Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Glaukoma Akut di RS Mata YAP Periode


September 2017

Disusun Oleh:

Abednego Tri Novrianto 11.2016.331


Ngakan Made Ari Mahardika 11.2016.326
Shanodolf 11.2016.045
Astrid Odilia 11.2016.093
Evita Jodjana 11.2016.300
Lidya Marlien Kondobua 11.2016.235
Jessica Tiffani Novaria Sinaga 11.2016.305

Dosen Pembimbing
Dr. Erin Arsianti, Sp.M, M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Rumah Sakit Mata Dr. Yap Yogyakarta
Periode 25 September 2017 – 28 Oktober 2017
1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Glaukoma merupakan sekelompok penyakit kerusakan saraf optik (neuropati optik) yang
biasanya diakibatkan oleh peningkatkan tekanan intraokular yang menekan papil saraf optik.
Iskemia tersendiri pada papil saraf optik juga merupakan suatu keadaan berbahaya karena dapat
menyebabkan hilangnya akson yang akan berdampak pada defek lapang pandang dan penurunan
ketajaman penglihatan jika terkena lapang pandang sentral. Namun, bagaimana faktor risiko
tersebut saling berhubungan menyebabkan Glaukoma akut belum bisa dijelaskan. Glaukoma
adalah penyebab kebutaan kedua terbesar di dunia setelah katarak. Kebutaan karena glaukoma
tidak bisa disembuhkan, tetapi pada kebanyakan kasus glaukoma dapat dikendalikan. Di
Indonesia, glaukoma diderita oleh 3% dari total populasi penduduk. Umumnya penderita
glaukoma telah berusia diatas 40 tahun Prevalensi penyakit glaukoma mengakibatkan kebutaan
pada 3,2 juta orang di dunia .Diperkirakan jumlah kebutaan akibat glaukoma pada tahun 2020
jumlah penderita glaukoma akan meningkat menjadi 76.600.000 seiring dengan meningkatnya
populasi orang dengan lanjut usia. Sedangkan di wilayah Asia, kebutaan akibat glaukoma paling
banyak berasal dari bentuk glaukoma sudut tertutup primer akut yaitu sebanyak 87%.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran distribusi kejadian glaukoma akut
yang ditangani serta untuk mengetahui hubungan faktor resiko dengan angka kejadian pada
glaukoma akut di Rumah Sakit Mata “Dr Yap” Yogyakarta

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Revalensi kebutaan dan gangguan penglihatan akibat Glaukoma akut terjadi pada kira-
kira 2% orang berusia diatas 40 tahun
1.2.2 Belum diketahuinya factor-faktor yang berhubungan dengan glaukoma akut pada pasien
yang berobat di RS Mata dr. YAP periode September 2017.

2
1.2.3 Tujuan Penelitian
1.2.4 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan Glaukoma Akut di RS Mata YAP
pada September 2017.

1.2.5 Tujuan Khusus


1.2.5.1 Diketahuinya gambaran distribusi kejadian glaukoma akut pada pasien baru di RS Mata
dr. YAP September 2017
1.2.5.2 Diketahuinya hubungan antarafaktor -faktor resiko pasien glaukoma akut dengan kejadian
glaucoma akut pada pasien baru di RS Mata dr. YAP periode September 2017.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat bagi Peneliti
1.4.1.1 Sebagai sarana pembelajaran melakukan penelitian.
1.4.1.2 Meningkatkan kemampuan berpikir kritis, analitis dan sistematis dalam mengidentifikasi
masalah kesehatan masyarakat.

1.4.2 Manfaat bagi Institusi


1.4.2.1 Mewujudkan misi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana untuk
menyelenggarakan pengembangan Tridharma Perguruan Tinggi pada ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran berdasarkan standar pendidikan dokter baik nasional dan
internasional.
1.4.2.2 Mewujudkan misi Rumah Sakit mata “Dr. Yap” Yogyakarta untuk mengembangkan ilmu
kesehatan mata melalui pendidikan, penelitian dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dan
masyarakat.
1.4.3 Manfaat bagi Masyarakat
1.4.3.1 Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai factor-faktor yang berhubungan
dengan glaukoma akut pada pasien yang berobat.
1.4.3.2 Meningkatkan kepedulian pasien terhadap gangguan penglihatan dan akibat yang dapat
ditimbulkan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Glaukoma
2.1.1 Definisi Glaukoma
Glaukoma adalah suatu neuropati optik kronik didapat yang ditandai oleh pencekungan
(cupping) diskus optikus dan pengecilan lapangan pandang, biasanya disertai peningkatan tekanan
intraocular. Mekanisme peningkatan tekanan intraocular pada glaukoma adalah gangguan aliran
keluar aqueous humor akibat kelainan sistem drainase sudut bilik mata depan (glaukoma sudut
terbuka) atau gangguan akses aqueous humor ke sistem drainase (glaukoma sudut tertutup).1
2.1.2 Epidemologi

Diperkirakan hampir 45 juta orang menderita glaukoma sudut terbuka di seluruh dunia
pada tahun 2010. Dan pada tahun 2020 jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 58,5 juta
orang. Hampir separuhnya (47%) dari seluruh populasi tersebut adalah ras Asia, sedangkan 24%
merupakan ras Eropa. Rerata prevalensi diperkirakan 1,96% dari penduduk dunia. Dari sejumlah
ini jenis kelamin perempuan lebih banyak dari laki – laki dengan Primary Open Angle Glaucoma
(POAG) hal ini disebabkan usia harapan hidup perempuan lebih tinggi daripada laki – laki. Di
Amerika serikat prevalensi keseluruhan POAG pada individu yang berumur lebih besar atau sama
dengan 40 tahun adalah 1,86% dari jumlah penduduk yang terjadi 1,57 juta pada ras kulit putih
dan 398.000 pada ras kulit hitam . Pada tahun 2020, diperkirakan terjadi peningkatan penderita
POAG menjadi 3,36 juta jumlah penduduk, hal ini disebabkan oleh karena makin tingginya usia
harapan hidup.2

Distribusi geografi diduga mepunyai peran dalam prevelansi glaukoma. Angle Closure
Glaucoma (ACG)merupakan glaukoma yang banyak terjadi pada populasi asia, seperti Mongolia,
dengan prevalensi 64% dari seluruh kasus Glaukoma. Angel Closure Glaucoma diduga separuh
dari seluru kasus dari Glaukoma di dunia. Perbandingan antara POAG dan ACG di Singapura
adalah 42% : 32 %dan di India 65% : 19%.2

4
2.1.3 Patofisiologi

Aqueous humor adalah suatu cairan jernih yang mengisi kamera anterior dan posterior
mata, diproduksi di korpus siliaris. Volumenya sekitar 250 uL, dengan kecepatan pembentukan
sekitar 1,5-2 uL/menit. Tekanan osmotik sedikit lebih tinggi dari plasma. Komposisinya mirip
plasma, kecuali kandungan konsentrasi askorbat, piruvat dan laktat lebih tinggi dan protein, urea,
dan glukosa lebih rendah. 3,4

Sekresi HA 80% oleh epitel siliaris non pigmentasi melalui proses metabolik aktif yang
bergantung pada banyaknya sistem enzimatik (enzim karbonik anhidrase) dan 20% oleh proses
pasif dari ultrafiltrasi dan difusi.4

Humor aqueous mengalir ke dalam bilik posterior kemudian masuk diantara permukaan
posterior iris dan selanjutnya masuk ke bilik anterior. HA keluar dari bilik anterior melalui dua
jalur, yaitu jalur konvensional (jalur trabekula) dan jalur uveosklera (jalur non trabekula). Jalur
trabekula pada bilik anterior dibentuk oleh dasar iris dan kornea perifer, melewati trabekular
meshwork (TM) dari sklera, masuk ke kanal schlemn (sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena
aqueous). Melalui kanal kolektor, HA dibawa ke pembuluh darah sklera dimana HA bercampur
dengan darah. Pada jalur uveosklera, HA mengalir melalui korpus siliaris ke ruang supra arakhnoid
dan masuk ke dalam sirkulasi pada vena.5

Humor aqueos berperan sebagai pembawa zat makanan dan oksigen untuk organ di dalam
mata yang tidak berpembuluh darah yaitu lensa dan kornea, disamping itu juga berguna untuk
mengangkut zat buangan hasil metabolisme pada kedua organ tersebut. Adanya cairan tersebut
akan mempertahankan bentuk mata dan menimbulkan tekanan dalam bola mata/tekanan intra
okular. Untuk mempertahankan keseimbangan tekanan di dalam bola mata dalam batas normal
(10-24 mmHg), HA diproduksi secara konstan serta dialirkan keluar melalui sistem drainase
mikroskopik.4

Fungsi humor akuos yaitu :

1. Aliran humor akuos membantu memelihara bentuk bola, yang penting untuk kesatuan
struktur dan fungsi optic mata.

5
2. Humor akuos menyediakan substrat-substrat seperti oksigen, glukosa, asam amino ke
kornea, lensa, dan anyaman trabekula. Sisa metabolic (karbondioksida, asam laktat)
dibuang dari ruang anterior.
3. Humor akuos memfasilitasi respon imun seluler dan humoral dalam kondisi yang
sulitseperti peradangandan infeksi.6
Humor akuos sangat menentukan tekanan bola mata (tekanan intraokuler, TIO). Tekanan
intraokuler normal adalah 10-21 mmHg, dan meningkat pada produksi humor akuos yang
meningkat, pembuangan humor akuos yang menurun, dan gabungan kedua keadaan diatas.

2.1.4 Klasifikasinya

Klasifikasi glaukoma berdasarkan etiologi adalah sebagai berikut:5


A. Glaukoma primer
1. Glaukoma sudut terbuka
a. Glaukoma sudut terbuka primer (glaukoma sudut-terbuka kronik, glaukoma
simpleks kronik)
b.Glaukoma tekanan normal (glaukoma tekanan rendah)
2. Glaukoma sudur tertutup
a. Akut
b.Subakut
c. Kronik
B. Glaukoma sekunder
1. Akibat kelainan lensa (fakogenik)
a. Pasca bedah tandur kornea
b.Pasca ablation retinae
2. Akibat steroid
C. Glaukoma absolut: Hasil akhir semua glaukoma yang tidak terkontrol adalah mata
yang keras, tidak dapat melihat, dan sering nyeri.

2.2 Glaukoma Sudut Tertutup Akut

Serangan akut dari penyakit ini sering tidak terduga dan biasanya pasien tidak pernah
mengeluh adanyakelainan mata sebelumnya dan glaukoma ini merupakan keadaraan yang

6
termasuk benar – benar emergensi dalam bidang oftalmologi. Kadang – kadang terjadi geala awal
yaitu tajam penglihatan menurun, rasa sakit ringan di sekitar mata dan adanya “halo” yaitu terlihat
warna pelangi di sekitar lampu. Tahap selanjutnya adalah timbulnya rasa sakit di mata terutama
daerah supraorbital yang meluas kearah belakang mata sampai ke kepala. Pada saat itu akan terjadi
mual, muntah, berkeringat, bradikardi, visus sangat menurun dan timbul kepanikan pada
penderita.2

Pada pemeriksaan didapatkan visus menurun akibat edema kornea, mata merah karena
kongesti, pupil midriasis dengan refleks negative, edema kornea, kamera anterior dangkal dan TIO
tinggi mencapai 40-90 mmHg. Biasanya juga disertai tanda inflamasi di kamera anterior lain yaitu
ditemukannya suar (flare) dan sel. Pada kasus yang pernah mengalami serangan akut sebelumnya,
dapat dijumpai kekeruhan pada lensa yang berupa bercak – bercak putih abu – abu terletak di
subkapsular anterior yang disebut “glaukom-flecken”. Pada fase akut , pemeriksaan gonioskopi
dan pemeriksaan fundus sering tidak dapat dinilai karena adanya edema kornea, jika dimungkinkan
pemeriksaan fundus maka akan didapatkan gambaran papil yang normal atau edema, kadang –
kadang disertai perdarahan.2

Penanganan glaukoma sudut tertutup akut mempunyai 2 tujuan yaitu membuka kembali
sudut dalam arti kontak antara iris dan anyaman trabekulum dan tujuan yang kedua adalah
menghilangkan factor penyebab terjadinya blok pupil atau mencegah terjadinya kontak iris-
trabekulum lagi. Pada kondisi TIO sangat tinggi tersebut perlu dilakukan penurunan TIO
menggunakan obat pengurang produksi humor akuos dan obat pengurang volume vitreous yaitu
obat hiperosmotik.2

2.2.1 Patofisiologi
Pada glaukoma sudut tertutup, jalinan trabekular normal, sedangkan tekanan intra okular
meningkat karena obstruksi mekanik akibat penyempitan sudut bilik mata, sehingga aliran keluar
humor aqeuos terhambat saat menjangkau jalinan trabekular. Keadaan seperti ini sering terjadi
pada sudut bilik mata yang sempit (kadang-kadang disebut dengan “dangerous angle”).7, 8

Penting untuk diketahui, jika sudut bilik mata tidak sempit atau sudut terbuka luas, perifer
iris tidak kontak dengan perifer kornea, sehingga sudut bilik mata tidak tertutup, dan glaukoma

7
sudut tertutup tidak akan terjadi. Ini merupakan perbedaan dasar antara glaukoma sudut terbuka
dengan glaukoma sudut tertutup.

Ketika dislokasi lensa sebagai penyebab tertutupnya sudut bilik mata maka keadaan ini
dikenal dengan glaukoma sudut tertutupsekunder. Jika glaukoma sudut tertutup tidak diketahui
penyebabnya, ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup primer.

Apabila sudut bilik mata tertutup secara cepat dan berat, ini dikenal dengan glaukoma
akutyang disertai dengan banyak gejala dan tanda. Apabila penutupan sudut bilik mata tidak
sempurna dan kadang-kadang saja terjadi, ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup intermitten
atau glaukoma sudut tertutup kronik, dan disertai dengan sedikit gejala. Apabila glaukoma sudut
tertutup intermitten yang tidak mempunyai gejala, ini dikenal dengan glaukoma sudut
tertutupkreeping.7, 8

Dibawah ini menunjukkan gambaran struktur segmen anterior yang berhubungan dengan
glaukoma akut:

a) Diameter kornea lebih kecil.


b) Kurvatura kornea anterior lebih datar.
c) Kurvatura kornea posterior lebih datar.
d) Sudut bilik mata depan lebih dangkal.
e) Lensa lebih tebal.
f) Kurvatura lensa anterior lebih pendek.
g) Letak lensa lebih ke anterior.
h) Sumbu bola mata lebih pendek.

Perlu ditekankan lagi, bila sudut bilik mata lebar maka sudut bilik mata tidak akan tertutup,
dan hanya pada mata yang mempunyai sudut sempit saja dapat terjadi penutupan sudut. Satu hal
yang penting untuk diketahui bahwa tidak semua sudut bilik mata sempit akan berkembang
menjadi glaukoma akut, dapat terjadi hanya pada sebagian kecil saja, terutama pada mata yang
pupilnya berdilatasi sedang (3,0 – 4,5 mm) yang dapat terjadi blok pupil sehingga dapat berlanjut
menjadi sudut tertutup.

8
Akibat terjadinya blok pupil, maka tekanan intra okular lebih tinggi di bilik mata belakang
dari pada bilik mata depan. Jika blok pupil semakin berat tekanan intra okular dibilik mata
belakang semakin bertambah, sehingga konveksitas iris semakin bertambah juga, ini dikenal
dengan iris bombe, yang membuat perifer iris kontak dengan jalinan trabekular, dan menyebabkan
sudut bilik mata tertutup. Jika tekanan intra okular meningkat secara drastis akibat sudut tertutup
komplit maka akan terjadi glaukoma akut. Mekanisme lain yang dapat menyebabkan glaukoma
akut adalah; platau iris dan letak lensa lebih ke anterior. Pada keadaan seperti ini juga sering terjadi
blok pupil.7

2.2.2 Manifestasi Klinis


Sebelum penderita mendapat serangan akut, ia mengalami serangan prodormal, meskipun
tidak selalu demikian : 9

a. Fase Prodormal (Fase Nonkongestif)

Pada stadium ini terdapat penglihatan kabur, melihat halo (gambar pelangi) sekitar lampu
atau lilin, disertai sakit kepala, sakit pada mata dan kelemahan akomodasi. Keadaan ini
berlangsung 0,5-2 jam. Bila serangannya reda, mata menjadi normal kembali.

b. Fase glaukoma akut (Fase Kongestif).

Pada stadium ini penderita tampak sangat payah, memegangi kepalanya karena sakit hebat.
Jalannya dipapah, karena tajam penglihatannya sangat turun, muntah-muntah, mata hiperemis dan
fotofobia. Karenanya sering disangka bukan menderita sakit mata, melainkan suatu penyakit
sistemik.

Glaukoma akut menyebabkan visus cepat menurun, disertai sakit hebat di dalam mata yang
menjalar sepanjang nervus kranial V, sakit kepala, mual muntah, tampak warna pelangi di sekitar
lampu (halo).

2.2.3 Faktor-faktor resiko terjadinya glaukoma sudut tertutup

1. Usia
Semakin tua resiko terserang glaucoma semakin besar dan hal ini juga seiring
dengan resiko memburuknya lapang pandang dan terjadinya kebutaan yang

9
diakibatkannya. Umur dapat dikaitkan dengan faktor penuaan jaringan, lamanya terpapar
faktor resiko lain dan durasi sakit.
Pada penelitian di RS Sao Geraldo Brasil, didapatkan rata-rata usia pasien yang
menderita kebutaan lebih tinggi dibandingkan yang tidak mengalami kebutaan.1
Penelitian di US mengenai faktor resiko memburuknya kerusakan lempeng optic
glaukomatus (glaucomatous optic disc) mendapatkan bahwa usia bukan merupakan faktor
resiko yang bermakna.2
Usia juga terkait dengan riwayat penyakit sistemik, karena dalam proses penuaan
terjadi penurunan perfusi cerebral dan perfusi ocular.3
2. Jenis Kelamin
Beberapa studi menunjukkan perbedaan prevalensi glaucoma pada laki-laki
dibandingkan perempuan, namun beberapa penelitian lain tidak menunjukkan adanya
perbedaan resiko glaucoma maupun kebutaan yang diakibatkannya pada laki-laki
dibandingkan pada perempuan. Glaukoma sudut tertutup pada beberapa penelitian
menunjukan prevalensi yang lebih banyak pada perempuan. Hal ini kemungkinan akibat
sudut bilik mata depan perempuan lebih dangkal yaitu volumenya 10% lebih kecil
dibandingkan pada laki-laki.4
Penelitian prevalensi glaucoma sudut tertutup di India mendapatkan hasil bahwa
perempuan memiliki resiko 3 kali lenih tinggi untuk menderita PAC dan PACG dan
didapatkan bahwa pada perempuan memiliki bola mata yang lebih pendek, bilik mata lebih
dangkal dan lensa yang lebih tebal.5
Penelitian pada penderita glaucoma sudut tertutup di rumah sakit di Singapore
mendapatkan hasil bahwa lebih dari 2/3 penderita adalah perempuan atau admission rate
perempuan dua kali lipat dibandingkan laki-laki.6,7
Canadian glaucoma study mendapatkan bahwa perempuan lebih beresiko
mengalami memburuknya lapang pandang. Peneliti studi ini menyatakan penyebabnya
belum jelas, mungkin terkait dengan genetic maupun lingkungan. Mungkin juga terkait
dengan hormone estrogen, karena terdapat penelitian bahwa menopause dini berhubungan
dengan kejadian glaucoma.8

10
Penelitian di US mengenai faktor resiko memburuknya kerusakan lempeng optic
glaucomatous (glaucomatous optic disc) mendapatkan bahwa jenis kelamin bukan
merupakan faktor resiko yang bermakna.2
3. Ras
Beberapa ras/group etnikdiketahui memiliki prevalensi glaukoma yang lebih tinggi,
yaitu di Asia khususnya etnik China untuk glaukoma sudut tertutup dan ras Afrika untuk
glaukoma sudut terbuka.9,10 Pada glaukoma sudut tertutup primer hal ini dikaitkan dengan
factor herediter yang memepengaruhi konfigurasi bilik mata depan yaitu bilik mata depan
yang dangkal, sudut mata yang sempit dan iris plateau.4 Pada glaukoma primer sudut
terbuka prevalensi pada ras kulit hitam lebih tinggi. Hal ini dikaitkan dengan iskemia
akibat sickle cell anemia, respon terhadap pengobatan yang lebih buruk, akses terhadap
pengobatan yang lebih buruk, level tekanan intraocular yang lebih tinggi, dan cup disc ratio
yang lebih besar dibandingkan ras kulit putih.
Penelitian admission rates penderita glaukoma sudut tertutup pada ras Cina,
Melayu dan India, di rumah sakit di Singapore mendapatkan hasil bahwa rate tertinggi pada
usia > 30 tahun adalah ras Cina sebesar 12,2 per 100.000/tahun sedangkan ras Melayu dan
India masing – masing sebesar 6,0 dan 6,3 per 100.000/tahun.7

Studi kasus control di United Kingdom mendapatkan bahwa ras Afrika Karibia
memilki odds ratio 2,47 dibandingkan ras kulit putih.11

Dalam studi prevalens glaukoma pada ras Melayu di Singapura, studi di Australia,
dan studi di Bangkok, menunjukkan prevalens glaukoma menigkat seiring meningkatnya
usia.6,12,13

Canadian glaukoma study mendapatkan bahwa usia lebih tua berhubungan dengan
resiko memburuknya lapan pandang dengan hazard ratio sebesar 1,04 dan p value 0.06.8

4. Riwayat Penyakit Sistemik


Penyakit sistemik yang diduga dapat menyebabkan terjadi glaucoma akut sudut
tertutup adalah diabetes mellitus dan hipertensi. Pada kasus diabetes mellitus hanya
dikaitkan dengan patofisiologinya bahwa diabetes hanya berhubungan dengan glaucoma
sudut terbuka dan tidak dengan glaucoma sudut tertutup. Sedangkan pada hipertensi

11
dilakukan pemeriksaan tekanan darah jika pasien akan menjalani tindakan operatif atau
karena indikasi tertentu. Hipertensi tidak menunjukan hubungan yang bermaksa dengan
kebutaan pada pasien baru glaucoma primer. Seperti diabetes mellitus, secara patofisiologi
hipertensi hanya berhubungan dengan glaucoma primer sudut terbuka, dan tidak terkait
dengan glaucoma sudut tertutup. Pada analisis hubungan hipertensi dengan kebutaan pada
glaucoma sudut terbuka dan sudut tertutup, tidak terlihat hubungan yang bermakna.
5. Tekanan Intraokular

Ada dua teori mekanisme kerusakan saraf optic yang diakibatkan tekanan
intraocular meliputi kerusakan mekanik pada akson saraf optic dan penurunan aliran darah
pada papil saraf optic sehingga terjadi iskemia akson saraf. Semakin tinggi tekanan
intraocular, semakin besar resiko terjadi kebutaan. Hal ini juga terlihat dari prevalensi
kebutaan pada kelompok dengan tekanan intraocular rendah hingga tinggi yang menunjuka
peningkatan secara berurutan. Tekanan intraocular memang merupakak faktor resiko
terpenting pada penyakit glaucoma dan berbagai penelitian secara luas mendukung hal
tersebut. Tekanan intraocular yang tinggi sebagai faktor resiko dari glaucoma banyak
didukung oleh berbagai penelitian. Tingginya tekanan intraocular pada awal deteksi, pada
masa follow up, variasi dijurnal dikaitkan dengan resiko glaucoma dan faktor resiko
terjadinya kebutaan.

6. Demografi
Glaucoma merupakan penyebab kebutaan kedua terbanyak setelah katarak di
seluruh dunia. Berbeda dengan katarak, kebutaan yang diakibatkan glaucoma bersifat
permanen, atau tidak dapat diperbaiki (irreversible). Hal ini menjadi tantangan tersendiri
dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus glaucoma. Berdasarkan data WHO 2010,
diperkirakan sebanyak 3,2 juta orang mengalami kebutaan akibat glaucoma.
World Glaucoma Day (WGD) atau hari glaucoma sedunia dideklarasikan pada
tanggal 6 Maret 2008 dan diperingati setiap tanggal 12 Maret seluruh negara diminta untuk
melaksanakan kegiatan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
glaucoma, dengan harapan akan membantu masyarakat yang mempunyai faktor resiko
untuk melakukan pemeriksaan kesehatan mata secara teratur. Sejak tahun 2010, kegiatan
peringatan hari glaucoma diselenggarakan selama sepekan sehingga disebut sebagai World

12
Glaucoma Week (WGW) atau pekan glaucoma sedunia. Ini merupakan inisiatif global yang
dipelopori oleh World Glaucoma Assosiation (WGA) dan World Glaucoma Patience
Assosiation (WGPA) untuk meningkatakna kewaspadaan mengenai glaucoma dan
akibatnya. Setiap tahun, pecan glaucoma sedunia diselenggarakan di salah satu minggu di
bulan Maret. Untuk tahun 2015 ini, penyelenggaraanya dilakukan pada tanggal 8-14 Maret.
Berdasarkan survei kesehatan indera tahun 1993-1996 sebesar 1,5% penduduk
Indonesia mengalami kebutaan dengan prevalensi kebutaan akibat glaucoma sebesar
0,20%. Prevalensi glaucoma hasil Jakarta Urban Eye Health Study tahun 2008 adalah
glaucoma primer sudut tertutup terbesar 1,89%, glaucoma primer sudut terbuka 0,48% dan
glaucoma sekunder 0,16% atau keseluruhannya 2,53%. Menurut hasil riset kesehatan dasar
tahun 2007, responden yang pernah didiagnosis glaucoma oleh tenaga kesehatan sebesar
0,46%, tertinggi di provinsi DKI Jakarta (1,58%) berturut-turut diikuti provinsi Aceh
(1,28%), kepulauan Riau (1,28%), Sulawesi Tengah (1,21%), Sumatra Barat (1,14%), dan
terendah di provinsi Riau (0,04%) (DEPKES RI 2008). Melihat prevalensi dari hasil
Jakarta Urban Eye Health Study dan persentasi responden 2008 dan persentasi responden
RISKESDAS 2007 yang pernah didiagnosis glaucoma, meskipun tidak dapat dibandingkan
secara langsung diduga bahwa sebagian besar penderita glaucoma yang belum terdeteksi
atau terdiagnosis dan tentunya belum tertangani.
7. Pengobatan Glaukoma
Tujuan terapi glaucoma adalah menghentikan atau menghambat kecepatan
kerusakan penglihatan. Penurunan/pengontrolan tekanan intraocular hingga saat ini
merupakan terapi utama. Meskipun peranan iskemia saraf optic telah didiskusikan,namun
belum ada terapi signifikan untuk hal tersebut.15
Untuk mengontrol tekanan intraokuler dilakukan dengan pemberian obat (topikal
maupun per oral), terapi laser, dan/atau pembedahan. Obat-obatan dapat berupa miotik,
simpatomimetik, beta blocker atau carbonic anhydrase inhibitor. Terapi laser berupa
trabekuloplasti laser. Tindakan pembedahan dapat berupa iridektomi perifer, dan
trabekulektomi.15,16

13
2.2.4 Penatalaksanaan
2.2.4.1 Penatalaksanaan Medika Mentosa
a) Agen osmotik
Agen ini lebih efektif untuk menurunkan tekanan intra okular, pemberiannya dianjurkan
kepada pasien yang tidak mengalami emesis. Pemberian anti emetik dapat membantu mencegah
muntah akibat emesis. Agen osmotik oral pada penggunaannya tidak boleh diencerkan dengan
cairan atau es, agar osmolaritas dan efisiensinya tidak menurun.

 Gliserin
Dosis efektif 1-1,5 cc/kg BB dicampur dengan sari buah (jeruk) dengan jumlah yang
sama. Dapat menurunkan tekanan intra okular dalam waktu 30-90 menit setelah pemberian,
dan dipastikan agen ini bekerja selama 5-6 jam. Selama penggunaannya, gliserin dapat
menyebabkan hiperglikemia dan dehidrasi. Hati-hati terhadap pasien diabetes dan lansia
dengan gagal ginjal serta penyakit kardiovaskular. Karena agen ini sendiri dapat menyebabkan
mual dan muntah.26
 Manitol
Merupakan diuretik osmotik kuat yang dapat memberikan keuntungan dan aman
digunakan pada pasien diabetes karena tidak dimetabolisme. Dosis yang dianjurkan adalah 1-
2 gram/kgBB dalam 50% cairan. Puncak efek hipotensif okular terlihat dalam 1-3 jam dan
berakhir dalam 3-5 jam. Bila intoleransi gastrik dan mual menghalangi penggunaan agen oral,
maka manitol dapat diberikan secara intravena dalam 20% cairan dengan dosis 2 gram/kgBB
selama 30 menit. Manitol dengan berat melekul yang tinggi, akan lebih lambat berpenetrasi
pada mata sehingga lebih efektif menurunkan tekanan intraokular. Maksimal penurunan
tekanan dijumpai dalam 1 jam setelah pemberian manitol intravena.26
 Ureum intravena
Merupakan agen osmotik yang dahulu sering digunakan, mempunyai berat melekul
yang rendah. Urea lebih cepat berpenetrasi pada mata, sehingga tidak seefektif mannitol dalam
menurunkan tekanan intra okular. Karena agen ini merupakan salah satu alternatif, maka
penggunaan urea harus dengan pengawasan yang ketat untuk menghindari komplikasi
kardiovaskular.26

14
b) Karbonik anhidrase inhibitor
Digunakan untuk menurunkan tekanan intra okular yang tinggi,dengan menggunakan
dosis maksimal dalam bentuk intravena, oralatau topikal. Asetazolamid, merupakan pilihan
yang sangat tepat untuk pengobatan darurat pada glaukoma akut. Efeknya dapat menurunkan
tekanan dengan menghambat produksi humour aqueous, sehingga sangat berguna untuk
menurunkan tekanan intraokular secara cepat, yang digunakan secara oral dan intravena.
Asetazolamid dengan dosis inisial 2x250 mg oral, dapat diberikan kepada pasien yang tidak
mempunyai komplikasi lambung. Dosis alternatif intravena 500 mg bolus, efektif terhadap
pasien nausea. Penambahan dosis maksimal asetazolamid dapat diberikan setelah 4-6 jam
untuk menurunkan tekanan intraokular yang lebih rendah. Karbonik anhidrase inhibitor
topikal dapat digunakan sebagai inisial terapi pada pasien emesis. Sekarang diketahui bahwa,
karbonik anhidrase inhibitor oral sedikit atau tidak ada sama sekali efek samping sistemik.
Menurut pengalaman penulis pemberian karbonik anhidrase inhibitor oral sangat diperlukan
dalam pengobatan glaukomaakut.27,28
c) Beta bloker
Merupakan terapi tambahan yang efektif untuk menangani serangan sudut tertutup.
Beta bloker dapat menurunkan tekanan intraokular dengan cara mengurangi produksi humor
aqueuos.

Timolol merupakan beta bloker nonselektif dengan aktifitas dan konsentrasi tertinggi
di bilik mata belakang yang dicapai dalam waktu 30-60 menit setelah pemberian topikal. Beta
bloker tetes mata nonselektif sebagai inisial terapi dapat diberikan 2 kali dengan interval setiap
20 menit dan dapat diulang dalam 4, 8, dan 12 jam kemudian.27,28

d) Apraklonidin
Merupakan agen alfa2-agonis yang efektif untuk hipertensi okular, apraklonidin
bekerja dengan cara menurunkan produksi humor aqueous dan tidak memberikan efek pada
outflow humor aqueuos. Apraklonidin 0,5% dan 1%, keduanya telah menunjukkan efektifitas
yang sama dan rata-rata dapat menurunkan tekanan intraokular 34% setelah 5 jam pemakaian
topikal. Apraklonidin dapat digunakan pada pengobatan glaukoma akut yang dikombinasikan
dengan terapi medis lainnya. Setelah tekanan intra okular menurun dan miosis pupil telah
dicapai, terapi topikal dengan pilokarpin, beta bloker, karbonik anhidrase inhibitor dan

15
apraklonidin dapat diteruskan sampai tindakan operasi dilakukan atau reopening sudut bilik
mata. Pemeriksaan ulang gonioskopi harus dilakukan, jika perlu gliserin tetes mata dapat
digunakan untuk menjernihkan kornea. Sekarang ini, dilakukan gonioskopi indentasi untuk
mendorong akuos dari sentral ke perifer agar sudut yang telah tertutup dapat terbuka kembali.
Teknik ini telah diuji sebagai terapi untuk serangan sudut tertutup akut. Meskipun sudut telah
sukses membuka kembali dengan gonioskopi indentasi, tetapi tidak dapat menggantikan terapi
definitif yaitu: iridektomi perifer.29,30

2.2.4.2 Penatalaksanaan Non Medika Mentosa


Observasi respon terapi

Merupakan periode penting untuk melihat respon terapi yang dapat menyelamatkan visus
penderita, sehingga keputusan harus segera dibuat (paling kurang dalam 2 jam setelah
mendapat terapi medikamentosa intensif), untuk tindakan selanjutnya, observasinya meliputi:

a) Monitor ketajaman visus, edema kornea dan ukuran pupil.


b) Ukur tekanan intraokular setiap 15 menit ( yang terbaik dengan tonometer aplanasi).
c) Periksa sudut dengan gonioskopi, terutama apabila tekanan intra okularnya sudah turun dan
kornea sudah mulai jernih.7,8
Pada masa observasi ini yang dilihat adalah respon terapi. Respon terapi bisa baik, jelek,
ataupun sedang. Bila respon terapi baik, maka akan terjadi perbaikan visus, kornea menjadi
jernih, pupil kontriksi, tekanan intra okular menurun, dan sudutnya terbuka kembali. Pada
keadaan ini dapat dilakukan tindakan selanjutnya dengan laseriridektomi. Jika respon
terapinya jelek, akan didapatkan visus yang tetap jelek, kornea tetap edema, pupil dilatasi dan
terfiksir, tekanan intra okular tinggi dan sudutnya tetap tertutup. Pada kondisi ini dapat
dilakukan tindakan selanjutnya dengan laser iridoplasti. Jika respon terapinya sedang, dimana
didapatkan visus sedikit membaik, kornea agak jernih, pupilnya tetap dilatasi, tekanan intra
okular tetap tinggi (sekitar 30 mmHg), sudut sedikit terbuka, pada keadaan seperti ini
penanganannya menjadi sulit. Pengulangan indentasi gonioskopi dapat dicoba untuk
membuka sudut yang telah tertutup. Bila respon terhadap tindakan tersebut berhasil, dapat
dilanjutkan dengan laser iridektomi atau alternatif lainnya seperti laser iridoplasti.
Sebelumnya diberikan dahulu tetesan gliserin untuk mengurangi edema kornea supaya
visualisasinya jelas. Pada keadaan edema kornea sulit untuk melakukan tindakan laser, karena

16
power laser terhambat oleh edema kornea sehingga penetrasi laser ke iris tidak efektif pada
keadaan ini dan laser iridektomi dapat mengalami kegagalan. Jika penetrasi laser tidak
berhasil maka pembukaan sudut yang baik tidak tercapai.31,32

Parasintesis

Kalau pemakaian terapi medikamentosa secara intensif masihdianggap lambat dalam


menurunkan tekanan intra okular ke tingkat yangaman, dan kadang-kadang justru setelah
pemberian 2 atau 4 jam masihtetap tinggi. Sekarang ini mulai diperkenalkan cara menurunkan
tekananintraokular yang cepat dengan tehnik parasintesis, seperti yangdilaporkan oleh Lamb
DS dkk, tahun 2002, yang merupakan penelitianpendahuluan (pilot study). Pada 10 mata dari
8 pasien dengan glaukomaakut, yang rata-rata tekanan intraokular 66,6 mmHg sebelum
tindakanparasintesis. Setelah dilakukan parasintesis dengan mengeluarkancairan akuos
sebanyak 0,05 ml, didapatkan penurunan tekananintra okular secara cepat yaitu pada 15 menit
setelah parasintesistekanan intra okular menjadi sekitar 17,1 mmHg, setelah 30 menitmenjadi
21,7 mmHg, setelah 1 jam 22,7 mmHg, setelah 2 jam atau lebih20,1 mmHg. Cara ini juga
dapat menghilangkan rasa nyeri dengansegera pada pasien.31,32

Bedah Laser

(1) Laser iridektomi


 Indikasi
Iridektomi diindikasikan pada keadaan glaukoma sudut tertutup dengan blok pupil,
iridektomi juga diindikasikan untuk mencegah terjadinya blok pupil pada mata yang beresiko,
yang ditetapkan melalui evaluasi gonioskopi. Iridektomi laser juga dilakukan pada serangan
glaukoma akut dan pada mata kontra-lateral dengan potensial glaukoma akut.

 Kontra indikasi
Iridektomi laser tidak dapat dilakukan pada mata dengan rubeosis iridis, karena dapat
terjadi perdarahan. Resiko perdarahan juga meningkat pada pasien yang menggunakan anti-
koagulan sistemik, seperti aspirin. Argon laser lebih diutamakan pemakaiannya dari pada
Nd:YAG laser pada individu yang membutuhkan terapi laser iridektomi.

17
Walaupun laser iridektomi tidak membantu dalam kasus glaukoma sudut tertutup yang
bukan disebabkan oleh mekanisme blok pupil, tetapi kadang-kadang laser iridektomi perlu
dilakukan untuk mencegah terjadinya blok-pupil pada pasien dengan sudut bilik mata sempit.

 Pertimbangan sebelum operasi


Pada glaukoma sudut tertutup akut, sering mengalami kesulitan saat melakukan iridektomi
laser karena kornea keruh, sudut bilik mata depan dangkal, pembengkakan iris. Dokter harus
berusaha untuk menghentikan serangan akut dengan tindakan medis sebelum melakukan
operasi. Sebelum dilakukan laser harus diberikan terapi inisial gliserin topikal untuk
memperbaiki edema kornea, agar mudah untuk mempenetrasi kripta iris. Hati-hati pada saat
melakukan iridektomi perifer dan jangan terhalang oleh palpebra. Terapi awal dengan
pilokarpin dapat membantu melebarkan dan menipiskan iris. Terapi awal dengan aproklonidin
dapat membantu menurunkan tekanan intraokular.

 Teknik
Pada umumnya iridektomi menggunakan argon laser, tetapi pada keadaan kongesti, edem
dan inflamasi akibat serangan akut, teknik ini sulit dilakukan. Setelah dilakukan indentasi
gonioskopi, kekuatan inisial laser diatur dalam 0,02-0,1 detik, ukuran tembakan 50 μm, dan
kekuatan 800-1000 mW. Biasanya teknik yang digunakan adalah tehnik pewarnaan iris.
Komplikasi dari argon laser adalah sinekia posterior, katarak lokal, meningkatnya tekanan
intraokular ( dapat merusak nervus optikus ), iritis, lubang iridektomi lebih cepat tertutup
kembali dan terbakarnya kornea dan retina.

Argon laser dan Nd:YAG laser sama-sama dapat digunakan untuk iridektomi. Namun,
pemakaian Nd:YAG laser lebih disukai. Karena lebih cepat, lebih mudah, dan energi yang
dibutuhkan lebih sedikit dari pada argon laser. Lebih lanjut lagi, keefektifan dari Nd:YAG laser
ini tidak berpengaruh pada keadaan iris dan lubang iridektomi yang dihasilkan Nd:YAG laser
lebih jarang tertutup kembali dari pada argon laser.

Setelah indentasi gonioskopi, inisial laser diatur 2-8 mJ. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah terbakarnya kornea, kapsul anterior lensa robek, perdarahan (biasanya tidak lama),
tekanan intra okular meningkat setelah operasi, inflamasi dan lubang iridektomi lambat tertutup

18
kembali. Untuk mencegah kerusakan lensa, operator harus berhati-hati pada saat mempenetrasi
Nd:YAG laser ke iris. Lokasi penetrasi harus seperifer mungkin.

 Perawatan setelah-operasi
Perdarahan dapat terjadi di tempat iridektomi, khususnya pada Nd:YAG laser. Pada
perdarahan ringan dapat diatasi dengan terapi antikoagulasi. Namun pada pasien yang
mengalami kelainan pembekuan darah dapat diatasi dengan argon laser. Karena argon laser
dapat membantu proses koagulasi pembuluh darah. Peningkatan tekanan intraokular dapat
terjadi setelah operasi, terutama pada pasien LTP, mereka dapat diobati dengan penatalaksanaan
LTP. Apabila terjadi Inflammasi maka dapat disembuhkan dengan menggunakan kortikosteroid
topikal.

 Komplikasi
Pada umumnya komplikasi yang sering terjadi pada laser iridektomi meliputi kerusakan
lokal pada lensa dan kornea, ablasio retina, pendarahan, gangguan visus dan tekanan intra
okular meningkat.

Kerusakan lensa dapat dihindari dengan cara menghentikan prosedur dan segera penetrasi
iris untuk iridektomi lebih ke superior iris perifer. Ablasio retina sangat jarang, tetapi masih
ditemukan pada prosedur Nd:YAG laser iridektomi.31,32

(2) Laser iridoplasti


Merupakan tindakan alternatif jika tekanan intra okular gagal diturunkan secara intensif
dengan terapi medikamentosa. Bila tekanan intra okularnya tetap sekitar 40 mmHg, visus jelek,
kornea edema dan pupil tetap dilatasi. Pada laser iridoplasti ini pangaturannya berbeda dengan
pengaturan pada laser iridektomi. Disini pengaturannya dibuat sesuai untuk membakar iris agar
otot spingter iris berkontraksi, sehingga iris bergeser kemudian sudutpun terbuka. Agar laser
iridoplasti berhasil maka titik tembakan harus besar, powernya rendah dan waktunya lama.
Aturan yang digunakan ukurannya 500 μm (200-500 μm), dengan power 500 mW (400-500
mW), waktunya 0,5 detik (0,3-0,5 detik). Pada penelitian ahli terhadap 20 mata penderita
glaukoma akut, dari tekanan intra okular rata-rata sebelum iridoplasti 43,2 mmHg turun menjadi
rata-rata 17 mmHg, pada 2 jam setelah dilakukan iridoplasti laser.31,32

19
Bedah Insisi

Iridektomi insisi dilakukan pada pasien yang tidak berhasil dengan tindakan laser iridektomi
seperti pada situasi iris tidak dapat dilihat dengan jelas karena edema kornea, hal ini sering
terjadi pada pasien glaukoma akut berat yang berlangsung 4-8 minggu, sudut bilik mata depan
dangkal, dengan kontak irido-korneal yan luas, pasien yang tidak kooperatif dan tidak
tersedianya peralatan laser.

(1) Iridektomi bedah insisi


Jika iridektomi bedah insisi yang dipilih, maka pupil dibuat semiosis mungkin, dengan
menggunakan miotik tetes atau asetilkolin intrakamera. Peritomi superior 3 mm, walaupun
beberapa ahli mata memilih tidak melakukan peritomi. Kemudian dilakukan insisi 3 mm pada
korneosklera 1 mm di belakang limbus. Insisi dilakukan agar iris prolap. Bibir insisi bagian
posterior ditekan, sehingga iris perifer hampir selalu prolaps lewat insisi, dan kemudian
dilakukan iridektomi. Bibir insisi bagian posterior ditekan lagi diikuti dengan reposisi pinggir
iridektomi. Luka insisi kornea ditutup dengan satu jahitan atau lebih, dan bilik mata depan
dibentuk kembali dengan NaCl 0,9% melalui parasintesis. Setelah operasi selesai, fluoresen
sering digunakan untuk menetukan ada tidaknya kebocoran pada bekas insisi. Oleh karena
kebocoran dapat meningkatkan komplikasi seperti bilik mata depan dangkal.

(2) Trabekulektomi
Prosedur operasi pembuatan fistula antara bilik mata anterior dengan ruang subkonjungtiva
melalui pengangkatan sebagian jaringan trabekulum secara bedah, sehingga akuos humor akan
dibuang ke ruang subkonjungtiva untuk menurunkan tekanan bola mata. Mengingat komplikasi
yang terjadi pada saat dan sesudah operasi trabekulektomi, tidak baik dilakukan pada keadaan
glaukoma akut. Namun kadang-kadang, karena suatu kondisi misalnya serangan glaukoma akut
yang akan terjadi keterlantaran penyakitnya atau penderita berasal dari tempat yang jauh maka
dapat dilakukan tindakan ini, jika mungkin akan dikombinasikan dengan ektraksi lensa (katarak),
sebab jika lensanya diangkat akan melebarkan sudut filtrasi sehingga dapat menurunkan tekanan
intraokular yang efektif. Indikasi tindakan trabekulektomi dilakukan pada keadaan glaukoma
akut yang berat, atau setelah kegagalan tindakan iridektomi perifer, glaukoma primer sudut
tertutup kreeping, juga pada penderita dengan iris berwarna coklat gelap (ras Asia atau China),

20
yang kemungkinan terjadi serangannya lebih berat serta tidak respon dengan tindakan iridektomi
perifer.31,32

2.2.5 Komplikasi
a) Sinekia anterior perifer
Iris perifer melekat pada jalinan trabekel dan menghambat aliran mata keluar.

b) Katarak
Lensa kadang-kadang melekat membengkak, dan bisa terjadi katarak. Lensa yang
membengkak mendorong iris lebih jauh kedepan yang akan menambah hambatan pupil dan
pada gilirannya akan menambah derajat hambatan sudut.

c) Atrofi retina dan saraf optik


Daya tahan unsure-unsur saraf mata terhadap tekanan intraokular yang tinggi adalah buruk.
Terjadi gaung glaukoma pada pupil optik dan atrofi retina, terutama pada lapisan sel-sel
ganglion.

2.2.6 Pencegahan
Glaukoma akut umumnya dapat dicegah dengan seperti berikut:

a) Jika ada gejala seperti sakit mata berserta nyeri kepala, mual dan muntah langsung segera
mendapatkan pemeriksaan dan perawatan.
b) Cuba untuk tidak menggunakan obat-obatan steroid dalam masa panjang.
c) Kurangi minum kopi atau minuman yang mengandungi kadar kafein tinggi.
d) Mengetahui ahli keluarga yang pernah ada riwayat glaukoma, hipertensi atau diabetes dan
kemudian melakukan pemeriksaan sekiranya ada gejala-gejala nyeri kepala berserta mual dan
muntah.
e) Jaga kesehatan mata dengan makan makanan dan mengambil suplemen vitamin C,
Betacaroten dan vitamin B2.
f) Tidur yang cukup dan awal.29,30

21
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Jenis penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross-
sectional terhadap Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Glaukoma Akut (PCAG) di RS
Mata Dr Yap periode September 2017.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di RS Mata Dr Yap periode September 2017.

3.3 Sumber Data dan Instrumen Penelitian


Sumber data terdiri dari data sekunder. Data sekunder diambil dari rekam medis semua pasien
yang datang berobat di RS Mata Dr Yap dan didiagnosa menderita PCAG di RS Mata Dr Yap
periode September 2017.

3.4 Populasi
3.4.1 Populasi target
Semua pasien yang berobat di RS Mata Dr Yap.
3.4.2 Populasi terjangkau
Semua pasien yang di diagnosa menderita PCAG di RS Mata Dr Yap periode
September 2017.

3.5 Kriteria Inklusi dan Ekslusi


3.5.1 Kriteria Inklusi
1. Semua pasien baru dengan diagnosa PCAG periode September 2017.
2. Semua pasien baru dengan diagnosa PCAG periode September 2017 yang
mempunyai rekam medis lengkap.

22
3.5.2 Kriteria Ekslusi
1. Pasien yang memiliki penyakit mata lainnya.
2. Semua pasien lama dengan diagnosa PCAG periode September 2017.
3. Semua pasien lama dengan diagnosa PCAG periode September 2017 yang
mempunyai rekam medis tidak lengkap

3.5 Sampel
3.6.1 Teknik dan Besar Sampel
Pengambilan sample secara purposive sampling dengan pengambilan sample
secara simple random sampling.
Sampel adalah bagian dari populasi yang ingin diteliti. Penelitian ini dilakukan
terhadap semua pasien baru RS Mata Dr Yap periode September 2017. Besar sampel
ditentukan adalah sebanyak 60 orang.

3.6 Cara Kerja


 Mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain penelitian.
 Menentukan populasi dan sampel penelitian.
 Menentukan jumlah sampel yaitu 60 pasien.
 Melakukan pengumpulan data sekunder yang didapatkan melalui rekam medis
pasien yang baru pertama kali berobat ke RS Mata Dr Yap periode September 2017
dan didiagnosa menderita PCAG.
 Melakukan editing, verifikasi, koding, dan tabulasi terhadap data primer milik
responden yang sudah dikumpulkan.
 Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data dengan program Computer
Statistical Package for Social Science (SPSS) version 16.
 Penulisan laporan penelitian.
 Pelaporan penelitian.

23
3.7 Variabel
Dalam penelitian ini digunakan variable-variabel yaitu usia, jenis kelamin, ras,
pekerjaan, riwayat penyakit sistemik, demografi, riwayat gangguan refraksi, terapi, dan hasil
follow up.

3.9 Definisi Operasional


3.9.1 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah seluruh pasien baru yang didiagnosa menderita
PCAG di RS Mata Dr Yap yang masuk dalam kriteria inklusi dan eklusi.

3.9.2 Variabel
3.9.3.1 Usia
Definisi : Usia merupakan lamanya kehidupan dimulai sejak kelahiran
hingga penelitian dilakukan. Pembagian kategori usia pada penelitian ini
bedasarkan kategori usia menurut Depkes RI tahun 2009.
Alat ukur : Rekam Medis
Cara ukur : Menghitung selisih waktu lahir (dalam tanggal, bulan dan tahun
lahir) dengan waktu penelitian (dalam tanggal, bulan dan tahun) yang kemudian
dikonversikan menjadi tahun. Bila terdapat kelebihan usia kurang dari enam bulan
dibulatkan ke bawah, dan bila terdapat kelebihan usia lebih atau sama dengan 6
bulan dibulatkan ke atas.
Hasil ukur :
Skala ukur : Nominal

Kategori Koding
Usia 40 - 49 tahun 0
Usia 50 – 59 tahun 1
Usia 60 – 69 tahun 2
Usia 70 – 79 tahun 3
Usia 80 – 89 tahun 4

24
1.9.3.2 Jenis Kelamin
Definisi : Tanda-tanda perkembangan seks sekunder.
Alat ukur : Rekam Medis
Cara ukur : Mengisi data diri pada bagian jenis kelamin yang sesuai dengan
kartu identitas
Hasil ukur : Laki-laki
Perempuan
Skala ukur : Nominal
Kategori Koding
Laki-Laki 0
Perempuan 1

1.9.3.3 Ras
Definisi : Kategori individu yang secara turun-temurun

memiliki ciri-ciri fisik dan biologis tertentu.

Alat ukur : Rekam Medis.


Cara ukur : Dengan melihat sifat-sifat fisik yaitu bentuk badan, bentuk kepala,
bentuk muka dan tulang rahang bawah, bentuk hidung, warna kulit, warna rambut,
warna mata, dan bentuk rambut.
Hasil ukur : Jawa
Timur
Sunda
Melayu
Skala ukur : Nominal

Kategori Koding
Jawa 0
Sunda 1
Timur 2
Melayu 3

25
3.9.3.4 Pekerjaan
Definisi : Pekerjaan merupakan suatu kegiatan aktif dalam bentuk tugas atau
kerja yang menghasilkan sebuah karya atau pendapatan serta kegiatan tersebut
merupakan yang paling dominan yang ditugaskan atau dikerjakan oleh individu
tersebut.
Alat ukur : Rekam Medis
Cara ukur : Mengisi data rekam medis di dalam kolom pekerjaan pasien.
Hasil ukur : Petani
Buruh
Karyawan
Wiraswasta
Guru
Pegawai Negri
Pensiunan
Ibu Rumah Tangga
Skala ukur : Nominal

Kategori Koding
Dalam Gedung 0
Luar Gedung 1

3.9.3.5 Riwayat Penyakit Sistemik


Definisi : Gejala penyakit yang berhubungan dengan adanya kelainan kondisi
sistem metabolisme tubuh manusia.
Alat ukur : Rekam Medis
Cara ukur : Mengisi data rekam medis di bagian kolom riwayat penyakit.
Hasil ukur : Tidak ada
Ada
Skala ukur : Nominal

26
Kategori Koding
Tidak ada 0
Ada 1

3.9.3.6 Demografi
Definisi : Demografi adalah mempelajari dinamika kependudukan manusia.
Alat ukur : Rekam Medis
Cara ukur : Mengisi data diri pada bagian alamat pada rekam medis.
Hasil ukur : Kota
Desa
Skala ukur : Nominal

Kategori Koding
Kota 0
Desa 1

3.9.3.7 Riwayat Gangguan Refraksi


Definisi : Riwayat kelainan pembiasan cahaya sehingga bayangan tidak
fokus tepat di retina mata yang mengakibatkan penglihatan menjadi kabur.

Alat ukur : Rekam Medis


Cara ukur : Mengisi data rekam medis di dalam kolom riwayat penyakit.
Hasil ukur : Tidak ada
Ada
Skala ukur : Nominal

Kategori Koding
Tidak ada 0
Ada 1

27
3.9.3.8 Terapi
Definisi : Terapi merupakan pengobatan atau usaha untuk memulihkan
kondisi tubuh yang sakit

Alat ukur : Rekam Medis


Cara ukur : Melihat data rekam medis di dalam kolom penatatalaksanaan.
Hasil ukur :
Skala ukur : Nominal

Kategori
Timol
Azopt (Brinzolamide)
C-Glaopen (Lantanoprost)
Glaoseta ( Asetazolamide)
Tonor (Betaxolol)
Carpine (Pilokarpin)
Mannitol
SA 1%
Dexa – Neo (Polidemisin, Xitrol)
C-Mycos (Hidrokortison Chloramphenicol)
Trabekulektomi

3.9.3.5 Hasil Follow Up


Definisi : Kegiatan follow up adalah mengevaluasi dan memonitor keadaan
pasien dengan menggunakan strategi SOAP.

Alat ukur : Rekam Medis


Cara ukur : Melihat catatan perkembangan pasien terintegrasi pada rekam
medis.
Hasil ukur :
Skala ukur : Nominal

28
Kategori Koding
Naik 0
Visus
Tidak Naik 1
TIO Turun 0
Tidak Turun 1

29
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang Faktor Resiko Glaukoma Akut pada Pasien Baru Bulan
September di RS Mata dr. Yap akan dijabarkan dalam data sebagai berikut :

4.1 Karakteristik Sampel


4.1.1. Jenis kelamin
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin

Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent

Valid laki-laki 22 36.7 36.7 36.7

perempuan 38 63.3 63.3 100.0

Total 60 100.0 100.0

Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa dari total 60 sampel, 22 sampel
diantaranya adalah laki-laki (36,7%). Sedangkan sampel perempuan sebanyak 38 sampel (63,3%).

4.1.2 Usia
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Usia
Kumulatif
Frekuensi Persen Valid persen
persen
Valid Usia 40 - 49 tahun 5 8.3 8.3 8.3
Usia 50 – 59 tahun 22 36,7 36.7 45.0
Usia 60 – 69 tahun 22 36,7 36.7 81.7
Usia 70 – 79 tahun 9 15.0 15.0 96.7
Usia 80 – 89 tahun 2 3.3 3.3 100.0
Total 60 100.0 100.0

30
Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi menurut usia yang
mengalami glaukoma akut yaitu usia 40-49 tahun dengan jumlah 5 sampel (8,3 %), usia 50-59
tahun dengan jumlah 22 sampel ( 36,7 % ), usia 60 – 69 tahun dengan jumlah 22 sampel (36,7 %),
usia 70 – 79 tahun dengan jumlah 9 sampel (15 %), dan usia 80 – 89 tahun dengan jumlah 2 sampel
(3,3 %).

4.1.3 Pekerjaan
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pekerjaan

Frequency Percent Valid Cumulative


Present Percent
Valid Luar Gedung 21 35.0 35.0 35.0
Dalam
39 65.0 65.0 100.0
Gedung
Total 60 100.0 100.0

Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi sampel yan
mengalami glaukoma akut menurut pekerjaan yaitu guru dengan jumlah 2 sampel (3,3%), Ibu
rumah tangga dengan jumlah 18 sampel (30%), karyawan dengan jumlah 7 sampel (11,7%), petani
dengan jumlah 13 sampel (21,7%), PNS dengan jumlah 3 sampel (5%), wiraswasta dengan jumlah
7 sampel (11,7%), buruh dengan jumlah 8 sampel (13,3%), dan pensiunan dengan jumlah 2 sampel
(3,3%)

31
4.1.4 Ras

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Ras

Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent

Valid Jawa 57 95.0 95.0 95.0

Sunda 1 1.7 1.7 96.7

Timur 1 1.7 1.7 98.3

Melayu 1 1.7 1.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi menurut ras yang
mengalami glaukoma akut adalah jawa dengan jumlah 57 sampel (95%), sunda dengan jumlah 1
sampel (1,7%), timur dengan jumlah 1 sampel (1,7%), dan melayu dengan jumlah 1 sampel
(1,7%).

4.1.5 Demografi
Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Demografi

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Kota 17 28.3 28.3 28.3

Desa 43 71.7 71.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi sampel glaukoma
akut menurut demografi yaitu 17 sampel (28,3%) berasal dari kota dan 43 sampel (71,7%) berasal
dari desa.

32
4.1.6 Riwayat Penyakit Sistemik
Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Riwayat Penyakit Sistemik

Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent

Valid Tidak ada 41 68.3 68.3 68.3

Ada 19 31.7 31.7 100.0

Total 60 100.0 100.0

Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi sampel glaukoma
akut yang memiliki riwayat penyakit sistemik yaitu 41 sampel (68,3%) yang tidak memiliki
riwayat penyakit sistemik dan 19 sampel (31,7%) yang mempunyai riwayat penyakit sistemik.

4.1.7 Riwayat Gangguan Refraksi


Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Riwayat Gangguan Sistemik

Valid Cumulative
Frequency Percent
Percent Percent

Valid Tidak ada 45 75.0 75.0 75.0

Ada 15 25.0 25.0 100.0

Total 60 100.0 100.0

Berdasarkan data dari tabel diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi sampel glaukoma
akut yang memiliki riwayat gangguan refraksi yaitu 45 sampel (75%) yang tidak memiliki riwayat
gangguan refraksi dan 15 yang memiliki riwayat gangguan refraksi (25%).

4.1.8 Follow-Up
Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Visus Sesudah Terapi

Valid Cumulative
Freuquency Percent
Present Percent
Valid Naik 21 35.0 35.0 35.0

33
Tidak
39 65.0 65.0 100.0
Naik
Total 60 100.0 100.0

Berdasarkan data dari table diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi visus sebelum dan
sesudah terapi yaitu 21 sampel (35%) mengalami kenaikan visus sesudah terapi dan 39 sampel
(65%) tidak mengalami kenaikan visus ( penurunan visus dan tidak ada perubahan visus).

Tabel 4.9 istribusi Frekuensi Tekanan Intra Okular (TIO) Sesudah Terapi
Valid Cumulative
Freuquency Percent
Present Percent
Valid Turun 46 76.7 76.7 76.7
Tidak
14 23.3 23.3 100.0
Turun
Total 60 100.0 100.0

Berdasarkan data dari table diatas, dapat diketahui distribusi frekuensi TIO sesudah terapi
yaitu 46 sampel (76,7%) mengalami penurunan TIO sesudah terapi dan 14 sampel (23,3%) tidak
mengalami penurunan TIO sesudah terapi ( peningkatan TIO dan tidak ada perubahan TIO).

4.1.9 Terapi yang Digunakan untuk Glaukoma Akut

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Terapi yang Digunakan untuk Glaukoma Akut

Tatalaksana Jumlah Persentase (%)


Timolol 47 78,33 %
Azopt (Brinzolamide) 15 25 %
C-Glaopen (Latanoprost) 20 33 %
Glaoseta (Asetazolamide) 5 8,33 %
Tonor (Betaxolol) 3 5%
Carpine (Pilokarpin) 12 20 %
Mannitol 8 13,33 %
SA 1% 7 11,67 %

34
Dexa-Neo (Polidemisin, Xitrol) 25 36,67 %
C-Mycos (Hidrokortison 2 3,3 %
Chloramphenicol)
Trabekulektomi 50 83,3 %

Berdasarkan data dari tabel di atas, dapat diketahui distribusi frekuensi terapi yang
digunakan untuk glaukoma akut yaitu Timolol dengan jumlah 47 (78,33 %), Azopt (Brinzolamide)
dengan jumlah 15 (25 %), C-Glaopen (Latanoprost) dengan jumlah 20 (33 %), Glaoseta
(Asetazolamide) dengan jumlah 5 (8,33%), Tonor (Betaxolol) dengan jumlah 3 (5 %), Carpine
(Pilokarpin) dengan jumlah 12 (20%), Mannitol dengan jumlah 8 (13,33 %), SA 1% dengan jumlah
7 (11,67 %), Dexa-Neo (Polidemisin, Xitrol) dengan jumlah 25 (36,67 %), C-Mycos
(Hidrokortison Chloramphenicol) dengan juulah 2 (3,3 %), dan Trabekulektomi dengan jumlah 50
(83, 3 %).

4.2 Pembahasan

Berdasarkan tabel 4.1 mengenai distribusi frekuensi menurut jenis kelamin yang
mengalami glaukoma akut (PCAG) didapatkan 38 sampel (63,3%) adalah perempuan dan
22 (36,7%) sampelnya adalah laki-laki. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa penderita glaukoma akut (PCAG) lebih sering terjadi pada
perempuan. Penyebabnya kemungkinan akibat sudut bilik mata depan perempuan lebih
dangkal dibandingkan dengan sudut bilik mata depan laki-laki. Penelitian lain yaitu di India
mengatakan perempuan lebih sering terkena glaukoma akut dipengaruhi oleh faktor
panjang bola mata yaitu lebih pendek dan faktor lensanya yang lebih tebal. Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Canadian Glaucoma Study menyatakan bahwa penyebab
perempuan lebih berisiko terkena glaukoma akut masih belum jelas, mungkin dipengaruhi
oleh hormone estrogen, dimana hormone tersebut berperan dalam memberikan
perlindungan pada saraf optik, pada perempuan setelah menopause perempuan mungkin
kehilangan fungsi perlindungan tersebut sehingga berisiko untuk terkena glaukoma akut.

Berdasarkan tabel 4.2 mengenai distribusi frekuensi menurut usia yang mengalami
glaukoma akut (PCAG) didapatkan usia 40-49 tahun dengan jumlah 5 sampel (8,3 %),
usia 50-59 tahun dengan jumlah 22 sampel ( 36,7 % ), usia 60 – 69 tahun dengan jumlah

35
22 sampel (36,7 %), usia 70 – 79 tahun dengan jumlah 9 sampel (15 %), dan usia 80 – 89
tahun dengan jumlah 2 sampel (3,3 %). Beberapa penelitian menunjukkan semakin
bertambahnya usia memiliki resiko terserang glaukoma semakin besar. Faktor usia
mempengaruhi terjadinya glaukoma dikarenakan adanya faktor penuaan jaringan,dimana
karena penuaan jaringan tersebut menyebabkan penurunan perfusi cerebral dan perfusi
ocular.

Berdasarkan tabel 4.3 mengenai distribusi frekuensi sampel yang mengalami glaukoma
akut menurut pekerjaan didapatkan hasil yaitu 39 sampel (65%) bekerja dalam gedung dan
21 sampel (35%) bekerja di luar gedung. Pekerjaan dalam gedung disini berupa guru, ibu
rumah tangga, karyawan, wiraswasta, PNS, dan pensiunan) sedangkan diluar gedung yaitu
buruh dan petani. Hasil ini masih belum bisa dikatakan secara pasti, dikarenakan belum
ada penelitian yang secara khusus membahas mengani angka kejadian glaukoma akut
menurut pekerjaan. Akan tetapi, dari pekerjaan bisa dilihat keadaan sosio-ekonomi dan
tingkat pendidikannya. Menurut beberapa penelitian salah satunya penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan angka
kejadian penderita glaukoma lebih banyak ditemukan pada kelompok dengan pendidikan
rendah dan faktor social ekonominya yang rendah juga. Faktor pendidikan dan social
ekonomi mempengaruhi akses informasi dari berbagai media mengenai penyakit glaukoma
akut. Pada penelitian ini didapatkan sampel yang mengalami glaukoma dan bekerja di
dalam gedung lebih banyak daripada yang di luar gedung, hal ini menunjukkan bahwa
seseorang yang bekerja dalam gedung belum tentu memiliki tingkat pendidikan yang tinggi
seperti halnya pada ibu rumah tangga atau seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi
belum tentu memiliki pengetahuan yang luas mengenai penyakitnya hal ini berpengaruh
pada kualitas hidup orang tersebut.

Berdasarkan tabel 4.4 mengenai distribusi frekuensi sampel yang mengalami glaukoma
akut menurut ras jawa dengan jumlah 57 sampel (95%), sunda dengan jumlah 1 sampel
(1,7%), timur dengan jumlah 1 sampel (1,7%), dan melayu dengan jumlah 1 sampel (1,7%).
Hasil penelitian didapatkan jumlah ras/suku jawa yang lebih banyak, dikarenakan
penelitian ini dilakukan di daerah dengan mayoritas penduduk ras/suku jawa.

36
Berdasarkan tabel 4.5 mengenai distribusi frekuensi sampel yang mengalami glaukoma
akut menurut demografi didapatkan 17 sampel ( 28,3%) berasal dari kota, dan 43 sampel
(71,7%) berasal dari desa. Hasil ini mungkin dipengaruhi oleh faktor pendidikan dan
social-ekonomi seseorang. Akan tetapi, hasil ini belum bisa ditentukan secara pasti, karena
belum ada penelitian yang membahas secara khusus mengenai angka kejadian penderita
glaukoma akut menurut demografi.

Berdasarkan tabel 4.6 mengenai distribusi frekuensi sampel yang mengalami glaukoma
akut yang memiliki riwayat penyakit sistemik didapatkan 41 sampel (68,3%) yang tidak
memiliki riwayat penyakit sistemik dan 19 sampel (31,7%) yang mempunyai riwata
penyakit sistemik. Riwayat penyakit sistemik yang dimaksudkan yaitu diabetes mellitus
dan hipertensi. Kedua penyakit ini menurut beberapa studi merupakan penyakit yang
paling sering menyebabkan terjadinya glaukoma. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Fetty Ismandari dan Helda di Rumah Sakit Umum Dr. Cipto Mangunkusomo Jakarta
menujukkan bahwa tidak ada hubungan penyakit diabetes mellitus dan hipertensi terhadap
terjadinya glaukoma akut (glaukoma sudut tertutup akut). Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian ini dimana ditemukan penderita glaukoma akut tanpa riwayat penyakit sistemik
memiliki jumlah lebih sedikit daripada yang memiliki riwayat penyakit sistemik.

Berdasarkan tabel 4.7 mengenai distribusi frekuensi sampel yang mengalami glaukoma
akut yang memiliki gangguan refraksi didapatkan 45 sampel (75%) yang tidak memiliki
riwayat gangguan refraksi dan 15 yang memiliki riwayat gangguan refraksi (25%).
Gangguan refraksi tersering pada sampel tersebut adalah gangguan refrakasi
hipermetropia. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Menurut teori,
gangguan refraksi yaitu hipermetropia memiliki risiko tinggi untuk terjadinya glaukoma
akut (PACG). Hal ini dikarenakan pada hipermetropia panjang sumbu bola matanya
pendek, dan lokasi lensa relative ke depan. Lensa merupakan struktur mata yang ukurannya
bertambah besar seiring perjalanan hidup. Bila lensa terdorong ke depan disertai dengan
pertumbuhan lensanya, maka akan menutupi permukaan anterior korena. Hal ini akan
menyebabkan penurunan aliran humour akuos melalui sudut bilik mata depan.

37
Berdasarkan table 4.8 mengenai distribusi frekuensi visus setelah operasi trabekulektomi
didapatkan hasil 21 sampel (35%) mengalami kenaikan visus dan 39 sampel (65%) tidak
mengalami kenaikan visus (visus menurun atau menetap). Hasil tersebut dapat disebabkan
karena pada kasus glaukoma akut sudah terjadi peningkatan CD ratio akibat tekanan intra
okular yang meningkat tinggi. Kerusakan yang terjadi pada papil tersebut bersifat
irreversible sehingga operasi trabekulektopmi yang dilakukan tidak memberikan hasil
kenaikan visus yang bermakna. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini.

Berdasarkan table 4.9 distribusi frekuensi TIO setelah terapi didapatkan hasil 46 sampel
(76,7%) mengalami penurunan TIO dan 14 sampel (23,3 %) tidak mengalami penurunan
TIO (TIO meningkat atau tetap). Hasil penelitian ini sesuai dengan beberapa penelitian
salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Erva Monica Saputro di Cicendo Eye
Hospital. Penelitian tersebut menunjukkan timgkat keberhasilan trabekulektomi sebesar 86
% pada pasien glaukoma akut, namun pasien tersebut masih membutuhkan tatalaksana
medika mentosa untk mengontrol TIO-nya. Pada pasien yang mengalami peningkatan TIO
setelah operasi trabekulektomi dapatnm dipengaruhi oleh pemberian medika mentosa pre-
operasi yang berlebihan atau adanya sikatrik pada konjungtiva dan juga dipengaruhi oleh
sklera yang tipis.

Berdasarkan tabel 4.10, dapat diketahui mengenai frekuensi diketahui distribusi frekuensi
terapi yang digunakan untuk glaukoma akut yaitu Timolol dengan jumlah 47 (78,33 %),
Azopt (Brinzolamide) dengan jumlah 15 (25 %), C-Glaopen (Latanoprost) dengan jumlah
20 (33 %), Glaoseta (Asetazolamide) dengan jumlah 5 (8,33%), Tonor (Betaxolol) dengan
jumlah 3 (5 %), Carpine (Pilokarpin) dengan jumlah 12 (20%), Mannitol dengan jumlah 8
(13,33 %), SA 1% dengan jumlah 7 (11,67 %), Dexa-Neo (Polidemisin, Xitrol) dengan
jumlah 25 (36,67 %), C-Mycos (Hidrokortison Chloramphenicol) dengan juulah 2 (3,3 %),
dan Trabekulektomi dengan jumlah 50 (83, 3 %). Terapi medikamentosa dan non-
medikamentosa ini tergantung indikasi dan kontraindikasi dari kondisi pasien

38
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor resiko

seseorang bisa mengalami glaukoma akut antara lain faktor jenis kelamin, usia, pekerjaan,

demografi, dan riwayat gangguan refraksi. Dari penelitian ini ditemukan bahwa riwayat

penyakit sistemik tidak termasuk dalam faktor risiko seseorang bisa mengalami glaukoma

akut. Selain itu dapat disimpulkan juga bahwa terapi non-medikamentosa pada glaukoma

akut yaitu trabekulektomi, tidak memberikan pengaruh yang banyak terhadap visus, akan

tetapi terapi tersebut memberikan pengaruh yang baik dalam menurunkan tekanan intra

ocular (TIO), dimana penurunan tekanan intra ocular (TIO) merupakan prinsip penanganan

utama dari glaukoma akut.

39
Daftar Pustaka

1. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta:
EGC; 2010. h. 212-28.
2. Suhardjo SU, Angela NA. Buku Ilmu Kesehatan Mata. Edisi ke-3. Yogyakarta:
Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta; 2017.h.183-8.
3. Retno E, Tatang TG. Galukoma. Dalam Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata.
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 2012. h.111-43.
4. Vaughan, Daniel G, MD, Asbury, Taylor, MD, dan Riordan-Eva, Paul, FRCS, FRCOphth.
Editor; Diana Susanto. Oftalmologi Umum. EGC. Jakarta. 2009. hal; 12 dan 212-229.
5. James B, Chew C, Bron A. Lecture note on ophthalmology. 9th edition. Victoria: Blackwell
Publishing; 2003.
6. American Academy Of Ophthalmology: Fundamental and Principles of Ophthalmology in
Basic and Clinical Science Course, Section 2, 2003-2004, page 56-58.
7. American Academy Of Ophthalmology.2005-2006. Acute Primary Angle Closure
Glaucoma in Basic and Clinical Science Course, Section 10. Page : 122-126.
8. Larasati, K. 2011. Glaukoma Akut. Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanegara,
Jakarta.
9. Vaughan, D.G. Asbury, T. Riodan-Eva, P. 2000. Oftalmologi Umum Edisi 14 Cetakan
Pertama.Widya Medika, Jakarta. hal : 220-232
10. Cronemberger S, Lourenco LFS, Silva LC. Prognosis of glaucoma in relation to blindness
at university hospital. Arc Bras Oftalmol 2009;72(2):199-204.
11. Tezel G, Siegmund KD, Trinkaus K, et al. Clinical factors associated with progression of
glaucomatous optic disc damage in treated patients. Arc Opthalmology 2001;119:813-818.
12. Agarwal R, et al. Current concepts in the pathophysiology of glaucoma. Indian J
Opthalmol 2009;57:257-266.
13. Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV 2009, Becker-Shaffer’s Diagnosis and Therapy of
the Glaucomas 8th ed., Elsevire.
14. Vijaya L, George R, Arvind H, et al. Prevalence of angle-closure disease in a rural southern
Indian population. Arch Opthalmology 2006; 124:403-409.

40
15. Bourne RRA, sukudom P, Foster PJ, et al. Prevalence of glaucoma in Thailand: a
population based survey in Rom Klao District, Bangkok. British Journal Opthalmology
2003;87:1069-1074.
16. Wong TY, Loon SC, Saw S. the epidemiology of age related eye diseases in Asia. British
Journal Opthalmology 2006;90:506-511.
17. Chauhan BC, Mikelberg FS, Balaszi AG, et al. Canadian glaucoma study risk factor for
the progression of open-angle glaucoma. Arch Opthalmology 2008;127(8):1030-1364.
18. Broman AT. The number of people with glaucoma worldwide in 2010 and 2020. British
Journal Opthalmology 2006; 90:262-267.
19. Coleman AL, Kodjebacheva G. risk factors for glaucoma needing more attention. The
Open Opthalmology Journal 2009;3:38-42.
20. Fraser S, Bunce C, Wormald R. Risk factor for late presentation in chronic glaucoma.
Investigative Opthalmology & Visual Science 1999; 40 (10):2251-2257.
21. Shen SY, Wong TY, Foster PJ, et al. The prevalence and types of glaucoma in Malay
people: The Singapore Malay eye study. Investigative Opthalmology & Visual Science
2008; 49(9):3846-3851.
22. Le A, Mukesh BN, McCarty Ca, et al. Risk factor associated with the incidence of open-
angle glaucoma: The visual impairment project. Inestigative Opthalmology & Visual
Science2003;44(9):3873-3879.
23. Gordon MO, et al. the Ocular Hypertension Treatment Study. Arch Opthamol
2002;120:714-720.
24. James B, Chew C, Bron A. Lecture Notes on Opthalmology (edisi terjemahan dalam
Bahasa Indonesia). Penerbit Erlangga 2006:34-36.
25. Ilyas S, et al. Ilmu Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Sagung
Seto Jakarta 2002.
26. Ilyas, Sidartha, dkk. 2007. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. Hal:
212-217.
27. Goldberg, I. 2007. Definition of Term : Primary open angle glaucoma (POAG) in Asia
Pasific Glaucoma Guidelines South East Asia Glaucoma Interst Group, Sydney.
28. Kansky. JJ, 2005. Acute Congestive Angle Closure Glaucoma in Clinical Ophthalmology
A Systemic Approach, Sixth Edition, Butterworth- Heinemann Elsevier. Page:391-397.

41
29. American Academy Of Ophthalmology. 2003-2004. Fundamental and Principles of
Ophthalmology in Basic and Clinical Science Course, Section 2. Page: 56-58.
30. Gerhard KL, Oscar, Gabriele, Doris, Peter. 2007. Ophtalmology a short textbook. Second
edition. Thieme Stuttgart, New York.
31. Atiyatul, A. 2008. Penatalaksanaan Glaukoma Akut. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara, Medan.
32. Nurwasis, Komaratih E. 2006. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Mata Edisi III. RSU Dokter Soetomo. Surabaya. Hal: 2-3.

42

Anda mungkin juga menyukai