TERAPI OKSIGEN
Disusun oleh :
Hariani
11.2017.229
Pembimbing :
TINJAUAN PUSTAKA
Terapi Oksigen
Definisi
Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui
saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan.
Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari
yang ditemukan dalam atmosfir lingkungan. Pada ketinggian air laut konsentrasi oksigen
dalam ruangan adalah 21 %. Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk meningkatkan
tekanan parsial oksigen pada inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara:
Tujuan
Fisiologi
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke dalam
jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat dibagi menjadi tiga
stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam
dan ke luar paru. Stadium kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek
Difusi gas-gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah
sistemik dan sel-sel jaringan
Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan penyesuaiannya dengan distribusi
udara dalam alveolus-alveolus
Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau respirasi
interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat dioksidasi untuk
mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan
dikeluarkan oleh paru.
Ventilasi
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Rangka toraks berfungsi
sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma
turun dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus
mengangkat sternum keatas dan otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus
mengangkat iga-iga.
Toraks membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical. Peningkatan
volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura, dari sekitar 4 mmHg (relative
terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar 8 mmHg bila paru mengembang pada
waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan intrapulmonal atau tekanan jalan nafas
menurun sampai sekitar 2 mmHg dari 0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih
tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru
sampai tekanan jalan nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.
Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat elastisitas
dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus relaksasi, rangka iga turun
dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga toraks, menyebabkan volume
toraks berkurang. Otot interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam
pada waktu ekspirasi kuat dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot
abdomen dapat berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan
diafragma ke atas.
Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun
tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang meningkat dan mencapai 1
sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan antara jalan nafas dan
atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru sampai tekanan
jalan nafas dan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan
intrapleura selalu berada dibawah tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.
Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan ventilasi yang
efektif :
Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang terkumpul
selama ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung dengan mengalikan
nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam keadaan istirahat, VE orang dewasa
sekitar 6 atau 7 liter/ menit.
Frekuensi pernafasan (f) atau ‘kecepatan; adalah jumlah nafas yang dilakukan per
menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa sekitar 10-20 kali per menit.
Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada
setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh meningkat pada waktu
melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas dalam.
Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak tertukar
dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi yang terbuang sia-sia.
Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati anatomis (volume udara dalam saluran
nafas penghantar, yaitu sekitar 1 ml per pon berat badan), ruang mati alveolar
(alveolus mengalami ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi
melampaui perfusi. Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan
bagian dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio
tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat. Perbandingan ini
seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien yang mendapatkan ventilasi
mekanik.
Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam alveolus
setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru. Ini merupakan
ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.
VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan VE atau
VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara yang terbuang dalam
ventilasi VD.
Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik (distensibilitas) yang
dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai perubahan volume per unit
perubahan dalam tekanan dalam keadaan statis. Komplians total (daya kembang
paru dan toraks) atau komplians paru saja dapat ditentukan. Komplians paru normal
dan komplians rangka toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O
sedangkan komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.
Transportasi – Difusi
Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi
membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 µm). Kekuatan
pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase
gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada permukaan laut sekitar 159 mmHg
(21% dari 760 mmHg). Namun, pada waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini
akan mengalami penurunan sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan
dilembabkan oleh jalan nafas (760-47 x 0,21 = 149).
Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah 47 mmHg. Tekanan parsial
O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103 mmHg pada saat mencapai alveoli
karena tercampur dengan udara dalam ruang mati anatomik pada saluran jalan nafas.
Ruang mati anatomik ini dalam keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara
per pound berat badan ideal. Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang
merupakan ventilasi efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di
kapiler paru kira-kira sebesar 40 mmHg.
PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg)
sehingga O2 mudah berdifusi ke dalam aliran darah. Perbedaan tekanan antara darah (46
mmHg) dan PaCO2 (40 mmHg) yang lebih rendah 6 mmHg menyebabkan
CO2 berdifusi ke dalam alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, yang
konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil
namun tetap memadai, karena dapat berdifusi melintasi membran alveolus kapiler kira-
kira 20 kali lebih cepat dibandingkan O2 karena daya larutnya yang lebih besar.
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara O2 di
kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari total waktu kontak
selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru normal memiliki cukup
cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit (misalnya, fibrosis paru), sawar darah
dan udara dapat menebal dan difusi dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin
tidak lengkap, terutama sewaktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi,
blok difusi dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai
faktor utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan difusi.
Indikasi
a. Pasien hipoksia
Hipoksia hipoksik merupakan masalah pada individu normal pada daerah ketinggian
serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai penyakit sistim pernafasan
lainnya.
Gejala dan tanda hipoksia hipoksik :
1. Pengaruh penurunan tekanan barometer
Penurunan PCO2 darah arteri yang terjadi akan menimbulkan alkalosis
respiratorik.
2. Gejala hipoksia saat bernafas oksigen
Di ketinggian 19.200 m, tekanan barometer adalah 47 mmHg, dan pada atau lebih
rendah dari tekanan ini cairan tubuh akan mendidih pada suhu tubuh. Setiap orang
yang terpajan pada tekanan yang rendah akan lebih dahulu meninggal saat
hipoksia, sebelum gelembung uap air panas dari dalam tubuh menimbulkan
kematian.
3. Gejala hipoksia saat bernafas udara biasa
Gejala mental seperti irritabilitas, muncul pada ketinggian sekitar 3700 m. Pada
ketinggian 5500 m, gejala hipoksia berat, dan diatas 6100 m, umumnya seseorang
hilang kesadaran.
4. Efek lambat akibat ketinggian
Keadaan ini ditandai denga sakit kepala, iritabilitas, insomnia, sesak nafas, serta
mual muntah.
5. Aklimatisasi
Respon awal pernafasan terhadap ketinggian relatif ringan, karena alkalosis
cenderung melawan efek perangsangan oleh hipoksia. Timbulnya asidosis laktat
dalam otak akan menyebabkan penurunan pH LCS dan meningkatkan respon
terhadap hipoksia.
Penyakit yang menyebabkan Hipoksia Hipoksik
o Penyakit penyebabnya secara kasar dibagi atas penyakit dengan kegagalan
organ pertukaran gas, penyakit seperti kelainan jantung kongenital dengan
sebagian besar darah dipindah dari sirkulasi vena kesisi arterial, serta penyakit
dengan kegagalan pompa pernafasan. Kegagalan paru terjadi bila keadaan
seperti fibrosis pulmonal menyebabkan blok alveoli – kapiler atau terjadi
ketidak seimbangan ventilasi – perfusi. Kegagalan pompa dapat disebabkan
oleh kelelahan otot-otot pernafasan pada keadaan dengan peningkatan beban
kerja pernafasan atau oleh berbagai gangguan mekanik seperti pneumothoraks
atau obstruksi bronchial yang membatasi ventilasi. Kegagalan dapat pula
disebabkan oleh abnormalitas pada mekanisme persarafan yang
mengendalikan ventilasi, seperti depresi neuron respirasi di medula oblongata
oleh morfin dan obat-obatlain.
Hipoksia Anemik
o Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat, karena terdapat
peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah, kecuali apabila
defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian, penderita anemia
mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu melakukan latihan fisik
karena adanya keterbatasan kemampuan meningkatkan pengangkutan O2
kejaringan aktif.
Hipoksia Stagnan
o Hipoksia akibat sirkulasi lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal
dan jantung saat terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami
kerusakan akibat hipoksia stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan
normal, aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi
jangka waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun, syok
paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama didaerah
paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.
Hipoksia Sitotoksik
o Hipoksia yang disebabkan oleh hambatan proses oksidasi jaringan paling
sering diakibatkan oleh keracunan sianida. Sianida menghambat sitokrom
oksidasi serta mungkin beberapa enzim lainnya. Biru metilen atau nitrit
digunakan untuk mengobati keracunan sianida. Zat-zat tersebut bekerja
dengan sianida, menghasilkan sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik.
Kemampuan pengobatan menggunakan senyawa ini tentu saja terbatas pada
jumlah methemoglobin yang dapat dibentuk dengan aman. Pemberian terapi
oksigen hiperbarik mungkin juga bermanfaat.
b. Oksigenasi kurang sedangkan paru normal
c. Oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal
d. Oksienasi cukup, paru normal, sedangkan sirkulasi tidak normal.
e. Pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi tinggi.
f. Pasien dengan tekanan partial karbondioksida (PaCO2) rendah.
Contoh :
- Sianosis - Hipovolemi
- Hipovolemi - Asidosis
- Perdarahan - Selama dan sesudah pembedahan
- Anemia berat - Klien dengan keadaan tidak sadar
Pasien dengan keadaan klinik tidak stabil yang mendapat terapi oksigen perlu
dievaluasi gas darah (AGD) serta terapi untuk menentukan perlu tidaknya terapi
oksigen jangka panjang.
Kontra Indikasi
a. Kanul nasal/ kateter binasal/ nasal prong : jika ada obstruksi nasal.
b. Kateter nasofaringeal/ kateter nasal : jika ada fraktur dasar tengkorak kepala, trauma
maksilofasial, dan obstruksi nasal.
c. Sungkup muka dengan kantong rebreathing : pada pasien dengan PaCO2 tinggi, akan
lebih meningkatkan kadar. PaCO2 nya lagi.
a. Kateter nasal
b. Kanul nasal/binasal/nasal prong
c. Sungkup muka sederhana.
d. Sungkup muka rebreathing degan kantong oksigen.
e. Sungkup muka non rebreathing dengan kantong oksigen.
f. Sungkup muka Venturi
g. Jelly
h. Plester
i. Gunting
j. Sumber oksigen
k. Humidifier
l. Flow meter
m. Aqua steril
n. Selang oksigen
o. Tanda dilarang merokok
Syarat pemberian oksigen
Meliputi :
Protokol Prosedur
Tahap kerja :
Cara Pemasangan :
a) Letakkan ujung kanul ke dalam lubang hidung dan atur lubang kanul
yangelastis sampai kanul benar-benar pas menempati hidung dan nyaman
bagiklien. (Membuat aliran oksigen langsung masuk ke dalam saluran
nafas bagian atas. Klien akan tetap menjaga kanul pada tempatnya apabila
kanul tersebut pas kenyamanannya).
b) Hubungkan kanul ke sumber oksigen dan atur kecepatan aliran sesuai
yang diprogramkan (1–6 L/mnt.) (Mencegah kekeringan pada membran
mukosa nasal dan membran mukosa oral serta sekresi jalan nafas).
c) Pertahankan selang oksigen cukup kendur dan sambungkan ke pakaian
pasien (Memungkinkan pasien untuk menengokkan kepala tanpa kanul
tercabut dan mengurangi tekanan ujung kanul pada hidung).
d) Periksa letak ujung kanul tiap 8 jam dan pertahankan humidifier terisi
aquasteril setiap waktu. (Memastikan kepatenan kanul dan aliran
oksigen,mencegah inhalasi oksigen tanpa dilembabkan).
e) Observasi hidung, pengeringan mukosa hidung, nyeri sinus,epistaksis dan
permukaan superior kedua telinga klien untuk melihat adanya kerusakan
kulit. (terapi oksigen menyebabkan mukosa nasal mengering, nyeri sinus
dan epistaksis. Tekanan pada telinga akibat selang kanul atau selang
elastis menyebabkan iritasi kulit).
f) Inspeksi klien untuk melihat apakah gejala yang berhubungan dengan
hipoksia telah hilang (Mengindikasikan telah ditangani atau telah
berkurangnya hipoksia)
III. Sungkup Muka Sederhana
Digunakan untuk konsentrasi oksigen rendah sampai sedang. Merupakan alat
pemberian oksigen jangka pendek, kontinyu atau selang seling. Aliran 5 – 8 liter/mnt
dengan konsentrasi oksigen 40 – 60%. Masker ini kontra indikasi pada pasien dengan
retensi karbondioksida karena akan memperburuk retensi. Aliran O2 tidak boleh
kurang dari 5 liter/menit untuk mendorong CO2 keluar dari masker.
FiO estimation :
Flows FiO2
l) 5 – 6 liter/min : 40%
m) 6 – 7 liter/min : 50%
n) 7 – 8 liter/min : 60%
a) Keuntungan
Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, sistem
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlubang besar, dapat
digunakan dalam pemberian terapi aerosol.
b) Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari 40%, dapat menyebabkan
penumpukan CO2 jika aliran rendah. Menyekap, tidak memungkinkan untuk makan
dan batuk. Bisa terjadi aspirasi bila pasien muntah. Perlu pengikat wajah, dan apabila
terlalu ketat menekan kulit dapat menyebabkan rasa pobia ruang tertutup, pita elastik
yang dapat disesuaikan tersedia untuk menjamin keamanan dan kenyamanan.
Cara Pemasaangan
1. Membebaskan jalan nafas dengan menghisap sekresi bila perlu
(syaratterapi oksigen adalah jalan nafas harus bebas, jalan nafas yang
bebasmenjamin aliran oksigen lancar).
2. Atur posisi pasien (meningkatkan kenyamanan dan memudahkan
pemasangan).
3. Membuka regulator untuk menentukan tekanan oksigen sesuai
dengankebutuhan 5-8 liter/menit (Mencegah kekeringan pada
membran mukosanasal dan membran mukosa oral serta sekresi jalan
nafas, menjaminketepatan dosis, dan mencegah penumpukan CO2).
4. Atur tali pengikat sungkup menutup rapat dan nyaman jika perlu
dengankain kasa pada daerah yang tertekan (mencegah kebocoran
sungkup,mencegah iritasi kulit akibat tekanan).
5. Memasang kapas kering pada daerah yang tertekan sungkup dan tali
pengikat untuk mencegah iritasi kulit.
Caranya :
Caranya :
Keamanan
Untuk pasien :
Salah satu resiko terapi oksigen adalah keracunan oksigen. Hal ini dapat terjadi bila
oksigen diberikan dengan fraksi lebih dari 50% terus-menerus selama 1-2hari. Kerusakan
jaringan paru terjadi akibat terbentuknya metabolik oksigen yang merangsang sel PMN dan
H2O2 melepaskan enzim proteolotik dan enzim lisosom yang dapat merusak alveoli.
Sedangkan resiko yang lain seperti retensi gas karbondioksida dan atelektasis.
Oksigen 100% menimbulkan efek toksik, tidak saja pada hewan, namun juga pada
bakteri, jamur, biakan sel hewam dan tanaman. Apabila O2 80-100% diberikan kepada
manusia selama 8 jam atau lebih, saluran pernafasan akan teriritasi, menimbulkan distres
substernal, kongesti hidung, nyeri tenggorokan dan batuk. Pemajanan selama 24-48 jam
mengakibatkan kerusakan jaringan paru.
Sejumlah bayi dengan sindroma gawat nafas yang diterapi dengan O2, selanjutnya
mengalami gangguan menahun yang ditandai dengan kista dan pemadatan jaringan paru
(displasia bronkopulmonal). Komplikasi lain pada bayi-bayi iniadalah retinopti prematuritas
(fibroplkasia retrolental), yaitu pembentukan jaringan vaskuler opak pada matayang dapat
mengakibatkan kelainan penglihatan berat. Pemberian O2 100% pada tekanan yang lebih
tinggi berakibat tidak hanya iritasi trakeobronkial, tetapi juga kedutan otot, bunyi berdering
dalam telinga, rasa pening, kejang dan koma. Pajanan terhadap O2 tekanan tinggi (oksigenasi
hiperbarik) dapat menghasilkan peningkatan jumlah O2 terlarut dalam darah. Oksigen bukan
zat pembakar tetapi dapat memudahkan terjadinya kebakaran, oleh karena itu klein dengan
terapi pemberian oksigen harus menghindari : Merokok, membuka alat listrik dalam area
sumber oksigen, menghindari penggunaan listrik tanpa “Ground”.
BAB III
KESIMPULAN
Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru melalui
saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan. Tujuan terapi oksigen ini
adalah untuk meningkatkan konsentrasi O2 pada darah arteri sehingga masuk ke jaringan
untuk memfasilitasi metabolisme aerob, mempertahankan PaO2 > 60 mmHg atau SaO2 > 90
%. Indikasi terapi oksigen ini adalah untuk pasien hipoksia, oksigenasi kurang sedangkan
paru normal, oksigenasi cukup sedangkan paru tidak normal, oksigenasi cukup, paru normal,
sedangkan sirkulasi tidak normal, pasien yang membutuhkan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi, pasien dengan tekanan partial karbondioksida ( PaCO2 ) rendah. Kontra indikasi
pemakaian terapi oksigen ini adalah pemakaian kanul nasal/kateter binasal/nasal prong : jika
ada obstruksi nasal, pemakaian kateter nasofaringeal / kateter nasal : jika ada fraktur dasar
tengkorak kepala, trauma maksilofasial, dan obstruksi nasal, pemakaian sungkup muka
dengan kantongrebreathing : pada pasien dengan PaCO2 tinggi, akan lebih meningkatkan
kadar PaCO2 nya lagi. Komplikasi pemakaian terapi oksigen yang terlalu lama dapat
mengakibatkan keracunan oksigen, kerusakan jaringan paru terjadi akibat terbentuknya
metabolik oksigen yang merangsang sel PMN dan H2O2 melepaskan enzim proteolotik dan
enzim lisosom yang dapat merusak alveoli. Sedangkan resiko yang lain seperti retensi gas
karbondioksida dan atelektasis. Apabila O2 80-100% diberikan kepada manusia selama 8 jam
atau lebih, saluran pernafasan akan teriritasi, menimbulkan distres substernal, kongesti
hidung, nyeri tenggorokan dan batuk. Pemajanan selama 24-48 jam mengakibatkan
kerusakan jaringan paru. Pemberian O2 100% pada tekanan yang lebih tinggi berakibat tidak
hanya iritasi trakeobronkial, tetapi juga kedutan otot, bunyi berdering dalam telinga, rasa
pening, kejang dan koma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Astowo. Pudjo. 2005. Terapi oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta.
2. Ikawati, Z. 2009. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Pernapasan. PDF. Rohsiswatmo,R.
2010. Terapi Oksigen Pada Neonatus. Divisi Perinatologi Ilmu KesehatanAnak FKUI
- RSCMk FKUI – RSCM. Jakarta.
3. Rogayah, R. 2009. The Principle Of Oxigen Therapy. Departemen Pulmonologi Dan
Respiratori FK UI. Jakarta.
4. Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Medikal Bedah. Edisi bahasa Indonesia,vol. 8.
EGC. Jakarta.
5. Astowo. Pudjo. Terapi oksigen: Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi dan
Kedokteran Respirasi. FKUI. Jakarta. 2005
6. Ganong, F. William. 2003. Fisiologi Kedokteran Edisi 20. EGC. Jakarta.
7. Latief, A. Said. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi danTerapi
Intesif. Jakarta.
8. Anonymous, “Stress and Health Solution”, diakses dari www.MedDzik.org pada
tanggal 27 September 2018.
9. Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9,
Jakarta: EGC. Latief, A. Said, 2002, “Petunjuk Praktis Anestesiologi”, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
10. Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2006, “Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.