KONJUNGTIVITIS
Pembimbing :
dr. Hariwati Moehariadi, Sp. M(K)
1.1 Pendahuluan
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan
permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Karena lokasinya, konjungtiva
terpajan oleh banyak mikroorganisme dan substansi-substansi dari lingkungan
luar yang mengganggu (Vaughan, 2010).
Peradangan pada konjungtiva disebut konjungtivitis. Konjungtivitis
umumnya disebabkan oleh reaksi alergi, infeksi bakteri dan virus, serta dapat
bersifat akut atau menahun (Ilyas, 2009). Konjungtivitis merupakan salah satu
penyakit mata yang paling umum. Konjungtivitis biasanya selalu dihadapi oleh
dokter umum dan diperkirakan selalu terdapat konsultasi kesehatan mengenai
konjungtivitis di puskesmas sebagai pusat pelayanan kesehatan primer.
Di Indonesia dari 135.749 kunjungan ke departemen mata, total kasus
konjungtivitis dan gangguan lain pada konjungtiva sebanyak 99.195 kasus
dengan jumlah 46.380 kasus pada laki-laki dan 52.815 kasus pada perempuan.
Konjungtivitis termasuk dalam 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak pada
tahun 2009, tetapi belum ada data statistik mengenai jenis konjungtivitis yang
paling banyak yang akurat (Ditjen Yanmed, Kemkes RI, 2010).
1.3 Tujuan
- Mengetahui konjungtivitis mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, dan
klasifikasi.
- Mengetahui cara penegakan diagnosis konjungtivitis.
- Mengetahui penatalaksaan konjungtivitis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Kurang lebih 3 mm dari limbus, perlekatan antara konjungtiva bulbi, kapsula tenon,
dan sklera menjadi erat, sehingga konjungtiva tidak dapat diangkat dengan mudah.
Garis yang terbentuk pada pertemuan antara konjungtiva dan kornea disebut limbus
konjungtiva. Ia terletak kira-kira 1 mm anterior ke tepi kornea (limbus kornea), yang
merupakan pertemuan antara kornea dan sklera.
2.2 Definisi
Konjungtivitis adalah penyakit yang terjadi di seluruh dunia dan dapat diderita
oleh seluruh masyarakat tanpa dipengaruhi usia. Walaupun tidak ada dokumen yang
secara rinci menjelaskan tentang prevalensi konjungtivitis, tetapi keadaan ini sudah
ditetapkan sebagai penyakit yang sering terjadi pada masyarakat (Chiang YP, dkk,
1995 dalam Rapuano et al, 2005). Di Indonesia penyakit ini masih banyak terdapat
dan paling sering dihubungkan dengan kondisi lingkungan yang tidak hygiene.
2.5 Patofisiologi
Konjungtivitis lebih dikenal sebagai pink eye, yaitu adanya inflamasi pada
konjungtiva atau peradangan pada konjungtiva, selaput bening yang menutupi
bagian berwarna putih pada mata dan permukaan bagian dalam kelopak mata.
Konjungtivitis terkadang dapat ditandai dengan mata berwarna sangat merah dan
menyebar begitu cepat. Beberapa jenis konjungtivitis dapat hilang dengan sendiri,
tapi ada juga yang memerlukan pengobatan (Effendi, 2008).
3. Anti bakteri
1. Histamin
2. Lekotrin
3. Prostaglandin
5. Kemokin
Dihasilkan oleh sel pengatur lalu lintas lekosit di lokasi inflamasi) beberapa
macam kemokin: IL-8 (interleukin-8), RANTES (regulated upon activation normal T
cell expressed and secreted), MCP (monocyte chemoattractant protein).
6. Sitokin
Beberapa mediator lain: nitrat oksida, peroksida dan oksigen radikal. Oksigen
dan nitrogen merupakan intermediat yang sangat toksik untuk mikroorganisme.
c. Eksudat yang berlapis-lapis dan amorf pada konjungtivitis bakteri dan berserabut
pada konkungtivitis alergika (eksudasi).
a. Gejala Subjektif
Konjungtivitis biasanya hanya menyebabkan iritasi dengan rasa sakit dengan mata
merah dan lakrimasi. Khasnya pada konjungtivitis flikten apabila kornea ikut terlibat
akan terdapat fotofobia dan gangguan penglihatan. Keluhan lain dapat berupa rasa
berpasir. Konjungtivitis flikten biasanya dicetuskan oleh blefaritis akut dan
konjungtivitis bekterial akut.
b. Gejala Objektif
Dengan Slit Lamp tampak sebagai tonjolan bulat ukuran 1-3 mm, berwarna kuning
atau kelabu, jumlahnya satu atau lebih yang di sekelilingnya terdapat pelebaran
pembuluh darah konjungtiva (hyperemia). Bisa unilateral atau mengenai kedua
mata.
c. Laboratorium
Konjungtivitis Bakteri
A. Definisi
C. Patofisiologi
D. Gejala Klinis
E. Diagnosis
Pada saat anamnesis yang perlu ditanyakan meliputi usia, karena mungkin
saja penyakit berhubungan dengan mekanisme pertahanan tubuh pada pasien yang
lebih tua. Pada pasien yang aktif secara seksual, perlu dipertimbangkan penyakit
menular seksual dan riwayat penyakit pada pasangan seksual. Perlu juga
ditanyakan durasi lamanya penyakit, riwayat penyakit yang sama sebelumnya,
riwayat penyakit sistemik, obat-obatan, penggunaan obat-obat kemoterapi, riwayat
pekerjaan yang mungkin ada hubungannya dengan penyakit, riwayat alergi dan
alergi terhadap obat-obatan, dan riwayat penggunaan lensa-kontak.
F. Komplikasi
G. Penatalaksanaan
Konjungtivitis Virus
A. Definisi
D. Gejala Klinis
E. Diagnosis
F. Komplikasi
G. Penatalaksanaan
Konjungtivitis virus yang terjadi pada anak di atas 1 tahun atau pada orang
dewasa umumnya sembuh sendiri dan mungkin tidak diperlukan terapi, namun
antivirus topikal atau sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea.
Pasien konjungtivitis juga diberikan instruksi hygiene untuk meminimalkan
penyebaran infeksi.
Konjungtivitis Alergi
A. Definisi
Konjungtivitis alergi adalah bentuk alergi pada mata yang paing sering dan
disebabkan oleh reaksi inflamasi pada konjungtiva yang diperantarai oleh sistem
imun (Cuvillo et al, 2009). Reaksi hipersensitivitas yang paling sering terlibat pada
alergi di konjungtiva adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1.
C. Gejala Klinis
D. Diagnosis
Diperlukan riwayat alergi baik pada pasien maupun keluarga pasien serta
observasi pada gejala klinis untuk menegakkan diagnosis konjungtivitis alergi.
Gejala yang paling penting untuk mendiagnosis penyakit ini adalah rasa gatal pada
mata, yang mungkin saja disertai mata berair, kemerahan dan fotofobia.
E. Komplikasi
Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea
dan infeksi sekunder (Jatla, 2009).
F. Penatalaksanaan
Konjungtivitis Jamur
Konjungtivitis Parasit
Selain disebabkan oleh bakteri, virus, alergi, jamur dan parasit, konjungtivitis
juga dapat disebabkan oleh penyakit sistemik dan penyakit autoimun seperti
penyakit tiroid, gout dan karsinoid. Terapi pada konjungtivitis yang disebabkan oleh
penyakit sistemik tersebut diarahkan pada pengendalian penyakit utama atau
penyebabnya (Vaughan, 2010). Konjungtivitis juga bisa terjadi sebagai komplikasi
dari acne rosacea dan dermatitis herpetiformis ataupun masalah kulit lainnya pada
daerah wajah.
Usia : 24 tahun
Pekerjaan : Mahasiswa
Agama/Suku : Islam/Jawa
Pasien datang dengan keluhan perih yang dirasakan pada mata sebelah kiri.
Perih dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Dirasakan terus menerus, tetapi tidak
semakin memberat. Perih dirasakan semakin terasa saat bangun tidur atau
kecapekan, dan terasa ringan ketika tidur. Pasien juga mengatakan perih
pasien menjadi sedikit kabur. Keluhan juga terkadang disertai adanya keluar belek
Pasien sudah pernah merasakan keluhan seperti ini sejak 4 tahun lalu.
Pasien didiagnosa sakit mata (pasien lupa dikatakan sakit apa) di Malang Eye
Centre dan diberi Xindositrol, obat dipakai selama 2 tahun. Pasien mengatakan
Lalu pasien pergi ke dokter lain pada tahun 2015 karena keluhan yang sama,
membaik tetapi setelah itu pasien tidak kontrol Pasien mengaku memiliki alergi
makanan terhadap ayam, telur dan kacang. Pasien juga pernah mengeluh
OD OS
OD OS
GERAKAN BM
CI (+), PCI (-), folikel (+), CONJUNCTIVA CI (+), PCI (-), folikel (+),
papil (+), lithiasis (+), papil (+),lithiasis (+),
sekret (+), mukoid (-) sekret (+), mukoid (-)
Visus
Slitlamp
TIO
Funduskopi
3.6 Rencana Terapi
Tobroson e.d 6x1 ODS
ProtagentA e.d 6x1 ODS
Kontrol 1 minggu pro ekstraksi lithiasis
kronis yang menyebabkan mata merah berair serta terasa gatal dan
bengkak.
3.9 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad fungsionalis : bonam
Ad visam : bonam
Ad cosmetica : bonam
Ad sanam : bonam
BAB 4
PEMBAHASAN
Pasien berobat ke poliklinik mata RSSA pada tanggal 6 April 2016. Setelah
mata kiri terasa perih sejak 1 minggu yang lalu. Dirasakan terus menerus, tetapi
tidak semakin memberat. Perih dirasakan semakin terasa saat bangun tidur atau
kecapekan, dan terasa ringan ketika tidur. Pasien juga mengatakan perih
pasien menjadi sedikit kabur. Keluhan juga terkadang disertai adanya keluar belek
(cairan putih kental) dari mata pasien. Pasien menyangkal adanya mata merah,
Pasien sudah pernah merasakan keluhan seperti ini sejak 4 tahun lalu.
Pasien didiagnosa sakit mata (pasien lupa dikatakan sakit apa) di Malang Eye
Centre dan diberi Xindositrol, obat dipakai selama 2 tahun. Pasien mengatakan
keluhan berkurang tapi tidak sembuh sepenuhnya Lalu pasien pergi ke dokter lain
pada tahun 2015 karena keluhan yang sama, dikatakan pasien mengindap alergi
dan diberikan Alegysal, keluhan sedikit membaik tetapi setelah itu pasien tidak
kontrol
Dari pemeriksaan visus dan segmen anterior yang telah dilakukan, kelainan
yang ditemukan pada mata kanan dan kiri didapatkan visus 5/5. Pada palpebra
Injection, terdapat sekret(+), folikel(+), foam cell(+), mukoid (-). Dari pemeriksaan
kornea, didapatkan kornea jernih, dan COA dalam. Iris radier line (+). Pupil bulat
ukuran diameter 3 mm, dengan refleks pupil (+), Lensa jernih, TIO dalam batas
normal.
Pada kasus ini, pasien dicurigai terkena konjungtivitis alergi dikarenakan
keluhan dirasakan hilang timbul dan tanpa alasan yang jelas selama 4 tahun
terakhir. Pada pasien ini perlu diperhatikan hal-hal yang dapat memicu munculnya
keluhan pada mata. Pasien mengaku memiliki riwayat alergi makanan dan biduran
saat terkena udara dingin. Riwayat atopi pada pasien dapat menjadi salah satu
(tipe cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya
berkontak dengan antigen yang spesifik. Respon alergi pada mata merupakan
suatu rangkaian peristiwa yang dikoordinasi oleh sel mast. Beta chemokins seperti
eotaxin dan MIP-alpha diduga memulai aktifasi sel mast pada permukaan mata.
Ketika terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi yang akan mempersiapkan
berdiferensisasi menjadi sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan merangsang
produksi antigen spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan dengan IgE
dan gejala-gejala alergi yang diaktivasi oleh sel inflamasi. Ketika histamin
dilepaskan oleh sel mast. Histamin akan berikatan dengan reseptor H1 pada ujung
saraf dan menyebabkan gejala pada mata berupa gatal. Histamin juga akan akan
menyebabkan vasodlatasi. Sitokin yang dipicu oleh sel mast seperti chemokin,
interleukin IL-8 terlibat dalam memicu netrofil. Sitokin TH2 seperti IL-5 akan
memicu eosinofil dan IL-4, IL-6,IL-13 yang akan memicu peningkatan sensitivitas
(Ventocillia, 2012).
Pada pasien juga didapatkan lithiasis pada konjungtiva palpebra superior
dan adanya erosi kornea minimal dari pemeriksaan flouresin. Lithiasis pada pasien
dapat terbentuk karena proses inflamasi yang terjadi secara terus menerus.
kalsifikasi oleh karena terjadi dalam jangka waktu yang lama. Kalsifikasi sekret ini
Erosi kornea yang ditemukan pada pasien disebabkan oleh karena lithiasis
yang dibiarkan terlalu lama tanpa penanganan. Kelainan anatomi pada palpebra
yang disebabkan oleh lithiasis dapat mengganggu dispersi air mata pada
konjungtiva dan kornea. Gesekan yang terus menerus terjadi dari lithiasis, lambat
4.2 Penatalaksanaan
Avoidance
kelembapan mata. Produksi maupun disperi air mata yang kurang baik
mikroorganisme.
strain yang sensitif dari Staphylococci. Selain itu, obat ini juga
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
tusuk, dan rasa panas. Terdapat conjunctival injection, dan kadang disertai
chemosis.
didapatkan keluhan mata kiri bengkak dan perih selama 1 minggu, keluar
kotoran setiap pagi.Keluhan yang serupa juga sudah dirasakan pada kedua
mata sejak 4 tahun terakhir. Sudah diberi pengobatan oleh dokter spesialis
mata, membaik, namun muncul kemabli setelah sekian lama. Pasien juga
(+), folikel(+)..
5.2 Saran
Saran yang akan diberikan oleh penulis kepada pembaca sebagai
yang paling sering yang diderita sehingga dapat menangani hingga tuntas
Kanski JJ, Menon J. Atlas of Clinical Ophthalmology. Conjunctiva. 3th Edition. Mosby Elsevier.
2006: 4-6
Kemkes RI, 2010. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. 10 Besar Penyakit Rawat
Jalan Tahun 2009.Diakses pada 9 April 2016. http://www.depkes.go.id.
Lang GK. 2006. Ophthalmology. 2nd Edition. Stuttgart New York: Thieme; hal 507-
35
Sidarta, I., 2009. Ikhtisar Ilmu Penyakit Mata. Konjungtiva. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 51-74.