Anda di halaman 1dari 42

PRESENTASI KASUS

Tuberkulosa Paru pada Anak

Oleh:
Devina Hendriyana Gunawan 112017205

Moderator :
dr. Rachmanto HSA, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
JAKARTA
PERIODE 21 Mei 2018 – 04 Agustus 2018

1
BAB I

STATUS PASIEN

STATUS PENDERITA
No. catatan medik : 889633
Masuk RS : 4 Juni 2018
Pukul : 04.30 WIB

I. ANAMNESIS
Alloanamnesis dari ibu pasien, tanggal 04 Juni 2018 Jam : 04.30 WIB
Identitas Penderita
- Nama penderita : An. M.A.R
- Jenis kelamin : Laki-laki
- Tempat tanggal lahir : 01 Januari 2001
- Umur : 17 tahun 5 bulan
- Agama : Islam
Identitas (Orang Tua/Keluarga)

Ayah Ibu
Nama Tn. M I Ny. N
Umur 44 tahun 47 tahun
Agama Islam Islam
Perkawinan Pertama Pertama
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Pegawai swasta Ibu rumah tangga
Suku Bima Jawa
Golongan Darah - -
Alamat Jalan Kramat Kwitang Kebon Jalan Kramat Kwitang Kebon
Sayur Sayur

2
Riwayat Penyakit
Keluhan utama : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang


Satu bulan SMRS pasien mengalami nyeri pada ulu hati, rasa nyeri disertai dengan rasa
mual dan muntah. Dikatakan bahwa pasien memiliki kebiasaan telat makan dan senang makan
makanan yang pedas, pasien tidak memiliki kebiasaan minum kopi. Selain itu pasien mengaku
mulai mengalami penurunan berat badan sebanyak 3 kg dibanding berat badan sebelumnya (63
kg). Pasien mengaku tidak ada demam, tidak ada batuk, tidak ada sesak, tidak ada buang air
mencret dan tidak ada nyeri ketika berkemih.
Satu minggu SMRS pasien mengalami demam yang naik turun dan muncul pada pagi
siang maupun pada malam hari secara tidak menentu. Pasien mengatakan demam tidak sampai
menggigil, tidak ada batuk, tidak ada sesak, tidak ada pilek, tidak ada nyeri tenggorokan, tidak
ada mual dan muntah serta tidak ada kelainan pada buang air besar dan buang air kecil. Nafsu
makan pasien menurun. Kemudian pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat penurun
panas, antibiotik serta vitamin namun demam tidak membaik.
Beberapa jam SMRS pasien muntah sebanyak dua kali, muntah berisikan air. Saat ini
pasien mengeluhkan demam, nyeri kepala, nyeri pada ulu hati dan merasa lemas. Pasien
mengatakan tidak ada batuk, tidak ada pilek, tidak ada nyeri tenggorokan, buang air besar dan
buang air kecil normal serta pasien tidak nafsu makan. Pasien mengaku tidak ada yang
mengalami hal seperti ini di keluarga, tidak ada yang batuk lebih dari 2 minggu maupun demam
berkepanjangan lebih dari 2 minggu di keluarga maupun teman sekolah dan teman bermain,
pasien tidak ada riwayat berpergian keluar kota.

Penyakit sebelumnya yang ada hubungannya dengan panyakit sekarang:


Pasien terdiagnosis diabetes melitus tipe 1 sejak tahun 2013 di Rumah Sakit Ridwan.

Riwayat penyakit dalam keluarga/sekitarnya yang ada hubungannya dengan penyakit


sekarang:

3
Tidak ada keluarga pasien yang memiliki keluhan seperti pasien

Riwayat pribadi/sosial/lingkungan:
Pasien adalah anak kandung dan anak ke 2 dari 2 bersaudara, pasien tinggal bersama dengan
orang tua. Rumah pasien berada di kawasan yang padat penduduk. Rumah pasien terdiri dari 2
lantai dengan 3 kamar tidur serta 2 kamar mandi. Ventilasi baik dan rumah mendapatkan
pencahayaan matahari dengan baik. Rumah rutin dibersihkan.

Riwayat Pengobatan :
Insulin (Noverapid dan Levemir)

Riwayat Kelahiran
 Penolong : Dokter
 Cara persalinan : Normal
 Berat badan lahir : 3100 gram (berat lahir cukup)
 Panjang badan lahir : 49 cm
 Masa gestasi : Cukup bulan
 Keadaan setelah lahir : Langsung menangis.
 Kelainan bawaan : Tidak ada

Riwayat Nutrisi
Usia Susu Bubur Nasi
ASI
(Bulan) formula Susu Tim

0-2 + - - -

2-4 + - - -

4-6 + + + -

6-8 + + + -

4
8-10 + + + +

10-12 + + + +

Makanan biasa Frekuensi

Nasi : 3 kali/hari
Sayur : 2 kali/hari
Daging : 2 kali/minggu
Telur : 1 kali/hari
Ikan : 1 kali/hari
Tahu : 1 kali/hari
Tempe : 1 kali/hari
Susu : Setiap hari 1-2 kali/hari
Kesulitan makan : Tidak ada

Kesan: Kualitas dan kuantitas makanan cukup

Riwayat Tumbuh Kembang

a. Motorik kasar
 Menegakan kepala : 3 bulan
 Membalik badan : 3 bulan
 Merangkak : -
 Duduk : 5 bulan
 Berdiri : 7 bulan
 Berjalan : 9 bulan
b. Bahasa
 Bicara : 17 bulan
c. Motor halus dan kognitif
 Menulis : 4 tahun
 Membaca : 4 tahun
 Presentasi belajar : Baik

5
Kesimpulan : Perkembangan anak normal sesuai usia

Riwayat Imunisasi
Jenis Ulangan (umur)
Dasar (umur)
Imunisasi

Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan

Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan

BCG 1 bulan

DPT 2 bulan 4 bulan 6 bulan

HiB 2 bulan 4 bulan 6 bulan

Campak 9 bulan
Imunisasi Lain:
Difteri 17 tahun

Kesan : Imunisasi dasar dan imunisasi tambahan tidak sesuai dengan umur.

Riwayat Alergi : Tidak ada

Riwayat Operasi : Tidak ada

II. PEMERIKSAAN FISIS


- Keadaan umum : Tampak sakit ringan, pasien lemah
- Kesadaran : Compos Mentis
- Nadi : 89 kali/menit, kuat angkat, isi cukup, irama reguler, ekual di keempat
ekstremitas

6
- Respirasi : 20 kali/menit, thorakoabdominal
- Suhu : 37.2 ºC
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Data Antropometri
Berat badan = 60 kg
Tinggi badan = 173 cm
Status gizi :
- Berdasarkan BB/U = 60/66 x 100% = 90,9%
- Berdasarkan TB/U = 173/176 x 100% = 98,29%
- Berdasarkan BB/TB = 60/59 x 100% = 101,69%
- Berdasarkan LLA/U = 28/29,3 x 100% = 95,5%
- Kesan = status gizi normal, BB dan TB normal

Status Generalis
Kelainan mukosa kulit/subkutan yang menyeluruh : pucat (-), perdarahan (-), ruam (-), turgor
kulit normal
Kepala
- Bentuk : Bulat, simetris
- Rambut : Hitam
- Kulit : Sawo matang
- Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya (+/+).
- Telinga : Normotia, simetris, liang lapang, serumen (-/-)
- Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernapasan cuping
hidung (-), sekret (-)
- Mulut : Bibir tidak kering, sianosis (-), faring tidak
hiperemis, tonsil T1-T1 tenang.
Leher
- Bentuk : Simetris

7
- Kulit : Sawo matang
- Trakhea : Di tengah
- KGB : Tidak teraba membesar
- Tiroid : Tida ada pembesaran kelenjar tiroid
- JVP : Tidak meningkat

Thoraks
Dinding toraks : Lesi tidak ada, benjolan tidak ada, tidak retraksi (-),
pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri

Paru : Massa tidak ada, tidak ada nyeri, pergerakan dinding dada
simetris, suara napas vesikuler, tidak ada ronki dan tidak
ada wheezing.

Jantung : Bunyi jantung I-II murni reguler, tidak ada murmur dan
gallop.

Abdomen
- Inspeksi : Rata, tidak ada lesi, tidak terlihat penonjolan
massa, tidak terdapat caput medusa dan spider nevi
- Palpasi : Dinding perut : supel, nyeri tekan epigastrium (+) asites (-)
Hati : tidak teraba membesar
Limpa : tidak teraba membesar
Ginjal : tidak teraba, ballotemen negatif
Massa : tidak teraba massa
- Perkusi : Undulasi (-)
- Auskultasi : Bising usus normal

Anus dan rectum : Tidak dilakukan (tidak ada indikasi)

Genitalia : Tidak dilakukan (tidak ada indikasi)

8
Ekstremitas : Bentuk normal, akral hangat, tidak sianosis, CRT<2 detik,

Refleks
a. Tonus otot : Normotonus

b. Refleks Fisiologis
Refleks Biseps : +/+ Refleks Patella : +/+
Refleks Achilles : +/+ Refleks Triseps : +/+

c. Refleks Patologis
Refleks Hoffmann-Trommer : -/- Refleks Babinski : -/-
Refleks Oppenheim : -/- Refleks Chaddock : -/-

d. Tanda Rangsang Meningeal


Kaku Kuduk : negatif Brudzinski I : negatif
Kernig sign : negatif Brudzinski II : negatif
Laseque sign : negatif

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan di RSPAD Gatot Soebroto
Darah Rutin 04/06/2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


HEMATOLOGI
Hemoglobin 9.8* 13.0 - 16.0 g/dL
Hematokrit 30* 37 - 49 %

Eritrosit 4.7 4.5 - 5.3 juta/uL


Leukosit 8000 4.500 – 13.000/uL
Trombosit 197.000 150.000 - 400.000/uL

9
MCV 64 78.0 - 98.0 fL
MCH 21 25.0 - 35.0 pg
MCHC 33 31.0 - 37.0 g/dL

Kimia Klinik 04/06/2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


Ureum 29 20 - 50 mg/dL
Kreatinin 0.5 0.5 - 1.5 mg/dL
Glukosa Darah (sewaktu) 141 60 – 140 mg/dL
Natrium (Na) 136 135 – 147 mmol/L
Kalium (K) 3.9 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida (Cl) 100 95 - 105 mmol/L

Pemeriksaan Radiologi 04/06/2018

Foto Thorax AP

- Jantung kesan tidak membesar


- Aorta dan mediastinum superior tidak melebar
- Trakea di tengah, kedua hilus tidak menebal
- Suspek infiltrate di apeks paru kiri
- Perselubungan di laterobasal hemithoraks kiri kanan yang menutupi sebagian lengkung
diafragma dan sinus kostofrenikus kiri kanan terutama kanan
- Tulang-tulang intak

Kesan: Jantung dalam batas normal, efusi pleura bilateral, suspek infiltrate di apeks paru kiri,
DD/ TB paru, pneumonia.

10
Gambar 1. Hasil Foto Thorax Pasien

Imunoserologi 05/06/2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


Anti Salmonella Thypi IgM Negatif (2) ≤ 2 Negatif
3 Borderline
4 Positif Lemah
6-10 Positif

Pemeriksaan Mikrobiologi 06/06/2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


PCR TB (GeneXpert)
- Tanggal Hasil 07/06/2018
- Jenis Bahan Sputum

11
- Hasil Positif
- MTB (M. Tuberculosis) Detected, Low
- Rif Resistance Not Detected
Pemeriksaan BTA
- Jenis Bahan Sputum
- Tanggal diperiksa 06/06/2018
- Hasil Negatif Negatif

Urinalisis 06/06/2018

PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL


URINALISIS
Urin Lengkap
- Warna Kuning Kuning
- Kejernihan Jernih Jernih
- Berat Jenis 1.020 1.000 – 1.030
- pH 6.0 5.0-8.0
- Protein -/Negatif Negatif
- Glukosa -/Negatif Negatif
- Keton -/Negatif Negatif
- Darah -/Negatif Negatif
- Bilirubin -/Negatif Negatif
- Urobilinogen 0.1 0.1-1.0 mg/dL
- Nitrit -/Negatif Negatif
- Leukosit Esterase -/Negatif Negatif
Sedimen Urin
- Leukosit 0 < 5/LPB
- Eritrosit 0 < 2/LPB
- Silinder 0 Negatif/LPK
- Epitel 0

12
- Kristal 0 Negatif
- Lain-lain
Bakteri -/Negatif Negatif
Sel Ragi (Jamur) -/Negatif Negatif

IV. Resume

Anamnesis
Satu bulan SMRS pasien mengalami nyeri pada ulu hati, rasa nyeri disertai dengan rasa mual dan
muntah. Dikatakan bahwa pasien memiliki kebiasaan telat makan dan senang makan makanan
yang pedas. Selain itu pasien mengaku mulai mengalami penurunan berat badan sebanyak 3 kg
dibanding berat badan sebelumnya (63 kg). Satu minggu SMRS pasien mengalami demam yang
naik turun dan muncul pada pagi siang maupun pada malam hari secara tidak menentu. Pasien
mengatakan demam tidak sampai menggigil. Nafsu makan pasien menurun. Kemudian pasien
berobat ke puskesmas dan diberikan obat penurun panas, antibiotik serta vitamin namun demam
tidak membaik. Beberapa jam SMRS pasien muntah sebanyak dua kali, muntah berisikan air.
Saat ini pasien mengeluhkan demam, nyeri kepala, nyeri pada ulu hati dan merasa lemas. Pasien
tidak nafsu makan.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum tampak sakit ringan, pasien lemah; Kesadaran compos mentis; Nadi 89
kali/menit; Respirasi 20 kali/menit; Suhu 37,2oC; Tekanan darah 120/80 mmHg; Status gizi,
berat badan dan tinggi badan normal; Konjungtiva anemis; Nyeri tekan pada epigastrium
Pemeriksaan Penunjang
Hemoglobin 9.8 g/dL; Hematokrit 30%; PCR TB (GeneXpert) hasil positif dengan MTB
detected low; Pemeriksaan BTA negatif; Pada foto thorak didapatkan suspek infiltrate di apeks
paru kiri dan perselubungan di laterobasal hemithoraks kiri kanan yang menutupi sebagian
lengkung diafragma dan sinus kostofrenikus kiri kanan terutama kanan dengan kesan efusi pleura
bilateral, suspek infiltrate di apeks paru kiri DD/TB paru, pneumonia.

13
V. Diagnosis banding

- Tuberkulosis Paru
- Demam Tifoid
- DM Tipe 1
- Dispepsia

VI. Diagnosis kerja

- Tuberkulosis Paru
- DM Tipe 1
- Dispepsia

VII. Anjuran Pemeriksaan

 Pemeriksaan darah rutin


 Pemeriksaan gula darah secara berkala

VIII. Penatalaksanaan

- IVFD D5 ¼ NS 1500 ml/hari

- Makan biasa 2000 kal/hari

- Paracetamol 3x500 mg p.o

- Ceftriaxon 1x2 g iv

- Ranitidine 2x50 mg iv

- Ondancentron 3x4 mg iv

- INH 1x300 mg

- Rifampicin 1x500 mg

- Pirazinamid 2x500 mg

- Novorapid 13-14-11 IU SC

14
- Levemir 24 IU SC

IX. Prognosis

- Quo ad Vitam : Bonam


- Quo ad Functionam : Bonam
- Quo ad Sanationam : Bonam

X. Catatan Perkembangan Penyakit

Follow up di Bangsal

Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi

4/06/18 Pasien demam naik  Keadaan umum : tampak sakit  IVFD D5 ¼ NS


turun sejak 7 hari sedang, anak lemas - Febris hari 1200 ml/hari
Jam
SMRS. Pasien ke 7 ec?
04.30  Kesadaran: compos mentis  Paracetamol
mengeluh mual dan - Vomitus
3x500 mg p.o
muntah disertai nyeri  TTV : Suhu 37,5oC, nadi 84x/menit,

ulu hati, batuk tidak pernafasan 20 x/menit  Ranitidin1 amp

ada, pilek tidak ada,  Mata : konjungtiva anemis, sclera  Ondansentron 1


nafsu makan tidak ikterik. amp
menurun, BAB dan
 THT : tidak ada nafas cuping hidung,  Foto thoraks
BAK baik.
faring tidak hiperemis, T1-TI dianjurkan

 Thorak : simetris, retraksi tidak ada

 Pulmo : Suara nafas vesikuler, tidak


ada ronkhi dan tidak ada wheezing

 Cor : BJ I dan BJ II murni regular,


tidak ada gallop, tidak ada murmur.

 Abdomen : Supel, bising usus ada,


nyeri tekan pada epigastrium, hepar
dan lien tidak teraba membesar

 Extremitas ; akral hangat, tidak

15
sianosis, CRT < 2 detik

04/06/18  Menghubungi dokter Martaviani Sp.A,  IVFD D5 ¼ NS


advis: 1500 ml/hari
Jam
08.30 - Rawat inap  Inj ceftriaxone
1x2 g (1)
- Cek IgM Salmonella

- Konsul dr Dana Sp.A untuk masalah  Paracetamol

DM 3x500 mg po

- Melakukan skin test ceftriaxone  Ranitidin 2x50


mg

05/06/18 Pasien mengeluh  Keadaan umum : tampak sakit  IVFD D5 ¼ NS


kemarin sore nyeri sedang, lemas - Febris hari 1500 ml/hari
Jam
kepala dan merasa ke 8 ec?
07.00  Kesadaran : compos mentis  Makan biasa 1800
pusing ketika bangun Sepsis?
kal/hari
Pasien  TTV : Suhu 37,6 C, nadi 126x/menit,
o
tidur. - DM tipe 1
mengatakan sudah pernafasan 20x/menit, saturasi O2 on insulin  Inj ceftriaxon 1x2 g

tidak ada demam, 98% - Dyspepsia IV (2)

tidak ada mual dan  Mata : konjungtiva anemis, sclera - Suspek TB  Inj ranitidin 2x50
tidak ada muntah, tidak ikterik. mg IV
tidak ada batuk, tidak
 THT : tidak ada nafas cuping hidung,  Inj ondansentron
ada pilek dan tidak
faring tidak hiperemis, T1-TI 3x4 mg IV
ada sesak. Pasien
masih merasa lemas.  Leher : KGB tidak teraba membesar,  Paracetamol
BAB dan BAK JVP tidak meningkat 3x500 mg po (T ≥
pasien baik. 38oC)
 Thorak : simetris, retraksi tidak ada
tidak ada  Novorapid 13-14-
11 IU
 Pulmo: vesikuler, tidak ada ronkhi
dan tidak ada wheezing  Levemir 24 IU

 Cor : BJ I dan BJ II murni regular,  Monitoring


tidak ada gallop, tidak ada murmur. keadaan umum,
TTV
 Abdomen : Supel, bising usus ada,
tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien  Cek GDS sebelum
tidak teraba membesar makan dan 2 jam

16
 Extremitas ; akral hangat, tidak setelah makan
sianosis, tidak ada edema, CRT < 2
 Pemeriksaan urin
detik
lengkap
 GDS 190 mg/dL
 Cek sputum 3x
GeneXpert

06/06/18 Pasien mengeluh  Keadaan umum : tampak sakit  IVFD D5 ¼ NS


masih lemas dan sedang, lemas - Febris hari 1500 ml/hari
Jam
pusing. Tidak ada ke 9 ec?
07.00  Kesadaran : compos mentis  Makan biasa 1800
batuk, tidak ada pilek - DM tipe 1
kal/hari
ada,  TTV : Suhu 36,4 C, nadi 88x/menit, on insulin
o
demam tidak
mual dan muntah pernafasan 20x/menit - Dyspepsia  Inj ceftriaxon 1x2 g

tidak ada,
nafsu  Mata : konjungtiva anemis, sclera - Suspek TB IV (3)

makan masih tidak ikterik.  Inj ranitidin 2x50


menurun. BAB dan mg IV
 THT : tidak ada nafas cuping hidung,
BAK baik.
faring tidak hiperemis, T1-TI  Inj ondansentron
3x4 mg IV
 Leher : KGB tidak teraba membesar
 Paracetamol
 Thorak : simetris, retraksi tidak ada
3x500 mg po (T ≥
tidak ada
38oC)
 Pulmo: vesikuler, tidak ada ronkhi
 Novorapid 13-14-

17
dan tidak ada wheezing 11 IU

 Cor : BJ I dan BJ II murni regular,  Levemir 24 IU


tidak ada gallop, tidak ada murmur.
 Monitoring
 Abdomen : Supel, bising usus ada, keadaan umum,
tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien TTV
tidak teraba membesar
 Cek GDS sebelum
 Extremitas ; akral hangat, tidak makan dan 2 jam
sianosis, tidak ada edema, CRT < 2 setelah makan
detik
 Cek sputum 3x
 GDS 207 mg/dL GeneXpert

 Pemeriksaan urin lengkap normal

07/06/18 Orang tua pasien  Keadaan umum : tampak sakit  IVFD RL 1500
mengatakan pasien sedang, lemas - Suspek TB ml/hari
Jam
masih lemas dan Paru
07.00  Kesadaran : compos mentis  Inj ceftriaxon 1x2 g
merasa pusing. Tidak - DM tipe 1
IV (4)
ada batuk, tidak ada  TTV : Suhu 36,7 C, nadi 82x/menit, on insulin
o

pilek demam tidak pernafasan 16x/menit - Dyspepsia  Ranitidin IV (Stop)

ada, mual dan muntah  Mata : konjungtiva tidak anemis,  Ranitidin 2x1 tab
tidak ada, BAB dan sclera tidak ikterik. po
BAK baik.
 THT : tidak ada nafas cuping hidung,  Ondansentron IV
faring tidak hiperemis, T1-TI (Stop)

 Leher : KGB tidak teraba membesar  Paracetamol


3x500 mg po (T ≥
 Thorak : simetris, retraksi tidak ada
38oC)
tidak ada
 Novorapid 13-14-
 Pulmo: vesikuler, tidak ada ronkhi
11 IU
dan tidak ada wheezing
 Levemir 24 IU
 Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
tidak ada gallop, tidak ada murmur.  Monitoring
keadaan umum,
 Abdomen : Supel, bising usus ada,
TTV
tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien
 Cek GDS sebelum

18
tidak teraba membesar makan dan 2 jam
setelah makan
 Extremitas ; akral hangat, tidak
sianosis, tidak ada edema, CRT < 2  Monitoring
detik sputum BTA 2x &
GeneXpert (+)

 INH 1x300 mg

 Pirazinamid
2x500 mg

 Rifampisin 1x500
mg

 Pindah ruang
isolasi

08/06/18 Pasien mengatakan  Keadaan umum : tampak sakit - TB paru  Infus heplock
tidak ada keluhan. ringan - DM tipe 1
07.00 Inj ceftriaxon 1x2 g
Tidak ada batuk, on insulin
 Kesadaran : compos mentis IV (5) (Terakhir)
tidak ada pilek - Dyspepsia
demam tidak ada,  TTV : Suhu 37oC, nadi 100x/menit,  Ranitidin 2x1 tab

mual dan muntah pernafasan 20x/menit, tekanan darah po


110/70 mmHg
tidak ada, BAB sudah  Paracetamol
1 kali berwarna  Mata : konjungtiva tidak anemis, 3x500 mg po (T ≥
kuning dan BAK sclera tidak ikterik. 38oC)
baik.
 THT : tidak ada nafas cuping  Novorapid 13-14-
hidung, faring tidak hiperemis, T1- 11 IU
TI
 Levemir 24 IU
 Leher : KGB tidak teraba membesar
 INH 1x300 mg
 Thorak : simetris, retraksi tidak ada
 Rifampisin 1x500
tidak ada
mg
 Pulmo: vesikuler, tidak ada ronkhi
 Pirazinamid 2x500
dan tidak ada wheezing
mg
 Cor : BJ I dan BJ II murni regular,
 Rawat jalan, konsul
tidak ada gallop, tidak ada murmur.
poliklinik anak

19
 Abdomen : Supel, bising usus ada, tanggal 12/06/18
tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien
tidak teraba membesar

 Extremitas ; akral hangat, tidak


sianosis, tidak ada edema, CRT < 2
detik

20
BAB II

Tinjauan Kepustakaan

Etiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis yang
bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di
paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer. Mycobacterium tuberculosis adalah suatu
bakteri berbentuk batang, non-motil, pleomorfik, dan jika diwarnai dengan pewarnaan Gram
akan tampak gambaran positif lemah berbentuk batang yang biasanya panjang dan agak
melengkung. Tanda khas dari mycobacteria adalah tahan asam, dikarenakan adanya kemampuan
untuk suatu mycolate complex yang stabil dengan pewarnaan arylmethane (crystal violet,
carbolfuchsin, auramine,dan rhodamin) dan dapat bertahan dari pembilasan dengan etanol dan
asam hidroklorik, atau dengan asam lain.1

Epidemiologi

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB


(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB pada anak terjadi pada anak berusia 0-14 tahun. Di negara-
negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-50% dari jumlah
seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia menderita TB setiap
tahunnya.2

Pada tahun 2011 terdapat 490.000 kasus TB pada anak (sekitar 6% dari semua kasus TB),
setiap tahunnya sekitar 64.000 anak meninggal oleh TB. Hal ini membuat TB menjadi salah satu
dari 10 penyakit terbanyak yang menyebabkan kematian anak. Menurut World Health
Organization (WHO), kira-kira terdapat 1 juta anak yang sakit TB dan 250.000 anak meninggal
oleh TB pada 2016 (termasuk 52.000 anak HIV dengan TB). Proporsi kasus TB anak diantara
semua kasus TB di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun
2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9% pada tahun 2013, 7,16% pada tahun 2014 dan 9% pada tahun
2015. Proporsi tersebut bervariasi antar provinsi dari 1,2% sampai 17,3%. Variasi proporsi ini
mungkin menunjukan endemisitas yang berbeda antara provinsi, tetapi bisa juga dengan
perbedaan kualitas diagnosis TB anak pada level provinsi.2,3,4

21
Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang
dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), berada atau lahir pada daerah endemis, tunawisma,
orang yang menggunakan narkoba suntik, orang yang bekerja (atau pernah) di tempat
penampungan / perawatan, pekerja kesehatan yang merawat pasien dengan risiko penularan yang
tinggi (apabila pengendalian infeksinya tidak adekuat). Sumber infeksi TB pada anak yang
terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif.
Berarti bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB.5

Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien
dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif , infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas,
produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan
yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik. Pasien TB anak jarang menularkan
kuman pada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat
jarang ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat
menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman pada TB anak pada umumnya sedikit
(paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah
mampu menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi
sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak
terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya
reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.6

Cara Penularan 6
1. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
2. Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type B.
3. Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama pajanan, daya
tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan
lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
4. Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit TB.
Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65 % pasien BTA negatif dengan hasil

22
kultur positif adalah 26 % sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto thorax
positif adalah 17 %.

Patofisiologi 1,2,6

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam percik
renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5um) akan terhirup dan dapat mencapai
alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme
imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik. Akan tetapi, pada
sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat
menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian
besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan
terus berkembang biak di dalam makrofag dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan focus primer Ghon.

Dari focus primer ghon kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang memiliki saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara focus primer, limfadenitis dan limangitis
dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi
pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman sampai timbul
gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama
4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah
103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas seluler.

Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi
kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui dengan
adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberculin positif. Selama masa
inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang
berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Akan
tetapi sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah

23
terbentuk, kuman TB yang baru masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas
seluler spesifik (cellular mediated immunity, CMI).

Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis pengkijuan
dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini, tetapi tidak menimbulkan
gejala sakit TB.

Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat focus di paru atau di kelenjar
limfe regional. Fokus primer di paru dapat membersar dan menyebabkan pneumonitis atau
pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis pengkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar lelaui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).

Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi,
akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus dapat akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di
segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis pengkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga
menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis yang sering disebut sebagai lesi segmental
kolaps konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen. Dapat
juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB
disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar

24
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang memiliki
vaskularsasi yang baik, paling sering di apeks paru, limpa dan kelenjar limfe superfisialis. Selain
itu dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal, dan lain-lain. Pada
umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif (tenang), demikian pula
dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru di sebut dengan focus simon, yang di
kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru saat dewasa.

Gambaran Klinis TB Paru Anak 2,5,6

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering terkena
adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai dengan
organ terkait. Gejala sistemik/umum adalah sebagai berikut:

a. Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal tumbuh
(failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik dalam waktu
1-2 bulan
b. Demam lama (≥ 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lain-lain) Demam umumnya tidak tinggi.
Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak
disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain
c. Batuk lama ≥ 2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau intensitas
semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat disingkirkan. Batuk tidak
membaik dengan pemberian antibiotika atau obat asma (sesuai indikasi)
d. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang
e. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain
f. Diare persisten/menetap (> 2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare
g. Gejala-gejala tersebut menetap walau sudah diberikan terapi yang adekuat

Pemeriksaan untuk Diagnosis TB Anak 2,5

A. Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan diagnosis
TB, baik pada anak maupun dewasa. Cara mendapatkan sputum pada anak

25
- Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak
secara langsung dengan berdahak
- Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang
tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan specimen dikumpulkan minimal 2
hari berturut-turut pada pagi hari.
- Induksi sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur,
dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila
menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan
tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode
ini.

Beberapa pemeriksaan bakteriologis untuk TB:

a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau specimen lain (cairan tubuh atau
jaringan biopsi) sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi hari
b. Tes cepat molekuler (TCM)
Beberapa teknologi baru telah dikembangkan untuk mengidentifikasi Mycobacterium
tuberculosis dalam waktu yang cepat (kurang lebih 2 jam), antara lain pemeriksaan
Line Probe Assay (missal Hain GenoType) dan NAAT (Nuclei Acid Amplification
Test) (misalnya Xpert MTB/RIF).
Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi kuman Mycobacterium
tuberculosis secara molekuler sekaligus untuk menentukan adanya resistesi terhadap
Rifampicin. Pemeriksaan TCM memiliki nilai diagnostik yang lebih baik dari pada
pemeriksaan mikroskopis sputum, tetapi masih dibawah uji biakan. Hasil negatif
TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB.
c. Pemeriksaan biakan
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan kuman pnyebab TB yaitu kuman
Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan biakan (dari sputum, bilas lambung,
cairan serebrospinal, cairan pleura maupun biopsy jaringan). Pemeriksaan biakan

26
sputum dan uji kepekaan obat dilakukan jika fasilitas tersedia. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasien TB ekstra paru, TB anak dan TB BTA
negatif. Jenis media untuk pemeriksaan biakan yaitu:
1. Media padat: hasil biakan dapat diketahui 4-8 minggu
2. Media cair: hasil biakan dapat diketahui lebih cepat (1-2 minggu), tetapi lebih
mahal

B. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk membantu menegakan diagnosis
TB pada anak:
a. Uji tuberculin
Uji tuberculin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak,
khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberculin dengan
cara Mantoux yaitu penyuntikan 0,1 ml tuberkulin PPD secara intrakutan di bagian
volar lengan dengan arah suntikan memanjang lengan (longitudinal). Tuberkulin yang
tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 (2 TU). Reaksi diukur 48-72 jam
setelah penyuntikan. Indurasi tranversal diukur dan dilaporkan dalam mm berapapun
ukurannya, termasuk cantumkan 0 mm jika tidak ada indurasi sama sekali. Indurasi
10 mm ke atas dinyatakan positif. Indurasi < 5 mm dinyatakan negatif, sedangkan
indurasi 5-9 mm meragukan dan perlu diulang, dengan jarak waktu minimal 2
minggu. Hasil positif uji tuberculin menunjukkan adanya infeksi dan tidak
menunjukkan ada tidaknya sakit TB. Sebaliknya, hasil negatif uji tuberculin belum
tentu menyingkirkan diagnosis TB.
b. Foto thoraks
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa TB
paru pada anak. Namun gambaran foto thoraks pada TB tidak khas kecuali pada
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah
sebagai berikut:
- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrate (visualisasinya
selain dengan foto thoraks AP, harus disertai dengan foto thoraks lateral)
- Konsolidasi segmental/lobar

27
- Efusi pleura
- Milier
- Atelektasis
- Kavitas
- Kalsifikasi dengan infiltrate
- Tuberkuloma
c. Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)
Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis perkijuan
di tengahnya, dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans dan atau kuman TB

Pemeriksaan serologi TB (misalnya Ig G, PAP TB, TCT TB, MycoDOT, dsb) tidak
direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostic TB dan Direktur
Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang
larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB.

Alur Diagnosis TB pada Anak 2

Secara umum penegakan diagnosis TB pada anak didasarkan pada 4 hal, yaitu:

1. Konfirmasi bakteriologis TB
2. Gejala klinis yang khas TB
3. Adanya bukti infeksi TB (hasil uji tuberculin positif atau kontak erat dengan pasien TB)
4. Gambaran foto thoraks sugestif TB

Indonesia telah menyusun sistem skoring untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada
anak. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan
data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga mengurangi terjadinya
underdiagnosis maupun overdiagnosis TB. Sistem skoring ini diharapkan dapat diterapkan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer, tetapi tidak semua fasilitas pelayanan kesehatan primer di
Indonesia mempunyai sarana untuk melakukan uji tuberculin dan foto thoraks yang merupakan
parameter pada sistem skoring. Oleh karena itu pada fasilitas pelayanan kesehatan dengan
fasilitas terbatas atau dengan akses yang sulit untuk pemeriksaan uji tuberculin dan foto thoraks,
diagnosis TB pada anak dapat ditegakkan tanpa menggunakan sistem skoring seperti pada alur

28
diagnosis TB anak. Alur diagnosis TB ini digunakan untuk penegakan diagnosis TB pada anak
yang bergejala TB, baik dengan maupun tanpa kontak TB.

Tabel 1. Sistem Skoring TB Anak

Parameter 0 1 2 3 Skor
Kontak dengan Tidak jelas Laporan keluarga, Kontak
pasien TB kontak dengan dengan
pasien BTA negatif pasien BTA
atau tidak tahu, atau
positif
BTA tidak jelas
Uji tuberkulin Negatif Positif (≥10
mm, atau ≥ 5
mm pada
pasien
imunosupresi)
Berat Gizi kurang : Gizi buruk : BB/TB
badan/keadaan BB/TB<90 % <70% atau BB/U <
gizi (dengan atau BB/U < 80 60%
KMS atau tabel) %
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab jelas
Batuk ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm
kelenjar limfe Jumlah ≥ 1,tidak
koli, nyeri
aksila,inguinal
Pembengkakan Ada
tulang/sendi pembengkakan
panggul, lutut,
falang
Foto dada Normal/ Sugestif TB
tidak jelas
JUMLAH SKOR
Keterangan:

a. Jika skor total ≥ 6 → diagnosis TB dan obati dengan OAT


b. Jika skor total < 6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat → diagnosis TB dan
obati dengan OAT

29
c. Jika skor total < 6, dan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat → observasi
gejala selama 2-4 minggu, bila menetap, evaluasi ulang kemungkinan diagnosis TB atau
rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru pada Anak

30
Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus 7

Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk berkembang menjadi TB aktif. Penyandang
DM yang terinfeksi TB memiliki kemungkinan 2-3 kali lebih tinggi untuk berkembang menjadi
TB aktif, dan meningkatkan kemungkinan gagal terapi TB. Hal tersebut disebabkan oleh
penderita diabetes mempunyai gangguan respon imun tubuh sehingga dapat memfasilitasi infeksi
M. tuberculosis dan menimbulkan penyakit TB paru.

Prevalensi TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM. Studi Dobler, dkk
di Australia (2012) dan Leung, dkk di Hongkong (2008) menemukan penderita DM dengan
kadar HbA1c > 7% lebih banyak menderita TB paru. Simpulan penelitian tersebut bahwa kondisi
hiperglikemia, bahkan pengguna insulin berisiko tinggi terkena TB paru. Alisjahbana, dkk
menyatakan bahwa lebih dari 10% penderita TB paru di dunia adalah penduduk Indonesia.
Penelitian di Indonesia tahun 2001-2005 melaporkan bahwa 40% penderita TB paru memiliki
riwayat DM. Pada penderita DM ditemukan 60 kasus TB paru di antara 454 penderita.

Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang berkaitan dengan gangguan fungsi
imunitas tubuh, sehingga penderita lebih rentan terserang infeksi, termasuk TB paru. Penyebab
infeksi TB paru pada penderita DM adalah karena defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme
pertahanan tubuh, termasuk gangguan fungsi dari epitel pernapasan serta motilitas silia. Paru
pada penderita DM akan mengalami perubahan patologis, seperti penebalan epitel alveolar dan
lamina basalis kapiler paru yang merupakan akibat sekunder dari komplikasi mikroangiopati
sama seperti yang terjadi pada retinopati dan nefropati. Gangguan neuropati saraf autonom
berupa hipoventilasi sentral dan sleep apneu. Perubahan lain yang juga terjadi yaitu penurunan
elastisitas rekoil paru, penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida, dan peningkatan endogen
produksi karbondioksida.

Sel-sel efektor yang sering berkontribusi terhadap infeksi M. tuberculosis adalah fagosit,
yaitu makrofag alveolar, perkursor monosit, dan limfosit sel-T. Makrofag alveolar, berkolaborasi
dengan limfosit sel-T, berperan penting dalam mengeliminasi infeksi tuberkulosis. Pada
penderita diabetes melitus, diketahui terjadi gangguan kemotaksis, fagositosis, dan antigen
presenting oleh fagosit terhadap bakteri M. tuberculosis; kemotaksis monosit tidak terjadi pada
penderita DM. Defek ini tidak dapat diatasi dengan terapi insulin. Beberapa penelitian

31
menunjukkan makrofag alveolar pada penderita TB paru dengan komplikasi DM menjadi kurang
teraktivasi.

Diagnosis Banding

Demam Tifoid 1,8

Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi
sistemik Salmonella typhi. Prevalens 91% kasus demam tifoid terjadi pada 3-19 tahun,
meningkat setelah usia 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat sukar
dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis diperlukan
pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi. Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam
tifoid disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Kuman masuk melalui
makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah
menembus dinding usus sehingga mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman
ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai jaringan
RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami bakteremia
sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra
intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari.

Anak memiliki gejala demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi. Anak sering mengigau
(delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare atau konstipasi, muntah,
perut kembung. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan
icterus. Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan
bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

Tatalaksana TB Anak 2,5,6

Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri atas terapi (pengobatan) dan profilaksis


(pengobatan pencegahan). Pengobatan TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan

32
pengobatan pencegahan TB diberikan pada anak sehat yang berkontak dengan pasien TB
(profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa sakit TB (profilaksis sekunder).

Beberapa hal penting dalam tata laksana TB Anak adalah:

1. Obat TB diberikan dalam panduan obat, tidak bolak diberikan sebagai monoterapi
2. Pengobatan diberikan setiap hari
3. Pemberian gizi yang adekuat
4. Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan

Anak umumnya memiliki jumlah kuman yang lebih sedikit (pausibasiler) sehingga
rekomendasi pemberian 4 macam OAT pada fase intensif hanya diberikan dengan BTA positif,
TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan panduan
INH, Rifampisin dan Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH
pada 4 bulan fase lanjutan.

Tabel 2. Dosis OAT untuk anak

33
Tabel 3. Panduan OAT dan lama pengobatan TB pada anak

Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat, panduan
OAT disediakan dalam bentuk KDT (kombinasi dosis tetap) / FDC ( fixed dose combination).
Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi
obat fase intentif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, pirazinamid (Z) 150 mg, serta
obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut.

Tabel 4. Dosis OAT KDT pada TB anak

Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pngobatan TB. Malnutrisi
berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status gizi harus dilakukan
secara rutin selama anak dalam pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi
dan ligkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle
wasting.

34
Pencegahan 2,6

Diagnosis penyakit TB pada anak sangat sulit, karena gejala umumnya yang tidak khas dan
sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik. Oleh karena itu, upaya deteksi dini dan terapi
yang adekuat merupakan bagian terpadu dari upaya promotif-preventif. Imunisasi BCG hingga
saat ini masih dilakukan, walau oleh sebagian kalangan efektivitasnya diragukan. Asupan gizi
yang baik akan meningkatkan daya tahan anak terhadap risiko infeksi dan sakit TB. Upaya
pelacakan tidak boleh diabaikan. Bila tenaga medis menemukan pasien TB dewasa dengan BTA
sputum positif maka lacak sentrifugal harus dilakukan, yaitu mencari orang terutama anak yang
memiliki kontak erat dengan pasien tersebut, untuk mencari kemungkinan apakah orang tersebut
telah terinfeksi atau bahkan sakit TB. Deteksi infeksi TB dilakukan dengan menggunakan uji
tuberkulin cara Mantoux. Pada anak yang didiagnosis TB, lacak sentripetal juga harus dilakukan,
yaitu mencari orang dewasa sebagai sumber penularannya.
1. Vaksinasi BCG (Bacillus Celmette Guerin)
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan terhadap penyakit
TB. Vaksin TB tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis
TB dan TB milier), yang sangat mengancam nyawa. Vaksin BCG dapat memakan waktu 6-
12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan) kekebalannya. Vaksinasi BCG
memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80 % terhdap tuberkulosis. Pemberian
vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak, sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya
masih kurang jelas.
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah. Vaksin ini
diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur sebelum 2 bulan.
Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada
catatan atau tidak ada skar), imigran, komunitas travelling, dan pekerja di bidang kesehatan
yang belum divaksinasi (tidak ada catatan atau skar). Setelah vaksinasi, papul (bintik) merah
yang kecil timbul dalam waktu 1-3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan
menimbulkan parut. Luka ini mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh.
Biarkan tempat vaksinasi sembuh sendiri dan pastikan agar tetap bersih dan kering. Jangan
menggunakan krim atau salep, plester yang melekat, kapas atau kain langsung pada tempat
vaksinasi. Vaksinasi BCG tidak terlepas memberikan efek samping, maka perlu diketahui
bahwa vaksin ini tidak dianjurkan pada seseorang yang mengalami penurunan status

35
kekebalan tubuh dan uji tuberkulin positif. Vaksin BCG dapat diberikan bersamaan dengan
vaksin lain. Misalnya Dtap/IPV/Hib. Saat memberikan vaksin BCG, imunisasi primer lain
juga diberikan. Lengan yang digunakan untuk imunisasi BCG jangan digunakan untuk
imunisasi lain selama minimal 3 bulan, agar tidak terjadi limphadenitis.9
Imunisasi BCG terbaik diberikan pada usia 2-3 bulan karena pada bayi usia < 2 bulan
sistem imun anak belum matang. Pemberian imunisasi penyokong (booster) tidak
dianjurkan.
Perhatian khusus pada pemberian vaksinasi BCG yaitu :
a. Bayi terlahir dari ibu TB BTA positif
Bayi yang terlahir dari ibu yang terdiagnosis TB BTA positif pada trimester 3
kehamilan berisiko tertular ibunya melalui plasenta, cairan amnion maupun hematogen.
Sedangkan bayi yang terlahir dari ibu pasien TB BTA positif selama masa neonatal
berisiko tertular ibunya melalui percik renik. Pada kedua kondisi tersebut bayi
sebaiknya dilakukan rujukan.
b. Bayi terlahir dari ibu pasien infeksi HIV/AIDS
Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terbukti infeksi HIV/AIDS tidak dianjurkan
diberikan imunisasi BCG, bayi sebaiknya dilakukan rujukan untuk pembuktian apakah
bayi sudah terinfeksi HIV atau tidak.

2. Skrining dan Manajemen Kontak2,3


Skrining dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang dilakukan secara aktif
dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu anak yang mengalami paparan dari pasien TB
BTA positif, dan orang dewasa yang menjadi sumber penularan bagi anak yang didiagnosis
TB.
Latar belakang perlunya investigasi kontak :
a. Konsep infeksi dan sakit pada TB.
b. Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA positif sangat berisiko infeksi
TB dibanding yang tidak kontak yaitu sebesar 24,4-69,2 %.
c. Bayi dan anak usia < 5 tahun, mempunyai risiko sangat tinggi untuk berkembangnya
sakit TB, terutama pada 2 tahun pertama setelah infeksi, bahkan pada bayi dapat
terjadi sakit TB dalam beberapa minggu.

36
d. Pemberian terapi pencegahan pada anak infeksi TB, sangat mengurangi kemungkinan
berkembangnya sakit TB.
Kasus TB yang memerlukan skrining kontak adalah semua kasus TB dengan BTA positif
dan semua kasus anak yang didiagnosis.
3. Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid
Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum
positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10 % dari jumlah tersebut akan mengalami sakit
TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB meningitis
atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya
sakit TB. Sekitar 50-60 % anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA
sputum positif, akan terinfeksi TB juga. Kira-kira 10 % dari jumlah tersebut akan mengalami
sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB berat (misalnya TB
meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah
terjadinya sakit TB.

Cara pemberian Isoniazid untuk Pencegahan sesuai dengan tabel berikut :


Umur HIV Hasil pemeriksaan Tatalaksana
Balita (+)/(-) Infeksi laten TB INH profilaksis
Balita (+)/(-) Kontak (+), uji INH profilaksis
tuberkulin (-)
>5 tahun (+) Infeksi laten TB INH profilaksis
>5 tahun (+) Sehat INH profilaksis
>5 tahun (-) Infeksi laten TB Observasi
>5 tahun (-) Sehat Observasi

Keterangan :
a. Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg)
setiap hari selama 6 bulan.
b. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya
gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus

37
segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB, pengobatan harus segera
ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal.
c. Jika regimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka regimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.
d. Bila anak tersebut belum pernah mendapatkan imunisasi BCG, perlu diberikan BCG
setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

38
BAB III

ANALISIS KASUS

Interpretasi Kasus

Pasien An. M.A.R laki-laki 17 tahun 5 bulan didiagnosis dengan Tuberkulosis Paru
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada kasus ini ditemukan
hal-hal yang mendukung diagnosis ini, yaitu:

Anamnesis

Satu bulan SMRS pasien mengalami nyeri pada ulu hati, rasa nyeri disertai dengan rasa
mual dan muntah. Dikatakan bahwa pasien memiliki kebiasaan telat makan dan senang makan
makanan yang pedas. Selain itu pasien mengaku mulai mengalami penurunan berat badan
sebanyak 3 kg dibanding berat badan sebelumnya (63 kg). Satu minggu SMRS pasien
mengalami demam yang naik turun dan muncul pada pagi siang maupun pada malam hari
secara tidak menentu. Pasien mengatakan demam tidak sampai menggigil. Nafsu makan pasien
menurun. Kemudian pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat penurun panas,
antibiotik serta vitamin namun demam tidak membaik. Beberapa jam SMRS pasien muntah
sebanyak dua kali, muntah berisikan air. Saat ini pasien mengeluhkan demam, nyeri kepala,
nyeri pada ulu hati dan merasa lemas. Pasien kurang nafsu makan.
Salah satu gejala dari TB sistemik/umum adalah demam lama dan/atau berulang tanpa
sebab yang jelas. Dimana pada pasien didapatkan demam sudah dirasakan pasien 1 minggu.
Demam dikatakan naik turun dan tidak kunjung membaik dengan meminum obat penurun panas,
antibiotic dan vitamin. Selain itu pasien mengaku mengalami penurunan berat badan dalam 1
bulan terakhir, dimana salah satu gejala sistemik yang terjadi adalah penurunan berat badan atau
tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan.2

Pada sebagian besar kasus TB paru pada anak, tidak ada manifestasi respiratorik yang
menonjol. Batuk kronik merupakan gejala tersering pada TB paru dewasa, tetapi pada anak
bukan merupakan gejala utama. Pada anak, batuk berulang lebih sering disebabkan oleh asma,
sehingga jika menghadapi anak dengan batuk kronik berulang, telusuri dahulu kemungkinan
asma. Fokus primer TB paru pada anak umumnya terdapat didaerah parenkim yang tidak

39
mempunyai reseptor batuk. Akan tetapi, gejala batuk kronik pada TB anak dapat timbul bila
limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara kronik.
Selain itu, batuk berulang dapat timbul karena anak dengan TB mengalami penurunan imunitas
tubuh sehingga mudah mengalami infeksi respiratori akut (IRA) berulang. Gejala sesak jarang
dijumpai, kecuali pada keadaan sakit berat yang berlangsung akut, misalnya pada TB milier,
efusi pleura dan pneumonia TB.5

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum tampak sakit ringan, pasien lemah; Kesadaran compos mentis; Nadi 89
kali/menit; Respirasi 20 kali/menit; Suhu 37,2oC; Tekanan darah 120/80 mmHg; Berat badan 60
kg; Tinggi badan 163 cm; Status gizi, berat badan dan tinggi badan normal; Konjungtiva anemis;
Nyeri tekan pada epigastrium
Pada sebagian besar kasus TB, tidak dijumpai kelainan fisis yang khas. Pada
antropometri bisa didapatkan gizi kurang dengan grafik berat badan dan tinggi badan pada posisi
daerah bawah atau dibawah P5. Tetapi pada pasien ditemukan status gizi yang normal. Kelainan
pada pemeriksaan fisis baru dijumpai jika TB mengenai organ tertentu seperti TB vertebra; TB
koksae; pembesaran kelenjar getah bening (KGB) multiple yang tidak nyeri tekan dan saling
menyatu; skrofuloderma; konjungtivitis fliktenularis; dan seterusnya.8

Pemeriksaan Penunjang

Hemoglobin 9.8 g/dL; Hematokrit 30%; PCR TB (GeneXpert) hasil positif dengan MTB
detected low; Pemeriksaan BTA negatif; Pada foto thorak didapatkan suspek infiltrate di apeks
paru kiri dan perselubungan di laterobasal hemithoraks kiri kanan yang menutupi sebagian
lengkung diafragma dan sinus kostofrenikus kiri kanan terutama kanan dengan kesan efusi pleura
bilateral, suspek infiltrate di apeks paru kiri DD/TB paru, pneumonia.

Pada hasil pemeriksaan foto thoraks yang dapat ditemukan pada pasien TB paru anak
salah satunya adalah terdapat konsolidasi segmental/ lobar, efusi pleura dan kalsifikasi dengan
infiltrate. Dimana pada pemeriksaan foto thoraks pasien ditemukan suspek infiltrate di apeks
paru kiri dan kesan efusi pleura bilateral.

40
Diagnosis

1. Tuberkulosis paru
 Diagnosis tuberkulosis paru ditegakkan sesuai dengan alur diagnosis TB anak
menurut IDAI. Dimana ditemukan salah satu dari gejala khas TB dimana pada
pasien ditemukan adanya sejak demam 1 minggu SMRS dan berat badan menurun
selama 1 bulan terakhir. Lalu pada pemeriksaan TCM TB didapatkan hasil positif.
Maka pasien terdiagnosis TB anak terkonfirmasi bakteriologis dan diberikan
terapi OAT.2
2. Diabetes melitus tipe 1
 Pasien sudah terdiagnosis diabetes melitus tipe 1 sejak tahun 2013 dan rutin
menggunakan insulin
3. Dyspepsia
 Pasien memiliki gejala mual dan muntah sejak 1 bulan yang lalu dan pasien
memiliki kebiasaan telat makan maupun makan makanan yang pedas

Tatalaksana

Pada TB terkonfirmasi bakteriologis pengobatan yang diberikan pada fase intensif adalah
2HRZE dan pada fase lanjutan diberikan 4HR. Pada pasien yang diabetes harus kontrol gula
darahnya. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil
urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk
mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral.
Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu
hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.2,5 Pada
pasien diberikan pengobatan RHZ dalam fase intensif, pemberian obat ini mungkin disebabkan
karena pertimbangan dari efek samping yang bisa diberikan etambutol kepada pasien.

41
Daftar Pustaka

1. Kliegman R, Stanton B, St. Geme J, Schor N, Behrman R. Nelson textbook of pediatrics.


20th ed. Canada: Elsevier; 2015.
2. Subuh M.H, Waworuntu W. Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB pada anak.
Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2016.
3. Esposito S, Tagliabue C, Bosis S. Tuberculosis in children. Mediterr J Hematol Infect
Dis. 2013;5(1)
4. World Health Organization. Childhood TB. 2017. Diunduh dari
http://www.who.int/tb/areas-of-work/children/en/
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman nasional pengendalian
tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014.
6. Rahajoe NN, Supriyatno B, Darmawan DB. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008.
7. Wijaya I. Tuberkulosis paru pada penderita diabetes melitus. CDK-229.2015;42(6)h.412-
3.
8. Pudjiadi A.H, Hegar B, Handryastuti S, Idris N.S, Gandaputra E.P, Harmoniati E.D.
Pedoman pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia;2009.

42

Anda mungkin juga menyukai