Anda di halaman 1dari 28

GENERAL ANASTESI PADA PASIEN TONSILEKTOMI

Disusun oleh :
Alie Anwar Sutisna

(61109019)

Pembimbing :
Dr. Indah Waty Muchlis, Sp.An
Dr. Aprilina, Sp.An
Dr. Indra Nur Hidayat, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESI


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM

BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada tonsillitis kronis,
ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi.
Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi yang telah
menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif
tonsilektomi4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal
dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari
bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang
mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan
bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi
dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal menggunakan
elektrocauter.
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
dengan tujuan untuk pendidikan.
Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi
tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
2

Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual,
muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap
obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan pentotal5.

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
: Nn. Samidah
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 17 tahun
Berat Badan
: 60 kg
Agama
: Islam
Alamat
: Belakang Padang
No. RM
: 115072
Diagnosis
: Tonsilitis Kronik
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu kandung pasien
pada tanggal 4 februari 2015 di bangsal Flamboyan RSUD Embung Fatimah Batam.
a. Keluhan utama
: Nyeri Tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang
:
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri telan sejak 2 minggu lalu.
Nyeri telan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. Menurut
orangtuanya, sebelumnya sempat mengalami demam dan pilek. Nyeri telan tidak
disertai dengan ngorok saat tidur. Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek
yang kumat-kumatan hampir tiap bulan.
1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter umum
dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel. Dalam 1
bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri tenggorokan,
susah menelan, disertai demam dan batuk pilek. Keluhan terasa setelah
mengkonsumsi minuman dingin, jajan sembarangan dan berminyak. Saat ini
pasien mengalami pilek. Pasien tidak mengeluhkan demam.
c. Riwayat penyakit dahulu
:
1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
disangkal.
e.

Riwayat Kebiasaan
Pasien sering mengkonsumsi minuman dingin, Jajan sembarangan dan
mengkonsumsi makanan yang berminyak.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


4

Dilakukan pada 04 Febuari 2015


GCS

: E4V5M6 = 15

Vital Sign

: Tekanan darah

: 115/75 mmHg

Nadi

: 82 x/menit

Suhu

: 36,8C

Pernafasan

: 18 x/menit

Status Generalis
a. Kulit :

Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak

sianosis, turgor kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik


dan teraba hangat.
b. Kepala

Normocephali, tidak ada bekas trauma,

distribusi rambut merata dan tidak mudah dicabut.


c. Mata :

konjungtiva anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-)

d. Mulut :

sianosis (-/-), gigi palsu (-/-), T3-T3, Uvula dan

palatum mole dan durum terlihat.


e. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi

: Leher panjang, pembesaran KGB (-), gerak vertebrae servikal

baik.
2) Palpasi

: Trakea teraba di tengah, tidak

terdapat pembesaran kelenjar tiroid.


f. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
a)Inspeksi
b)
c)

Palpasi
Perkusi :
i.
ii.
iii.
iv.

d)

Tampak

ictus cordis 2cm dibawah papila

mamae sinistra
: Ictus cordis teraba kuat
Batas atas kiri
Batas atas kanan
Batas bawah kiri
Batas bawah kanan

:
:

ICS II garis parasternal sinsitra


:
ICS II garis parasternal dextra
:
ICS V garis midclavikula sinistra
ICS IV garis parasterna dextra

Auskultasi : BJ I & II regular , tidak ditemukan gallop dan murmur.


2)

Paru
a) Inspeksi
b) Palpasi

:
:

Gerak Dinding dada simetris.


Simetris, vokal fremitus kanan sama

dengan kiri dan tidak terdapat ketertinggalan gerak.


5

c) Perkusi :
d) Auskultasi:

Sonor kedua lapang paru


Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing

(-/-)
Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi

Perut

datar,

simetris,

tidak

terdapat massa
b) Auskultasi
:
Terdengar suara bising usus
c) Perkusi :
Timpani
d) Palpasi :
Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar
k.

dan lien tidak teraba.


Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat fraktur maupun bekas trauma, massa, akral teraba hangat

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium
Pemeriksaan
Hematologi
Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
APTT
PT
SGOT
SGPT
Ureum
Creatinin

2 februari 2015

Nilai normal

12,4
10.200
36
5,1
299
40,5
10,0
25
17
31
0,3

11,0-16,5 g/dL
3500-10000/L
35-45%
4,0-4,2x106/
150000-450000/L
31-47
10-14
P=<40 W=<32
P=<41 W=<33
10-50
P=<0,7-1,2 W=0,51,0

Seroimmunologi
HbsAg

Negatif

Negatif

2.5 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat disimpulkan :
Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis
6

Status Operatif
Jenis Operasi
Jenis Anastesi

: ASA 1, Mallampati I
: Tonsilektomi
: General Anastesi

2.6 Intra Operatif


Monitoring Tindakan Anastesi
Jenis Anastesi : General Anastesi Nasotrakheal Tube, karena operasi yang dilakukan
merupakan salah satu indikasi dimana lokasi operasi berada pada region colli.
Persiapan :
Infus : terapi cairan
Kebutuhan cairan pasien di hitung menggunakan rumus (4,2,1)
10 kg pertama dikali 4
10 kg kedua dikali 2
Selanjutnya dikali 1
Sehingga didapatkan perhitungan sbb:
4 x 10 = 40, 2 x 10 = 20 , 1 x 40 = 40 kebutuhan cairan pasien 100 cc / jam
Kebutuhan cairan selama operasi di hitung dengan rumus :
M
= kebutuhan cairan / jam
PP
= 8 x kebutuhan cairan / jam
SO
= 4/6/8 x (Berat Badan)
Pemberian jam I (1/2 PP) + M + SO
Pemberian jam II & III (1/4 PP) + M + SO
Sehingga didapatkan perhitungan sbb :
M
= 100
= 100 cc
PP
= 8 x 100
= 800 cc
SO
= 4 x 60
= 240 cc
Jam pertama = 400 + 100 + 240 = 740 cc
Jam kedua
= 200 + 100 + 240 = 540 cc
Jam ketiga
= 200 + 100 + 240 = 540 cc
Penatalaksanaan :
Premedikasi :
Ondansetron 4 mg iv
Dexamethasone 10 mg iv
Midazolam 2 mg iv
Fentanyl 100 mcg iv

Induksi

Propofol 80 mg iv
Roculax 20 mg iv
7

Tehnik anastesi :
injeksi midazolam 2 mg kemudian fentanyl 100 mcg selanjutnya

propofol 80 mg dan roculax 20 mg


menaikkan O2 4 L/m , N2O 2 L/m , Sevofluran 2 vol%
face mask di dekatkan ke wajah pasien
periksa reflek bulu mata untuk memastikan pasien sudah tertidur
pasang fase mask ke wajah pasien
lakukan maneuver airway , sambil dilakukan bagging
segera lepaskan sungkup dan pasang laringoskop secepatnya untuk

mencegah penurunan saturasi


NTT yang digunakan adalah NTT no 26 non kinking
Dimasukan dari lubang hidung pasien sebelah kanan
Setelah NTT masuk , cuff dikembangkan
Segera pasang selang airway ke NTT
Memastikan udara masuk ke dalam paru dengan mendengarkan
menggunakan stetoskop untuk memastikan bunyi nafas paru kiri dan

kanan sama
Melakukan fiksasi NTT menggunakan Tape
Seelanjutnya pernafasan dikontrol dengan bagging dari mesin
anastesi.

Posisi
Pernafasan
Cairan
Monitoring

: Supine
: terkontrol dengan bagging mesin anestesi
: RL 500 cc
: tekanan darah, saturasi, heart rate, respiration rate

2.8 Di ruang operasi


a) Jam 12.10 WIB pasien masuk kamar operasi , manset dipasang di
tangan kanan dan monitor saturasi di tangan kiri, premedikasi injeksi
jam 12.15
b) Jam 12.20 WIB dilakukan induksi dengan Midazolam, Fentanyl,
propofol, dan Roculax, dan di berikan O2 4 L/menit.
c) Laporan monitor anestesi
Jam
12.30
12.45
13.00

TD (mmHG)
100/56
100/58
103/59

Nadi
71
75
75

SPO2
100 %
100 %
100 %
8

13.15
13.30

105/60
108/60

80
85

100 %
100 %

Post Operatif :
Pasien tiba di recovery room jam 13.40 WIB
Cairan infus
: RL kolf ke-3
TD
: 112/70
Nadi
: 80 x/menit
SPO2
: 99 %
Aldretes score
: 10
Pasien bias dipindahkan ke ruang rawat.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan
setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses
pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ
lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber
bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar
jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit1.
Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama
sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh
dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus4.
3.2 Etiologi
9

Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering
menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati
dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama
terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif.
Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus,
Streptococcus beta hemolyticus group A 2.
3.2.1 Faktor predisposisi
Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :
-

Rangsangan kronis (rokok, makanan)

Hygiene mulut yang buruk

Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

Alergi (iritasi kronis dari alergen)

Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)

Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

3.3 ANESTESI UNTUK OPERASI THT


Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah. Keadaan patologis,
adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi, deformitas kongenital, trauma atau
manipulasi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akut atau kronis, perdarahan,

dan

kemungkinan difficult airway. Diskusi prabedah dengan ahli bedah dan analisis catatan
anestesi yang lalu mengenai pengelolaan jalan nafas perioperatif, ukuran dan posisi pipa
endotrakheal, posisi pasien, penggunaan N2O dan pelumpuh otot merupakan hal penting yang
harus dilakukan. Pasien mungkin memerlukan pemeriksaan jalan nafas saat pasien masih
sadar dengan diberikan sedasi dan anestesi topikal atau intubasi saat masih sadar dengan
fiberoptik sebelum induksi anestesi umum.
Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok berat, kecanduan
alkohol, obstructive sleep apnoe, dan infeksi kronis saluran nafas bagian atas. Mungkin
diperlukan pemeriksaan laboratorium prabedah, imaging, dan pemeriksaan fungsi jantung,
paru dan hepar.

10

Sebagai tambahan pada monitoring standar, mungkin diperlukan tekanan darah intraarterial dan urine output.
Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang baik.
Tampon faring diambil, faring di suction, dan pasien di oksigenasi. Ekstubasi dilakukan bila
refleks jalan nafas telah pulih kembali secara penuh. Perdarahan jalan nafas bagian atas yang
banyak, edema, atau patologi mungkin menunda ekstubasi di kamar bedah.3
3.3.1 Tonsilektomi
Pemeriksaan prabedah seperti riwayat gangguan perdarahan, obstructive sleep apnoe,
tidak ada gigi (ompong). Harus dilakukan pemeriksaan koagulasi. Pasien dengan obstructive
sleep apnoe mungkin obes/gemuk dan mungkin ventilasi dan intubasi sulit. Banyak pasien
mempunyai penyakit infeksi saluran nafas atas yang kronis dan berulang-ulang terjadinya.
Bila pasien sedang mengalami infeksi akut yang ditandai dengan adanya demam, batuk
produktif, gejala saluran nafas bagian bawah, disertai penyakit lain, atau umur < 1 tahun
dipertimbangkan untuk mengundurkan operasinya atau dirawat di ICU untuk observasi.
Kebanyakan pasien anak dilakukan induksi inhalasi, diikuti dengan pemasangan jalur
vena. Teknik anestesinya umumnya dilakukan dengan volatil anestetika ditambah dengan
opioid (misalnya morfin 0,1 mg/kg intravena). Glikopirate (5-10 ug/kg intravena) kadangkadang diberikan untuk mengurangi sekresi dan dipertimbangkan pemberian antiemetik.
Untuk fasilitas intubasi dilakukan dengan pelumpuh otot, akan tetapi, tidak selalu diperlukan
pelumpuh otot untuk dapat dilakukannya intubasi. Selama manipulasi kepala dan mouth gag
dapat terjadi obstruksi pipa ETT, diskoneksi, atau tercabut. Oral rae tube memberikan oral
akses yang lebih baik untuk ahli bedah dan kurang kinking dengan adanya retraktor. Oral rae
tube, sama seperto ETT oral yanglainnya, harus difiksasi pada garis tengan mandibula.
Pada akhir pembdahan, tampon harus diangkat dan pipa orogastrik dimasukkan untuk
mengosongkan lambung dari darah yang tertelan dan dilakukan pengisapan faring. Eksubasi
dapat dilakukan saat anestesi dalam atau serelah pasien bangun dan reflek proteksi jalan
nafas telah pulih. Batuk akibat adanya ETT dapat ditekan dengan pemberian ldokain 1-1,5
mg/kg ntravena 5 menit sebelum ekstubasi. Penggonaan orophraryngeal airway (OPA) setelah
pembedahan dapat menyebabkan rusaknya luka operasi dan perdarahan bila penempatan tidak
dilakukan secara hati-hati di garis tengah. Nasal airway dapat sebagai alternatif.
Setelah ekstubasi pasien ditempatkan disatu sisi, dengan posisi sedikit Trendelenburg
dan berikan O2 100%. Dengarkan adanya obstruksi pernafasan sebelum pasien dikirim ke Post
Anesthsia Care Unit (PACU). Transport pasien dengan pemberian oksigen. Di PACU, pasien
11

diberi oksigen via mask, monitoring tergantung protokol di PACU, dan periksa apakah faring
sudah kering sebelum dipulangkan dari rumah sakit.3
3.3.2 Tonsil Bleeding
Perdarahan kembali (rebleeding) setelah tonsilektomi pada umumnya terjadi dalam 24
jam setelah operasi tapi bisa juga lebih lambat sampai 5-10 hari. Dapat terlihat adanya
hematemesis, takikardi, sering menelan, pucat dan obstruksi jalan nafas. Banyaknya
kehilangan darah sering tidak dapat diperkirakan karena darahnya ditelan.
Induksi anestesi pada anak dengan perdarahan dan hipovolemi dapat menyebabkan
hipotensi berat dan henti jantung. Diperlukan akses intravena yang adekuat dan pasien harus
diresusitasi dengan adekuat (bila diperlukan dengan produk darah) sebelum dilakukan
tindakan pembedahan. Hematokrit, pemeriksaan koagulasi, dan tersedianya produk darah
harus dipastikan. Dosis obat anestesi harus dikurangi pada pasien dengan hipovolemia.
Disebabkan karena lambung penuh dengan darah, idealnya rapid sequence induction
dengan tekanan pada cricoid dan dengan posisi sedikit head down harus dilakukan untuk
melindungi trachea dan glotis dari aspirasi dari darah atau cairan lambung. Dua buah suction
harus siap dan stylet pipa endotracheal satu nomor lebih kecil dari yang diperkirakan harus
sudah tersedia. Ahli bedah harus sudah siap di kamar bedah. Ekstubasi paling aman setelah
pasien bangun.3
3.4 Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot 2.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis4,5
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
12

relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan6,7.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
yang luas.7
3.5 Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada
pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra
anestesi adalah:1,7
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan

status

fisik

dengan

klasifikasi

ASA

(American

Society

Anesthesiology):
ASA I

: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,


biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.

ASA II

: Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang


sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka
mortalitas 16%.

ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V

: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir


tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa
operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.

ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6

13

Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
3.6 Klasifikasi Mallampati
i.

Mallampati I : palatum molle, uvula, dinding posterior


oropharynk, tonsilla palatina dan tonsilla
pharingeal

ii.

Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding


posterior uvula

iii.

Mallampati III : palatum molle, dasar uvula

iv.

Mallampati IV: palatum durum saja

3.7 Intubasi Endotrakeal


Pengertian Intubasi Endotrakheal.
Intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui
hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi
Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga
jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan.8
Tujuan Intubasi Endotrakhea.
Tujuan

dilakukannya

tindakan

intubasi

endotrakhea

adalah

untuk

membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten,


mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien
operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :

14

a. Mempermudah pemberian anestesia.


b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran
pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar,
lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi dan Kontraindikasi.
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal antara lain9 :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri
dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui
masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di
arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai
bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien
dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
Dalam sumber lain disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain 10 :
a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada
kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa
mengganggu pekerjaan ahli bedah.
c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak
ada ketegangan.
d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah,
memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra
pulmonal.
e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.
f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
15

g. Tracheostomi.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa
indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau
abcent dan sering menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24
jam seharusnya diintubasi.
f. Pada post operative respiratory insufficiency.

Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala
dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang
umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.

16

Sumber : http://www.aic.cuhk.edu
Alat-alat Untuk Intubasi
Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1989)
antara lain :
a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop
yaitu :
- Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.

b. Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai
dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala
17

dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.
Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon
(cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan
kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi
aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi
daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan
volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit
jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan
diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan perempuan 7,5 8,5 mm. Untuk
intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan
pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat
diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.

c. Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas
karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.

18

d. Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.


e. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa
endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk
memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

f. Connector
connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask
ataupun peralatan anesthesia.
g. Alat pengisap atau suction.
suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah dan cairan lainnya
Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan antara lain10 :
a. Persiapan.
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan
menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1
19

gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam
satu garis lurus.
b. Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan
pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan
kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun
laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan
terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan.
Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk
huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal.
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat
melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan
laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu,
stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon
dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan
auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada
ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan
terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadangkadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat.
Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama.
Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa
20

dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi.
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.

Langkah-langkah intubasi

21

Komplikasi Intubasi Endotrakheal.


A. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi 10
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal
cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut,
cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan
intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

B. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.


a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan
malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidung
c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.
C. Komplikasi setelah ekstubasi.
a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak
atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.
b. Gangguan refleks berupa spasme laring.
22

3.8 Terapi Cairan


Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus mendekati
jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk12.
a. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi.
b. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi :
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,
penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada
ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhan cairan untuk
dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %.
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan
pada dewasa untuk operasi :
Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
Sedang= 6 ml/kgBB/jam
Berat

= 8 ml/kgBB/jam.

Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10


% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid. Apabila perdarahan
lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran
.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan
selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien1.
23

3.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. cara
skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete.11,12.
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No.
1

Aktivitas

motorik

Kriteria
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas

Skor
2

perintah atau secara sadar.

Mampu menggerakkan 2 ekstremitas atas perintah

atau secara sadar.

Respirasi

Sirkulasi

Kesadaran

Warna kulit

Tidak mampu menggerakkan ekstremitas atas

perintah atau secara sadar.


Nafas adekuat dan dapat batuk

Nafas kurang adekuat/distress/hipoventilasi

Apneu/tidak bernafas
Tekanan darah berbeda 20% dari semula

Tekanan darah berbeda 20-50% dari semula

Tekanan darah berbeda >50% dari semula


Sadar penuh

Bangun jika dipanggil

Tidak ada respon atau belum sadar


Kemerahan atau seperti semula

Pucat

Sianosis

Aldrete score 8, tanpa nilai 0, maka dapat dipindah ke ruang perawatan.

24

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien dari dilakukan nya anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien digolongkan sebagai ASA I, pasien ini tidak memiliki penyakit lain selain
penyakit yang akan di operasi dan tidak ada keterbatasan fungsional. Tidak ditemukan adanya
faktor faktor yang dapat mengganggu proses anestesia selama pembedahan dilakukan.
Seperti biasa pada pasien dengan bius umum, yang harus diperhatikan adalah kemungkinan
adanya regurgitasi dan aspirasi dari isi lambung yang dapat berakibat fatal.

Tindakan premedikasi sendiri , yaitu dengan pemberian obat sebelm induksi anestesia
bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk
mredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan bronkhus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah
pasca bedah , menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi reflks yang
membahayakan. Alasan pemilihan menggunakan golongan midazolam sebagai agen anestesi
antara lain karena tidak mengganggu pola tidur, lebih aman jika terjadi overdosis, tidak
menginduksi enzim hepar, pilihan utama sebagai anti ancietas, paling cepat diinaktifkan
dibanding benzodiazepin lain pada pengunaan intravena untuk memperoleh efek cepat.

Pasien kemudian di induksi dengan menggunakan propofol 80 mg. Propofol


merupakan obat induksi anestesi cepat yang di distribusikan dan di eliminasikan dengan
cepat. Propofol diberikan dengan dosis bolus 1-3 mg/kgBB. Efek samping Propofol pada
sistem pernafasan yaitu adanya depresi pernafasan , apneu, bronkospasme, dan
laringospasme. Pada susunan saraf pusat adanya sakit kepala, pusing, euforia, kebingungan,
mual, muntah. Pada daerah suntikan dapat terjadi nyeri.

25

Setelah dilakukan induksi dan pasien telah terinduksi, injeksi midazolam 2 mg


kemudian fentanyl 100 mcg selanjutnya propofol 80 mg dan roculax 20 mg, menaikkan O2 4
liter , N2O 2 liter dan sevofluran 2 vol% , terlihat refleks bulu mata yang hilang kemudian
dilakukan manuver airway sambil dilakukan bagging, segera lepaskan sungkup dan pasang
laringoskop secepatnya untuk mencegah penurunan saturasi, NTT yang digunakan adalah
NTT no 26 non kinking dimasukan dari lubang hidung pasien sebelah kanan, Setelah NTT
masuk , cuff dikembangkan Segera pasang selang airway ke NTT, Memastikan udara masuk
ke dalam paru dengan mendengarkan menggunakan stetoskop untuk memastikan bunyi nafas
paru kiri dan kanan sama, Melakukan fiksasi NTT menggunakan Tape, Selanjutnya
pernafasan dikontrol dengan bagging dari mesin anastesi.

Cairan yang diberikan berupa RL dengan perhitungan sebagai berikut :


Kebutuhan cairan pasien di hitung menggunakan rumus (4,2,1)
10 kg pertama dikali 4
10 kg kedua dikali 2
Selanjutnya dikali 1
Sehingga didapatkan perhitungan sbb:
4 x 10 = 40, 2 x 10 = 20 , 1 x 40 = 40 kebutuhan cairan pasien 100 cc / jam
Kebutuhan cairan selama operasi di hitung dengan rumus :
M
= kebutuhan cairan / jam
PP
= 8 x kebutuhan cairan / jam
SO
= 4/6/8 x (Berat Badan)
Pemberian jam I (1/2 PP) + M + SO
Pemberian jam II & III (1/4 PP) + M + SO
Sehingga didapatkan perhitungan sbb :
M
= 100
= 100 cc
PP
= 8 x 100
= 800 cc
SO
= 4 x 60
= 240 cc
Jam pertama = 400 + 100 + 240 = 740 cc
Jam kedua
= 200 + 100 + 240 = 540 cc
Jam ketiga
= 200 + 100 + 240 = 540 cc

Setelah operasi selesai pasien dibawa keruang pulih. Diruang tersebut pasien yang
telah mendapatkan anastesi umum maupun regional dipantau perkembangan nya untuk

26

pemulihan. Pada saat diruang pulih dilakukan monitoring tanda tanda vital pasien sampai
kondisi pasien stabil.

Menurut kepustakaan Pasien dapat keluar dari ruang pulih apabila sudah mencapai
skor aldrete lebih dari 8. Sedangkan pada pasien ini di dapatkan skor 10, skor 10 tersebut di
dapatkan dari :

Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas perintah atau secara sadar (skor 2)

Nafas adekuat dan dapat batuk (skor 2)

Tekanan darah berbeda 20% dari semula (skor 2)

Sadar penuh (skor 2)

Warna kulit Kemerahan atau seperti semula (skor 2)

DAFTAR PUSTAKA
27

1. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk


Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
2. NHS. 2010. Tonsillitis.
http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis, diakses tanggal 23 Maret 2013
3. Morgan GE, Mikhail MS, J.Murray M.Clinical Anesthesiology 4 th edition. McGraw
Hill. New York. 2006.
4. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.

Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.


5. . Drake A. Tonsillectomy.
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi, diakses tanggal 23
Maret 2013.

6. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,


FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
7. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi
ke- 4. Jakarta: Gaya baru.
8. Anonim, (2002), Endotracheal Intubation,
http://www.medicinet.com/script/main/art.asp?li=mni&articlekey=7035
9. Gisele de Azevedo Prazeres, MD., (2002), Orotracheal Intubation,
http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html
10. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
11. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran
FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
12. Lauro, Joseph.2011. Tonsillitis. Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.
http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal 23 Maret
2013

28

Anda mungkin juga menyukai