Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEKURANGAN VITAMIN A

(KVA)

OLEH:

KELOMPOK III

AYU ASHARI S.0019.G.003

HASNIDAR S.0019.G.009

NOPITA FAJARWATI S.0019.G.016

SEKOLAH TINGGI ILMU KARYA KESEHATAN


PROGRA STUDI S-1 GIZI
KENDARI
2021
KATA PENGATAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini
kami akan membahas mengenai “KEKURANGAN VITAMIN A”.
Makalah ini telah dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan
dari berbagai pihak untuk membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan
selama mengerjakan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang
mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk
memberikan saran serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif
dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
DAFTAR ISI

COVER..........................................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
A. Latar Belakang...................................................................................
B. Rumusan Masalah..............................................................................
C. Tujuan................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................
A. Definisi Vitamin A ............................................................................
B. Kekurangan Vitamin A......................................................................
C. Fungsi Vitamin A...............................................................................
D. Faktor Resiko Kekurangan Vitamin A..............................................
E. Penyebab Kekurangan Vitamin A.....................................................
F. Tanda Gejala Kekurangan Vitamin A................................................
G. Akibat Kekurangan Vitamin A..........................................................
H. Cara Pencegahan Kekurangan Vitamin A.........................................
I. Sumber Vitamin A.............................................................................
J. Angka Kecukupan Gizi Vitamin A....................................................
BAB III PENUTUP.......................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................................
B. Saran..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan masalah kesehatan
utama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. KVA
terutama sekali mempengaruhi anak kecil, diantara mereka yang
mengalami defisiensi dapat mengalami xerophthalmia dan dapat berakhir
menjadi kebutaan, pertumbuhan yang terbatas, pertahanan tubuh yang
lemah, eksaserbasi infeksi serta meningkatkan resiko kematian. Hal ini
menjadi nyata bahwa KVA dapat terus berlangsung mulai usia sekolah dan
remaja hingga masuk ke usia dewasa (Keith dan West, 2008).
Meskipun konsekuensi kesehatan dari KVA tidak digambarkan
dengan baik di atas anak usia dini, namun data terakhir menunjukkan
bahwa KVA pada wanita usia reproduksi dapat meningkatkan resiko
kesakitan dan kematian selama kehamilan dan periode awal postpartum.
KVA yang berat pada maternal juga memberikan kerugian bagi anak baru
lahir karena dapat akibatkan peningkatan kematian dibulan pertama
kehidupan. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya pemahaman tentang
KVA maka sangat penting bahwa beban kesehatan yang dihasilkan
dikuantifikasi setepat mungkin, sebagai dasar tindakan dan pemantauan
serta evaluasi program pencegahan selanjutnya. Kemajuan telah dilakukan
selama 4 dekade terakhir dalam memperkirakan beban KVA, terutama
dengan menggabungkan dan mengekstrapolasikan data prevalensi dari
negara dimana telah dikumpulkan dalam populasi dengan profil
demografis yang sama dan risiko yang telah diantisipasi. Dalam beberapa
tahun terakhir, KVA telah diperkirakan mempengaruhi antara 75 dan 254
juta anak prasekolah setiap tahun, jauh dari jarak yang akurat. Tidak ada
perkiraan permasalahan kesehatan global KVA ibu atau adanya insidensi
tahunan kebutaan malam ibu (XN) ( Arlappa, 2012; Keith dan West,
2008).
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang
Energi Protein (KEP) atau Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat
kurang, termasuk zat gizi mikro dalam hal ini vitamin A. Anak yang
menderita KVA mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lain karena daya
tahan anak tersebut menurun. Namun masalah KVA dapat juga terjadi
pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal ini terjadi karena kurangnya
pengetahuan orang tua / ibu tentang gizi yang baik. Kurangnya konsumsi
makanan (< 80 % AKG) yang berkepanjangan akan menyebabkan anak
menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan, dimana
keluarga tidak mampu memberikan makan yang cukup. Sampai saat ini
masalah KVA di Indonesia masih membutuhkan perhatian yang serius.
Oleh karena itu dirasakan perlunya Program penanggulangan masalah
KVA bertujuan untuk menurunkan prevalensi KVA terutama ditujukan
kepada kelompok sasaran rentan yaitu balita dan wanita yang berada pada
usia reproduksi ( Heijthuijsen, et al, 2013).
Penanggulangan masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak
Balita sudah dilaksanakan secara intensif sejak tahun 1970-an, melalui
distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan, dan peningkatan promosi
konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei terakhir tahun 2007 dan
2011 menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum retinol
kurang dari 20 ug sudah di bawah batas masalah kesehatan masyarakat,
artinya masalah kurang vitamin A secara nasional tidak menjadi masalah
kesehatan masyarakat (Depkes, 2012).

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan vitamin A?
2. Apa yang dimaksud dengan Kekurangan Vitamin A (KVA)?
3. Apa saja fungsi vitamin A?
4. Faktor risiko apa saja yang menyebabkan Kekurangan Vitamin A?
5. Apa penyebab terjadinya Kekurangan Vitamin A?
6. Bagaimana tanda-tanda/gelaja Kekurangan Vitamin A?
7. Apa akibat Kekurangan Vitamin A?
8. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan Kekurangan Vitamin A?
9. Apa saja sumber vitamin A?
10. Berapa Angka Kecukupan Gizi vitamin A?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian vitamin A
2. Untuk mengetahui pengertian Kekurangan Vitamin A (KVA)
3. Untuk mengetahui fungsi-fungsi vitamin A
4. Untuk mengetahui faktor risiko Kekurangan Vitamin A
5. Untuk mengetahui penyebab terjadinya Kekurangan Vitamin A
6. Untuk mengetahui tanda-tanda/gelaja Kekurangan Vitamin A
7. Untuk mengetahui akibat Kekurangan Vitamin A
8. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan Kekurangan
Vitamin A
9. Untuk mengetahui sumber vitamin A
10. Untuk mengetahui Angka Kecukupan Gizi vitamin A
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Vitamin A
Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan
struktur kimianya disebut retinol atau retina atau disebut juga dengan asam
retinoat, terdapat pada jaringan hewan dimana retinol 90-95% disimpan
pada hati (Haryadi, 2009).
Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang
sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar
dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan
daya tahan tubuh untuk melawan penyakit, khususnya diare dan penyakit
infeksi). Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi dua
bentuk, yaitu :
1. Retinol
Retinol dapat dimanfaatkan langsung oleh tubuh karena umumnya
sumber retinol diperoleh dari makanan hewani seperti telur, hati,
minyak ikan yang mudah dicerna dalam tubuh.
2. Betacaritine
Sering disebut pro-vitamin A, baru dapat dirasakan setelah
mengalami proses pengolahan menjadi retinol. Sumber betacarotene
berasal dari makanan yang berwarna orange atau hijau tua, seperti
wortel, bayam, ubi kuning, mangga dan pepaya. Retinol atau Retinal
atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai faktor pencegahan
xeropthalmia, berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur
kepekaan rangsang sinar pada saraf mata, Jumlah yang dianjurkan
berdasarkan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (KGA-2004) per
hari 400 ug retinol untuk anak-anak dan dewasa 500 ug retinol.Tubuh
menyimpan retinol dan betacarotene dalam hati dan mengambilnya
jika tubuh memerlukannya (Iskandar, 2012).

B. Pengertian Kekurangan Vitamin A


Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah penyakit yang disebabkan
oleh kurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal ini dapat
menyebabkan rabun senja, xeroftalmia dan jikakekurangan berlangsung
parah dan berkepanjangan akan mengakibatkan kerat omalasia (Tadesse,
Lisanu, 2005).
Sedangkan menurut Arisman tahun 2002, Kurang Vitamin A
(KVA) merupakan penyakit sistemik yang merusak sel dan organ tubuh
dan menghasilkan metaplasi keratinasi pada epitel, saluran nafas, saluran
kencing dan saluran cerna. Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar
luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat penting.
Prevalensi KVA terdapat pada anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai
akhir tahun 1960-an KVA merupakan penyebab utama kebutaan pada
anak.

C. Fungsi Vitamin A
1. Penglihatan; Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada
cahaya remang. Bila kita dari cahaya terang diluar kemudian
memasuki ruangan yang remang-remang cahayanya, maka kecepatan
mata beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung
dengan vitamin A yang tersedia didalam darah. Tanda pertama
kekurangan vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin A
dapat memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan karena
kekurangan vitamin A (Melenotte et al., 2012).
2. Pertumbuhan dan Perkembangan; Vitamin A dibutuhkan untuk
perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam
pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang
terhambat dan bentuk tulang tidak normal. Pada anak–anak yang
kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam pertumbuhannya.
Dimana vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat
(Tansuğ N, et al., 2010).
3. Reproduksi; Pembentukan sperma pada hewan jantan serta
pembentukan sel telur dan perkembangan janin dalam kandungan
membutuhkan vitamin A dalam bentuk retinol. Hewan betina dengan
status vitamin A rendah mampu hamil akan tetapi mengalami
keguguran atau kesukaran dalam melahirkan. Kemampuan retinoid
mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan
meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam
pencegahan kanker kulit, tenggorokan, paru-paru, payudara dan
kandung kemih (Knutson dan Dame, 2011).
4. Fungsi Kekebalan; Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan
tubuh pada manusia. Dimana kekurangan vitamin A dapat menurunkan
respon antibody yang bergantung pada limfosit yang berperan sebagai
kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier, 2008).
5. Perkembangan Jantung; Defek kardiak dan cabang aorta diamati
sebagai bagian dari sindroma kekurangan vitamin A. singkat kata,
peranan vitamin A dalam perkembangan jantung mamalia meliputi
pembentukan pipa pola jantung dan lingkaran, ruang dan katup saluran
keluar, trabekulasi ventrikel, diferensiasi kardiomiosit dan
pengembangan pembuluh koroner (Knutson dan Dame, 2011).
6. Perkembangan Ginjal dan Saluran Kencing; Kekurangan vitamin A
pada kehamilan dapat berkorelasi dengan kekurangan jumlah nefron
sub-klinis dan sedikit defisit nefron yang tidak disadari pada saat lahir,
tapi mungkin bisa berkontribusi dalam jangka panjang terjadinya gagal
ginjal dan hipertensi (Knutson dan Dame, 2011).
7. Diafragma; Fungsi diafragma sebagai otot utama respirasi dan sebagai
pembatas antara rongga dada dan perut. Hernia diafragma kongenital
(CDH) terjadi pada sekitar satu dari 3000 kelahiran, dan berhubungan
dengan kematian neonatal yang tinggi. Vitamin A sangat penting bagi
perkembangan diafragma normal, dan telah disimpulkan bahwa
gangguan sinyal retinoid dapat berkontribusi pada etiologi dari
gangguan manusia (Knutson dan Dame, 2011).
8. Paru dan Saluran Nafas Atas serta Aliran Udara; Defek Respirasi
termasuk agenesis paru kiri, hypoplasia paru bilateral, dan agenesis
esophagotracheal septum digambarkan dalam sindroma KVA awal
namun dikarakteristikkan sebagai kelainan yang jarang terjadi. Paru
berkembang dari foregut endoderm selama perekembangan awal
embrio. RA dari mesoderm splanchnic di sekitar endoderm foregut
telah penting ditemukan untuk pembentukan tunas paru primordial.
Sebuah laporan terbaru di New England Journal of Medicine
menunjukkan bahwa, di daerah endemik dengan defisiensi vitamin A
(retinol), anak-anak yang ibunya menerima suplementasi vitamin A
sebelum, selama, dan selama 6 bulan setelah kehamilan memiliki
fungsi paruparu yang lebih baik ketika mereka diuji pada 9 sampai 11
tahun daripada anakanak yang ibunya menerima suplemen beta
karoten atau plasebo. Selain itu, mereka menemukan bahwa periode di
mana suplementasi dengan vitamin A yang paling penting adalah dari
kehamilan usia postnatal dari 6 bulan (Knutson dan Dame, 2011).

D. Faktor Risiko Kekurangan Vitamin A


Sebagai permasalahan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin A
terjadi didalam lingkungan sosial, ekonomi, dan ekologi yang miskin dan
penduduknya tinggal di negara yang ekonomiya sedang berkembang serta
mengalami transisi. Pengaruh relatif faktor kasusal pada tingkat makro
maupun mikro dapat sangat bervariasi antar negara bahkan antar wilayah
dalam negara yang sama. Oleh karena itu, kita harus memahami kondisi
setempat ketika membuat rancangan program intervensi yang tepat dan
efektif secepatnya untuk memperbaiki situasi tersebut. Walaupun begitu,
ada beberapa faktor resiko dibaliknya yang cenderung menandai sebagian
besar situasi ketika defisiensi vitamin A lazim ditemukan.
1. Usia
Berbagai tingkat defisiensi vitamin A mulai dari bentuk subklinis
hingga bentuk malnutrisi dengan kebutaan yang berat (keratomalasia),
dapat terjadi pada setiap usia jika keadaannya cukup ekstrim. Namun
demikian, sebagai persoalan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin
A, khususnya defisiensi yang berat, akan menyerang anak-anak dalam
usia prasekolah. Keadaan ini terjadi karena kebutuhan vitamin A bagi
pertumbuhan pada anak-anak ini cukup tinggi.
Sementara asupan vitamin dari makanan seringkali rendah dengan
tambahan beban pajanan infeksi yang lebih besar. Insidens xeroftalmia
kornea paling prevalen pada anak-anak yang berusia 2-4 tahun. Pada
anakanak dibawah usia 12 bulan, penyakit kornea merupakan kejadian
yang relatif jarang dijumpai (terutama karena efek protektif pemberian
ASI), tetapi keratomalasia lebih sering terjadi diantara bayi-bayi yang
hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rendah.
Prevalensi xeroftalmia ringan, terutama buta senja (SN) dan bercak
bitot (XB) meningkat seiring usia hingga usia prasekolah dan
keterkaitan ini ternyata berbedabeda diantara berbagai budaya terlepas
dari angka xeroftalmia yang spesifik menurut usia. Defisiensi vitamin
A subklinis juga sering ditemukan diantara anak-anak usia sekolah,
remaja, dan dewasa muda pada komunitas yang sama dan
prevalensinya pada anak-anak kecil cukup tinggi.
2. Gender
Pada orang dewasa yang sehat, kadar retinol plasma maupun RBP
(retinol-binding protein) ternyata berada pada level 20% lebih tinggi
pada laki-laki dibandingkan pada wanita, kendati signifikan fisiologi
perbedaan ini masih belum jelas. Walaupun begitu, laki-laki umumnya
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami buta senja dan
bercak Bitot dibandingkan perempuan selama usia prasekolah dan
awal usia sekolah. Perbedaan gender ini tidak begitu jelas dalam hal
xeroftalmia yang berat. Perbedaan pada budaya pemberian makan dan
perawatan antara anak laki-laki dan perempuan dalam sebagian
populasi dapat menkelaskan variasi menurut gender ketika hal ini
diamati.
3. Status Fisiologi
Dengan meningkatnya kebutuhan vitamin A selama periode
pertumbuhan yang cepat, anak-anak kecil merupakan kelompok yang
paling rentan. Kebutuhan akan vitamin A juga meningkat selama masa
kehamilan dan menyusui; dengan demikian, ibu hamil dan menyusui
dalam populasi yang kehilangan haknya tidak mampu memenuhi
kebutuhan yang meningkat selama periode tertentu.
Buta senja selama kehamilan dan laktasi terutama sering
ditemukan di Asia Selatan dengna kejadian buta senja sebesar 15%-
20% dari semua kehamilan dan kemudian berulang kembali pada
kehamilan berikutnya; keadaan ini pada beberapa budaya dianggap
sebagai bagian dari kehamilan. Sejumlah penelitian juga
memperlihatkan bahwa ASI dari ibu dengan status vitamin A yang
buruk sering kali turut menyebabkan peningkatan kerentanan pada
bayi.
4. Diet
Penyebab dasar yang melandasi defisiensi vitamin A sebagai
permasalahan kesehatan masyarakat adlaha diet atau pola makan yang
kurang mengandung vitamin, baik senyawa karotenoidperformed aatau
provitamin A untuk memenuhi kebutuhan.
Pada umumnya, ditempat yang kondisi hidupnya buruk, diet
seseorang akan bergantung pada makanan nabati yang lebih murah
tetapi secara hayati kurang mengandung vitamin A (sebagai
karotenoid). Populasi yang mengonsumsi beras sebagai makanan
pokok dan serat pangan dalam kehidupan sehari-hari ternyata sangat
berisiko untuk mengalami defisiensi vitamin A.
Dengan demikian, xeroftalmia lebih sering ditemukan di Asia
Selatan dan Asia Timur. Defisiensi vitamin A subklinis umumnya
terjadi ditempat yang kualitas makanannya relatif rendah akibat
kendala pada kemampuan mengakses makanan dan ketersediaan
makanan, khususnya makanan hewani.
Pemberian ASI, kualitas makanan tambahan, dan kualitas diet anak
semuanya merupakan faktor penting untuk mempertahankan status
vitamin A. Ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa anak-anak yang
mendapatkan ASI menghadapi kemungkinan yang lebih kecil untuk
mengalami defisiensi vitamin A jika dibandingkan dengan anak-anak
pada usia sama yang tidak memperoleh ASI. Lebih lanjut, peningkatan
frekuensi pemberian ASI juga memberikan efek protektif terhadap
xeroftalmia. Banyak penelitian epidemiologi mendukung pemberian
makanan tambahan yang tepat dan tindakan ini ternyata dapat
melindungi anak-anak selama usia prasekolah terhadap xeroftalmia.
Konsumsi buah yang berwarna kuning (mangga dan pepaya) akan
memberikan perlindungan yang kuat pada anak berusia dua dan tiga
tahun.
Ketika pengaruh pemberian ASI berkurang, sayuran yang berwarna
hijau gelap memainkan peranan yang lebih penting bagi anak-anak
pada usia tiga tahun keatas. Sesudah masa bayi, konsumsi rutin
makanan hewani yang mengandung vitamin A preformed ( telur,
produk susu, ikan dan hati) bersifat sangat protektif terhadap kesehatan
anak. Sebaliknya, dalam usia satu tahun pertama ketika anak disapih,
anak-anak yang menderita xeroftalmia ternyata lebih sedikit mendapat
makanan yang kaya akan vitamin A secara teratur dibandingkan
dengan anak anak yang tidak menderita xeroftalmia.
Konsumsi sayuran berwarna hijau gelap atau buah dan sayuran
yang berwarna kuning disertai dengan penurunan risiko xeroftalmia
sebesar 4-6 kali lipat, sementara efek konsumsi telur, daging, ikan, dan
susu yang hanya dilakukan sekali-kali disertai dengan peningkatan
risiko sebesar 2-3 kali lipat . Pola makan pada saudara kandung yang
usianya lebih muda pada dua tahun pertama kehidupannya ternyata
serupa dengan pola makan kasus xeroftalmia dalam keluarga yang
sama; Kenyataan ini mencerminkan buruknya diet secara kronis pada
rumah tangga yang berisiko tinggi.
Defisiensi vitamin A paling sering ditemukan pada polpulasi
penduduk; yang mengonsumsi sebagian kebutuhan vitamin A mereka
dari sumber karotenoid provitamin dengan sedikit lemak yang
terkandung dalam makanan mereka. Kebiasaan makan yang spesifik
menurut budaya dan sejumlah tabuh atau larangan dalam pemberian
makanan anak, remaja dan ibu hamil serta menyusui sering kali
membatasi konsumsi makanan yang berpotensi sebagai sumber
vitamin A yang baik.
Namun demikian, kurangnya komsumsi yang kaya akan vitamin A
bukan berarti ketersediaan makanan tersebut dalam sebuah rumah
tangga juga mengalami kekurangan. Bagaimana anak-anak
mengkomsumsi makanan dan dengan siapa anak-anak itu makan,
dapat memperngaruhi resikonya untuk terkena defisiensi vitamin A.
Sejumlah penelitian egnoghrafi secara rinci dilaksanakan oleh
kelompok Johns Hopkins University dan lainnya memperlihatkan
bahwa anak-anak desa di Nepal memiliki peluang dua kali lebih besar
untuk mengkomsumsi sayuran, buah, kacang-kacangan, daging atau
ikan serta produk susu ketika mereka makan bersama keluarga
dibandingkan ketika mereka makan sendiri.
Ironisnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola kaum ibu
memastikan kecukupan makanan bagi anak-anak mereka pada
sebagian budaya dapat menjadi factor predisposisi untuk terjadinya
difisiensi vitamin A pada ibu sendiri. Sebagai contoh, para ibu hamil di
Nepal yang menderita buta senja ternyata mengalami penurunan
peluang sepenuhnya untuk mengkomsumsi makanan yang kaya akan
vitamin A, khususnya selama musim kemarau yang kering akan langka
panga. Di Indonesia, ketika terjadi krisis ekonomi, para ibu telah
mengorbankan asupan telur mereka demi memenuhi kebutuhan gizi
anak-anaknya.
5. Pola Penyakit
Keterkaitan antara penyakit infeksi dan status vitamin A
merupakan persoalan kompleks yang telah ditinjau secara luas.
Difisiensi vitamin A akan meningkatkan risiko morbiditas penyakit
infeksi dan sebaliknya, penyakit infeksi merupakan predisposisi
terjadinya difisiensi vitamin A.
Beberapa jenis infekssi seperti diare, infeksi pernafasan, dan
campak akan disertai bentuk tertentu difisiensi vitamin A yang dapat
berupa penurunan kadar retinol serum atau peningkatan resiko
xeroktalmia. Selanjutnya, frekuensi, durasi, dan intensitas penyakit
infeksi secara langsung atau tidak langsung turut meningkatkan
keretangan terhadap keadaan difisiensi vtamin A. Keberaradaan KEP
akan lebih meningkatkan resiko xeroktalmia yang urutan intensitasnya
hamper sama seperti penyakit diare dan pernafasan.
Protein pengikat retinol (RBP; RETINOL BINDING PROTEIN)
dapat menurun ketika KEP sehingga mengurangi ketersediaan vitamin
A dalam darah. Selama episode penyakit infeksi, penurunan kadar
vitamin A dalam serum menggambarkan secara parsial respon yang
tidak spesifik terhadap keadaan demam ketika sintesis RBP yang juga
merupakan protein fase akut yang negative itu berkurang.
Kadar retinol dalam serum kembali normal setelah terjadi
kesembuhan. Cacing usus seperti Giardia serta Ascaris juga dilaporkan
sebagai penyebab penurunan absorpsi vitamin A, dengan demikian
dapat turut menimbulkan defisiensi vitamin A. Salah satu laporan tidak
berhasil memperlihatkan kehilangan vitamin A sesudah pemberian oral
vitamin A kepada anak-anak yang menderita askariasis. Walaupun
begitu, infeksi parasit harus diatasi ketika kita menghadapi populasi
dengan persoalan defisiensi, dapat disertai dengan xeroftalmia.
6. Kondisi social ekonomi
Dalam pengertian kesehatan masyarakat. Kemiskinan terutama
terjadi penyebab defisiensi vitamin, sekalipun tidak selalu demikian,.
Pada umumnya, defisiensi vitamin A ditemukan terutama di negara-
negara yang perekonomiannya relatif miskin. Sejumlah penelitaian
memperlihatkan bahwa keluarga di negara-negara yang
perekonomiannya relatif memiliki lahan yang lebih sempit, kondisi
perumahan yang lebih buruk, hewan peliharaan yang lebih sedikit, dan
kemampuan ekonomi yang lebih rendah (diukur berdasarkan lebih
sedikitnya barang yang dimiliki seperti radio, arloji, atau sepeda).
Meskipun indikator status sosioekonomi yang rendah ditemukan (di
Bangladesh) berkaitan dengan risiko xeroftalmia yang 1,5-2,3 kali
lebih tnggi, namun karakteristik ini tidak selalu dengan sendirinya
meramalkan kejadian xeroftalmia. Tingkat pendidikan yang rendah
pada ayah atau ibu dalam keadaan ini dapat dibedakan, merupakan
faktor risiko yang lain.

E. Penyebab Terjadinya Kekurangan Vitamin A


Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena
menurunnya cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain
serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan
untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi mata.Vitamin A diperlukan
retina mata untuk pembentukan rodopsin dan pemeliharaan diferensiasi
jaringan epitel. Gangguan gizi kurang vitamin A dijumpai pada anak-anak
yang terkait dengan : kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya asupan
makanan sumber vitamin A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak diberi
kolostrum dan disapih lebih awal, pemberian makanan artifisial yang
kurang vitamin A. Pada anak yang mengalami kekurangan energi dan
protein, kekurangan vitamin A terjadi selain karena kurangnya asupan
vitamin A itu sendiri juga karena penyimpanan dan transpor vitamin A
pada tubuh yang terganggu.
Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan
vitamin A adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan kelompok anak
balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun). Sedangkan yang lebih berisiko
menderita kekurangan vitamin A adalah bayi berat lahir rendah kurang
dari 2,5 kg, anak yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI
sampai usia 2 tahun, anak yang tidak mendapat makanan pendamping ASI
yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, anak kurang gizi atau di
bawah garis merah pada KMS, anak yang menderita penyakit infeksi
(campak, diare, TBC, pneumonia) dan kecacingan, anak dari keluarga
miskin, anak yang tinggal di dareah dengan sumber vitamin A yang
kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan imunisasi
di posyandu maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan
makanan sumber vitamin A.
Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor
dalam hubungan yang kompleks seperti halnya dengan masalah
kekurangan kalori protein (KKP). Makanan yang rendah dalam vitamin A
biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antara hal-
hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A.
Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan
mengonsumsi vitamin A dalam jumlah yang banyak, kurangnya
pengetahuan orang tua tentang peran vitamin A dan kemiskinan.
Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan hal yang
mudah bagi penduduk yang miskin. Karena, harga pangan yang
difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak difortifikasi.
Pembedahan pada usus atau pankreas juga akan memberikan efek
kekurangan vitamin A. Bayi-bayi yang tidak mendapat ASI mempunyai
risiko lebih tinggi untuk menderita kekurangan vitamin A , karena ASI
merupakan sumber vitamin A yang baik. Kekurangan vitamin A sekunder
dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati,
gangguan absorpsi karena kekurangan asam empedu (Suhardjo, 2002).
Penyebab lain KVA pada balita dikarenakan kurang makan
sayuran dan buahbuahan berwarna serta kurang makanan lain sumber
vitamin A seperti : daun singkong, bayam, tomat, kangkung, daun ubi
jalar, wortel, daun pepaya, kecipir, daun sawi hijau, buncis, daun katu,
pepaya, mangga, jeruk, jambu biji, telur ikan dan hati. Akibatnya menurun
daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit (Depkes RI, 2005).

F. Tanda-tanda dan Gejala Klinis Kekurangan Vitamin A


KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel
dari organorgan seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ
lain. Akan tetapi gambaran gangguan secara fisik dapat langsung terlihat
oleh mata. Kelainan kulit pada umumnya terlihat pada tungkai baeah
bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit nampak kering dan
bersisik. Kelainan ini selain diebabkan oleh KVA dapat juga disebabkan
kekurangan asam lemak essensial, kurang vitamin golongan B atau KEP.
Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami
KVA yang telah berlangsung lama. gejala tersebut akan lebih cepat
muncul jika menderita penyaki campak, diare, ISPA dan penyakit infeksi
lainnya.Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai
berikut :
1. Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang
retina. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang
yang remang-remang setelah lama berada di cahaya yang terang.
Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tidak dapat
melihat lingkungan yang kurang cahaya.
2. Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang
mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi
dengan permukaan kasar dan kusam.
3. Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah
tanda-tanda XI A ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih
seperti busa sabun atau keju terutama celah mata sisi luar. Bercak ini
merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda
khas pada penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan
prevalensi kurang vitamin A pada masyarakat. Dalam keadaan berat
tanda-tanda pada XI B adalah, tampak kekeringan meliputi seluruh
permukaan konjunctiva, konjunctiva tampak menebal, berlipat dan
berkerut.
4. Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai
kornea, kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak
kasar.
5. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak
seperti bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi
perforasi kornea.Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir
dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk
cacat tetap yang dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang
cepat memburuk dapat mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea
tanpa harus melalui tahaptahap awal xeroftalmia.
6. Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak
menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea
telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan
parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan
walaupun dengan operasi cangkok kornea.
7. Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2
biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik.
Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera
diobati karena dalam beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A
dan X3 B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat
yang bahkan dapat menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea
cukup luas sehingga menutupi seluruh kornea.Prinsip dasar untuk
mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A yang
cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi. Selain itu perlu
memperhatikan kesehatan secara umum (Wardani, 2012).
G. Akibat Kekurangan Vitamin A
Tubuh memerlukan asupan vitamin yang cukup sebagai zat
pengatur dan memperlancar proses metabolisme dalam tubuh. Sebagai
vitamin yang larut dalam lemak, vitamin A membangun sel-sel kulit dan
memperbaiki sel-sel tubuh, menjaga dan melindungi mata, menjaga tubuh
dari infeksi, serta menjaga pertumbuhan tulang dan gigi. Karena fungsi
tersebut, vitamin A sangat bagus dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan anak. Vitamin A juga berperan dalam epitil, misalnya pada
epitil saluran pencernaan dan pernapasan serta kulit. Vitamin A berkaitan
erat dengan kesehatan mata. Vitamin A membantu dalam hal integritas
atau ketahanan retina serta menyehatkan bola mata.
Vitamin A fungsinya tak secara langsung mengobati penderita
minus, tapi bisa menghambat minus. Kekurangan vitamin A menyebabkan
mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan cahaya yang masuk
dalam retina. Sebagai konsekuensi awal terjadilah rabun senja, yaitu mata
sulit melihat kala senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan
gelap. Bila kekurangan vitamin A berkelanjutan maka anak akan
mengalami xerophtalmia yang mengakibatkan kebutaan. Selain itu
kekurangan vitamin A menyebabkan tubuh rentan terhadap infeksi bakteri
dan virus. Tanpa vitamin A, sistem pertahanan tubuh akan hilang.Ini
memicu tubuh rentan terserang penyakit.
Vitamin A bisa terserap dalam tubuh yang kondisinya baik. Anak
usia balita sangat rentan kekurangan vitamin A karena kondisi tubuhnya
rentan terhadap penyakit, seperti diare atau infeksi pencernaan. Untuk itu
peran ibu sangat penting dalam menjaga ketahanan tubuh bayi yakni
dengan memberikan ASI eksklusif, agar mempunyai ketahanan tubuh
yang cukup.Kebutuhan vitamin A yang cukup dalam tubuh, dapat
diketahui dengan cara menganalisis makanan yang dikonsumsi seharihari
dan melihat kondisi tubuh. Jika tubuh anak sering terkena penyakit, seperti
diare, busung lapar atau gangguan saluran pernapasan, maka secara
otomatis, asupan vitamin A-nya kurang (Zulkarnaen, 2012).

Selain itu, dampak kekurangan Vitamin A bagi balita antara lain:


1. Hemarolopia atau kotok ayam (rabun senja).
2. Frinoderma, pembentukan epitelium kulit tangan dan kaki terganggu,
sehingga kulit tangan dan kaki bersisik.
3. Pendarahan pada selaput usus, ginjal dan paru-paru.
4. Kerusakan pada bagian putih mata mengering dan kusam (Xerosis
konjungtiva), bercak seperti busa pada bagian putih mata (bercak
bitot), bagian kornea kering dan kusam (Xerosis kornea), sebagian
hitam mata melunak ( Keratomalasia ), Seluruh kornea mata melunak
seperti bubur (Ulserasi Kornea) dan Bola mata mengecil / mengempis
(Xeroftahalmia Scars).
5. Terhentinya proses pertumbuhan.
6. Terganggunya pertumbuhan pada bayi.
7. Mengakibatkan campak yang berat yang berkaitan dengan adanya
komplikasi pada anak-anak serta menghambat penyembuhan.
(Melenotte et al,2012)

Namun demikian perlu juga diperhatikan bahwa pemberian dosis


Vitamin A yang terlalu tinggi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan
akibat yang kurang baik antara lain:
1. Hipervitaminosis A pada anak-anak dapat menimbulkan anak tersebut
cengeng, pada sekitar tulang yang panjang membengkak, kulit kering
dan gatal-gatal.
2. Hipervitaminosis pada orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-
mual dan diare. (Sugiarno, 2010).

H. Pencegahan dan Penanggulangan Kekurangan Vitamin A


Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang
sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar
dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meni ngkatkan
daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare, dan
penyakit infeksi lain) (Depkes RI, 2009) Pada ibu hamil dan menyusui,
vitamin A berperan penting untuk memelihara kesehatan ibu selama masa
kehamilan dan menyusui. Buta senja pada ibu menyusui, suatu kondisi
yang kerap terjadi karena kurang vitamin A (KVA). Berhubungan erat
pada kejadian anemia pada ibu, kekurangan berat badan, kurang gizi,
meningkatnya resiko infeksi dan penyakit reproduksi, serta menurunkan
kelangsungan hidup ibu hingga dua tahun setelah melahirkan (Dinkes
Jateng, 2007)
Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus
gizi baik dan tinggal di Negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A
yang terbatas dalam tubuhnya (hanya cukup memenuhi kebutuhan untuk
sekitar dua minggu). Di Negara berkembang, pada bulan-bulan pertama
kehidupannya, bayi sangat bergantung pada vitamin A yang terdapat
dalam ASI. Oleh sebab itu, sangatlah penting bahwa ASI mengandung
cukup vitamin A. Anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan ASI
akan beresiko lebih tinggi terkena Xeropthalmia dibandingkan dengan
anak-anak yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka waktu
tertentu. Berbagai studi yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas
memperlihatkan hasil yang berbeda-beda. Anak-anak usia enam bulan
yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah melahirkan,
menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada
anakanak tersebut dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka
terkena ISPA. Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak,
berisiko mengalami KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan
vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan produksi ASI.
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A
melalui proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya
yang paling aman. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera
memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A
masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini
masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.
1. Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis
100.000 SI (warna biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara
serentak pada bulan Februari dan Agustus.
2. Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan
dosis 200.000 SI (warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara
serentak pada bulan Februari dan Agustus.
3. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu
kapsul vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar
bayi memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI (Depkes RI,
2009).
4. Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama
kehamilan sebagai bagian dari antenatal care rutin untuk mencegah
maternal and infant morbidity dan mortality. Namun, pada daerah
dimana terdapat masalah kesehatan publik yang berat yang berkaitan
dengan kekurangan vitamin A, maka suplementasi vitamin A
direkomendasikan untuk mencegah rabun senja. Secara khusus, wanita
hamil dapat mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin A setiap harinya
atau vitamin A hingga 25,000 IU setiap minggu. Suplementasi dapat
dilanjutkan hingga 12 minggu selama kehamilan hingga melahirkan.
Hal ini perlu ditekankan bahwa WHO mengidentifikasi populasi
berisiko sebagai mereka yang prevalensi menderita rabun senja ≥5%
pada wanita hamil atau ≥5% pada anak – anak yang berusia 24–59
bulan.( McGuire, 2012)
5. Ibu nifas: suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah
direkomendasikan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas pada ibu
dan bayi. ( McGuire S. 2012)
Kekurangan makan makanan bergizi yang berlarut-larut, selain
membuat orang menjadi kurus juga kekurangan vitamin-vitamin, termasuk
kekurangan vitamin A. penyakit usus yang menahun akan mengakibatkan
penyerapan vitamin A dari usus terganggu. Untuk melakukan pengobatan
harus berobat pada dokter dan biasanya dokter akan memberikan suntikan
vitamin A setiap hari sampai gejalanya hilang. Untuk mencegah
kekurangan vitamin A makanlah pepaya, wortel dan sayur-sayuran yang
berwarna ( Hassan, 2008).
Program nasional pemberian suplemen vitamin A adalah upaya
penting untuk mencegah kekurangan vitamin A di antara anak-anak
Indonesia. Tujuan Program ini adalah untuk mendistribusikan kapsul
vitamin A pada semua anak di seluruh wilayah Indonesia dua kali dalam
satu tahun. Setiap Februari dan Agustus, kapsul vitamin A didistribusikan
secara gratis kepada semua anak yang mengunjungi Posyandu dan
Puskesmas. Vitamin A yang terdapat dalam kapsul tersebut cukup untuk
membantu melindungi anak-anak dari timbulnya beberapa penyakit yang
pada gilirannya akan membantu menyelamatkan penglihatan dan
kehidupan mereka ( Maryam, 2010 ).
Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam
satu sampai dua minggu. Dianjurkan bila diagnosa defisiensi vitamin A
ditegakkan maka berikan vitamin A 200.000 IU peroral dan pada hari
kesatu dan kedua. Belum ada perbaikan maka diberikan obat yang sama
pada hari ketiga. Biasanya diobati gangguan proteinkalori mal nutrisi
dengan menambah vitamin A, sehingga perlu diberikan perbaikan gizi.

I. Sumber Vitamin A
Pada umumnya kecukupan Vitamin A pada orang dewasa didapat
dari makanan yang di konsumsi setiap hari. Demikian juga bagi anak anak
selain didapat dari makanan juga dari suplemen Vitamin A. sedangkan
bagi bayi yang berumur kurang dari 6 bulan kebutuhan Vitamin A
diperoleh dari Air Susu Ibu (Sugiarno. 2010). ASI tetap menjadi sumber
yang penting dari vitamin A dan karoten (zat gizi yang banyak terdapat
secara alami dalam buah-buahan dan sayur-sayuran). Karoten dapat
membantu sistem kekebalan tubuh. Hati, telur, dan keju merupakan
sumber-sumber vitamin A yang baik. Vitamin A juga terdapat dalam beta-
karoten serta karotenoid lainnya. Tubuh manusia dapat mensintesa vitamin
A dari karoten atau pro vitamin A yang terdapat di sayuran dan buah-
buahan yang berwarna, seperti wortel, tomat, apel, semangka, dan
sebagainya. (Dinkes Jateng, 2007)
Kadar Vitamin A dalam air susu sangat dipengaruhi oleh jumlah
dan jenis makanan yang dikonsumsi selama menyusui. Untuk itu bagi ibu
nifas dianjurkan banyak mengkonsumsi sayuran terumata yang banyak
mengandung Vitamin A. (Sugiarno. 2010) Vitamin A sangat penting bagi
kesehatan kulit, kelenjar, serta fungsi mata. Sekalipun pada waktu lahir
bayi memiliki simpanan vitamin A, Vitamin A adalah salah satu zat gizi
esensial yang tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh manusia. Untuk
memperolehnya harus diambil dari sumber diluar tubuh terutama dari
sumber alam, seperti bahan sereal, umbi, biji-bijian, sayuran, buah-buahan,
hewani dan bahan-bahan olahan lainnya.(Desi & Dwi, 2009)

J. Angka Kecukupan Gizi Vitamin A


Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG)
anak balita sekitar 350 Retinol Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari
kandungan vitamin A dalam makanan nabati atau hewani yang
dikonsumsi. Sebagai gambaran, angka 350 RE terdapat pada tiga butir
telur atau 250 gram bayam. Jadi seorang anak balita memenuhi kecukupan
gizi vitamin A jika ia mengonsumsi tiga telur atau 250 gram bayam dalam
sehari. Tapi, tentu saja, seorang anak akan bosan jika terus menerus diberi
telur dan bayam, apalagi dalam jumlah besar.
Terdapat banyak sayuran dan buah yang mengandung vitamin A.
Sayuran dan buah yang mengandung AKG dalam jumlah besar, lebih dari
150 RE/100 gr, adalah pepaya, bayam, kangkung, wortel, ubi jalar,
mangga, dan sebagainya. Sementara sumber makanan nabati dengan
kandungan vitamin A lebih rendah, sekitar 1-60 RE/100 gr, terdapat pada
jagung, semangka, tomat, pisang, belimbing, dan sejenisnya.
Untuk sumber makanan hewani, kandungan vitamin A dalam
jumlah besar terdapat pada telur, daging ayam dan hati. Sedangkan ikan,
susu segar, dan udang memiliki kandungan vitamin A tergolong kecil.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang sangat
diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat
melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meningkatkan daya
tahan tubuh untuk melawan penyakit, khususnya diare dan penyakit
infeksi)
2. Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah penyakit yang disebabkan oleh
kurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal ini
dapatmenyebabkan rabun senja, Xeroftalmia dan jika kekurangan
berlangsung parah danberkepanjangan akan meng akibatkan
keratomalasia.
3. Selain berfungsi pada sistem penglihatan, diferensiasi sel,
pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, dan pencegahan kanker,
vitamin A juga berfungsi dalam sistem kekebalan (anti infeksi).
4. Faktor risiko kekurangan vitamin A adalah usia, gender, status
fisiologis, diet, pola penyakit, kondisi sosialekonomi, dan
pengelompokan.
5. Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena
menurunnya cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh lain
serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis yang
diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi mata.
6. KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A pada hati
dan organorgan tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A
dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik
bagi mata. Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO
sebagai berikut :
a. Buta senja = XN.
b. Xerosis konjunctiva = XI A.
c. Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B.
d. Xerosis kornea = X2.
e. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B.
f. Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea.
g. Xeroftalmia Fundus (XF).
7. Kekurangan vitamin A menyebabkan mata tak dapat menyesuaikan
diri terhadap perubahan cahaya yang masuk dalam retina. Sebagai
konsekuensi awal terjadilah rabun senja, yaitu mata sulit melihat kala
senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan gelap. Bila
kekurangan vitamin A berkelanjutan maka anak akan mengalami
xerophtalmia yang mengakibatkan kebutaan.
8. Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A
melalui proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya
yang paling aman. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan
segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi kapsul
vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan
KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis
tinggi.
9. Hati, telur, dan keju merupakan sumber-sumber vitamin A yang baik.
Vitamin A juga terdapat dalam beta-karoten serta karotenoid lainnya.
Tubuh manusia dapat mensintesa vitamin A dari karoten atau pro
vitamin A yang terdapat di sayuran dan buah-buahan yang berwarna,
seperti wortel, tomat, apel, semangka, dan sebagainya.
10. Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG) anak
balita sekitar 350 Retinol Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari
kandungan vitamin A dalam makanan nabati atau hewani yang
dikonsumsi.

B. Saran
Timbulnya berbagai penyakit akibat kekurangan vitamin A karena
kurangnya perhatian terhadap kesehatan masing-masing individu dan
keluarga. Maka untuk mencegah ataupun menanggulangi terjadinya
peningakatan kekurangan vitamin A, penulis menyarankan untuk lebih
banyak mengomsumsi buah-buahan, bijibijian, sayur-sayuran dan juga
hewani yang banyak mengandung vitamin A. Dengan demikian, akan
mengurangi resiko terjadinya penyakit akibat kekurangan Vitamin A.
DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2002. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi


Fakultas Kedokteran Universitas Palembang. Proyek peningkatan
Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Desi dan Dwi 2009. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi.


Yogyakarta. Nuha Medika. Departemen Kesehatan RI, Konsumsi Kapsul
Vitamin A pada Ibu Nifas.

Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

Haryadi, Hendri. 2011 . Makalah Kekurangan Vitamin A “Ilmu


Gizi”. Diakses dari http://handri-haryadi.blogspot.com

Iskandar, Zulkarnaen. 2012. Kekurangan Vitamin A. Diakses


darihttp://kuliahiskandar.blogspot.com.

Maryam,Siti dkk (2010). Asuhan Keperawatan pada Lansia. Trans


Info Medika, Jakarta.

Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Dinas


Kesehatan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah 2007.

Sugiamo. 2010. “Defesiensi Vitamin A”


http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/103/jtptunimus-gdl-sugiamg0-5116-
2-bab2.pdf

Anda mungkin juga menyukai