Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

IMPETIGO KRUSTOSA

Pembimbing :
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh :
Agnes Indah Nugraheni
G4A015143

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017

1
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

IMPETIGO KRUSTOSA

Pada tanggal, Juli 2017

Disusun untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


di bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekardjo

Disusun oleh :
Agnes Indah Nugraheni G4A015143

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

2
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
Puji serta syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME., karena atas
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi kasus ini.
Terimakasih penulis sampaikan kepada para pengajar, fasilitator, dan
narasumber SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, terutama dr. Ismiralda Oke
Putranti, Sp.KK, selaku pembimbing penulis. Penulis menyadari presentasi kasus
ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaannya.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga presentasi kasus ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang menempuh pendidikan dan
dapat dijadikan pelajaran bagi yang membacanya.

Purwokerto, Juli 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2

KATA PENGANTAR ......................................................................................... 3

DAFTAR ISI ........................................................................................................ 4

I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang ........................................................................................... 5
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien ......................................................................................... 6
B. Anamnesis ................................................................................................ 6
C. Status generalis ........................................................................................ 7
D. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 10
E. Diagnosis banding .................................................................................... 10
F. Diagnosis kerja......................................................................................... 10
G. Pemeriksaan anjuran ................................................................................ 10
H. Resume ..................................................................................................... 10
I. Penatalaksanaan ....................................................................................... 11
J. Prognosis .................................................................................................. 12
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi ...................................................................................................... 13
B. Epidemiologi ............................................................................................. 13
C. Etiologi ...................................................................................................... 14
D. Patogenesis ................................................................................................ 14
E. Penegakan Diagnosis................................................................................. 16
F. Penatalaksanaan ........................................................................................ 18
G. Prognosis ................................................................................................... 18
H. Komplikasi ................................................................................................ 18
IV. PEMBAHASAN ........................................................................................... 20
V. KESIMPULAN ............................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................24

4
I. PENDAHULUAN

Impetigo krustosa adalah penyakit infeksi oleh bakteri Staphylococcus


aureus atau Streptococcus pyogenes atau keduanya yang terjadi pada kulit bagian
epidermis. Penyakit ini biasanya terjadi pada anak-anak, walaupun tidak jarang
terjadi pada usia dewasa dan sering terjadi di negara-negara tropis. Di Amerika,
setiap tahunnya kejadian impetigo sebesar 2,8% pada anak-anak usia kurang dari
5 tahun dan 1,6% pada anak-anak di atas usia 5 tahun hingga usia 15 tahun (Cole,
2007; Koning et al., 2012).
Gambaran klinis impetigo krustosa ditunjukkan dengan terdapat makula
atau papula menyendiri berwarna merah yang secara cepat berubah menjadi
vesikel. Vesikel ini mudah pecah sehingga membentuk sebuah erosi, dan ketika
isi dari vesikel ini mengering terbentuk sebuah krusta dengan warna kekuningan
seperti madu. Tanda klinis ini biasa terdapat di daerah wajah (terutama disekitar
hidung dan mulut), leher, punggung, dan ekstremitas. Umumnya lesi ini terasa
nyeridandisertai dengan demam (Freedberg, 2008; Djuanda, 2011).
Diagnosis impetigo krustosa dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa kultur bakteri dan
pengecatan, walaupun pemeriksaan penunjang ini tidak terlalu diperlukan. Kultur
bakteri dilakukan pada pasien jika terjadi outbreak poststreptococcal
glomerulonephritis atau pasien dicurigai mengalami resistan methicillin terhadap
S. aureus. Pengobatan pada penyakit impetigo krustosa ini bertujuan untuk
meredakan nyeri dan mengurangi kerusakan kosmetik pada pasien dengan
penggunaan antibiotik topikal dan pemberian edukasi terhadap pasien. Antibiotik
oral dapat diberikan jikapasien mengalami resistan obat topikal, adanya
komplikasi lanjutan, dan terjadi infeksi sistemik. Umumnya prognosis dari pasien
yang mengalami impetigo krustosa baik dan dapat sembuh dengan atau tanpa
bekas luka (Cole, 2007; Koning et al., 2012).

5
II. LAPORAN KASUS

1. Identitas pasien

Nama : An. AA

Jenis Kelamin : Perempuan

Usia : 8 bulan

Pekerjaan :-

Pendidikan Terakhir : -

Status Pernikahan :-

Agama : Islam

Alamat : Jl. Rawalo, Banyumas

No. CM : 02007083

2. Anamnesis
Allo-anamnesis dilakukan pada tanggal 7 Juli 2017 di IGD RSUD Margono
Soekarjo pada pukul 22.00 WIB.
Keluhan Utama:
Kulit wajah, leher muncul merah-merah
Keluhan Tambahan:
Kulit merah-merah yang disertai kulit mengelupas dan lepuh, batuk, pilek
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Margono Soekarjo dengan keluhan
muncul merah-merah pada wajah sejak 3 hari yang lalu. Mula-mula timbul
bercak merah pada pipi lalu diperiksakan ke dokter umum dan lesi merah-
merah semakin luas dan disertai kulit mengelupas dan lecet. Pasien
mengeluhkan pula batuk dan pilek sejak 5 hari yang lalu, BAK normal dan
BAB lembek. Pasien masih mau menyusu meskipun lebih jarang. Imunisasi
dasar lengkap sesuai jadwal. Ibu pasien bekerja sebagai buruh tani dan pasien
sering dititipkan ke tantenya.

6
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat penyakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat penyakit kronis lainnya : disangkal
Riwayat konsumsi imunosupresan jangka panjang : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat sakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi : ibu alergi ampicillin
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat Sosial dan Ekonomi :
Pasien merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara. Pasien tinggal
bersama ayah dan ibunya dalam satu rumah, meski terkadang dititipkan ke
tantenya saat orang tuanya pergi bekerja sebagai buruh tani. pasien sudah
mampu disapih dengan susu formula sehingga orang tua pasien bersedia
menitipkan pasien ke tantenya yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) agar
dapat terawasi. Orang tua pasien berpenghasilan kurang lebih dua hingga
empat juta rupiah perbulan.

3. Status Generalis

Keadaaan umum : Sedang


Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah :-
Nadi : 124 x/menit
Pernafasan : 24 x/menit
Suhu : 36.7 C
BB, TB : 8.8 kg, 67 cm

7
Mata : conjungtiva mata kanan dan kiri anemis (-), tidak ada
skela ikterik pada mata kanan dan kiri.
Telinga : tidak ada ottorhea.
Hidung : tidak keluar secret, nafas cuping hidung (-)
Mulut : mukosa bibir tidak sianosis
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thorax
Paru
Inspeksi : Bentuk dada simetris, pergerakan dada simetris (tidak ada
gerakan nafas yang tertinggal), tidak ada retraksi spatium
intercostalis.
Palpasi : Gerakan dada simetris, vocal fremitus kanan sama dengan
kiri
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar nafas vesikuler, tidak terdapat ronkhi basah
kasar di parahiler dan ronkhi basah halus di basal pada
kedua lapang paru, tidak ditemukan wheezing.
Jantung
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis pada dinding dada
sebelah kiri atas.
Palpasi : Teraba ictus cordis, tidak kuat angkat di SIC V, 2 jari
medial LMC sinistra
Perkusi : Batas jantung kanan atas SIC II LPSD
Batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
Batas jantung kiri atas SIC II LPSS
Batas jantung kiri bawah SIC V LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler, tidak ditemukan murmur, tidak ditemukan
gallop.

8
Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal

4. Status Dermatologikus
Lokasi :
Generalisata
Efloresensi:
Tampak makula eritematosa difusa disertai bula dan krusta kuning
kecoklatan berlapis-lapis, mudah diangkat.

Gambar 1. Kulit kemerahan dan kulit terkelupas pada daerah wajah (A) dan
punggung (B)

9
Gambar 2. A. Kulit kemerahan dan kulit terkelupas pada daerah leher (A)
dan ekstremitas atas dan bawah kanan dan kiri (B)

5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis
6. Diagnosis Banding
Varisela : lesi lebih kecil, berbatas tegas, umbilikalisasi vesikel.
Ektima : lesi lebih besar, lebih dalam dan peradangan lebih berat.
Ditutupi krusta yang keras, jika diangkat akan berdarah secara difuss.
7. Diagnosis Kerja
Impetigo Krustosa
8. Pemeriksaan Anjuran
Biakan bakteriologis eksudat lesi
Biakan sekret dalam media agar darah
Pemeriksaan tes resistensi
9. Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Margono Soekarjo dengan keluhan
muncul merah-merah pada wajah sejak 3 hari yang lalu. Mula-mula timbul
bercak merah pada pipi lalu diperiksakan ke dokter umum dan diberikan obat,
namun bukannya berkurang lesi merah-merah semakin luas dan disertai kulit
mengelupas dan lecet.
Pasien mengeluhkan pula batuk dan pilek sejak 5 hari yang lalu, dan
diakui oleh ibu dan tantenya terkadang terdapat ingus yang kering pada area

10
hidung dan bibir, lalu munculah bercak merah pada 3 hari yang lalu. BAK
normal dan BAB lembek. Pasien masih mau menyusu meskipun lebih jarang.
Imunisasi dasar lengkap sesuai jadwal. Ibu pasien bekerja sebagai buruh tani
dan pasien sering dititipkan ke tantenya.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum pasien rewel, BB 8.8 kg
dan TB 67 cm. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada wajah didapatkan
makula eritematosa difusa disertai bula dan krusta kuning kecoklatan berlapis-
lapis, mudah diangkat. Pada area leher didapatkan bekas bula dengan krusta
disekitarnya dan pada bagian perut punggung dan extremitas didapatkan
macula eritema dengan krusta kuning kecoklatan.
Berdasarkan anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang
yang dilakukan, maka dapat ditegakkan diagnosis Impetigo Krustosa

10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada kasus ini yaitu :
Balance cairan dengan IVFD KAEN 1 B 8 tpm
Antibiotik Broad Spectrum Cefotaxim 2 x 200 mg i.v
Analgetik dan antipiretik Paracetamol syr 2 x cth
Antihistamin Cetirizine Syrup 2 x 1 cth
Salep :
a. Bila tidak tertutup krusta, diberikan salep atau krim asam
fusidat 2% atau mupirosin 2%, dioleskan 2-3 kali sehari
selama 7-10 hari.
Kompres Nacl 0.9% pada area krusta yg kering

Tatalaksana kasus Impetigo krustosa pada umumnya dengan


pemberian terapi topikal antibiotik gram positif Mupirocin 2 kali
sehari sebagai first line. Salep Antibiotik broad spectrum seperti
seperti kloramfenikol 2 % dan teramisin. Jika lesi disertai gejala
konstitusi (demam, dll), antibiotik sistemik dapat digunakan misal
golongan penisilin, dan sefalosporin.

11
Edukasi kepada pasien:
Menjaga kelembapan kulit pada area luka
Menjaga kebersihan kulit dengan mandi pakai sabun bayi 2 kali
sehari
Menjaga balance cairan (pasien anak)
Mengikuti protokol pengobatan.

11. Prognosis
- Quo ad vitam : ad bonam
- Quo ad functionam : ad bonam
- Quo ad sanationam : dubia ad bonam
- Quo ad komestikum : ad bonam

12
III. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi

Impetigo merupakan infeksi bakteri paling sering pada anak. Impetigo


adalah penyakit infeksi pada lapisan epidermis superfisial yang disebabkan
terutama oleh Streptococcus pyogenes atau Staphylococcus aureus dan bersifat
akut. Impetigo dapat pula terjadi pada lesi sekunder (luka, abrasi, gigitan
serangga). Impetigo terbagi dalam 2 jenis yaitu Impetigo bulosa dan nonbulosa.
Impetigo krustosa adalah nama lain dari impetigo nonbulosa, merupakan salah
satu pyoderma primer yang disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus -
Hemolitycus yang menyerang epidermis superfisialis dengan gambaran kulit yang
eritema dan vesikel yang mudah pecah, menyebabkan pembentukan krusta tebal
berwarna kuning kecokelatan seperti madu. Impetigo krustosa dapat disebut juga
sebagai impetigo kontagiosa, impetigo vulgarid, impetigo tilbury fox (Hirschman,
2002).

2. Epidemiologi

Impetigo sering terjadi di daerah dengan iklim tropis dan dataran rendah.
Keadaan yang hangat, lembab, dengan gangguan pada kulit seperti gigitan
serangga, luka, sangat membantu perkembangan penyakit ini. Daerah padat
penduduk atau kebersihan yang buruk juga mendukung perkembangan impetigo.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua ras dan persentase jumlah pria dan wanita
yang terkena adalah sama. Persentase kejadian impetigo adalah 90% jenis bulosa
dan 10% jenis nonbulosa. Pada penderita dewasa, impetigo lebih sering terjadi
pada pria. Impetigo dapat terjadi pada semua usia namun lebih sering pada anak
usia 2-5 tahun. Penyebaran penyakit ini dapat terjadi melalui komunitas tempat
anak berkumpul seperti tempat bermain, sekolah, dan tempat penitipan anak.
Berdasarkan data dari studi di inggris pada 1995, impetigo terjadi pada 2,8% anak
umur 4 tahun kebawah dan 1,69% anak umur 5-15 tahun per tahunnya (Moulin et
al., 2008).

13
3. Etiologi

Impetigo krustosa ini disebabkan paling sering oleh infeksi bakteri


Streptococcus -Hemolitycus grup A. Penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
bakteri Streptococcus pyogenes (Razmjou et al., 2009).

4. Patogenesis

Gambar 3. Struktur Streptoccocus Pyogenes dan substansinya

Impetigo krustosa dimulai ketika trauma kecil terjadi pada kulit normal sebagai portal
of entry yang terpapar oleh kuman melalui kontak langsung dengan pasien atau dengan
seseorang yang menjadi carrier. Kuman tersebut berkembang biak di kulit dan akan
menyebabkan terbentuknya lesi dalam satu sampai dua minggu. Cara infeksi pada impetigo
krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan infeksi sekunder (Cole et.al., 2007).
a. Infeksi Primer
Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman
menyebar dari hidung ke kulit normal (kira-kira 11 hari), kemudian
berkembang menjadi lesi pada kulit. Lesi biasanya timbul di atas kulit wajah
(terutama sekitar lubang hidung) atau ekstremitas setelah trauma (Cole et.al.,
2007).

14
b. Infeksi sekunder
Infeksi sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain sebelumnya
(impetiginisasi) seperti dermatitis atopik, dermatitis statis, psoariasis vulgaris,
SLE kronik, pioderma gangrenosum, herpes simpleks, varisela, herpes
zoster, pedikulosis, skabies, infeksi jamur dermatofita, gigitan serangga, luka
lecet, luka goresan, dan luka bakar, dapat terjadi pada semua umur (Cole
et.al., 2007).
Impetigo krustosa biasanya terjadi akibat trauma superfisialis dan robekan pada
epidermis, akibatnya kulit yang mengalami trauma tersebut menghasilkan suatu protein yang
mengakibatkan bakteri dapat melekat dan membentuk suatu infeksi impetigo krustosa. Keluhan
biasanya gatal dan nyeri.Impetigo krustosa sangat menular, berkembang dengan cepat melalui
kontak langsung dari orang ke orang. Impetigo banyak terjadi pada musim panas dan cuaca yang
lembab. Pada anak-anak sumber infeksinya yaitu binatang peliharaan, kuku tangan yang kotor,
anak-anak lainnya di sekolah, daerah rumah kumuh, sedangkan pada dewasa sumbernya
yaitu tukang cukur, salon kecantikan, kolam renang, dan dari anak-anak yang telah terinfeksi
(Beheshti & Ghotbi, 2007).

Gambar 4. Patogenesis Impetigo Krustosa

15
5. Penegakan Diagnosis
Diagnosis impetigo krustosa dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa kultur bakteri dan
pengecatan, walaupun pemeriksaan penunjang ini tidak terlalu diperlukan. Kultur
bakteri dilakukan pada pasien jika terjadi outbreak poststreptococcal
glomerulonephritis atau pasien dicurigai mengalami resistan methicillin terhadap
S. aureus (Arthur, Wilkinson, Ebling, 2009; Juanda, Hamzah, Aisah, 2009).
Pada anamnesis, pasien biasanya mengeluhkan pada awalnya ada wama
kemerahan pada kulit (makula) atau papul. Lalu lesi tersebut menjadi menjadi
vesikel atau pustul (papula yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang
mudah pecah dan menjadi papul dengan keropeng/koreng. Lesi muncul pada kulit
normal atau kulit yang kena trauma sebelumnya atau mengikuti kelainan kulit
sebelumnya (skabies, vasisela, dermatitis atopi) dan dapat menyebar dengan
cepat. Selain itu juga dapat terasa gatal (Juanda, Hamzah, Aisah, 2009; Freedberg,
2003).

Gambar 5. Gambaran Klinis Impetigo Krustosa


Pada pemeriksaan fisik, ditemukan adanya eritem dan vesikel yang cepat
memecah serta krusta tebal berwarna kuning seperti madu (golden yellow crust
(Honey Bee)). Jika dilepaskan maka akan tampak erosi di bawahnya. Krusta
sering menyebar ke perifer dan bagian tengahnya sembuh (Polycyclic &
Circinate) (Juanda, Hamzah, Aisah, 2009; Freedberg, 2003). Lesi berkembang
dari kulit yang normal atau kulit yang terkena trauma dapat ditemukan adanya
limfadenopati lokal. Jikat tidak terobati lesi menyebar secara autoinokulasi

16
kemudian sembuh spontan setelah beberapa minggu tanpa skar (Freedberg,
2003).

Gambar 6. Impetigo krustosa yang disebabkan oleh streptococcus beta


hemolitikus grup A

Untuk pemeriksaan penunjang, antara lain adalah :


a. Pemeriksaan Laboratorium (Freedberg, 2003; Marks, Miller, 2013) :
1. Pewarnaan gram,
Pada pemeriksaan ini akan mengungkapkan adanya neutropil dengan
kuman coccus gram positif berbentuk rantai atau kelompok.
2. Kultur cairan.
Pada pemeriksaan ini umumnya akan mengungkapkan adanya
Streptococcus. aureus, atau kombinasi antara Streptococcus pyogenes
dengan Streptococcus beta hemolyticus grup A (GABHS), atau kadang-
kadang dapat berdiri sendiri.
b. Pemeriksaan Lain (Freedberg, 2003; Marks, Miller, 2013) :
1. Titer anti-streptolysin-O (ASO), mungkin akan menunjukkan hasil positif
lemah untuk streptococcus, tetapi pemeriksaan ini jarang dilakukan.
Streptozyme, menunjukkan hasil positif untuk Streptococcus, tetapi
pemeriksaan ini jarang dilakukan
2. Pemeriksaan kultur dan sensitifitas bakteri

17
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien impetigo krustosa berupa terapi non medika
mentosa dan medika mentosa.
Non medika mentosa (Djuanda, 2013) :
1. Menjaga hygienitas tubuh
2. Mencegah luka atau gatal untuk tidak digaruk
3. Memakai sandal dan potong kuku
Medika mentosa berupa terapi antibiotik sistemik dan antibiotik topikal. Jika
krusta sedikit, dilepaskan lalu diberi salep antibiotik. Jika banyak diberi pula
antibiotik sistemik (Djuanda, 2013).
Antibiotik yang sering digunakan pada impetigo krustosa (Djuanda, 2013) :
Antibiotik topikal (Djuanda, 2013) :
1. Lini pertama
Mupirocin
2. Lini kedua ( alergi penisilin )
Retapamulin
Antibiotik sistemik (Djuanda, 2013) :
1. Lini pertama
Penisilin V 250-500 MG (4x sehari) selama 5-7 hari
Dicloxacilin ( jika dicurigai terdapat infksi S.aureus) 250-500 mg (4x
sehari) selama 5-7 hari.
2. Lini kedua ( alergi penisilin )
Azithromisin dosis awal 500mg/ hari (1 hari sekali)) lanjut 250 mg/hari
selama 4 hari
Klindamisin 15 mg/ KgBB/ hari selama 10 hari (3x sehari)
Eritromisin 250-500mg (4x sehari) selama 5-7 hari.
7. Prognosis
Apabila penyakit tanpa disertai komplikasi, prognosis umumnya bonam,
bila dengan komplikasi, prognosis umumnya dubia ad bonam.
8. Komplikasi
a. Erisipelas adalah peradangan epidermis dan dermis yang ditandai dengan
infiltrat eritema, edema, berbatas tegas, dan disertai dengan rasa panas dan nyeri.

18
Onset penyakit ini sering didahului dengan gejala prodromal berupa menggigil,
panas tinggi, sakit kepala, mual muntah, dan nyeri sendi. Pada pemeriksaan darah
rutin dapat dijumpai lekositosis 20.000/mm3 atau lebih.
b. Selulitis adalah peradangan supuratif yang menyerang subkutis, ditandai
dengan peradangan lokal, infiltrate eritema berbatas tidak tegas, disertai dengan
rasa nyeri tekan dan gejala prodromal tersebut di atas.
c. Ulkus
d. Limfangitis
e. Limfadenitis supuratif
f. Bakteremia (sepsis)

19
IV. PEMBAHASAN

A. Penegakkan Diagnosis
Penegakan diagnosis penyakit impetigo krustosa pada kasus ini
didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien datang ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSMS dengan keluhan kulit merah-
merah yang disertai kulit mengelupas dan lepuh sejak 3 hari yang lalu.
Mula-mula timbul bercak merah pada pipi lalu diperiksakan ke dokter
umum dan diberikan obat, namun bukannya berkurang lesi merah-
merah semakin luas dan disertai kulit mengelupas dan lecet. Pasien
mengeluhkan pula batuk dan pilek sejak 5 hari yang lalu, dan diakui
oleh ibu dan tantenya terkadang terdapat ingus yang kering pada area
hidung dan bibir, lalu munculah bercak merah . Pasien tidak memiliki
riwayat keluhan kulit yang sama seperti saat ini .
Faktor risiko impetigo krustosa pada kasus ini berdasarkan dari
anamnesis adalah adanya keluhan batuk dan pilek sebelum munculnya
kulit merah dan kulit mengelupas. Hal ini sesuai dengan penyebab
impetigo krustosa berdasarkan Cole et.al., 2007 menyebutkan yaitu Cara
infeksi pada impetigo krustosa ada 2, yaitu infeksi primer dan infeksi sekunder.
Infeksi primer, biasanya terjadi pada anak-anak. Awalnya, kuman menyebar dari
hidung ke kulit normal, kemudian berkembang menjadi lesi pada kulit. Infeksi
sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain sebelumnya (impetiginisasi)
seperti dermatitis atopik, dermatitis statis, psoariasis vulgaris, SLE kronik,
pioderma gangrenosum, herpes simpleks, varisela, herpes zoster, luka lecet, luka
goresan, dan luka bakar. Pada pasien ini penyebabnya lebih mengarah pada infeksi
sekunder dimana impetigo krustosa diakibatkan oleh batuk pilek terlebih dahulu.
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik ditemukan adanya Tampak makula
eritematosa difusa disertai bula dan krusta kuning kecoklatan berlapis-

20
lapis, mudah diangkat pada region fasia, neck dan ekstremitas atas dan
bawah bilateral.
Menurut Juanda, Hamzah, Aisah, 2009; Freedberg, 2003 pada
pemeriksaan fisik impetigo krustosa dapat ditemukan adanya eritem
dan vesikel yang cepat memecah serta krusta tebal berwarna kuning
seperti madu (golden yellow crust (Honey Bee)). Jika dilepaskan
maka akan tampak erosi di bawahnya. Krusta sering menyebar ke
perifer dan bagian tengahnya sembuh (Polycyclic & Circinate).
Keluhan pada pasien sama dengan keluhan pasien impetigo krustosa
walaupun terdapat beberapa hal ang tidak dimiliki oleh pasien seperti
vesikel yang cepat memecah karena menurut Cole et.al., 2007 keluhan
tersebut biasanya muncul pada hari ke 11 dan keluhan erosi tidak ditemukan
karena pada pasien ini tidak dilakukan pelepasan krustanya.

B. Tatalaksana
Pasien ini dilakukan rawat inap karena luka kulit pasien luas,
mengenai regio wajah, leher, kedua tangan dan kaki, pasien juga masih anak-
anak dengan resiko penyebaran infeksi ke seluruh tubuh serta harus dipantau
kebutuhan cairannya. Pada pasien dilakukan maintinance dengan diberikan
cairan IVFD KAEN 8 tetes per menit. Penatalaksanaan kasus Impetigo
krustosa pada umumnya dengan pemberian terapi topikal antibiotik gram
positif Mupirocin 2 kali sehari sebagai first line. Salep Antibiotik broad
spectrum seperti seperti kloramfenikol 2 % dan teramisin. Jika lesi disertai
gejala konstitusi (demam, dll), antibiotik sistemik dapat digunakan misal
sefalosporin, jika krusta sedikit, dilepaskan lalu diberi salep antibiotik. Jika
banyak diberi pula antibiotik sistemik (Djuanda, 2013). Pada pasien ini diberi
Antibiotik Broad Spectrum Cefotaxim 2 x 200 mg i.v dikarenakan luka yang
luas pemberian antibiotik sistemik dibutuhkan.
Pasien sempat demam dari batuk dan pilek sebelumnya pemberian
antipiretik dan anlgesik dapat diberikan sesuai gejala yang diperlihatkan oleh
pasien Analgetik dan antipiretik Paracetamol syr 2 x cth diberikan pada
pasien ini, digunakan jika pasien demam atau nyeri . Untuk pengobatan gatal

21
diberikan obat simptomatik gatal berupa antihistamin, Cetirizine Syrup 2 x 1
cth diberikan pada pasien ini. Terapi topikal pasien diberikan salep dari
campuran Salep : Acdat + Asam salisilat + LCD + Soft U-derm. Sebelum
pengolesan salep dilakukan kompres menggunakan NaCl 0,9% selama 10-15
menit pada area krusta yg kering untuk membantu proses skuamasi pada
krusta.
Pengobatan awal pada impetigo krustosa,tempatkan pasien dalam
lingkungan yang lembab dan hangat. Meskipun sebagian besar pasien dapat
dikelola sebagai pasien rawat jalan, beberapa harus dirawat di rumah sakit
bersarakan luas luka serta untuk pemantauan asupan cairan dan output, serta
observasi fungsi ginjal. Untuk menghindari dehidrasi karena terjadi
pengelupasan kulit generalisata, pasien dipasang infus cairan. Medikamentosa
pada eritroderma umumnya adalah antibiotic. Perawatan kulit secara suportif
dengan kompres, serta pembersihan luka dengan sabun yang tidak iritatif 2x
sehari serta menjaga kelembaban pasien, biasanya pasien akan mengalami
perbaikan pada umumnya tidak meninggalkan bekas luka. (Djuanda, 2013
Cole, 2007).

C. Prognosis
Pada kasus ini prognosis quo ad vitam, functionam, sanationam dan
konsmetikum adalah dubia ad bonam karena pada pasien tidak terjadi
komplikasi seperti erysipelas, Selulitis, Ulkus, Limfadenitis supuratif,
Bakteremia, serta pada umumnya impetigo krustosa tanpa komplikasi seperti
pada pasien tidak akan menimbulkan scar yang menetap dan tidak
menimbulkan kekambuhan walaupun infeksius.

22
V. KESIMPULAN

Impetigo adalah penyakit infeksi pada lapisan epidermis superfisial yang


disebabkan terutama oleh Streptococcus pyogenes atau Staphylococcus aureus
dan bersifat akut. Impetigo sering terjadi di daerah dengan iklim tropis dan
dataran rendah. Gejalanya gatal dan nyeri. Impetigo krustosa sangat menular, berkembang
dengan cepat melalui kontak langsung dari orang ke orang. Penatalaksanaan utamanya
adalah menjaga kebersihan diri dan terapi medikamentosa dengan antibiotik
sistemik dan antibiotik topikal.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Edisi ke-5. Jakarta : FKUI.

2. Arthur Rook, D.S. Wilkinson, F.J.G Ebling. 2009. Impetigo. Textbook of


Dermatology. Edisi ke-3, Vol 2, Hal 338-341.

3. Cole C., Gazewood J. 2007. Diagnosis and Treatment of Impetigo. American


Family Physician : USA.

4. Djuanda A. 2011. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam Djuanda A, Hamzah M,


Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam Cetakan Kedua.
Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

5. Djuanda A., Mochtar H., dan Siti A. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke-6. Jakarta : FK UI.

6. Freedberg , Irwin M. (Editor), Arthur Z. Eisen (Editor), Klauss Wolff (Editor),


K. Frank Austen (Editor), Lowell A. Goldsmith (Editor), Stephen Katz
(Editor). 2003. Fitzpatrick's Dermatology In General Medicine (Two Vol. Set).
6th edition. McGraw Hill : Georgia.

7. Freedberg I.M.,. Eisen A.Z., Wolff K., Austen K.F., Goldsmith L., dan Katz
S.I. 2008. Exfoliative Dermatitis. In: Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine. 6th edition. McGraw Hill : USA.

8. Hirschmann JV. 2002. Impetigo: etiology and therapy. Curr Clin Top Infect
Dis, 22: 42-51.

9. Koning S.R, van der Sande., AP, Veragen., et al. 2012. Intervention for
Impetigo. The Cochrane Collaboration: Amsterdam.

10. M, Beheshti., Sh, Ghotbi. 2007. Impetigo, a Brief Review. Family Physician,
Fasa Medical School : Iran. Vol. 8 No.3 Pg:138-141.

11. Marks J.G., Miller J.J. 2013. Lookingbill and Marks Principles of
Dermatology Fifth Edition. Elsevier : New York, hal 225-230.

12. Moulin F, Quinet B, Raymond J, Gillet Y, Cohen R. 2008. Managing children


skin and soft tissue infections. Arch Pediatr, 2: S62-7.

13. Razmjou RG, Willemsen SP, Koning S, et al. 2009. Determinants of regional
differences in the incidence of impetigo. Environ Res, 109(5): 590-3.

24

Anda mungkin juga menyukai