Anda di halaman 1dari 23

PENELITIAN

KEJADIAN KECELAKAAN LALU LINTAS PERIODE JANUARI-MEI 2017 DI


RS SYAIFUL ANWAR MALANG

Disusun oleh :

Billi Kinesya 150070200011019


Verina Setyabudhi 150070200011094
Isma Dewi Masithah 150070200011055

Pembimbing :
Dr. Etty Kurnia, Sp.F

LABORATORIUM/SMF ILMU KEDOKTERAN FORENSIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR MALANG
2017

1
ABSTRAK

Masithah, Isma Dewi. Kinesya , Billi. Setyabudhi, Verina. 2017. Kejadian


Kecelakaan Lalu Lintas Periode Januari-Mei 2017 di RS Syaiful Anwr
Malang. Penelitian Retrograde Aspek Medikolegal, Program Studi
Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Pembimbing: (1) dr Etty Kurnia, SpF..

Kecelakaan adalah serangkaian peristiwa dari kejadian-kejadian yang


tidak diduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan pada benda,
luka, dan kematian. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia dalam tiga tahun terakhir
ini menjadi pembunuh terbesar ketiga setelah penyakit jantung koroner dan
tuberculosis berdasarkan penilaian oleh WHO.Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi kecelakaan lalu lintas, yaitu faktor manusia, kendaraan, jalan,
dan lingkungan. Kematian yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas, disebabkan
karena perdarahan yang terus berlanjut, perdarahan sekunder, gagal ginjal
akibat hipotensi dan kerusakan otot luas, emboli lemak, infeksi lokal, dada atau
infeksi sistemik lainnya, infark miokard dan sequele lainnya. Untuk mengetahui
sebab kematian pasti dari suatu kecelakaan perlu dilakukan juga pemeriksaan
dalam pada jenazah. Pemeriksaan forensik untuk kasus kecelakaan lalu lintas
umumnya hampir sama dengan pemeriksaan forensik standar. Namun ada
beberapa penekanan seperti pemeriksaan pakaian, pola luka, serta beberapa
pemeriksaan laboratorium. Autopsi dilakukan untuk mencari sebab kematian
pasti pada kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan kecelakaan lalu lintas periode Januari-Mei 2017 dengan usia dan jenis
kelamin korban. Penelitian ini adalah penelitian distributif menggunakan metode
retrograde. Variable yang diteliti adalah penyebaran kecelakaan lalu lintas tiap
bulannya, umur, dan jenis kelamin. Hasil penelitian menunjukkan angka kejadian
tertinggi saat bulan Januari. Mayoritas korban berjenis kelamin laki-laki dan
berusia >20 th. Kesimpulan dari penelitian ini adalah angka kejadian kecelakaan
lalu lintas berhubungan dengan jenis kelamin dan usia. Berdasarkan penelitian
ini dapat diketahui bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan trauma yang dapat
menyebabkan mortalitas yang sering ditemui. Dari kasus kecelakaan yang
menyebabkan mortalitas, 63% kasus terjadi pada laki-laki dan 41% kasus terjadi
di usia 21-40 tahun.

Kata kunci: kecelakaan lalu lintas, usia, jenis kelamin, usia, mortalitas.

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma adalah penyebab kematian paling umum pada orang-orang
dalam rentang usia 16-44 tahun di seluruh dunia. Proporsi terbesar dari kematian
akibat trauma adalah kecelakaan yang terjadi di jalan raya sebesar 1,2 juta
kasus setiap tahunnya (WHO, 2004). WHO pun memprediksi bahwa pada tahun
2020, trauma akibat kecelakaan lalu lintas akan menduduki peringkat ketiga
sebagai penyumbang terbanyak bagi kematian dini dan juga kecacatan (Peden
et al, 2004).
Pada umumnya trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas
merupakan suatu multipel trauma. Multipel trauma adalah kondisi seseorang
yang mengalami beberapa luka traumatis pada 2 atau lebih regio atau organ
tertentu dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi
dampak pada fisik, kognitif, psikologik, dan juga memberi suatu disabilitas
fungsional. Ekstremitas baik ekstremitas atas maupun bawah merupakan salah
satu organ yang sering terlibat pada pasien-pasien dengan multipel trauma
tersebut (Lamichhane P et al, 2011).
Lebih dari 80% pasien yang masuk ke ruang gawat darurat adalah
disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil,
sepeda, dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya merupakan kecelakaan
yang disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda, olah raga, dan
korban kekerasan (Japardi, 2004). Di Jakarta sendiri, dari 614 kasus kecelakaan
lalu lintas yang diotopsi sepanjang tahun 1982, 490 kasus sebab kematiannya
merupakan hasil kecelakaan lalu lintas yang fatal, yang mana korban kecelakaan
lalu lintas mengalami luka-luka , seperti luka di bagian kepala, ekstrimitas atas,
ektrimitas bawah, tubuh depan , dan tubuh belakang (Atmadja, 1990).
Semakin maraknya kecelakaan lalu lintas yang terjadi berdampak pada
dibutuhkannya tenaga medis yang lebih banyak lagi. Masalah ini tidak hanya
berkaitan dengan kesehatan namun juga pasti bersinggungan dengan hukum.
Sehingga tenaga dokter forensik juga diperlukan sebagai bantuan pada
pengadilan di Indonesia. Oleh karena itu makalah ini dibuat sebagai salah satu
proses pembelajaran dokter muda terhadap kasus kecelakaan lalu lintas ditinjau
dari ilmu kedokteran forensik.

3
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai pembelajaran dokter muda
rotasi Ilmu Kedokteran Forensik terhadap kasus-kasus kecelakaan lalu lintas
ditinjau dari ilmu kedokteran Forensik, serta sebagai salah satu syarat kelulusan
rotasi Ilmu Kedokteran Forensik.

1.3 Manfaat
1. Mengetahui definisi kecelakaan lalu lintas.
2. Mengetahui epidemiologi kecelakaan lalu lintas, terutama di RSSA.
3. Mengetahui dasar hukum forensik untuk kasus kecelakaan lalu lintas.
4. Mengetahui pola kelainan dan sebab kematian pada kasus
kecelakaan lalu lintas.
5. Mengetahui pemeriksaan forensik kasus kecelakaan lalu lintas.
6. Mengetahui hubungan antara jumlah kecelakaan lalu lintas dengan
usia dan jenis kelamin korban.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kecelakaan adalah serangkaian peristiwa dari kejadian-kejadian yang
tidak diduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan pada benda,
luka, dan kematian. A motor-vehicle traffic accident ialah setiap kecelakaan
kendaraan bermotor di jalan raya. Non motor-vehicle traffic accident ialah setiap
kecelakaan yang terjadi di jalan raya, yang melibatkan pemakai jalan untuk
transportasi atau untuk mengadakan perjalanan, dengan kendaraan yang bukan
kendaraan bermotor. Berikut adalah peristiwa yang dapat dikatakan sebagai
kecelakaan lalu-lintas (Idries, 1997):
1. Terdapat kerusakan pada benda derajat 1
2. Terdapat luka : non-visible derajat 2
3. Terdapat luka : minor-visible derajat 3
4. Terdapat luka : serious-visible derajat 4
5. Terdapat korban yang tewas derajat 5

2.2 Epidemiologi
Menurut Global Status Report on Road Safety (2013), sebanyak 1,24 juta
korban meninggal tiap tahun di seluruh dunia dan 2050 juta orang mengalami
luka akibat kecelakaan lalu lintas. Data WHO menyebutkan bahwa kecelakaan
lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak di dunia dengan rata-rata
angka kematian 1000 anak dan remaja setiap harinya pada rentang usia 1024
tahun. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini menjadi
pembunuh terbesar ketiga setelah penyakit jantung koroner dan tuberculosis
berdasarkan penilaian oleh WHO (Badan Intelijen Negara RI, 2014).
Jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia mengalami peningkatan setiap
tahun. Banyaknya angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia seiring dengan
jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat. Peningkatan jumlah
kendaraan jenis sepeda motor memiliki angka paling tinggi di antara jenis
kendaraan bermotor lainnya (Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, 2013).

5
2.3 Faktor yang mempengaruhi kecelakaan
Ada 4 faktor utama yang menyebabkan kecelakaan lalu lintas menurut
WHO (2007), yaitu:
- Faktor manusia
Faktor manusia merupakan faktor yang paling dominan dalam
kecelakaan. Hampir semua kejadian kecelakaan didahului dengan pelanggaran
rambu-rambu lalu lintas. Pelanggaran dapat terjadi karena sengaja melanggar,
ketidaktahuan terhadap arti aturan yang berlaku ataupun tidak melihat ketentuan
yang diberlakukan atau pula pura-pura tidak tahu.
- Faktor kendaraan
Faktor kendaraan yang paling sering terjadi adalah ban pecah, rem tidak
berfungsi sebagaimana seharusnya, kelelahan logam yang mengakibatkan
bagian kendaraan patah, peralatan yang sudah aus tidak diganti dan berbagai
penyebab lainnya. Keseluruhan faktor kendaraan sangat terkait dengan teknologi
yang digunakan, perawatan yang dilakukan terhadap kendaraan.
- Faktor jalan
Faktor jalan terkait dengan kecepatan rencana jalan, geometrik jalan,
pagar pengaman di daerah pegunungan, ada tidaknya median jalan, jarak
pandang dan kondisi permukaan jalan. Jalan yang rusak atau berlubang sangat
membahayakan pemakai jalan terutama bagi pemakai sepeda motor.
- Faktor lingkungan
Hari hujan juga mempengaruhi unjuk kerja kendaraan seperti jarak
pengereman menjadi lebih jauh, jalan menjadi lebih licin, jarak pandang juga
terpengaruh karena penghapus kaca tidak bisa bekerja secara sempurna atau
lebatnya hujan mengakibatkan jarak pandang menjadi lebih pendek. Asap dan
kabut juga bisa mengganggu jarak pandang, terutama di daerah pegunungan.

2.4 Peraturan Undang-Undang


Ketentuan hukum yang berlaku pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan
korban meninggal ini menurut UU No. 14 tahun 1992 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan, terdapat pada pasal 31 ayat (1), yaitu: Apabila korban
meninggal, pengemudi dan/atau pemilik dan/atau pengusaha angkutan umum
wajib memberi bantuan kepada ahli waris dari korban berupa biaya pengobatan
dan/atau biaya pemakaman.

6
Sedangkan menurut KUHP, ketentuan pidana tentang hal yang
menyebabkan mati atau luka akibat kealpaan terdapat dalam pasal 359:
Barangsiapa karena kesalahan (kealpaannya) menyebabkan orang lain
meninggal, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Permintaan surat keterangan pemeriksaan jenazah dilakukan atas dasar adanya
laporan pada pihak kepolisian setempat dimana hal ini sesuai dengan UU No. 14
tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan pasal 27 ayat (1) huruf c: Bila
terjadi peristiwa kecelakaan lalu lintas maka pengemudi kendaraan bermotor
yang terlibat dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas, wajib melaporkan
kecelakaan tersebut kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia terdekat.

2.5 Sebab Kematian


Kematian yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas, khususnya antara
kendaraan dengan pejalan kaki, biasanya ditemukan bukti makros dari
kerusakan jelas pada muskuloskeletal atau kerusakan organ, perdarahan berat,
traumatik asfiksia dari fiksasi dari dinding dada yang disebabkannya kerusakan
karena kecelakaan. Kematian yang tertunda disebabkan karena perdarahan
yang terus berlanjut , perdarahan sekunder, gagal ginjal akibat hipotensi dan
kerusakan otot luas, emboli lemak, infeksi lokal, dada atau infeksi sistemik
lainnya, infark miokard dan sequele lainnya. Biasanya didapatkan luka parah,
yang ditandai dengan adanya kehancuran pada kepala disertai kerusakan pada
otak atau pecahnya aorta. Biasanya kerusakan yang multipel, membuat kesulitan
untuk menentukan mana yang menyebabkan kematian yang serius dan luka
yang mematikan. (Saukko dan Knight, 2004)
Adanya penyakit yang mendasari biasanya merupakan pertimbangan
penting pada semua kematian pada kecelakaan lalu lintas, seperti penyebab
yang memungkinkan atau yang menyebabkan kecelakaan. Pada pejalan kaki,
biasanya terjadi pingsan secara tiba-tiba yang dapat menyebabkan kerusakan
fatal ketika kendaraan datang, atau bisa juga tertabrak dari kendaraan yang
selanjutnya. Sama halnya, kerusakan dari pengelihatan atau pendengaran dapat
berkontribusi pada kecelakaan, biasanya kondisi seperti ini tidak bisa terdeteksi
dalam autopsi, kecuali didapatkan adanya kerusakaan nyata pada kornea atau
lensa mata keabnormalitasan. Selain itu, yang harus dipertimbangkan adanya

7
kemungkinan intoksikasi obat atau alkohol pada korban pejalan kaki, pilot, supir
dan pengendara kapal.
Schmidt et al (1990) menganalisis 39 kematian di Jerman, dan
didapatkan 97% dengan penyakit kardiovaskular dan 90% penyakit jantung
coroner. Hal ini sudah dikonfirmasi dengan studi retrospektif lebih lanjut, 15 tahun
yang lalu di Munich, Jerman, mulai dari tahun 1982 hingga 1996. Penyakit
jantung iskemik adalah salah satu penyebab kematian 113 kasus dari 147
kematian yang wajar pada kecelakaan lalu lintas. Morild (1994) menemukan 14
kasus dari 133 kematian karena kecelakaan lalu lintas, meninggal karena
memiliki penyakit yang mendasari, kebanyakan kasus karena aterosklerosis
pada jantung. (Saukko dan Knight, 2004)
Klasifikasi empat kategori tergantung dari arah terjadinya benturan pada
kendaraan yang menyebabkan kematian (Idries, 1997; Fintan, 2006), antara lain:
1. Arah depan
Merupakan kejadian yang paling umum, dimana hampir 80% dari semua
kecelakaan lalu lintas, tabrakan dari arah depan terjadi bila dua kendaraan
bertabrakan, yang mana keduanya arah kepala, atau bagian depan dari
kendaraan menabrak benda yang tidak bergerak, seperti tembok, ataupun tiang
listrik. Pola luka akan terbentuk tergantung dari posisi daripada penumpang dari
kendaraan bermotor:
Pengemudi:
Kepala: membentur kaca depan dan kaca samping, sehingga dapat
mengakibatkan terbentuknya luka akibat benda tajam dari kaca samping,
karena terkena pecahan kaca
Dada: membentur kemudi dengan sangat keras dan menyebabkan abrasi
dengan pola khusus ataupun tidak terlihat adanya perlukaan sama sekali
Penumpang Depan:
hampir sama dengan pengemudi, kecuali pada penumpang yang tidak
bersabuk pengaman akan menghantam dashboard dan bukan kemudi,
sehingga tidak akan ada bentuk cetakan dari kemudi.
Penumpang Belakang:
Jika tidak bersabuk pengaman akan terlempar kedepan, menghantam
bagian belakang dari tempat duduk depan, penumpang depan dan kaca
depan

8
2. Arah samping (lateral)
Biasanya terjadi di persimpangan ketika kendaraan lain menabrak dari
arah samping, ataupun mobil yang terpelintir dan sisinya menghantam benda
tidak bergerak. Dapat terlihat perlukaan yang sama dengan tabrakan dari arah
depan, bila benturan terjadi pada sisi kiri dari kendaraan, pengemudi akan
cenderung mengalami perlukaan pada sisi kiri, dan penumpang depan akan
mengalami perlukaan yang lebih sedikit karena pengemudi bersifat sebagai
bantalan. Bila benturan terjadi pada sisi kanan, maka yang terjadi adalah
sebaliknya, demikian juga bila tidak ada penumpang.

3. Terguling
Keadaan ini lebih mematikan (lethal) dibandingkan tabrakan dari samping,
terutama bila tidak dipakainya pelindung kepala (helm), terguling di jalan, sabuk
pengaman dan penumpang terlempar keluar mobil. Beberapa perlukaan dapat
terbentuk pada saat korban mendarat pada permukaan yang keras, pada
beberapa kasus, korban yang terlempar bisa ditemukan hancur atau
terperangkap di bawah kendaraan. Pada kasus seperti ini penyebab kematian
mungkin adalah traumatic asphyxia. Bila terlempar semuanya beberapa
perlukaan dapat terbentuk pada saat korban mendarat pada permukaan yang
keras. Bila terlempar parsial bagian tubuh yang bersangkutan bias hancur atau
terpotong

4. Arah belakang
Pada benturan dari arah belakang, benturan dikurangi atau terserap oleh
bagian bagasi dan kompartemen penumpang belakang (pada pengguna mobil),
yang dengan demikian memproteksi penumpang bagian depan dari perlukaan
yang parah dan mengancam jiwa. Dapat menyebabkan acceleration injuries dan
sangat jarang menimbulkan kematian. Perlukaan yang paling umum adalah
whiplash injury dari leher. Mekanisme terjadinya whiplash injury disebabkan
karena adanya gerakan yang mendadak pada saat terjadinya kecelakaan lalu
lintas, yang menyebabkan hiperflexi atau hiperekstensi dari kepala dan leher,
yang kemudian dapat menimbulkan perdarahan di batang otak yang dapat
mengganggu pusat nafas, sehingga menyebabkan kematian pada seseorang.

9
2.6 Pola Kelainan pada Korban Kecelakaan Lalu Lintas
2.6.1 Pola Kelainan pada Pejalan Kaki
Pada pejalan kaki terdapat kelainan yang menurut mekanisme terjadinya
dibagi menjadi berikut (Idries, 1997):
1. luka karena impak primer, yaitu benturan yang pertama terjadi antara
korban dengan kendaraan,
2. luka karena impak sekunder, yaitu benturan korban yang kedua
kalinya dengan kendaraan (misal : impak primer adalah tungkai,
korban terdorong sehingga jatuh ke belakang terkena pada bagian
kaca mobil)
3. luka yang sekunder, yaitu luka yang terjadi setelah korban jatuh ke
atas jalan.
- Luka pada tungkai merupakan kelainan yang terpenting didalam
menentukan bagaimana dari kendaraan yang membentur korban
- Korban dewasa umumnya ditabrak dari arah belakang atau samping, luka
yang khas biasanya terdapat pada satu atau kedua tungkai bawah
- Jika korban berdiri pada kedua tungkainya sewaktu tabrakan terjadi, luka
yang hebat dapat dilihat pada tungkai, dimana sering terjadi fraktur, dan
bagian yang fraktur tersebut dapat terdorong keluar, menembus otot,
- Pada waktu yang bersamaan dengan terjadinya impak primer pada
tungkai bawah (bumper injuries, bumper fractures), bagian bokong atau
punggung akan terkena dengan radiator atau kap mobil, lampu atau kaca
depan (impak sekunder); sebagai kelanjutannya korban dapat jatuh dari
kendaraan ke jalan, dan ini menimbulkan luka (luka sekunder),
- Korban yang tergeletak di jalan dapat terlindas oleh roda kendaraan, yang
dapat menimbulkan luka yang sesuai dengan bentuk kembang dari ban
tersebut (jejas ban, tyre marks)
- Jejas ban atau tyre marks berguna dalam penyidikan kasus tabrak lari,
yang akan diperkuat lagi bila terdapat kecocokan golongan darah yang
terdapat pada kendaraan dengan golongan darah korban,
- Bila kendaraan yang menabrak tadi termasuk kendaraan berat, seperti
truk atau bis, kelainan pada korban dapat sangat hebat, tubuh seluruhnya
dapat hancur dan sukar dikenali; keadaan ini dikenal sebagai crush
injuries atau compression injuries

10
- Jika bagian bawah dari kendaraan sangat rendah, tubuh korban dapat
terseret dan terputar, sehingga terjadi pengelupasan kulit dan otot yang
hebat; keadaan ini dikenal sebagai rolling injuries,
- Pada daerah dimana terdapat lipatan kulit, seperti daerah lipat paha, jika
daerah tersebut terlindas, kulit akan teregang sehingga menimbulkan
kelainan yang disebut striae like tears, dimana sebenarnya daerah yang
terlinda bukan lipatan kulit tersebut, tetapi daerah yang berdekatan.

2.6.2 Pola Kelainan pada Pengemudi Mobil


Bila pada kecelakaan yang terjadi kendaraan berhenti secara mendadak,
akan didapatkan kelainan yang agak khas (Idries, 1997), yaitu:
- Pada daerah kepala, yang berbenturan dengan kaca, akan didapatkan
luka terbuka kecil-kecil dengan tepi tajam sebagai akibat persentuhan
dengan kaca yang pecah, bila benturannya hebat sekali dapat terlihat
luka lecet tekan, memar atau kompresi fraktur,
- Pada daerah dada, jika tidak menggunakan sabuk pengaman, akan
dijumpai jejas stir, yang bila benturannya hebat dapat menyebabkan
kerusakan pada bagian dalam, fraktur dada dan iga serta pecahnya
jantung,
- Sabuk pengaman yang dipakai, dapat pula menyebabkan luka bagi si
pengemudi, khususnya bila terjadi tabrakan dengan kecepatan tinggi;
kerusakan tersebut terutama alat-alat dalam rongga perut, hati dapat
hancur,
- Kelainan yang disebabkan oleh sabuk pengaman (seatbelt injuries),
dapat dikenali sebagai suatu luka lecet tekan yang bentuknya sesuai
dengan sabuk tersebut, atau dalam bentuk apa yang disebut perdarahan
tepi (marginal haemorrhages), yaitu perdarahan yang terdapat tepat di
luar dan berbatasan dengan tubuh yang terkena sabuk pengaman
tersebut.

2.6.3 Pola Kelainan pada Penumpang Mobil


Pola kelainan penumbang mobil berbeda dengan pengemudi mobil.
Berikut adalah kelainannya (Idries, 1997):

11
- Bila duduk di depan, kelainan terutama di kepala; dan bila memakai
sabuk pengaman akan ditemukan kelainan seperti tersebut di atas pada
pengemudi mobil,
- Bila duduk di belakang, kelainan terutama di daerah perut, panggul, atau
tungkai.

2.6.4 Pola Kelainan pada Pengemudi Sepeda Motor


- luka karena impak primer pada tungkai,
- luka karena impak sekunder pada bagian tubuh lain, sebagai akibat
benturan tubuh dengan bagian lain dari kendaraan lawan,
- luka yang terjadi sekunder, sebagai akibat benturan korban dengan jalan,
- luka yang terjadi sekunder, seringkali merupakan penyebab kematian
pada korban, karena yang mengalami kerusakan adalah kepalanya,
- fraktur pada tengkorak sebagai akibat luka sekunder tersebut dapat
mudah diketahui, yaitu dari sifat garis patahnya, dimana terdapat garis
patah yang linier (fraktur linier), sedangkan pada keadaan lainnya,
misalnya kepala dipukul dengan palu yang berat, frakturnya adalah fraktur
kompresi,
- dengan demikian terdapat perbedaan kelainan fraktur tengkorak, yaitu
bila korban (kepala), bergerak mendekati benda tumpulnya (palu), yang
dating mendekati kepala.
Perlu diketahui bahwa bagi pembonceng kendaraan sepeda motor tidak
ditemukan kelainan yang khusus (Idries, 1997).

2.7 Pemeriksaan Forensik


Seorang dokter dapat dibutuhkan untuk menolong korban hidup ataupun
memeriksa korban mati dari suatu kecelakaan lalu lintas. Apabila korban masih
hidup, tugas utama seorang dokter adalah untuk menolong pasien tersebut
dengan segenap kemampuannya. Penting bagi dokter tersebut untuk mencatat
kelainan serta terapi yang diberikan pada pasien, mengingat bahwa di kemudian
hari ada kemungkinan kasus tersebut berhubungan dengan pengadilan atau juga
klaim asuransi (Shepherd, 2003).
Penampilan luar korban sebaiknya diperiksa dengan teliti. Seluruh jejas
yang tampak juga wajib dicatat. Untuk mengukur luka harus dengan penggaris
atau pengukur yang objektif. Luka-luka tersebut juga bisa saja memiliki pola

12
tertentu yang perlu diperhatikan. Contohnya adalah pola yang dihasilkan oleh
permukaan roda kendaraan, seringkali berupa abrasi atau memar, dapat
ditemukan pada kulit korban. Pemeriksaan lebih mendalam bahkan dapat
mengidentifikasi kendaraan yang menabrak. Hasilnya akan membantu polisi
menemukan kendaraan tersebut, terutama pada kasus tabrak-lari. Untuk korban
pejalan kaki, jarak antara batas atas dan batas bawah suatu jejas mayor harus
diukur karena ini dapat memperkirakan ketinggian bemper kendaraan yang
menabrak (Shepherd, 2003).
Pakaian korban perlu dicek dengan benar apakah ada sobekan, bercak
cat kering, minyak, tanah, pecahan kaca, ataupun benda asing lainnya. Seluruh
temuan dicatat dan dilaporkan kepada polisi. Perlu dipertimbangkan juga adanya
keterlibatan alkohol atau obat-obatan lainnya yang berhubungan dengan pelaku
maupun korban. Sampel darah dapat diambil pada ante-mortem maupun post-
mortem. Sebaiknya darah diambil dari vena perifer, bukan jantung ataupun organ
lain, apabila kematian terjadi dalam 24 jam setelah kecelakaan. Lebih lama dari
ini maka kadar alkohol dalam darah tidak bisa diukur. Informed consent harus
diberikan pada korban atau pelaku sebelum mengambil sampel darah, kecuali
hukum yang mengharuskan(Knight, 1992).
Saat autopsi maupun operasi jejas internal, benda-benda asing tersebut bisa
ditemukan tertanam di dalam tubuh korban. Misalnya dokter operator
menemukan besi yang tertanam di dalam hati atau otak. Ternyata setelah diteliti
di laboratorium, besi tersebut adalah bagian dari suatu pengangan pintu mobil
tertentu. Temuan ini akan mempermudah polisi dalam mencari kendaraan yang
bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut (Knight, 1992).

2.7.1 Autopsi Korban Kecelakaan Lalu Lintas


Pada kematian yang berhubungan dengan sarana transportasi,
pemeriksaan postmortem dilakukan untuk beberapa alasan (Sinar Harapan,
2003) sebagai berikut:
Untuk secara positif menegakkan identitas dari korban, terutama bila
jenazah telah terbakar habis, atau termutilasi.
Untuk menentukan sebab kematian dan apakah kematian disebabkan
kesalahan atau kecacatan sarana transportasi.
Untuk menentukan seberapa luas luka yang diterima.

13
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan yang dapat
menyebabkan kecelakaan tersebut, seperti infark miokardial atau
keracunan obat.
Untuk mendokumentasikan penemuan untuk kemungkinan
penggunaannya yang mengarah kepada penegakkan keadilan.
Autopsi jenazah kecelakaan lalu lintas umumnya sama seperti prosedur
biasanya. Namun ada beberapa hal yang perlu diberikan perhatian khusus, yaitu
hal-hal berikut (Saukko dan Knight, 2004):
Karena mungkin saja berhubungan dengan kasus kriminal
pengendara, identitas jenazah dan bukti autopsi harus yakin benar.
Pakaian jenazah harus diperiksa agar dapat dicocokkan dengan luka
pada tubuh jenazah. Walaupun begitu, seringkali hal ini tidak
dilakukan karena jenazah dibawa ke dokter tanpa mengenakan
pakainan.
Sampel darah harus diambil dan jika mungkin juga sidik jari. Mungkin
saja sampel ini dapat dicocokkan dengan bercak darah atau jaringan
pada kendaraan. Terkadang sampel rambut juga bisa digunakan
untuk tujuan yang sama.
Apabila mungkin, lakukan skrining terhadap alkohol atau obat-obatan
narkoba dan psikotropika. Jika dikombinasikan dengan alkohol,
bahkan obat sedatif dan anti-histamin dalam dosis rendah pun dapat
berhubungan dengan penyebab kecelakaan. Sebaiknya sampel
darah korban dan pelaku diambil dalam 24 jam setelah kecelakaan.
Jika dicurigai adanya kebocoran gas CO (carbon monoxide), analisa
kadar karboksihemoglobin perlu dilakukan.
Pemeriksaan luar, seperti pada semua korban trauma, harus
dilakukan dengan detail, akurat, dan tercatat lengkap. Ketinggian luka
mayor atau pola luka tertentu di atas tumit harus dicatat untuk
dibandingkan dengan dimensi kendaraan. Luka berpola tertentu
seperti bekas ban sebaiknya difoto dengan skala. Segala partikel
atau benda asing di pakaian, rambut, kulit, atau bahkan di dalam luka
harus diambil untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Walaupun sumber luka terlihat jelas, autopsi seluruh badan tetap
harus dilakukan. Jangan melakukan autopsi hanya pada bagian
tertentu saja. Ada kemungkinan jenazah memiliki penyakit tertentu

14
sebelum mengalami kecelakaan. Penyakit ini bisa saja berhubungan
dengan kejadian kecelakaan. Untuk memperkirakan pengelihatan
korban sewaktu masih hidup, opasitas lensa harus dicek.

2.7.2 Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan toksikologik ditujukan untuk mencari data apakah pada
korban terdapat obat, atau alkohol, yang dapat menimbulkan gangguan
kapabilitas di dalam mengemudikan kendaraannya. Pemeriksaan alkohol sangat
penting dilakukan pada pengemudi kendaraan. Selain itu, juga perlu dilakukan
pemeriksaan narkoba pada pengemudi kendaraan bermotor dan pilot, untuk
melihat ada tidaknya halusinasi pada pengemudi.
Pemeriksaan histopatologik (mikroskopik), bertujuan untuk mengetahui
apakah pada korban terdapat penyakit yang kambuh sehingga memungkinkan
terjadinya kecelakaan; selain kemungkinan bahwa penyakit itu yang
menyebabkan kematian bukan kecelakaannya (Idries, 1997).

15
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian ini adalah Penelitian distributif dengan metode Retrospektif dari
data buku notulensi otopsi ilmu kedokteran forensik RSSA.

3.2 Sampel Penelitian


3.2.1 Subyek Penelitian
Sampel yang diteliti diambil dari data yang tertulis pada buku notulensi
otopsi ilmu kedokteran forensik Rumah Sakit Saiful Anwar Malang selama
Januari 2017 sampai Mei 2017.

3.2.2 Kriteria Inklusi


Kriteria inklusi:
Pasien kecelakaan lalu lintas
Hidup maupun meninggal
Terdaftar sejak 1 januari 2017 sampai 31 Mei 2017
Semua usia

3.2.3 Teknik Pengambilan Sampel


Sampel akan diambil secara consecutive sampling dari semua data yang
tertulis di buku notulensi yang memenuhi kriteria inklusi.

3.2.4 Jumlah Sampel


Jumlah sampel adalah seluruh data yang tersedia selama 1 Januari 2017
sampai 31 Mei 2017.

3.3 Tempat dan Waktu


Penelitian akan dilakukan di Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit Saiful
Anwar pada Bulan Juni 2017.

3.4 Variabel Penelitian


Variabel bebas : Jumlah kecelakaan lalu lintas
Variabel tergantung :

16
- penyebaran kecelakaan lalu lintas tiap bulannya
- umur
- jenis kelamin

3.5 Alat dan Bahan Penelitian


Buku notulensi otopsi IKF RSSA

17
BAB IV
ANALISIS DATA

4.1 Kecelakaan Lalu Lintas di RSSA periode Januari-Mei 2017


Dari sejumlah peristiwa kematian yang tercatat di SMF Forensik RS Saiful
Anwar Malang, kecelakaan lalu lintas menempati urutan pertama kasus yang
paling sering menyebabkan kematian. Pada periode Januari-Mei 2017 saja
sudah tercatat sebanyak 103 kasus yang dilakukan pemeriksaan di SMF
Forensik RS Saiful Anwar Malang. Jumlah kasus terbagi sebanyak 27 kasus di
bulan Januari, 15 kasus di bulan Februari, 21 kasus di bulan Maret, 17 kasus di
bulan April, dan 23 kasus di bulan Mei.

23, 22% 27, 26%

17, 17%
15, 15%
21, 20%

Januari Februari Maret April Mei

Gambar 3.1 Prevalensi kecelakaan lalu lintas di RSSA

4.2 Klasifikasi Berdasarkan Jenis Kelamin


Dari data yang tercatat di SMF Forensik RSSA, korban yang meninggal
dengan kecelakaan lalu lintas sebagian besar adalah laki-laki. Sebanyak 65
kasus kecelakaan lalu lintas terjadi pada laki- laki, dan sisanya sebanyak 38
kasus terjadi pada perempuan.

18
80
65
60
38
40

20

Laki-laki Perempuan

Gambar 3.2 Kecelakaan Lalu Lintas berdasarkan jenis kelamin

4.3 Klasifikasi Berdasarkan Usia


Dari data yang tercatat di SMF Forensik RSSA, korban yang meninggal
karena kecelakaan lalu lintas berasal dari berbagai kelompok usia. Sebanyak 20
kasus berasal dari kelompok usia 0-20 th, 42 kasus berasal dari kelompok usia
21-40 th, serta 41 kasus berasal dari kelompok usia >40 th.
50 42 41
40
30
20
20
10
0

0-20 th 21-40 th >40 th

Gambar 3.3 Kecelakaan Lalu Lintas berdasarkan Usia

19
BAB V
PEMBAHASAN

Kecelakaan adalah serangkaian peristiwa dari kejadian-kejadian yang


tidak diduga sebelumnya, dan selalu mengakibatkan kerusakan pada benda,
luka, dan kematian. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia dalam tiga tahun terakhir
ini menjadi pembunuh terbesar ketiga setelah penyakit jantung koroner dan
tuberculosis berdasarkan penilaian oleh WHO (Badan Intelijen Negara RI, 2014).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kecelakaan lalu lintas, yaitu faktor
manusia, kendaraan, jalan, dan lingkungan. Dari berbagai macam kecelakaan
lalu lintas, akan menimbulkan pola kelainan yang berbeda seperti pola kelainan
pada pejalan kaki, pengemudi mobil, penumpang mobil, dan pengemudi sepeda
motor. Klasifikasi empat kategori tergantung dari arah terjadinya benturan pada
kendaraan yang menyebabkan kematian, antara lain dari arah depan, arah
samping (lateral), terguling, dan dari arah belakang.
Kematian yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas, disebabkan karena
perdarahan yang terus berlanjut, perdarahan sekunder, gagal ginjal akibat
hipotensi dan kerusakan otot luas, emboli lemak, infeksi lokal, dada atau infeksi
sistemik lainnya, infark miokard dan sequele lainnya. Adanya penyakit yang
mendasari biasanya merupakan pertimbangan penting pada semua kematian
pada kecelakaan lalu lintas, seperti penyebab yang memungkinkan atau yang
menyebabkan kecelakaan.
Schmidt et al (1990) menganalisis 39 kematian di Jerman, dan
didapatkan 97% dengan penyakit kardiovaskular dan 90% penyakit jantung
coroner. Penyakit jantung iskemik adalah salah satu penyebab kematian 113
kasus dari 147 kematian yang wajar pada kecelakaan lalu lintas. Morild (1994)
menemukan 14 kasus dari 133 kematian karena kecelakaan lalu lintas,
meninggal karena memiliki penyakit yang mendasari, kebanyakan kasus karena
aterosklerosis pada jantung.
Ketentuan hukum yang berlaku pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan
korban meninggal ini menurut UU No. 14 tahun 1992 terdapat pada pasal 31
ayat 1. Menurut KUHP, ketentuan pidana tentang hal yang menyebabkan mati
atau luka akibat kealpaan terdapat dalam pasal 359, sedangkan untuk
permintaan surat keterangan pemeriksaan jenazah dilakukan atas dasar adanya
laporan pada pihak kepolisian setempat dimana hal ini sesuai dengan UU No. 14

20
tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan pasal 27 ayat (1) huruf c (IKF
FKUI, 1994).
Pemeriksaan forensik untuk kasus kecelakaan lalu lintas umumnya
hampir sama dengan pemeriksaan forensik standar. Namun ada beberapa
penekanan seperti pemeriksaan pakaian, pola luka, serta beberapa pemeriksaan
laboratorium. Autopsi tetap dilakukan secara keseluruhan untuk menemukan
penyakit-penyakit lain yang mungkin berhubungan dengan sebab kecelakaan.
Seluruh hasil harus dicatat dengan lengkap untuk membantu polisi serta
persidangan.
Data yang tercatat di SMF Forensik RS Saiful Anwar Malang
menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas
merupakan kasus yang terbanyak. Pada periode Januari-Mei 2017 saja sudah
tercatat sebanyak 103 kasus yang dilakukan pemeriksaan di SMF Forensik RS
Saiful Anwar Malang. Jumlah kasus terbagi sebanyak 27 kasus di bulan Januari,
15 kasus di bulan Februari, 21 kasus di bulan Maret, 17 kasus di bulan April, dan
23 kasus di bulan Mei. Hal ini menunjukkan tidak terjadi perubahan yang
signifikan pada jumlah kasus tiap bulannya.
Dilihat dari jenis kelamin korban, kasus kecelakaan lalu lintas lebih sering
terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Dalam 5 bulan terakhir, jumlah kasus
kecelakaan lalu lintas pada laki-laki sebanyak 65 kasus yaitu sekitar 63%
kejadian. Hal ini dikarenakan sebagian besar laki-laki di Indonesia merupakan
pengemudi kendaraan bermotor sehingga potensi terjadi kecelakaan lebih besar.
Sedangkan dilihat dari kelompok usia, sebagian besar kasus terjadi pada
kelompok usia 21-40 tahun, yaitu sebanyak 42 kasus yang setara dengan 41%.
Hal ini disebabkan banyak pengemudi kendaraan bermotor berasal di usia
produktif.

21
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan
1. Kecelakaan lalu lintas di Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini menjadi
pembunuh terbesar ketiga setelah penyakit jantung koroner dan tuberculosis
berdasarkan penilaian oleh WHO (Badan Intelijen Negara RI, 2014).
2. Kematian yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas, disebabkan karena
perdarahan yang terus berlanjut, perdarahan sekunder, gagal ginjal akibat
hipotensi dan kerusakan otot luas, emboli lemak, infeksi lokal, dada atau infeksi
sistemik lainnya, infark miokard dan sequele lainnya. Untuk mengetahui sebab
kematian pasti dari suatu kecelakaan perlu dilakukan juga pemeriksaan dalam
pada jenazah.
3. Dasar hukum pada kasus kecelakaan lalu lintas dengan korban
meninggal ini menurut UU No. 14 tahun 1992 terdapat pada pasal 31 ayat 1.
Menurut KUHP, ketentuan pidana tentang hal yang menyebabkan mati atau luka
akibat kealpaan terdapat dalam pasal 359
4. Pemeriksaan forensik untuk kasus kecelakaan lalu lintas umumnya
hampir sama dengan pemeriksaan forensik standar. Namun ada beberapa
penekanan seperti pemeriksaan pakaian, pola luka, serta beberapa pemeriksaan
laboratorium. Autopsi dilakukan untuk mencari sebab kematian pasti pada
kecelakaan lalu lintas.
5. Dari data diatas dapat diketahui bahwa kecelakaan lalu lintas
merupakan trauma yang dapat menyebabkan mortalitas yang sering ditemui.
Dari kasus kecelakaan yang menyebabkan mortalitas, 63% kasus terjadi pada
laki-laki dan 41% kasus terjadi di usia 21-40 tahun.

6.2 Saran
Dari analisa data yang telah dilakukan, terdapat kekurangan-kekurangan
yang dapat diperbaiki di kemudian hari agar didapatkan data yang lebih akurat
dan spesifik. Saran yang mungkin dapat dipertimbangkan yaitu :
1. Data yang dianalisis dapat dikelompokkan lagi dalam klasifikasi yang
lebih detil agar didapatkan data yang lebih spesifik.
2. Data yang dianalisis bisa menggunakan data dengan rentang waktu yang
lebih lama agar hasil yang didapatkan lebih akurat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Atmadja DS, Poernomo S, Wijaya R. Hubungan Antara Lokasi Benturan dengan


Lokasi Fraktur dan Cedera Jaringan Otak pada Kekerasan Tumpul
Kepala. MKI. Volume : 40, Nomor : 4, April,1990.
Badan Intelijen Negara Republik Indonesia. 2014. Kecelakaan Lalu Lintas
menjadi Pembunuh Terbesar Ketiga. <http://www.bin.go.id/
awas/detil/197/4/21/03/2013/kecelakaan-lalulintas-menjadi-pembunuh-
terbesar-ketiga> [Sitasi 2 Oktober 2014].
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. 2013. Perhubungan Darat dalam Angka
2013. <http://hubdat.dephub.go.id/data-a-informasi/ pdda/1483-tahun-
2013> [Sitasi 24 September 2014].
Fintan I. Forencic Medicine : Deaths Due to Motorvehicle Accidents. Disitasi pada
tanggal 4 Juni 2008 dari : http://ivanfintan.blogspot.com/.htm. [Last update
:Februari 2006]
Idries AM. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Jakarta:
Binarupa Aksara
Japardi I. Cedera Kepala. Dalam : Patologi dan Fisiologi Cedera Kepala. Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer. 2004.
Knight B. 1992. Transportation Injuries dalam Simpsons Forensic Medicine 10th
ed ch 10th p128-137. London: Arnold
Lamichhane P, Shrestha S, Banskota B, Banskota AK. 2011. Serum Lactate An
indicator of morbidity and mortality in polytrauma and multi-trauma
patients. Nepal Orthopaedic Association Journal, [S.l.], v. 2, n. 1, p. 7-13,
may. 2013. ISSN 2091-0177.
Peden M, Scurfield R, Sleet D, Mohan D, Hyder AA, Jarawan E, et al. 2004.
World Report on Road Traffic Injury Prevention. Geneva: WHO
Peraturan Perundang-undangan Bidang Kedokteran. cet II. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Forensik FKUI, 1994
Saukko P, Knight B. 2004. Transportation Injuries dalam Knights Forensic
Pathology 3rd ed ch 9th p281-300. London: Hodder Arnold
Shepherd R. 2003. Transportation Injuries dalam Simpsons Forensic medicine
12th ed ch 12th p87-93. London: Arnold.
Sinar Harapan. Kecelakaan Lalu Lintas sebagai Penyebab Tertinggi kematian di
AS. Harian umum. Disitasi pada tanggal 4 Juni 2008 dari :
http://www.sinarharapan.co.id/feature/otomotif/2005/0331/oto1.html. [Last
update : Desember 2003]
World Health Organization (WHO). Traffic Accidents. Disitasi pada tanggal 2 Juni
2008 dari : http://www.who.int/world-health-
day/previous/2004/infomaterials/world_report/ en/. [Last update : Januari
2007].
World Health Organization. 2013. Global Status Report on Road Safety 2013.
Luxembourg: WHO. [Sitasi 25 Desember 2014]. http://www.
who.int/violence_injury_prevention/road_safety_ status/2013/en/

23

Anda mungkin juga menyukai