Anda di halaman 1dari 30

KASUS PANJANG

KONJUNGTIVITIS

Lidya Diantika S. 115070100111064


Kartika Ayu W. 115070107111066
Cakra Parindra G. 115070107121010

Pembimbing :
dr. Hariwati Moehariadi, Sp. M(K)

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG
2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan
luar yang mengganggu (Vaughan, 2010).
Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis. Konjungtivitis
umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat
bersifat akut atau menahun (Ilyas, 2009). Konjungtivitis merupakan salah satu
penyakit mata yang paling umum. Konjungtivitis biasanya selalu dihadapi oleh
dokter umum dan diperkirakan selalu terdapat konsultasi kesehatan mengenai
konjungtivitis di puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan primer.
Di Indonesia dari 135.749 kunjungan ke departemen mata, total kasus
konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva sebanyak 99.195 kasus
dengan jumlah 46.380 kasus pada laki-laki dan 52.815 kasus pada perempuan.
Konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada
tahun 2009, tetapi belum ada data statistik mengenai jenis konjungtivitis yang
paling banyak yang akurat (Ditjen Yanmed, Kemkes RI, 2010).

Dengan banyaknya kasus konjungtivitis di masyarakat, selayaknya dokter


umum sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dapat membantu dalam
mendiagnosis maupun sampai menterapi pada kasus konjungitvitis secara
holistik maupun secara berjenjang. Maka dari itu, penulis menyusun laporan
kasus yang berjudul Konjungtivitis, agar dapat mempelajari lebih lanjut
mengenai kasus ini.
Dalam makalah kasus panjang ini akan penulis laporkan sebuah laporan
kasus mengenai pasien yang mengalami konjungtivitis di Rumah Sakit Syaiful
Anwar Malang.

1.2 Rumusan Masalah


- Apakah yang dimaksud dengan konjungtivitis?
- Bagaimana penegakan diagnosis konjungtivitis?
- Bagaimana penatalaksanaan konjungtivitis?

1.3 Tujuan
- Mengetahui konjungtivitis mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, dan
klasifikasi.
- Mengetahui cara penegakan diagnosis konjungtivitis.
- Mengetahui penatalaksaan konjungtivitis.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:


1. Konjungtiva Palpebra
Pada sambungan mukokutaneus, lapisan epidermis dari kulit palpebra
berubah menjadi konjungtiva palpebra atau konjungtiva tarsal dan melanjut-kan
diri ke belakang melapisi permukaan posterior palpebra. Lapisan ini melekat
secara erat dengan lempeng tarsus. Pada batas superior dan inferior dari tarsus,
konjungtiva melanjutkan diri ke posterior dan melapisi jaringan episklera sebagai
konjungtiva bulbi (Kanski, 2006).
2. Konjungtiva Forniks
Dari permukaan dalam palpebra, konjungtiva palpebra melanjutkan diri ke
arah bola mata membentuk dua resesus, yaitu forniks superior dan inferior.
Forniks superior terletak kira-kira 8-10 mm dari limbus, dan forniks inferior
terletak kira-kira 8 mm dari limbus. Pada bagian medial, struktur ini menjadi
karunkula dan plika semilunaris. Di sisi lateral, forniks terletak kira-kira 14 mm
dari limbus. Saluran keluar dari glandula lakrimal bermuara pada bagian lateral
forniks superior.
Konjungtiva forniks superior dan inferior melekat longgar dengan
pembungkus otot rekti dan levator yang terletak di bawahnya. Kontraksi otot-otot
ini akan menarik konjungtiva sehingga ia akan ikut bergerak saat palpebra
maupun bola mata bergerak. Perlekatan yang longgar tersebut juga akan
memudahkan terjadinya akumulasi cairan.
3. Konjungtiva Bulbi
Konjungtiva bulbi meluas dari daerah limbus ke daerah forniks. Lapisan
ini sangat tipis dan transparan sehingga sklera yang terletak di bawahnya dapat
terlihat. Konjungtiva bulbi melekat secara longgar dengan sklera sehingga
memungkinkan bola mata bergerak bebas ke segala arah. Selain itu, konjungtiva
bulbi juga melekat secara longgar dengan septum orbita pada forniks dan
melipat hingga beberapa kali. Selain memberikan kebebasan bola mata untuk
bergerak, hal ini juga akan memperluas permukaan sekresi konjungtiva.

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva


Ket. Gambar : (1) Limbus, (2) Konjungtiva Bulbi, (3) Konjungtiva Forniks,
(4) Konjungtiva Palpebra, (5) Pungtum Lakrimalis, (6) Konjungtiva Marginalis

Kurang lebih 3 mm dari limbus, perlekatan antara konjungtiva bulbi, kapsula tenon,
dan sklera menjadi erat, sehingga konjungtiva tidak dapat diangkat dengan mudah.
Garis yang terbentuk pada pertemuan antara konjungtiva dan kornea disebut limbus
konjungtiva. Ia terletak kira-kira 1 mm anterior ke tepi kornea (limbus kornea), yang
merupakan pertemuan antara kornea dan sklera.

2.2 Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan pada konjungtiva dan penyakit ini adalah


penyakit mata yang paling umum di dunia. Karena lokasinya, konjungtiva terpajan
oleh banyak mikroorganisme dan faktor-faktor lingkungan lain yang mengganggu
(Vaughan, 2010). Penyakit ini bervariasi mulai dari hiperemia ringan dengan mata
berair sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental.
2.3 Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dibagi menjadi dua kategori yakni
infeksius dan non-infeksius. Bakteri, virus, parasit, dan jamur adalah penyebab
konjungtivitis infeksius, sedangkan mata kering, gangguan refraksi yang tidak
dikoreksi, alergi, atau iritan merupakan penyebab konjungtivitis non-infeksius
(Lang,2006).

Gambar 2. Klasifikasi Konjungtivitis (Lang, 2006)


Berdasarkan awitannya, konjungtivitis dapat dibedakan menjadi akut dan
kronis. Konjungtivitis akut dapat digolongkan lebih lanjut menjadi acute serous ,
acute haemorrhagic (enterovirus tipe 70 dan cocksackie virs A24), acute follicular
(terbentuk folikel kecil berwarna abu-abu dengan diameter 1-2 mm, yang
dihubungkan dengan keratitis virus herpes). Konjungtivitis kronis apabila
konjungtivitis menetap lebih dari 4 minggu.
2.4 Epidemiologi

Konjungtivitis adalah penyakit yang terjadi di seluruh dunia dan dapat diderita
oleh seluruh masyarakat tanpa dipengaruhi usia. Walaupun tidak ada dokumen yang
secara rinci menjelaskan tentang prevalensi konjungtivitis, tetapi keadaan ini sudah
ditetapkan sebagai penyakit yang sering terjadi pada masyarakat (Chiang YP, dkk,
1995 dalam Rapuano et al, 2005). Di Indonesia penyakit ini masih banyak terdapat
dan paling sering dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang tidak hygiene.

2.5 Patofisiologi

Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata.
Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan
menyebar begitu cepat. Beberapa jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri,
tapi ada juga yang memerlukan pengobatan (Effendi, 2008).

Konjungtivitis terjadi karena kerusakan jaringan akibat masuknya benda


asing ke dalam konjunctiva akan memicu suatu kompleks kejadian yang dinamakan
respon radang atau inflamasi. Tanda-tanda terjadinya inflamasi pada umumnya
adalah kalor (panas), dolor (nyeri), rubor (merah), tumor (bengkak) dan fungsiolesa.
Masuknya benda asing ke dalam konjungtiva tersebut pertama kali akan di respon
oleh tubuh dengan mengeluarkan air mata. Air mata diproduksi oleh Apartus
Lakrimalis, berfungsi melapisi permukaan konjungtiva dan kornea sebagai Film air
mata. Fungsi air mata:

1. Menghaluskan permukaan air kornea

2. Memberi nutrisi pada kornea

3. Anti bakteri

4. Perlindungan mekanik terhadap benda asing


5. Lapisan Akuos (berada di tengah)

Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan menyebabkan


vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan aliran darah ke lokasi
(vasodilatasi) dalam hal ini adalah a. ciliaris anterior dan a. palpebralis sehingga
mata terlihat menjadi lebih merah, terjadi penurunan velocity aliran darah ke lokasi
radang (leukosit melambat dan menempel di endotel vaskuler), terjadi peningkatan
adhesi endotel pembuluh darah (leukosit dapat terikat pada endotel pembuluh
darah), terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan masuk ke jaringan),
fagosit masuk jaringan (melalui peningkatan marginasi dan ekstravasasi), pembuluh
darah membawa darah membanjiri jaringan kapiler jaringan memerah (RUBOR) dan
memanas (KALOR), peningkatan permeabilitas kapiler, masuknya cairan dan sel
dari kapiler ke jaringan terjadi akumulasi cairan (eksudat) dan bengkak (edema),
peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan velocity darah dan peningkatan
adhesi, dan migrasi leukosit (terutama fagosit) dari kapiler ke jaringan.

Inflamasi diawali oleh kompleks interaksi mediator-mediator kimiawi yakni:

1. Histamin

Dilepaskan oleh sel merangsang vasodilatasi dan peningkatan


permeabilitas kapiler.

2. Lekotrin

Dihasilkan dari membran sel meningkatkan kontraksi otot polos mendorong


kemotaksis untuk netrofil.

3. Prostaglandin

Dihasilkan dari membran sel meningkatkan vasodilatasi, permeabilitas


vaskuler mendorong kemotaksis untuk neutrofil.
4. Platelet aggregating factors

Menyebabkan agregasi platelet mendorong kemotaksis untuk neutrofil.

5. Kemokin

Dihasilkan oleh sel pengatur lalu lintas lekosit di lokasi inflamasi) beberapa
macam kemokin: IL-8 (interleukin-8), RANTES (regulated upon activation normal T
cell expressed and secreted), MCP (monocyte chemoattractant protein).

6. Sitokin

Dihasilkan oleh sel-sel fagosit di lokasi inflamasi pirogen endogen yang


memicu demam melalui hipotalamus, memicu produksi protein fase akut oleh hati,
memicu peningkatan hematopoiesis oleh sumsum tulang leukositosis beberapa
macam sitokin yaitu: IL-1 (interleukin-1), IL-6 (interleukin-6), TNF-a (tumor necrosis
factor alpha).

7. Mediator lain (dihasilkan akibat proses fagositosis).

Beberapa mediator lain: nitrat oksida, peroksida dan oksigen radikal. Oksigen
dan nitrogen merupakan intermediat yang sangat toksik untuk mikroorganisme.

Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting


disease), hal ini disebabkan oleh faktor-faktor :

1. Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-zat


anti mikrobial

2. Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak


kelenjar limfoid

3. Epitel konjungtiva terus menerus diganti


4. Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata, sehingga
perkembangbiakan mikroorganisme terhambat

5. Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata

6. Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil sekresi


sel-sel goblet kemudian akan digelontor oleh aliran air mata

Pada konjungtivitis alergi dapat berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe


cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya
berkontak dengan antigen yang spesifik. Respon alergi pada mata merupakan suatu
rangkaian peristiwa yang dikoordinasi oleh sel mast. Beta chemokins seperti eotaxin
dan MIP-alpha diduga memulai aktifasi sel mast pada permukaan mata. Ketika
terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi yang akan mempersiapkan sistem
tubuh untuk memproduksi respon antigen spesifik. Sel T yang berdiferensisasi
menjadi sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan merangsang produksi antigen
spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan dengan IgE reseptor pada
permukaan sel mast. Kemudian smemicu pelepasan sitokin, prostaglandin dan
platelet activating factor. Sel mast menyebabkan peradangan dan gejala-gejala
alergi yang diaktivasi oleh sel inflamasi. Ketika histamin dilepaskan oleh sel mast.
Histamin akan berikatan dengan reseptor H1 pada ujung saraf dan menyebabkan
gejala pada mata berupa gatal. Histamin juga akan akan berikatan dengan reseptor
H1 dan H2 pada pembuluh darah konjungtiva dan menyebabkan vasodlatasi. Sitokin
yang dipicu oleh sel mast seperti chemokin, interleukin IL-8 terlibat dalam memicu
netrofil.Sitokin TH2 seperti IL-5 akan memicu eosinofil dan IL-4, IL-6,IL-13 yang
akan memicu peningkatan sensitivitas (Ventocillia, 2012).

2.6 Penegakkan Diagnosis

Tanda-tanda konjungtivitis, yakni:


a. Kemerahan di forniks dan makin berkurang ke arah limbus karena dilatasi
pembuluh-pembuluh konjungtiva posterior (Hiperemia).

b. Produksi air mata berlebihan (epifora).

c. Eksudat yang berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakteri dan berserabut
pada konkungtivitis alergika (eksudasi).

d. Terkulainya palpebra superior karena infiltrasi di otot Muller (pseudoptosis)

e. Penumpukan Limfosit di pembuluh darah (fliktenula).

f. Pengentalan (koagulum) di atas permukaan epitel (pseudomembran).

g. Edema dari konjungtiva mata (Chemosis) (Kanski, 2000).

a. Gejala Subjektif

Konjungtivitis biasanya hanya menyebabkan iritasi dengan rasa sakit dengan mata
merah dan lakrimasi. Khasnya pada konjungtivitis flikten apabila kornea ikut terlibat
akan terdapat fotofobia dan gangguan penglihatan. Keluhan lain dapat berupa rasa
berpasir. Konjungtivitis flikten biasanya dicetuskan oleh blefaritis akut dan
konjungtivitis bekterial akut.

b. Gejala Objektif

Dengan Slit Lamp tampak sebagai tonjolan bulat ukuran 1-3 mm, berwarna kuning
atau kelabu, jumlahnya satu atau lebih yang di sekelilingnya terdapat pelebaran
pembuluh darah konjungtiva (hyperemia). Bisa unilateral atau mengenai kedua
mata.

c. Laboratorium

Dapat dilakukan pemeriksaan kultur konjungtiva. Pemeriksaan dengan pewarnaan


gram pada sekret untuk mengidentifikasi organisme penyebab maupun adanya
infeksi sekunder (Vaughan, 2008).
2.7 Perbedaan Konjungtivitis Berdasarkan Etiologi

Konjungtivitis Bakteri

A. Definisi

Konjungtivitis Bakteri adalah inflamasi konjungtiva yang disebabkan oleh


bakteri. Pada konjungtivitis ini biasanya pasien datang dengan keluhan mata merah,
sekret pada mata dan iritasi mata.

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis bakteri dapat dibagi menjadi empat bentuk, yaitu hiperakut,


akut, subakut dan kronik. Konjungtivitis bakteri hiperakut biasanya disebabkan oleh
N gonnorhoeae, Neisseria kochii dan N meningitidis. Bentuk yang akut biasanya
disebabkan oleh Streptococcus pneumonia dan Haemophilus aegyptyus. Penyebab
yang paling sering pada bentuk konjungtivitis bakteri subakut adalah H influenza dan
Escherichia coli, sedangkan bentuk kronik paling sering terjadi pada konjungtivitis
sekunder atau pada pasien dengan obstruksi duktus nasolakrimalis.

Konjungtivitis bakterial biasanya mulai pada satu mata kemudian mengenai


mata yang sebelah melalui tangan dan dapat menyebar ke orang lain. Penyakit ini
biasanya terjadi pada orang yang terlalu sering kontak dengan penderita, sinusitis
dan keadaan imunodefisiensi.

C. Patofisiologi

Jaringan pada permukaan mata dikolonisasi oleh flora normal seperti


streptococci, staphylococci dan jenis Corynebacterium. Perubahan pada mekanisme
pertahanan tubuh ataupun pada jumlah koloni flora normal tersebut dapat
menyebabkan infeksi klinis. Perubahan pada flora normal dapat terjadi karena
adanya kontaminasi eksternal, penyebaran dari organ sekitar ataupun melalui aliran
darah (Rapuano, 2008). Penggunaan antibiotik topikal jangka panjang merupakan
salah satu penyebab perubahan flora normal pada jaringan mata, serta resistensi
terhadap antibiotic. Mekanisme pertahanan primer terhadap infeksi adalah lapisan
epitel yang meliputi konjungtiva sedangkan mekanisme pertahanan sekundernya
adalah sistem imun yang berasal dari perdarahan konjungtiva, lisozim dan
imunoglobulin yang terdapat pada lapisan air mata, mekanisme pembersihan oleh
lakrimasi dan berkedip. Adanya gangguan atau kerusakan pada mekanisme
pertahanan ini dapat menyebabkan infeksi pada konjungtiva.

D. Gejala Klinis

Gejala-gejala yang timbul pada konjungtivitis bakteri biasanya dijumpai


injeksi konjungtiva baik segmental ataupun menyeluruh. Selain itu sekret pada
kongjungtivitis bakteri biasanya lebih purulen daripada konjungtivitis jenis lain, dan
pada kasus yang ringan sering dijumpai edema pada kelopak mata. Ketajaman
penglihatan biasanya tidak mengalami gangguan pada konjungtivitis bakteri namun
mungkin sedikit kabur karena adanya sekret dan debris pada lapisan air mata,
sedangkan reaksi pupil masih normal. Gejala yang paling khas adalah kelopak mata
yang saling melekat pada pagi hari sewaktu bangun tidur.

E. Diagnosis

Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin
saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang
lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit
menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga
ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya,
riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat
pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan
alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak.

F. Komplikasi

Blefaritis marginal kronik sering menyertai konjungtivitis bateri, kecuali pada


pasien yang sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut di konjungtiva paling
sering terjadi dan dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan menghilangkan
duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini dapat mengurangi komponen akueosa dalam film
air mata prakornea secara drastis dan juga komponen mukosa karena kehilangan
sebagian sel goblet. Luka parut juga dapat mengubah bentuk palpebra superior dan
menyebabkan trikiasis dan entropion sehingga bulu mata dapat menggesek kornea
dan menyebabkan ulserasi, infeksi dan parut pada kornea (Vaughan, 2010).

G. Penatalaksanaan

Terapi spesifik konjungtivitis bakteri tergantung pada temuan agen


mikrobiologiknya. Terapi dapat dimulai dengan antimikroba topikal spektrum luas.
Pada setiap konjungtivitis purulen yang dicurigai disebabkan oleh diplokokus gram-
negatif harus segera dimulai terapi topical dan sistemik . Pada konjungtivitis purulen
dan mukopurulen, sakus konjungtivalis harus dibilas dengan larutan saline untuk
menghilangkan sekret konjungtiva (Ilyas, 2008).

Konjungtivitis Virus

A. Definisi

Konjungtivitis viral adalah penyakit umum yang dapat disebabkan oleh


berbagai jenis virus, dan berkisar antara penyakit berat yang dapat menimbulkan
cacat hingga infeksi ringan yang dapat sembuh sendiri dan dapat berlangsung lebih
lama daripada konjungtivitis bakteri (Vaughan, 2010)

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis viral dapat disebabkan berbagai jenis virus, tetapi adenovirus


adalah virus yang paling banyak menyebabkan penyakit ini, dan herpes simplex
virus yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
virus Varicella zoster, picornavirus (enterovirus 70, Coxsackie A24), poxvirus, dan
human immunodeficiency virus (Scott, 2010). Penyakit ini sering terjadi pada orang
yang sering kontak dengan penderita dan dapat menular melalu di droplet
pernafasan, kontak dengan benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) dan
berada di kolam renang yang terkontaminasi (Ilyas, 2008).
C. Patofisiologi

Mekanisme terjadinya konjungtivitis virus ini berbeda-beda pada setiap jenis


konjungtivitis ataupun mikroorganisme penyebabnya (Hurwitz, 2009).
Mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit ini dijelaskan pada etiologi.

D. Gejala Klinis

Gejala klinis pada konjungtivitis virus berbeda-beda sesuai dengan


etiologinya. Pada keratokonjungtivitis epidemik yang disebabkan oleh adenovirus
biasanya dijumpai demam dan mata seperti kelilipan, mata berair berat dan kadang
dijumpai pseudomembran. Selain itu dijumpai infiltrat subepitel kornea atau keratitis
setelah terjadi konjungtivitis dan bertahan selama lebih dari 2 bulan (Vaughan &
Asbury, 2010). Pada konjungtivitis ini biasanya pasien juga mengeluhkan gejala
pada saluran pernafasan atas dan gejala infeksi umum lainnya seperti sakit kepala
dan demam. Pada konjungtivitis herpetic yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (HSV) yang biasanya mengenai anak kecil dijumpai injeksi unilateral, iritasi,
sekret mukoid, nyeri, fotofobia ringan dan sering disertai keratitis herpes.
Konjungtivitis hemoragika akut yang biasanya disebabkan oleh enterovirus dan
coxsackie virus memiliki gejala klinis nyeri, fotofobia, sensasi benda asing,
hipersekresi airmata, kemerahan, edema palpebra dan perdarahan subkonjungtiva
dan kadang-kadang dapat terjadi kimosis.

E. Diagnosis

Diagnosis pada konjungtivitis virus bervariasi tergantung etiologinya, karena


itu diagnosisnya difokuskan pada gejala-gejala yang membedakan tipetipe menurut
penyebabnya. Dibutuhkan informasi mengenai, durasi dan gejala-gejala sistemik
maupun ocular, keparahan dan frekuensi gejala, faktorfaktor resiko dan keadaan
lingkungan sekitar untuk menetapkan diagnosis konjungtivitis virus (AOA, 2010).
Pada anamnesis penting juga untuk ditanyakan onset, dan juga apakah hanya
sebelah mata atau kedua mata yang terinfeksi (Gleadle, 2007). Konjungtivitis virus
sulit untuk dibedakan dengan konjungtivitis bakteri berdasarkan gejala klinisnya dan
untuk itu harus dilakukan pemeriksaan lanjutan, tetapi pemeriksaan lanjutan jarang
dilakukan karena menghabiskan waktu dan biaya (Hurwitz, 2009).

F. Komplikasi

Konjungtivitis virus bisa berkembang menjadi kronis, seperti


blefarokonjungtivitis. Komplikasi lainnya bisa berupa timbulnya pseudomembran,
dan timbul parut linear halus atau parut datar, dan keterlibatan kornea serta timbul
vesikel pada kulit (Vaughan, 2010).

G. Penatalaksanaan

Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun
antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea.
Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan
penyebaran infeksi.

Konjungtivitis Alergi

A. Definisi

Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem
imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada
alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1.

. Etiologi dan Faktor Resiko

Konjungtivitis alergi dibedakan atas lima subkategori, yaitu konjungtivitis


alergi musiman dan konjungtivitis alergi tumbuh-tumbuhan yang biasanya
dikelompokkan dalam satu grup, keratokonjungtivitis vernal, keratokonjungtivitis
atopik dan konjungtivitis papilar raksasa (Vaughan, 2010). Etiologi dan faktor resiko
pada konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan subkategorinya. Misalnya
konjungtivitis alergi musiman dan tumbuh-tumbuhan biasanya disebabkan oleh
alergi tepung sari, rumput, bulu hewan, dan disertai dengan rinitis alergi serta timbul
pada waktu-waktu tertentu. Vernal konjungtivitis sering disertai dengan riwayat
asma, eksema dan rinitis alergi musiman. Konjungtivitis atopik terjadi pada pasien
dengan riwayat dermatitis atopic, sedangkan konjungtivitis papilar raksasa pada
pengguna lensa kontak.

C. Gejala Klinis

Gejala klinis konjungtivitis alergi berbeda-beda sesuai dengan


subkategorinya. Pada konjungtivitis alergi musiman dan alergi tumbuh-tumbuhan
keluhan utama adalah gatal, kemerahan, air mata, injeksi ringan konjungtiva, dan
sering ditemukan kemosis berat. Pasien dengan keratokonjungtivitis vernal sering
mengeluhkan mata sangat gatal dengan kotoran mata yang berserat, konjungtiva
tampak putih susu dan banyak papila halus di konjungtiva tarsalis inferior. Sensasi
terbakar, pengeluaran sekret mukoid, merah, dan fotofobia merupakan keluhan yang
paling sering pada keratokonjungtivitis atopik. Ditemukan jupa tepian palpebra yang
eritematosa dan konjungtiva tampak putih susu. Pada kasus yang berat ketajaman
penglihatan menurun, sedangkan pada konjungtiviitis papilar raksasa dijumpai tanda
dan gejala yang mirip konjungtivitis vernal (Vaughan, 2010).

D. Diagnosis

Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta
observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi.
Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada
mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia.

E. Komplikasi

Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea
dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).
F. Penatalaksanaan

Penyakit ini dapat diterapi dengan tetesan vasokonstriktor-antihistamin


topikal dan kompres dingin untuk mengatasi gatal-gatal dan steroid topikal jangka
pendek untuk meredakan gejala lainnya. Antibiotik topikal juga dapat diberikan
sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri (Vaughan, 2010).

Konjungtivitis Jamur

Konjungtivitis jamur paling sering disebabkan oleh Candida albicans dan


merupakan infeksi yang jarang terjadi. Penyakit ini ditandai dengan adanya bercak
putih dan dapat timbul pada pasien diabetes dan pasien dengan keadaan sistem
imun yang terganggu. Selain Candida sp, penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
Sporothrix schenckii, Rhinosporidium serberi, dan Coccidioides immitis walaupun
jarang (Vaughan, 2010).

Konjungtivitis Parasit

Konjungtivitis parasit dapat disebabkan oleh infeksi Thelazia californiensis,


Loa loa, Ascaris lumbricoides, Trichinella spiralis, Schistosoma haematobium,
Taenia solium dan Pthirus pubis walaupun jarang (Vaughan, 2010).

Konjungtivitis kimia atau iritatif

Konjungtivitis kimia-iritatif adalah konjungtivitis yang terjadi oleh pemajanan


substansi iritan yang masuk ke sakus konjungtivalis. Substansi-substansi iritan yang
masuk ke sakus konjungtivalis dan dapat menyebabkan konjungtivitis, seperti asam,
alkali, asap dan angin, dapat menimbulkan gejala-gejala berupa nyeri, pelebaran
pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme. Selain itu penyakit ini dapat juga
disebabkan oleh pemberian obat topikal jangka panjang seperti dipivefrin, miotik,
neomycin, dan obat-obat lain dengan bahan pengawet yang toksik atau
menimbulkan iritasi. Konjungtivitis ini dapat diatasi dengan penghentian substansi
penyebab dan pemakaian tetesan ringan (Vaughan, 2010).
Konjungtivitis lain

Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis
juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti
penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan oleh
penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian penyakit utama atau
penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi
dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada
daerah wajah.

2.8 Prognosis Konjungtivitis


Bila segera diatasi, konjungtivitis ini tidak akan membahayakan. Namun jika
bila penyakit radang mata tidak segera ditangani/diobati bisa menyebabkan
kerusakan pada mata/gangguan dan menimbulkan komplikasi seperti Keratitis,
Glaukoma, katarak maupun ablasi retina (Barbara C.Long, 1996).
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. SH

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 24 tahun

Alamat : Jl. Muharto Gg. 5B/39, Kedungkandang, Malang

Pekerjaan : Mahasiswa

Agama/Suku : Islam/Jawa

No. Register : 10145767

Tgl. Pemeriksaan : 6 April 2016

3.2 Anamnesis (Autoanamnesa)


3.2.1 Keluhan utama

Perih pada mata kiri

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan perih yang dirasakan pada mata sebelah kiri.

Perih dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Dirasakan terus menerus, tetapi tidak

semakin memberat. Perih dirasakan semakin terasa saat bangun tidur atau

kecapekan, dan terasa ringan ketika tidur. Pasien juga mengatakan perih

dirasakan jika terkena cahaya matahari. Pasien juga mengatakan pandangan

pasien menjadi sedikit kabur. Keluhan juga terkadang disertai adanya keluar belek

(cairan putih kental) dari mata pasien.

Pasien menyangkal adanya mata merah, nrocoh, gatal, sakit kepala.

3.2.3 Riwayat Terapi

Untuk keluhan yang sekarang pasien belum mendapat terapi apapun.


3.2.4 Riwayat Penyakit Terdahulu

Pasien sudah pernah merasakan keluhan seperti ini sejak 4 tahun lalu.

Pasien didiagnosa sakit mata (pasien lupa dikatakan sakit apa) di Malang Eye

Centre dan diberi Xindositrol, obat dipakai selama 2 tahun. Pasien mengatakan

keluhan berkurang tapi tidak sembuh sepenuhnya

Lalu pasien pergi ke dokter lain pada tahun 2015 karena keluhan yang sama,

dikatakan pasien mengindap alergi dan diberikan Alegysal, keluhan sedikit

membaik tetapi setelah itu pasien tidak kontrol Pasien mengaku memiliki alergi

makanan terhadap ayam, telur dan kacang. Pasien juga pernah mengeluh

munculnya biduran setelah bangun tidur di pagi hari.

3.2.5 Riwayat Kontak


Riwayat Kontak ()
3.3 Pemeriksaan Fisik

OD OS
OD OS

5/5 VISUS 5/5

Orthophoria Kedudukan Bola Orthophoria


Mata

GERAKAN BM

edema (-), spasme (-), PALPEBRA edema (-), spasme (-),


simblefaron (+) simblefaron (+)

CI (+), PCI (-), folikel (+), CONJUNCTIVA CI (+), PCI (-), folikel (+),
papil (+), lithiasis (+), papil (+),lithiasis (+),
sekret (+), mukoid (-) sekret (+), mukoid (-)

FL test (+) erosi di inferior KORNEA FL test (+) erosi di inferior


minimal minimal

Dalam C.O.A. Dalam

Rad line (+) IRIS Rad line (+)

Bulat, 3mm, RP (+) PUPIL Bulat, 3mm, RP (+)

Jernih LENSA Jernih

N/P T.I.O. N/P

3.4 Diagnosis Kerja

ODS konjungtivitis alergi

3.5 Rencana Diagnosis

Visus
Slitlamp
TIO
Funduskopi
3.6 Rencana Terapi
Tobroson e.d 6x1 ODS
ProtagentA e.d 6x1 ODS
Kontrol 1 minggu pro ekstraksi lithiasis

3.7 Rencana Monitoring


Keluhan subyektif
Visus
Tanda-tanda keradangan
Tanda-tanda peningkatan tekanan intra okuli

3.8 Rencana Edukasi


Menjelaskan kepada pasien bahwa pada pasien terjadi konjungtivitis

kronis yang menyebabkan mata merah berair serta terasa gatal dan

bengkak.

Memberitahu pasien untuk menjaga higiene dan menghindari

menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari tangan karena

dapat berisiko terjadinya komplikasi infeksi dan memperparah

kerusakan yang terjadi

Menjelaskan kepada pasien mengenai terapi, tujuan terapi adalah

mencegah terjadinya komplikasi pada mata pasien

Menjelaskan pada pasien mengenai kemungkinan belum sembuhnya

terapi dikarenakan perbedaan penyebab atas konjungtivitis yang

terjadi pada pasien tersebut.

3.9 Prognosis

Ad vitam : bonam
Ad fungsionalis : bonam
Ad visam : bonam
Ad cosmetica : bonam
Ad sanam : bonam
BAB 4

PEMBAHASAN

4.1 Diagnosis Konjungtivitis

Pasien berobat ke poliklinik mata RSSA pada tanggal 6 April 2016. Setelah

dilakukan anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan utama

mata kiri terasa perih sejak 1 minggu yang lalu. Dirasakan terus menerus, tetapi

tidak semakin memberat. Perih dirasakan semakin terasa saat bangun tidur atau

kecapekan, dan terasa ringan ketika tidur. Pasien juga mengatakan perih

dirasakan jika terkena cahaya matahari. Pasien juga mengatakan pandangan

pasien menjadi sedikit kabur. Keluhan juga terkadang disertai adanya keluar belek

(cairan putih kental) dari mata pasien. Pasien menyangkal adanya mata merah,

nrocoh, gatal, sakit kepala.

Pasien sudah pernah merasakan keluhan seperti ini sejak 4 tahun lalu.

Pasien didiagnosa sakit mata (pasien lupa dikatakan sakit apa) di Malang Eye

Centre dan diberi Xindositrol, obat dipakai selama 2 tahun. Pasien mengatakan

keluhan berkurang tapi tidak sembuh sepenuhnya Lalu pasien pergi ke dokter lain

pada tahun 2015 karena keluhan yang sama, dikatakan pasien mengindap alergi

dan diberikan Alegysal, keluhan sedikit membaik tetapi setelah itu pasien tidak

kontrol

Dari pemeriksaan visus dan segmen anterior yang telah dilakukan, kelainan

yang ditemukan pada mata kanan dan kiri didapatkan visus 5/5. Pada palpebra

tidak didapatkan spasme maupun edema. Pada konjungtiva terdapat Corneal

Injection, terdapat sekret(+), folikel(+), foam cell(+), mukoid (-). Dari pemeriksaan

kornea, didapatkan kornea jernih, dan COA dalam. Iris radier line (+). Pupil bulat

ukuran diameter 3 mm, dengan refleks pupil (+), Lensa jernih, TIO dalam batas

normal.
Pada kasus ini, pasien dicurigai terkena konjungtivitis alergi dikarenakan

keluhan dirasakan hilang timbul dan tanpa alasan yang jelas selama 4 tahun

terakhir. Pada pasien ini perlu diperhatikan hal-hal yang dapat memicu munculnya

keluhan pada mata. Pasien mengaku memiliki riwayat alergi makanan dan biduran

saat terkena udara dingin. Riwayat atopi pada pasien dapat menjadi salah satu

dasar diagnosis konjungtivits alergi.

Pada saat pasien terpapar terhadap alergen, reaksi hipersensitivitas tipe 1

(tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya

berkontak dengan antigen yang spesifik. Respon alergi pada mata merupakan

suatu rangkaian peristiwa yang dikoordinasi oleh sel mast. Beta chemokins seperti

eotaxin dan MIP-alpha diduga memulai aktifasi sel mast pada permukaan mata.

Ketika terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi yang akan mempersiapkan

sistem tubuh untuk memproduksi respon antigen spesifik. Sel T yang

berdiferensisasi menjadi sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan merangsang

produksi antigen spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan dengan IgE

reseptor pada permukaan sel mast. Kemudian smemicu pelepasan sitokin,

prostaglandin dan platelet activating factor. Sel mast menyebabkan peradangan

dan gejala-gejala alergi yang diaktivasi oleh sel inflamasi. Ketika histamin

dilepaskan oleh sel mast. Histamin akan berikatan dengan reseptor H1 pada ujung

saraf dan menyebabkan gejala pada mata berupa gatal. Histamin juga akan akan

berikatan dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah konjungtiva dan

menyebabkan vasodlatasi. Sitokin yang dipicu oleh sel mast seperti chemokin,

interleukin IL-8 terlibat dalam memicu netrofil. Sitokin TH2 seperti IL-5 akan

memicu eosinofil dan IL-4, IL-6,IL-13 yang akan memicu peningkatan sensitivitas

(Ventocillia, 2012).
Pada pasien juga didapatkan lithiasis pada konjungtiva palpebra superior

dan adanya erosi kornea minimal dari pemeriksaan flouresin. Lithiasis pada pasien

dapat terbentuk karena proses inflamasi yang terjadi secara terus menerus.

Kelenjar Meibom pada palpebra menghasilkan sekret proteincaseosa dan terjadi

kalsifikasi oleh karena terjadi dalam jangka waktu yang lama. Kalsifikasi sekret ini

terakumulasi pada palpebra dan membentuk concretion atau lithiasis.

Erosi kornea yang ditemukan pada pasien disebabkan oleh karena lithiasis

yang dibiarkan terlalu lama tanpa penanganan. Kelainan anatomi pada palpebra

yang disebabkan oleh lithiasis dapat mengganggu dispersi air mata pada

konjungtiva dan kornea. Gesekan yang terus menerus terjadi dari lithiasis, lambat

laun dapat menyebabkan defek pada kornea (AAO, 2015)

4.2 Penatalaksanaan

Avoidance

Menghindari faktor-faktor pencetus alergi merupakan terapi utama

bagi pasien yang memiliki konjungtivitis alergi. Selain terbilang mudah

dan relatif tanpa biaya, mengetahui dan menghindari penyebab dari

alergi dapat mencegah episode keluhan pada pasien.

Protagent A ED 6x1 ODS

Protagenta merupakan artificial tear yang berfungsi untuk menjaga

kelembapan mata. Produksi maupun disperi air mata yang kurang baik

dapat mengganggu kelembapan kelembapan kongjungtiva. Hal ini

dapat meningkatkan risiko terjadinya radang maupun infeksi dari

mikroorganisme.

Tobramycin ED MDS 8 x 1 ODS

Tobroson mengandung antibiotic yang memiliki aktivitas bakterisida

dan digunakan untuk mencegah adanya infeksi sekunder dari bakteri-


bakteri gram negative seperti Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter

aerogenes, Escheria coli, Proteus, dan Klebsiella sp., dengan

cara menghambat sintesis protein sel bakteri tersebut, juga terhadap

strain yang sensitif dari Staphylococci. Selain itu, obat ini juga

mengandung dexamethasone untuk mengurangi reaksi inflamasi dari

konjungtivitis (Barlett et al., 2011).


BAB 5

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

a. Konjungtivitis adalah proses inflamasi di permukaan mata yang ditandai

dengan dilatasi vaskuler, infiltrasi seluler, dan eksudasi

b. Pasien dengan konjungtivitis memiliki gejala yang sangat bervariasi,

tergantung dari penyebab dari konjungtivitis itu sendiri. Gejala yang

ditimbulkan tidak spesifik, termasuk lakrimasi, iritasi, sakit seperti ditusuk-

tusuk, dan rasa panas. Terdapat conjunctival injection, dan kadang disertai

chemosis.

c. Pasien terdiagnosa konjungtivitis alergi berdasarkan anamnesis

didapatkan keluhan mata kiri bengkak dan perih selama 1 minggu, keluar

kotoran setiap pagi.Keluhan yang serupa juga sudah dirasakan pada kedua

mata sejak 4 tahun terakhir. Sudah diberi pengobatan oleh dokter spesialis

mata, membaik, namun muncul kemabli setelah sekian lama. Pasien juga

memiliki riwayat alergi makanan dan alergi dingin. Pemeriksaan oftamologi

didapatkan pada konjungtiva terdapat Corneal Injection, terdapat sekret

(+), folikel(+)..

d. Pasien diberi terapi non-farmakologis berupa avoidance, TobramycinED

MDS 8 x 1 ODSuntuk mencegah adanya infeksi sekunder dan mengurangi

inflamasi, ProtagentA ED 6x1 ODS untuk mencegah mata kering dan

menjaga kelembapan konjungtiva mata.

5.2 Saran
Saran yang akan diberikan oleh penulis kepada pembaca sebagai

tenaga kesehatan, agar mempelajari konjungtivitis sebagai penyakit mata

yang paling sering yang diderita sehingga dapat menangani hingga tuntas

apabila menemui kasus serupa.


DAFTAR PUSTAKA

Barbara, C. Long, Wilma J. Phipps 1996, Medical-Surgical Nursing: A Nursing


Process Approach. McGraw Hill.

Garcia-Ferrer, V.J., Schwab, I.R., Shetlar, D.J., 2010. Oftalmologi Umum.


Konjungtiva. Edisi 17. Jakarta: EGC, 97-118.

Kanski JJ, Menon J. Atlas of Clinical Ophthalmology. Conjunctiva. 3th Edition. Mosby Elsevier.
2006: 4-6

Kanski, JJ. 2011. Clinical Ophtalmology : a systematic approach. Conjunctiva. Seventh


Edition. Edinburgh : Elsevier Buttenworth Heinnemann.

Kemkes RI, 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. 10 Besar Penyakit Rawat
Jalan Tahun 2009.Diakses pada 9 April 2016. http://www.depkes.go.id.

Lang GK. 2006. Ophthalmology. 2nd Edition. Stuttgart New York: Thieme; hal 507-

35

Rapuano, C.J., et al., 2008. Conjunctivitis. American Academy of Ophthalmology.

Diakses pada 10 April 2016. http://one.aao.org/asset.axd

Sidarta, I., 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Konjungtiva. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 51-74.

Voughan, Daniel G, Asbury, Taylor. Riordan-Eva, Paul. Oftalmologi Umum


(General Ophthalmology). Ed. 17. Widya Medika, Jakarta : 2008.

Anda mungkin juga menyukai