Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

PERAN NEUROPROTEKTOR PADA


GLAUKOMA

Pembimbing :
Prof. Dr. dr. H.H.B Mailangkay, Sp.M(K)

Disusun Oleh :
Inry Kristiani Purba (1965050068)
Irvan Christian Wenben (1965050069)
Christian D Haggai H I Saudale (1965050134)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


PERIODE 30 SEPTEMBER – 2 NOVEMBER 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Glaukoma, sebagai penyebab utama terbanyak kebutaan permanen di

dunia, adalah penyakit neurodegeneratif progresif dari sel ganglion retina dan

akson yang ditandai dengan rusak dan hilangnya sel ganglion retina secara

perlahan. Dulunya, glaukoma dikenal sebagai penyakit yang ditandai dengan

adanya kenaikan tekanan intraokuler (TIO), tetapi seiring dengan banyaknya

penemuan dan penelitian baru di dunia kedokteran, semakin jelas bahwa

kenaikan TIO hanyalah salah satu faktor risiko dari glaukoma. Bermula dari

akar penyakit glaukoma yang adalah kerusakan dan hilangnya sel ganglion

retina secara perlahan, maka ilmu pengetahuan tentang neuroproteksi pada

glaukoma terus dikembangkan dan sekarang menjadi salah satu fokus utama

dalam manajemen penanganan glaukoma. Neuroproteksi pada glaukoma

bertujuan untuk melindungi neuron yang rusak atau berpotensi untuk menjadi

rusak pada optik neuron yang berperan pada jaras penglihatan.1

Glaukoma dapat menyebabkan kebutaan yang bersifat ireversibel dalam

hitungan jam maupun hari. Berdasarkan data dari World Health Organization

(WHO) tahun 2002, dilaporkan bahwa glaukoma merupakan penyebab

kebutaan paling banyak kedua dengan prevalensi sekitar 4,4 juta (sekitar

12,3% dari jumlah kebutaan di dunia). Pada tahun 2020 jumlah kebutaan

akibat glaukoma diperkirakan akan meningkat menjadi 11,4 juta. Prevalensi


glaukoma diperkirakan juga akan mengalami peningkatan, yaitu dari 60,5 juta

(2010) menjadi 79,6 juta (2020).7 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi glaukoma di Indonesia adalah 4,6%.2

Glaukoma adalah penyakit neuropatioptikus yang progresif dan bersifat

kronis. Penyakit ini menyebabkan perubahan morfologi saraf optik dan lapisan

serabut saraf retina yang erat hubungannya dengan kematian sel ganglion

retina disertai dengan defek luas pandang yang berkorespon. Neuroproteksi

glaukoma adalah pengobatan dengan menggunakan agen terapi yang dapat

mencegah dan mengembalikan kematian sel neuron. Terapi ini telah digunakan

pada kelainan susunan saraf pusat lain seperti Alzheimer, Parkinson, dan

Huntington disease. Beberapa obat telah diteliti dan diharapkan dapat

mencegah kematian sel ganglion dengan menurunkan efek mekanik dan

memperbaiki vaskularisasi ke daerah saraf optic. Neuroprotektor tidak

tergantung dari tekanan intra okular dan mempunyai target terhadap neuron

pada jalur visual sentral termasuk sel ganglion.3

Berdasarkan penjelasan di atas, kami sebagai penulis menyadari

bagaimana pentingnya fungsi neuroproteksi dalam menangani kasus glaukoma.

Penulis akan membahas lebih lanjut mengenai glaukoma, proses neuropati

pada glaukoma, dan bagaimana mekanisme neuroproteksi dari glaukoma.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi Sudut Filtrasi Mata

Sudut filtrasi merupakan bagian yang penting dalam pengaturan drainase

humor aqueous. Sudut ini terdapat didalam limbus kornea. Limbus adalah

bagian yang dibatasi oleh garis yang menghubungkan akhir dari membrane

descemet dan membrane bowman, akhir dari membrane descemet disebut

garis schwalbe.4

Gambar II. 1 Anatomi Sudut Filtrasi Mata

Bagian terpenting dari sudut filtrasi adalah trabecular) yang terdiri dari :

II.1.1. Trabekula korneoskleral

Serabut yang berasal dari lapisan stroma kornea dan menuju

kebelakang mengelilingi kanalis Schlem untuk berinsesi pada sclera.4

II.1.2. Trabekula uveal

Serabut yang berasal dari lapisan dalam st roma kornea, menuju ke

scleral spur (insersi dari M.Ciliaris) dan sebagian ke M.Ciliaris meridional.


Serabut yang berasal dari akhir membrane descemet (garis Schwalbe).

Serabut ini menuju ke jaringan pengikat M.Ciliaris radialis dan sirkularis .4

II.1.3. Ligamentum pegtinatum rudimenter

Ligamentum ini berasal dari dataran depan iris menuju ke depan

trabekula. Trabekula terdiri dari jaringan kolagen, homogen, elastis dan

seluruhnya diliputi oleh endotel. Keseluruhannya merupakan sponge yang

tembus pandang, sehingga bila ada darah didalam kanalis schlem) dapat

terlihat dari luar.Kanalis schlem merupakan kapiler yang dimodofikasi,

yang mengelilingi kornea. Dindingnya terdiri dari satu lapisan sel,

diameternya 0,5 mm. pada dinding sebelah dalam, terdapat lubang -

lubang sehingga terdapat hubungan langsung antara trabekula dan kanalis

schlem. dari kanalis schlem keluar saluran kolektor 20-30 buah, yang

menuju ke plexus vena didalam jaringan schlera dan episklera dan vena

Ciliaris anterior di badan siliar. 4

II. 2. Fisiologi Humor Akueus

Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan pembentukan humor

akueus dan tahanan terhadap aliran keluarnya dari mata. Humor akueus adalah

suatu cairan jernih yang mengisi kamera anterior dan posterior mata. Volumenya

adalah sekitar 250 μL/menit. Tekanan osmotik sedikit lebih tinggi daripada

plasma. Komposisi humor akueus serupa dengan plasma kecuali bahwa cairan ini

memiliki konsentrasi askorbat, piruvat, dan laktat yang lebih tinggi dan protein,

urea dan glukosa yang lebih rendah. 5


Gambar II. 2. Drainase Aqueous Humor

Humor akueus diproduksi oleh korpus siliaris. Ultrafiltrat plasma yang

dihasilkan di stroma prosessus siliaris dimodifikasi oleh fungsi sawar dan

prosessus sekretorius epitel siliaris. Setelah masuk ke kamera posterior, humor

akueus mengalir melalui pupil ke kamera anterior lalu ke jalinan trabekular di

sudut kamera anterior. Selama periode ini, terjadi pertukaran diferensial

komponen-komponen dengan darah di iris. Peradangan atau trauma intraokuler

dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi protein. Hal ini disebut humor

akueus plasmoid dan sangat mirip dengan serum darah.5

Jalinan trabekula terdiri dari berkas-berkas jaringan kolagen dan elastik

yang dibungkus oleh sel-sel traabekula yang membentuk suatu saringan dengan

ukuran pori-pori semakin mengecil sewaktu mendekati kanalis Schlemm.

Kontraksi otot siliaris melalui insersinya ke dalam jalinan trabekula memperbesar

ukuran pori-pori di jalinan tersebut sehingga kecepatan drainase humor akueus

juga meningkat. Aliran humor akueus ke dalam kanalis Schlemm bergantung pada

pembentukan saluran-saluran transelular siklik di lapisan endotel. Saluran eferen

dari kanalis Schlemm (sekitar 30 saluran pengumpul dan 12 vena akueus)

menyalurkan cairan ke dalam sistem vena. Sejumlah kecil humor akueus keluar

dari mata antara berkas otot siliaris dan lewat sela-sela sklera (aliran uveoskleral).5
II. 3 Glaukoma

II.3.1. Definisi

Glaukoma adalah kondisi neurodegeneratif yang mempengaruhi

mata dan dikaitkan dengan peningkatan tekanan intraokular

(IOP). Ketika tidak diobati, pasien mungkin secara bertahap mengalami

kehilangan bidang visual, dan bahkan kehilangan penglihatan sepenuhnya.

Ini adalah penyebab utama kedua kebutaan di seluruh dunia.

Glaukoma dapat didefinisikan sebagai suatu kondisi yang menyebabkan

progresif neuropati di bidang optik dan ditandai dengan struktural

perubahan pada kepala saraf optik atau disk optik. Ini dapat menyebabkan

perubahan fungsional dalam bidang visual pasien.4,6

II.3.2. Epidemiologi

Berdasarkan survei kesehatan indonesia tahun 1993-1996, 1,5%

penduduk indonesia mengalami kebutaan dengan prevalensi kebutaan

akibat glakuma sebesar 0,20%. Glaukoma lebih sering terjadi seiring

bertambahnya usia. Ini terjadi pada dua persen orang di atas usia 40 tahun,

meningkat menjadi hampir 10 persen orang di atas usia 75 tahun. Berdasarkan

Jakarta Urban Eye Health Study tahun 2008 glaukoma sudut tertutup

sebesar 1,89%, glaukoma sudut terbuka 0,48%, dan glaukoma sekunder

0,16% atau keseluruhannya 2,53%. Disertai juga dengan jenis kelamin

perempuan lebih banyak dari laki-laki dengan Primary Open Angle

Glaucoma yang disebabkan oleh usia harapan hidup perempuan lebih

tinggi daripada laki-laki. Distribusi geografi memiliki peran pada


prevalensi glaukoma, (Angle Closure Glaucoma) biasanya ditemukan pada

populasi asia seperti mongolia, dengan prevalensi 64% dari seluruh kasus

glaukoma.7

II.3.3. Klasifikasi

II.3.3.1. Glaukoma Sudut Tertutup

Glaukoma sudut tertutup dapat terjadi apabila terbentuk iris bombe

yang menyebabkan sumbatan sudut kamera anterior oleh iris perifer.

Hal ini menyumbat aliran humor akueus dan tekanan intraokular

meningkat dengan cepat, menimbulkan nyeri hebat, kemerahan, dan

kekaburan penglihatan. Glaukoma sudut tertutup terjadi pada mata

yang sudah mengalami penyempitan anatomik sudut kamera anterior

(dijumpai terutama pada hipermetrop). Serangan akut biasanya terjadi

pada pasien berusia tua seiring dengan pembesaran lensa kristalina

yang berkaitan dengan penuaan. Terdapat 2 tipe glaukoma sudut

tertutup yaitu : akut dan kronis

Gambar II.3.1. Glaukoma Sudut tertutup

a. Glaukoma Sudut Tertutup Akut


Berbeda dengan glaukoma sudut terbuka primer pada

glaukoma sudut tertutup akut tekanan bola mata naik dengan tiba-

tiba. Pada glaukoma sudut tertutup akut terjadi penutupan

pengaliran keluar cairan mata secara mendadak. Tekanan yang

mendadak ini akan memberikan rasa sakit yang sangat, yang dapat

mengakibatkan timbulnya rasa muntah dan mual. Kepala seakan-

akan dipukul dengan martil pada sisi mata yang dapat serangan

akut. Mata menjadi merah, kornea keruh dan edematus,

penglihatan kabur disertai dengan adanya halo (pelangi disekitar

lampu).8

b. Glaukoma Sudut Tertutup Kronis.

Tidak semua orang dengan glaukoma tertutup akan mengalami

serangan akut. Banyak yang mengalami glaukoma sudut tertutup

kronis. Pada glaukoma tertutup kronis, iris berangsur-angsur

menutupi jalan keluar tanpa gejala yang nyata. Pada keadaan ini

perlahan-lahan terbentuk jaringan parut antara iris dan jalur keluar

cairan mata. Tekanan bola mata akan naik bila terjadi gangguan

jumlah cairan keluar akibat bertambahnya jaringan parut.8

II.3.3.2.Glaukoma Sudut Terbuka

Penyebabnya secara umum adalah sebagai suatu ketidaknormalan

pada matriks ekstraselular trabekular meshwork dan pada sel trabekular

pada daerah jukstakanalikuler, meskipun juga ada di tempat lain. Sel


trabekular dan matriks ekstraselular disekitarnya diketahui ada pada

tempat agak sedikit spesifik.4,9

II.3.3.3. Glaukoma dengan Tensi Normal

Kondisi ini adalah bilateral dan progresif, dengan TIO dalam batas

normal. Banyak ahli mempunyai dugaan bahwa faktor pembuluh darah

lokal mempunyai peranan penting pada perkembangan penyakit.

Merupakan bagian dari glaukoma primer sudut terbuka, tanpa disertai

peningkatan TIO.4,9

II.3.3.4. Glaukoma Sekunder4

Glaukoma sekunder adalah glaukoma yang disebabkan karena

penyakit lain, bisa penyakit lokal pada mata atau penyakit sistemik. Gejala

yang timbul dapat akut misal yang disebabkan uveitis; dan dapat pula

kronis. Yang kronis dapat terjadi pada glaukoma karena pengobatan

steroid jangka panjang atau pasca trauma. Gejalanya seperti pada

glaukoma primer sudut terbuka, antara lain: tidak terasa sakit, mata tenang,

sedikit atau tidak menimbulkan keluhan. Secara lebih spesifik, glaukoma

sekunder dapat disebabkan antara lain oleh :

1. Uveitis

Pada uveitis terjadi proses radang, termasuk terbentuknya eksudat-

eksudat serta adanya infltrasi sel radang sehingga celahcelah

trabekulum dapat tertutup yang mengakibatkan aliran keluar humor


aqueus terhambat. Terjadinya sembab trabekulum, sembab badan siliar,

dan iris mengurangi kemampuan pengaliran humor aqueus keluar

2. Lensa hipermatur

Pada katarak yang dibiarkan, lama kelamaan korteks lensa bisa

mencair kemudian keluar dari kapsul. Produk protein lensa yang keluar

dari kapsul dapat berperan sebagai antigen yang kemudian

mengakibatkan reaksi radang dalam mata (uveitis). Debris protein dan

sel-sel radang yang tersangkut dalam celah trabekulum mengakibatkan

terhambatnya aliran keluar humor aqueus. Glaukoma semacam ini

disebut glaukoma fakolitik.

3. Pengobatan steroid jangka panjang

Mekanisme steroid sebagai penyebab glaukoma masih belum jelas.

Diperkirakan penggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu)

dapat menimbulkan kerusakan pada trabekulum. Pengobatan steroid

secara topikal pada mata misalnya pada anakanak yang vernalis. Pada

pasien dengan pengobatan steroid jangka panjang topikal atau sistemik

perlu dilakukan pengawasan tekanan bola mata secara berkala.

4. Trauma

Glaukoma terjadi apabila terdapat kerusakan jaringan trabekulum

cukup luas sehingga mengganggu aliran keluar cairan akuos. Misal

trauma karena benturan/ lemparan bola. Glaukoma Sekunder Sudut

Tertutup Pada glaukoma ini, aliran humor aqueus tidak lancar karena
tertutupnya trabekulum oleh iris oleh sebab yang jelas. Penyebabnya

dijelaskan sebagai berikut.

5. Lensa maju/membesar

Luksasi lensa ke depan menyebabkan COA menjadi dangkal. Iris

akan terdorong ke kornea sehingga menutup jaringan trabekulum.

Pembengkakan lensa akibat meresapnya sejumlah cairan ke dalam

lensa pada proses katarak juga mempersempit COA. Penanganannya

dapat dengan pembedahan setelah glaukoma teratasi.

6. Tumor intraokular

Tumor yang berasal dari uvea dapat menyempitkan rongga bola

mata atau mendesak iris ke depan dan menutup COA. Misal:

melanoma maligna. Melanoma yang berasal dari uvea tumbuh cepat

dan dapat menyebabkan kenaikan TIO, karena perubahan volume,

gangguan pada sudut filtrasi, atau penyumbatan vena korteks.

Diperlukan tindakan enukleasi.

7. Neovaskularisasi sudut

Sering terjadi pada penderita retinopati DM dan penyakitpenyakit

vaskular retina. Bila retinopati terus berlanjut, selanjutnya akan terjadi

iskemik retina. Kondisi iskemik akan merangsang terbentuknya

pembuluh darah baru yang rapuh (neovaskularisasi). Kalau

neovaskularisasi ini mencapai iris, maka akan menutup sudut bilik

mata sehingga aliran cairan akuos terganggu dan TIO meningkat.

Tindakan pencegahan dilakukan dengan terapi fotokoagulasi retina


untuk mengurangi respon iskemia, sehingga tidak terjadi

neovaskularisasi. Tanda dan gejala yang timbul seperti pada glaukoma

primer sudut tertutup, khas disertai dengan rasa sakit, mata merah, dll.

II.3.3.5. Glaukoma Kongenital4

Glaukoma kongetinal terjadi karena saluran pembuangan tidak

terbentuk dengan baik atau bahkan tidak terbentuk sama sekali. Glaukoma

kongenital dibagi menjadi dua, yaitu tipe infantil dan tipe yang

berhubungan dengan kelainan kongenital lainnya. Glaukoma Kongenital

Primer/Glaukoma Infantil Biasanya sejak lahir bayi sudah menderita

glaukoma, atau pada umur tahun pertama. Kelainan ini terjadi karena

terhentinya pertumbuhan struktur sudut sejak dalam kandungan (kira-kira

saat janin berumur 7 bulan). Pada glaukoma sekunder, sejak lahir penderita

memiliki bola mata besar (buftalmos) yang disebabkan kenaikan TIO saat

masih dalam kandungan dan mendesak batas luar mata bayi yang masih

lentur. Bayi akan takut melihat cahay karena kornea yang keruh memecah

sinar yang datang sehingga bayi merasa silau. Bayi cenderung rewel,

karena peningkatan TIO menyebabkan rasa tegang/sakit pada mata; dan

apabila dilakukan pemeriksaan dengan tonometer, menunjukkan TIO > 21

mmHg.

Glaukoma Kongenital Berhubungan dengan Kelainan Kongenital

Lain Yang termasuk kelompok ini adalah glaukoma berpigmen, aniridia,

sindrom Axenfeld, anomali Peter, dan sindrom Rieger. Terapi yang

dilakukan pada glaukoma kongential yaitu membuat lubang supaya ada


saluran pembuangan. Pembuatan lubang dapat dilakukan dengan

goniotomi, yaitu operasi membuat torehan sudut, dilakukan untuk sudut

terbuka dan kedalaman bilik depan mata yang normal. Selain itu bisa

dilakukan trabekulektomi, yaitu pembuatan fistula antara COA dengan

ruang subkonjungtiva melalui pengangkatan sebagian jaringan trabekular

secara bedah, dilakukan untuk memudahkan drainase humor aqueus pada

glaukoma. Trabekulotomi memiliki prinisip yang sama seperti goniostomi,

tetapi pada trabekulotomi tidak dilakukan pengangkatan jaringan

trabekulum, namun trabekulumnya Cuma disobek sehingga terjadi

hubungan langsung dari COA ke kanalis Schlemm. Sebelum dilakukan

operasi tetap diberi obat untuk menurunkan TIO supaya kerusakan saraf

optik tidak lebih parah.

II.3.4. Faktor Risiko Glaukoma4 :

II.3.4.1. Glaukoma primer sudut terbuka

Terdapat beberapa faktor risiko terjadi pada POAG diantaranya :

1. TIO yang tinggi


2. Umur di atas 80 tahun 10 kali lebih banyak daripada umur 40

tahun
3. Ras, POAG lebih banyak pada orang kulit hitam daripada kulit

putih yaitu 4 kali lebih tinggi dari kulit putih


4. Miopia, risiko untuk menderita POAG 1,5-3 kali lebih tinggi

daripada orang normal


5. Gangguan kardiovaskuler, diabetes melitus, hipertensi,

hipotensi. Pada glaukoma normal tensi, terdapat disreguler


vaskular pada diskus optikus, seperti : hipertensi, hipotensi,

hiperviskositas, gangguan saraf simpatis-parasimpatis, sleep

apneu dan migraine.

II.3.4.2. Angle closure glaucoma (ACG)

1. Pada ACG umur merupakan faktor resiko tertingggi terjadi

ACG akibat dari penebalan dan majunya lensa. Tetapi dapat

terjadi pada segala usia


2. Gender, wanita lebih sering menderita ACG, diduga disebabkan

oleh kamera okuli anterior yang lebih dangkal pada wanita.


3. Kelainan refraksi, hiperopia mempunyai kedalaman dan

volume kamera anterior yang lebih sempit sehingga

memudahkan terjadi ACG

II.3.5. PATOGENESIS10

Sudut bilik mata dibentuk dari jaringan korneosklera dengan pangkal iris.

Pada keadaan fisiologis bagian ini terjadi pengaliran keluar cairan bilik mata.

Berdekatan dengan sudut ini didapatkan jaringan trabekulum, kanal Schlemm,

baji sklera, garis Schwalbe dan jonjot iris. Pada sudut filtrasi terdapat garis

Schwalbe yang merupakan akhir perifer endotel dan membran descement, kanal

schlemm yang menampung cairan mata ke salurannya. Sudut filtrasi berbatas

dengan akar iris berhubungan dengan sklera kornea dan disini ditemukan spur

sklera yang membuat cincin melingkar 360 derajat dan merupakan batas

belakang sudut filtrasi serta tempat insersi otot siliar longitudinal. Anyaman

trabekula mengisi kelengkungan sudut filtrasi yang mempunyai dua komponen

yaitu badan siliar dan uvea. Tekanan intraokular ditentukan oleh kecepatan
terbentuknya cairan mata (Aquos Humor) bola mata oleh badan siliar dan

hambatan yang terjadi pada trabekular meshwork. Aquos Humor yang dihasilkan

badan siliar masuk ke bilik mata belakang, kemudian melalui pupil menuju ke

bilik mata depan dan terus k e sudut bilik mata depan, tepatnya ke jaringan

trabekulum, mencapai kanal Schlemmdan melalui saluran ini keluar dari bola

mata. Pada glaukoma sudut terbuka, kelainan terjadi pada jalinan

trabekular, sedangkan sudut bilik mata terbuka lebar. Jadi tekanan intraokuler

meningkat karena adanya hambatan outflow Aquos Humor akibat kelainan

mikroskopis pada jalinan trabekular. Pada glaukoma sudut tertutup, jalinan

trabekular normal, sedangkan tekanan intraokuler meningkat karena obstruksi

mekanik akibat penyempitan sudut bilik mata, sehingga outflow Aquos Humor

terhambat saat menjangkau jalinan trabecular. Keadaan seperti ini sering terjadi

pada sudut bilik mata yang sempit (kadang-kadangdisebut dengan “dangerous

angle”).10

Penting untuk diketahui, jika sudut bilik mata tidak sempit atau sudut

terbuka luas, perifer iris tidak kontak dengan perifer kornea, sehingga sudut bilik

mata depan tidak tertutup dan glaukoma sudut tertutup tidak akan terjadi. Ini

merupakan perbedaan dasar antara glaukoma sudut terbuka dengan glaukoma

sudut tertutup. Ketika dislokasi lensa sebagai penyebab tertutupnya sudut bilik

mata maka keadaan ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup sekunder. Jika

glaukoma sudut tertutup tidak diketahui penyebabnya, kondisi ini dikenal dengan

glaukoma sudut tertutup primer. Apabila sudut bilik mata depan tertutup secara

cepat dan berat, ini dikenal dengan glaukoma akut yang disertai dengan banyak

gejala dan tanda. Apabila penutupan sudut bilik mata depan tidak sempurna dan

kadang-kadang saja terjadi, ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup


intermitten atau glaukoma sudut tertutup kronik , dan disertai dengan sedikit

gejala. Apabila glaukoma sudut tertutup intermitten yang tidak mempunyai

gejala, ini dikenal dengan glaukoma sudut tertutup kreeping.

Satu hal penting untuk diketahui bahwa tidak semua sudut bilik mata

sempit akan berkembang menjadi glaukoma akut, dapat terjadi hanya sebagian

kecil saja, terutama pada mata yang pupilnya berdilatasi sedang (3,0-4,5mm)

yang dapat memungkinkan terjadinya blok pupil sehingga dapat berlanjut

menjadi sudut tertutup. Akibat terjadinya blok pupil, maka tekanan intraokular

lebih tinggi di bilik mata belakang daripada bilik mata depan. Jika blok pupil

semakin berat tekananintra okuler di bilik mata belakang semakin bertambah,

sehingga konveksivitas iris semakin bertambah juga, ini dikenal dengan iris

bombe, yang membuat perifer iris kontak dengan jalinan trabekuler, dan

menyebabkan sudut bilik mata depan tertutup. Jika tekanan intraokuler

meningkat secara drastis akibat sudut tertutup komplit maka akan terjadi

glaukoma akut. Mekanisme lain yang dapat menyebabkan glaukoma akut ialah

plateau iris dan letak lensa lebih ke anterior. Pada keadaan seperti ini juga sering

terjadi blok pupil.10

II.3.6. Neuropati dan Neuroproteksi pada Glaukoma

Walaupun glaukoma dianggap sebagai penyakit mata, beberapa

penelitian mengkaitkan glaukoma dengan proses degeneratif dari sistem

saraf pusat. Glaukoma ditandai dengan rusaknya lapisan serabut saraf mata

dan papil saraf optik terutama kematian Sel Ganglion Retina (SGR), walau

disebutkan peningkatan tekanan intraokular sebagai faktor terbesar

penyebab glaukoma, namun kerusakan SGR tetap terjadi meskipun telah

adanya terapi penurunan tekanan intraokular pada pasien glaukoma.


Kerusakan saraf semakin progresif dengan lapisan serabut saraf retina,

degenerasi akson, dan tanda pelebaran.1,11,12,13

Perubahan kadar ion ekstrasel, keberadaan radikal bebas, deplesi

neurotropin dan eksitotoksitas karena kadar glutamat ekstrasel yang tinggi,

yang menempel pada reseptor N-Methyl-D-Aspartate (NMDA), berujung

pada peningkatan kadar kalsium intrasel adalah proses-proses degeneratif

yang terjadi pada pasien glaukoma. Penggunaan neuroproteksi dapat

mengatasi proses degeneratif tersebut. Tujuan pemberian neuroprotektor

adalah menurunkan laju faktor-faktor yang merusak neuron dan memberi

kemampuan pada neuron yang belum rusak untuk dapat bertahan dalam

menghadapi faktor-faktor perusak.1,11,12,13

Beberapa agen yang dikatakan memiliki kemampuan

neuroproteksi, dalam percobaan klinis seperti calcium channel blocker

ataupun dalam penelitian eksperimental seperti betaxolol, brimonidine,

antagonis NMDA, inhibitor nitric oxide synthase, neurotropin dan ekstrak

Ginkgo biloba. Sebagian besar dari neuroprotektor ini terbukti lebih

berfungsi pada keadaan sel glia retina dibandingkan menurunkan tekanan

intraokuler pada pasien glaukoma.1

II.3.6.1. Mekanisme neuropati optik pada glaukoma1

Mekanisme neuropatik optik glaukomatosa diakibatkan

oleh tekanan intraokular yang tinggi dan dapat juga disebabkan

oleh gangguan vaskular hal ini terjadi karena tekanan perfusi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan aliran darah pada papil nervus

optikus yang membawa oksigen dan nutrisi.

1. Cedera awal

Kerusakan pada glukoma adalah di Lamina kribosa Efek

gabungan dari faktor resiko yaitu kerentanan vaskular dengan

peningkatan tekanan bola mata dapat menyebabkan kerusakan

awal pada akson-akson yang terdapat pada tingkat lamina

kribosa. Namun, kemungkinan lain adalah kerusakan terjadi

akibat kerusakan langsung dari tekanan intraokular (TIO)

yang diterapkan pada sel ganglion retina sehingga akan

menyebabkan perubahan dalam struktur molekul sel-sel

tersebut dan menginduksi terjadinya apoptosis dari sel-sel

ganglion retina. Peningkatan TIO dapat menyebabkan

berkurangnya aliran darah dalam kapiler papil saraf optikus,

kemungkinan diakibatkan oleh kerusakan dari autoregulasi

dari aliran darah di diskus optikus

2. Neurotrophin withdrawal

Neurotrofin adalah kelompok protein yang sangat dekat

dengan protein yang diidentifikasi sebagai survival factor

bagi neuron sensori dan simpatetik, dan berperan dalam

pemeliharaan, perkembangan dan fungsi neuron baik yang

terdapat pada organ maupun otak. Neuron membutuhkan

neurotrophic growth factor yang didapatkan melalui


retrograde axolplasmic transport. Pada glaukoma terdapat

blokade pada retrograde axoplasmic transport yang

menyebabkan terjadinya apoptosis pada RCG (retinal

ganglion cell).

3. Apoptosis

Apoptosis adalah mekanisme biologi yang

merupakan salah satu jenis kematian sel terprogram.

Apoptosis digunakan oleh organisme multisel untuk

membuang sel yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh.

Pada apoptosis dikenal sebagai protein pengatur apoptosis.

Capcase dibagi menjadi bagian besar yaitu initiator dan

effector. Initiator capcase memiliki fungsi untuk

mengaktifkan capcase lainnya sedangkan effector memiliki

fungsi sebagai yang menjalankan tugas. Pada glaukoma,

diyakini terjadi aktifasi dari initiator.

4. Glutamate induced excitotoxicity

Glutamat adalah neurotransmiter utama di sistem saraf

pusat. Glutamate induced excitotoxicity terjadi apabila

kadar dari glutamat di ekstraseluler meningkat, baik karena

peningkatan maupun penurunan intake glutamate dari

sinaps. Pada glaukoma primer sudut terbuka, biasanya gen


yang bermutasi adalah OPTN, gen yang berfungsi mengatur

reseptor dari glutamat. Konsentrasi glutamat yang tinggi

membuat aktif beberapa reseptor sel, diantaranya adalah

NMDA (N-Methyl-DAspartate) reseptor yang dapat

memengaruhi jumlah kalsium. Jumlah kalsium yang tidak

normal dapat berujung pada pembentukan radikal bebas

yang dapat berujung pada apoptosis sel.

5. Pembentukan radikal bebas

Peningkatan aktifitas metabolik dari RGC

menyebabkan banyak radikal bebas terbentuk yang

berujung pada stres oksidatif. Stres oksidatif

mengakibatkan pemecahan protein, degenerasi asam

nukleat, dan degradasi lemak oksidatif yang berujung pada

kematian sel.

6. Nitric Oxide (NO)

NO merupakan radikal bebas yang terbentuk dari

NOS (NOsynthetase) memiliki peran penting dalam

beberapa kasus neurodegeneratif seperti glaukoma,

Alzheimer, multiple sclerosis, dan CVD. Terdapat 3 bentuk

dari NOS, yaitu:

1. NOS-1, enzim neuronal yang dapat terdeteksi pada

degenerasi neuron yang berada pada prelaminar region

dan di lamina cribosa mata orang dengan glaukoma.


2. NOS-2, enzim yang terproduksi apabila tekanan

intraokuler meningkat, yang dapat diturunkan secara

genetik pada pasien dengan glaukoma primer sudut

tertutup.

3. NOS-3, enzim yang ditemukan pada prelaminar nervus

optikus yang berfungsi sebagai vasodilator. Pada pasien

dengan glaukoma primer sudut tertutup, NOS-1 dan

NOS-3 memiliki kadar yang berlebih, sedangkan NOS-

2tidak ada pada pasien normal. Iskemi, inflamasi, dan

reperfusi berhubungan dengan peningkatan kadar NO

pada retina yang mengakibatkan peningkatan kadar

radikal bebas. Hal ini berujung pada kematian dari

RGC.

7. Calcium-dependent pathways

Kadar kalsium yang tinggi dapat bersifat toksik

pada sel. Terdapat 3 kanal dari kalsium, voltage-

sensitive calcium channels, store-operated channels dan

receptor-operated channel seperti reseptor NMDA.

Peningkatan kalsium intraseluler dan intra-aksonal

berujung pada kematian sel neuron dan degenerasi

akson.

8. Abnormalitas struktural
Perubahan bentuk dari ECM (matriks

ekstraseluler) dapat membahayakan retinal ganglion

cell, sedangkan MMP (Matriks metalloproteinase)

mendegradasi protein ECM. Peningkatan aktifitas dari

MMP dan berkurangnya protein ECM ditemukan pada

lapisan retinDal ganglion cell pasien dengan glaukoma.

Peningkatan dari MMP sendiri mengakibatkan

meningkatnya tekanan intraokuler.

9. Heat shock protein (HSP)

Heat shock protein meningkat sebagai respon dari

environmental stress seperti suhu panas, anoksia, dan

terpapar dengan sitokin. Heat shock protein ditemukan

dalam kadar yang tinggi pada pasien dengan glaukoma.

Meskipun HSP memiliki fungsi sebagai pelindung sel

dari kerusakan yang lebih lanjut dan melakukan

perbaikan pada sel. Kadar HSP yang tinggi dalam

rentang waktu yang lama mengakibatkan respon imun

yang berujung pada perburukan penyakit.

10. Insufisiensi vaskuler

Gangguan dari aliran dan otoregulasi pembuluh

darah nervus optikus dipercaya dapat mengakibatkan

glaukoma. Insufisiensi pembuluh darah berhubungan

dengan peningkatan kadar endotelin-1 di akuous humor.


Endotelin-1 merupakan vasokonstriktor yang dapat

mengakibatkan peredaran darah ke retina terganggu.

Hal ini berujung pada iskemik yang mengakibatkan

apoptosis secara tidak langsung. TNF-alfa juga dapat

terbentuk apabila terjadi iskemik. Interaksi dari TNF-

alfa dengan sel lainnya pada pasien glaukoma

mengakibatkan degenerasi dari sel neuron

II.3.6.2. Neuroproteksi dan Neuroprotektor1

Neuroproteksi berarti pada mekanisme dalam sistem saraf yang

berperan untuk melindungi neuron dari apoptosis atau proses

degeneratif. Sedangkan neuroprotektor adalah pengelompokkan obat-

obatan yang secara langsung berinteraksi dengan neuron ataupun sel

glia pada nervus optikus, dengan peran untuk memercepat atau

memerlambat jalur biokimia tertentu pada neuron untuk mencegah

kerusakan pada neuron ataupun memperbaiki kerusakan saraf yang

telah terjadi. Neuroprotektor bertujuan untuk melindungi neuron yang

telah rusak ataupun yang masih berfungsi baik pada neuropati optik,

yang terdiri dari semua neuron sepanjang jaras visual khususnya sel

glia retina. Neuroprotektor pada glaukoma diharapkan dapat mencegah

kerusakan nervus optik yang ireversibel pada penyakit ini, khususnya

jika etiologinya idiopatik ataupun pasien glaukoma dengan etiologi

lainnya.

II.3.6.2.1. Neuroprotektor sebagai Terapi Glaukoma1


a. Neurotropin

Neurotropin adalah growth factor berperan dalam regulasi

metabolisme neuron sehingga lingkungan sel dapat terjaga dalam

batas normal. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan

sejumlah faktor neurotropik, khususnya BDNF dan ciliary

neurotrophic factor dapat meningkatkan kemampuan sel glia retina

yang belum rusak untuk tetap berfungsi dengan baik, setelah

adanya kerusakan pada nervus optik. Tetapi belum ada clinical

trial yang membuktikan kerja neurotropin tersebut pada manusia.

Penelitian-penelitian yang sedang berjalan menunjukkan bahwa

kombinasi BDNF dan antagonis LINGO-1 (protein dengan kadar

leusin yang tinggi pada sistem saraf pusat) meningkatkan masa

hidup sel glia retina dalam jangka panjang. Brimonidine

melindungi sel glia retina dari iskemik, kompresi dan hipertensi

okuler. Salah satu mekanismenya adalah dengan menginduksi

sintesis BNDF dan fibroblast growth factor (FGF), meningkatkan

produksi gen anti-apoptosis seperti Bcl-2 dan Bcl-XL dan inhibisi

glutamat yang dapat menyebabkan iskemia dan menghambat kerja

reseptor NMDA.1,11

b. Antagonis Reseptor NMDA (N-Methyl-D-Aspartate)

Glutamat merupakan neurotransmiter utama dalam sistem

saraf pusat dan memiliki konsentrasi yang tinggi dalam neuron.

Kadar glutamat ekstraseluler yang tinggi, karena peningkatan


pelepasannya atau penurunan uptake dari sinaps, dapat

menyebabkan eksitotoksisitas. Konsentrasi glutamat yang tinggi

akan mengaktifkan reseptor NMDA yang menyebabkan masuknya

kalsium dalam jumlah banyak dalam sel. Konsentrasi kalsium

intrasel yang tinggi akan memicu aktivasi cascade nuklease,

protease dan lipase. Enzim-enzim tersebut akan merusak bagian-

bagian sel dan membentuk radikal bebas yang akhirnya

menginduksi apoptosis neuron. Kadar glutamat yang berlebihan

menyebabkan overaktivasi reseptor NMDA dan eksotoksisitas pada

neuron. Penggunaan antagonis NMDA efektif untuk mencegah

kerusakan sel glia retina. Memantine, obat penyakit Alzheimer dan

demensia vaskuler, merupakan salah satu obat yang memiliki efek

neuroprotektif yang tinggi, pada kerusakan sel glia retina hewan.

Sedangkan sebaliknya, satu penelitian mengenai keamanan dan

efektivitas memantine untuk glaukoma sudut terbuka tidak

memberikan hasil yang diharapkan. Memantine memberikan efek

neuroprotektif terhadap kerusakan sel glia retina, atrofi neuron

dalam jaras visual dan penurunan lapang pandang pada model

hewan.1,11

c. Calcium Channel Blockers

Peningkatan kalsium intrasel adalah kondisi neurotoksik.

Obat-obatan seperti memantine, flupirtine dan dextromethorphan

mengurangi influks kalsium dengan menghambat kerja reseptor


NMDA. Obat-obatan seperti nifedipine, verapamil dan dilitiazem

berperan sebagai neuroprotekor pada glaukoma dengan tekanan

intraokuler yang normal. Mereka memberikan efek neuroprotektif

dengan meningkatkan aliran darah ke sel glia retina. Tetapi, obat

dalam golongan ini dikhawatirkan memiliki efek samping yang

buruk karena menyebabkan hipotensi sistemik sehingga dapat

memperburuk iskemik pada retina karena adanya penurunan

tekanan perfusi.1,12

d. Antioksidan

Radikal bebas merupakan produk sampingan dari

metabolisme oksidatif. Sel glia retina sendiri sangatlah rentan

terhadap stres oksidatif. Interaksi radikal bebas dengan komponen

sel dapat menyebabkan kerusakan dari komponen sel neuron

seperti DNA, asam lemak, dan asam amino protein. Kerusakan sel

glia retina yang diinduksi oleh toksisitas NMDA dapat dikurangi

dengan pemberian antioksidan dan senyawa yang dapat

mengekskresi radikal bebas seperti vitamin C, vitamin E (α-

tokoferol), superoxide dismutase dan katalase. Ginkgo biloba

(Egb761) dikatakan dapat mengatasi radikal bebas, menjadi

inhibitor nitric oxide, vasodilator dan inhibitor reseptor NMDA.

Hanya sedikit data yang mendukung penggunaan Ginkgo biloba

sebagai neuroprotektor pada pasien glaukoma.1,11,12

e. Antagonis Nitric Oxide Synthase (NOS)


Neurotoksisitas terjadi saat nitric oxide pathway dimulai,

dimana adanya reaksi antara nitric oxide dengan anion superoksida

yang membentuk peroksinitrit dan radikal bebas yang lain.

Peroksinitrit akan merusak protein dan asam nukleat neuron. NOS

yang terlibat dalam nitric oxide pathway dapat dihambat dengan

menggunakan 2-aminoguanidine, i- NOS dan L-N [6-(1-

iminoethyl) lysine 5-tetrazole amide] pada model eksperimental.

Sehingga senyawa senyawa tersebut dikatakan memiliki efek

neuroprotektif. Nipradilol, antagonis reseptor β dan α1, juga

dikatakan memiliki efek neuroprotektif.1,11

f. Agen Antiapoptosis

Apoptosis pada sel glia retina disebabkan oleh penurunan

neurotropin, perubahan kadar kalsium intraseluler, radikal bebas

dan eksitotoksisitas neuron. Beberapa penelitian menunjukkan

pemberian kreatin, α-lipoic acid, nicotinamide, epigallocatechin-

gallate dapat mengatasi stres oksidatif, meningkatkan kerja

mitokondria dan memberi efek neuroprotektif.12 Brimonidine,

salah satu agen anti-apoptosis, bekerja dengan meningkatkan

produksi Bcl-2 dan Bcl-XL (protein yang menghambat terjadinya

apoptosis sel). Pendekatan lain yang bisa dilakukan adalah dengan

menghambat apoptosis dengan inhibitor caspase, enzim efektor

yang merusak sel saat apoptosis. Calceptin, inhibitor spesifik


calpain (salah satu caspase), memiliki efek neuroprotektif pada

model eksperimental.1

g. Terapi Gen

Terapi gen bisa dilakukan sebagai salah satu agen anti-

apoptosis. Agen yang mungkin efektif jika digunakan adalah

deprenyl, inhibitor monoamine oxidase (obat Parkinson), yang

meningkatkan ekspresi faktor-faktor yang menghambat proses

apoptosis. Obat lain yang bisa digunakan adalah flunarizine dan

aurintricarboxylic acid, yang memberikan hasil yang menjanjikan

dalam memperlambat proses apoptosis.1

II.3.6.3. Obat-obat Glaukoma

Meningkatnya perfusi okuler berperan penting pada terapi

glaukoma untuk menjaga kestabilan nervus optik. Tekanan intraokuler

yang tinggi menyebabkan penurunkan perfusi okuler sehingga

menyebabkan iskemik jaringan dan akhirnya menyebabkan kerusakan

permanen dari neuron pada nervus optik. Dengan adanya kelainan-

kelainan tersebut pada pasien glaukoma, sebaiknya diberikan terapi tidak

hanya untuk menurunkan tekanan intraokuler, namun juga untuk

memperbaiki kerusakan pada sel glia retina dan memperbaiki perfusi

okuler. Efek obat-obatan penurun tekanan intraokuler pada glaukoma

mudah untuk diukur, tetapi efek neuroprotektif untuk memperbaiki

kerusakan saraf lebih sulit untuk dievaluasi.

1. β-blocker/Antagonis Reseptor β-adrenergik (Carteolol, Timolol,


Betaxolol, Metipranolol, Levobetaxolol)

Obat golongan ini adalah obat yang paling umum digunakan pada

pasien glaukoma dengan efek sampingnya yang ringan. β-blocker

menurunkan tekanan intraokuler sebanyak 25% dari tekanan awal

dengan menghambat enzim adenylate-cyclase (salah satu dari tiga

enzim utama dalam pembentukan aqueous humor) sehingga produksi

aqueous humor menurun. Betaxolol mampu memberikan efek protektif

melawan kerusakan neuron akibat terjadinya iskemik. Timolol

memberikan efek neuroprotektif pada sel glia retina pada tikus dengan

glaukoma. Mekanisme neuroprotektif dari β-blocker dapat mengatur

kanal kalsium dan sodium, yang memiliki peran dalam metabolisme

glutamat dan aktivitas reseptor NMDA. Levobetaxolol diperkirakan

dapat meningkatkan aktivitas BDNF pada retina. Meskipun diberikan

secara topikal, β-blocker dapat memberikan efek samping sistemik

seperti hipotensi sistemik yang menurunkan perfusi okuler, bradikardia

dan yang berbahaya induksi konstriksi bronkus dan asma.

2. Agonis Reseptor α2-adrenergik (Brimonidine, Apraclonidine,

Clonidine)

Obat golongan ini mampu menurunkan produksi aqueous

humor dengan penghambatan kerja enzim adenylate-cyclase dan

peningkatan sekresi aqueous humor. Reseptor α2B-adrenergik terdapat

di akson, dendrit dan glia neuron sedangkan reseptor α2C-adrenergik


terdapat pada fotoreseptor. Brimonidine dan agonis reseptor α2-

adrenergik memberikan hasil yang baik sebagai neuroprotektif. Hingga

pada saat ini, obat brimonidine adalah satu-satunya obat yag terbukti

efeknya pada pasien glaukoma.

Penggunaan brimonidine menunjukkan adanya peningkatan

aktivitas BDNF pada sel glia retina. Meski memiliki efek samping,

brimonidine merupakan obat topikal utama yang memberikan efek

neuroprotektif selain mengurangi tekanan intraokuler pada pasien

glaukoma.

3. Inhibitor Karbonik Anhidrase (Acetazolamide, Doclophenamide,

Dorzolamide, Brinzolamide)

Obat golongan ini (sistemik atau topikal) mampu menurunkan

tekanan intraokuler karena terjadinya penghambatan enzim karbonik

anhidrase, salah satu dari tiga enzim penting dalam pembentukan

aqueous humor. Selain itu, obat golongan ini mampu menurunkan pH

darah dan menginduksi vasodilatasi dan meningkatkan perfusi retina.

Efek penurunan tekanan intraokuler dengan penggunaan obat oral

inhibitor karbonik anhidrase sangat kuat. Namun penggunaan obat

inhibitor karbonik anhidrase sistemik, seperti acetazolamide, terkadang

dibatasi akibat efek samping yang luas seperti hipokalemia,

pembentukan batu pada saluran kemih, diuresis dan anemia aplastik.

Obat topikal (dorzolamide, brinzolamide) juga memiliki efek samping

yang lebih sedikit dibanding obat oral.


4. Analog Prostaglandin (Unoprostone, Latanoprost, Travoprost,

Bimatoprost, Tafluprost)

Prostaglandin memiliki keefektifan yang tinggi untuk

menurunkan tekanan intraokuler dan bisa dikatakan sebagai obat

penurun tekanan intraokuler yang paling kuat. Jika dibandingkan

dengan β-blocker topikal atau α2-adrenergik, analog prostaglandin

tidak memiliki efek samping sistemik. Obat ini digunakan sekali setiap

hari untuk meningkatkan toleransi pasien. Prostaglandin dapat

menurunkan tekanan intraokuler sebanyak 25%-30% dari tekanan

awal, kecuali unoprostone yang tidak terlalu kuat efeknya. Obat ini

mampu menurunkan tekanan intraokuler dengan meningkatkan sekresi

aqueous humor melalui trabecular meshwork dan kanal Schlemm.

Obat golongan ini juga memiliki efek neuroprotektif dengan

melindungi sel glia retina dari apoptosis pada penelitian in vitro dan in

vivo. Latanoprost dikatakan mampu mencegah terjadinya toksisitas

karena glutamat. Selain itu, prostaglandin menyebabkan vasodilatasi

sehingga meningkatkan perfusi okuler. Walaupun demikian, belum ada

penelitian pada pasien glaukoma yang membuktikan efek

neuroprotektif, selain menurunkan tekanan intraokuler, dengan

pemberian analog prostaglandin. Efek samping lokal dari obat ini

adalah hiperemia, inflamasi, intoleransi dan penyakit pada permukaan

okuler.

5. Parasimpatomimetik (Pilocarpine, Carbachol)15


Efek obat ini menurunkan tekanan intraokuler dengan

peningkatan sekresi aqueous humor. Konstriksi jaringan otot polos

korpus siliar membuka trabekula dan kanal Schlemm dan

meningkatkan sekresi aqueous humor. Parasimpatomimetik mampu

menurunkan tekanan intraokuler sebanyak 20% dari tekanan awal.

Efek sampingnya yang menyebabkan miopia dan miosis menjadi

pembatas penggunaan obat ini.

6. Simpatomimetik (Adrenalin, Dipivalyl-epinephrine)

Penggunaan simpatomimetik pada glaukoma sangatlah jarang

untuk saat ini. Vasokontriksi pada vaskuler konjungtiva yang cepat

setelah penggunaan topikal dan vasodilatasi adalah efek obat ini.

Simpatomimetik menurunkan tekanan intraokuler sebanyak 15- 20%

dari tekanan awal. Penggunaan obat ini tidak lagi digunakan di banyak

negara. Simpatomimetik menurunkan tekanan intraokuler dengan

menurunkan kadar glikosaminoglikan pada trabecular meshwork.

Kadar glikosaminoglikan mengalami peningkatan pada glaukoma yang

disebabkan oleh steroid. Bisa dikatakan, simpatomimetik dapat

menjadi alternatif terapi pada pasien glaukoma sekunder karena

penggunaan steroid.

7. Imunomodulator dan Vaksinasi

Satu penelitian menjelaskan limfosit T yang teraktivasi akan

menginduksi aktivitas myelin basic protein (MBP), kemudian menuju

ke daerah neuron yang rusak dan melepaskan faktor neuroprotektif.


Tujuan pemberian vaksinasi adalah memperlambat progresisivitas dari

penyakit dan menyebabkan penurunan laju proses degeneratif pada

neuron setelah adanya trauma akut. Imunisasi pasif sel T adalah salah

satu terapi yang dapat diberikan. Sel T merangsang aktivitas mikroglia

dan monosit, akan mendukung regenerasi akson dan menghambat

degenerasi neuron lebih lanjut. Sel T juga mampu menyebabkan

penurunan kadar glutamat dan debris dan meningkatkan produksi

growth factor.

8. Terapi Stem Cell

Transplantasi stem cell adalah salah satu modalitas yang diteliti

untuk digunakan pada penyakit neurodegeneratif. Stem cell

diperkirakan memberikan efek neuroprotektif dengan kemampuan

sintesis neurotropin dan menghambat kerja MMP.

9. Bioenergetika

Beberapa penelitian mengatakan gagalnya produksi ATP dan

disfungsi mitokondria pada nervus optik pada glaukoma disebabkan

oleh penurunan jumlah ATP dan peningkatan produksi radikal bebas.

Peningkatan fungsi mitokondria dan suplai energi pada neuron bisa

menjadi alternatif dalam pemberian efek neuroprotektif pada neuron

yang rusak. Pendekatan tersebut sukses dibuktikan pada model

binatang dengan penyakit neurodegeneratif dan trauma otak. Tetapi,

efek tersebut belum diteliti lebih lanjut pada model binatang dengan

glaukoma.
BAB III

KESIMPULAN

III.1. Kesimpulan
Glaukoma adalah kondisi neurodegeneratif yang mempengaruhi

mata yang tidak hanya disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokular

(IOP) namun juga karena kerusakan pada saraf-saraf yang terlibat dalam

patofisiologinya. Glaukoma merupakan gangguan multifaktor yang kompleks,

yang bukan hanya diakibatkan oleh peningkatan TIO tetapi terdapat banyak faktor

lain juga. Penanganan yang dilakukan tidak hanyalah menurunkan TIO namun

juga dengan neuroproteksi. Neuroproteksi mampu melindungi saraf-saraf yang

rusak dan mencegah kerusakan saraf permanen yang menyebabkan hilangnya

penglihatan pada pasien glaukoma. Namun, obat dengan kemampuan

memproteksi neuron masih perlu diteliti lebih lanjut sebagai neuroproteksi dan

kemampuannya dalam menagani glaukoma.

DAFTAR PUSTAKA
1. Rassat NTK, Kartika S, Fernandez JP, Marcel I, et al. Neuroprotektor dan

Glaukoma. Jakarta : Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas

Kedokteran Katolik Indonesia Atmajaya 2016. P.1-23

2. Tobing LM. Acute Glaucoma on Right Eye. Lampung : J Agromed Unila.

2014.p.103.

3. Artini W. Neuroprotection On Glaucoma. Jakarta : Departemen Medik

Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.1.

4. Suhardjo SU, Agni AN. Buku Kesehatan Mata. Jogjakarta : Departemen

Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada.

2017. p.183-217.

5. Khurana, A.K. Comprehensive Opthalmology. 4th edition. New Delhi :

New Age International (P) limited.. 2007. p. 205-208.

6. Shellack N, Shellack G, Bezuidenhout S. Glaucoma : A Brief Review.

South Africa : S Afr Pharm J 2015;82(5):18-22.

7. Situasi dan Analisis Glaukoma. Jakarta Selatan : Kementrian Kesehatan

RI, Pusat Data dan Informasi. 2015.p.1.

8. Vaughan, Daniel G, MD, Asbury, Taylor, MD, dan Riordan-Eva, Paul,

FRCS, FRCOphth. Editor; Diana Susanto. Oftalmologi Umum. EGC.

Jakarta. 2009. P: 12 &212-22

9. Types of Glaucoma. San Fransisco : Glaucoma Research Foundation.

2017. Available from : https://www.glaucoma.org/glaucoma/types-of-

glaucoma.php.
10. Vaughan, D.G. Asbury, T. Riodan-Eva, P. Glaukoma. dalam : Oftalmologi

Umum,ed. Suyono Joko, edisi 14, Jakarta, Widya Medika, 2000. p : 220-

230.

11. Doozandeh A, Yazdani S. Neuroprotection in Glaucoma. Iran : J

Opthalmic Vis Res 2016. P:1.

12. Islam N. Management of glaucoma with neuroprotective drug. Bangladesh

: Bangladesh Journal of Medical Science. 2010. Vol.9 No.4. p:1.

13. Vasudevan SK, Gupta V, Crowston JG. Neuroprotection in glaucoma.

Indian J Ophthalmol. 2011 Jan;59(Suppl1):S102–13.

Anda mungkin juga menyukai