Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Anemia Defisiensi Besi

Oleh:
Isma Dewi Masithah 150070200011055
Carissa Putri Irnanda 150070200011022
Nancy Priscilla Bria 125070107111049
Nur Balqis Bt M. Azwar I. 125070108121007

Pembimbing:
dr. Djoko Heri H., Sp PD-KHOM

LABORATORIUM / SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2016
DAFTAR ISI

Judul ......................................................................................................1
Daftar Isi.................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................4


2.1 Definisi ......................................................................................4
2.2 Etiologi ......................................................................................5
2.3 FaktorResiko .............................................................................6
2.4 Diagnosis ..................................................................................7
2.5 Terapi ........................................................................................9
2.6 Prognosis ..................................................................................11
BAB III RINGKASAN ..............................................................................12

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN

Anemia merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia dengan


prevalensi yang cukup tinggi, terutama di negara berkembang. Anemia sering
terjadi pada balita, wanita usia subur, dan ibu hamil. Di Indonesia, angka
prevalensi anemia pada balita sebesar 47%, pada wanita usia subur sebesar
26,9%, dan pada ibu hamil sebesar 40,1% (Burner, 2012).
Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi dibandingkan pria untuk terkena
anemia karena wanita mengalami haid. Alasan lain adalah wanita cenderung
menjaga bentuk tubuhnya dengan mengurangi makan. Hal tersebut
menyebabkan tubuh kekurangan zat besi, yang kemudian dapat menyebabkan
anemia defisiensi besi (Arisman, 2007).
Konsekuensi anemia dapat berupa gejala ringan seperti malaise, serta
yang lebih berat misalnya penurunan fungsi kognitif dan defisit mental lainnya.
Pada ibu hamil, anemia defisiensi besi dapat menyebabkan hambatan dalam
perkembangan fetus yang menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah
(Yehuda, 2010).
Untuk mencegah terjadinya konsekuensi tersebut, yang dapat dilakukan
adalah dengan mencegah anemia defisiensi besi itu sendiri atau dengan
menatalaksana secepatnya. Dalam SKDI (Standar Kompetensi Dokter
Indonesia), anemia defisiensi besi memiliki level kompetensi 4A, maka seorang
dokter umum harus dapat mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan
anemia defisiensi besi secara mandiri dan tuntas (KKI, 2012).
Makalah ini dibuat untuk meningkatkan pemahaman dokter muda terkait
anemia defisiensi besi, sehingga ketika menjadi dokter nantinya akan mampu
mendiagnosis dan menatalaksana anemia defisiensi besi dengan efektif dan
efisien.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbulakibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong
yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan haemoglobin berkurang.
Selain itu ADB juga disebabkan oleh perdarahan menahun yang membuat
kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh
sehingga cadangan besi makin menurun (Bakta, 2009)

Gambar1.1 Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C.,


1999. Disorderof iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95)
Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi
yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai
oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta
pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi
berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk
eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai
iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai
adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam
eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron

4
binding capacity= TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam
serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia
hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency
anemia) (Andrews, 1999).
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai,
terutama di negara-negara tropik atau negara dunia ketiga, karena sangat
berkaitan erat dengan taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari
sepertiga penduduk dunia yang memberikan dampak kesehatan yang sangat
merugikan serta dampak sosial yang cukup serius (Bakta,2009).

2.2 Etiologi
Terjadinya anemia defisiensi besi sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi
besi, diet yang mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah
yang hilang. Kebutuhan besi dapat disebabkan :

1. Kebutuhan yang meningkat fisiologis. Pertumbuhan pada umur 1 tahun


pertama dan masa remaja, kebutuhan besi akan meningkat sehingga
pada periode ini insiden anemia defisiensi Fe meningkat. Penyebab
tersering pada anak perempuan adalah kehilangan darah lewat
menstruasi.
2. Kurangnya besi yang diserap. Masukan besi dari makanan yang tidak
adekuat. Bayi cukup bulan memerlukan + 200 mg besi dalam 1 tahun
pertama untuk pertumbuhannya. Bayi yang mendapat ASI jarang
menderita anemia karena 40 % besi dalam ASI diabsorpsi oleh bayi.
3. Malabsorpsi besi. Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang
mukosa ususnya mengalami perubahan secara histologis dan fungsional.
4. Perdarahan. Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab
penting terjadinya anemia defisiensi Fe. Kehilangan darah 1 ml akan
mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg. Yang paling sering adalah
perdarahan uterus ( menorrhagi, metrorrhagia) pada wanita, perdarahan
gastrointestinal diantaranya adalah ulcus pepticum,varices esophagus,
gastritis, hernia hiatus, diverikulitis, karsinom lambung, karsinoma
sekum, karsinoma kolon, maupun karsinoma rectum, infestasicacing

5
tambang, angiodisplasia. Konsumsi alkohol atau aspirin
yangberlebihan dapat menyebabkan gastritis, hal ini tanpa disadari
terjadi kehilangan darah sedikit sedikit tapi berlangsung terus menerus.
5. Faktor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab
utama. Penyebab paling sering pada laki-laki adalah perdarahan
gastrointestinal, dimana dinegara tropik paling sering karena infeksi
cacing tambang. Pada wanita paling sering karena menormettorhagia.
6. Kehamilan. Pada kehamilan, kehilangan besi kebanyakan disebabkan
oleh kebutuhan besi oleh fetus untuk eritropoiesis, kehilangan darah saat
persalinan, dan saat laktasi.
7. Transfusi feto-maternal. Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi
ibu akan menyebabkan anemia pada akhir masa fetus dan pada awal
masa neonatus.
8. Hemoglobinuri. Keadaan ini biasa dijumpai pada anak yang memakai
katup jantung buatan. Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria
kehilangan besi melalui urin 1,8-7,8 mg/hari.
9. Iatrogenic blood loss. Terjadi pada anak yang sering diambil darah
venanya untuk pemeriksaan laboratorium.
10. Idiopathic pulmonary hemosiderosis. Penyakit ini jarang terjadi, pada
keadaan ini kadar Hb dapat turun drastis hingga 1,5-3 g/dl dalam 24 jam.
11. Latihan yang berlebihan . Pada orang yang berolahraga berat kadar
feritin serumnya akan kurang dari 10 ug/dl(Bakta, 2007).

2.3 Faktor resiko


Terdapat beberapa kelompok yang memiliki resiko tinggi terhadap anemia
defisiensi besi, di antaranya yaitu:
Wanita. Karena wanita dapat kehilangan banyak darah ketika menstruasi,
sehingga pada umumnya wanita memiliki resiko lebih tinggi terkena anemia
defisiensi besi.
Balita dan anak-anak. Balita, khususnya yang lahir dengan berat badan lahir
rendah dan lahir premature, tidak mendapatkan asi ataupun susu formula
akan meningkatkan resiko ADB. Sementara anak-anak membutuhkan ekstra

6
energi untuk pertumbuhan. Jika anak tidak mendapat asupan gizi yang
cukup maka akan beresiko terkena anemia.
Vegetarian. Orang yang tidak mengkonsumsi daging akan memiliki resiko
ADB lebih tinggi.
Pendonor darah. Orang yang rutin mendonorkan darah akan memiliko resiko
yang lebih tinggi karena dapat mengurangi sediaan besi dan mengurangi
kadar haemoglobin.

2.4 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium
yang tepat. Gejala anemia defisiensi besi dapat digolongkan menjadi 3 golongan
besar, yaitu, gejala umum anemia, gejala khas anemia akibat defisiensi besi,
dan gejala penyakit dasar. Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai
sindrom anemia dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
haemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat
lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan
fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjunctiva dan jaringan di
bawah kuku.
Gejala khas yang dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada
anemia jenis lain adalah:
- Koilonychias : kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip seperti sendok
- Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena
papil lidah menghilang.
- Stomatitis angularis (cheilosis): adanya peradangan pada sudut mulut
sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan.
- Disfagia : Nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring
- Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhhlorida
- Pica : keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim, seperti: tanah
liat, es, lem, dan lain-lain.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson Kelly
adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik mikrositer, atrofi
papil lidah, dan disfagia.

7
Terdapat tiga tahap diagnosis ADB. Tahap pertama adalah menentukan
adanya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off
point anemia tergantung kriteria yang dipilih, apakah kriteria WHO atau kriteria
klinik. Tahap kedua adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan
tahap ketiga adalah menetukan penyebab defisiensi besi yang terjadi. Secara
laboratoris untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi (tahap satu dan
tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia defisiensi besi (modifikasi
dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut : Anemia hipokromik mikrositer pada
hapusan darah tepi, atau MCV <80 fl dan MCHC<31% dengan salah satu dari
a,b,c,atau d.
a. Dua dari tiga parameter di bawah ini :
- Besi serum <50mg/dl
- TIBC >350 mg/dl
- Saturasi transferrin: <15%, atau
b. Ferritin serum <20 mg/l, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain)
menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfas ferosus 3x 200 mg/hari (atau preparat besi lain
yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar haemoglobin lebih
dari 2 g/dl
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab defisiensi
besi. Tahap ini sering merupakan proses yang rumit dan memerlukan berbagai
jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang sangat penting untuk mencegah
kekambuhan defisiensi besi serta kemungkinan untuk dapat menemukan
sumber perdarahan yang membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang
baik, sekitar 20% kasus ADB tidak diketahui sebabnya.
Untuk pasien dewasa fokus utama adalah mencari sumber perdarahan.
Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti. Pada perempuan masa
reproduksi anamnesis tentang menstruasi sangat penting, kalau perlu dilakukan
pemeriksaan ginekologi. Untuk laki-laki dewasa dilakukan pemeriksaan feses
untuk mencari cacing telur tambang. Tidak cukup hanya dilakukan pemeriksaan
hapusan langsung (direct smear dengan eosin), tetapi sebaiknya dilakukan
pemeriksaan semi kuantitatif, seperti misalnya teknik Kato-Katz untuk
menentukan beratnya infeksi. Namun jika tidak ditemukan perdarahan yang

8
nyata, dapat dilakukan tes darah samar (occult blood test) pada feses, dan jika
terdapat indikasi dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah (Bakta,
2009).

2.6 Terapi Anemia Defisiensi Besi

A. Terapi Kausal
Terapi terhadap penyebab perdarahannya.

B. Iron Replacement Therapy


Terapi ini bisa diberikan dalam bentuk oral maupun parenteral.
a. Terapi Besi Peroral
Terapi ini memiliki berbagai jenis preparat yakni sulfas ferrosus,
gluconate ferrosus, fumarat ferrosus, lactate ferrosus dan succinote
ferrosus. Preparat-preparat tersebut memiliki jumlah kandungan besi yang
berbeda-beda di dalamnya namun dapat diabsorbsi dengan baik dan
bekerja secara efektif. Pemberian terapi besi oral ini paling baik digunakan
dalam kondisi perut yang kosong karena makanan akan menghambat
penyerapan besi (Adamson, 2012).
Pilihan utama dalam terapi oral ini adalah sulfas ferrosusyang
selain murah tetapi juga efektif. Dosis dalam pemberian sulfas ferrosus
adalah 3 x 200 mg dimana setiap 200 mg mengandung 66 mg besi
elemental. Pemberian sulfas ferosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorbsi
besi 50 mg per hari yang dapat meningkatkan eritropoesis dua sampai tiga
kali normal. Namun dengan meningkatnya jumlah hemoglobin, stimulasi
eritropoietin menurun dan absorbsi besi juga akan menurun sehingga
terapi harus di lanjutkan sampai 6 12 bulan setelah koreksi anemia
karena pada pasien anemia defisiensi besi tidak hanya diterapi anemianya
tetapi juga harus ada cadangan besi paling sedikit 0,5 - 1 gr (Adamson,
2012).
Efek samping yang paling sering dalam pemberian terapi ini
adalah gastrointestinal distress seperti nyeri perut, mual, muntah atau
konstipasi sehingga terjadi ketidakpatuhan dalam meminum obat dan
pengobatannya menjadi tidak efektif (Adamson, 2012).

9
b. Terapi Besi Parenteral
Terapi besi parenteral berlujuan untuk mengembalikan kadar
hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg. Untuk
menghitung jumlah kebutuhan besi adalah

Kebutuhan besi (mg) = (1s-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg

Terapi ini sangat efektif tetapi mempunyai risiko lebih besar


sehingga diberikan jika dalam keadaan : (1) intoleransi terhadap pemberian
besi oral; (2) kepatuhan terhadap obat yang rendah; (3) gangguan
pencernaan seperti kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika diberikan besi;
(4) penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi; (5)
keadaan di mana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak cukup
dikompensasi oleh pemberian besi oral, seperti misalnya pada hereditary
hemorrhagic teleangiectasia; (6) kebutuhan besi yang besar dalam waktu
pendek, seperti pada kehamilan trimester tiga atau sebelum operasi; (7)
defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin pada anemia
gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit kronik (Adamson, 2012)
Preparat yang tersedia ialah iron dextran complex (mengandung
50 mg besi/ml), iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru adalah
iron fenic gluconate dan iron sucrose yang lebih aman. Besi parenteral
dapat diberikan secara intramuskular dalam atau intravena pelan.
Pemberian secara intramuskular memberikan rasa nyeri dan memberikan
warna hitam pada kulit. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi
anafilaksis, meskipun jarang (0,6%). Efek samping lain adalah flebitis,
sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri perut dan sinkop (Adamson,
2012)

C. Terapi lainnya
a. Diet : mengkonsumsi makanan yang tinggi protein terutama protein
hewani
b. Vitamin C : untuk meningkatkan absorbsi besi dengan dosis 3 x 100 mg
per hari.

10
c. Transfusi darah.
Indikasi transfusi darah pada pasien anemia defisiensi besi adalah
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah jantung.
- Anemia yang sangat simptomatik, misalnya anemia dengan gejala
pusing yang menyolok.
- Pasien memerlukam peningkatan kadar hemoglobin yang cepat
seperti pada kehamilan trimester akhir atau preoperasi(Sudoyo, 2009)

2.7 Prognosis
Prognosisnya sangat bergantung pada penyakit yang mendasarinya. Bila
penyakit yang mendasarinya teratasi, dengan nutrisi yang baik maka anemia
defisiensi dapat teratasi (PPKDI, 2014).

11
BAB III
RINGKASAN

Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang paling banyak


dijumpai di masyarakat. Anemia defisiensi besi ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan
keluhan badan lemah, merasa cepat lelah, mata berkunang-kunang dan telinga
berdenging. Dari pemeriksaan fisiknya ditemukan konjungtiva dan jaringan
dibawah kuku tampak pucat. Selain itu tanda khas dari anemia defisiensi besi
seperti kuku berbentuk seperti sendok (koilonychias), atrofi papil lidah,
peradangan sudut mulut (cheilosis), disfagia, dan pica. Lalu pemeriksaan
penunjang diagnosis anemia ini yaitu dengan hapusan darah, darah lengkap,
TIBC, Fe serum, dan feses.
Anemia defisiensi dapat diterapi dengan cara menghilangkan penyakit
yang mendasari terjadinya anemia ini dan memberikan suplemen Fe baik peroral
maupun parenteral. Adapun terapi lainnya yakni dengan memberikan makanan
yang tinggi protein, vitamin c untuk absorbi besinya dan juga dapat dilakukan
transfusi darah. Anemia defisiensi besi ini pada umumnya memiliki prognosis
yang baik jika penyakit yang mendasari dapat diatasi.

12
DAFTAR PUSTAKA

Adamson, John W. 2012. Harrisons : Principle o Internal Medicine 18th Edition.


New York : McGraw-Hill Companie. Hlm 848-49.

Arisman. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. hal.63-66.

Bakta, I. M., Ketut Suega, Tjokorda Gde Dharmayuda. Anemia Defisiensi Besi.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setia S. Buku
Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI. 2009.

Burner. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Anemia pada


Remaja Putri. Jurnal Ilmu Pendidikan (Online), (http://repository.usu.ac.id),
diakses pada tanggal 3 Agustus 2016 pukul 11.00

Bruce M. Camitta. Nelson Textbook of Pediatric,Anemia. 17th edition. United


State of America;Saunders;2004

Distribusi Besi Dalam Tubuh Dewasa (sumber: Andrews, N. C., 1999. Disorderof
iron metabolism. N Engl J Med; 26: 1986-95)

Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia.


Jakarta.

Raspati H., Reniarti L., Susanah S. Buku Ajar Hematologi Onkologi Anak.
Anemia. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2005.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.

Ikatan Dokter Indonesia. 2014. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Hlm 76.

Iron-deficiency anemia. American Society of Hematology.


http://www.hematology.org/Patients/Anemia/Iron-Deficiency.aspx.
Diaksespadatanggal 7 Agustus 2016.

Yehuda S., Mostofsky DI. 2010. Iron Deficiency and Overload: From basic
biology to clinical medicine. Springer Science & Business Media.

13

Anda mungkin juga menyukai