Anda di halaman 1dari 42

REFLEKSI KASUS Juni 2018

“MANAJEMEN GENERAL ANESTESI


ENDOTRACHEAL TUBE (GETA) PADA PASIEN
EPIDURAL HEMATOMA DENGAN TINDAKAN
CRANIOTOMY”

Disusun Oleh:
MUSYARAFA
N 111 17 058

Pembimbing Klinik:
dr. FERRY LUMINTANG, Sp.An, KIC

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran atau ilmu pengetahuan yang


meliputi pemberian tindakan anestesi, perawatan dan terapi intensif pada pasien
tertentu di ruang perawatan intensif (intensive care unit, ICU), terapi dan
perawatan nyeri pada pasien dengan nyeri passcaoperasi atau pasien nyeri kanker,
dan terapi inhalasi seperti pemberian gas oksigen untuk bantuan pernapasan.
Anestesi adalah hilangnya seluruh modalitas dari sensasi yang meliputi sensasi
sakit/nyeri, rabaan, suhu, posisi/proprioseptif, sedangkan analgesia yaitu
hilangnya sensasi sakit/nyeri, tetapi modalitas yang lain masih tetap ada.1
Pada dasarnya baik pada anak maupun dewasa tujuan anestesi adalah sama,
yaitu menghilangkan rasa sakit dan membuat nyaman pasien selama operasi
berlangsung dan setelahnya. General anesthesia merupakan jenis anestesi yang
sering digunakan untuk pasien yang akan menjalani operasi. Selama operasi
berlangsung, tanda vital akan dipantau melalui monitor fungsi tubuh secara umum
yaitu denyut nadi, nafas, dan saturasi oksigen. Selain itu, intubasi diperlukan
untuk membuka jalan nafas pada anestesi umum.1
Balanced anesthesia dalam konteks ini meliputi yaitu obat diberikan
sebelum induksi anestesi (Premedikasi), obat diberikan selama induksi anestesi
dan obat diberikan selama maintenance anestesi. Anestesi merupakan tahapan
yang paling penting dalam tindakan pembedahan, karena tindakan pembedahan
belum dapat dilakukan bila anestesi belum diberikan. Anestesi memiliki resiko
yang jauh lebih besar dari prosedur tindakan pembedahan karena nyawa pasien
yang dianestesi dapat terancam. Untuk pemilihan anestesi yang ideal dibutuhkan
dalam menghasilkan sifat analgesi, sedasi, relaksasi, Unconsciousness (hilang
kesadaran), keamanan dan kenyamanan untuk sistem vital, ekonomis, dan mudah
dalam aplikasi baik di lapangan ataupun di ruang operasi. Namun, sampai saat ini
anestesi yang memenuhi kriteria yang ideal belum ada.1
Anestesi umumnya digolongkan berdasarkan cara penggunaan obatnya dan
berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan obat anestesi
1
dibagi menjadi empat meliputi anestesi inhalasi yaitu obat anestesi berupa gas/uap
diaplikasikan melalui respirasi dengan kombinasi oksigen, anestesi injeksi yaitu
obat anestesi (diberikan dengan cara injeksi/suntikan, bisa melalui intravena,
intramuskuler atau subkutan), oral atau rektal yaitu obat yang diberikan melalui
saluran pencernaan (gastrointestinal) dan anestesi topikal yaitu anestesi yang
diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa untuk tujuan anestesi lokal.9
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal. Intubasi
adalah suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa kedalam saluran
pernapasan bagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi untuk mempertahankan
jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah
terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk
ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke trakea,
membersihkan saluran trakeobronkial.4
Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang
paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi oleh tulang
tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh sesuatu yang berguna
sebagai pembungkus yang di sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak,
menutupi sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk
suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan pengikisan atau
robekan dari pembuluh darah yang mengelilingi otak dan dura, ketika pembuluh
darah mengalami robekan maka darah akan terakumulasi dalam ruang antara dura
dan tulang tengkorak, keadaan inlah yang di kenal dengan sebutan epidural
hematom.1,2,3
Epidural Hematom dapat terjadi pada siapa saja dan umur berapa saja, beberapa
keadaan yang bisa menyebabkan epidural hematom adalah misalnya benturan pada
kepala pada kecelakaan motor. Hematoma epidural terjadi akibat trauma kepala, yang
biasanya berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.2,9
Pada laporan ini akan membahas mengenai manajemen anestesi pada pasien
epidural hematom dengan tindakan craniotomy.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. EPIDURAL HEMATOM
1. Definisi
Epidural hematom sebagai keadaan neurologist yang bersifat
emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang
memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan
perdarahan. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan
pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom
terjadi pada middle meningeal artery yang terletak di bawah tulang
temporal. Perdarahan masuk ke dalam ruang epidural, bila terjadi
perdarahan arteri maka hematom akan cepat terjadi.1
2. Epidemiologi
EDH meyumbang sekitar 1 % dari keseluruhan kasus trauma.
Insiden lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan dengan
perbandingan 4:1 dengan rata-rata usia dibawah 2 tahun dan diatas 60
tahun karena pada usia tersebut duramater lebih menempel di tabula
interna.3
3. Etiologi
Delapan puluh lima persen (85 %) EDH disebabkan oleh putusnya
arteri meningea media diantara tabula interna dan duramater.
Perdarahan lain dapat disebabkan oleh pecahnya vena meningeal
media atau sinus dural. Penyebab lain adalah fraktur tulang yang
menyebabkan perdarahan dari diploeica. Predileksi EDH antara lain di
hemisfer sisi lateral (70 %) dan regio frontal, oksipital dan fossa
posterior (5-10%).1
4. Patofisiologi
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang
tengkorak dan dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah
temporal bila salah satu cabang arteria meningea media robek.
3
Robekan ini sering terjadi bila fraktur tulang tengkorak di daerah
bersangkutan. Hematom dapat pula terjadi di daerah frontal atau
oksipital.1
Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak melalui
foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan
dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom
epidural, desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih
lanjut dari tulang kepala sehingga hematom bertambah besar.8
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan
tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan
ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah
pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik yang dapat dikenal oleh tim medis.1
Tekanan dari herniasi unkus pda sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya
kesadaran. Di tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga
(okulomotorius). Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil
dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang
berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons
motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.1
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak
akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan
intracranial yang besar. Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan
intracranial antara lain kekakuan deserebrasi dan gangguan tanda-tanda
vital dan fungsi pernafasan.1
Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan
terpompa terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala
terbanting atau terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan
segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam , penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian kesadaran
4
berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid.
Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada
Epidural hematom. Kalau pada subdural hematoma cedera primernya
hampir selalu berat atau epidural hematoma dengan trauma primer
berat tidak terjadi lucid interval karena pasien langsung tidak sadarkan
diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.1
Sumber perdarahan :1
 Artery meningea ( lucid interval : 2 – 3 jam )
 Sinus duramatis
 Diploe (lubang yang mengisis kalvaria kranii) yang berisi a.
diploica dan vena diploica

Epidural hematoma merupakan kasus yang paling emergensi di


bedah saraf karena progresifitasnya yang cepat karena durameter
melekat erat pada sutura sehingga langsung mendesak ke parenkim
otak menyebabkan mudah herniasi trans dan infra tentorial.Karena itu
setiap penderita dengan trauma kepala yang mengeluh nyeri kepala
yang berlangsung lama, apalagi progresif memberat, harus segera di
rawat dan diperiksa dengan teliti.1
5. Penatalaksanaan
Tatalaksana EDH dibagi menjadi 2 yaitu tatalaksana medikamentosa
dan operatif.
Tatalaksana medikamentosa diberikan jika terdapat EDH subakut
atau kronik yang berukuran kecil (≤ 1 cm ketebalan) dan terdapat
gejala dan tanda neurologius yang minimal. Pada keadaan tersebut,
pasien dirawat dan diobservasi dengan CT scan follow up 1 minggu
kemudian jika secara klinis stabil. Pada 50% kasus, EDH yang kecil
akan berkembang menjadi lebih besar dan diperlukan terapi operasi.
Managemen operatif diindikasikan jika terdapat:
a. EDH simptomatik

5
b. EDH akut asimptomatik tetapi ketebalan > 1 cm
c. EDH pada pasien anak
Tujuan dilakukan operasi adalah untuk menghilangkan bekuan
darah sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial, hemostasis dan
mencegah reakumulasi darah di ruang epidural.
Definisi dari Craniotomy adalah suatu tindakan membuka tulang
kepala yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan
definitif. Craniotomy merupakan operasi membuka tengkorak
(tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan
yang diakibatkan oleh adanya luka yang ada di otak Craniotomi adalah
jenis operasi otak. operasi ini juga dilakukan untuk otak pengangkatan
tumor, untuk menghilangkan bekuan darah (hematoma),
untuk mengendalikan perdarahan dari pembuluh, aneurisma serebral.1

B. GENERAL ANESTESI ENDOTRAKEAL


Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara
inhalasi untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana
akan dilakukan operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi.
Induksi anestesi merupakan peralihan dari keadaan sadar dengan reflek
perlindungan masih utuh sampai dengan hilangnya kesadaran (ditandai
dengan hilangnya reflek bulu mata) akibat pemberian obat–obat anestesi.
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal.6
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui
mulut atau hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal
(endotrakeal) dan intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan
memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima glottis dengan
mengembangkan cuff, sehingga ujung distalnya berada kira-kira
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea. Tujuan
dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk memudahkan
pemberian anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial, mempertahankan
6
jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah
pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. 7
Indikasi intubasi endotrakeal adalah sebagai berikut :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai
oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Sebagai proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau
pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
d. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk
menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
e. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidak ada ketegangan.
f. Operasi intra-torakal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan pengontrolan pernapasan dan
mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.
g. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
h. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.3

C. TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM


1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi
Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor
terjadinya kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada
waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
7
a. Penilaian pra-bedah
1) Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi
sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-
hal yang perlu mendapat perhatian khusus misalnya alergi, mual-
muntah, nyeri otot, gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah
sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan baik.
Beberapa peneliti menganjurkan obat yang dapat menimbulkan
masalah di masa lalu sebaiknya jangan digunakan ulang misalnya
halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan atau
suksinilkolin yang menimbulkan apnea berkepanjangan juga
jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari
sebelumnya.
Pada pasien anak, kunjungan pra-bedah tidak hanya
dilakukan untuk menilai keadaan pasien, tetapi juga untuk
mempersiapkan status psikologis orang tua maupun anak untuk
menjalani operasi dan anestesi,
2) Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah
relatif besar sangat penting untuk diketahui apakah akan
menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher pendek dan
kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum
tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
3) Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai
dengan dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa perdarahan, dan masa
pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.
8
4) Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada
operasi sito, penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan
risiko anestesi karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan
dari efek samping pembedahan.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik,


biokimia.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau
sedang.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga
aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat
melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau
tanpa pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
5) Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi.
Regurgitasi isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan
napas merupakan risiko utama pada pasien yang menjalani
anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang
dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu
sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-
6 jam, dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak

9
diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman air putih,
teh manis sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih
dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.

b. Premedikasi
Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama
periode sebelum dilakukannya induksi anesthesia, sebagai
tambahan dari obat-obat yang biasanya dikonsumsi pasien. Tujuan
dari premedikasi adalah untuk ansiolisis, amnesia, antiemetik,
antasida, antiautonomik, dan analgesia.2
Pasien yang akan di operasi biasanya diberikan premedikasi
karena
a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas (meskipun ini
tidak diperlukan pada anak yang berusia kurang dari 2 tahun)
b. Diberikan sedatif untuk mempermudah konduksi anestesi.
c. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau
dengan latar belakang analgesia selama dan sesudah operasi.
d. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan
ketamine (dipakai atropine, yang dapat digunakan untuk
aktifitas vagus dan mencegah bradikardia, khususnya pada
anak-anak).
e. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika
pengosongan diragukan, misalnya pada kehamilan.2
2. Induksi Anestesi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat
pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama operasinya,
untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan induksi
saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anestesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis
tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah

10
tindakan selesai pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh
penderita dipulihkan, periode ini disebut pemulihan/recovery.2

Persiapan induksi
STATICS :
Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
S
Laringo-Scope.
T Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon (cuffed).
Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung
A faring(nasofaring) yang digunakanuntuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar agar lidah tidak menymbat jalan napas.
Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau
T
tercabut.
Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea
I
mudah dimasukkan.
C Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia.
S Suction. Penyedot lendir dan ludah.
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan hipertensi.
Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama pada keadaan
kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading cairan penting
dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum induksi.
Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi
karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan
angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya
diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi endotrakea
yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-
intubasi endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi
11
laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu meminimalkan
terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari
terjadinya hipertensi. 2
a. Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten
selama 5-10 menit.
b. Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau
ramifentanil 0,5-1 mikrogram/ kgbb).
c. Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
d. Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5
mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
e. Menggunakan anestesia topikal pada airway. 3
1) Induksi Intravena
Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati,
perlahanlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif. Jenis Induksi intravena:
a) Tiopental (pentotal, tiopenton) (amp 500 mg atau 1000 mg)
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan kecepatan
suntikan tiopental akan menyebabkan pasien berada dalam
keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas.
Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor,
tekanan intrakranial dan diguda dapat melindungi otak akibat
kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

12
b) Propofol (diprivan, recofol) Dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan
1% (1ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan
nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan
lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5
mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12
mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak
dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.
c) Ketamin (ketalar) Kurang digemari karena sering
menimbulkan takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau
diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan
untuk mengurangi salivasi diberikan sulfat atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml =
10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
d) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) Diberikan dosis
tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak
digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung.
Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mcg/kg
dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
2) Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuskular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur.
3) Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida). Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak
13
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik
lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan
inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
mininggikan kadar gula darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran
lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik
disbanding halotan.
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari
untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
e) Desfluran (suprane)
14
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran.
Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk
induksi anestesi.
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi
disamping halotan. 9
4) Induksi perektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.3, 9
3. Rumatan Anestesi (Maintainance)
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai
obat inhalasi atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara
intermitten atau continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan
obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-masing obat dapat
diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi umum sampai
tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita yang
tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka
bila mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
a) Gerakan lengan atau kaki
b) Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang
memakai pipa endotrakeal
c) Adanya lakrimasi
d) Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,
broncospasme
e) Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi
bertambah cepat
15
f) Tekanan darah meningkat, berkeringat
Keadaan ini dapat diatasi dengan mendalamkan anestesi. Pada
operasi-operasi yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya
kurang maka ahli bedah akan mengeluh karena tidak bisa bekerja
dengan baik, untuk operasi yang membuka abdomen maka usus akan
bergerak dan menyembul keluar, operasi yang memerlukan penarikan
otot juga sukar dilakukan.3,8
Keadaan relaksasi bila terjadi pada anestesi yang dalam, sehingga
bila kurang relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi
adalah dengan mendalamkan anestesi, yaitu dengan cara menambah
dosis obat, bila hanya menggunakan satu macam obat, keadaan
relaksasi dapat tercapai setelah dosis obat anestesi yang sedemikian
tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada organ vital. Dengan
demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita.3
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai
trias anestesi pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur
dengan obat hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat,
relaksasinya menggunakan pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini
disebut balance anestesi.3
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant,
maka otot mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau
mengalami kelumpuhan, termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak
dapat bernafas. Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa),
karena itu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali
atau control respiration.3
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi
pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12
mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh
16
otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.3
4. Pemulihan anestesi
Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan
pemberian obat anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan
penghentian obat anestesi aliran oksigen dinaikkan, hal ini disebut
oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang
sebelumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di alveoli yang
berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian
tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,
sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat
anestesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anestesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan
tekanan parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran
penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar
obat anestesi dalam darah.2,8
Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka
kesadarannya berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anestesi
akibat metabolisme atau ekskresi setelah pemberiannya dihentikan.
Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan respirasi spontan
tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu sadarnya
penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa
endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET)
ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranestesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada
keadaan setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi
spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya
tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada
waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak
terjaganya jalan nafas dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai
sadar.2
17
Pada penderita yang mendapat balance anestesi maka ekstubasi
dilakukan setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat
pulihnya penderita dari pengaruh muscle relaxan maka dilakukan
reserve, yaitu memberikan obat antikolinesterase.2
Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi
terutama yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan
penilaian terlebih dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruangan atau masih perlu di observasi di ruang
Recovery room (RR).
Aldrete Score
Merah muda, 2
Nilai Warna Pucat, 1
Sianosis, 0
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Pernapasan Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal,
1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0
Sirkulasi
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi, 2
Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Aktivitas Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

18
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. MA
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Umur : 14 tahun
Berat badan : 65 kg
Tinggi Badan : 160 cm
Alamat : Toli – toil
Agama : Islam
Diagnosa Pra Anestesi : Close depresure Fracture os parietal sinistra dan
Epidural Hematom sinistra
Jenis Pembedahan : Craniotomy
Tanggal Operasi : 07 Juni 2018
Jenis Anestesi : General Endotracheal Anesthesia (GETA)

B. PERSIAPAN PRE OPERASI


Anamnesis
- Keluhan Utama : nyeri kepala
- Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk RS setelah kecelakaan 1 minggu yang lalu, pasien
mengalami trauma capitis ringan. Pasine mengalami nyeri pada kepala
yang terdapat luka. mual (-), muntah (-), demam (-), batuk (-), sesak (-)
Buang air kecil lancar, Buang air besar (BAB) lancar seperti biasa.
Riwayat penyakit sebelumnya:
 Alergi : tidak ada
 Asma : tidak ada
 Hipertensi : tidak ada
 DM : tidak ada
 Obat-obatan : tidak ada
19
 Penyakit Jantung : tidak ada
 Riwayat anestesi/operasi : tidak ada

C. PEMERIKSAAN FISIK
- Status generalisata
Kesadaran : compos mentis
Berat badan : 65 kg
Pernafasan : 18 x/menit
Nadi : 88/menit
Suhu : 36,5 0C
Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Pemeriksaan preoperative

➢ Kulit
Pucat (-), turgor kulit kembali cepat (<2 detik).

➢ Kepala
Bentuk : Normocephal
Mata : Edema palpebral (-/-), Conjungtiva: anemis (-/-)
Sclera : Ikterik (-/-)
Telinga : Otorrhea (-/-)
Hidung : Rhinorrhea (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-)
Gusi : Perdarahan (-)
Tenggorokan : Tonsil T1/T1
Pharynx : Hiperemis (-)
Kelenjar : Pembesaran kelenjar getah bening (-); kelenjar tiroid (-
)

➢ Thorax
Bentuk simetris, retraksi otot dinding dada (-)

➢ Paru-paru

20
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi
intercostal (-)
- Palpasi : Vokal fremitus (+/+) normal, massa(-), nyeri tekan
(-)
- Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Bronchovesiculer (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing
(-/-)

➢ Jantung
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V linea midclavicula
sinistra
- Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC
V linea parasternal dextra, batas kiri jantung SIC V linea axilla
anterior
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-) ,
gallop (-)

➢ Abdomen
- Inspeksi : Permukaan kesan cembung
- Auskultasi : Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : Tympani (+).
- Palpasi : Nyeri tekan (-).

➢ Genitalia : Tidak ada kelainan (-)

➢ Anggota gerak

- Atas : Akral hangat(+/+), edema (-/-)

- Bawah : Akral hangat(+/+), edema(+/+),Look :

▪ Feel : sensai dalam bata normal, terdapat nyeri tekan,


tidak

21
ada krepitasi dan kehangatan dalam batas normal.

▪ Move : pergerakan terbatas.

➢ Punggung : Tidak ada deformitas

➢ Otot-otot : Eutrofi, tonus otot baik

➢ Refleks : Fisiologis (+/+), Patologis (-/-)

 B1 (Breath)
Airway bebas, gurgling/snoring/crowing: (-/-/-), potrusi mandibular (-),
buka mulut 5 cm, jarak mentohyoid 4 cm, jarak hyothyoid 4 cm, leher
pendek (-), gerak leher bebas, tonsil (T1-T1), faring hiperemis (-),
frekuensi pernapasan 18 kali/menit, suara pernapasan: bronkovesikular
(+/+), suara pernapasan tambahan ronchi (-/-), wheezing (-/-),
Mallampati score 1, massa (-), gigi ompong (-), gigi palsu (-).

 B2 (Blood)
Akral hangat, TD : 130/80 mmHg, HR : 88x/menit irama reguler, CRT <
2 detik. masalah pada sistem cardiovaskuler (-).
 B3 (Brain)
Kesadaran compos mentis GCS 15 (E4V5M6, Pupil: isokor Ø 3 mm/3mm,
Refleks Cahaya +/+
 B4 (Bladder)
BAK lancar, produksi kesan normal, warna kuning jernih, Masalah pada
sistem renal/endokrin (-)
 B5 (Bowel)
Keluhan mual (-), muntah (-). Abdomen: Inspeksi tampak cembung,
kesan normal, Auskultasi peristaltik (+), kesan menurun, Palpasi nyeri
tekan (+), tidak teraba massa, Perkusi tympani (+) pada seluruh lapang
abdomen.

22
 B6 Back & Bone
Nyeri (-), krepitasi (-) morbilitas (-), ekstremitas deformitas (-)

D. Pemeriksaan penunjang

Parameter Hasil Satuan Range Normal

RBC 5,47 106/mm3 3,80-5,20


Hemoglobin (Hb) 13,9 g/dL 11,7-15,5
Hematokrit 43,6 % 37,0-47,0
PLT 370 103/mm3 150-500
WBC 12,3 103/mm3 4,0-10,0
CT 2' 30" Menit 4-10
BT 8' Menit 1-5
GDS 91 mg/dl <200

HbsAg Non Reaktif Non Reaktif

Creatinin 0,84 mg/dl 0,70-1,30

Urea 22.8 mg/dl 18,0-55,0

AS/GOT 14 U/L 0 – 35

ALT/GPT 11 U/L 0 – 45

E. Diagnosis Kerja
Close depresure Fracture os parietal sinistra dan Epidural Hematom
sinistra
F. Tindakan
Craniotomy
G. Kesan Anestesi
PS. ASA II : Pasien penyakit bedah tidak disertai dengan penyakit
sistemik ringan sampai sedang dengan status emergensi.

23
H. Penatalaksanaan IGD
Saat masuk UGD
IVFD NaCl 20 tpm
Inj. Ceftriaxone 1gr
Inj. Phenytoin 100 mg
Drips manitol 125 cc
I. PERSIAPAN PRE OPERATIF
` Di Ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 6 jam pre operasi
c. Pasang infus NaCl pada saat puasa dengan kecepatan 20 tpm
d. Persiapan Pocked Red Cells (PRC) 1 bag Gol.B+
e. IVFD 1 line tangan kiri dengan cairan NaCl 20 tpm
Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin,
natrium bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi,
misalnya; “Pulse Oxymeter”
i. Kartu catatan medic anestesia.

24
Tabel Komponen STATICS
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan
sumbatan jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan. Pada pasien ini tidak
digunakan introducel atau stilet.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.
J. PROSEDUR GENERAL ANESTESI
a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kiri dengan
cairan NaCl 20 tpm
b. Memasang monitor untuk melihat tekanan darah, heart rate,
saturasi oksigen dan laju respirasi.
c. Diberikan obat premedikasi yaitu Sedacum 2 mg/iv, ondancentron
4 mg/iv, Fentanyl 100 µg/iv.
d. Diberikan obat induksi yaitu propofol 100 mg/iv
e. Memposisikan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher
f. Memberikan oksigenasi kepada pasien melalui masker yang
melekat pada wajah dengan aliran 5 lpm selama 3 menit
g. Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 25 mg/iv tunggu 3
menit.

25
h. Melakukan intubasi trachea dengan memasukan laringoskop secara
lembut hingga pita suara sudah terlihat.
i. Memasukkan pipa ET dari sebelah kanan mulut ke faring sampai
bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara dengan
kedalaman pipa ET ± 20 cm , pada pasien ini menggunakan ETT
dengan ukuran 7.0
j. Mengangkat laringoskop dan mengisi balon dengan udara 10 ml.
Waktu intubasi ± 20 detik.
k. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan melakukan
ventilasi sambil melakukan auskultasi, pertama pada lambung
(tidak terdengar bunyi gurgling) artinya udara tidak masuk ke
esofagus. Kemudian mengecek pada paru kanan dan kiri
sambil memperhatikan pengembangan dada, terdengar bunyi napas
dan pengembangan paru yang simetris kiri dan kanan.
l. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau
tercabut di sebelah kanan mulut pasien.
m. Maintenance selama operasi diberikan:
 Sevoflurans 3 vol %
 Fentanyl 50 mg
 Propofol 100 mg
 Atracurium 10 mg
 O2 5 lpm via Endo Trachea Tube (ETT)
n. Diberikan ketorolac 30 mg/iv
o. Operasi selesai, dilakukan ekstubasi dalam
p. pasien bernafas spontan, adekuat dan hemodinamik stabil.
q. Pasien di transfer recovery room
Laporan Anestesi Durante Operatif
 Jenis anestesi : Anestesi Umum, General Endotracheal
Anesthesia (GETA)
 Lama anestesi : 13.00 - 15.00 (2 jam)
 Lama operasi : 13.15 – 14. 45 (1 jam 55 menit)
26
 Anestesiologi : dr. Imthihana Amri., Sp. An
 Ahli Bedah : dr. Bangun
 Posisi : Supine
 Infus : 1 line di tangan kiri

Laporan Monitoring Anestesi

Frekuensi Saturasi
Tekanan Darah
Jam Denyut Nadi Oksigen Keterangan
(mmHg)
(x/menit) (%)

Ondancentrone 4
13.00 120/80 80 100
mg

Atracurium 25 mg
13.05 130/90 90 100
Sedacum 2 mg

Propofol 100 mg
13.10 130/70 110 100
Fentanyle 100 mg

13.15 100/80 80 100

13.20 130/70 80 99

13.25 140/80 90 99 Lidocain 60 mg

13.30 120/80 100 99

13.35 140/80 90 98 Fentanyl 40 mg

13.40 140/80 90 98 Propofol 50 mg

13.45 140/80 86 98

13.50 148/90 90 99

27
13.55 140/80 80 99 Atracurium 10 mg

14.00 130/80 90 99 Propofol 20 mg

14.05 130/85 96 99

14.10 132/86 89 98

14.15 131/79 82 98

14.20 133/77 86 98

14.25 130/70 88 98 Propofol 30 mg

14.30 130/78 87 99

14.35 131/72 88 98 Ketorolac 30 mg

14.40 136/72 80 98

14.45 130/70 74 99

14.50 130/90 80 99

14.55 135/70 78 99

15.00 130/72 80 99

28
MONITORING ANESTESI
160

140

120

100

80 sistol
diastol
60
nadi
40

20

Keterangan: mulai anastesi mulai operasi

- Perdarahan selama operasi: ± 400cc.


- Jumlah urin selama operasi ± 250 cc
- Jumlah cairan yang diberikan selama pembedahan : 1400 cc
Nacl 1150 cc
Darah PRC 250 cc

Jumlah medikasi
- Ondancentron 4 mg
- Sedacum 2 mg
- Fentanyl 150 mg
- Propofol 200 mg
- Atracurium 35 mg
- Lidocain 60 mg
- Ketorolac 30 mg

29
TERAPI CAIRAN
Berat Badan : 65 kg
Jumlah perdarahan : ±400
 EBV = BB (Kg)x 65 ml/kgBB
=65x65 ml/kgBB = 4.225 cc
 % perdarahan = Jumlah Perdarahan : EBV x 100%
= 400 : 4225 x 100%
= 0,094 x 100%
= 9,4 %
𝑯𝒄𝒕 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏−𝑯𝒄𝒕 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓
 𝑨𝑩𝑳 = 𝑬𝑩𝑽 × (𝑯𝒄𝒕 𝒑𝒂𝒔𝒊𝒆𝒏+𝑯𝒄𝒕 𝒔𝒕𝒂𝒏𝒅𝒂𝒓 )/ 𝟐
4225×(43.6−54)
= (43.6+54)/2
4225 𝑥10.4
= 48.8

= 43.940 : 48.8
= 900,40 ml

o Cairan masuk :
Pre operatif : Kristaloid NaCl 150 cc
Durante operatif : Kristaloid NaCl 1000 cc
Darah (PRC) 250 cc
Total input cairan : 1400 cc
o Cairan keluar :
- Perdarahan : ±400 cc
- Urin : ±250 cc
- Total output cairan : ±650 cc

Perhitungan Cairan
a. Input yang diperlukan selama operasi :
1) Cairan Maintanance (M)
M = (4 x 10) + (2 x 10) + (1 x 45)
= 40 + 20 + 45

30
= 105cc/jam
= 210 cc (dalam 2 jam operasi)
2) Cairan defisit selama puasa (P)
P = Lama puasa x Maintenance
= 6 x 105 cc
= 630 ml
3) Cairan yang masuk saat puasa
Cairan masuk puasa = Jumlah infus (TPM) x Lama Puasa
(Menit)/20
= 20 x 360/20
= 7200/20
= 360 ml

Cairan defisit puasa – Cairan masuk puasa = 630ml – 360ml

= -270 ml

4) Stress Operasi sedang = 6cc/kgBB/jam x BB


= 6cc x 65kg
= 390cc/jam
5) Cairan defisit darah selama operasi : 150 ml x 3 = 450ml

6) Total kebutuhan cairan selama 2 jam operasi


Kebutuhan cairan operasi
= M + Defisit Cairan Selama Puasa + Stress Operasi + Urin +
deficit darah selama operasi
= 210 + 270+ 390 + 250 +450
= 1570 ml
b. Cairan masuk

▪ Kristaloid : 150 ml + 500 ml + 500 ml = 1150 ml

▪ Koloid :-

▪ PRC : 250 ml
31
▪ Total cairan masuk : 1.400 ml

a. Keseimbangan kebutuhan :

▪ Cairan masuk – cairan yang dibutuhkan = 1.400 ml – 1.570 ml


= -170 ml
K. POST OPERATIF
Post-operatif dalam ruangan RR
- Tensi, nadi, pernapasan, aktivitas motorik.
- Beri O22L/menit nasal canul.
- Bila Skor Aldrete >8, boleh pindah ruangan.
- Mual (-), muntah (-), peristaltik usus (+), boleh makan dan minum
sedikit – sedikit.
Aldrete score merupakan salah satu indikator pasca anestesia.
Jika nilai Aldrete score lebih dari 8, pasien boleh pindah ke ruangan.
Pada pasien score Alderete 9.

Aldrete Score
Merah muda, 2
Nilai Warna Pucat, 1
Sianosis, 0
Dapat bernapas dalam dan batuk, 2
Pernapasan Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal,
Sirkulasi
1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

Sadar, siaga dan orientasi, 2


Kesadaran Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0

32
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Aktivitas Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

Perintah di ruangan:
a. Awasi tanda vital (TD, Nadi, Pernapasan tiap ½ jam)
b. Bila kesakitan, beri analgetik.
c. Bila mual atau muntah, beri Injeksi Ondansetron 4 mg IV
d. Program cairan, infus NaCl 20 tetes/menit

33
BAB III
PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi pada pasien ini telah dilakukan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, sehingga pasien digolongkan
sebagai ASA II karena pada ini dijumpai adanya leukositosis (12.3), tetapi pasien
tidak memiliki penyakit lain selain penyakit yang akan dioperasi dan tidak ada
keterbatasan fungsional.
Pada pasien ini/keluarga, sebelumnya telah dilakukan informed consent
terkait tindakan yang akan diberikan beserta konsekuensinya. Kemudian
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan
hematologi rutin untuk mengetahui ada tidaknya gangguan perdarahan serta
dilakukan juga pemeriksaan GDS dan uji imunoserologi HbsAg.
Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan tekanan darah 130/80
mmHg; nadi 88x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,5OC. Dari pemeriksaan
laboratorium hematologi: Hb 13,9 g/dl; GDS 91 mg/dL, dan HBsAg (-). Pasien
juga tidak memiliki riwayat penyakit berat, alergi maupun metabolic. Dengan
keadaan tersebut, pasien termasuk dalam kategori ASA II. Pada pasien ini,
pemeriksaan fisik ataupun laboratorium tidak menunjukkan adanya gangguan
yang dapat menjadi kontraindikasi dilakukannya tindakan.
Pada kasus ini jenis anestesi yang dipilih adalah anastesi umum. Anastesi
umum adalah suatu tindakan medis dimana tujuan utamanya adalah
menghilangkan nyeri. Bedanya dengan anestesi regional pasien tidak merasakan
nyeri tapi masih sadar. Selain itu, karakteristik anastesi umum adalah reversible
yang artinya akan menyebabkan pasien bangun kembali tanpa efek samping dan
juga dapat diprediksi lama durasinya dengan menyesuaikan dosisnya. Anastesi
umum yang dipilih pada kasus ini adalah dengan intubasi. Intubasi adalah
memasukkan suatu pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan
napas bagian atas atau trachea. Tujuan intubasi adalah mempermudah pemberian
anestesi, mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan, mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung
34
(pada keadaan tidak sadar), mempermudah pengisapan sekret dan mengatasi
obstruksi laring akut.
Setelah memasukan obatan obatan premedikasi, induksi dan relaksasi,
dilakukan pemasangan intubasi. Pemasangan ini bertujuan untuk mempermudah
pemberian anestesi, mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta
mempertahankan kelancaran pernapasan, dan mencegah kemungkinan terjadinya
aspirasi lambung. Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti
dengan pemberian cairan parenteral yaitu kristaloid untuk mensubtitusi, darah dan
cairan yang keluar selama pembedahan.
Banyaknya cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan
banyaknya cairan yang hilang. Terapi cairan intravena terdiri dari cairan
kristaloid, koloid, atau suatu kombinasi kedua-duanya. Larutan kristaloid adalah
larutan mengandung ion dengan berat molekul rendah (garam) dengan atau tanpa
glukosa, sedangkan cairan koloid berisi ion dengan berat molekul tinggi seperti
protein atau glukosa. Cairan koloid menjaga tekanan onkotic plasma dan
sebagian besar ada di intravascular, sedangkan cairan kristaloid dengan cepat
didistribusikan keseluruh ruang cairan extracellular. Terapi cairan dimaksudkan
untuk maintenence, mengganti cairan yang hilang pada waktu puasa, pada waktu
pembedahan (translokasi), adanya perdarahan dan oleh sebab-sebab lain misalnya
adanya cairan lambung, cairan fistula dan lain-lainnya.
1. Kebutuhan cairan maintenance
Pada waktu intake oral tidak ada, defisit cairan dan elektrolit dapat
terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus
berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari
kulit dan paru. kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel
berikut:
Tabel 4. Estimasi Kebutuhan Cairan Pemeliharaan

Berat badan Kebutuhan

10 kg pertama 4 ml/kg/jam

35
10-20 kg kedua 2 ml/kg/jam

masing-masing kg > 20 kg 1 ml/kg/jam

Pada kasus didapatkan berat badan pasien 65 kg sehingga kebutuhan cairan


pemeliharaannya (4x10) + (2x10) + (1x45) = 105 ml/jam sedangkan cairan
pemeliharaannya selama 2 jam: 2 x 105 = 210 ml

2. Cairan pengganti Operasi


Pada kasus ini dilakukan pembedahan jenis craniotomy, dimana
operasi craniotomy ini merupakan operasi yang besar, sehingga perlu juga
kita mengetahui cairan yang hilang berdasarkan jenis operasinya,
sebagaimana rumus yang bisa kita gunakan adalah :
Tabel Redistribution and Evaporative Surgical Fluid Losses

Sehingga, pada pasien ini didapatkan 4-8 ml/kg = (4-8 ml) x 65 kg = 260
sampai 520 ml. Sedangkan cairan pengganti operasi selama 2 jam adalah 2 x
(260 – 520 ) = 520 sampai 1040 ml
Cairan yang dapat digunakan sebagai cairan maintenance adalah cairan
kristaloid (asering, RL, NaCl) dengan perhitungan perbandingan 3:1.

3. Cairan pengganti puasa


Lama puasa x maintenance = 6 x 105 ml = 630 ml – 360 ml (cairan yang
masuk saat puasa) = 270 ml

36
4. Pengganti Perdarahan

Tabel Volume Darah

Adapun MABL (Maximum Allowed Blood loss) pada pasien ini adalah sebagai
berikut. EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :

EBV (Estimate Blood Volume) pada pasien :

EBV = 65 ml/kg x BB kg

= 65 ml/kg x 65 kg

= 4225 ml

Jumlah perdarahan: ± 400 cc

% perdarahan : 400 / 4225 x 100% = 9,4%

MABL :

(𝐻𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛−𝐻𝑡 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎)


𝑀𝐴𝐵𝐿 = 𝐸𝐵𝑉 𝑥 𝐻𝑡 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛+𝐻𝑡 𝑘𝑜𝑛𝑠𝑡𝑎𝑛𝑡𝑎
2

37
(43,6 − 54)
𝑀𝐴𝐵𝐿 = 4225 𝑥 43,6+54
2

MABL = 900,40 ml

Defisit darah selama 2 jam = 400 ml sedangkan pada pasien ini


dilakukan transfusi darah karena kehilangan darahnya mencapai MABL nya.
Sehingga pada pasien ini perlu dilakukan transfuse dan diberikan cairan
kristaloid sesuai dengan kebutuhan cairannya.
• Total kebutuhan cairan selama 360 menit operasi

Kebutuhan cairan operasi

= M + Defisit Cairan Selama Puasa + Stress Operasi + Urin + deficit


darah selama operasi

= 210 + 270 + 390 + 250 + 450

= 1570 ml

Keseimbangan cairan / Fluid Balance:

Cairan masuk – Cairan keluar = 1.400 ml – 1.570 ml = -170 ml


Pada akhir proses pembedahan pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan
melanjutkan oksigenasi 2 lpm dengan kanul oksigen, diawasi tanda vital.
Kemudian pasien dipindahkan ke ruang perawatan karena pada pemeriksaan
Alderete Score didapatkan hasil 9 :
Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Alderete Score
Aldrete Score
Merah muda, 2
Nilai Warna Pucat, 1
Sianosis, 0
Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk, 2

38
Dangkal namun pertukaran udara adekuat, 1
Apnoea atau obstruksi, 0
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal, 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal,
Sirkulasi
1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal, 0

Sadar, siaga dan orientasi, 2


Kesadaran Bangun namun cepat kembali tertidur, 1
Tidak berespons, 0
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan, 2
Aktivitas Dua ekstremitas dapat digerakkan,1
Tidak bergerak, 0
Jika jumlahnya > 8, pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

39
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan laporan kasus yang telah dibahas, sehingga dapat disimpulkan :


1. Pada kasus dilakukan operasi craniotomy pada pasien epidural hematom
pada anak usia 14 Tahun, dan setelah dilakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, maka ditentukan status fisik ASA II dan dilakukan
jenis anestesi dengan General Anestesi dengan teknik Intubasi
endotrakeal.
2. Pada pasien ini menjemen anestesi dimulai dari pre operatif, intra
operatif serta post operatif.
3. Berdasarkan penggunaannya cairan dibagi atas beberapa golongan, yaitu
cairan pemeliharaan (maintenance), cairan pengganti puasa, cairan
pengganti operasi dan pengganti perdarahan.
 Kebutuhan cairan pemeliharannya pada kasus 210 ml/jam
 Cairan pengganti operasi adalah 270 ml – 360 ml
 Total kebutuhan cairan selama operasi 2 jam adalah 1.570 ml
 Keseimbangan cairan pada kasus terdapat kekurangan cairan 170 ml
4. Setelah menjalani operasi pasien dipindahkan ke ruang pemulihan
kemudian dipindahkan ke ruang perawatan karena Alderete Score 9.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Pramono A. Buku Kuliah Anestesi. Jakarta: EGC; 2014.


2. Dobson, MB. 2012. Penuntuk Praktik Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
3. Bagian Anestesiologi RS. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Catatan
Anestesi. Makassar: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius; 2010.
4. Orebaugh SL. 2007. Atlas Of Airway Management Techniques and Tools.
Philadelphia: Lippinco ETT, Williams, and Wilkins.
5. Thomas G, Lahunduitan I, 2016. Angka Kejadian Appendisitis di RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado Periode Oktober 2012-September 2015. Jurnal e-
clinic (eCl), Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016
6. Desai,Arjun M.2010. Anestesi. Stanford University School of Medicine.
Diakses dari: http://emedicine.medcape.com
7. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI.
8. Gwinnutt, CL. 2014. Catatan Kuliah Anestesi Klinis Edisi 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
9. FKUI, 2012. Farmakologi Dan Terapi, Edisi 5, Departemen Farmakologi Dan
Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta

41

Anda mungkin juga menyukai