Anda di halaman 1dari 20

REFERAT

EPIDURAL ANAESTHESIA

Disusun oleh:
Yopi Anugrah Wati
030.14.202

Pembimbing:
dr. Guntur M Taqwin, SpAn, MSc

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU ANESTESI


RUMAH SAKIT DR SOESELO SLAWI KABUPATEN TEGAL
PERIODE 25 FEBRUARI – 23 MARET 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA

i
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga referat dengan judul
“Epidural Anaesthesia” dapat selesai pada waktunya.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti demi memenuhi tugas dalam menempuh Kepaniteraan di bagian Ilmu
Anestesi Rumah Sakit DR Soeselo Slawi. Penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:

1. dr. Guntur M Taqwin, SpAn, MSc dan dr. Budi Hartanto SpAn, dokter
pembimbing yang telah memberikan saran dalam penyusunan referat
ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan dan masih
jauh dari sempurna. Maka dari itu, penulis memohon maaf kepada para pembaca
atas kekurangan yang ada. Atas semua keterbatasan yang dimiliki, maka semua
kritik dan saran yang membangun akan diterima dengan lapang hati agar ke
depannya menjadi lebih baik.
Akhir kata, demikian yang penulis dapat sampaikan. Semoga referat ini
bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya bidang ilmu anestesi.

Slawi, Maret 2019

Yopi Anugrah Wati

ii
LEMBAR PERSETUJUAN

Referat dengan judul:

“Epidural Anaesthesia”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing sebagai syarat

untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Anestesi

di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Soeselo Slawi

periode 25 Februari – 23 Maret 2019

Pada Hari , Tanggal Maret 2019

Slawi, Maret 2019

Pembimbing,

(dr. Guntur M Taqwin, SpAn, MSc)

iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
DAFTAR ISI …................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 2
2.1 Anatomi ........................................................................................ 3
2.2 Anestesi Epidural ......................................................................... 5
2.3 Indikasi Anastesi Epidural ........................................................... 6
2.4 Teknik Anestesi Epidural.............................................................. 7
2.5 Penempatan Kateter ....................................................................10
2.6 Obat Anestesi Lokal Untuk Epidural ..........................................11
2.7 Komplikasi ..................................................................................11
BAB III KESIMPULAN................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 16

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi epidural adalah teknik neuraxial yang menawarkan berbagai


aplikasi lebih luas daripada anestesi spinal. Blok epidural dapat dilakukan pada
level lumbal, torakal, atau servikal. Teknik epidural dapat digunakan sebagai
injeksi tunggal atau dengan kateter yang dapat dilakukan dengan bolus intermiten
dan/atau infusi yang berkelanjutan. Anestesi epidural digunakan pada analgesia
selama dan sesudah pembedahan, mengurangi nyeri persalinan, sebagai suplemen
anestesi umum yang ringan, mengurangi pendarahan selama operasi dengan
potensi hipotensi yang diakibatkannya.

Selain banyaknya manfaat yang ditunjukkan dalam penggunaan anestesi


epidural di atas, perlu kiranya diingat bahwa ada komplikasi infeksi yang serius.
Namun demikian, konsekuensi serius terhadap defisit neurologis permanen dapat
terjadi apabila pasien yang dipasang kateter epidural mengalami abses epidural.
Terdapat studi prospektif mengenai survei bakteriologis analgesia epidural dan
analisis faktor risiko kolonisasi kateter epidural. Penelitian yang telah dilakukan
melaporkan bahwa kejadian kolonisasi tip kateter epidural bervariasi dari 0%-
28%, sedangkan penelitian Holt et al., (1995) melaporkan lebih tinggi sebesar
53,1%. Penelitian Hui-Bih et al., (2008) menemukan bahwa 12,2% tips kateter
epidural memiliki bakteri masing-masing kurang lebih 1 CFU (colony forming
units) dan kurang lebih 15 CFU. Hasil ini memperlihatkan tingkat kolonisasi
bakteri di ujung kateter, karena tidak terdapat infeksi kulit di sekitar insersi kateter
sebelum pelepasan kateter.

Dilaporkan bahwa penggunaan kateter epidural mempunyai angka


kejadian komplikasi arakhnoiditis dan abses epidural pada awalnya diperkirakan
sangat rendah. Studi epidemiologi yang diadakan pada tahun 1997-1998 di
Denmark oleh Wang et al., (1999) bahwa risiko terjadinya defisit permanen pasca
anestesia epidural sebesar 1:4.343 dan insidens terjadi abses epidural sebesar

1
1:1.930. Abses epidural dikaitkan dengan pemakaian kateter lama (median 6 hari,
rentang waktu 3-31 hari) dan defisiensi sistem imun. Kuman Staphylococcus
aureus merupakan kuman yang paling sering didapatkan dari hasil kultur (67%).
Hasil ini menunjukkan bahwa sumber kolonisasi dan infeksi berasal dari flora
normal kulit.

Pada penelitian retrospektif dari 35 kasus abses epidural yang dilakukan


oleh Danner dan Hartmann, didapatkan bahwa penegakkan diagnosis abses
epidural sulit untuk dilakukan dan sering terlambat karena pasien jarang
mengalami demam atau memiliki hitung jenis leukosit normal. Walaupun
demikian, perburukan neurologis dapat terjadi setiap saat. Diagnosis dan terapi
dini akan memperbaiki keluaran neurologi. Sebaliknya keterlambatan diagnosis
akan menghasilkan penyembuhan yang buruk walaupun dilakukan tindakan
dekompresi.

Terdapat sejumlah faktor risiko terjadinya kolonisasi pada kateter epidural


antara lain adalah: sepsis, diabetes mellitus, gangguan status immunologi, terapi
kortikosteroid, infeksi lokal dan pemakaian kateter epidural jangka panjang.
Abses dengan pemakaian kateter lama didapatkan kuman Staphylococcus aureus
dari hasil kultur (67%).

Selama ini RSUP Dr. Sardjito sering menggunakan anestesi epidural dalam
pelayanan rumah sakit. Komplikasi yang ditimbulkan oleh anestesi epidural
belum tercatat. Sepengetahuan penulis insidensi infeksi pascaanestesia neuraksial
tidak tinggi, namun demikian kecacatan yang dapat ditimbulkan memberikan
dampak yang sangat serius oleh karena itu diperlukan studi yang melihat kejadian
kolonisasi bakteri di kateter epidural pada pasien pascaoperasi elektif dengan
menggunakan anestesi epidural dan identifikasi faktor-faktor risikonya.

BAB II

2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Tulang punggung (kolumna vertebralis) terdiri dari tujuh vertebra servikal,


duabelas vertebra torakal, lima vertebra lumbal, lima vertebra sacral yang
menyatu pada orang dewasa, dan empat sampai lima koksigeal menyatu pada
orang deawa. Prosesus spinosus C2 teraba langsung dibawah oksipital. Prosesus
spinosus C7 menonjol dan disebut sebagai vertebra prominens. Garis lurus yang
menghubungkan kedua krista iliaka tertinggi akan memotong prosesus spinosus
vertebra L4 atau anatara L4-L5.

3
Medula spinalis diperdarahi oleh a. Spinalis anterior dan a. Spinalis
posterior. Medula spinalis (corda spinalis, spinal cord) berada dalam kanalis
spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospina, dibungkus oleh meningen
(duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa berakhir setinggi L1, pada
anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus duralis berakhir setinggi S2.
Lapisan jaringan punggung untuk mencapai carairan serebrospinal, maka
lebih awal jarum suntuk akan menusuk kulit, subkutis, lig. Supraspinosum, lig.
Interspinosum, lig. Flavum, ruang epidural, durameter dan terakhir mencapai
ruang subarakhnoid. Cairan serebrospinal merupakan ultrafiltasi dari plasma yang
berasal dari pleksus arteria koeoidalis yang terletak di ventrikel 3-4 dan lateral.
Cairan ini jernih tak berwarna mengisi ruang subarakhnoid dengan jumlah total
100-150 ml, sedangkan yang dipunggung sekitar 25-45b ml.
Ketinggian segmental anatomik
C3-C4 Klavikula
T2 Ruang interkostal kedua
T4-T5 Garis puting susu
T7-T9 Arkus subkostalis
T10 Umbilikus
L1 Daerah inguinal
S1-S4 Perineum
Ketinggian segmental refleks spinal
T7-T8 Epigastrik
T9-T12 Abdominal
L1-L2 Kremaster
L2-L4 Lutut
S1-S2 Plantar, pergelangan kaki
S4-S5 Sfingter anus, refleks kejut
Pembedahan Ketinggian kulit
Tngkai bawah T12
Panggul T10
Uterus-vagina T10
Buli-buli prostat T10
Tungkai bawah T8
Testis ovarium T8
Intrabdomen T6
Intraabdomen lain T4

2.2 Anestesi Epidural


Anastesi epidural adalah blockade saraf dengan menempatkan obat

4
diruang epidural (peridural, ekstradural). Ruang ini berada diantara lig. Flafum
dan duramater. Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum didasar
tengkorak dan dibawah dengan selaput sakrokogsigeal. Kedalaman ruang ini rata-
rata 5 mm dan di bagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal.
Anestesi epidural merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial,
dimana penggunaannya lebih luas dari pada anestesia spinal. Epidural blok dapat
dilakukan melalui pendekatan lumbal, torak, servikal atau sacral (yang lazim
disebut blok caudal). Teknik epidural sangat luas penggunaannya pada anesthesia
operatif, analgesia untuk kasus-kasus obstetri, analgesia post operatif dan untuk 
penanggulangan nyeri kronis.
Ruang epidural berada diuar selaput dura. Isi ruang epidural terdiri dari
sakus duralis, cabang saraf spinal, pleksus venosus epidural, arterial spinalis,
pembuluh limf, dan jaringan lemak. Radiks saraf berjalan di dalam ruang epidural
ini setelah keluar dari bagian lateral medula spinalis, dan selanjutnya menuju
kearah luar.
Onset dari epidural anestesia (10-20 menit) lebih lambat dibandingkan
dengan anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal yang
relative lebih encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat
simpatis dan serat motorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia
tanpa blok motorik. Hal ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan
dan analgesia post operasi

 Lumbal epidural
Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering menjadi
tempat insersi atau tempat memasukan epidural anestesia dan
analgesia. Pendekatan median atau paramedian dapat dikerjakan pada
tempat ini. Anestesia lumbal epidural dapat dikerjakan untuk tindakan-
tindakan dibawah diafragma. Oleh karena medula spinalis berakhir pada
level L1, keamanan blok epidural pada daerah lumbal dapat dikatan aman,
terutama apabila secara tidak sengaja sampai menembus dura.
 Torakal epidural

5
Secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik lumbal epidural, demikian
juga risiko cedera pada medula spinalis lebih besar. Pendekatan median
dan paramedian dapat dipergunakan. Teknik torakal epidural lebih banyak
digunakan untuk intra atau post operatif analgesia.
 Cervikal epidural
Teknik ini biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk, leher ditekuk
dan menggunakan pendekatan median. Secara klinis digunakan terutama
untuk penanganan nyeri.
2.3 Indikasi Anestesia Epidural
1. Pemebedahan dan penanggulangan nyeri pasca bedah.
Anestesi epidural untuk pembedahan daerah panggul dan lutut
berhubungan dengan rendahnya kejadian trombosis vena
dalam. Perdarahan juga minimal apabila dilakukan pembedahan
dengan teknik anestesi epidural
2. Tatalaksana nyeri saat persalinan
Pada proses persalinan yang sulit, apabila dilakukan dengan teknik
epidural anestesi menyebabkan stress peripartum berkurang.
Hal ini berhubungan dengan menurunnya produksi katekolamin.
3. Post Operatif manegemen
Pasien dengan gangguan cadangan paru, misalnya PPOK
menunjukkan maintenance fungsi paru lebih bagus dengan teknik
epidural anestesi dibandingkan dengan general anestesi. Post
operatif pun, pasien lebih kooperatif dan lebih cepat dipindahkan
dari recovery room.
4. Penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak
perdarahan
5. Tambahana pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu
pasien.
Ruang epidural bertekanan negatif (<1 atm) dimungkinkan karena
pemindahan tekanan negativ dari thorak melalui ruang paravertebralis, fleksi

6
maksimal pungung, dorongan kedepan saat jarum disuntikan, dan redistribusi
aliran darah serebrospinal.
Faktor yang menundukung penyebaran obat pada anestesia:
1. Volume obat yang disuntikan
2. Usia pasien (tua minimal, 19 tahun maksimal)
3. Kecepatan suntikan
4. Besarnya dosis
5. Ketinggian tempat suntikan
6. Posisi pasien
7. Panjang kolumna vertebralis
Suntikan 10-15 ml obat akan menyebar kekedua sisi sebanyak 5
segmen.
2.4 Teknik Anastesia Epidural

A. Posisi pasien pada satu tusukan seperti pada analgesia spinal.


B. Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3-4
karena jarak anatara lig. Flavum-duramater pada ketinggian itu
merupakan yang terlebar
C. Jarum epidural yang digunakan ada dua macam yaitu jarum ujung
tajam (Crawford) untuk dosis tunggal dan jarum ujung khusus
(Tuohy) untuk pemandu memasukan kateter ke ruang epidural.
Jarum ini biasanya ditandai setiap cm.

7
D. Teknik yang paling populer yang digunakan untuk mengenal ruang
epidural yaitu teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes
tergantung.
 Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)
Teknik menggunkan semprit kaca atau semprit plastik
rendah resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak
3 ml. Setelah diberikan anestetik lokal pada tempat
suntikan, jarum epidural ditusukan sedalam 1-2 cm.
Kemudian udara atau NaCl disuntikan pelan-pelan secara
terputus-putus (intermiten) sambil mendorong jarum
epidural sampai terasa menembus jaringan keras (lig
flavum) yang disusul oleh hilangnya resistensi. Setelah
yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan
uji dosis.
 Teknik tetes tergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi
pada teknik ini hanya menggunakan jarum epidural yang
diisi NaCl sampai terlihat tetesan NaCl yang menggantung.
Dengan mendorong jarum epidural perlahan-lahan secara
lembut sampai terasa menembus jaringan keras yang
kemudian disusul oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang
epidural. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang
epidural dilakukan uji dosis.

8
E. Uji dosis (test dose)
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan
setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan
untuk dosis berulang (kontinou) melalui kateter. Masukkan
anastetik lokal 3 ml yang sudah bercampur adrenalin 1:200.000.
 Bila ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar
letak jarum atau kateter benar.
 Terjadi blokade spinal menunjukkan obat masuk ke ruang
subarakhnoid karena terlalu dalam.
 Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30% kemungkinan
obat masuk vena epidural.
F. Cara penyuntikan
Setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik
lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai
tercapai dosis total. Suntikan yang terlalu caepat dapat
menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak tinggi,
sehingga menimbulkan pininggian tekanan intrakranial , nyeri
kepala dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.
G. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1.6 ml/segmen yang tuntunya
bergantung pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis
dikurangi sampai 50% dan pada wanita hamil dikurangi sampai
30% akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang epidural
akibat ramainya vaskularisasi darah dalam ruang epidural.
H. Uji keberhasilan
Keberhasilan analgesia epidural dapat diketahui:
Bila tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu
Bila tentang blok sensoris dari uji tusuk jarum
Bila tentang blok motorik dari skala Bromage
Melipat lutut Melipat jari
Blok tidak ada ++ ++
Blok parsial + ++
Blok hampir lengkap - +

9
Blok lengkap - -

2.5 Penempatan Kateter


 Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang
anestesi local pada operasi yang lama dan pemberian
analgesia post operasi. Kateter radiopaq ukuran 20
disusupkan melalui jarum epidural, ketika bevel diposisikan
kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet kawat, harus
ditarik kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden parestesia
dan pungsi dural atau vena
 Kateter dimasukkan 2-5 cm ke dalam ruang epidural.
Pasien dapat mengalami parasthesia yang tiba-tiba dan
biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter
tertahan, kateter harus direposisikan. Jika kateter harus
ditarik kembali, maka kateter dan jarum dikeluarkan
bersama-sama. Jarak dari permukaan belakang pasien
diberi tanda pada pengukuran kateter.
 Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan
jarak dari bagian belakang pasien yang diberi tanda pada
kateter diukur lagi. Jika kateter telah masuk, kateter ditarik
kembali 2-3 cm dari ruang epidural.
 Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan
dengan spoit. Aspirasi dapat dilakukan untuk
mengecek adanya darah atau cairan serebrospinal, dan
kemudian kateter diplester dengan kuat pada bagian
belakang pasien dengan ukuran yang besar, bersih dan
diperkuat dengan pembalutan.
2.6 Obat Anastetik Lokal untuk Epidural
 Lidokain (xylocain, Lidonest)
Umumnya digunakan 1-2% , dengan mula kerja 10 menit
dan relaksasi otot baik. 0.8% blokade sensoris baik tanpa

10
blokade motorik, 1.5% lazim digunakan untuk
pembedahan, 2% untuk relaksasi pasien berotot.
 Bupivakain (Markain)
Konsentrasi o.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8
jam dan volume yang digunakan <20%.
2.7 Komplikasi
Intra operatif
a. Pungsi dural
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi epidural. Jika
hal ini terjadi, ahli anestesi mempunyai sejumlah pilihan
tergantung pada kasusnya. Perubahan keanestesi spinal dapat terjadi
oleh injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal.
Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan
sejumlah anestesi lokal keruang subarachnoid melalui jarum. Jika
anestesi epidural diperlukan (misalnya untuk analgesia post-operasi),
kateter akan direposisikan kedalam interspace diatas pungsi dengan
demikian ujung dari kateter epidural berada jauh dari tempat pungsi
dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan injeksi kateter epidural dapat
dipertimbangkan.
b. Komplikasi kateter
1) Kegagalan pemasangan kateter epidural adalah kesulitan yang lazim.
Hal ini lebih sering ditemukan apabila jarum epidural diinsersikan pada
bagian lateral dibandingkan apabila jarum diinsersikan pada median atau
ketika bevel dari jarum secara cepat ditusukkan kedalam ruang epidural.
Hal tersebut dapat juga terjadi apabila bevel dari jarum hanya sebagian
yang melewati ligamentum flavum sewaktu penurunan resistensi terjadi.
Pada kasus terakhir , pergerakan yang hati-hati dari jarum sejauh
1 mm kedalam ruang epidural dapat memudahkan insersi kateter.
Kateter dan jarum sebaiknya ditarik dan direposisikan bersama-
sama jika terjadi tahanan.
(2). Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah epidural

11
sehingga darah teraspirasi oleh kateter atau takikardia ditemukan dengan
tes dosis. Kateter seharusnya ditarik secara perlahan-lahan sampai darah
tidak ditemukan pada aspirasi dari pengetesan. Penarikan penting agar
dapat segera dipindahkan dan diinsersikan kembali.
(3). Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang epidural. Jika
tidak terjadi infeksi, tetap memakai kateter tidak lebih banyak
memberikan reaksi dibandingkan dengan pembedahan. Pasien
seharusnya dinformasikan dan diterangkan mengenai masalah yang
terjadi. Komplikasi dari eksplorasi bedah serta pengeluaran kateter
lebih besar dibandingkan dengan komplikasi dari penanganan
secara konservatif.
c. Injeksi subarachnoid yang tidak disengaja. Injeksi dengan sejumlah
besar volume anestesi lokal kedalam ruang subarachnoid dapat
menghasilkan anestesi spinal yang total.
d. Injeksi intravaskuler anestesi local kedalam vena epidural.
Menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan kardiovaskuler yang
menyebabkan konvulsi dan cardiopulmonary arrest.
e. Overdosis anestesi lokal
Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan disebabkan oleh
adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif basar pada anestesi
epidural.
f. Kerusakan spinal cord.
Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset
parestesia unilateral menandakan insersi jarum secara lateral masuk
kedalam ruang epidural. Selanjutnya injeksi atau insersi kateter pada
bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran kecil
arteri pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini dimana
melewati celah pada foramen intervertebral. Trauma pada arteri tersebut
dapat menyebabkan iskemia kornu anterior atau hematoma epidural.
g. Perdarahan perforasi pada vena oleh jarum
Dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan mematikan.

12
Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan. Lebih baik
mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana jika terdapat
perdarahan pada tempat itu maka dapat meyebabkan kesulitan dalam
penempatan jarum secara tepat.
Post-Operasi
a. Sakit kepala post pungsi dural.
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17, menyebabkan
sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita sakit kepala post
pungsi dural .
b. Infeksi Abses epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestes iepidural.
Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari penyebaran secara
hematogen pada ruang epidural dari suatu infeksi pada bagian yang lain .
Infeksi dapat juga timbul dari kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi
kateter yang dipergunakan untuk pertolongan nyeri post-operasi atau
melalui suatu infeksi kulit pada tempat insersi. Pasien akan mengalami
demam, nyeri punggung yang hebat dan lemah punggung secara lokal.
Selanjutnya dapat terjadi nyeri serabut
saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan laboratorium ditemukan
suatu lekosit dari lumbal pungsi. Diagnosa pasti ditegakkan dengan
pemeriksaan Myelography atau Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Penanganan yang dianggap penting adalah dekompresi laminektomi
dan pemberian antibiotik. Penyembuhan neurologik yang baik adalah
berhubungan dengan cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan.
c. Hematoma epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural. Trauma pada
vena epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat menyebabkan
suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan merasakan nyeri
punggung yang hebat dan defisit neurologi yang persisten setelah
anestesi epidural. Diagnosis dapat segera ditegakkan dengan computered
tomography atau MRI. Dekompresi laminektomi penting dilakukan

13
untuk memelihara fungsi neurologi.

BAB III
KESIMPULAN

Penggunaan tehnik epidural anatesi baik untuk oengelolaan nyeri, post


operasi dan nyeri kronis merupakan pilihan ideal. Kateter mengalami
perkembangan yang pesat hamper memnuhi kebutuhan untuk membantu proses
manajemen nyeri. Ada pun beberapa komplikasi yang di timbulkan oleh tehnik ini
namun hal ini dapat di cegah dengan prosedur yang ketat, ataupun perawatan.
Persiapan untuk melakukan tindakan anatesi harus selalu mempersiapkan
perlengkapan dan obat untuk general anestesi. Penggunaan hemodinamik

14
monitoring dapat membantu mendeteksi dini komplikasi regional anestesi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Regional Anestesia & Pain
Management. In clinical Anesthesiology. 4th ed New York: lange Medical
Book, Mc Graw Hill, 2006. 289-323.
2. Abdelmalak B, et al. Anesthesiology. 2nd ed. United States of America:
McGrawHill. 2012. p.
3. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar anestesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia / RS Cipto Mangankusumo. 2012.

15
4. Lerman J, Schmitt Bantel BI, Gregory GA, et al. Effect of age on the
solubility of volatile anesthetics in human tissues. Anesthesiology 1986; 65;
307-11.
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi ed 2.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2002.

16

Anda mungkin juga menyukai