PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan,
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaucoma.
Kelainan mata glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata,
atrofi papil saraf optic, dan menciutnya lapang pandang.
B. Rumusan Masalah
1
8. Diagnosa banding glaukoma?
9. Terapi glaukoma?
10. Prognosis glaukoma?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan karya ilmiah ini disamping untuk melengkapi tugas mata
kuliah skill lab, juga bertujuan untuk :
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan gambaran secara umum tentang glaukoma
2. Tujuan Khusus
Tujuan khususnya antara lain untuk mengetahui :
1. Glaukoma
2. Epidemiologi glaukoma
3. Etiologi glaukoma
4. Klasifikasi glaukoma
5. Gejala klinis glaukoma
6. Kriteria diagnostik glaukoma
7. Pemeriksaan oftalmologi glaukoma
8. Diagnosa banding glaukoma
9. Terapi glaukoma
10. Prognosis glaukoma
D. Manfaat Penulisan
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definsi Glaukoma
B. Epidemiologi Glaukoma
3
C. Etiologi Glaukoma
4
glaukoma sudut terbuka ataupun tertutup maka cairan mata yang terus
dihasilkan badan siliar selama 24 jam sehari pengeluarannya terganggu. Cairan
mata yang berlebihan dalam bola mata akan meningkatkan tekanan bola mata.
Tekanan bola mata yang tinggi tersebut akan menekan saraf optik beserta
seluruh serabut saraf dan sel penglihatan yang disebut sebagai glaukoma.
Penutupan jalan keluar cairan mata dapat terjadi akibat saluran keluar
tidak lancer. Dengan gonioskopi bagian yang tertutup dapat terlihat (glaukoma
sudut sempit) atau tidak terlihat (glaukoma sudut terbuka).
Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang dapat mengarah pada kerusakan glaukoma :
Peredaran darah dan regulasinya, darah yang kurang akan menambah
kerusakan
Tekanan darah rendah atau tinggi
Fenomena autoimun
Degenerasi primer sel ganglion
Usia di atas 45 tahun
Keluarga mempunyai riwayat glaukoma
Miopia berbakat untuk terjadi glaukoma sudut terbuka
Hipermetropia berbakat untuk terjadi glaukoma sudut tertutup atau sempit
Pasca bedah dengan hifema atau infeksi
5
Mekanisme pasti dari meningkatnya resistensi aliran akueus dan kerusakan
saraf optik pada POAG serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya
progresifitas penyakit belum sepenuhnya dapat dijelaskan namun penelitian-
penelitian terutama bidang molekular biologi mulai dapat menjelaskan tentang
proses kompleks patofisiologi terjadinya POAG.1,2,4
POAG tidak dapat disembuhkan namun dapat dikendalikan dengan terapi
medikamentosa, laser dan prosedur bedah. Penurunan tekanan intraokular
merupakan metode pengobatan yang dapat mengatasi penyakit ini. Pengobatan
pada umumnya diawali dengan menggunakan tetes mata hipotensif, kemudian
laser trabekuloplasti dan terapi bedah dapat dilakukan untuk memperlambat
progresifitas penyakit.5,6,7
6
faktor-faktor tambahan sepeti usia, efek sekunder dari peningkatan tekanan
intraokular dalam jangka waktu panjang, perubahan-perubahan yang disebabkan
oleh pengobatan medis dan operasi yang dilakukan serta artefak yang terjadi saat
memproses jaringan.1,2,4
Kandungan abnormal humor akueus dapat mempengaruhi strukturnya
sehingga meningkatkan resistensi aliran humor akueus tersebut. Transforming
growth factor (TGFs) merupakan kelompok polipeptida multifungsional yang
berfungsi untuk inhibisi proliferasi sel epitel, induksi matriks ekstraselular sintesis
protein dan stimulasi pertumbuhan sel mesenkim. Humor akueus pada penderita
POAG mengandung TGF-β2 yang lebih banyak bila dibandingkan dengan
individu yang sehat. Kadar TGF-β2 yang abnormal pada akueus dapat
menurunkan selularitas jalinan trabekular dan meningkatkan pembentukan
material matriks ekstraselular yang menyebabkan peningkatan resistensi aliran
akueus.1,4,8
Perubahan struktur jalinan trabekular terutama pada jaringan juxtacanalicular
dapat meningkatkan resistensi aliran akueus karena pada daerah ini konsentrasi
mukopolisakarida dan aktivitas fagositik paling tinggi. Jalinan trabekular pada
POAG mempunyai selularitas yang lebih rendah dibandingkan dengan mata
normal dengan susunan jaringan berbeda. Perubahan struktur yang khas terjadi
berupa penumpukan material seperti pigmen, sel darah merah,
glycosaminoglycans, lisosom ekstraselular atau matriks ekstraselular lain, protein
dan plaque material. Hal ini mungkin disebabkan oleh proses katabolisme yang
tidak mencukupi atau sekresi yang berlebihan sehingga menyumbat jalinan
trabekular.1,2,4,5
7
Gambar Aliran Humor Akueus pada Mata Sehat dan POAG
Dikutip dari : Weinreb R.N., Aung T., Medeiros FA3
Jalinan trabekular pada pasien glaukoma memiliki sel endotel yang lebih
sedikit bila dibandingkan dengan mata normal, meskipun laju penurunannya
sama. Hilangnya sel endotel akan mengganggu beberapa fungsi penting trabekular
termasuk fagositosis, sintesis dan degradasi makromolekul. Kerapatan dan ukuran
pori-pori pada endotel dinding bagian dalam kanalis schlemm mengalami
penurunan pada POAG. Selain itu dapat ditemukan menurunnya jumlah dan
ukuran giant vacuoles pada endotel dinding bagian dalam kanalis schlemm yang
berfungsi pada perpindahan cairan dari jalinan trabekular menuju lumen canalis
schlemm sehingga terjadi peningkatan resistensi aliran humor akueus.1,2
Myocilin merupakan salah satu gen yang pertama kali diidentifikasi
mengalami mutasi pada POAG dan diproduksi dalam jumlah besar pada saat sel-
sel tubuh yang mengalami stress. Stress-induced protein lain yang diteliti adalah
heat-shock protein seperti αβ-cristallin. Pada penelitian yang dilakukan, terdapat
perbedaan pada stress-response markers yaitu αβ-crystallin dan myocilin pada
jalinan trabekular pasien POAG bila dibandingkan dengan kontrol. Protein-
protein ini terlokalisasi pada lebih banyak area pada jalinan trabekular dengan
jumlah yang lebih banyak pada POAG bila dibandingkan dengan mata yang
sehat.1,5,8
Penyempitan kanalis schlemm akan meningkatkan resistensi aliran akueus
dan merupakan salah satu mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya
obstruksi aliran akueus pada POAG. Penyempitan ini dapat berupa penonjolan
8
jalinan trabekular kedalam kanalis schlemm sehingga menyumbat lumen dan
menghambat aliran akueus. Hal ini mungkin disebabkan oleh melemahnya jalinan
trabekular atau relaksasi otot siliaris. Argumentasi terhadap teori ini menyatakan
bahwa kanalis schlem hanya dapat kolaps pada tekanan intraokular yang sangat
tinggi dan belum pernah ditemukan bukti terjadinya sumbatan pada kanalis
schlemm dengan rentang tekanan intraokular 25-35 mmHg yang merupakan
rentang tekanan intraokular yang paling umum terjadi pada POAG. Dari beberapa
penelitian histopatologis didapatkan terjadi penyempitan disertai adhesi antara
dinding dalam dan luar kanalis schlemm.1,2,4
Perubahan intrascleral collector channels merupakan salah satu mekanisme
yang dapat menyebabkan peningkatan resistensi terhadap aliran akueus pada
POAG. Tinjauan histopatologis menyatakan perubahan ini disebabkan oleh
akumulasi glycosaminoglycans pada sklera yang berdekatan sehingga terjadi
intrascleral blockage.1,2
Beberapa peneliti menjelaskan bahwa gangguan aliran humor akueus pada
POAG disebabkan oleh respon imun yang abnormal. Pada jalinan trabekular
pasien dengan POAG didapatkan peningkatan kadar γ-globulin dan sel plasma.
Hipotesis lain yang masih diteliti sampai saat ini menyatakan bahwa terjadi
kerusakan jalinan trabekular yang disebabkan oleh stres oksidatif.2,3,9
2 Sensitivitas Kortikosteroid
Individu dengan POAG memiliki sensitivitas yang lebih tinggi terhadap
kortikosteroid. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai respon individu
terhadap pemberian kortikosteroid topikal dan kenaikan tekanan intraokular. Tiap
individu mempunyai respon yang beragam, dan penelitian yang dilakukan pada
populasi individu dengan POAG memberikan respon kenaikan tekanan tekanan
intraokular yang lebih tinggi. Respos peningkatan tekanan intraokular terhadap
kortikosteroid topikal merupakan hal yang diturunkan dan memiliki pola
penurunan yang sama atau berhubungan dengan POAG.1,2
Sensitivitas terhadap kortikosteroid yang lebih tinggi pada POAG
berhubungan dengan peningkatan resistensi terhadap aliran akueus. Beberapa teori
9
dan penelitian menyatakan kortikosteroid endogen mempengaruhi fungsi
trabekular dengan mengubah metabolisme prostaglandin, katabolisme
glycosaminoglycan, pelepasan enzim lisosomal, sintesis cyclic adenosine
monophosphate dan menghambat fagositosis.1,2
Respon abnormal dari Hypothalamic-Pituitary-Adrenal Axis pada POAG
berhubungan dengan perubahan dinamik humor akueus terhadap kortikosteroid.
Kortikosteroid berpengaruh terhadap stimulasi β-adrenergik terhadap adenyl
cyclase, enzim yang bertanggung jawab untuk sintesis cyclic-adenosine
monophosphate sehingga diduga kortikosteroid mempengaruhi tekanan
intraokular dengan mengubah cyclic-adenosine monophosphate. Beberapa teori
menyatakan bahwa peningkatan tekanan intraokular terkait kortikosteroid
mungkin berhubungan dengan glycosaminoglycans pada jalinan trabekular.
Dalam keadaan terpolarisasi, glycosaminoglycan terhidrasi, membengkak dan
mengobstruksi aliran akueus. Enzim katabolik yang berasal dari lisosom pada sel-
sel trabekular berfungsi untuk depolarisasi glycosaminoglycan. Kortikosteroid
menstabilkan membran lisosom sehingga mencegah pelepasan enzim katabolik
dan dengan demikian meningkatkan glycosaminoglycan yang terpolarisasi serta
resistensi aliran akueus. Efek steroid terhadap peningkatan tekanan intraokular
mungkin berkaitan dengan aktivitas fagositik sel endotel yang melapisi jalinan
trabekular. Sel-sel ini bersifat fagositik dan berfungsi untuk membersihkan akueus
dari debris sebelum mencapai endotel dinding bagian dalam kanalis schlemm.
Kegagalan fungsi fagositik ini menyebabkan penumpukan material pada lapisan
jaringan ikat juxtacanalicular. Kortikosteroid menekan fungsi fagositik dan pada
pasien POAG endotel jalinan trabekular bersifat lebih sensitif bahkan terhadap
kortikosteroid endogen.1,2
10
dari hal-hal ini dikatakan dapat menyebabkan kerusakan saraf optik pada
POAG.2,3,8,9
Tekanan intraokular dapat menyebabkan tekanan pada struktur posterior mata
terutama lamina kribrosa dan jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan intraokular
menyebabkan kompresi, deformasi dan remodeling lamina kribrosa, akibatnya
terjadi kerusakan mekanis dan gangguan transpor axonal. Pada pengamatan
histopatologik dan imunohistokimia pada saraf optik ditemukan fibrosis,
perubahan arteriosklerotik dan hilangnya pembuluh darah kapiler, meningkatnya
jaringan ikat pada septa dan sekeliling pembuluh darah sentral retina disertai
meningkatnya jumlah kolagen tipe IV dan VI. Beberapa penelitian menyatakan
mekanisme imunoregulator pada jalinan trabekular, badan ganglion sel dan akson
saraf optik, pembuluh darah retina serta lamina kribrosa sebagai patogenesis
POAG. Keseimbangan antara imunitas protektif dan autoimmune neurogenerative
injury menentukan keadaan akhir ganglion sel retina dalam menghadapi berbagai
stresor pada pasien dengan glaukoma.1,3,8,9
Beberapa penelitian menyatakan terdapat perbedaan agregabilitas sel darah
merah, peningkatan viskositas plasma dan aktivasi sistem pembekuan darah pada
pasien POAG bila dibandingkan dengan kelompok kontrol. Perubahan
autoregulasi aliran darah pada saraf optik dan gangguan sirkulasi retina serta
koroidal juga terjadi pada pasien POAG. Kematian sel ganglion pada mata pasien
POAG juga dapat disebabkan oleh apoptosis, hal ini dikatakan berhubungan
dengan kematian sel eksitotoksik karena akumulasi glutamat dan
ketidakseimbangan protease yang mengatur matriks ekstraselular pada retina.1,3,8,9
11
Gambar 2.2 Anatomi Normal dan Perubahan Neurodegeneratif pada Glaucomatous
Optic Neuropathy
Dikutip dari : Weinreb R.N., Aung T., Medeiros FA3
Kerusakan saraf optik pada glaukoma bersifat multifaktorial dan pada waktu
yang berbeda serta mata yang berbeda serta dapat melibatkan faktor genetik,
tekanan mekanik, iskemia, stress oksidatif, hilangnya faktor neurotropik,
neurotoksisitas dan ketidakmampuan sel astroglial untuk mencegah atau
memperbaiki kerusakan sel dan maktriks ekstraselularnya.2,3
12
tekanan cairan serebrospinal pasien Normotension Glaucoma (NTG) lebih rendah
dibandingkan dengan pasien POAG dengan peningkatan tekanan intraokular. 1,2
D. Klasifikasi Glaukoma
Glaukoma Primer :
Diagnosis
Diagnosis glaukoma primer sudut terbuka primer ditegakkan
apabila ditemukan kelainan – kelainan glaukomatosa pada diskus
13
optikus dan lapangan pandang yang disertai dengan peningkatan
tekanan intraokular, sudut bilik mata depan terbuka dan tampak normal,
dan tidak terdapat sebab lain yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraokular. Sedikitnya sepertiga pasien glaukoma sudut terbuka primer
memiliki tekanan intraokular yang normal sewaktu pertama kali di
periksa. Jadi, untuk menegakan diagnosis mungkin diperlukan
pemeriksaan tonometri berulang.
14
baik bagi pasien yang mengalami perburukan meskipun telah
mengalami terapi medis.
15
VI. Penyebab kelaianan diskus optikus dan lapangan pandang
yang lain termasuk kelainan diskus congenital atau
neuropati optic herediter, dan atrofi optik didapat akibat
tumor atau penyakit vaskular.
Diantara pasien – pasien yang di diagnosis glaukoma tekanan
normal, sekitar 60% mengalami penururnan lapangan pandang yang
progresif, mengisyaratkan kemungkinan pathogenesis berupa periode –
periode iskemik akut pada pasien non progresif. Penurunan tekanan
intraokular bermanfaat bagi pasien dengan penurunan lapangan
pandang yang progresif, tetapi ini tidak dapat dicapai melalui terapi
medis. Mungkin perlu dilakukan tindakan bedah drainase glaukoma
diserta suatu antimetabolik. Kemungkinan adanya dasar vaskular pada
glaukoma tekanan normal mengindikasikan penggunaan obat – obat
penyekat canal kalsium sistemik, tetapi tindakan ini masih belum
menunjukan keuntungan yang nyata.
3. Hipertensi Okular
Hipertensi okular adalah peningkatan tekanan intraokular tanpa
kelainan diskus optikus atau lapangan pandang dan lebih sering
dijumpai dibandingkan glaukoma sudut terbuka primer. Angka
terbentukanya glaukoma pada para pengidap hipertensi okular adalah
sekitar 1-2% pertahun. Resiko meningkat seiring dengan peningkatan
tekanan intraokular, bertambahnya usia, semakin beratnya “cupping”
diskus optikus, riwayat glaukoma dalam keluarga, dan mungkin riwayat
miopia, diabetes melitus, serta penyakit cardiovaskular dalam keluarga.
Timbulnya pendarahan diskus pada pasien dengan hipertensi okular
juga mengindikasikan peningkatan resiko terjadinya glaukoma.
16
intraokular terjadi karena sumbatan aliran keluar aquous akibat adanya
oklusi anyaman trabekular oleh iris perifer. Keadaan ini dapat
bermanifestasi sebagai suatu kedaruratan oftalmologi atau dapat tetap
asimptomatik sampai timbul penurunan penglihatan. Diagnosis
ditegakan dengan melakukan pemeriksaan segmen anterior dan
gonioskopi yang cermat. Istilah glaukoma sudut tertutup primer hanya
digunakan bila penutupan sudut primer telah menimbulakn kerusakan
nervus optikus dan kehilangan lapangan pandang. Faktor – faktor
resikonya antara lain bertambahnya usia, jenis kelamin perempuan,
riwayat keluarga glaukoma, dan etnis Asia Tenggara, China, Inuit.
Temuan Klinis
Glaukoma sudut tertutup akut ditandai oleh munculnya kekaburan
penglihatan mendadak yang disertai nyeri hebat, halo, serta mual dan
17
muntah. Pasien terkadang dikira menderita penyakit gastrointestinal
akut. Temuan – temuan lainnya adalah peningkatan tekanan intraokular
yang mencolok, bilik mata depan dangkal, kornea berkabut, pupil
berdilatasi sedang yang terfiksasi, dan injeksi siliar. Mata sebelahnya
harus dilakukan pemeriksaan gonioskopi untuk memastikan adanya
predisposisi anatomi terhadap glaukoma sudut tertutup primer.
18
Pasien dengan predisposisi anatomi penutupan sudut bilik mata
depan mungkin tidak pernah mengalami episode peningkatan tekanan
intraokular akut, tetapi mengalami sinekia anterior perifer yang semakin
meluas disertai dengan peningkatan tekanan intraokular secara
bertahap. Para pasien ini bermanifestasi seperti yang diperlihatkan oleh
pasien glaukoma sudut terbuka primer, sering dengan penyempitan
lapangan pandang yang ekstensif di kedua mata. Sesekali, pasien –
pasien tersebut mengalami serangan penutupan sudut subakut.
Pada pemeriksaan dijumpai peningkatan tekanan intraokular,
sudut bilik mata depan yang sempit disertai sinekia anterior perifer
dalam berbagai tingkat, serta kelainan diskus optikus dan lapangan
pandang.
Iridotomi perifer dengan laser harus selalu dilakukan sebagai
langkah pertama penanganan pasien – pasien ini. Apabila mungkin,
tekanan intraokular kemudian dikontrol secara medis, tetapi luasnya
sinekia anterior perifer dan lambatnya aliran keluar aquous humor
melalui anyaman trabekular yang tersisa menyebabkan pengontrolan
tekanan sangat sulit dilakukan. Jadi, sering kali diperlukan tindakan
drainase secara bedah. Ekstraksi katarak dengan implantasi lensa
intraokular dapat mengendalikan tekanan intraokular secara efektif;
tindakan ini menyebabkan penutupan sudut akibat sinekia tidak lebih
dari dua kuadran. Epinefrin dan miotik kuat tidak boleh dipakai, kecuali
bila sebelumnya telah dilakukan iridotomi atau iridektomi perifer, sebab
obat – obat tersebut akan memperparah penutupan sudut.
8. Iris Plateau
Iris plateau adalah suatu kelainan yang jarang dijumpai. Pada iris
plateau, kedalam bilik mata depan sentral normal, tetapi sudut bilik
mata depannya sangat sempit karena posisi processus ciliares terlalu
anterior. Mata dengan kelainan ini jarang mengalami blockade pupil,
tetapi dilatasi akan menyebabkan merapatnya iris perifer, sehingga
19
menutup sudut, sekalipun telah dilakukan iridektomi atau iridotomi
perifer. Pengidap kelainan ini mengalami glaukoma sudut tertutup akut
pada usia muda, dan sering mengalami kekambuhan setelah tindakan
iridotomi laser perifer atau iridektomi bedah. Diperlukan terapi miotik
jangka panjang atau iridoplasti dengan laser.
Glaukoma Sekunder :
1. Glaukoma Pigmentasi
Sindrom disperse pigmen ditandai oleh pengendapan abnormal
pigmen di bilik mata depan terutama di anyaman trabekular, yang
sesuai perkiraan akan mengganggu aliran keluar aquous, dan di
permukaan kornea posterior (Krukenberg’s spindle) disertai defek
transiluminasi iris. Studi dengan ultrasonografi menunjukkan pelekukan
iris ke posterior sehingga iris berkontak dengan zonula atau processus
ciliares, mengindikasikan pengelupasan granul – granul pigmen dari
permukaan belakang iris akibat friksi, dan meninmbulkan defek
transiluminasi iris. Sindrom ini paling sering terjadi pada pria miopia
berusia antara 25 dan 40 tahun yang memiliki bilik mata depan yang
dalam dengan sudut bilik mata depan yang lebar.
2. Glaukoma Pseudoeksfoliasi
Pada sindrom eksfoliasi terlihat endapan – endapan bahan berserat
warna putih di permukaan anterior lensa (berbeda edngan eksfoliasi
kapsul lensa sejati akibat terpajan radiasi inframerah, yakni, “katarak
glassblower”), di processus ciliares, zonula, permukaan posterior iris,
melayang bebas di bilik mata depan, dan di anyaman trabekular
(bersama dengan peningkatan pigmentasi). Secara histologis, endapan –
endapan tersebut juga dapat dideteksi di konjungtiva, yang
mengisyaratkan bahwa kelainan sebenarnya terjadi lebih luas. Penyakit
ini biasanya dijumpai pada orang berusia lebih dari 65 tahun dan secara
20
khusus, dilaporkan sering terjadi pada bangsa Skandinavia walaupun
tidak menutup kemungkinan adanya bias. Risiko kumulatif
berkembangnya glaukoma adalah 5% dalam 5 tahun dan 15% dalam 10
tahun. Terapinya sama dengan terapi glaukoma sudut terbuka. Insidens
timbulnya komplikasi saat bedah katarak lebih tinggi pada mata dengan
sindrom pseudoeksfoliasi.
5. Glaukoma Fakolitik
Sebagian katarak stadium lanjut dapat mengalami kebocoran
kapsul lensa anterior, dan memungkinkan protein – protein lensa yang
21
mencair masuk ke dalam bilik mata depan. Terjadi reaksi peradangan di
bilik mata depan, anyaman trabekular menjadi edema dan tersumbat
oleh protein – protein lensa, dan menimbulakn peningkatan tekanan
intraokular akut. Ekstraksi lensa merupakan terapi definitif, dilakukan
segera setelah tekanan intraokular terkontrol secara medis dan terapi
steroid topikal telah mengurangi peradangan intraokular.
7. Glaukoma Novaskular
Neovaskularisasi iris (rubeosis iridis) dan sudut bilik mata depan
paling sering disebabkan oleh iskemia retina yang luas seperti yang
terjadi pada retinopati diabetik stadium lanjut dan oklusi vena centralis
retinae iskemik. Glaukoma mula – mula timbul akibat sumbatan sudut
oleh membrane fibrovaskular, tetapi kontraksi membran selanjutnya
menyebabkan penututpan sudut.
22
Glaukoma neovaskular yang telah terbentuk sulit diatasi dan
terapi sering tidak memuaskan. Baik rangsangan neovaskularisasi
maupun peningkatan tekanan intraokular perlu ditangani. Pada banyak
kasus, terjadi kehilangan penglihatan dan diperlukan prosedur
siklodestruktif untuk mengontrol tekanan intraokular.
Glaukoma Kongenital :
23
permukaan posterior kornea, penyakitnya disebut anomali Peters (suatu
contoh trabekulodisgenesisi iridokornea).
2. Aniridia
Gambaran khas aniridia, seperti yang diisyaratkan oleh namanya,
adalah iris tidak berkembang (vestigial). Pada banyak kasus, hanya
ditemukan tidak lebih dari akar iris atau suatu batas iris yang tipis.
Dapat dijumpai deformitas mata yang lain, misalnya katarak congenital,
distrofi kornea, dan hipoplasia fovea. Penglihatan biasanya buruk.
Glaukoma sering kali timbul sebelum masa remaja dan biasanya tidak
merespons penatalaksanaan medis atau bedah.
Sindrom yang jarang ini diwariskan secara genetis. Pernah
dilaporkan kasus – kasus autosomal dominan dan autosomal resesif.
Apabila terapi medis tidak efektif, dilakukan tindakan bedah
drainase glaukoma.
24
disertai dengan mual dan muntah. Penglihatan akan kabur disertai penglihatan
pelangi.
a. Tonometri
Tonometri adalah pengukuran tekanan intraokular. Instrumen yang
paling luas digunakan adalah tonometer aplanasi Goldmann, yang
dilekatkan ke slitlamp dan mengukur gaya yang diperlukan untuk
meratakan daerah kornea tertentu. Ketebalan kornea berpengaruh terhadap
keakuratan pengukuran. Tekanan intraokular mata yang korneanya tebal,
akan ditaksi terlalu tinggi; yang korneanya tipis, ditaksir terlalu rendah.
Kesulitan ini dapat diatasi dengan tonometer kontur dinamik Pascal.
Tonometer – tonometer aplanasi lainnya, yaitu tonometer Perkins dan
TonoPen, keduanya portable; pneumatotonometer, yang dapat digunakan
walaupun terdapat lensa kontak lunak di permukaan kornea yang ireguler.
25
Tonometer Schiotz adalah tonometer portable; tonometer ini mengukur
indentasi kornea yang ditimbulkan oleh beban yang diketahui sebelumnya.
Rentang tekanan intraokular normal adalah 10-21 mmHg.
Penyebaran didasarkan pada distribusi Gauss, tetapi dengan kurva miring
ke kanan. Pada usia lanjut, rerata tekanan intraokularnya lebih tinggi
sehingga batas atasnya adalah 24 mmHg. Pada glaukoma sudut terbuka
primer, 32-50% individu yang terkena akan memperlihatkan tekanan
intraokular yang normal saat pertama kali diperiksa. Sebaliknya,
peningkatan tekanan intraokular semata tidak selalu diartikan bahwa
pasien mengidap glaukoma sudut terbuka primer; untuk menegakkan
diagnosis diperlukan bukti – bukti lain seperti adanya diskus optikus
glaukomatosa atau kelainan lapangan panadng. Apabila tekanan
intraokular terus – menerus meninggi sementara diskus optikus dan
lapangan pandang normal (hipertensi okular), pasien dapat diobservasi
secara berkala sebagai tersangka glaukoma
b. Gonioskopi
Sudut bilik mata depan dibentuk oleh pertemuan kornea perifer
dengan iris, yang di antaranya terdapat anyaman trabekular. Konfigurasi
sudut ini -- yakni lebar (terbuka), sempit, atau tertutup – member dampak
penting pada aliran keluar aquous humor. Lebar sudut bilik mata depan
dapat diperkirakan dengan pencahayaan oblik bilik mata depan,
menggunakan sebuah senter atau dengan pengamatan kedalaman bilik
mata depan perifer menggunakan slitlamp. Akan tetapi, sudut bilik mata
depan sebaiknya ditentukan dengan gonioskopi, yang memungkinkan
visualisasi langsung struktur – struktur sudut. Apabila keseluruhan
anyaman trabekular, taji sclera, dan processus iris dapat terlihat, sudut
dinyatakan terbuka. Apabila hanya garis Schwalbe atau sebagian kecil dari
anyaman trabekular yang dapat terlihat, sudut dinyatakan sempit. Apabila
garis Schwalbe tidak terlihat, sudut dinyatakan tertutup.
26
Mata miopia yang besar memiliki sudut lebar, dan mata hiperopia
kecil memiliki sudut sempit. Pembesaran lensa siring dengan usia
mempersempit sudut ini dan berperan pada beberapa kasus glaukoma
sudut tertutup.
27
Berbagai cara untuk memeriksa lapangan pandang pada glaukoma
adalah automated perimeter (missal Humphrey, Octopus, atau Henson),
perimeter Goldmann, Friedmann fiel analyzer, dan layar tangent.
Conventional automated perimetry, paling sering menggunakan perimeter
Humphrey, dengan stimulus putih pada latar belakang putih (perimetri
white on white). Defek lapangan pandang tidak terdeteksi sampai kira –
kira terdapat kerusakan ganglion retina sebanyak 40%. Berbagai
penyempurnaan untuk mendeteksi kelainan lapangan pandang dini di
antaranya adalah perimetri blue on yellow, juga dikenal sebagai short-
wavelength automated perimetry (SWAP), frequency-doubling perimetry
(FDP), dan high-pass reolution perimetry.
28
Penilaian klinis diskus optikus dapat dilakukan dengan oftalmoskopi
langsung atau dengan pemeriksaan menggunakan lensa 78 dioptri atau
lensa kontak kornea khusus yang memberi gambaran tiga dimensi.
Bukti klinis lain adanya kerusakan neuron pada glaukoma adalah
atrofi lapisan serat saraf retina, yang mendahului timbulnya kelainan
diskus optikus. Kerusakan ini dapat terdeteksi dengan oftalmoskopi atau
foto fundus, keduanya dilengkapi dengan cahaya bebas – merah, optical
coherence tomography, scanning laser polarimetry, atau scanning laser
tomography
I. Terapi
Terapi Medis
29
saat ini. Kontraindikasi utama pemakaian obat – obat ini adalah penyakit
obstruksi jalan nafas kronik – terutama asma – dan defek hantaran jantung.
Apraclonidine (larutan 0.5% tiga kali sehari dan 1% sebelum dan
sesudah terapi laser) adalah suatu agonis adrenergi-α 2 yang menurunkan
pembentukan aquous humor tanpa menimbulkan efek pada aliran keluar.
Ini terutama berguna untuk mencegah peningkatan tekanan intraokular
pascaterapi laser segmen anterior dan dapat diberikan sebagai terapi
jangka pendek pada kasus – kasus yang sukar disembuhkan. Obat ini tidak
sesuai untuk terapi jangka panjang karena bersifat takifilaksis (hilangnya
efek terapi dengan berjalannya waktu) dan tingginya insidens reaksi alergi.
Brimonidine (larutan 0.2% dua kali sehari) adalah suatu agonis
adrenergic-α yang terutama menghambat pembentukan aquous humor dan
juga meningkatkan pengaliran aquous keluar. Obat ini dapat digunakan
sebagai lini pertama atau sebagai tambahan, tetapi reaksi alergi sering
ditemukan.
Dorzolamide hydrochloride larutan 2% dan brinzolamid 1% (dua
atau tiga kali sehari) adalah penghambat anhidrase karbona topikal yang
terutama efektif bila diberikan sebagai tambahan, walaupun tidak seefektif
penghambat anhidrase karbona sistemik. Efek samping utama adalah rasa
pahir sementara dan blefarokonjungtivitis alergi. Dorzolamide juga
tersedia bersama timolol dalam larutan yang sama.
Penghambat anhidrase karbonat sistemik – acetazolamide adalah
yang paling banyak digunakan, tetapi terdapat alternatif, yaitu
dichlorphenamide dan methazolamide – digunakan pada glaukoma kronik
bila terapi topikal kurang memuaskan serta pada glaukoma akut dengan
tekanan intraokular yang sangat tinggi dan perlu segera dikontrol. Obat –
obat ini mampu menekan pembentukan aquous humor sebanyak 40-60%.
Acetazolamide dapat diberikan per oral dalam dosis 125-250 mg sampai
empat kali sehari atau sebagai Diamox Sequels 500 mg sekali atau dua kali
sehari, atau dapat diberikan secara intravena (500 mg). Penghambat
30
anhidrase karbonat menimbulkan efek samping sistemik mayor yang
membatasi kegunaannya untuk terapi jangka panjang.
Obat – obat hiperosmotik mempengaruhi pembentukan aquous
humor serta menyebabkan dehidrasi korpus vitreum.
31
Obat – obat hiperosmotik mengubah darah menjadi hipertonik
sehingga air tertarik keluar dari vitreus dan menyebabkan penciutan
vitreus. Selain itu, juga terjadi penurunan produksi aquous humor.
Penurunan volume vitreus bermanfaat dalam pengobatan glaukoma sudut
tertutup akut dan glaukoma maligna yang menyebabkan pergeseran lensa
kristalina ke anterior (disebabkan oleh perubahan volume vitreus atau
koroid) dan menimbulkan penutupan sudut (glaukoma sudut tertutup
sekunder).
Glycerin (glycerol) oral , 1 mL/kg berat badan dalam suatu larutan
50% dingin dicampur dengan jus lemon, adalah obat yang paling sering
digunakan, tetapi harus hati – hati bila digunakan pada pengidap diabetes.
Pilihan lain adalah isosorbide oral dan urea intravena atau manitol
intravena.
32
laser argon mungkin diperlukan pada iris berwarna gelap. Tindakan bedah
iridektomi perifer dilakukan bila iridotomi laser YAG tidak efektif.
Iridotomi laser YAG menjadi suatu tindakan pencegahan bila dikerjakan
pada sudut sempit sebelum serangan penutupan sudut.
b) Trabekuloplasti Laser
33
dengan glaukoma sekunder – terutama glaukoma neovaskular – dan
glaukoma pascabedah tandur kornea.
Viskokanalostomi dan sklerektomi dalam dengan implan kolagen
menghindarkan dilakukannya insisi ketebalan penuh ke dalam mata.
Penurunan tekanan intraokular yang dihasilkan tidak sebaik
trabekulektomi, tetapi kompliask yang timbul mungkin lebih sedikit.
Secara teknis, tindakan ini sulit dikerjakan.
Goniotomi dan trabekulotomi adalah teknik – teknik yang
bermanfaat untuk mengobati glaukoma congenital primer, yang
tampaknya terdapat sumbatan drainase aquous humor di bagian dalam
anyaman trabekular.
d) Tindakan Siklodestruktif
Kegagalan terapi medis dan bedah pada glaukoma lanjut dapat
menjadi alas an untuk mempertimbangkan tindakan destruksi corpus
ciliare dengan laser atau pembedahan untuk mengontrol tekanan
intraokular. Krioterapi, diatermi, terapi laser YAG: neodymium thermal
mode, atau laser diode dapat digunakan untuk menghancurkan corpus
ciliare. Terapi biasanya diberikan dari luar melalui sclera, tetapi telah
tersedia system apliasi laser endoskopi.
J. Prognosis
34
BAB III
KESIMPULAN
Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau kebiruan,
yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita glaucoma. Kelainan
mata glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan bola mata, atrofi papil
saraf optik, dan menciutnya lapang pandang.
35
Penyebab utama glaukoma adalah meningkatnya tekanan bola mata di atas
20mmHg, penyebab lainnya adalah hipertensi dan diabetes mellitus. Walaupun
jarang dapat juga disebabkan emosi yang tidak stabil, migrain, penyempitan
pembuluh darah dan lain-lain.
Klasifikasi glaukoma dibedakan atas primer, sekunder, dan kongenital.
Penatalaksanaan glaukoma yaitu terapi medis, terapi bedah dan laser. Prognosis
sangat tergantung pada penemuan dan pengobatan dini. Bila tidak mendapat
pengobatan yang tepat dan cepat, maka kebutaan akan terjadi dalam waktu yang
pendek sekali.
DAFTAR PUSTAKA
1. Shields MB, Allingham RR, Damji KF, Freedman S, Moroi SE, Shafranov G.
Shields’ Textbook of Glaucoma. Edisi ke-6. Lippincott Williams and
Wilkins.; 2011. Hlm 176-85
36
2. Stamper RL, Lieberman MF, Drake MV. Primary Open Angle Glaucoma.
Dalam: Becker-Shaffer’s Diagnosis and Therapy of the Glaucomas. Edisi ke-
7. Elsevier Inc.; 2009. Hlm 239-65
3. Weinreb R.N., Aung T., Medeiros FA. The Pathophysiology and Treatment of
Glaucoma. Journal of the American Medical Association. 2014 May
14;311(18): 1901-11
4. Khouri AS., Fechtner RD. Primary Open Angle Glaucoma. Dalam: Glaucoma.
Edisi ke-2. Elsevier Inc.; 2015. Hlm 333-45
5. Joos KM., Kuchtey RW. Primary Open Angle Glaucoma. Dalam: Albert And
Jakobiec’s Principles and Practice of Ophthalmology. Edisi ke-3. Elsevier
Inc.; 2008. Hlm 2543-47
6. Bowling B. Glaucoma. Dalam: Kanski’s Clinical Ophthalmology. Edisi ke-8.
Elsevier Inc.; 2016. Hlm 305-94
7. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Basic and clinical science course:
Glaucoma. Section 10. San Fransisco: American Academy of Ophthalmology;
2016. Hlm 72-82
8. Doucette LP., Rasnitsyn A., Seifi M., Walter MA. The Interactions of Gener,
Age, and Environnnnnment in Glaucoma Pathogenesis. Survey of
Ophthalmology 60 (2015); 310-26
9. Greco A., Rizzo MI., Virgikio AD., Gallo A., Fusconi M., Vincentiis M.
Emerging Concepts in Glaucoma and Review of The Literature. The
American Journal of Medicine (2016) 129, 1000.e7-e13
Eva, Paul Riordan., Whitcher John P. 2012. Oftalmologi Umum Vaughan &
Asbury. Edisi 17. (Terjemahan). Jakarta: EGC
Ilyas, Sidarta. 1997. Glaukoma (Tekanan Bola Mata Tinggi). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI
Ilyas, Sidarta., Yulianti, Sri Rahayu. 2011. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Keempat.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI
Swartz, Mark H. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. (Terjemahan). Jakarta: EGC
37