Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

DEMAM TIFOID

Disusun oleh:
Nur Alim
030.13.241

Dokter Pembimbing:
dr. Flora Eka Sari, Sp. P

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 24 JULI – 30 SEPTEMBER 2017
RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR ESNAWAN ANTARIKSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
Jl. Kyai Tapa Nomor 1, RT.6/RW.16, Tomang, Grogol Petamburan, Kota Jakarta Barat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta – 11440, Indonesia

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN TRISAKTI
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus:
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT: RSAU dr Esnawan Antariksa

Tanda Tangan

Nama Mahasiswa: Nur alim


Nim : 030.13.241 ....................

Penguji : 1. dr. Suryantini, Sp. PD ....................

2. dr. Widodo, Sp. PD …………….

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Hazairin Tara Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 18 Mei 1955 Suku Bangsa : -
Status Perkawinan : Menikah Agama : Islam
Pekerjaan : Pensiunan Pendidikan : S1
Alamat : jl. P peluang blok C15 AL RT 03 Tanggal masuk RS : 27 Agustus 2017
RW 010 Pondok Gede

A. ANAMNESIS
Autoanamnesis tanggal 28 Agustus 2017 pukul 07.00 WIB di Ruang Garuda

Keluhan utama
Demam sejak 1 hari SMRS

1
Keluhan Tambahan
Batuk berdahak, sesak nafas

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 hari SMRS, demam dirasakan hilang
timbul dengan pemberian obat penurun panas, pasien tidak mengukur suhu tubuhnya tetapi
dirasa demam tidak begitu tinggi. Pasien juga mengeluhkan batuk sejak 3 hari SMRS, batuk
berdahak, berwarna bening, konsistensi sedikit kental, dan tidak disertai darah. Pasien juga
mengeluhkan sesak nafas sejak 1 hari SMRS, sesak dirasakan hilang timbul, sesak memberat
ketika batuk dan membaik ketika duduk, sesak nafas tidak dipengaruhi aktivitas, pasien tidur
dengan satu bantal, pasien tidak pernah terbangun malam karena sesak nafas. Keluhan pasien
tidak membuat nafsu makan menurun. Keluhan nyeri kepala, mual, muntah, nyeri dada
disangkal. BAB dan BAK dalam batas normal. Pasien belum berobat ke dokter hanya minum
obat penurun panas. Pasien rutin minum obat metformin 3x500mg, glimepiride 1x2mg,
amlodipine 1x5mg, glucobay 3x50mg untuk mengontrol DM2 dan hipertensinya. Pasien
memiliki riwayat merokok 1 bungkus dalam 2 minggu, sudah berhenti kurang lebih 1 tahun.

Riwayat Penyakit Dahulu


(-) Cacar (-) Malaria (-) Batu ginjal / Saluran kemih
(-) Cacar air (-) Disentri (-) Burut (Hernia)
(-) Difteri (-) Hepatitis (-) Penyakit prostat
(-) Batuk rejan (+) Tifus Abdominalis (-) Wasir
(-) Campak (-) Skrofula (+) Diabetes
(-) Influenza (-) Sifilis (-) Alergi
(-) Tonsilitis (-) Gonore (-) Tumor
(-) Korea (+) Hipertensi (-) Penyakit Pembuluh
(-) Demam Rematik Akut (-) Ulkus Ventrikuli (-) Perdarahan otak
(-) Pneumonia (-) Ulkus Duodeni (-) Psikosis
(-) Pleuritis (-) Gastritis (-) Neurosis
(-) Tuberkulosis (-) Batu Empedu (-) Operasi

2
Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit Ya Tidak Hubungan


Alergi 
Asma 
Tuberkulosis 
Artritis 
Rematisme 
Hipertensi 
Kencing Manis  Ibu
Jantung 
Ginjal 

B. PEMERIKSAAN JASMANI
Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis, GCS = E4M6V5 (15)
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit, reguler
Suhu : 36oC
Pernafasaan : 20 x/menit
SpO2 : 98%
BB : 68 kg
TB : 170 cm
Keadaan gizi : IMT 23.5 kg/m2 (Normal)
Akral : hangat

Kulit
Warna : sawo matang Effloresensi :-
Jaringan parut :- Pigmentasi : normal
Pertumbuhan rambut : merata Pembuluh darah : normal, kolateral
Suhu raba : merata Lembab / kering : Lembab

3
Keringat : Umum :- Turgor : Baik
Setempat :- Ikterus :-
Lapisan lemak : normal Lain-lain :-

Kelenjar getah bening


Submandibula : tidak teraba membesar Leher : tidak teraba membesar
Supraklavikula : tidak teraba membesar Ketiak : tidak dilakukan
Lipat paha : tidak dilakukan

Kepala
Ekspresi wajah : wajar Simetri muka : simetris
Rambut : normal Pembuluh darah temporal : tidak tampak kelainan

Mata
Exophthalamus :- Enopthalamus :-
Kelopak : edema (-), hiperemis (-) Lensa : jernih
Konjungtiva : anemis (-) Visus : tidak dinilai
Sklera : ikterik (-) Gerakan mata : normal
Lapangan penglihatan: normal Tekanan bola mata : normal
Deviatio konjugate : - Nistagmus :-

Telinga
Tuli : -/- Selaput pendengaran : utuh
Lubang : lapang di kedua telinga Penyumbatan : -/-
Serumen : -/- Pendarahan : -/-
Cairan : -/-

Mulut
Bibir : normal Tonsil : T1 – T1
Langit-langit : tidak bercelah Bau pernapasan : normal
Gigi geligi : tidak tampak caries Trismus :-
Faring : tidak hiperemis Selaput lendir : tidak hiperemis
Lidah : tidak kotor

4
Leher
Kelenjar tiroid : dalam batas normal
Kelenjar limfe : dalam batas normal

Dada
Bentuk : simetris
Pembuluh darah : tidak ada kolateral
Buah dada : simetris, normal

Paru-paru
Depan Belakang
Kiri simetris saat statis dan dinamis simetris saat statis dan dinamis
Inspeksi
Kanan simetris saat statis dan dinamis simetris saat statis dan dinamis
Kiri sela iga normal, benjolan (-), sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-), fremitus normal nyeri tekan (-), fremitus normal
Palpasi
Kanan sela iga normal, benjolan (-), sela iga normal, benjolan (-),
nyeri tekan (-),fremitus normal nyeri tekan (-), fremitus normal
Kiri Sonor Sonor
Perkusi
Kanan Sonor Sonor
Kiri Vesikuler , ronkhi + , wheezing - Vesikuler , ronkhi + , wheezing -
Auskultasi
Kanan Vesikuler , ronkhi +, wheezing - Vesikuler , ronkhi + , wheezing -

Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di sela iga 5 garis mid klavikularis kiri
Batas atas: sela iga 2 garis parasternalis kiri
Perkusi Batas kanan: sela iga 5, garis parasternalis kanan
Batas kiri: sela iga 5, garis garis mid klavikularis kiri
Auskultasi BJ I-II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)

Pembuluh Darah
Arteri Temporalis : Teraba pulsasi

5
Arteri Karotis : Teraba pulsasi
Arteri Brakhialis : Teraba pulsasi
Arteri Radialis : Teraba pulsasi
Arteri Femoralis : Teraba pulsasi
Arteri Poplitea : Teraba pulsasi
Arteri Tibialis Posterior : Teraba pulsasi
Arteri Dorsalis Pedis : Teraba pulsasi

Perut
Inspeksi : agak membuncit, tidak tampak pembuluh darah kolateral
Palpasi Dinding perut : supel, nyeri tekan epigastrium (-), massa (-)
Hati : tidak ada pembesaran
Limpa : tidak ada pembesaran
Ginjal : ballotemen (-)

Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)


Auskultasi : bising usus (+) normal

Alat Kelamin: tidak dilakukan pemeriksaan

Anggota Gerak
Lengan Kanan Kiri
Otot
Tonus : Normotonus Normotonus
Massa : Normal Normal
Sendi : Aktif, tidak ada tahanan Aktif, tidak ada tahanan
Gerakan : Aktif Aktif
Kekuatan : +5 +5

Tungkai dan Kaki Kanan Kiri


Luka : - -
Varises : - -
Otot : Normotonus, massa normal Normotonus, massa normal
Sendi : Aktif Aktif

6
Gerakkan : Aktif Aktif
Kekuatan : +5 +5
Edema : - -

Refleks

Kanan Kiri
Refleks Tendon
Bisep + +
Trisep + +
Patella + +
Achiles + +
Kremaster Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Refleks kulit + +
Refleks patologis - -

C. LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA


Pemeriksaan laboratorium tanggal 27/08/2017 pukul 11.21 WIB
– Hematologi Rutin
– Hemoglobin : 13,1 g/dL
– Hematokrit : 41 %
– Leukosit : 14800 /mm3
– Trombosit : 145000 /mm3
– Kimia ( Faal Ginjal )
– Ureum : 43 mg/dL
– Kreatinin : 1,2 mg/dL
– Diabetes
– Glukosa sewaktu : 163 mg/dL
– Widal
– Thypi O : negatif
– Para thypi AO : negatif
Kremaster
– Para thypi BO Tidak: dilakukan
negatif Tidak dilakukan
Refleks KulitH
– Thypi Positif
: positif 1/320 Positif
Refleks Patologis Negatif Negatif

7
– Para thypi AH : negatif
– Para thypi BH : negatif
Pemeriksaan laboratorium tanggal 28/08/2017 pukul 09.27 WIB
– Hematologi Rutin
– Hemoglobin : 13,3 g/dL
– Hematokrit : 40 %
– Leukosit : 11200 /mm3
– Trombosit : 143000 /mm3
– Diabetes
– Glukosa puasa : 172 mg/dL
– Glukosa 2 jam PP : 134 mg/dL
Pemeriksaan laboratorium tanggal 30/08/2017 pukul 08.17 WIB
– Hematologi Rutin
– Hemoglobin : 13,6 g/dL
– Hematokrit : 42 %
– Leukosit : 8200 /mm3
– Trombosit : 176000 /mm3
– LED : 45 mm/jam
– Hitung jenis leukosit
– B/E/NB/NS/L/M : 0/2/2/74/20/2
– Widal
– Thypi O : positif 1/160
– Para thypi AO : negatif
– Para thypi BO : negatif
– Thypi H : positif 1/320
– Para thypi AH : negatif
– Para thypi BH : negatif

Pemeriksaan foto toraks PA tanggal 27/08/2017 pukul 13.29 WIB


Klinis : susp. Pneumonia
Toraks PA :
- Ukuran dan bentuk jantung normal
- Corakan bronkovaskular meningkat dengan gambaran bercak infiltrat di perihiler
dan parakardial kedua paru

8
- Sinus kostofrenikus dan diafragma normal
- Skeletal dinding toraks normal

Kesan : bronchitis dengan infeksi sekunder DD/ proses spesifik

D. RINGKASAN (RESUME)

Pasien laki-laki usia 62 tahun datang dengan keluhan demam sejak 1 hari
SMRS, demam dirasakan hilang timbul dengan pemberian obat penurun panas, pasien tidak
mengukur suhu tubuhnya tetapi dirasa demam tidak begitu tinggi. Pasien juga mengeluhkan
batuk sejak 3 hari SMRS, batuk berdahak, berwarna bening, konsistensi sedikit kental, dan
tidak disertai darah. Pasien juga mengeluhkan sesak nafas sejak 1 hari SMRS, sesak
dirasakan hilang timbul, sesak memberat ketika batuk dan membaik ketika duduk, sesak
nafas tidak dipengaruhi aktivitas, pasien tidur dengan satu bantal, pasien tidak pernah
terbangun malam karena sesak nafas. Keluhan pasien tidak membuat nafsu makan menurun.
Keluhan nyeri kepala, mual, muntah, nyeri dada disangkal. BAB dan BAK dalam batas
normal. Pasien belum berobat ke dokter hanya minum obat penurun panas. Pasien rutin
minum obat metformin 3x500mg, glimepiride 1x2mg, amlodipine 1x5mg, glucobay 3x50mg
untuk mengontrol DM2 dan hipertensinya. Pasien memiliki riwayat merokok 1 bungkus
dalam 2 minggu, sudah berhenti kurang lebih 1 tahun.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, dengan
kesadaran compos mentis (GCS :15). Tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah 110/80
mmHg, nadi 86 x/menit, reguler, pernafasan 20 x/menit, suhu 36 oC, SpO2 98%. Pada
pemeriksaan sistem didapatkan kelainan auskultasi paru-paru terdapat ronki kering di kedua
basal paru, sedangkan pemeriksaan lainnya dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang laboratorium hematologi didapatkan gambaran peningkatan
leukosit sebesar 14800 mm3, penurunan Hb sebesar 13.1 gr/dL dan penurunan trombosit
sebesar 145000 mm3, Sedangkan pada pemeriksaan glukosa sewaktu mengalami peningkatan
sebesar 163 mg/dL, dan pemeriksaan imunoserologi widal thypi H positif 1/320.

E.DIAGNOSIS KERJA
1. Demam thypoid
2. Bronchitis
3. DM tipe 2

9
F. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Dengue fever, malaria, pneumonia

G. RENCANA PENGELOLAAN
Non Medikamentosa
Edukasi:
1. Jaga kebersihan makanan. Makanan dicuci terlebih dahulu dan dimasak hingga
matang. Hindarkan makanan dari lalat.
2. Cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah BAB.
3. Cuci alat makan dengan air bersih dan mengalir.
4. Jangan makan/minum bersama.
5. Jangan BAB di tempat sembarangan.

Medikamentosa
• Tirah baring
• IVFD RL 28 tpm
• Inj. Ceftriaxone 2x1
• Tab. Paracetamol 3x500mg
• Tab. Vitamin B complex 3x1 tab
• Syr. OBH 3x1C
• Tab. Metformin 3x500mg
• Tab. Acarbose 3x100mg
• Tab. Glimepirid 1x2mg
• Tab. Simvastatin 1x20mg
• Tab. Amlodipine 1x5mg

H. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

10
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
28/08/2017 Pasien TD : 120/80 mmHg - Susp IVFD RL 28 tpm
mengeluh N : 86 x/menit pneumonia Inj. Ceftriaxone 2x1
batuk P : 20 x/menit komunitas Tab. Paracetamol 3x500mg
berdahak, S : 36.3 0C - DM 2 Tab. Vit B complex 3x1tab
dahak - Thypoid Syr. OBH 3x1C
sulit Suara nafas tambahan abdominalis Tab. Metformin 3x500mg
keluar, Ronki +/+ Tab. Acarbose 3x100mg
nafas Tab. Glimepirid 1x2mg
berat, Hb : 13.3 gr/dL Tab. Simvastatin 1x20mg
demam Ht : 40 % Tab. Amlodipine 1x5mg
sudah Luekosit :11200mm3
turun Trombosit:143000mm3
GDP : 172 mg/dL
GD 2PP : 134 mg/dL
29/08/2017 Pasien TD : 110/80 mmHg - Susp IVFD RL 28 tpm
mengeluh N : 80 x/menit pneumonia Inj. Ceftriaxone 2x1
batuk P : 18 x/menit komunitas Syr. OBH 3x1C
berdahak, S : 36,0 0C - DM 2 Tab. Metformin 3x500mg
dahak - Thypoid Tab. Acarbose 3x100mg
sulit Suara nafas tambahan abdominalis Tab. Glimepirid 1x2mg
keluar, ronki kering +/+ Tab. Simvastatin 1x20mg
nafas Tab. Amlodipine 1x5mg
berat
30/08/2017 Pasien TD : 120/80 mmHg - Susp Inj. Ceftriaxone 2x1
mengeluh HR: 80 x/menit pneumonia Syr. OBH 3x1C
batuk RR : 18 x/menit komunitas Tab. Metformin 3x500mg
berdahak, Suhu : 36,2 0C - DM 2 Tab. Acarbose 3x100mg
dahak - Thypoid Tab. Glimepirid 1x2mg
sulit Suara nafas tambahan abdominalis Tab. Simvastatin 1x20mg
keluar, ronki +/+ Tab. Amlodipine 1x5mg
nafas Nebul (combiven +

11
berat Hb : 13,6 g/dL fulmicort + Nacl 1cc) 2x
Ht : 42 % sehari
Leukosit : 8200 mm3
Trombosit:176000mm3
LED: 45 mm/jam
Diff count :
B/E/NB/NS/L/M
0/2/2/74/20/2
Widal
Thypi O : positif 1/160
Para thypi AO : negatif
Para thypi BO : negatif
Thypi H : positif 1/320
Para thypi AH : negatif
Para thypi BH : negatif

Foto toraks PA:


Bronchitis dengan
infeksi sekunder
31/08/2017 Pasien TD : 120/80 mmHg - Susp Inj. Ceftriaxone 2x1
mengeluh HR: 84 x/menit pneumonia Syr. OBH 3x1C
batuk RR : 18 x/menit komunitas Tab. Metformin 3x500mg
frekuensi Suhu : 36,3 0C - DM 2 Tab. Acarbose 3x100mg
berkurang - Thypoid Tab. Glimepirid 1x2mg
abdominalis Tab. Simvastatin 1x20mg
Tab. Amlodipine 1x5mg

12
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid atau tifus abdominalis (enteric (typhoid) fever) adalah penyakit sistemik
yang ditandai dengan demam dan sakit perut dan disebabkan oleh Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi.1

B. Epidemiologi
Di kebanyakan negara dimana penyakit ini telah dipelajari, rasio penyakit yang
disebabkan oleh S. typhi terhadap S. paratyphi sekitar 10:1. Demam tifoid tetap menjadi
masalah kesehatan global. Sulit untuk memperkirakan beban penyakit demam tifoid di dunia
karena gambaran klinisnya mirip seperti penyakit infeksi lainnya, dan penyakit ini diabaikan
karena kurangnya sumber daya laboratorium di sebagian besar wilayah di negara-negara
berkembang. Akibatnya, masih banyak kasus kurang terdiagnosis.2
Di dunia, kira-kira terdapat 27 juta kasus demam tifoid, dengan 200.000–600.000 orang
meninggal.1 Insiden demam tifoid tertinggi terjadi di wilayah Asia Tengah, Asia Selatan,
Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan (>100 kasus per 100.000 populasi per
tahun). Insiden demam tifoid yang tergolong sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per
tahun) berada di wilayah Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia
Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian
dunia lainnya.1,3
Di daerah endemik, demam tifoid lebih banyak terjadi pada anak-anak dan remaja yaitu
pada usia 3-19 tahun.2 Di Indonesia, demam tifoid bersifat endemik dan sporadik.1 Kejadian
demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu adanya anggota
keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk makan, dan tidak
tersedianya tempat buang air besar dalam rumah.3
Manusia adalah satu-satunya host dan reservoar agen penyebab demam tifoid. Infeksi
ditularkan melalui konsumsi makanan atau air yang tercemar feses1, maka dari itu penyakit
ini termasuk ke dalam kelompok penyakit food borne disease. Masa inkubasi biasanya 8-14
hari, namun bisa berkisar antara 3 hari sampai 2 bulan. Sekitar 2-5% orang yang terinfeksi
menjadi karier yang terdapat S. typhi di kantong empedu. Karier kronis sangat terlibat dalam
penyebaran penyakit ini. Banyak infeksi ringan dan atipikal terjadi dan kambuh. Pasien yang
terinfeksi HIV berisiko tinggi mengalami penyakit berat.2

13
C. Etiologi
Salmonella adalah bakteri Gram-negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan
merupakan bakteri anaerob fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat
menjadi nitrit. Bakteri ini berukuran 2-3 x 0,4-0,6 μm. S.typhi memiliki antigen H yang
terletak pada flagela, antigen O yang terletak pada badan, dan antigen Vi yang terletak pada
simpai/kapsul, serta komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel.1

Gambar 1.4 Salmonella typhi

D. Patogenesis
Masuknya S. typhi dan S. paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan
yang terkontaminasi bakteri. Sebagian bakteri dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos
masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik, maka bakteri akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M)
dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria bakteri berkembang biak dan difagosit
oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika.3
Selanjutnya melalui duktus torasikus bakteri yang terdapat pada makrofag ini masuk
ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini
bakteri meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan
bakterimia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.3
Di dalam hati, bakteri masuk ke dalam kantong empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian bakteri
dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus

14
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis bakteri Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator
inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti
demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental,
dan koagulasi.3
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding
usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.3

E. Penularan
Penyakit ini dapat ditularkan selama terdapat S. typhi pada feses orang yang terinfeksi,
biasanya seminggu pertama setelah pemulihan dari penyakit. Sekitar 10% kasus yang tidak
diobati akan terdapat S. typhi pada fesesnya selama 3 bulan dan antara 2-5% dari semua
kasus menjadi karier.2
Cara penularannya adalah dari orang ke orang, biasanya melalui fekal-oral. Air minum
yang tercemar feses adalah sarana penularan yang paling sering.1 S. typhi juga dapat
ditemukan dalam urin, muntahan, makanan dan air. Kerang yang tumbuh di air limbah yang
terkontaminasi adalah sarana potensial penularan, seperti juga sayuran. Lalat dapat secara
mekanis memindahkan organisme ke makanan, dimana bakteri kemudian berkembang biak
untuk mencapai dosis infektif.2
Ukuran inokulum dan jenis sarana di mana organisme tertelan sangat mempengaruhi
tingkat serangan dan masa inkubasi. Pada relawan yang mengkonsumsi 109 dan 108 S. typhi
patogen dalam 45 ml susu skim, menunjukkan gejala klinis masing-masing 98% dan 89%.
Dosis 105 menyebabkan demam tifoid pada 28% sampai 55% sukarelawan, sedangkan tidak
satu pun dari 14 orang yang mengonsumsi 103 organisme menyebabkan gejala klinis.2

F. Gambaran Klinis
Gambaran klinis demam tifoid bervariasi dari gejala ringan dengan demam yang tidak
terlalu tinggi, malaise dan batuk kering sampai gejala berat dengan rasa tidak nyaman di
perut, perubahan status mental dan banyak komplikasi. Diagnosis klinisnya sulit. Dengan

15
tidak adanya konfirmasi laboratorium, setiap kasus demam paling rendah 38°C selama 3 hari
atau lebih dianggap sebagai dugaan jika konteks epidemiologis sugestif.2
Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam
hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif (bradikardi realtif adalah peningkatan suhu 1◦C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali permenit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.3 Bergantung pada
pengaturan klinis dan kualitas perawatan medis yang ada, antara 5-10% penderita demam
tifoid dapat mengalami komplikasi serius, perdarahan intestinal atau peritonitis yang paling
sering karena perforasi usus.2
Tingkat keparahan dan akibat infeksi dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk; durasi
penyakit sebelum memulai pengobatan, pilihan antibiotik, usia, paparan sebelumnya atau
riwayat vaksinasi, virulensi strain bakteri, jumlah inokulum yang tertelan, faktor host
(misalnya AIDS atau penggunaan imunosupresan lainnya) dan apakah individu tersebut
menggunakan obat lain seperti H2 blocker atau antasid untuk mengurangi asam lambung.
Pasien yang terinfeksi HIV meningkatkan risiko terinfeksi S. typhi dan S. paratyphi.2

1. Demam Tifoid Akut tanpa Komplikasi


Demam tifoid akut ditandai dengan demam yang berkepanjangan, gangguan fungsi
usus (konstipasi pada orang dewasa, diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise dan
anoreksia. Batuk sering terjadi pada tahap awal penyakit. Selama periode demam, sampai
25% pasien menunjukkan ruam atau rose spot di dada, perut dan punggung.2

2. Demam Tifoid dengan Komplikasi


Demam tifoid akut dapat menjadi parah, hingga 10% pasien mengalami komplikasi
serius. Perforasi usus juga telah dilaporkan mencapai 3% kasus rawat inap. Perasaan tidak
enak di perut, gejala dan tanda perforasi usus dan peritonitis, adalah komplikasi lain.
Perubahan status mental pada pasien demam tifoid terkait dengan angka kematian yang
tinggi. Pasien tersebut umumnya mengalami delirium dan bisa mengalami koma.2

16
Komplikasi lain yang jarang dilaporkan meliputi: meningitis tifoid, encephalomyelitis,
Guillain-Barre syndrome, neuritis kranial atau perifer, dan gejala psikotik. Komplikasi serius
lainnya yang didokumentasikan dengan demam tifoid termasuk perdarahan (menyebabkan
kematian yang cepat pada beberapa pasien), hepatitis, miokarditis, pneumonia, koagulasi
intravaskular diseminata (KID), trombositopenia dan sindrom uremik hemolitik. Pada era
pra-antibiotik, yang memiliki gambaran klinis berbeda, jika pasien tidak meninggal dengan
peritonitis atau perdarahan usus, 15% kasus demam tifoid meninggal dengan demam dan
penyakit jangka panjang tanpa alasan yang jelas. Pasien mungkin juga mengalami
manifestasi saluran genitourinaria atau kambuh, dan / atau keadaan karier dapat terjadi.2

3. Demam Tifoid Karier


Satu hingga 15% pasien, tergantung pada usia, menjadi karier yang terdapat S. typhi di
kantong empedunya dan didiagnosis dengan cara menemukan kuman S. typhi pada feses.2

G. Analisis Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu: pemeriksaan darah perifer; pemeriksaan bakteriologis dengan
isolasi dan biakan kuman; uji serologis; dan pemeriksaan kuman secara molekuler.3

Pemeriksaan darah perifer


Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. Pemeriksaan SGOT dan
SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan
SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.1
Volume darah untuk kultur merupakan salah satu faktor terpenting dalam isolasi S.
typhi dari pasien demam tifoid. Volume darah yang harus diambil pada pasien anak-anak
sekolah dan orang dewasa adalah 10-15 ml untuk mencapai tingkat isolasi yang optimal; dan
2-4 ml dari balita dan anak prasekolah. Darah diambil menggunakan teknik vena pungsi steril
dan harus segera diinokulasi ke dalam tabung darah. Tabung darah kemudian dibawa ke
laboratorium pada suhu kamar (15°C-40°C). Tabung darah tidak boleh disimpan atau

17
diangkut pada suhu rendah. Jika suhu sekitar di bawah 15°C disarankan untuk mengangkut
tabung darah dalam inkubator.2

Pemeriksaan bakteriologis
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam
darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam
urine dan feses.3,5
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai
berikut:5
 Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah telah
mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil
mungkin negatif.
 Volume darah yang kurang, bila darah yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa
negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam
media cair empedu (oxgall) untuk pertumbuhan kuman.
 Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibodi dalam darah pasien.
Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah dapat negatif.
Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, dimana pada saat itu agglutinin
semakin meningkat.

Selain darah, feses juga dapat digunakan sebagai sampel untuk kultur S. typhi. Feses
dapat dikumpulkan dari pasien demam akut dan sangat bermanfaat untuk diagnosis kerier
tifoid. Isolasi S. typhi dari feses memberi kesan demam tifoid. Namun, kondisi klinis pasien
harus diperhatikan. Barang yang digunakan untuk mengambil spesimen feses untuk kultur
adalah kit enterik (botol dengan Media Cary-Blair (0.16% agar)). Jumlah spesimen yang
diambil berukuran marmer (sampel 3-10 gram). Spesimen feses harus dikumpulkan dalam
wadah plastik bermulut lebar steril. Kemungkinan mendapatkan hasil positif meningkat
sebanding dengan jumlah feses yang dikumpulkan. Spesimen sebaiknya diolah dalam dua
jam setelah pengumpulan. Jika ada penundaan, spesimen harus disimpan di lemari es pada
suhu 4°C atau dalam cool box dengan kemasan freezer, dan harus dikirim ke laboratorium

18
dengan cool box. Kultur feses dapat meningkatkan hasil positif sampai 5% pada demam
tifoid akut. Jika sampel feses tidak dapat diperoleh, swab rektal yang diinokulasi ke media
pembawa Carry Blair dapat digunakan namun kurang berhasil.2
Diagnosis definitif demam tifoid bergantung pada isolasi organisme S. typhi dari darah
atau sumsum tulang atau feses. Aspirasi sumsum tulang memberikan hasil yang tinggi tetapi
cara pengambilan sampelnya sangat menyakitkan.2 Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat
disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah
bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan
waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.5
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan
yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk
dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.5

Uji serologi
Serum untuk tujuan serologis, 1-3 ml darah harus diinokulasi ke dalam tabung tanpa
antikoagulan. Sampel kedua, jika mungkin, harus dikumpulkan pada tahap pemulihan,
setidaknya 5 hari kemudian. Setelah pembekuan terjadi serum harus dipisahkan dan disimpan
dalam aliquot 200 ml pada suhu 4°C. Pengujian bisa berlangsung segera atau penyimpanan
bisa berlanjut selama seminggu tanpa mempengaruhi titer antibodi. Serum harus dibekukan
pada suhu -20°C jika diperlukan penyimpanan jangka panjang.2

1. Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S. typhi. Pada Uji Widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut
aglutinin. Antigen yang digunakan pada Uji Widal adalah suspensi salmonella yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan Uji Widal adalah menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat infeksi oleh S. typhi, pasien membuat
antibodi (aglutinin) yaitu:3
 Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman)
 Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman)
 Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

19
Aglutinin O biasanya muncul pada hari ke 6-8 dan aglutinin H pada hari ke 10-12
setelah onset penyakit. Uji ini dilakukan pada keadaan akut, tetapi juga dilakukan pada masa
konvalesen untuk melihat perbaikan titrasi. Uji ini tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang terlalu tinggi (moderate). Uji ini dapat menunjukan hasil negatif mencapai 30%,
diakibatkan karena pemberian antibiotik sebelumnya yang telah menumpulkan respon
antibodi. Uji ini juga dapat memperlihatkan hasil positif palsu, di mana terdapat bakteri
Enterobacteriacae lain yang terdeteksi. Hasil Uji Widal menunjukan positif jika terdapat
peningkatan titer antibodi 4 kali lipat. Walaupun uji ini tidak terlalu baik, Uji Widal masih
berguna terutama pada area yang tidak menunjang uji diagnostik yang lebih mahal.2
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis
demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar kemungkinan menderita demam tifoid.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi
selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti
dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah
4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji
widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.2,3
Faktor-faktor yang mempengaruhi Uji Widal, yaitu:3
 Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
 Gangguan pembentukan antibodi saat pengambilan darah.
 Daerah endemik atau non-endemik.
 Riwayat vaksinasi.
 Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demamtifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
 Faktor teknik, akibat aglutinasi silang, strain salmonella yang digunakan untuk suspensi
antigen

2. Tes TUBEX®
Tes TUBEX® merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (kurang lebih 2
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Tes ini mendeteksi antibodi anti-S typhi O9 pada serum
pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel
latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S .typhi yang terkonjugasi pada partikel
magnetik latex. Hasil positif Tes TUBEX® ini menunjukan terdapat infeksi Salmonellae

20
serogroup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S. typhi. Infeksi oleh S.paratyphi
akan memberikan hasil negatif.2,3
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat merangsang
respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan
dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga
deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi
primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa Tes TUBEX® hanya
dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan
sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau. 2,3,6
Interpretasi hasil Tes TUBEX®:
 <2 : negatif  tidak menunjuk infeksi tifoid aktif
 3 : borderline  pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila
masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian.
 4-5 : positif  menunjukan infeksi tifoid aktif
 >6 : positif  indikasi kuat infeksi tifoid.

3. Dot Enzyme Immunoassay (Uji Typhidot)


Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG
terhadap antigen OMP (outer membrane protein) S. typhi. Keutungan dari tes ini adalah
mudah, cepat, ekonomis, diagnosis cepat, spesifisitas yang mencapai 75%, dan sensitivitas
yang mencapai 95%. Hasil positif pada Uji Typhidot didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan
dapat mengidentifikasi secara spesifik antibodi IgM dan IgG terhadap antigen S. typhi seberat
50kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal
infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan
demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Hasil positif IgG juga mungkin terjadi pada
kasus reinfeksi. Pada daerah endemis dimana tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan
terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik. Karena IgG spesifik dapat bertahan dalam tubuh
lebih dari 2 tahun setelah infeksi tifoid, deteksi IgG spesifik tidak dapat membedakan antara
kasus akut, konvalesen, ataupun reinfeksi pada kasus infeksi primer. Untuk meningkatkan
akurasi diagnostik, metode Typhidot® dimodifikasi menjadi metode Typhidot-M® , yaitu
inaktivasi dari IgG sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan
pengikatan antigen terhadap IgM spesifik. Sensitivitas Typhidot-M® dapat mencapai
100%.2,3,6

21
Typhidot-M® merupakan uji laboratorium yang lebih superior dibanding dengan metode
kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan baku emas, kultur tidak dapat disetarakan
kemampuannya dengan Typhidot-M® terutama dalam hal sensitivitasnya (>93%). Dikatakan
bahwa Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur
untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat. 2,3,6

4. Uji Dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
S.typhi pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang mengandung
antigen lipopolisakarida (LPS) S.typhoid dan anti IgM (sebagai kontrol). Pemeriksaan ini
menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan
dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
Pemeriksaan ini juga sangat dipengaruhi hasilnya oleh penggunaan antibiotik. Dilaporkan uji
ini senstivitasnya sebesar 65-77% dan spesifisitasnya sebesar 95%-100%. Pemeriksaan ini
mudah dan cepat (dalam 1 hari) dilakukan tanpa peralatan khusus apapun, namun akurasi
hasil didapatkan bila pemeriksaan dilakukan 1 minggu setelah timbulnya gejala.3

H. Penatalaksanaan
Sampai saat ini trilogi penatalaksanaan demam tifoid, adalah: 3
 Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan.
 Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
 Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran bakteri.

Istirahat dan perawatan


Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah
baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buang air
kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam
perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang
dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik
serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.3

22
Diet dan terapi penunjang
Terapi suportif merupakan manajemen terapi yang penting pada kasus demam tifoid, seperti
hidrasi intravena, penggunaan antipiretik, nutrisi yang sesuai, dan transfusi darah jika
diperlukan. Lebih dari 90% pasien dapat melakukan terapi rawat jalan sendiri dengan
antibiotika oral dan melakukan follow-up rutin untuk mencegah komplikasi ataupun
mencegah kegagalan terapi. Pasien dengan muntah persisten, diare berat, dan distensi
abdomen membutuhkan perawatan rawat inap dan antibiotika parenteral. 2
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid,
karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya keadaan umumdan gizi
penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.3

Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang dapat digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai
berikut:3
1. Kloramfenikol
Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk mengobati demam
tifoid. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau
intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak
di anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri.
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,
akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastic lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg,
demam rata-rata menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6.
3. Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetoprin) diberikan selama 2 minggu.
4. Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-150 mg/KgBB dan digunakan selama 2
minggu.
5. Sefalosporin generasi ketiga

23
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke-3 yang tebukti efektif untuk demam
tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
6. Golongan fluorokuinolon
 Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang hari ke 4. Hasil
penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan
fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang
dikembangkan kemudian.
7. Azitromisin
Dosis 2 x 500 mg menunjukkan bahwa penggunaan obat ini jika dibandingkan dengan
fluorokuinolon, azitromisin secara signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi
rawat inap. Jika dibandingan dengan seftriakson, penggunaan azitromisin dapat
mengurangi angka relaps. Azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam jaringan
yang tinggi walaupun konsentrasi dalam darah cendrung rendah. Antibiotik akan
terkonsentrasi di dalam sel, sehingga antibiotik ini menjadi ideal untuk digunakan dalam
pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman intraseluler. Keuntungan lain
adalah azitromisin tersedia dalam bentuk sediaan oral, maupun suntikan intravena.

Kombinasi obat antimikroba


Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara
lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana pernah terbukti ditemukan 2
macam organisme dalam kultur darah selain bakteri salmonella.3

Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.3

24
Khusus pengobatan demam tifoid pada ibu hamil, kloramfenikol tidak dianjurkan pada
trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus
intrauterine, dan grey syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada
trimester pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada
manusia belum dapat disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut tiamfenikol dapat digunakan.
Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan seftriakson. 3

I. Komplikasi Demam Tifoid


Sebagai suatu penyakit sistemik, maka hamper semua organ tubuh dapat diserang dan
berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada
demam tifoid yaitu komplikasi intestinal dan ekstra-intestinal.3

Komplikasi intestinal
 Perdarahan intestinal
Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk
tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus
lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak
menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka perdarahan
juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak
membutuhkan transfuse darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga pasien mengalami
syok.3

 Perforasi usus
Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu
ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid
yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perorasi mengeluh nyeri perut yang
hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut
dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak
hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda
perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. 3

25
Bila pada gambaran foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga
peritoneum, maka hal ini merupakan nilai yang cukup untuk menentukan terdapatnya
perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa factor yang dapat meningkatkan kejadian
perforasi adalah umur, lama pengobatan, modalitas pengobatan, bertanya penyakit, dam
mobilitas penderita.3
Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi
tetapi juga untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerobik pada flora usus.
Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfenikol dan ampisilin
intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan gentamisin/metronidazol. Cairan harus
diberikan dalam jumlah yang cukup serta penderita dipuasakan dan dipasang nasogastric
tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan
intestinal.3

 Ileus paralitik
 Pankreatitis

Komplikasi ekstra-intestinal
 Komplikasi hematologi
Komplikasi hemotologik berupa trombositopenia, hipofibrino-genemia, peningkatan
prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation
products sampak koagulasi intravascular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan
pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena
menurunnya produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan.3
Penyebab KID pada demam tifoid belum jelasa. Hal-hal yang sering ditemukan adalah
endotoksin mengakitfkan beberapa sistem biologic, koagulasi, dan fibrinolysis. Pelepasan
kinin, prostaglandin, dan histamine menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan endotel
pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi, baik
KID kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan
transfuse darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktor koagulasi bahkan heparin.3

 Hepatitis tifosa

26
Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50% kasus dengan demam
tidoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. Untuk membedakan
apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan
kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid
kenaikan enzim transaminase tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk
membedakan dengan hepatitis oleh karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien
dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi
hepatoensefalopati dapat terjadi.3

 Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam tifoid. Pankreatitis sendiri dapat
disebabkan oleh mediator pro inflamasi, virus, bakteri, cacing, maupun zat-zat farmakologik.
Pemeriksaan enzim amilase dan lipase serta USG / CT-scan dapat membantu diagnosis
penyakit ini.

 Miokarditis
Miokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan kelainan
elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan miokarditis biasanya
tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluhan sakit dada, gagal jantung kongestif,
aritmia atau syok kardiogenik. Sedangkan perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan
elektrokardiografi yang menetap disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan
ini disebabkan kerusakan miokardium oleh kuman S.typhi dan miokarditis sering sebagai
penyebab kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut, dan
fulminant.3

 Tifoid Toksik/Manifestasi Neuropsikiatrik


Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma,
atau koma, Parkinson rigidity/transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus
generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis,
meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis.3
Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau
penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor, atau koma)
dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dalam pemeriksaan cairan otak masih

27
dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti disebut sebagai tifoid
toksik/demam tifoid berat/demam tifoid ensefalopati, demam tifoid dengan toksemia.3

J. Tifoid Karier
Definsi tifoid karier adalah seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S.
typhi setelah satu tahun pasca-demam tifoid, tanpa disertai gejala klinis. Kasus tifoid dengan
kuman S. typhi masih dapat ditemukan di feses atau urin selama 2-3 bulan disebut karier
pasca penyembuhan.3
Kasus tifoid karier merupakan faktor risiko terjadinya outbreak demam tifoid. Angka
kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar 1.000/100.000 populasi per tahun dan sekitar 3%
menjadi kasus karier. Di antara demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20% di antaranya
masih ditemukan kuman S. typhi setelah 2 bulan dan 10% masih ditemukan pada bulan ke-3
serta 3% masih ditemukan setelah satu tahun.3
Diagnosis tifoid karier ditegakkan atas dasar ditemukannya kuman Salmonella typhi
pada biakan feses atau pun urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang
setelah 1 tahun pasca-demam tifoid. Dinyatakan bukan tifoid karier bila setelah dilakukan
biakan secara acak serial minimal 6 kali pemeriksaan tidak ditemukan kuman S. typhi. Sarana
lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi, dilaporkan bahwa
sensitivitas 75% dan spesifisitas 92% bila ditemukan kadar titer antibodi Vi sebesar 160.3
Penatalaksaan tifoid karier dibedakan berdasarkan ada tidaknya penyulit seperti batu
empedu dan sikatrik kronik pada saluran empedu.3

Tabel 1. Pemberian Antibiotik pada Demam Tifoid Karier


Tanpa Disertai Kasus Kolelitiasis
Pilihan regimen terapi selama 3 bulan
1. Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
2. Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari
3. Trimetropin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari
Disertai Kasus Kolelitiasis
Kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80%
atau kolesistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini
1. Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari
2. Norfloksasin 400 mg/2 kali/hari

28
Disertai Infeksi Schistosoma haematobium pada Traktus Urinarius
Pengobatan pada kasus ini harus dilakukan eradikasi S. haematobium
1. Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
2. Metrifonat 7,5 10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3 dosis, interval 2
minggu. Setelah eradikasi S. haematobium tersebut baru diberikan
regimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas.

K. Pengendalian Demam Tifoid


1) Edukasi
Mendidik anggota masyarakat, terutama yang paling rentan termasuk juru masak;
lembaga tertutup seperti asrama, panti jompo, panti asuhan dan penjara. Mereka didorong
untuk melakukan hal berikut:2
 Berlatih mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum menyiapkan makanan
dan makan, setelah menggunakan toilet, mengganti popok kotor, sprei, dll, dan menjaga
standar kebersihan pribadi yang tinggi secara umum.
 Pertahankan standar kebersihan yang ketat dalam persiapan makanan dan penanganan
makanan, terutama salad dan makanan ringan lainnya.
 Pastikan untuk benar mendinginkan makanan jika memungkinkan.
 Laporkan semua kematian akibat penyakit diare kepada petugas kesehatan.

Pesan pendidikan kesehatan untuk masyarakat:2


 Konsumsilah makanan yang telah dimasak dengan matang dan masih panas.
 Pastikan makanan yang dimasak ditutup untuk melindunginya dari lalat.
 Hindari sayuran mentah dan buah yang tidak bisa dikupas. Sayuran seperti selada dengan
mudah terkontaminasi dan sangat sulit dicuci dengan baik.
 Bila Anda mengonsumsi sayuran mentah atau buah yang bisa dikupas, kupas sendiri
(cuci tanganmu dengan sabun dulu). Jangan makan kulitnya.
 Hindari makanan dan minuman dari pedagang kaki lima karena kebersihannya tidak
terjamin.
 Masak semua air minum sampai mendidih selama 1 menit atau menggunakan Aqua-
tablettes/jik atau produk pengolahan air rumah tangga lainnya sebelum Anda
meminumnya.
 Minum minuman tanpa es kecuali es dibuat dari air yang direbus atau diberi klorin.

29
 Hindari es berasa dan jus rasa karena mungkin itu dibuat dengan air yang terkontaminasi

2) Pencegahan
Transmisi penularan kuman tifoid adalah melalui minuman atau makanan yang telah
terkontaminasi oleh Salmonella typhi. Prinsipnya pencegahan adalah safe water dan food
safety. Edukasi kesehatan juga dapat meningkatkan kepekaan masyarakat untuk mengubah
sikap berperilaku bersih. Sanitasi yang baik juga menurunkan resiko transmisi bakteri.2
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid:3
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien asimptomatik, karier atupun akut.
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S. typhi akut maupun karier
yang dapat dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan lingkungan sekitar orang
yang telah diketahui pengidap kuman S. Typhi
3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi terinfeksi dengan cara vaksinasi.

L. Vaksinasi
Vaksinasi tidak dianjurkan secara rutin kecuali untuk pelancong ke daerah di mana
penyakit tifoid bersifat endemik. Indikasi vaksinasi adalah untuk anak usia sekolah di daerah
endemik, personil militer, petugas rumah sakit, laboratorium kesehatan, industry
makanan/minuman, pengunjung ke daerah endemik tifoid.3
Dua vaksin tersedia saat ini adalah Ty21a (vaksin oral) dan ViCPS (vaksin
parenteral/intra muskular). Baik vaksin Ty21a maupun vaksin ViCPS (polisakarida)
dilisensikan untuk anak di bawah usia 2 tahun. Vaksin Ty21a tidak boleh digunakan pada
pasien yang menerima antimikroba.2,3
Vaksin oral: Ty2la (vivotif Berna), belum beredar di Indonesia. Ty2la tersedia dalam
kapsul salut enterik atau formulasi cairan. Vaksin ini diberikan dalam 3 dosis berjarak
masing-masing 2 hari pada keadaan perut kosong. Vaksin ini dapat memberikan
perlindungan 10-14 hari setelah pemberian dosis ke 3 (diambil dalam bentuk kapsul atau cair
setiap hari) cakupan berlangsung selama 3 tahun.2,3
Vaksin parenteral: ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Merieux), vaksin kapsul polisakarida.
Diberikan single dose secara subkutan atau intramuskular. Untuk vaksin parenteral dosis
tunggal, khasiatnya mencapai 14-20 hari setelah injeksi dan liputan berlangsung selama
sekitar 3 tahun.2,3
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran alergi atau
reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila

30
diberikan bersamaan dengan obat antimalarial dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian
obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan
obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.2,3
Efek samping vaksin oral Ty21a: demam dan sakit kepala. Pada vaksin parenteral
ViCPS: demam, malaise, sakit kepala, rush, nyeri local. Efek samping terbesar pada
parenteral adalah heatphenol inactivated, yaitu demam, nyeri kepala, dan reaksi lokal nyeri
dan edema bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok.2,3
Vaksinasi massal mungkin merupakan tambahan untuk mengendalikan demam tifoid
selama epidemi dengan tingkat kejadian tinggi dan berkelanjutan, di tempat-tempat
pengungsian terutama ketika akses ke layanan medis yang berfungsi baik tidak
memungkinkan atau dalam kasus multidrug-resisten. Jika komunitas yang terlibat tidak dapat
sepenuhnya divaksinasi, anak usia 2-19 tahun harus diprioritaskan. Imunisasi tifoid tidak
100% efektif, dan demam tifoid masih bisa terjadi.2,3

M. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi bakteri serta cepat dan tepatnya pengobatan.2

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Kasper DL, Hauser SL, Lameson JL, Fauci AS, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. 19th edition. McGraw Hill Education; 2015. p.1049-54.
2. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. WHO. July, 2011. p.1-39.
3. Setiyohadi B, Sudoyo AW, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi 6. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h 549-58
4. Carson-DeWitt R, Frey RJ. The Gale Encyclopedia of Medicine. Vol. 5.
3rd ed. Detroit: Gale, 2006. p3824-3827.
5. Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid III.
2006. Jakarta: IPD FKUI.
6. Begum Zohra, et al. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early Diagnosis of Typhoid Fever.
Bangladesh J Med Microbiol 2009; 03 (01): 10-3.

32

Anda mungkin juga menyukai