Disusun oleh
dr. Ni Made Helen Virginia Jacob
Pembimbing
Dr. dr. Trilaksana Nugroho, M.Kes, FISCM, Sp.M (K)
SEMARANG
2019
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
DAFTAR TABEL
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Tumor orbita adalah segala bentuk penonjolan dalam rongga orbita. Angka kejadian
tumor orbita pada dewasa sebanyak 63% kasus adalah keganasan. Limfoma maligna adalah
tumor yang paling umum di kelompok usia ini, terhitung 24% kasus. Secara keseluruhan, 25%
memiliki masalah sistemik terkait dengan proses orbital yang terjadi.1 Angka kejadian tumor
orbita pada anak- anak adalah 3%, dengan angka kejadian terbesar adalah kista dermoid, lesi
vaskular dan rhabdomyosarkoma. Rhabdomyosarkoma merupakan keganasan yang paling
sering dijumpai, terjadi 70 % pada dekade pertama kehidupan, kemudian diikuti oleh
retinoblastoma. Walaupun angka kejadian tumor orbita terhitung kecil, yaitu 3.5-4 %, namun
dampak yang ditimbulkan tumor orbita cukup besar. Hal ini disebabkan letak yang tidak
menguntungkan sehingga mudah menyebar ke dalam otak, sehingga angka mortalitas cukup
tinggi.2,3
Kelainan pada orbita merupakan kelainan yang cukup mengganggu, yang ditandai
dengan nyeri, penonjolan bola mata, adanya perubahan struktur di sekitar orbita, adanya pulsasi
(denyutan), progresifitas dan perubahan perabaan dari struktur orbita. Lesi-lesi ekspansif dapat
bersifat jinak atau ganas dan dapat berasal dari tulang, otot, saraf, pembuluh darah, atau
jaringan ikat. Massa orbita dapat bersifat peradangan, neoplastik, kistik, atau vaskular.1,4
Dengan perkembangan teknologi kedokteran yang semakin berkembang pesat,
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sistematis tetap berperan penting dalam menentukan
pemeriksaan penunjang apakah yang harus kita pilih, sehingga diagnosa dapat ditegakkan
dengan lebih efektif dan efisien baik bagi dokter, rumah sakit dan pasien. 1
Anamnesis merupakan bagian yang sangat penting dan sangat menentukan dalam
pemeriksaan klinis, karena sebagian besar data (± 80%) yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis diperoleh dari anamnesis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan benar
memberikan banyak petunjuk tentang patologi pada orbita. Kelainan bilateral umumnya
mengindikasikan penyakit sistemik. Dengan petunjuk yang didapat dari riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik, dapat disusun sebuah diagnosis diferensial untuk penegakan diagnosa. Salah
satu metode evaluasi orbita yang cukup dikenal adalah The Six P’s , yaitu sebuah mneumonic
yang terdiri dari pain, progression, proptosis, palpation, pulsation dan periorbital changes.
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas secara mendalam tentang pendekatan klinis pada
proptosis sehingga dapat mengarahkan pada suatu penegakan diagnosa.1,5
1
BAB II
ANATOMI ORBITA
2
Di ruang orbita terdapat 3 lubang yang dilalui oleh pembuluh darah, saraf, yang masuk ke
dalam mata, yang terdiri dari: 4,5
1. Foramen optikum yang dilalui oleh n. Optikus, a. Oftalmika.
2. Fissura orbitalis superior yang dialalui oleh n. Lakrimalis, n. Frontalis, n. Trochlearis,
v. Oftalmika, n. Occulomotorius, n. Nasosiliaris, serta serabut saraf simpatik.
3. Fissura orbitalis inferior yang dilalui nervus, vena dan arteri infraorbitalis.
3
Neoplasma primer otot sangat jarang, tetapi lesi metastatik pada otot lebih sering
dijumpai.
3. Ruang subperiosteal adalah ruang diantara tulang orbital dan periorbita. Hematoma,
timbunan pus, abses periosteal, sering didapatkan mengisi ruangan ini akibat dari
patologi tulang disekitarnya.
4. Ruang tenon terletak di antara mata dan kapsula fibrosa. Kapsul tenon, mengelilingi
semua bola mata, tetapi di bagian anterior mata adalah bloodless space, dimana
prosedur enucleation dan skleral buckle dilakukan. Ruangan ini paling jarang terlibat
dalam proses patologi orbital.
5. Ruang extraorbital, atau jaringan periokular, termasuk semua struktur di sekitar orbit
yaitu tulang, otak, sinus, hidung, kulit, dan konjunctiva.5,6
4
BAB III
PEMERIKSAAN PADA ORBITA
Evaluasi abnormalitas orbita harus dapat membedakan orbital dari lesi periorbital dan
intraokular. Perbedaan ini dapat mengarahkan kepada sebuah diagnosis. Evaluasi dimulai dari
anamnesis dan pemeriksaan untuk membimbing ke arah diagnosa dan terapi .4,5
5
dan lebar celah palpebra harus diukur. Perubahan nilai-nilai ini dapat mengindikasikan adanya
suatu kelainan pada orbita. 8-10
Krohel, Stewart, and Chavis mengenalkan mneumonic yang cukup terkenal untuk
menilai kelainan patologi pada orbita yaitu The Six P’s untuk anamnesa dan pemeriksaan
fisik yang lebih terarah dan menyediakan panduan untuk menyingkirkan diagnosis banding
tumor orbita. The Six P’s pada pemeriksaan orbita penting untuk dicari diantaranya, yaitu :
1,5
1. Pain
2. Progression
3. Proptosis
4. Palpation
5. Pulsation
6. Periorbital Changes
Pemeriksaan orbita The Six P’s penting untuk mencari riwayat penyakit (Pain and
Progression) dan pemeriksaan fisik (Proptosis, Palpation, Pulsation and Periocular changes)
kita lebih terarah untuk penegakan kasus tumor orbita. Bahkan pada literatur lain ada yang
menambahkan past medical history sebagai The Seven P’s dan The Nine P’s dengan
menambahkan perception of colour vision, pupil dan PBCT (Prism Bar Cover Test).1
Pemeriksaan pupil, relative aferen pupillary defect (RAPD) sangatlah dperlukan untuk
evaluasi fungsi saraf optik. Pemeriksaan persepsi warna juga merupakan cara yang sederhana
dan sangat sensitif untuk mengetahui status saraf optik. Namun diantara variasi prosedur
pemeriksaan orbita, The Six P’s yang paling mudah dan umum digunakan. PBCT (Prism Bar
Cover Test) digunakan untuk mengetahui apabila terjadi hambatan gerak dari otot-otot
ekstraokular.9
6
BAB IV
THE SIX P’S
4.1 Pain
Pain atau nyeri kemungkinan merupakan tanda dari adanya inflamasi dan infeksi, perdarahan
orbita, tumor glandula lakrimalis maligna, invasi dari karsinoma nasopharyngeal, atau adanya
metastase. Adanya nyeri, merupakan tanda adanya peradangan, infeksi, acute pressure changes
(perdarahan, peningkatan TIO) dan keterlibatan tulang atau nervus. Neoplasma secara umum
tidak akan menyebabkan nyeri, sampai komplikasi yang terkait muncul, seperti metastasis pada
tulang atau saraf.1,5,11
Skala penilaian numeric (Numerik Rating Scale) lebih digunakan sebagai pengganti alat
pendeskripsi kata. Pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Nol diartikan tidak
nyeri, rentang 1-3 diartikan nyeri ringan (secara objektif pasien dapat berkomunikasi baik),
rentang 4-6 diartikan nyeri sedang (secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik),
rentang 7-9 diartikan nyeri berat (secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah dengan baik tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan perubahan posisi, nafas panjang
dan distraksi), dan 10 diartikan nyeri hebat (pasien sudah tidak mampu berkomunikasi). Skala
ini paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri dan setelah intervensi terapeutik.3
7
4.1.2 Diagnosa Banding Berdasarkan Intensitas Nyeri
Berdasarkan intensitas nyeri, dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Nyeri Berat
Nyeri berat yang menyertai proptosis biasanya akibat infeksi dan lesi inflamasi seperti
selulitis orbita, abses orbita, myocysticercosis, kondisi vascular seperti high flow carotid-
cavernous fistula dan lesi metastase. Retinoblastoma dan rhabdomyosarkoma bisa sangat
nyeri dengan gejala menyerupai sellulitis orbita. Thyroid orbitopathy yang sering
merupakan proses kronis juga dapat memberikan gejala nyeri hebat.1
b. Nyeri Sedang
Nyeri sedang biasanya menyertai idiopathic orbital inflammatory syndrome,
myocysticercosis, kista dermoid yang ruptur.
c. Nyeri Ringan
Nyeri ringan yang tumpul biasanya menyertai keadaan tumor neoplastik dengan metastase
tulang (bone erosion). Nyeri kadang juga dapat muncul pada proptosis yang diakibatkan
karena trauma, seperti retrobulbar hemorrhage atau emphysema akibat pembedahan atau
carotid cavernous fistula. Kadang juga dijumpai proptosis dengan pulsasi paska trauma,
dapat dipikirkan suatu herniasi otak melalui atap orbita yang rusak.1
4.2 Progression
Progression atau progresivitas lesi pada tumor orbita dapat dijadikan indikasi diagnostik.
Berdasarkan onsetnya, dapat dibagi menjadi :
a. Akut (beberapa jam hingga minggu)
Sering didapatkan pada infeksi, inflamasi, parasitic infestations, trauma, lesi
metastatic atau lymphangioma.
8
Gambar 5. A. Proptosis akut pasca trauma B. Setelah tindakan orbitotomi. 1
b. Subakut (1-4 minggu)
Biasanya pada inflamasi, parasitic infestations atau metastase neoplasia
c. Kronik (lebih dari 1 bulan)
Sering dijumpai pada thyroid orbitopathy, varises orbita, neoplasia benigna
seperti hemangioma cavernosus, neurofibroma, schwannoma, glioma
nervus optikus. Lesi primer neoplasia di orbita sering memberikan
gambaran kronis baik lesi beningna ataupun maligna. 1,14
Tabel 1. Onset tumor orbita pada dewasa10
4.2 Palpasi
Palpasi dapat dimulai dari daerah tepi orbita, setiap lesi massa teraba dan menilai
orbital tekanan dengan retropulsi. Saat meraba orbita, minta pasien untuk melihat ke
daerah yang kita palpasi, sehingga septum orbita menjadi rileks. Gunakan ujung jari
untuk meraba setiap massa pada orbita. Perhatikan pula daerah cul-de-sacs konjungtiva
dan eversi pada palpebra. Jika teraba massa, perhatikan konsistensinya, ukuran, luas,
permukaan, fluktuasi, mobilitas, ada tidaknya nyeri tekan. Menilai tonus orbital dengan
memberikan tekanan lembut pada kelopak mata yang tertutup dan mendorong bola mata
ke orbit (test resistance of retropulsion). Bandingkan tonus yang dihasilkan oleh mata
yang proptosis dengan mata yang normal. 1
9
Palpasi berguna untuk memeriksa proses patologi di orbital anterior. Palpasi
memberi informasi mengenai kepadatan dan tekstur tumor, serta tingkat infiltrasi
jaringan. Lesi kistik yang terletak di anterior, seperti kista dermoid atau mucocele,
memberikan kesan fluktuatif, arteriovenous malformasi memiliki konsistensi 'bag of
worm' dan limfoma akan teraba kenyal. 1,5
Berikut ini area palpasi dan kemungkinan patologi orbita yang mungkin terlibat :
a. Kuadran superonasal, massa yang teraba pada kuadran ini biasanya mucocele,
mucopyocele, encephalocele, neurofibromas, dermoids, atau lymphoma.
b. Kuadran superotemporal, kadang teraba massa dermoids, prolapsed lacrimal gland,
tumor lacrimal gland, lymphoma atau idiophatic orbital inflammatory disease. 11
Palpasi massa juga dapat digunakan untuk memandu saat prosedur needle
biopsi. Palpasi pada orbital rim untuk mengidentifikasi tepi yang tidak teratur sebagai
indikasi infiltrasi tumor atau krepitasi daerah trauma. 9
4.3 Pulsasi
Pulsasi tanpa adanya bruits kemungkinan disebabkan adanya
neurofibromatosis atau meningoencephalokel, atau mungkin akibat dari operasi
pengangkatan atap orbital. Pulsasi dengan bruits, dapat disebabkan oleh carotid
cavernous fistula, dural arteriovenous fistulas, dan orbital arteriovenous fistulas.1,5
Proptosis pulsatil dapat disebabkan oleh malformasi vaskular, fistula
arteriovenosa, atau pulsasi cairan serebrospinal yang dihantarkan melalui defek
perkembangan atau prosedur pasca pembedahan pada tulang orbita. Metastasis ke orbit
merupakan penyebab yang jarang dari proptosis pulsatil. 11
Proptosis pulsatil mungkin merupakan hasil gaya hemodinamik yang
ditransmisikan ke mata baik secara langsung seperti pada carotid cavernosus fistula atau
secara tidak langsung melalui intervensi jaringan lunak, seperti pada herniasi otak
melalui displasia tulang, misalnya, neurofibromatosis. Kadang-kadang metastasis di
10
orbit dapat mempunyai banyak vaskularisasi sehingga menghasilkan pulsasi sendiri dan
mengirimkannya ke orbita yang menghasilkan proptosis pulsatil.1
11
Manuver valsalva terkadang juga perlu dilakukan, adanya peningkatan
proptosis setelah valsalva manuver biasanya diakibatkan oleh orbital varix.
Gambar 10. A. Lid retraction ringan, B. Lid retraction sedang, C. Lid retraction berat
pada TAO (thyroid-associated orbitopathy) 1
Lid lag atau keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata melirik
ke bawah (Von Graefe sign), merupakan perubahan kedua tersering dalam TAO setelah
lid retraction. Dapat terjadi unilateral ataupun bilateral. Lagophthalmos juga sering
dijumpai, dan berhubungan terhadap kejadian keratopati eksposure yang pada tahap
awal ditandai dengan rasa sakit dan fotofobia, apabila berkepanjangan dapat
menyebabkan ulkus kornea bahkan perforasi. Sehingga, deteksi lagophthalmos sedini
mungkin penting untuk diperhatikan.10
13
Gambar 11. Periocular changes pada TAO A. Right upper lid retraction dan temporal flare
B. Lid lag on downgaze 10
4.5.1 Massa
Memperhatikan gambaran massa sangat penting untuk membantu penegakan
diagnosa. Gambaran tentang adanya pembuluh darah, deskripsi permukaan tumor,
ukuran, batas, nyeri, pergerakan, dan transluminasi. 5
Gambar 12. Pemeriksaan trasluminasi pada lesi kistik yang mendorong ke arah superior 1
Gambar 14. A.Caput medusa akibat CCF (Carotid Cavernous Fistula), B. pelebaran
vena ophthalmica ditunjukkan oleh panah biru 1
15
4.5.2 Pemeriksaan rongga hidung dan rongga mulut
Pemeriksaan rongga hidung dan rongga mulut wajib dilakukan, apabila dijumpai
keterlibatan sinus paranasal. Terkadang, biopsi juga lebih mudah dilakukan dari rongga
mulut ataupun hidung untuk mengetahui sifat lesi tersebut. 1,15
Gambar 16. Pemeriksaan hidung dan rongga mulut pada lesi di sinus maksilaris1
16
Tabel 2. Perubahan Periorbital Terkait dengan Tumor Orbita 1,5
17
BAB V
PROPTOSIS
Salah satu hal yang harus dinilai dalam pemeriksaan orbit dengan space-occupying
lesion adalah proptosis, yang juga dikenal sebagai exophthalmos, penonjolan bola mata di luar
lingkaran orbital. Proptosis adalah istilah dalam terminologi Galenic, yang berarti "jatuh maju
"atau" jatuh keluar. " Exophthalmos, istilah yang baru, awalnya muncul di abad ke-17, untuk
menggambarkan dorongan ke depan mata yang dihasilkan dari gangguan sistemik, seperti
Graves ophthalmopathy. Istilah "proptosis" biasanya digunakan untuk menggambarkan
penonjolan ke depan dari mata, dalam banyak kasus tumor atau sebuah kista.12
Proptosis dideskripsikan sebagai penonjolan bola mata yang abnormal, dan disebabkan
oleh lesi retrobulbar, atau pada kasus yang jarang, karena orbita yang dangkal. Proptosis harus
dibedakan dengan pseudoproptosis, seperti akibat unilateral high myopia (enlarged globe),
buphthalmos, contralateral enophthamos (silent sinus syndrome), asimetri ukuran orbita,
asimetri ukuran fisra palpebra (ipsilateral lid retraction, contralateral minimal ptosis, facial
nerve paralysis).5
18
Tabel 3. Penyebab proptosis pada anak7
19
BAB VI
DIAGNOSA BANDING PROPTOSIS
20
Gambar 18. Eccentric proptosis ke arah inferolateral akibat fronto ethmoid mucocele 1
21
Tabel 5. Diagnosis banding berdasarkan arah pergeseran bola mata 10
Displacement Etiology
1. Axial displacement
Enlarged extraocular muscles Thyroid orbitopathy
Intraconal mass Cavernous hemangioma
Optic Nerve Tumor Optic Nerve meningioma
2. Nonaxial displacement
Inferior displacement
Lacrimal gland Benign mixed or lymphoid tumor
Frontal sinus Mucocele
Orbital roof Sphenoid wing meningioma
Lateral displacement
Ethmoid sinus Abscess or mucocele
Superior displacement
22
Tabel 6. Diagnosis banding proptosis11
23
BAB VII
PEMERIKSAAN PROPTOSIS
7.1 Inspeksi
Pengukuran proptosis sangat penting karena bagian dari evaluasi orbita. Proptosis dapat
dinilai di 3 arah, yaitu anteroposterior (aksial), horizontal dan vertikal. Tes Naphzeiger adalah
tes yang bisa digunakan untuk mendeteksi proptosis ringan. Minta pasien untuk melihat objek
yang jauh, kemudian berdiri di belakang pasien, dan dengan lembut melihat ke bawah dahi
pasien. Perhatikan mata yang lebih menonjol di depan yang lain. 1,5
Palpebra fissure height merupakan ukuran celah terlebar antara kelopak bawah dan
24
kelopak atas pada saat pasien melihat benda jauh dengan pandangan primer. Fissura pada
palpebra diukur pada posisi utama (orang dewasa biasanya 10-12 mm dengan kelopak mata
teratas menutup 1 mm dari limbus).
Levator Function (upper eyelid excursion) merupakan jarak perpindahan tepi kelopak
mata atas saat pasien merilik ke bawah hingga melirik ke atas dengan meniadakan fungsi otot
frontalis. Hal ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi dari otot levator. Crowell Beard
melaporkan eyelid excursion normal adalah antara 12-17 mm. fungsi levator diklasifikasikan :
good (>=8 mm), fair (5-7 mm) dan poor (4 mm) . 13
masih terlihat kornea. Konfirmasi adanya Bell’s phenomenom penting sebelum dilakukan
prosedur pembedahan untuk menghindari resiko keratopati exposure post operatif.
26
Gambar 26. Eksoftalmometer Leudde’s 7
27
BAB VIII
PEMERIKSAAN IMAGING PADA PROPTOSIS
Pada berbagai studi yang telah dilakukan, peran dari Computed tomography (CT) dan magnetic
resonance imaging (MRI) penting untuk menunjang diagnosa terutama kasus proptosis.
Klinisi sering dihadapkan pada keadaan harus memilih modalitas pencitraan yang tepat. Pada
umumnya, kita harus menentukan antara CT scan atau MRI. Pilihan tergantung pada beberapa faktor,
termasuk kecurigaan diagnosis, lokasi anatomis dari kecurigaan abnormal, ketersediaan modalitas
pencitraan, dan biaya. 5
8.1 CT Scan
CT Scan merupakan pilihan pemeriksaan penunjang untuk trauma orbita dan tumor pada
tulang . CT Scan digunakan untuk menggambarkan bentuk, lokasi, luas, dan karakter lesi di
orbita, sehingga dapat menentukan rencana tatalaksana. Dengan adanya CT Scan dapat
membantu tatalaksana jika hendak dilakukan orbitotomi.5
Pada kasus kelainan tumor vaskular (meningioma) gambaran CT Scan akan terlihat jelas
dengan menggunakan kontrast. Kontras memberikan visualisasi tidak hanya tulang, tetapi
jaringan lunak sekitar dan benda asing. Penmeriksaan CT Scan dapat dilakukan dengan
potongan aksial, sejajar dengan jalannya saraf optik; pada potongan koronal, untuk
memvisualisasi saraf optik, dan otot ekstraokular, dan di potongan sagital, sejajar dengan
septum hidung.1,5,14
28
8.2 MRI
MRI adalah suatu alat pemeriksaan yang bersifat non invasif, karena tidak menggunakan
radiasi ionisasi, sehingga tidak menimbulkan efek biologik. Pada dasarnya, MRI merupakan
interaksi dari 3 komponen, yaitu atomic nuclei possessing, gelombang radiofrekuensi dan
bidang magnetik. Setiap jaringan orbita memiliki parameter resonansi magnet yang berbeda-
beda, yang kemudian ditangkap menjadi data, lalu diubah menjadi gambar oleh komputer.
Kelebihan MRI adalah tidak menggunakan sinar X, gambar yang terjadi lebih rinci, dan dapat
menghitung biokimia jaringan, dan relatif jarang menimbulkan kerusakan jaringan.1,5
29
Tabel 7. Perbandingan CT dan MRI
CT MRI
Baik dalam memvisualisasikan kondisi Baik dalam memvisualisasi orbitocranial
orbita, terutama dalam kasus trauma junction dan gambaran intracranial
dan penyakit mata akibat tiroid
Baik untuk melihat tulang dan Tidak dapat memvisualisasikan tulang
kalsifikasi dan kalsifikasi
Terbatas dalamvisualisasi apex orbita Baik dalam memvisualisasikan apex
orbita dan jaringan lunak
Terbatas dalam resolusi Memberikan gambaran sof tissue secara
detail
Perlunya format ulang / scanning ulang Pengambilan gambaran secara simultan
pada kasus potongan multiple
Memberikan gambaran yang jelas jika Memberikan gambaran yang jelas jika
digunakan dengan kontrast digunakan dengan kontrast
Kurang memberikan gambar gerakan Baik dalam memvisualisasikan gerakan
artifak karena waktu pemintaian yang arterfak darna waktu pemintaian yang
singkat lama
Lebih aman untuk orang Teknik pemintaian lebih ketat dengan
claustrophobic metode open scanners, dapat
menggunakan resolusi rendah
Memberikan gambaran yang baik pada Kontraindikasi untuk pasien dengan
kasus benda asing ferromagnetic metalic foreign bodies,
aneurisma klip, pasien dengan
pemakaian pacemaker.
Kontraindikasi pada kehamilan, dan Aman pada kehamilan dan anak-anak
minimal penggunaan pada anak-anak
Teknik penggunaan sederhana Teknik penggunaan lebih canggih
Kotraindikasi kepada pasien dengan Penggunaan gadolinum carries yang
alergi iodine dan gangguan fungsi renal beresiko pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal, gagal ginjal tahap 4 atau 5
( GFR<30mL/min/1.73m2)
30
MRI memberikan keunggulan dibandingkan CT dalam beberapa situasi. Ini memungkinkan
tampilan langsung informasi anatomi dalam berbagai bidang (sagital, aksial, koronal, dan
bidang miring apa pun). MRI memberikan definisi jaringan lunak yang lebih baik daripada
CT, kemampuan yang sangat membantu dalam evaluasi demielinasi dan pada lesi vaskular
dan hemoragik. Dibandingkan dengan CT, MRI juga memberikan kontras jaringan yang lebih
baik dari struktur di apeks orbital, bagian intrakanalicular dari saraf optik, struktur dalam
ruang periorbital, dan tumor orbitokranial, karena tidak ada artefak dari tulang dasar
tengkorak. Tulang dan kalsifikasi menghasilkan sinyal rendah pada MRI. Struktur tulang
dapat dievaluasi dengan visualisasi dari sinyal batal yang ditinggalkan oleh tulang. Dengan
demikian, CT lebih unggul daripada MRI untuk evaluasi fraktur, kerusakan tulang, dan
kalsifikasi jaringan. MRI dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki benda asing logam
feromagnetik di orbit atau jaringan lunak periorbital, klip vaskular feromagnetik dari operasi
sebelumnya, filter intravaskular magnetik, atau perangkat elektronik dalam tubuh seperti alat
1,5,16
pacu jantung.
Meskipun CT dan MRI menghasilkan gambar yang berbeda, tidak jarang kedua teknik ini
diperlukan dalam evaluasi gangguan orbital. Pilihan antara modalitas ini harus didasarkan
pada kondisi pasien tertentu. Dalam kebanyakan kasus, CT adalah pilihan yang lebih efektif
dan ekonomis. MRI adalah teknik utama yang lebih baik untuk pencitraan persimpangan
orbitokranial dan otak, tetapi pemindaian CT dapat meningkatkan penilaian dengan
memberikan gambar tulang yang lebih baik. Ketika persimpangan orbitokranial atau otak
terlibat, pemindaian CT dan MRI mungkin saling melengkapi dalam beberapa kasus,
keduanya diperlukan untuk mengevaluasi lesi secara kompleks.5,15
31
BAB IX
RINGKASAN
Evaluasi gangguan orbital harus dibedakan dari kelainan periorbital dan lesi
intraokular. Patologi orbital dapat dikategorikan menjadi 5 pola klinis: (1) inflamasi (akut,
subakut, dan kronis), (2) efek massa (proptosis aksial atau nonaksial), (3) struktural (kongenital
atau didapat), (4) vaskular (vena atau lesi arteri), dan (5) fungsional (sensorik dan atau disfungsi
motorik struktur neurovaskular). Klasifikasi ini dapat menyederhanakan pengembangan
diagnosis diferensial.
Patologi pada orbita dapat dinilai dengan anamnesa yang rinci dan pemeriksaan fisik.
Dibandingkan dengan anak-anak, pada dewasa sering dijumpai dengan kondisi komorbid.
Meskipun sebagian besar gold standard membutuhkan pemeriksaan radiologi dan diagnosis
pataologi anatomi jaringan, anamnesa riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik dapat membantu
menentukan prosedur diagnostik sehingga menentukan arah tatalaksana.Penyebab umum
tumor orbital berbeda antara anak-anak dan orang dewasa. Misalnya, rhabdomyosarcoma,
salah satunya keganasan orbita pediatrik primer yang paling umum, namun jarang terjadi pada
orang dewasa.
Anamnesa dan evaluasi sistematis yang mencakup riwayat rinci, pemeriksaan fisik dan
perhatian pada 'Krohel's The Six Ps', memungkinkan pemeriksa mempersempit diagnosis
banding untuk menegakkan diagnosa. Riwayat pemeriksaan okular yang lengkap dan
pemeriksaan fisik wajib untuk setiap pasien tumor orbita. Dalam keadaan darurat, beberapa
bagian dari pemeriksaan rutin mata dapat ditunda, kecuali hasilnya relevan untuk penegakan
diagnosis baanding.
Pilihan antara modalitas imaging pada kasus proptosis ini harus didasarkan pada
kondisi pasien tertentu. Dalam kebanyakan kasus, CT adalah pilihan yang lebih efektif dan
ekonomis. MRI adalah teknik utama yang lebih baik untuk pencitraan persimpangan
orbitokranial dan otak, tetapi pemindaian CT dapat meningkatkan penilaian dengan
memberikan gambar tulang yang lebih baik.
32
DAFTAR PUSTAKA
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Fakultas Kedokteran Indonesia. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta. 2004
3. Kanski JJ, Bowling B. Cinical Ophthalmology : A Systemic Approach. Seventh
Edition. Elsevier Saunders, London, New York. 2011
4. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Fundamentals and Principles of ophthalmology.
Edition 2010-2011. Section 2. The Foundation of the American Academy of
Ophthalmology. 2017
5. Liesegang TJ, Deutsch TA, Grand GM. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System. Edition
2016-2017. Section 7. The Foundation of the American Academy of Ophthalmology.
2017
6. Louise, Probst, Julie H. Tsai, Ophthalmology Clinical and Surgical Principles, Slack
Incorporated, Chicago, Illinois, 2012
7. Modi, J. Palak Orbital Tumors In Children: A Descriptive Study At Tertiary Care
Centre, National Journal Of Medical Research, 2013
8. Moeloek NF, Usman TA. Pandangan Umum dan Penatalaksanaan Tumor Orbita.
Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta. 1992.
9. Nerad, Jeffrey, Technique in Ophthalmic Plastic Surgery A Personal Tutorial, Saunders
Elsevier, 2010
10. Singh, Arun D, Bertil E Damato, Clinical Ophthalmic Oncology, Saunders Elsevier,
2007
11. Singh, Arun D, Bertil E. Damato, Essentials of Ophthalmic Oncology, United States of
America, 2009
12. Vijaya, Shanmugam, An Aetio-epidemiological Inquiry of Proptosis, India, 2016
13. Weiss, S Howard, Practical Ophthalmology, A Manual for Beginning Residents, The
Foundation of the American Academy of Ophthalmology. 2017
14. Wajda, N.Brynn, The Wills Eye Manual, Wolters Kluwer,Philadelphia, 2017
15. Yoshimi, Anzai, Orbital Neoplasms in Adults: Clinical, Radiologic and Pathologi
Review, Washington, 2013.
16. Zeynel A. Karcioglu, Clinical Evaluation of the Orbit, Saunders Elsevier, 2013
33