Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA


(BPH)

Pembimbing:
dr. Jusuf Saleh Bazed, Sp.U

Oleh :
Ghassani Zatil Iman
2017730142

KEPANITERAAN KLINIK STASE BEDAH


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA PONDOK KOPI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Benign Prostatic
Hyperplasia” ini tepat pada waktunya. Referat ini disusun sebagai rangkaian tugas untuk
menyelesaikan stase Bedah dan juga untuk menambah pengetahuan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada pembimbing dr. Jusuf Saleh Bazed, Sp.U
yang telah membantu serta membimbing penulis dalam kelancaran pembuatan referat ini.
Semoga referat ini dapat bermanfaat kepada penulis pada khususnya dan bagi pembaca
pada umumnya. Penulis menyadari bahwa penulisan referat ini belum sempurna, baik dari
segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga laporan ini
bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang kedokteran.

Jakarta, Agustus 2022

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Istilah BPH atau benign prostatic hyperplasia sebenarnya merupakan istilah


histopatologis, yaitu terdapat hiperplasia sel-sel stroma dan sel-sel epitel kelenjar
prostat. Suatu penelitian menyebutkan bahwa prevalensi Benigna Prostat
Hiperplasia (BPH) yang bergejala pada pria berusia 40–49 tahun mencapai hampir
15%. Angka ini meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga pada usia 50–59
tahun prevalensinya mencapai hampir 5% dan pada usia 60 tahun mencapai angka
sekitar 43%.1
Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang
mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar
prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher buli-buli dan uretra atau
dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang khusus
disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate
obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan
struktur buli-buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran
kemih atas maupun bawah.2
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik
untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari pemeriksaan colok
dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan
adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat. Kecurigaan
suatu keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang
positif kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam
menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%.2

3
BAB II
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA

A. Anatomi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior. Prostat berbentuk
seperti pyramid terbalik dan merupakan organ kelenjar fibromuskuler yang
mengelilingi uretra pars prostatica. Bila mengalami pembesaran, organ ini
menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urin
keluar dari buli-buli. Prostat merupakan kelenjar aksesori terbesar pada pria;
tebalnya ± 2 cm dan panjangnya ± 3 cm dengan lebarnya ± 4 cm, dan berat 20
gram.1

Menurut McNeal (1972), kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus :1


a. Lobus medius
b. Lobus lateralis (2 lobus)
c. Lobus anterior
d. Lobus posterior

Pada kelenjar prostat juga dibagi dalam 5 zona :1


a. Zona Anterior atau Ventral

4
Sesuai dengan lobus anterior, tidak punya kelenjar, terdiri atas stroma
fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga kelenjar prostat.
b. Zona Perifer
Sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa kelenjar
prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat asal
karsinoma terbanyak.
c. Zona Sentralis.
Lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai dengan lobus
tengah meliputi 25% massa glandular prostat.
d. Zona Transisional.
Zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut juga sebagai
kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat, yaitu
kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma
fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH).
e. Kelenjar-Kelenjar Periuretra
Bagian ini terdiri dari duktus-duktus kecil dan susunan sel-sel asinar
tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.

B. Definisi

5
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pertumbuhan jinak kelenjar
prostat, yang menyebabkan prostat membesar. Dapat didefinisikan juga menjadi
suatu keadaan dimana kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan
mendesak jaringan prostat ke perifer. Pada usia 30 tahun prostat memiliki ukuran
sebesar buah kenari (20 cm3), ukurannya akan meningkat secara gradual sesuai
peningkatan umur, dan cenderung menjadi BPH setelah umur lebih dari 60 tahun.
Gangguan keluarnya air kemih akan menyebabkan komplikasi antara lain infeksi
saluran kemih, retensi air kemih akut, dan nefropati obstruksi. BPH secara
hormonal tergantung dari produksi hormon testosteron dan dehidrotestosteron
(DHT).3

C. Epidemiologi

BPH kerap menyebabkan disfungsi pada saluran kemih bagian bawah pria dan
paling sering ditemukan pada pria lanjut usia. Sekitar 18 – 25% laki-laki dengan
usia di atas 40 tahun dan lebih dari 90% laki-laki dengan usia di atas 80 tahun
mengalami BPH. Benign prostate hyperplasia mempengaruhi sekitar 50% laki-laki
antara usia 51 sampai 60 tahun, dan meningkat 90% pada pria yang berusia 80
tahun. Pada tahun 2010 di USA hampir 14 juta pria menderita gejala Lower Urinary
Tract Symptoms (LUTS) yang disebabkan oleh BPH. Di Indonesia, operasi yang
sering dilakukan yaitu operasi batu saluran kemih dan diikuti oleh benign prostat
hyperplasia.4
BPH terjadi pada sekitar 70% pria di atas usia 60 tahun. Angka kejadian BPH
di Indonesia yang pasti belum pernah diteliti, tetapi sebagai gambaran hospital
prevalence di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak tahun 1994-2013
ditemukan 3.804 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 66,61 tahun.
Sedangkan data yang didapatkan dari Rumah Sakit Hasan Sadikin dari tahun 2012-
2016 ditemukan 718 kasus dengan rata-rata umur penderita berusia 67.9 tahun.2

D. Etiologi dan Faktor Risiko

6
Hiperplasia prostat sering merupakan gambaran umum pada laki-laki dengan
testis yang utuh. Penumpukan Dehidrotestosteron (DHT) dalam kelenjar prostat
menjadi mediator terjadinya hiperplasia. Testosteron, andogen yang terbesar dalam
sirkulasi, menyebar ke seluruh sel prostat, dan predominan berubah menjadi DHT
oleh enzim 5-alfa reduktase. Hampir 90% testosteron dalam prostat berasal dari
testis dan sisanya dari kelenjar adrenal. Testosteron dan DHT berikatan dengan
reseptor androgen dan hasilnya meningkatkan biosintesis protein dan hiperplasia.
Dengan demikian hiperplasia prostat tergantung secara langsung dari rangsangan
androgen.2
Obstruksi prostat terdiri dari 2 elemen yaitu komponen statis dan dinamis.
Komponen statis berhubungan dengan pembesaran kelenjar prostat, yang
membutuhkan adanya DHT, sehingga penggunaan antiandrogen dan 5-alfa
reduktase inhibitor merupakan pilihan terapinya. Komponen dinamis berasal dari
tonus otot polos prostat dan dipengaruhi oleh sistem saraf simpatis. Kontraksi otot
polos uretra, prostat dan leher kandung kemih merupakan kontribusi gejala
hiperplasia prostat, sehingga alfa-1 adrenergik antagonis selektif dapat digunakan
sebagai terapi. Teori lain terjadinya hiperplasia prostat yaitu :2
1. Teori sel punca (stem celt), teori sel punca menyatakan bahwa terjadinya
proliferasi sel pada hyperplasia prostat merupakan akibat ketidaktepatan
aktivitas sel punca sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel
stroma maupun sel epitel.
2. Teori berkurangnya kematian sel prostat (apoptosis), yang menyebabkan
jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan pertambahan massa prostat.
3. Teori interaksi stroma-epitelial oleh faktor pertumbuhan yang merangsang
proliferasi sel. Menurut teori ini mekanisme terjadinya hyperplasia prostat
pada orang tua adalah akumulasi penuaan sel epitel yang mengekspresikan
IL-1 alfa yang menyebabkan kenaikan sekresi FGF7 dan proliferasi non
senescence epitelial.
4. Teori faktor inflamasi dan sindrom metabolik: bukti terkini menunjukan
bahwa hyperplasia prostat adalah suatu immune inflammatory disease.

7
Inflamasi dimulai dengan rangsangan yang menciptakan suatu lingkungan
proinflamasi didalam kelenjar prostat. Teori ini telah dikonfirmasi dengan
studi beberapa otopsi klinis yang menggambarkan hubungan yang
signifikan antara inflamasi dengan berat dan progresivitas hyperplasia
prostat. Sindrom metabolik yang terdiri dari Diabetes Mellitus type2,
hipertensi, obesitas dan hig-density lipoprotein cholesterol (HDL-C)
rendah merupakan faktor risiko terjadinya hyperplasia prostat.

E. Patofisiologi
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional,
sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Pertumbuhan kelenjar ini sangat bergantung pada hormon testosteron, yang di
dalam sel-sel kelenjar prostat, hormon akan dirubah menjadi metabolit aktif
dihidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim 5α reduktase.
Dihidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-
sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein growth factor yang memacu
pertumbuhan kelenjar prostat.2
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urine, buli-buli
harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus
menerus ini menyebabkan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli.
Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai
keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatimus. 2
Tekanan intravesika yang tinggi diteruskan ke seluruh bagian buli- buli
tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks
vesiko-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan

8
hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
2

F. Manifestasi Klinis dan Anamnesis


Anamnesis : 4
- Keluhan utama
- Berapa lama
- Gejala obstruksi dan iritasi
- Obat-obatan yang dapat menyebabkan keluhan miksi
- Skoring internasional prostate symptom score (IPSS)
a. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS)
Terdiri atas gejala :
Voiding Symptoms Storage Symptoms Postvoid Symptoms
§ Hesitansi § Frekuensi § Perasaan
§ Pancaran Miksi § Nokturia pengosongan
lemah § Urgensi kandung kemih
§ Miksi tidak puas § Disuria yang tidak puas
§ Menetes setelah § Urin menetes
miksi
§ Miksi terputus

Gejala obstruktif disebabkan oleh karena detrusor gagal berkontraksi


dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus, sedangkan gejala iritasi disebabkan oleh karena pengosongan
yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan
rangsangan pada vesika, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum
penuh. Gejala obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh karena prostat dengan
volume yang besar.4
Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hiperplasia prostat masih
tergantung tiga faktor, yaitu:
• Volume kelenjar periuretral.

9
• Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat.
• Kekuatan kontraksi otot detrusor.
Timbulnya gejala LUTS merupakan manifestasi kompensasi otot buli-buli
untuk mengeluarkan urine. Pada suatu saat, otot buli-buli mengalami
kepayahan (fatigue) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang
diwujudkan dalam bentuk retensi urin akut.
Timbulnya dekompensasi buli-buli ini didahului oleh faktor pencetus antara
lain :4
1) Volume buli-buli tiba-tiba penuh (cuaca dingin, konsumsi obat-obatan
yang mengandung diuretikum, minum tertalu banyak)
2) Massa prostat tiba-tiba membesar (infeksi prostat)
3) Setelah mengkonsumsi obat-obat yang dapat menurunkan kontraksi otot
detrusor (golongan antikolinergik atau adrenergic-α)
b. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Merupakan penyulit dari hiperplasia prostat, berupa gejala obstruksi
antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (hidronefrosis), demam
(infeksi/ urosepsis).4
c. Gejala di luar saluran kemih
Keluhan pada penyakit hernia / hemoroid sering mengikuti
penyakit hiperplasia prostat. Timbulnya kedua penyakit ini karena
sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan intra abdominal.4
Gejala generalisata juga mungkin tampak, termasuk keletihan,
anoreksia, mual dan muntah, dan rasa tidak nyaman pada epigastrik.
Secara klinik derajat berat, dibagi menjadi 4 gradiasi, yaitu:3
• Derajat 1 : Apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada DRE
(colok dubur) ditemukan penonjolan prostat dan sisa urine kurang
dari 50 ml.
• Derajat 2 : Ditemukan tanda dan gejala seperti pada derajat 1,
prostat lebih menonjol, batas atas masih teraba dan sisa urine
lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml.

10
• Derajat 3 : Seperti derajat 2, hanya batas atas prostat tidak teraba
lagi dan sisa urin lebih dari 100 ml.
• Derajat 4 : Apabila sudah terjadi retensi total.

G. Pemeriksaan Fisik
Buli-buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis
akibat retensi urine. Kadang-kadang didapatkan urine yang selalu menetes
yang merupakan pertanda dari inkontinensia paradoksa.4
1) Pemeriksaan colok dubur / digital rectal examination ( DRE )
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, DRE dapat memberikan
gambaran tonus sfingter ani, mukosa rektum, adanya kelainan lain
sepertibenjolan di dalam rektum dan tentu saja meraba prostat. Pada
perabaan prostat harus diperhatikan :4
- Konsistensi pada pembesaran prostat kenyal
- Adakah asimetri
- Adakah nodul pada prostat
- Apakah batas atas dapat diraba dan apabila batas atas masih dapat
diraba biasanya besar prostat diperkirakan <60 gr.
Pada BPH akan ditemukan prostat yang membesar hingga pole atas
tidak teraba, permukaan licin dan konsistensi kenyal. Pemeriksaan fisik
apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-
kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan
disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria
dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, buli-buli penuh (ditemukan
massa supra pubis) yang nyeri dan pekak pada perkusi. Daerah inguinal
harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia. Genitalia
eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab
yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa
navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma
di daerah meatus.4

11
2) Derajat berat obstruksi
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa
urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin
yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula
diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi
melakukan intervensi pada hipertrofi prostat. Derajat berat obstruksi
dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi,
yang disebut uroflowmetri. Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-
12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6 – 8 ml/detik, sedangkan
maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang.4

H. Derajat Pembesaran Prostat

>150 cc

I. The International Prostate Symptom Score (IPSS)


Untuk menentukan derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan
penentuan jenis pengobatan BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan
BPH, dibuatlah suatu skoring yang valid dan reliable. Terdapat beberapa
sistem skoring, di antaranya skor International Prostate Skoring System (IPSS)
yang diambil berdasarkan skor American Urological Association (AUA). Skor

12
AUA terdiri dari 7 pertanyaan. Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat
keluhan obstruksi dan iritatif mereka dengan skala 0-5. Total skor dapat
berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19 sedang, dan 20-35 berat.4

J. Catatan harian berkemih (voiding diaries)

Pencatatan harian berkemih sangat berguna pada pasien yang


mengeluh nokturia sebagai keluhan yang menonjol. Dengan mencatat kapan
dan berapa jumlah asupan cairan yang dikonsumsi serta kapan dan berapa
jumlah urine yang dikemihkan, dapat diketahui seorang pasien menderita
nokturia idiopatik, instabilitas detrusor akibat obstruksi infravesika, atau
karena poliuria akibat asupan air yang berlebih. Sebaiknya pencatatan
dikerjakan 3 hari berturut-turut untuk mendapatkan hasil yang baik .4

K. Visual Prostatic Symptom Score (VPSS)

13
Metode lain untuk menilai secara subyektif gangguan saluran kemih
bawah adalah dengan Visual Prostatic Symptom Score (VPSS). Gambar
pada VPSS mewakili frekuensi, nokturia, pancaran lemah dan kualitas
hidup. VPSS memiliki keunggulan dibandingkan IPSS, antara lain, lebih
mudah digunakan oleh lansia yang mengalami gangguan penglihatan, yang
sulit membaca tulisan pada IPSS. VPSS juga lebih baik dibandingkan IPSS
pada populasi dengan diversitas bahasa yang luas, serta keterbatasan
pendidikan. 4

L. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium: 2
a. Sedimen urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Mengevaluasi adanya eritrosit, leukosit,
bakteri, protein atau glukosa.
b. Kultur urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus
menentukan sensifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan
c. Faal ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH dapat menyebabkan gangguan
pada saluran kemih bagian atas. Gagal ginjal akibat BPH terjadi
sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Pemeriksaan faal
ginjal berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan
pemeriksaan pencitraan pada saluran kemih bagian atas. Mencari
kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih
bagian atas. Elektrolit, BUN, dan kreatinin berguna untuk
insufisiensi ginjal kronis pada pasien yang memiliki postvoid
residu (PVR) yang tinggi.
d. Gula darah

14
Mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang
dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (buli-buli
neurogenik).
e. Penanda tumor PSA (prostat spesifik antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ specific
tetapi bukan cancer specific. Kadar PSA di dalam serum dapat
mengalami peningkatan pada keradangan, setelah manipulasi
pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine akut,
kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Serum
PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit dari
BPH; dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti pertumbuhan
volume prostat lebih cepat,
keluhan akibat BPH/ laju pancaran urine lebih jelek, dan lebih
mudah terjadi retensi urine akut. Laju pertumbuhan volume
prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl adalah
0,7 mL/tahun, sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl adalah 2,1
mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl adalah 3,3 mL/tahun.
Serum PSA dapat meningkat pada saat terjadi retensi urine akut
dan kadarnya perlahan-lahan menurun terutama setelah 72 jam
dilakukan kateterisasi. Oleh karena itu, pada usia di atas 50 tahun
atau di atas 40 tahun (pada kelompok dengan risiko tinggi)
pemeriksaan PSA menjadi sangat penting guna mendeteksi
kemungkinan adanya karsinoma prostat. Apabila kadar PSA >4
ng/ml, biopsi prostat dipertimbangkan setelah didiskusikan
dengan pasien.4

2. Pemeriksaan Patologi Anatomi


BPH dicirikan oleh berbagai kombinasi dari hiperplasia epitel dan
stroma di prostat. Beberapa kasus menunjukkan proliferasi halus-otot
hampir murni, meskipun kebanyakan menunjukkan pola
fibroadenomyomatous hyperplasia.4

15
3. Pencitraan pada Benigna Prostat Hiperplasia:4
a. Foto polos
Berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadang kala menunjukan bayangan buli-
buli yang penuh terisi urine, yang merupakan tanda suatu retensi urine
b. Pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS)
Adalah tes USG melalui rectum. Dalam prosedur ini, probe
dimasukkan ke dalam rektum mengarahkan gelombang suara di
prostat. Untuk menentukan apakah suatu daerah yang abnormal
tampak memang tumor, digunakan probe dan gambar USG untuk
memandu jarum biopsi untuk tumor yang dicurigai. Jarum
mengumpulkan beberapa potong jaringan prostat untuk pemeriksaan
dengan mikroskop. Biopsy terutama dilakukan untuk pasien yang
dicurigai memiliki keganasan prostat.
Transrektal ultrasonografi (TRUS) sekarang juga digunakan untuk
pengukur volume prostat, caranya antara lain :
• Metode “step planimetry”. Yang menghitung volume rata-rata
area horizontal diukur dari dasar sampai puncak.
• Metode diameter. Yang menggabungkan pengukuran tinggi
(H/height) ,lebar (W/width) dan panjang (L/length) dengan rumus
: ½ (H x W x L)

c. Sistoskopi
Dalam pemeriksaan ini, disisipkan sebuah tabung kecil melalui
pembukaan urethra di dalam penis. Tabung, disebut sebuah
“cystoscope” , berisi lensa dan sistem cahaya yang membantu dokter
melihat bagian dalam uretra dan kandung kemih. Tes ini
memungkinkan dokter untuk menentukan ukuran kelenjar dan
mengidentifikasi lokasi dan derajat obstruksi.4

16
d. Ultrasonografi trans abdominal
• Gambaran sonografi benigna hyperplasia prostat menunjukan
pembesaran bagian dalam glandula, yang relatif hipoechoic
dibanding zona perifer. Zona transisi hipoekoik cenderung
menekan zona central dan perifer. Batas yang memisahkan
hyperplasia dengan zona perifer adalah “surgical capsule”.
• USG transabdominal mampu pula mendeteksi adanya
hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat obstruksi BPH yang
lama.
Indeks protrusi prostat merupakan perubahan morfologis akibat
pertumbuhan berlebih pada lobus medius dan lateral prostat kearah
buli. Derajat IPP yang diukur melalui ultrasonografi trans abdominal
memiliki korelasi kuat dengan risiko terjadinya retensi urin akut.
Derajat IPP dibagi berdasarkan ukuran protrusi, yaitu <5 mm, 5-10
mm, 10-15 mm dan >15 mm.

e. Urodinamik

Indikasi pemeriksaan urodinamik pada BPH adalah: pasien berusia


kurang dari 50 tahun atau lebih dari 80 tahun, volume residu urine
>300 mL, Qmax>10 ml/detik, setelah menjalani pembedahan

17
radikal pada daerah pelvis, setelah gagal dengan terapi invasif, atau
kecurigaan adanya kelainan buli-buli neurogenik. Urodinamik saat
ini merupakan pemeriksaan yang paling baik dalam menentukan
derajat obstruksi saluran kemih bawah dan mampu memprediksi
hasil tindakan invasif. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 87%,
spesifisitas 93%, dan nilai prediksi positif sebesar 95%.4

4. Pemeriksaan lain:
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara
mengukur:4
• Residual urin :
Jumlah sisa urin setelah miksi, dengan cara melakukan
kateterisasi/USG setelah miksi
• Pancaran urin/flow rate :
Dengan menghitung jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi
berlangsung (ml/detik) atau dengan alat uroflometri yang menyajikan
gambaran grafik pancaran urin. Aliran yang berkurang sering pada
BPH. Pada aliran urin yang lemah, aliran urinnya kurang dari 15mL/s
dan terdapat peningkatan residu urin. Post-void residual mengukur
jumlah air seni yang tertinggal di dalam kandung kemih setelah
buang air kecil. PRV kurang dari 50 mL umum menunjukkan
pengosongan kandung kemih yang memadai dan pengukuran 100
sampai 200 ml atau lebih sering menunjukkan sumbatan. Pasien
diminta untuk buang air kecil segera sebelum tes dan sisa urin
ditentukan oleh USG atau kateterisasi.4

18
Keterangan :
Gambaran aliran urin atas : dewasa muda yang asimtomatik, aliran urin
lebih dari 15mL/s, urin residu 9 mL pada ultrasonografi.
Gambaran aliran urin bawah : dewasa tua dengan benigna hyperplasia
prostat, terlihat waktu berkemih memanjang dengan aliran urin kurang
dari 10mL/s, pasien ini urin residunya 100 mL.

M. Klasifikasi
World Health Organization (WHO) membuat pedoman untuk
melakukan pemantauan berkala derajat gangguan berkemih dan sekaligus
menentukan terapi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate symptom
score). Terapi non bedah dianjurkan bila selama pengamatan WHO PSS
tetap di bawah 15. Apabila dalam pemantauan didapatkan WHO PSS lebih
dari 25 atau bila timbul gejala obstruksi, maka dianjurkan untuk melakukan
terapi pembedahan. Hiperplasia prostat derajat I biasanya belum
memerlukan tindakan bedah dan dapat diberikan terapi konservatif
misalnya dengan penghambat adrenoreseptor alfa seperti alfazosin, prazosin
dan terazosin. 4
Hiperplasia prostat derajat II merupakan indikasi untuk melakukan
pembedahan. Biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra
(transurethral resection of prostat = TURP). Namun, kadangkala, pada
derajat ini dapat dicoba dengan terapi konservatif dulu. Pada hiperplasia
prostat derajat III, tindakan TURP dapat dikerjakan. Namun, apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai

19
dalam satu jam, sebaiknya dilakukan operasi terbuka, kemudian prostat
dienukleasi dari dalam simpainya. Pada hiperplasia prostat derajat IV,
tindakan pertama yang harus segera dikerjakan iaIah membebaskan
penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistostomi.4

N. Tatalaksana
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalami tindakan medik.
Kadang-kadang mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri
tanpa mendapatkan terapi apapun atau hanya dengan nasehat saja. Namun
adapula yang membutuhkan terapi medikamentosa atau tindakan medik yang
lain karena keluhannya semakin parah.4
Tujuan terapi hyperplasia prostat adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi dan (6) mencegah progrefitas penyakit. Hal ini
dapat dicegah dengan medikamentosa, pembedahan atau tindakan
endourologi yang kurang invasif.2

20
Riwayat
Pemeriksaan fisik & DRE
Urinalisa
PSA (meningkat/tidak)

Indeks gejala Retensi urinaria+gejala yang


AUA berhubungan dg BPH
Hematuria persistent
Gejala ringan Gejala sedang Batu buli
(AUA≤7)/ Infeksi saluran urinaria
tdk ada /berat berulang
gejala Tes(AUA≥8)
diagnostic Insufisiensi renal
Uroflow
Residu urin postvoid Operasi

Pilihan terapi

Terapi non-invasif Terapi invasif

Tes diagnostic
Pressure flow
Watchful waiting Terapi medis Uretrosistoskopi
USG prostat

Terapi minimal invasif Operasi

Penatalaksanaan Nilai indeks gejala Efek samping


BPH
Wactfull waiting Gejala hilang/timbul Risiko kecil , dapat terjadi
retensi urinaria
Penatalaksanaan medis
Alpha-blockers Sedang 6-8 Gaster/usus halus-11%

21
Hidung berair-11%
Sakit kepala-12%
Menggigil-15%
5 alpha-reductase Ringan 3-4 Masalah ereksi-8%
inhibitors Kehilangan hasrat sex-5%
Berkurangnya semen-4%
Terapi kombinasi Sedang 6-7 Kombinasi
Terapi invasi minimal
Transuretral microwave Sedang-berat 9-11 Urgensi/frekuensi-28-74%
heat Infeksi-9%
Prosedur kedua dibutuhkan-
10-16%
TUNA Sedang 9 Urgensi/frekuensi-31%
Infeksi-17%
Prosedur kedua dibutuhkan-
23%
Operasi
TURP, laser & operasi Berat 14-20 Retensi urinaria-1-21%
sejenis Urgensi&frekuensi-6-99%
Gangguan ereksi-3-13%
Operasi terbuka Berat Inkontinensia 6%

Observasi Medikamentosa Operasi Invasive minimal


Watchful Penghambat Prostatektomi terbuka • TUMT
waiting adrenergik α • TUBD
Penghambat Endourologi • Stent uretra
reduktese α • TUNA
Fisioterapi 1. TURP
Hormonal 2. TUIP
3. TULP

22
Elektovaporasi

a. Watchful waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS
dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pasien tidak mendapat terapi namun hanya diberi penjelasan mengenai sesuatu
hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya (1) jangan
mengkonsumsi kopi atau alcohol setelah makan malam, (2) kurangi konsumsi
makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi/cokelat), (3) batasi
penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, (4)
jangan menahan kencing terlalu lama, (5) penanganan konstipasi. Pasien
diminta untuk datang kontrol berkala (3-6 bulan) untuk menilai perubahan
keluhan yang dirasakan, IPSS, uroflowmetry, maupun volume residu urine.
Jika keluhan berkemih bertambah buruk, perlu dipikirkan untuk memilih terapi
yang lain.4

b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk : (1) mengurangi
resistansi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergic alfa (adrenergic alfa
blocker dan (2) mengurangi volume prostat sebagai komponen static dengan
cara menurunkan kadar hormone testosterone/dihidrotestosteron (DHT)
melalui penghambat 5α-reduktase. Terapi medikamentosa diberikan pada
pasien dengan skor IPSS >7. Jenis obat yang digunakan adalah:4

23
1) Penghambat reseptor adrenergik α.

Pengobatan dengan α1-blocker bertujuan menghambat kontraksi otot


polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher kandung
kemih dan uretra. Beberapa obat α1-blocker yang tersedia, yaitu
terazosin, doksazosin, alfuzosin, dan tamsulosin yang cukup
diberikan sekali sehari serta silodosin dengan dosis 2 kali sehari. Obat
golongan ini dapat mengurangi keluhan storage symptom dan voiding
symptom dan mampu memperbaiki skor gejala berkemih hingga 30-
45% atau penurunan 4-6 skor IPSS dan Qmax hingga 15-30%. Tetapi
obat α1-blocker tidak mengurangi volume prostat maupun risiko
retensi urine dalam jangka panjang, α1-blocker memiliki selektivitas
terhadap a1-adrenoceptor yang terdapat selain di prostat (buli-buli dan
medulla spinalis). Subtype adrenoceptor ini berperan dalam mediasi
mekanisme kerja terhadap reseptor tersebut. Selain itu a1-
adrenoceptor yang terdapat pada pembuluh darah, sel otot polos selain
prostat dan susunan saraf pusat akan terkena juga sehingga akan
memberikan efek samping.4

24
Masing-masing α1-blocker mempunyai tolerabilitas dan efek
terhadap sistem kardiovaskuler yang berbeda (hipotensi postural,
dizzines, dan asthenia) yang seringkali menyebabkan pasien
menghentikan pengobatan. Penyulit lain yang dapat terjadi adalah
ejakulasi retrograde dimana semakin selektif obat tersebut terhadap
a1-adrenoceptor maka makin tinggi kejadian ejakulasi retrograde.
Selain itu komplikasi yang harus diperhatikan adalah
intraoperativefloppy iris syndrome (IFIS) pada operasi katarak dan
hal ini harus diinformasikan kepadapasien dan Ophthalmologist bila
akan menjalani operasi katarak.4

2) Penghambat 5 α reductase
5α-reductase inhibitor bekerja dengan menginduksi proses apoptosis
sel epitel prostat yang kemudian mengecilkan volume prostat hingga
20 – 30%. 5a-reductase inhibitor juga inhibitor yang dipakai untuk
mengobati BPH, yaitu finasteride dan dutasteride. Efek klinis
finasteride atau dutasteride baru dapat terlihat setelah 6 bulan.
Finasteride digunakan bila volume prostat >40 ml dan dutasteride
digunakan bila volume prostat >30 ml. Efek samping yang terjadi
pada pemberian finasteride atau dutasteride ini minimal, di antaranya
dapat terjadi disfungsi ereksi, penurunan libido, ginekomastia, atau
timbul bercak-bercak kemerahan di kulit.4

3) Antagonis Reseptor Muskarinik

Pengobatan dengan menggunakan obat-obatan antagonis reseptor


muskarinik bertujuan untuk menghambat atau mengurangi stimulasi
reseptor muskarinik sehingga akan mengurangi kontraksi sel otot polos
kandung kemih. Beberapa obat antagonis reseptor muskarinik yang
terdapat di Indonesia adalah fesoterodine fumarate, propiverine HCL,
solifenacin succinate, dan tolterodine l-tartrate. Penggunaan

25
antimuskarinik terutama untuk memperbaiki gejala storage LUTS.
Sampai saat ini, penggunaan antimuskarinik pada pasien dengan BOO
masih terdapat kontroversi, khususnya yang berhubungan dengan risiko
terjadinya retensi urine akut. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi
rutin keluhan dengan IPSS dan sisa urine pasca berkemih. Sebaiknya,
penggunaan antimuskarinik dipertimbangkan jika penggunaan α-blocker
tidak mengurangi gejala storage. Penggunaan antimuskarinik dapat
menimbulkan efek samping, seperti mulut kering (sampai dengan 16%),
konstipasi (sampai dengan 4%), kesulitan berkemih (sampai dengan 2%),
nasopharyngitis (sampai dengan 3%), dan pusing (sampai dengan 5%).4

4) Phospodiesterase 5 inhibitor

Phospodiesterase 5 inhibitor (PDE 5 inhibitor) meningkatkan konsentrasi


dan memperpanjang aktivitas dari cyclic guanosine monophosphate
(cGMP) intraseluler, sehingga dapat mengurangi tonus otot polos
detrusor, prostat, dan uretra. Di Indonesia, saat ini ada 3 jenis PDE5
Inhibitor yang tersedia, yaitu sildenafil, vardenafil, dan tadalafil. Sampai
saat ini, hanya tadalafil dengan dosis 5 mg per hari yang
direkomendasikan untuk pengobatan LUTS. Tadalafil 5 mg per hari
dapat menurunkan nilai IPSS sebesar 22-37%. Penurunan yang
4
bermakna ini dirasakan setelah pemakaian 1 minggu.

5) α1-blocker + 5α-reductase inhibitor

Terapi kombinasi α1-blocker (alfuzosin, doksazosin, tamsulosin) dan 5α-


reductase inhibitor (dutasteride atau finasteride) bertujuan untuk
mendapatkan efek sinergis dengan menggabungkan manfaat yang
berbeda dari kedua golongan obat tersebut, sehingga meningkatkan
efektivitas dalam memperbaiki gejala dan mencegah perkembangan
penyakit. Waktu yang diperlukan oleh α1-blocker untuk memberikan
efek klinis adalah beberapa hari, sedangkan 5α-reductase inhibitor

26
membutuhkan beberapa bulan untuk menunjukkan perubahan klinis yang
signifikan. Data saat ini menunjukkan terapi kombinasi memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan monoterapi dalam risiko terjadinya
retensi urine akut dan kemungkinan diperlukan terapi bedah. Akan tetapi,
terapi kombinasi juga dapat meningkatkan risiko terjadinya efek
samping. Terapi kombinasi ini diberikan kepada orang dengan keluhan
LUTS sedang-berat dan mempunyai risiko progresi (volume prostat
besar, PSA yang tinggi (>1,3 ng/dL), dan usia lanjut). Kombinasi ini
hanya direkomendasikan apabila direncanakan pengobatan jangka
panjang (>1 tahun).4

6) α1-blocker + antagonis reseptor muskarinik


Terapi kombinasi α1-blocker dengan antagonis reseptor muskarinik
bertujuan untuk memblok α1-adrenoceptor dan cholinoreceptors
muskarinik (M2 dan M3) pada saluran kemih bawah. Terapi kombinasi
ini dapat mengurangi frekuensi berkemih, nokturia, urgensi, episode
inkontinensia, skor IPSS dan memperbaiki kualitas hidup dibandingkan
dengan α1-blocker atau plasebo saja. Pada pasien yang tetap mengalami
LUTS setelah pemberian monoterapi α1-blocker akan mengalami
penurunan keluhan LUTS secara bermakna dengan pemberian anti
muskarinik, terutama bila ditemui overaktivitas detrusor (detrusor
overactivity). Efek samping dari kedua golongan obat kombinasi, yaitu
α1-blocker dan antagonis reseptor muskarinik telah dilaporkan lebih
tinggi dibandingkan monoterapi. Pemeriksaan residu urine harus
dilakukan selama pemberian terapi ini.

7) Fitofarmaka

Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk


memperbaiki gejala, tetapi data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini
belum diketahui dengan pasti. Di antara fitoterapi yang banyak

27
dipasarkan adalah: Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi,
Radixurtica, dan masih banyak lainnya.4

Pembedahan

Indikasi tindakan pembedahan, yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan


komplikasi, seperti:4

(1) retensi urine akut;


(2) gagal Trial Without Catheter (TWOC);
(3) infeksi saluran kemih berulang;
(4) hematuria makroskopik berulang;
(5) batu kandung kemih;
(6) penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh obstruksi akibat BPH;
(7) dan perubahan patologis pada kandung kemih dan saluran kemih bagian atas.

Indikasi relatif lain untuk terapi pembedahan adalah keluhan sedang hingga berat,
tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian terapi non bedah, dan pasien yang
menolak pemberian terapi medikamentosa.

c. Terapi Invasif Minimal


Diperuntukan untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap
pembedahan
1) Microwave transurethral.
Pada tahun 1996, FDA menyetujui perangkat yang menggunakan
gelombang mikro untuk memanaskan dan menghancurkan jaringan
prostat yang berlebih. Dalam prosedur yang disebut microwave
thermotherapy transurethral (TUMT), perangkat mengirim
gelombang mikro melalui kateter untuk memanaskan bagian prostat
dipilih untuk setidaknya 111 derajat Fahrenheit atau 42ºC - 43 ºC.
Sebuah sistem pendingin melindungi saluran kemih selama prosedur.4
Prosedur ini memakan waktu sekitar 1 jam dan dapat
dilakukan secara rawat jalan tanpa anestesi umum. TUMT belum

28
dilaporkan menyebabkan disfungsi ereksi atau inkontinensia.
Meskipun terapi microwave tidak menyembuhkan BPH, tapi
mengurangi gejala frekuensi kencing, urgensi, tegang, dan
intermitensi.4

2) Transurethral jarum ablasi. Juga pada tahun 1996, FDA


menyetujui transurethral jarum ablasi invasif minimal (TUNA).
Sistem TUNA memberikan energy radiofrekuensi tingkat rendah
melalui jarum kembar untuk regio prostat yang membesar. Shields
melindungi uretra dari kerusakan akibat panas. Sistem TUNA
meningkatkan aliran urin dan mengurangi gejala dengan efek samping
yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan reseksi transurethral dari
prostat (TURP).4

29
3) Thermotherapy dengan air. Terapi ini menggunakan air panas
untuk menghancurkan jaringan kelebihan dalam prostat. Sebuah
kateter mengandung beberapa lubang diposisikan dalam uretra
sehingga balon terletak di tengah prostat. Sebuah komputer
mengontrol suhu air, yang mengalir ke balon dan memanaskan
jaringan prostat sekitarnya. Sistem ini memfokuskan panas di wilayah
yang tepat prostat. Sekitar jaringan dalam uretra dan kandung kemih
dilindungi. Jaringan yang hancur keluar melalui urin.4

d. Bedah
1) Operasi transurethral.
Pada jenis operasi ini, sayatan eksternal tidak diperlukan. Setelah
memberikan anestesi, ahli bedah mencapai prostat dengan
memasukkan instrumen melalui uretra. Prosedur yang disebut reseksi
transurethral dari prostat (TURP) digunakan untuk 90 persen dari
semua operasi prostat dilakukan untuk BPH. Dengan TURP, alat yang
disebut resectoscope dimasukkan melalui penis. Dengan panjang
sekitar 12 inci dan diameter 1 / 2 inci, berisi lampu, katup untuk
mengendalikan cairan irigasi, dan loop listrik yang memotong
jaringan dan segel pembuluh darah.4
Cairan irigan yang dipakai adalah aquades. kerugian dari aquades
adalah sifatnya yang hipotonis sehingga dapat masuk melalui sirkulasi
sistemik dan menyebabkan hipotermia relative atau gejala intoksikasi
air yang dikenal dengan sindrom TURP. Ditandai dengan pasien yang

30
mulai gelisah, somnolen dan tekanan darah meningkat dan terdapat
bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema
otak dan jatuh ke dalam koma. Untuk mengurangi risiko timbulnya
sindroma TURP, operator harus membatasi diri untuk tidak
melakukan reseksi lebih dari 1 jam dan baru memasang sistostomi
terlebih dauhlu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi
penyerapan air ke sistemik.4
Selama operasi 90-menit, ahli bedah menggunakan loop kawat
resectoscope untuk menghilangkan jaringan obstruksi satu bagian
pada suatu waktu. Potongan-potongan jaringan dibawa oleh cairan ke
kandung kemih dan kemudian dibuang keluar pada akhir operasi.
Prosedur transurethral kurang traumatis daripada bentuk operasi
terbuka dan memerlukan waktu pemulihan lebih pendek. Salah satu
efek samping yang mungkin TURP adalah ejakulasi retrograde.
Dalam kondisi ini, semen mengalir mundur ke dalam kandung kemih
selama klimaks bukannya keluar uretra.4
Selama operasi Pasca bedah dini Pasca bedah lanjut
Perdarahan Perdarahan Inkontinensi
Sindrom TURP Infeksi lokal/sistemik Dinsfungsi ereksi
Perforasi Ejakulasi retrograde
Striktur uretra

31
Prosedur bedah yang disebut insisi transurethral dari prostat (TUIP),
prosedur ini melebarkan urethra dengan membuat beberapa potongan kecil
di leher kandung kemih, di mana terdapat kelenjar prostat. Prosedur ini
digunakan pada hiperplasi prostat yang tidak terlalu besar, tanpa ada
pembesaran lobus medius dan pada pasien yang umurnya masih muda.4

Modifikasi TURP: Biporal TURP

Mekanisme Aksi: TURP Bipolar (TURP-B) memiliki perbedaan dengan


TURP monopolar dimana pada bipolar menggunakan normal saline sebagai
cairan irigasi. Berbeda dengan TURP Monopolar, pada sistem TURP
Bipolar, energi tidak melalui tubuh untuk mencapai pad kulit. Sirkuit bipolar
bekerja secara lokal melalui pole aktif (resection loop) dan pole pasif (ujung
resektoskop), serta membutuhkan energi yang lebih sedikit. Energi dari loop
ditransmisikan ke larutan garam, sehingga eksitasi ion natrium untuk
membentuk plasma; molekul tersebut kemudian dengan mudah dibelah
dalam tegangan rendah sehingga memungkinkan terjadinya reseksi. Selama
koagulasi, panas menghilang dalam dinding pembuluh, menciptakan
gumpalan dan penyusutan kolagen.4

32
2) Open surgery.
Dalam beberapa kasus ketika sebuah prosedur transurethral tidak
dapat digunakan, operasi terbuka, yang memerlukan insisi eksternal,
dapat digunakan. Open surgery sering dilakukan ketika kelenjar
sangat membesar (>80 gram), ketika ada komplikasi, atau ketika
kandung kemih telah rusak dan perlu diperbaiki. Prostateksomi
terbuka dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal
(Freyer) atau retropubik infravesikal (Millin). Penyulit yang dapat
terjadi adalah inkontinensia urin (3%), impotensia (5-10%), ejakulasi
retrograde (60-80%) dan kontraktur leher buli-buli (30%). Perbaikan
gejala klinis 85-100%.4

3) Operasi laser
Terdapat 5 jenis energi yang dipakai untuk terapi invasif BPH, yaitu:
Nd:YAG, Holmium:YAG, KTP:YAG, Green Light Laser,
Thulium:YAG (Tm:YAG), dan diode. Kelenjar prostat akan

mengalami koagulasi pada suhu 60-650C dan mengalami vaporisasi

pada suhu yang lebih dari 1000C. Penggunaan laser pada terapi
pembesaran prostat jinak dianjurkan khususnya pada pasien yang
terapi antikoagulannya tidak dapat dihentikan.4
Teknik laser menimbulkan lebih sedikit komplikasi, sayangnya terapi
ini membutuhkan terapi ulang 2% setiap tahun. Kekurangannya
adalah : tidak dapat diperoleh jaringan untuk pemeriksaan patologi
(kecuali paad Ho:YAG coagulation), sering banyak menimbulkan
disuri pasca bedah yang dapat berlangsung sampai 2 bulan, tidak
langsung dapat miksi spontan setelah operasi dan peak flow rate lebih
rendah daripada pasca TURP. Serat laser melalui uretra ke dalam
prostat menggunakan cystoscope dan kemudian memberikan
beberapa semburan energi yang berlangsung 30 sampai 60 detik.
Energi laser menghancurkan jaringan prostat dan menyebabkan
penyusutan.4

33
a) Interstitial laser coagulation. Tidak seperti prosedur laser lain,
koagulasi laser interstisial tempat ujung probe serat optik
langsung ke jaringan prostat untuk menghancurkannya.4

b) Potoselectif vaporisasi prostat (PVP).


Cara sama dengan TURP, hanya saja teknik ini memakai roller
ball yang spesifik dengan mesin diatermi yang cukup kuat,
sehingga mampu membuat vaporasi kelenjar prostat. Teknik ini
cukup aman, tidak menimbulkan perdarahan pada saat operasi.
Namun teknik ini hanya diperuntukkan pada prostat yang tidak
terlalu besar (<50 gram) dan membutuhkan waktu operasi yang
lebih lama.4

e. Kontrol berkala2
• Watchfull waiting
Kontrol setelah 6 bulan, kemudian setiap tahun untuk mengetahui
apakah terdapat perbaikan klinis
• Pengobatan penghambat 5α-reduktase
Dikontrol pada minggu ke-12 dan bulan ke-6
• Pengobatan penghambat 5α-adrenegik

34
Setelah 6 minggu untuk menilai respon terhadap terapi dengan
melakukan pemeriksaan IPSS uroflometri dan residu urin pasca
miksi
• Terapi invasive minimal
Setelah 6 minggu, 3 bulan dan setiap tahun. Selain dilakukan
penilaian skor miksi, juga diperiksa kultur urin
• Pembedahan
Paling lambat 6 minggu pasca operasi untuk mengetahui
kemungkinan penyulit.

O. Komplikasi2
• Retensi urine akut – ketidak mampuan untuk mengeluarkan urin, distensi
kandung kemih, nyeri suprapubic
• Retensi urine kronik –residu urin > 500ml, pancaran lemah, buli teraba,
tidak nyeri
• Infeksi traktus urinaria
• Batu buli
• Hematuri
• Inkontinensia-urgensi
• Hidroureter
• Hidronefrosis - gangguan pada fungsi ginjal
P. Pencegahan
Perubahan histologi dan pembesaran prostat akan terjadi pada hampir
semua laki-laki seiring peningkatan usia. Hal ini dapat diprediksi dengan
pemeriksaan PSA yang merupakan marker dan pengukuran volume prostat.
Biasanya bila volume prostat lebih dari 30 ml dan PSA lebih dari 1,5 ng/ml,
maka risiko progresivitas akan meningkat. Terapi pencegahan yang dapat
diberikan adalah penghambat 5 alfa reduktase yang akan menurunkan risiko
penyakit hiperplasia prostat karena pengaruh DHT.2

35
BAB III
KESIMPULAN

Hiperplasia kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna


pada populasi pria lanjut usia. Dengan bertambah usia, ukuran kelenjar dapat
bertambah karena terjadi hiperplasia jaringan fibromuskuler dan struktur epitel
kelenjar (jaringan dalam kelenjjar prostat). Gejala dari pembesaran prostat ini
terdiri dari gejala obstruksi dan gejala iritatif.
Penatalaksanaan BPH berupa watchful waiting, medikamentosa, terapi
bedah konvensional, dan terapi minimal invasif. Prognosis untuk BPH berubah-
ubah dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun gejalanya cenderung
meningkat. Namun BPH yang tidak segera ditindak memiliki prognosis yang buruk
karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Bailey, H., Love, R. J. M. N., Mann, C. V., & Russell, R. C. G. Bailey and
Love's short practice of surgery. 26th Ed. Florida: CRC Press. 2013
2. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014:2261-2302.
3. Sjamsuhidajat R, De Jong W. Tumor Prostat. Dalam: Buku ajar Ilmu Bedah,
EGC, Jakarta, 2017; 1058-64.
4. Tjahjodjati, et al. 2017. Panduan Penatalaksanaan Klinis Pembesaran
Prostat Jinak. Jakarta: IAUI

37

Anda mungkin juga menyukai