis, yang

berjalan ke depan ke bola mata di dalam nn.ciliaris longus (Snell, 2006).

Fungsi m. spinchter pupillae adalah untuk mengontriksikan pupil

dalam keadaan cahaya terang dan selama berakomodasi. M. dilator

pupillae melebarkan pupil dalam keadaan cahaya kurang terang atau

keadaan terdapatnya aktivitas simpatis yang berlebihan seperti dalam

keadaan takut (Snell, 2006).

Gambar 2.2. Anatomy of Eye (American Academy of Ophtalmology, 2016).

B. Definisi dan Klasifikasi

Uveitis anterior adalah inflamasi pada traktus uvea bagian anterior (iris

dan corpus ciliare). Iritis merupakan inflamasi mengenai iris, iridosiklitis

meliputi inflamasi pada iris dan corpus ciliare. Namun istilah uveitis anterior,

iritis dan iridosiklitis sering digunakan sebagai sinonim. Berdasarkan


9

Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) Group, uveitis dibagi

menurut onset, durasi dan course (Tabel 2.1) (Zierhut et al., 2007).

Tabel 2.1 Definition of onset, duration and course of uveitis (Zierhut et al.,
2007)
Category Description Comment
Onset Sudden prototype human leukocyte antigen B27 (HLA-B27)-
associated acute anterior uveitis. Pain, redness and
photophobia
Insidious prototype anterior uveitis, associated with juvenile
idiopathic arthritis. Painless, white eye.
Duration Limited <3 months duration
Persistent >3 month duration
Course Acute episode characterized by sudden onset and limited
duration
Recurent repeated episodes separated by periods of inactivity
without treatment >3 months duration
Chronic Persistent uveitis with relapse in <3 months after
discontinuing treatment

Berdasarkan spesifitas penyebabnya uveitis anterior dapat dibagi

menjadi uveitis infeksius, uveitis non-infeksius, dan uveitis tanpa

penyebab yang jelas. Uveitis infeksius dapat disebabkan oleh bakteri,

jamur, virus dan parasit. Uveitis non-infeksius dapat disebabkan oleh agen

non-spesifik (endotoksin dan mediator peradangan lainnya), agen spesifik

pada mata (uveitis imbas lensa) dan penyakit sistemik seperti behcet,

sarkoidosis dan sindrom reiter. Berdasarkan asalnya uveitis anterior

dibedakan menjadi uveitis eksogen (trauma, operasi intraokular, ataupun

iatrogenik) dan uveitis endogen (fokal infeksi di organ lain atau reaksi

autoimun). Menurut cara timbul dan lama perjalanan penyakitnya uveitis

anterior dibedakan menjadi uveitis anterior akut dan uveitis anterior kronis

(Amos et al., 2004).

1. Anterior akut

a. Uveitis anterior traumatik


10

Trauma adalah salah satu penyebab umum uveitis anterior. Biasanya

dikarenakan riwayat trauma tumpul mata. Trauma lain seperti luka

bakar mata, benda asing atau abrasi kornea dapat menyebabkan uveitis

anterior.

b. Uveitis anterior idiopatik

Idiopatik diaplikasikan untuk uveitis anterior dengan etiologi sistemik

atau trauma yang tidak jelas.

c. HLA-B27 Associated Uveitis

HLA-B27 merujuk pada genotype spesifik kromosom 6. Mekanisme

pemicu untuk uveitis anterior akut belum diketahui. Terdapat

hubungan kuat dengan spondilitis ankilosa, sindrom reiter,

inflammatory bowel disease, psoriatic arthritis, dan uveitis anterior

rekuren.

d. Sindrom Behcet

Penyakit yang didominasi oleh pria muda mediterania atau keturunan

Jepang. Penyakit Behcet meliputi trias uveitis anterior akut, lesi mulut

dan ulser genital. Penyakit ini merupakan penyebab uveitis anterior

yang insidensinya jarang.

e. Lens-Associated Anterior Uveitis

Beberapa presentasi klinis umumnya ditemukan inflamasi ruang

anterior berkaitan dengan lensa. Sindrom UGH yang meliputi trias

uveitis, glaukoma dan hifema diasosiasikan dengan lensa-ruang

anterior, sindrom ini jarang terjadi pada lensa-ruang posterior.


11

2. Uveitis anterior kronik

a. Juvenile Rheumatoid Arthritis

Uveitis anterior sering terjadi pada kasus Juvenile Rheumatoid

Arthritis (JRA). Sebagian besar pasien mempunyai uji antinuclear

antibody (ANA) positif. JRA lebih sering terjadi pada perempuan

muda dibandingkan laki-laki. Direkomendasikan untuk semua anak

dengan JRA dilakukan skrining uveitis anterior.

b. Anterior Uveitis Associated with Primary Posterior Uveitis

Penyakit sistemik seperti sarkoidosis, toksoplasmosis, sifilis,

tuberkulosis, herpes zoster, cytomegalovirus, dan AIDS dapat disertai

inflamasi ruang anterior melalui inflamasi posterior. Kelainan posterior

lainnya seperti retinal detachment mampu menyebabkan flare pada

ruang anterior.

c. Fuchs' Heterochromic Iridocyclitis

Fuchs' heterochromic iridocyclitis bersifat kronik dan biasanya

asimptomatik, bentuk uveitis anterior ini ditemukan pada 2% pasien

uveitis.

Berdasarkan patologinya uveitis anterior dibedakan menjadi non-

granulomatosa dan granulomatosa. Uveitis anterior non-granulomatosa

dikarakteristikan dengan keratik presipitat kecil, putih tanpa nodul iris, dan

tidak berkaitan dengan organisme patogen serta biasanya responsif terhadap

kortikosteroid. Uveitis anterior granulomatosa secara umum disertai dengan

infeksi mikroba seperti tuberkulosis atau sifilis dengan keratik presipitat besar

(mutton-fat) dan nodul iris (Amos et al., 2004).


12

C. Epidemiologi

Sebagian besar uveitis terjadi pada anak-anak dan dewasa muda. Pada

beberaoa kasus, uveitis bisa menjadi bukti klinis pertama dari adanya penyakit

sistemik. Sebesar 0,8% pasien rawat jalan rumah sakit didiagnosa uveitis.

Uveitis anterior merupakan bentuk yang paling umum dari uveitis, yakni

57,4%. Insidensi tahunan uveitis anterior adalah 8 kasus per 100000 populasi

(Maiya dan Sundip, 2014). JRA merupakan suatu kelainan sistemik yang erat

kaitannya dengan timbulnya iridosiklitis pada usia anak-anak. Uveitis anterior

terjadi pada 11 % kasus JRA. Insiden uveitis pada JRA di Amerika

diperkirakan sekitar 14 dari 100.000 kasus dan uveitis ditemukan pada 2-21%

anak dengan JRA (Indraswati et al.,2007).

D. Etiologi

Sebagian besar etiologi uveitis anterior adalah idiopatik (38-70%),

penyebab lain adalah HLA-B27 positif terutama pada bentuk akut. HLA-B27

positif berkorelasi kuat dengan spondilitis ankilosa dan sindrom reiter. Tabel

2.2 menunjukkan penyebab terjadinya uveitis anterior (Hua dan Lorne, 2011).

Tabel 2.2 Common causes of acute and chronic anterior uveitis (Hua dan
Lome, 2011)
Acute Anterior Uveitis Chronic Anterior Uveitis
Syphilis, Tuberculosis, Morbus Hansen, Syphilis
Adenovirus, Onchocerciasis Herpes (zoster/simplex)
HLA-B27 positive (uveitis only) Juvenile idiopathic arthritis (JIA)
Ankylosing spondylitis
Fuchs heterochromic iridocyclitis
Reactive arthritis (Reiters)
Psoriatic arthropathy Idiopathic
HLA-B27 negative (idiopathic) Sarcoidosis
Sarcoidosis Lupus
Behcets disease
Posner-Schlossmann Syndrome
Crystalline lens-associated
Lupus
Trauma
13

E. Tanda dan Gejala

Gejala pasien dengan uveitis anterior adalah nyeri pada umumnya satu

mata, fotofobia, lakrimasi dan terkadang pandangan kabur. Tanda dan gejala

uveitis anterior non-granuloma biasanya akut, dengan tanda kemerahan pada

sirkumlimbal, flare dan sel (berkaitan dengan meningkatnya permeabilitas

pembuluh darah uvea yang inflamasi), keratik presipitat putih, halus pada

endotel kornea. Pupil mengecil dan tidak teratur bila terdapat sinekia posterior.

Sel pada bentuk non-granuloma adalah limfosit, neutrophil, eosinophil,

basophil dan makrofag (Chan dan Qian, 1998).

Uveitis anterior granulomatosa mempunyai onset yang tidak terlihat,

penglihatan berangsur kabur, mata memerah difus di daerah sirkumkornea,

sakit minimal, fotofobia tidak seberat non-granulomatosa dengan tanda pupil

mengecil dan tidak teratur karena terbentuk sinekia posterior. Keratik

presipitat besar dan kuning (mutton-fat), nodul iris dapat ditemukan pada tepi

pupil (koeppe) atau permukaan anterior iris (busacca), cavum vitreous kabur.

Sel inflamasi pada bentuk granuloma ini adalah epiteloid, giant cell yang

dikelilingi oleh limfosit dan makrofag. Nekrosis dapat terjadi, bentuk ini

diasosiasikan dengan proses inflamasi yang kronik (Chan dan Qian, 1998).

F. Penegakan diagnosis

1. Anamnesis

a. Usia penting untuk diagnosis uveitis anterior. Uveitis anterior yang

berkaitan dengan JRA dan pars planitis biasanya ditemukan pada anak-
14

anak. Bentuk uveitis lainnya ditemukan pada dewasa muda. Pasien

usia lanjut jarang mengalami uveitis.

b. Uveitis anterior yang berkaitan dengan JRA sebagian besar terjadi

pada perempuan. Spondilitis ankilosa dan sindrom reiter lebih sering

terjadi pada pria.

c. Artritis, spodilitis ankilosa dan HLA-B27 related disease sering terjadi

pada ras kaukasia. Sarkoidosis lebih sering terjadi pada ras Afrika,

Amerika dibanding kaukasia.

d. Gejala umum (nyeri dangkal yang muncul dan sering lebih terasa

ketika mata disentuh pada kelopak mata dan dapat beralih ke pelipis

atau periorbital serta bersifat hilang timbul, fotofobia dan kemerahan

tanpa sekret mukopurulen, pandangan kabur), durasi, unilateral atau

bilateral.

e. Terapi yang sudah dilakukan

f. Riwayat penyakit mata sebelumnya atau trauma sebelumnya

g. Riwayat hospitalisasi, nyeri sendi, low back pain, gejala penyakit

sistemik lainnya.

2. Pemeriksaan fisik

a. Tanda-tanda penyakit sistemik seperti deformitas sendi (artritis), lesi

oral (sindrom reiter dan behcet), ruam (psoriasis) dan nail pitting.

b. Pemeriksaan visus, normal atau sedikit menurun.


15

Gambar 2.3. High magnification (40x) show cells (representative


arrows) in the AC OD (Hua dan Lorne, 2011).

a. Pemeriksaan dengan iluminasi, untuk mengetahui tingginya jumlah sel

di ruang anterior dan flare, pola hiperemia (injeksi siliar/perilimbal),

miosis pupil dan heterokromia (sindrom fuch).

b. Pemeriksaan slit lamp:

i. Konjunctiva, dapat mengeksklusi hiperemia konjunctiva superfisial

difus (konjunctivitis), uveitis anterior memperlihatkan hiperemia

pada circumlimbal.

ii. Kornea, identifikasi edema stroma kornea, keratik presipitat pada

endotel kornea. Pada kasus akut, keratik presipitat halus dan putih,

sedangkan kasus kronik besar dan kekuningan.


16

Gambar 2.4. Small to medium sized keratic precipitates on the


corneal endothelium in non granulomatous anterior uveitis (Maiya
dan Sundip, 2014).

Gambar 2.5. Large mutton fat keratic precipitates in


granulomatous anterior uveitis (Maiya dan Sundip, 2014).

iii. Anterior chamber, sel dan atau flare dapat terlihat akibat keluarnya

protein dari pembuluh darah iris yang mengalami peradangan.

Sistem grading untuk flare dan sel dapat dilihat pada tabel 2.1,

grading berguna untuk menentukan respon pasien terhadap terapi.

Hipopion sebagian besar berhubungan dengan penyakit HLA-B27

dan sindrom behcet.

iv. Iris, adanya nodul koeppe pada tepi pupil dan nodul busacca pada

stroma iris. Nodul biasanya mengindikasikan granulomatosa, serta


17

atrofi iris yang umum terjadi pada fuchs heterochromic

iridocyclitis.

Gambar 2.6. Anterior uveitis OD with fibrous membrane and


posterior synechiae (Hua dan Lorne, 2011).

Tabel 2.3 Standardization of Uveitis Nomenclature (SUN) grading


system for AC cell and flare severity (Hua dan Lorne, 2011).
Grade AC Flare AC Cells
0 none no cells
0,5+ 1-5 cells
1+ faint flare (barely detechable) 6 to 15 cells
2+ moderate flare (iris and lens details 16 to 25 cells
clear)
3+ marked flare (iris and lens details hazy) 26 to 50 cells
4+ intense flare (fixed, coagulated aqueous >50 cells
humor with considerable fibrin)

Tabel 2.4 Clinical Degree of Anterior Uveitis (Amos et al., 2004).


Mild Moderate Severe
Mild to moderate Moderate to severe Moderate to severe
symptoms symptoms symptoms
VA 20/20 to 20/30 VA from 20/30 to 20/100 VA < 20/100
Superficial Deep circumcorneal flush Deep circumcorneal
circumcorneal flush flush
No KPs Scattered KPs Dense KPs

Trace to 1+ cells and 1-3+ cells and flare 3-4+ cells and flare
flare Miotic, sluggish pupil Sluggish or fixed pupil
Mild posterior synechiae Posterior synechiae
Mild iris swelling (fibrous)
Boggy iris (no crypts)
IOP reduced < 4 IOP reduced 3-6 mm Hg Raised IOP
mmHg Anterior virtreous cells Moderate to heavy
anterior
cells
18

v. Lensa, katarak subkapsular posterior dapat ditemukan apabila

mengalami iritis berulang.

vi. Vitreous, adanya leukosit dan eritrosit. Eritrosit terlihat keabuan

dan lebih kecil dari leukosit. Baik eritrosit maupun sel pigmen

mungkin menandakan retinal detachment.

c. Tonometri, mengukur tekanan intraokular penting untuk diagnosis

inisial uveitis anterior dan untuk memonitor penyakit. Pada uveitis

anterior akut, tekanan intraokular mungkin tinggi, rendah atau normal.

Uveitis anterior kronik seringkali terjadi peningkatan tekanan

intraokular, meskipun tekanan intraokular dapat dipengaruhi oleh

uveitis anterior, retinal detachment ataupun yang lainnya.

d. Gonioskopi, untuk menentukan sudut iridokornea terkait dengan

glaukoma.

e. Pemeriksan fundus, oftalmoskopi indirek, semua pasien uveitis

anterior sebaiknya dilakukan pemeriksaan ini melalui pupil yang

dilatasi karena uveitis intermediet dan posterior sering menghasilkan

uveitis anterior.

Pemeriksaan tambahan untuk membantu diagnosis dan manajemen uveitis

anterior ditampilkan pada tabel 2.5.


19

Tabel 2.5 Suggested Laboratory Test, X-Ray Studies, Consults/Referrals or


Other Test to Isolate Systemic Causes of Anterior Uveitis (Amos et al.,
2004).
Disease Laboratory Tests X-Ray Consult/Referral Other Tests
Suggested by Studies
History and
Examination
Ankylosing ESR, (+) HLA-B27 Sacroilia Rheumatologist
spondylitis c x-rays
Inflammatory (+) HLA-B27 Internist or
bowel disease gastroenterologist
Reiters ESR, (+) HLA-B27 Joint x- Internist, urologist, Cultures;
syndrome rays rheumatologist conjunctival,
urethral,
prostate
Psoriatic arthritis (+) HLA-B27 Rheumatologist,
dermatologist
Herpes Diagnosed clinically Dermatologist
Behcets disease (+) HLA-B27 Internist or Behcets skin
Rheumatologist puncture test
Lyme disease ELISA or Lyme Internist,
immunofluorescent heumatologist
assay
Juvenile ESR, (+) ANA, Joint x- Rheumatologist or
rheumatoid (-) Rheumatoid factor rays pediatrician
arthritis

Sarcoidosis Angiotensin Chest x- Internist


converting enzyme ray
(ACE)
Syphilis (+) RPR or VDRL; Internist
FTA-ABS or MHATP
Tuberculosis Chest x- Internist Purified
ray protein
derivative
(PPD) skin
test
Keterangan: ESR: Erythrocyte Sedimentation Rate
HLA: Human Leukocyte Antigen B27
ELISA: Enzyme-linked Immunosorbent Assay
ANA: Antinuclear Antibody
RPR: Rapid Plasma Reagin
VDRL: Venereal Disease Research Laboratory
FTA-ABS: Fluorescent Treponemal Antibody Absorption
MHATP: Microhemagglutination Assay for Treponema Pallidum antibodies

G. Patofisiologi

Uveitis terinduksi lensa, terjadi apabila lensa mengalami katarak

hipermatur, kapsul lensa bocor dan materi lensa masuk ke camera oculi

anterior dan posterior, sehingga dapat menimbulkan reaksi inflamasi yang

ditandai dengan pengumpulan sel plasma, fagosit mononuklear dan sedikit


20

polimorfonuklear. Reaksi inflamasi ini dapat menyebakan rusaknya blood

aqueous barrier sehingga terjadi peningkatan sel-sel radang, protein dan fibrin

(menghambat gerakan kuman namun mengakibatkan perlekatan-perlekatan

berupa sinekia anterior atau posterior (pupil menjadi miosis dan iregular))

dalam humor aqueous yang tampak sebagai flare (Chan dan Qian, 1998; Amos

et al.,2004).

Peradangan pada iris dan corpus ciliare menyebabkan hiperemi akibat

pembuluh darah yang melebar dan dapat meningkatkan pembentukan humor

aqueous, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh

aqueous humor, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah

putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan meningkatnya

tekanan osmosis aqueous humor dan dapat mengakibatkan glaukoma. Melalui

pupil, sel radang ini dapat menuju camera oculi anterior, oleh karena iris

banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat

jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah

kornea karena tidak mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat

jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah.

Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea,

membentuk keratik presipitat (Chan dan Qian, 1998; Amos et al.,2004).

Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut iridokornea,

sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Glaukoma

juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang. Elemen darah dapat

menumpuk di camera oculi anterior sehingga timbul hifema (apabila banyak


21

mengandung sel darah merah) dan hipopion (apabila banyak mengandung sel

darah putih) (Chan dan Qian, 1998; Amos et al.,2004).

Elemen-elemen radang yang mengandung fibrin yang menempel pada

pupil dapat juga mengalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada

lensa, disebut sinekia posterior. Akumulasi sel-sel radang pada tepi pupil

disebut nodul koeppe, apabila pada permukaan iris disebut nodul busacca. Bila

seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan yang

dari camera oculi posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke camera

oculi anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan

sudut iridokornea menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatan-

perlekatan iris pada lensa menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Peradangan

badan siliar dapat pula menyebabkan metabolisme pada lensa terganggu dan

dapat mengakibatkan katarak (Chan dan Qian, 1998; Amos et al.,2004).

Peradangan pada iris dapat mengakibatkan fotofobia karena gangguan

kontraksi untuk mengecilkan atau melebarkan pupil. Peradangan yang terjadi

pada m. spinchter pupillae dapat menimbulkan edema iris sehingga pupil

kecil. Miopisasi akibat rangsangan terhadap corpus ciliare dan edema lensa

dapat terjadi pula. Corpus ciliare dapat mengalami hipofungsi sehingga

tekanan bola mata turun akibat gangguan fungsi pembentukan aqueous humor

(Chan dan Qian, 1998; Amos et al.,2004).


22

H. Diagnosis Banding

Diagnosis banding uveitis anterior antara lain (Amos et al., 2004):

1. Uveitis intermediet/posterior/panuveitis. Tanda sel dan atau eksudat

inflamasi di vitreous adalah kunci uveiditis ini, dan vitreal haze seringkali

ditemukan. Oleh karena pertukaran cairan konstan di vitreous tidak terjadi

seperti di aqueous, sel-sel dan produk inflamasi berpindah sesuai dengan

gravitasi ke bagian inferior retina (disebut snowbanking) sepanjang pars

plana. kondisi uvitis intermediate ini disebut pars planitis dan umum

terjadi padpda individu muda 30,7 tahun. Uveitis posterior dapat muncul

dengan edema macula, inflamasi korioretina, vaskulitis retina dan edema

diskus nervi optici. Vitreal haze mungkin bisa ditemukan pula. Fotofobia

tidak terlalu dikeluhkan pada uveitis posterior (berkaitan dengan inflamasi

yang menurun pada iris), pandangan kabur biasanya lebih berat dengan

prognosis visual recovery lebih buruk. Pada panuveitis yang mencakup

semua bagian uvea: fotofobia, nyeri mata dan penurunan penglihatan

dirasakan sangat berat.

2. Endoftalmitis merupakan true eye emergency yang mencakup inflamasi

vitreous dan aqueous humor, gejalanya berupa pandangan kabur, nyeri

mata, mata merah dan sensitif terhadap cahaya, namun biasanya

endoftalmitis terjadi karena faktor eksogen seperti pasca bedah ekstraksi

katarak dan bedah vitreoretina. Faktor endogen terjadi akibat penyebaran

infeksi dari sumber infeksi lain seperti endocarditis. Hipopion bisa

ditemukan.
23

3. Keratitis dapat timbul dengan gejala yang sama dengan uveitis anterior

dan penyebabnya bisa berupa infeksi maupun non-infeksi. Keratitis non-

infektif, keratitis berkaitan dengan sumber eksternal seperti ultraviolet

light (photokeratitis), kondisi imun (Thygesons superficial punctuate

keratitis). Keratitis infektif bisa diakibatkan oleh bakteri, viral, fungal,

acanthamoebic. Penanganan keratitis non-infektif dengan uveitis anterior

mungkin sama. Keratitis infektif diterapi sesuai dengan organisme

penyebabnya.

4. Glaukoma akut sudut tertutup dapat timbul dengan gejala yang sama

dengan uveitis anterior akut, termasuk nyeri, pandangan kabur, halos

vision, frontal headache, nausea dan muntah. Sering ditemukan

circumlimbal flush dan edema kornea.

Tabel 2.5 Differential diagnoses for anterior segment inflammation (Hua dan Lorne,
2011)
AAU (iritis, iridocyclitis) Keratitis (infective, traumatic/toxic, contact
Episcleritis/Scleritis lens acute red eye)
Acute angle closure glaucoma Lens-related (phacolysis/phacoanaphylaxis)
Endophthalmitis (post operation, Posterior segment disease (tumor, panuveitis)
endogenous)

I. Penatalaksanaan

Tujuan dari terapi uveitis anterior adalah (Amos et al, 2004):

1. Mempertahankan ketajaman penglihatan

2. Meredakan nyeri okular

3. Mengeliminasi inflamasi okular atau mengidentifikasi sumber inflamasi

4. Mencegah pembentukan sinekia

5. Mengelola tekanan intraokular


24

Terapi uveitis anterior tidak spesifik, biasanya mencakup terapi topikal dengan

kortikosteroid dan siklopegik. Apabila diperlukan bisa ditambah steroid oral

atau nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dan anti-glaukoma.

Tatalaksana spesifik uveitis anterior diterapi sesuai penyebabnya. Berikut

terapi medikamentosa serta non-medikamentosa untuk uveitis anterior (Amos

et al., 2004; Sitompul, 2011; Hua dan Lorne, 2011):

1. Medikamentosa

a. Kortikosteroid

Peran kortikosteroid yaitu menurunkan inflamasi dengan

memblok enzim phospholipase A2 (yang mengubah fosfolipid menjadi

mediator inflamasi seperti leukotrin dan prostaglandin) sehingga

mampu mengurangi nyeri termasuk fotofobia, hiperemi pada

konjunctiva, episklera dan limbus. Beberapa steroid topikal

berdasarkan potensi klinis adalah:

i. Efektivitas minimal: Dexamethason sodium fosfat 0.05% salep,

loteprednol 0,2%

ii. Efektivitas moderat: Prednisolon fosfat 0,125%; 0,5%; 1% solusio,

Fluoromethalone 0.1% dan 0.25% (0.1% salep), rimexolon 1%.

iii. Efektivitas maksimal: Loteprednol 0,5% dikombinasikan dengan

tobramicin, dexamethasone 0,1% dikombinasikan dengan

tobramycin, prednisolon asetat 1%, difluprednate 0,05% emulsi.

Efek samping dari penggunaan steroid adalah katarak

subkapsular posterior dan peningkatan tekanan intraokular, penurunan


25

imunitas host, perlunakan stroma, penipisan sklera dan penyebaran

infeksi epitelial herpetik (Hua dan Lorne, 2011).

b. Siklopegik

Semua agen siklopegik bersifat antagonis kolinergik yang

bekerja dengan memblok neurotransmisi di reseptor spinchter iris dan

m. ciliare. Tujuan pemberian siklopegik pada uveitis anterior adalah:

a. Meredakan nyeri dengan mengimobilisasi iris, mengatasi sinekia

posterior

b. Mencegah perlekatan iris dengan kapsul lensa anterior (sinekia

posterior) yang bisa menyebabkan iris bombe dan peningkatan

tekanan intraokular

c. Menstabilkan blood-aqueoues barrier dengan menurunkan area

permukaan iris dan membantu mencegah kebocoran protein (flare).

Agen siklopegik yang digunakan pada uveitis anterior adalah:

a. Atropin 0,5%, 1%, 2%

b. Homatropin, 2%, 5%

c. Skopolamin, 0.25%

d. Siklopentolat, 0.5%, 1%, 2%.

c. Midriatik

Phenilefrin 2,5% atau 10% merupakan agonis adrenergik yang

menyebabkan dilatasi melalui stimulasi langsung m. dilator pupillae.

Oleh karena phenilefrin tidak bersifat siklopegik maupun anti-

inflamasi, sehingga dapat menyebabkan pengeluaran sel pigmen ke

anterior chamber. Penggunaan dengan agen siklopegik bertujuan untuk


26

mengatasi sinekia posterior, membantu memfasilitasi melihat vitreous

dan retina serta menilai adanya inflamasi segmen posterior.

d. Steroid oral dan NSAIDs

Prednison atau metilprednisolon oral bisa digunakan untuk

kasus uveitis anterior yang kurang berespon terhadap steroid topikal,

uveitis anterior akut berat atau apabila terdapat keterlibatan segmen

posterior. Efek samping steroid oral mencakup efek samping akibat

penggunaan topikal disertai hipertensi, hiperglikemi, psikosis, edema

(sindrom cushing), osteoporosis, supresi pertumbuhan, infeksi

(penurunan imunitas), supresi aksis hypothalamus-pituitary-adrenal

(H-P-A) dan masalah menstruasi.

Umumnya dosis kortikosteroid oral 1 mg/kgBB/hari diberikan

untuk segera mengatasi peradangan di awal terapi. Dosis tersebut

diberikan selama 2-4 minggu kemudian diturunkan secara bertahap.

Penghentian pemberian kortikosteroid oral tanpa tapering off dapat

mengakibatkan krisis adrenal dan rekurensi inflamasi pada penderita

(Sitompul, 2011).

NSAIDs mempunyai efektivitas yang terbatas untuk mengatasi

uveitis anterior aktif. Mekanisme kerjanya melalui penghambatan

enzim siklo-oksigenase (yang memproduksi prostaglandin). Aspirin

dan ibuprofen sebagai inhibitor prostaglandin bisa digunakan untuk

mengurangi inflamasi termasuk CME.


27

e. Imunomodulator

Pada kasus uveitis anterior non-infeksi yang tidak responsif

terhadap steroid, imunomodulasi dengan kandungan imunosupresan

dan biologik mungkin dibutuhkan. Tiga kategori obat imunosupresan

utama antara lain:

i. Antimetabolit (metotrexat, mikofenolat, azatioprin)

ii. T-cell suppressors, akacalcineurin inhibitors (siklosporin,

voklosporin, takrolimus)

iii. Sitotoksik, aka alkylating agents (siklofosfamid, klorambusil).

Biologik merupakan kelas obat baru, biologik utama adalah:

i. Tumor necrosis factor-alpha inhibitors (infliximab, adalimumab)

ii. Anti-lymphocyte drugs ( rituximab, alerntuzumab)

iii. Recombinant interferon-alpha

f. Regimen terapi yang direkomendasikan

a. Agen siklopegik: siklopentolat 1%, 3dd untuk uveitis anterior

ringan (mild); atau homatropin 5%, 2dd atau 3dd untuk uveitis

anterior moderat (moderate); atropine 1% 2dd atau 3 dd untuk

uveitis anterior berat (severe).

b. Steroid topikal: Prednisolon asetat 1%, setiap 1 sampai 6 jam

tergantung keparahan, semakin parah inflamasinya semakin sering

diberikan.

c. Beta bloker topikal: Timolol maleat 0.5% atau betaxolol 2dd

apabila infammatory glaucoma terjadi dan tidak ada kontraindikasi

beta bloker.
28

Follow up inisial untuk pasien uveitis anterior perlu

dijadwalkan antara 1 sampai 7 hari, tergantung keparahan. Evaluasi

mencakup: pemeriksaan visus, tekanan intraokular, pemeriksaan

slitlamp, penilaian sel dan flare dan evaluasi respon terhadap terapi.

Oftalmoskopi diindikasikan apabila tidak dilakukan pada saat

kunjungan pertama, tidak ada respon terhadap terapi dan adanya

peningkatan flare inflamasi. Apabila saat follow up, ada perbaikan

reaksi anterior chamber, pengobatan bisa dikurangi. Siklopegik bisa

dihentikan apabila reaksi selular dan flare tidak ada. Steroid

dilanjutkan sampai reaksi selular minimal atau tidak ada.

2. Non-medikamentosa

a. Sun protection

Pasien perlu menghindari cahaya terang dengan penggunaan kacamata,

brimmend hat, tetap di rumah dengan menggunakan pencahayaan

kurang, penting dilakukan saat stadium simptomatik akut.

b. Edukasi pasien mengenai uveitis anterior dan mengenali tanda-tanda

rekuren, kontrol rutin penting untuk mencapai tujuan terapi, efek

samping penggunaan jangka panjang kortikosteroid (glaukoma dan

katarak subkapsular posterior).

J. Komplikasi

Terdapat 4 komplikasi utama uveitis anterior yaitu: katarak, glaukoma,

band keratopathy dan cystoid macular edema (CME). Katarak subkapsular

posterior berkaitan dengan uveitis anterior kronik dan penggunaan steroid


29

yang lama. Glaukoma sekunder terjadi melalui beberapa mekanisme (Amos et

al., 2004):

1. Sel-sel inflamasi memblok aliran aqueous

2. Sinekia posterior mengakibatkan terbloknya pupil

3. Sinekia anterior perifer progresif (progressive peripheral anterior

synechia/PAS)) menutup sudut iridokornea

4. Kortikosteroid mampu meningkatkan tekanan intraokular.

5. Rubeosis iridis menyebabkan glaukoma neovaskular.

Band keratopathy, deposit kalsium di anterior kornea dapat terjadi pada kasus

uveitis yang berlangsung lama. CME terjadi akibat pengeluaran prostaglandin

dan menyebabkan penurunan visus (Amos et al., 2004).

K. Prognosis

Quo Ad visam : bonam

Quo Ad kosmetikan : bonam

Quo Ad sanationam : bonam

Quo Ad vitam : bonam

Uveitis anterior kadang-kadang bersifat self-limiting condition.

Dengan pengobatan yang tepat dan efektif, biasanya visual outcome baik.

(Guly dan Forrester, 2010).


30

III.KESIMPULAN

1. Uveitis anterior merupakan peradangan pada iris dan bagian anterior corpus

ciliare (pars plikata).

2. Klasifikasi uveitis anterior berdasarkan onsetnya adalah sudden dan insidious.

Berdasarkan durasinya: limited dan persistent; perjalanan penyakitnya: akut,

kronik dan rekuren; patologinya: granulomatosa dan non-granulomatosa;

spesifisitas penyebab: infeksi, non-infeksi, tanpa penyebab yang jelas;

asalnya: endogen dan eksogen.

3. Gejala uveitis anterior adalah mata merah, nyeri, fotofobia, pandangan kabur.

Biasanya unilateral.

4. Tanda yang bisa ditemukan pada uveitis anterior adalah injeksi konjunctiva,

injeksi siliar, edema kornea, keratik presipitat, COA keruh, flare, hipopion,

hiperemi iris, sinekia anterior/posterior, nodul iris (koeppe/busacca), miosis

pupil, tekanan intraokular rendah (akut), tinggi (akut/kronik) atau normal.

5. Terapi umum uveitis anterior adalah siklopegik, midriatik, kortikosteroid

topikal dan atau sistemik, NSAIDs, apabila perlu anti-glaukoma. Terapi

spesifik sesuai dengan penyebabnya.

6. Diagnosis banding uveitis anterior adalah uveitis intermedia, uveitis posterior,

panuveitis, keratitis, glaukoma akut sudut tertutup, endoftalmitis,

panoftalmitis.

7. Komplikasi utama uveitis anterior adalah katarak, glaucoma, band

keratopathy, cystoid macular edema.

8. Prognosis uveitis anterior adalah baik.


31

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Ophtalmology. 2016. Eye Anatomy. <www.aao.org>.


Diakses pada 6 maret 2016.

Amos, John F., Chair Kerry L. Beebe., Jerry Cavallerano., John Lahr., Richard
Wallingford. 2004. Care of the Patient with Anterior Uveitis. St.Louis:
American Optometric Association.

Chan-Chao Chan dan Qian Li. 1998. Immunopathology of uveitis. British Journal
of Ophthalmology. Vol 82:9196.
Giampani, Adriana Silva Borges dan Jair Giampani Junior. 2013. Anatomy of
Ciliary Body, Ciliary Processes, Anterior Chamber Angle and Collector
Vessels. Intech.

Guly CM dan Forrester JV. 2010. Investigation and management of uveitis. BMJ.
Vol 341:c4976.

Hua Len V dan Lorne B Yudcovitch. 2011. Anterior Uveitis: Teaching Case
Reports. Optometric Education. Vol 36: 2.

Indraswati, Erni., M. Anie dan Gatut Suhendro. Trans Limbal Lensectomy of


Untreatable Uveitis in Juvenile Rheumatoid Arthritis Patient. Jurnal
Oftalmologi Indonesia. Vol 5 (1): 77-81.

Maiya, Anitha. S dan Sundip Shenoy. 2014. A Clinical Study of Anterior Uveitis
in a Rural Hospital. Journal of Dental and Medical Sciences. Vol 13(3):
55-59.
Sitompul, Ratna. 2011. Kortikosteroid dalam Tatalaksana Uveitis: Mekanisme
Kerja, Aplikasi Klinis dan Efek Samping. J Indon Med Assoc. Vol 61: 6.

Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik edisi 6. Jakarta: EGC.

Zierhut, Manfred., Christoph Deuter dan Philip I Murray. 2007. Classification of


Uveitis Current Guidelines. European Ophtalmic.

Anda mungkin juga menyukai