XEROFTALMIA
1
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
Di seluruh dunia, sekitar 350.000 kasus baru kerusakan mata yang parah muncul
setiap tahunnya pada anak-anak usia prasekolah, dan diperkirakan 60% dari anak-anak ini
meninggal dalam waktu 1 tahun setelah menjadi buta. Teknik baru yang diterapkan pada
survey untuk menilai defisiensi vitaminA (respon relative terhadap dosis dan gambaran
sitologi konjungtiva) menunjukkan bahwa pada beberapa negara berkembang, terdapat 40-
60% populasi anak prasekolah yang mengalami defisiensi vitamin A secara subklinis.
Dalam kurun waktu 1964-1965 dan pada tahun 1970-an, Indonesia pernah dijuluki
sebagai “home of xerophthalmia” karena insiden xeroftalmia pada balita yang cukup tinggi.
Menurut Survei Nasional Xeroftalmia tahun 1978-1980, tidak banyak menemukan kasus
tersebut, bahkan pada tahun 1994, pemerintah Indonesia memperoleh piagam Helen Keller
Award karena dinilai berhasil menurunkan angka xeroftalmia dari 1,34% atau sekitar tiga kali
lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada
tahun 1978 menjadi 0,33% pada tahun 1992.
Hasil penelitian yang dilakukan Survei Pemantauan Status Gizi dan Kesehatan
(Nutrition and Health Surveilance System) selama tahun 1998-2002 menunjukkan, sekitar 10
juta anak balita yang berusia 6 bulan hingga 5 tahun (setengah dari populasi anak balita di
Indonesia) menderita KVA, sehingga ini menjadi masalah utama karena akibat dari KVA
adalah terganggunya kesehatan mata, kemampuan penglihatan, maupun kekebalan tubuhnya.
Dan yang memprihatinkan, kebutaan yang disebabkan KVA tidak dapat disembuhkan.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Mata
4
Gambar 2 Anatomi Mata
III. Epidemiologi
5
itu, juga dijumpai 50% dari anak balita memiliki kadar vitamin A yang rendah (< 20
µg/dL).
Angka kejadian ini semakin meningkat sejalan dengan ditemukannya berbagai faktor
yang dapat mencetuskan terjadinya xeroftalmia. Faktor-faktor tersebut diantaranya:
1. Umur
Xeroftalmia paling sering ditemukan pada anak-anak usia pra-sekolah, hal ini
berhubungan dengan kebutuhan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan. Di
samping itu, anak-anak usia ini sangat rentan oleh infeksi parasit dan bakteri usus
yang dapat mengganggu penyerapan vitamin A di usus.
2. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menyatakan bahwa laki-laki 1,2 – 10 kali lebih rentan untuk
menderita xeroftalmia.
3. Status Fisiologis
Wanita hamil dan wanita menyusui cenderung menderita buta senja atau Bitot’s
Spots karena meningkatnya kebutuhan akan vitamin A. Anak-anak usia sekolah
juga memiliki kecenderungan ini karena tingginya kebutuhan vitamin A untuk
pertumbuhan (adolescent growth spurt).
4. Status Gizi
Xeroftalmia sering kali berhubungan atau didapatkan bersama-sama dengan
kondisi malnutrisi (Kurang Energi Protein).
5. Penyakit Infeksi
Penyakit-penyakit yang mengganggu pencernaan, pengangkutan, penyimpanan,
pengikatan metabolisme vitamin A, dapat menimbulkan manifestasi defisiensi
vitamin A. Beberapa alasan yang dikemukakan untuk menerangkan penurunan
kadar vitamin A selama demam dan infeksi, yaitu:
6
Keadaan yang kurang menguntungkan adalah jumlah keluarga yang besar,
rendahnya pendidikan kepala keluarga, sanitasi yang buruk, serta sosial ekonomi
yang rendah.
IV. Etiologi
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau dari konsumsi sehari-
hari kekurangan vitamin A disebabkan oleh :
V. Patofisiologi
1. Metabolisme Vitamin A
Vitamin A dalam bentuk aktif berupa asam retinoat. Sedangkan secara alami sumber
vitamin A didapatkan dari hewani dalam bentuk pro-vitamin A dan dari tumbuhan
dalam bentuk beta karoten. Dikenal tiga macam karoten yaitu α, β, dan γ-karoten. β-
karoten memilki aktivitas yang paling tinggi. Proses pembentukan vitamin A dari
sumber hewani dan tumbuhan menjadi bentuk aktif (asam retinoat) dapat diuraikan
sebagai berikut :
Absorbsi pro-vitamin A dan karoten di dinding usus halus, kemudian diubah menjadi
retinol
7
Retinol diangkut ke dalam hepar oleh kilomikron, kemudian di dalam parenkim hati
sebagian dari retinol akan diesterifikasi menjadi retinil-palmitat dan disimpan dalam
sel stelat. Sebagian lagi akan berikatan dengan Retinol Binding Protein (RBP) dan
protein lain yang disebut trasthyretin untuk dibawa ke target sel
Pada target sel, retinol akan berikatan dengan reseptor yang terdapat pada membran
sel (RBP receptor) kemudian di dalam sel berikatan dengan retinol binding protein
intraseluler, yang akan diubah menjadi asam retinoat oleh enzim spesifik
Asam retinoat selanjutnya akan memasuki inti sel dan berikatan dengan reseptor pada
inti. Asam retinoat ini berperan dalam transkripsi gen.
a. Penglihatan
b. Integritas sel
c. Respon imun
d. Hemopoiesis
e. Fertilitas
f. Embriogenesis
Kadar vitamin A dan retina binding protein (RBP) dalam darah dapat
ditentukan dengan menggunakan metode kromatografi cair tekanan tinggi (high
pressure liquid chromatography/ HLPC). Metode ini cukup akurat dan cepat. Nilai
Vitamin A dalam plasma adalah 0,7 μmol/l (50 μg/l) sering didapatkan pada orang
dewasa yang sehat, tidak ada batasan yang jelas tentang berapa nilai yang
mengidentifikasikan seseorang mengalami hipervitaminosis, tetapi kemungkinan
diatas 3,5 μmol/l (100 μg/l). Pembagian tingkat status vitamin A berdasarkan kadar
vitamin A darah adalah :
8
2. Fisiologi penglihatan yang berhubungan dengan vitamin A
Salah satu fungsi dari vitamin A adalah berperan dalam proses penglihatan,
dimana retina merupakan salah satu target sel dari retinol. Retinol yang telah
berikatan dengan RBP akan ditangkap oleh reseptor pada sel pigmen epitel retina,
yang akan dibawa ke sel-sel fotoreseptor untuk pembentukan rodopsin. Rodopsin ini
sangat berperan terutama untuk penglihatan pada cahaya redup. Karena itu tanda dini
dari defisiensi vitamin A adalah rabun senja.
3. Fungsi vitamin A yang berhubungan dengan integritas sel dan respon imun
9
3. Pecandu alkohol akan terjadi gangguan dalam metabolisme vitamin A. Pada pencandu
alkohol ini afinitas alcohol dehidrogenase pada etanol akan menghalangi konversi
retinol menjadi asam retinoat
4. Penyakit hati yang kronis, terutama sirosis akan menyebabkan defisiensi vitamin A
karena adanya gangguan pada proses transportasi dan penyimpanan
X2 : xerosis kornea
X3A : keratomalasia atau ulserasi kornea kurang dari 1/3 permukaan kornea
X3B : keratomalasia atau ulserasi kornea sama atau lebih dari 1/3 permukaan kornea
10
XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik.
Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati karena dalam
beberapa hari bisa berubah menjadi X3.
X3A dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan
dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan ) pada kornea cukup luas sehingga
menutupi seluruh kornea ( optic zone kornea ).
1. Buta Senja
Buta senja merupakan gejala awal dan tersering pada defisiensi vitamin A, merupakan
akibat dari disfungsi fotoreseptor sel batang pada retina, dengan gejala kesulitan melihat pada
sinar redup. Penilaian dilakukan dengan adanya riwayat kesulitan melihat pada sore hari.
Untuk mendeteksi apakah anak menderita buta senja dengan cara :
Bila anak sudah dapat berjalan, anak tersebut akan membentur/menabrak benda
didepannya, karena tidak dapat melihat.
Bila anak belum dapat berjalan, agak sulit untuk mengatakan anak tersebut buta senja.
Dalam keadaan ini biasanya anak diam memojok bila didudukkan ditempat kurang
cahaya karena tidak dapat melihat benda atau makanan di depannya.
Kelompok risiko tinggi buta senja adalah usia prasekolah (>1 tahun) dan wanita
hamil. Riwayat buta senja pada ibu hamil didapatkan pada akhir masa kehamilan sampai 3
tahun setelah melahirkan. Prevalensi xeroftalmi ditemukan sebesar 1% pada anak <1 tahun
dan 5% pada ibu hamil. Buta senja pada anak biasanya berespon baik pada 48 jam dengan
pemberian terapi standar 200.000 IU vitamin A peroral. Rekomendasi pemberian vitamin A
11
pada wanita hamil sebesar 10.000 IU perhari atau 25.000 IU perminggu peroral selama 4
minggu atau lebih, dengan maksud meminimalisasi toksisitas yang dapat terjadi pada fetus.
2. Xerosis Konjungtiva
Xerosis konjungtiva, menunjukkan suatu awal metaplasia keratinisasi pada epitel
dengan hilangnya sel-sel goblet penghasil mukus. Lesi tidak mempengaruhi tajam
penglihatan.
Tanda – tanda :
Selaput lendir bola mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit
berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.
Orang tua sering mengeluh mata anak tampak kering atau berubah warna
kecoklatan.
Xerosis yang lebih lanjut dapat menyebabkan bercak bitot (X1B), yang tersusun dari
kumpulan deskuamasi keratin epitel. Bercak bitot dapat berupa gelembung, atau seperti busa
sabun, hampir selalu bilateral dan daerah temporal. Lesi di daerah nasal menunjukkan
defisiensi yang lebih lanjut.
12
Standar terapi dengan vitamin A 200.000 IU pada 2 hari berturut-turut memberikan respon
klinis dalam beberapa hari, walaupun pengobatan masih diperlukan beberapa minggu sampai
beberapa bulan.
4. Xerosis Kornea
Xerosis kornea (X2) merupakan keadaan gawat darurat medis, tampak bilateral,
granular, berkabut dan tidak bercahaya, pada pemeriksaan dengan senter gambarannya seperti
kulit jeruk. Edema stroma merupakan keadaan yang sering ditemukan pada xerosis kornea.
Penebalan plak keratinisasi dapat ditemukan pada permukaan kornea, biasanya didaerah
interpalpebra. Keadaan umum anak biasanya buruk ( gizi buruk dan menderita penyakit
infksi dan sistemik lain ). Xerosis kornea dapat berkembang cepat menjadi ulkus dan
keratomalasia bila tidak diterapi dengan vitamin A dan terapi suportif lainnya.
13
5. Ulkus Kornea atau Keratomalasia
Ulkus kornea (X3A), gambarannya kecil, oval, defek bergaung, sering pada daerah
inferior, perifer permukaan kornea, disertai injeksi konjungtiva, kadang ada hipopion. Ulkus
dapat dangkal atau dalam, menyebabkan perforasi. Terapi vitamin A berespon baik,
perbaikan kornea disertai jaringan parut atau lekoma adheren.
6. Sikatriks Kornea
Sikatriks kornea (XS) adalah konsekuensi kebutaan yang disebabkan oleh perbaikan
ulkus dan keratomalasia. Parut kornea akibat defisiensi vitamin A harus dibedakan dengan
parut kornea akibat penyebab lain seperti trauma atau infeksi dengan menganalisa secara
cermat pada riwayat pasien atau orangtuanya.
Kornea tampak menjadi putih atau bola mata mengecil. Penderita menjadi buta yang
sudah tidak dapat disembuhkan walaupun dengan operasi cangkok kornea.
14
Gambar 9. Sikatriks kornea
7. Fundus Xeroftalmia
VII. Diagnosis
1. Anamnesis, dilakukan untuk mengetahui faktor risiko tinggi yang menyebabkan anak
rentan menderita xeroftalmia.
a. Identitas penderita
Nama anak
Umur anak
Jenis kelamin
Jumlah anak dalam keluarga
Jumlah anak balita dalam keluarga
Anak ke berapa
15
Berat lahir : Normal/BBLR
b. Identitas Orangtua
Nama ayah/ibu
Alamat/tempat tinggal
Pendidikan
Pekerjaan
Status perkawinan
2. Keluhan penderita
a. Keluhan utama
Ibu mengeluhkan anaknya tidak bisa melihat pada sore hari (buta senja ) atau ada
kelainan dengan matanya.
b. Keluhan tambahan
Tanyakan keluhan lain pada mata tersebut dan kapan terjadinya ?
Upaya apa yang telah dilakukan untuk pengobatannya ?
6. Pemeriksaan fisik
Dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda ataugejala klinis dan menentukan diagnosis
serta pengobatannya, terdiri dari :
a. Pemeriksaan umum
16
Dilakukan untuk mengetahui adanya penyakit-penyakit yang terkait langsung
maupun tidak langsung dengan timbulnya xeroftalmia seperti gizi buruk, penyakit
infeksi, dan kelainan fungsi hati.
Yang terdiri dari :
- Antropometri: Pengukuran berat badan dan tinggi badan
- Penilaian Status gizi
- Periksa matanya apakah ada tanda-tanda xeroftalmia.
- Kelainan pada kulit : kering, bersisik.
b. Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan mata untuk melihat tanda Xeroftalmia dengan menggunakan senter
yang terang. (Bila ada, menggunakan loop.)
Apakah ada tanda kekeringan pada konjungtiva (X1A)
Apakah ada bercak bitot (X1B)Apakah ada tanda-tanda xerosis kornea (X2)
Apakah ada tanda-tanda ulkus kornea dan keratomalasia (X3A/X3B)
Apakah ada tanda-tanda sikatriks akibat xeroftalmia (XS)
Apakah ada gambaran seperti cendol pada fundus oculi dengan opthalmoscope
(XF).
7. Pemeriksaan Laboratorium
17
Pemerikasaan kadar serum retinol atau Serum Retinol Binding Protein
VIII. Penatalaksanaan
1. Jadwal dan dosis pemberian kapsul vitamin A pada anak penderita Xeroftalmia
Pada bercak Bitot tidak memerlukan obat tetes mata, kecuali ada infeksi yang
menyertainya.
Obat tetes / salep mata antibiotik tanpa kortikosteroid ( tetrasiklin 1%, Kloramfenikol
0.25-1% dan gentamisin 0.3%) diberikan pada penderita X2,X3A,X3B dengan dosis 4 x 1
18
peradangan dan iritasi mereda. Gunakan kasa yang telah dicelupkan kedalam larutan
Nacl 0,26 dan gantilah kasa setiap kali dilakukan pengobatan. Lakukan tindakan
pemeriksaan dan pengobatan dengan sangat berhati-hati. Selalu mencuci tangan pada
saat mengobati mata untuk menghindari infeksi sekunder, Segera rujuk ke dokter
spesialis mata untuk mendapat pengobatan lebih lanjut.
Terapi Gizi Medis adalah terapi gizi khusus untuk penyembuhan kondisi atau
penyakit kronis dan luka-luka serta merupakan suatu penilaian terhadap kondisi
pasien sesuai intervensi yang diberikan agar klien serta keluarganya dapat meneruskan
penanganan diet yang telah disusun.
Tujuan :
Memberikan makanan yang adekuat sesuai kebutuhan untuk mencapai status gizi
normal.
Memberikan makanan tinggi sumber vit. A. untuk mengoreksi kurang vitamin A.
Syarat :
a. Energi
Energi diberikan cukup untuk mencegah pemecahan protein menjadi sumber
energi dan untuk penyembuhan. Pada kasus gizi buruk, diberikan bertahap mengikuti
fase stabilisasi, transisi dan rehabilitasi, yaitu 80-100 kalori/kg BB, 150 kalori/ kg BB
dan 200 kalori/ kg BB.
b. Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam pembentukan Retinol
Binding Protein dan Rodopsin. Pada gizi buruk diberikan bertahap yaitu : 1 - 1,5
gram/ kg BB / hari ; 2 - 3 gram/ kg BB / hari dan 3 - 4 gram/ kg BB / hari
c. Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal. Pemberian minyak
kelapa yang kaya akan asam lemak rantai sedang (MCT=Medium Chain
Tryglycerides). Penggunaan minyak kelapa sawit yang berwarna merah dianjurkan,
tetapi rasanya kurang enak.
19
d. Vitamin A
Diberikan tinggi untuk mengoreksi defisiensi. Sumber vitamin A yaitu ikan, hati,
susu, telur terutama kuning telur, sayuran hijau (bayam, daun singkong, daun katuk,
kangkung), buah berwarna merah, kuning, jingga (pepaya, mangga dan pisang raja ),
waluh kuning, ubi jalar kuning, Jagung kuning.
e. Bentuk makanan
Mengingat kemungkinan kondisi sel epitel saluran cerna juga telah mengalami
gangguan, maka bentuk makanan diupayakan mudah cerna.
Rujukan
Anak segera dirujuk ke puskesmas bila ditemukan tanda-tanda kelainan XN, X1A,
X1B, X2
Anak segera dirujuk ke dokter Rumah Sakit/ Spesialis Mata/BKMM bila ditemukan
tanda-tanda kelainan mata X3A, X3B, XS
20
Gambar 11. Alur rujukan
IX. Pencegahan
21
9. Melakukan imunisasi dasar pada setiap bayi.
Agar xeroftalmia tidak terjadi ulang diperlukan penyuluhan untuk masyarakat dan
keluarga, karena kejadian xeroftalmia tidak lepas dari lingkungan, keadaan sosial
ekonomi, pendidikan dan pengetahuan orang tua (terutama ibu). Beberapa kegiatan
yang dapat dilakukan sehubungan dengan hal tersebut diatas adalah :
Bayi berumur 6-11 bulan Tiap 3-6 bulan diberikan vitamin A secara oral
dengan dosis 100.000 IU
Anak 1-6 tahun Tiap 3-6 bulan diberikan vitamin A secara oral
dengan dosis 200.000 IU
c. Fortifikasi
X. Prognosis
Prognosa pada stadium XN, X1A, X1B, dan X2 adalah baik, dengan syarat :
22
- pengobatan harus dilakukan dengan tepat
Sedangkan pada stadium yang lebih lanjut dimana telah terjadi kerusakan kornea
dan dapat menyebabkan kebutaan yang tidak dapat disembuhkan lagi, maka
23
BAB III
KESIMPULAN
Xeroftalmia terjadi akibat tubuh kekurangan vitamin A. Bila ditinjau dari konsumsi
sehari-hari kekurangan vitamin A disebabkan oleh : Konsumsi makanan yang tidak
mengandung cukup vitamin A, Bayi yang tidak diberkan ASI eksklusif, menu tidak
seimbang , adanya gangguan penyerapan vitamin A atau pro-vitamin , dan adanya kerusakan
hati.
Tanda-tanda dan gejala klinis KVA pada mata dibagi menurut klasifikasi
WHO/USAID UNICEF/HKI/ IVACG, 1996. XN, XIA, XIB, X2 biasanya dapat sembuh
kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat
darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa berubah menjadi X3. X3A
dan X3B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi (kelainan) pada kornea cukup luas sehingga menutupi
seluruh kornea (optic zone cornea).
24
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, S. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Edisi Ke-3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2005.
World Health Organization. Pencegahan Kebutaan Pada Anak. Penerbit Buku Kedokteran:
EGC; 1996.
Indonesia Sehat 2010. Deteksi Dini Xeroftalmia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2002.
Vaughan, Daniel, dkk. Oftamologi Umum. Edisi Ke-14. Jakarta : Widya Medika. 1996.
25