Disusun oleh :
Alie Anwar Sutisna
(61109019)
Pembimbing :
Dr. Indah Waty Muchlis, Sp.An
Dr. Aprilina, Sp.An
Dr. Indra Nur Hidayat, Sp.An
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Pada tonsillitis kronis,
ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi.
Mengingat dampak yang ditimbulkan maka tonsilitis kronis hipertrofi yang telah
menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif
tonsilektomi4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal
dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari
bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang
mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan
bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi
dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal menggunakan
elektrocauter.
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
dengan tujuan untuk pendidikan.
Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi
tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
2
Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual,
muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap
obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan pentotal5.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
: Nn. Samidah
Jenis Kelamin
: Perempuan
Usia
: 17 tahun
Berat Badan
: 60 kg
Agama
: Islam
Alamat
: Belakang Padang
No. RM
: 115072
Diagnosis
: Tonsilitis Kronik
2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis dengan ibu kandung pasien
pada tanggal 4 februari 2015 di bangsal Flamboyan RSUD Embung Fatimah Batam.
a. Keluhan utama
: Nyeri Tenggorokan
b. Riwayat penyakit sekarang
:
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri telan sejak 2 minggu lalu.
Nyeri telan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. Menurut
orangtuanya, sebelumnya sempat mengalami demam dan pilek. Nyeri telan tidak
disertai dengan ngorok saat tidur. Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek
yang kumat-kumatan hampir tiap bulan.
1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter umum
dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel. Dalam 1
bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri tenggorokan,
susah menelan, disertai demam dan batuk pilek. Keluhan terasa setelah
mengkonsumsi minuman dingin, jajan sembarangan dan berminyak. Saat ini
pasien mengalami pilek. Pasien tidak mengeluhkan demam.
c. Riwayat penyakit dahulu
:
1) Riwayat asma disangkal
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
disangkal.
e.
Riwayat Kebiasaan
Pasien sering mengkonsumsi minuman dingin, Jajan sembarangan dan
mengkonsumsi makanan yang berminyak.
: E4V5M6 = 15
Vital Sign
: Tekanan darah
: 115/75 mmHg
Nadi
: 82 x/menit
Suhu
: 36,8C
Pernafasan
: 18 x/menit
Status Generalis
a. Kulit :
d. Mulut :
baik.
2) Palpasi
Palpasi
Perkusi :
i.
ii.
iii.
iv.
d)
Tampak
mamae sinistra
: Ictus cordis teraba kuat
Batas atas kiri
Batas atas kanan
Batas bawah kiri
Batas bawah kanan
:
:
Paru
a) Inspeksi
b) Palpasi
:
:
c) Perkusi :
d) Auskultasi:
(-/-)
Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi
Perut
datar,
simetris,
tidak
terdapat massa
b) Auskultasi
:
Terdengar suara bising usus
c) Perkusi :
Timpani
d) Palpasi :
Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar
k.
2 februari 2015
Nilai normal
12,4
10.200
36
5,1
299
40,5
10,0
25
17
31
0,3
11,0-16,5 g/dL
3500-10000/L
35-45%
4,0-4,2x106/
150000-450000/L
31-47
10-14
P=<40 W=<32
P=<41 W=<33
10-50
P=<0,7-1,2 W=0,51,0
Seroimmunologi
HbsAg
Negatif
Negatif
2.5 KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka dapat disimpulkan :
Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis
6
Status Operatif
Jenis Operasi
Jenis Anastesi
: ASA 1, Mallampati I
: Tonsilektomi
: General Anastesi
Induksi
Propofol 80 mg iv
Roculax 20 mg iv
7
Tehnik anastesi :
injeksi midazolam 2 mg kemudian fentanyl 100 mcg selanjutnya
kanan sama
Melakukan fiksasi NTT menggunakan Tape
Seelanjutnya pernafasan dikontrol dengan bagging dari mesin
anastesi.
Posisi
Pernafasan
Cairan
Monitoring
: Supine
: terkontrol dengan bagging mesin anestesi
: RL 500 cc
: tekanan darah, saturasi, heart rate, respiration rate
TD (mmHG)
100/56
100/58
103/59
Nadi
71
75
75
SPO2
100 %
100 %
100 %
8
13.15
13.30
105/60
108/60
80
85
100 %
100 %
Post Operatif :
Pasien tiba di recovery room jam 13.40 WIB
Cairan infus
: RL kolf ke-3
TD
: 112/70
Nadi
: 80 x/menit
SPO2
: 99 %
Aldretes score
: 10
Pasien bias dipindahkan ke ruang rawat.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan
setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses
pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ
lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber
bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar
jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit1.
Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama
sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh
dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus4.
3.2 Etiologi
9
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering
menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati
dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama
terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif.
Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus,
Streptococcus beta hemolyticus group A 2.
3.2.1 Faktor predisposisi
Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :
-
dan
kemungkinan difficult airway. Diskusi prabedah dengan ahli bedah dan analisis catatan
anestesi yang lalu mengenai pengelolaan jalan nafas perioperatif, ukuran dan posisi pipa
endotrakheal, posisi pasien, penggunaan N2O dan pelumpuh otot merupakan hal penting yang
harus dilakukan. Pasien mungkin memerlukan pemeriksaan jalan nafas saat pasien masih
sadar dengan diberikan sedasi dan anestesi topikal atau intubasi saat masih sadar dengan
fiberoptik sebelum induksi anestesi umum.
Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok berat, kecanduan
alkohol, obstructive sleep apnoe, dan infeksi kronis saluran nafas bagian atas. Mungkin
diperlukan pemeriksaan laboratorium prabedah, imaging, dan pemeriksaan fungsi jantung,
paru dan hepar.
10
Sebagai tambahan pada monitoring standar, mungkin diperlukan tekanan darah intraarterial dan urine output.
Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang baik.
Tampon faring diambil, faring di suction, dan pasien di oksigenasi. Ekstubasi dilakukan bila
refleks jalan nafas telah pulih kembali secara penuh. Perdarahan jalan nafas bagian atas yang
banyak, edema, atau patologi mungkin menunda ekstubasi di kamar bedah.3
3.3.1 Tonsilektomi
Pemeriksaan prabedah seperti riwayat gangguan perdarahan, obstructive sleep apnoe,
tidak ada gigi (ompong). Harus dilakukan pemeriksaan koagulasi. Pasien dengan obstructive
sleep apnoe mungkin obes/gemuk dan mungkin ventilasi dan intubasi sulit. Banyak pasien
mempunyai penyakit infeksi saluran nafas atas yang kronis dan berulang-ulang terjadinya.
Bila pasien sedang mengalami infeksi akut yang ditandai dengan adanya demam, batuk
produktif, gejala saluran nafas bagian bawah, disertai penyakit lain, atau umur < 1 tahun
dipertimbangkan untuk mengundurkan operasinya atau dirawat di ICU untuk observasi.
Kebanyakan pasien anak dilakukan induksi inhalasi, diikuti dengan pemasangan jalur
vena. Teknik anestesinya umumnya dilakukan dengan volatil anestetika ditambah dengan
opioid (misalnya morfin 0,1 mg/kg intravena). Glikopirate (5-10 ug/kg intravena) kadangkadang diberikan untuk mengurangi sekresi dan dipertimbangkan pemberian antiemetik.
Untuk fasilitas intubasi dilakukan dengan pelumpuh otot, akan tetapi, tidak selalu diperlukan
pelumpuh otot untuk dapat dilakukannya intubasi. Selama manipulasi kepala dan mouth gag
dapat terjadi obstruksi pipa ETT, diskoneksi, atau tercabut. Oral rae tube memberikan oral
akses yang lebih baik untuk ahli bedah dan kurang kinking dengan adanya retraktor. Oral rae
tube, sama seperto ETT oral yanglainnya, harus difiksasi pada garis tengan mandibula.
Pada akhir pembdahan, tampon harus diangkat dan pipa orogastrik dimasukkan untuk
mengosongkan lambung dari darah yang tertelan dan dilakukan pengisapan faring. Eksubasi
dapat dilakukan saat anestesi dalam atau serelah pasien bangun dan reflek proteksi jalan
nafas telah pulih. Batuk akibat adanya ETT dapat ditekan dengan pemberian ldokain 1-1,5
mg/kg ntravena 5 menit sebelum ekstubasi. Penggonaan orophraryngeal airway (OPA) setelah
pembedahan dapat menyebabkan rusaknya luka operasi dan perdarahan bila penempatan tidak
dilakukan secara hati-hati di garis tengah. Nasal airway dapat sebagai alternatif.
Setelah ekstubasi pasien ditempatkan disatu sisi, dengan posisi sedikit Trendelenburg
dan berikan O2 100%. Dengarkan adanya obstruksi pernafasan sebelum pasien dikirim ke Post
Anesthsia Care Unit (PACU). Transport pasien dengan pemberian oksigen. Di PACU, pasien
11
diberi oksigen via mask, monitoring tergantung protokol di PACU, dan periksa apakah faring
sudah kering sebelum dipulangkan dari rumah sakit.3
3.3.2 Tonsil Bleeding
Perdarahan kembali (rebleeding) setelah tonsilektomi pada umumnya terjadi dalam 24
jam setelah operasi tapi bisa juga lebih lambat sampai 5-10 hari. Dapat terlihat adanya
hematemesis, takikardi, sering menelan, pucat dan obstruksi jalan nafas. Banyaknya
kehilangan darah sering tidak dapat diperkirakan karena darahnya ditelan.
Induksi anestesi pada anak dengan perdarahan dan hipovolemi dapat menyebabkan
hipotensi berat dan henti jantung. Diperlukan akses intravena yang adekuat dan pasien harus
diresusitasi dengan adekuat (bila diperlukan dengan produk darah) sebelum dilakukan
tindakan pembedahan. Hematokrit, pemeriksaan koagulasi, dan tersedianya produk darah
harus dipastikan. Dosis obat anestesi harus dikurangi pada pasien dengan hipovolemia.
Disebabkan karena lambung penuh dengan darah, idealnya rapid sequence induction
dengan tekanan pada cricoid dan dengan posisi sedikit head down harus dilakukan untuk
melindungi trachea dan glotis dari aspirasi dari darah atau cairan lambung. Dua buah suction
harus siap dan stylet pipa endotracheal satu nomor lebih kecil dari yang diperkirakan harus
sudah tersedia. Ahli bedah harus sudah siap di kamar bedah. Ekstubasi paling aman setelah
pasien bangun.3
3.4 Anestesi Umum
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel). Komponen trias
anestesi yang ideal terdiri dari analgesia, hipnotik, dan relaksasi otot 2.
Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi kemudian menyebar
ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah jaringan kaya akan
pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang, hilangnya rasa
sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu mengetahui stadium
anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan mencegah terjadinya
kelebihan dosis4,5
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada beberapa
pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi yang dilakukan,
dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang ideal antara lain mudah
didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping terhadap organ vital seperti saluran
pernapasan atau jantung, tidak mudah terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan
12
relaksasi otot yang cukup baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak
diinginkan6,7.
Obat anestesi umum yang ideal mempunyai sifat-sifat antara lain pada dosis yang
aman mempunyai daya analgesik relaksasi otot yang cukup, cara pemberian mudah,
mulai kerja obat yang cepat dan tidak mempunyai efek samping yang merugikan. Selain
itu obat tersebut harus tidak toksik, mudah dinetralkan, mempunyai batas keamanan
yang luas.7
3.5 Persiapan Pra Anestesi
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan (elektif/darurat) harus
dipersiapkan dengan baik. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif dilakukan 1-2 hari
sebelumnya, dan pada bedah darurat sesingkat mungkin. Kunjungan pra anestesi pada
pasien yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat mutlak
harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun tujuan kunjungan pra
anestesi adalah:1,7
a. Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai dengan
fisik dan kehendak pasien.
c. Menentukan
status
fisik
dengan
klasifikasi
ASA
(American
Society
Anesthesiology):
ASA I
ASA II
ASA III : Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak
selalu sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ,
angina menetap. Angka mortalitas 68%.
ASA V
ASA VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya akan diambil (didonorkan)6
13
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) terdiri dari kegawatan
otak, jantung, paru, ibu dan anak.
3.6 Klasifikasi Mallampati
i.
ii.
iii.
iv.
dilakukannya
tindakan
intubasi
endotrakhea
adalah
untuk
14
g. Tracheostomi.
h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa
indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau
abcent dan sering menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24
jam seharusnya diintubasi.
f. Pada post operative respiratory insufficiency.
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada
beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala
dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang
umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.
16
Sumber : http://www.aic.cuhk.edu
Alat-alat Untuk Intubasi
Alat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1989)
antara lain :
a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop
yaitu :
- Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.
b. Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai
dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala
17
dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi.
Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon
(cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan
kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi
aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi
daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan
volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit
jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon
karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan
diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan perempuan 7,5 8,5 mm. Untuk
intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :
Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan
pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat
diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.
c. Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas
karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.
18
f. Connector
connector yang dimaksud adalah penyambung antara pipa dengan bag valve mask
ataupun peralatan anesthesia.
g. Alat pengisap atau suction.
suction yang dimaksud adalah penyedot lendir, ludah dan cairan lainnya
Tindakan Intubasi.
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah
ditetapkan antara lain10 :
a. Persiapan.
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan
menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1
19
gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam
satu garis lurus.
b. Oksigenasi.
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan
pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit.
Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.
c. Laringoskop.
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan
kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun
laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan
terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan.
Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk
huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal.
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat
melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan
laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu,
stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon
dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan
auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada
ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan
terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadangkadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat.
Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama.
Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan
mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa
20
dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi.
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.
Langkah-langkah intubasi
21
= 8 ml/kgBB/jam.
3.9 Pemulihan
Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi
yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk
observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan
sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.
Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu
dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. cara
skoring yang biasa dipakai untuk anestesi umum yaitu cara Aldrete.11,12.
Tabel 1. Aldrete Scoring System
No.
1
Aktivitas
motorik
Kriteria
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas
Skor
2
Respirasi
Sirkulasi
Kesadaran
Warna kulit
Apneu/tidak bernafas
Tekanan darah berbeda 20% dari semula
Pucat
Sianosis
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien dari dilakukan nya anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, pasien digolongkan sebagai ASA I, pasien ini tidak memiliki penyakit lain selain
penyakit yang akan di operasi dan tidak ada keterbatasan fungsional. Tidak ditemukan adanya
faktor faktor yang dapat mengganggu proses anestesia selama pembedahan dilakukan.
Seperti biasa pada pasien dengan bius umum, yang harus diperhatikan adalah kemungkinan
adanya regurgitasi dan aspirasi dari isi lambung yang dapat berakibat fatal.
Tindakan premedikasi sendiri , yaitu dengan pemberian obat sebelm induksi anestesia
bertujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia diantaranya untuk
mredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar induksi anestesia, mengurangi sekresi
kelenjar ludah dan bronkhus, meminimalkan jumlah obat anestetik, mengurangi mual muntah
pasca bedah , menciptakan amnesia, mengurangi isi cairan lambung, mengurangi reflks yang
membahayakan. Alasan pemilihan menggunakan golongan midazolam sebagai agen anestesi
antara lain karena tidak mengganggu pola tidur, lebih aman jika terjadi overdosis, tidak
menginduksi enzim hepar, pilihan utama sebagai anti ancietas, paling cepat diinaktifkan
dibanding benzodiazepin lain pada pengunaan intravena untuk memperoleh efek cepat.
25
Setelah operasi selesai pasien dibawa keruang pulih. Diruang tersebut pasien yang
telah mendapatkan anastesi umum maupun regional dipantau perkembangan nya untuk
26
pemulihan. Pada saat diruang pulih dilakukan monitoring tanda tanda vital pasien sampai
kondisi pasien stabil.
Menurut kepustakaan Pasien dapat keluar dari ruang pulih apabila sudah mencapai
skor aldrete lebih dari 8. Sedangkan pada pasien ini di dapatkan skor 10, skor 10 tersebut di
dapatkan dari :
Mampu menggerakkan ke-4 ekstremitas atas perintah atau secara sadar (skor 2)
DAFTAR PUSTAKA
27
28