Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

Kurang Vitamin A (KVA)

UntukMemenuhiTugas Mata Kuliah

Gizi Dan Diet

DosenPengampu:Ns.Moch.DafidKN,S.Kep,M.Gizi

Oleh:

AnnisaKhairurRosiqin(19037140006)

Clara YuanitaHutahaean(19037140013)

FaniRiyanto(19037140016)

IiLAprillah(19037140022)

Mega DwiNuriya(19037140030)

OktaviolaPutriRindiarto(19037140038)

RidwanSodiq(19037140045)

SitiYuniSupriasih(19037140055)
PRODI DIII KEPERAWATAN

UNIVERSITAS BONDOWOSO

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
serta karunia-nya semata, sehinnga tugas mata kuliah ini dapat terselesaikan
denganbaik. Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah GIZIDAN DIET
dalam keperawatan dengan baik dan menjadi salah satu mata kuliah wajib di Program
studi DIII Keperawatan Universitas Bondowoso. Penulis yakin tanpa adanya bantuan
dari semua pihak, maka tugas ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :I buYuanaDwi Agustin,
SKM, M.Kessebagaiketua program studi DIII Keperawatan Universitas Bondowoso
Bapak Ns. Moch.Dafid KN, S.kep, M.Gizi sebagai dosen pengampu mata kuliah GIZI
DAN DIET. Semua pihak yang telah membantu pekerjaan makalah ini Semoga yang
telah diberikan kepada penulis mendapat kan imbalan dari Allah SWT, dan penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak untuk bahan
perbaikan penulisan makalah ini.

Bondowoso, 19Maret 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................i

DAFTAR ISI ...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................1

A.LatarBelakang...........................................................................................................................1

B.PerumusanMasalah....................................................................................................................2

C.Tujuan........................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................4

2.1 Pengertian vitamin A..............................................................................................................4

2.2 Pengertian kekurangan vitamin A...........................................................................................4

2.3 Fungsi vitamin A.....................................................................................................................5

2.4 Faktor Resiko kekurangan vitamin A.....................................................................................7

2.5 Penyebab Terjadinya kekurangan vitamin A..........................................................................12

2.6 Tanda-Tanda Dan Gejala Klinis Kekurangan Vitamin A.......................................................13

2.7 Akibat Kekurangan Vitamin A...............................................................................................15

2.8 Pencegahan Dan Penanggulangan Kekurangan Vitamin A....................................................16

BAB III Penutup ........................................................................................................................19


A.Kesimpulan...............................................................................................................................19

B.Saran .........................................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LatarBelakang

Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia. KVA terutama sekali mempengaruhi anak kecil, diantara
mereka yang mengalami defisiensi dapat mengalami xerophthalmia dan dapat berakhir menjadi
kebutaan, pertumbuhan yang terbatas, pertahanan tubuh yang lemah, eksaserbasi infeksi serta
meningkatkan resiko kematian. Hal ini menjadi nyata bahwa KVA dapat terus berlangsung mulai
usia sekolah dan remaja hingga masuk ke usia dewasa (Keith dan West, 2008).
Meskipun konsekuensi kesehatan dari KVA tidak digambarkan dengan baik di atas anak usia
dini, namun data terakhir menunjukkan bahwa KVA pada wanita usia reproduksi dapat
meningkatkan resiko kesakitan dan kematian selama kehamilan dan  periode awal postpartum.
KVA yang berat pada maternal juga memberikan kerugian bagi anak baru lahir karena dapat
akibatkan peningkatan kematian dibulan pertama kehidupan. Sebagai konsekuensi dari
meningkatnya pemahaman tentang  KVA maka sangat penting bahwa beban kesehatan yang
dihasilkan dikuantifikasi setepat mungkin, sebagai dasar tindakan dan pemantauan serta evaluasi
program pencegahan selanjutnya. Kemajuan telah dilakukan selama 4 dekade terakhir dalam
memperkirakan beban KVA,  terutama dengan menggabungkan dan mengekstrapolasikan data
prevalensi dari negara dimana telah dikumpulkan dalam populasi dengan profil demografis yang
sama dan risiko yang telah diantisipasi. Dalam beberapa tahun terakhir, KVA telah diperkirakan
mempengaruhi antara 75 dan 254 juta anak prasekolah setiap tahun, jauh dari jarak  yang akurat.
Tidak ada perkiraan permasalahan kesehatan global KVA ibu atau adanya insidensi tahunan
kebutaan malam ibu (XN) ( Arlappa, 2012; Keith dan West, 2008).
KVA pada anak biasanya terjadi pada anak yang menderita Kurang Energi Protein (KEP) atau
Gizi buruk sebagai akibat asupan zat gizi sangat kurang, termasuk zat gizi mikro dalam hal ini
vitamin A. Anak yang menderita KVA mudah sekali terserang infeksi seperti infeksi saluran
pernafasan akut, campak, cacar air, diare dan infeksi lain karena daya tahan anak tersebut
menurun. Namun masalah KVA dapat juga terjadi pada keluarga dengan penghasilan cukup. Hal
ini terjadi karena kurangnya pengetahuan orang tua / ibu tentang gizi yang baik. Gangguan
penyerapan pada usus juga dapat menyebabkan KVA walaupun hal ini sangat jarang terjadi.
Kurangnya konsumsi makanan (< 80 % AKG)  yang berkepanjangan akan menyebabkan anak
menderita KVA, yang umumnya terjadi karena kemiskinan, dimana keluarga tidak mampu
memberikan makan yang cukup. Sampai saat ini masalah KVA di Indonesia masih
membutuhkan perhatian yang serius. Oleh karena itu dirasakan perlunya Program
penanggulangan masalah KVA bertujuan untuk menurunkan prevalensi KVA terutama ditujukan
kepada kelompok sasaran rentan yaitu balita dan wanita yang berada pada usia reproduksi
( Heijthuijsen, et al ,2013).
Penanggulangan masalah Kurang Vitamin A (KVA) pada anak Balita sudah dilaksanakan secara
intensif sejak tahun 1970-an, melalui distribusi kapsul vitamin A setiap 6 bulan, dan peningkatan
promosi konsumsi makanan sumber vitamin A. Dua survei terakhir tahun 2007 dan 2011
menunjukkan, secara nasional proporsi anak dengan serum retinol kurang dari 20 ug sudah di
bawah batas masalah kesehatan masyarakat, artinya masalah kurang vitamin A secara nasional
tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat (Depkes, 2012).

1.2 RumusanMasalah
1. Apa yang dimaksud dengan vitamin A?
2. Apa yang dimaksud dengan Kekurangan Vitamin A (KVA)?
3.  Apa saja fungsi vitamin A?
4. Faktor risiko apa saja yang menyebabkan Kekurangan Vitamin A?
5.Apa penyebab terjadinya Kekurangan Vitamin A?
6. Bagaimana tanda-tanda/gelaja Kekurangan Vitamin A?
7. Apa akibat Kekurangan Vitamin A?
8. Bagaimana pencegahan dan penanggulangan Kekurangan Vitamin A?
9. Apa saja sumber vitamin A?
10. Berapa Angka Kecukupan Gizi vitamin A?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian vitamin A
2. Untuk mengetahui pengertian Kekurangan Vitamin A (KVA)
3. Untuk mengetahui fungsi-fungsi vitamin A
4. Untuk mengetahui faktor risiko Kekurangan Vitamin A
5. Untuk mengetahui penyebab terjadinya Kekurangan Vitamin A
6. Untuk mengetahui tanda-tanda/gelaja Kekurangan Vitamin A
7. Untuk mengetahui akibat Kekurangan Vitamin A
8. Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan Kekurangan Vitamin A
9. Untuk mengetahui sumber vitamin A
10. Untuk mengetahui Angka Kecukupan Gizi vitamin A
BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Pengertian Vitamin A

 Pengertian Vitamin A

Vitamin A adalah vitamin yang larut dalam lemak. Berdasarkan struktur kimianya disebut retinol
atau retina atau disebut juga dengan asam retinoat, terdapat pada jaringan hewan dimana retinol
90-95% disimpan pada hati (Haryadi, 2009).

Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh
yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh
(meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit, khususnya diare dan penyakit
infeksi). Vitamin A atau berdasarkan struktur kimianya dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :

1. Retinol
Retinol dapat dimanfaatkan langsung oleh tubuh karena umumnya sumber retinol diperoleh
dari makanan hewani seperti telur, hati, minyak ikan yang mudah dicerna dalam tubuh.

2 Betacaritine
Sering disebut pro-vitamin A, baru dapat dirasakan setelah mengalami proses pengolahan
menjadi retinol. Sumber betacarotene berasal dari makanan yang berwarna orange atau hijau tua,
seperti;wortel,bayam,ubikuning,manggadanpepaya.
Retinol atau Retinal atau juga Asam Retinoat, dikenal sebagai faktor pencegahan xeropthalmia,
berfungsi untuk pertumbuhan sel epitel dan pengatur kepekaan rangsang sinar pada saraf mata,
Jumlah yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (KGA-2004) per
hari 400 ug retinol untuk anak-anak dan dewasa 500 ug retinol.Tubuh menyimpan retinol dan
betacarotene dalam hati dan mengambilnya jika tubuh memerlukannya (Iskandar, 2012).

2.2   Pengertian Kekurangan Vitamin A


Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah penyakit yang disebabkan oleh kurangnyaasupan vitamin
Ayangmemadai.Halini dapat menyebabkan rabun senja, xeroftalmia
dan jika kekurangan berlangsung parah dan berkepanjangan akan mengakibatkan keratomalasia (
Tadesse, Lisanu, 2005).

Sedangkan menurut Arisman tahun 2002, Kurang Vitamin A (KVA) merupakan penyakit


sistemik yang merusak sel dan organ tubuh dan menghasilkan metaplasi keratinasi pada epitel,
saluran nafas, saluran kencing dan saluran cerna. Penyakit Kurang Vitamin A (KVA) tersebar
luas dan merupakan penyebab gangguan gizi yang sangat penting. Prevalensi KVA terdapat pada
anak-anak dibawah usia lima tahun. Sampai akhir tahun 1960-an KVA merupakan penyebab
utama kebutaan pada anak.

2.3      Fungsi Vitamin A

1. Penglihatan

Vitamin A berfungsi dalam penglihatan normal pada cahaya remang. Bila kita dari cahaya terang
diluar kemudian memasuki ruangan yang remang-remang cahayanya, maka kecepatan mata
beradaptasi setelah terkena cahaya terang berhubungan langsung dengan vitamin A yang tersedia
didalam darah. Tanda pertama kekurangan vitamin A adalah rabun senja. Suplementasi vitamin
A dapat memperbaiki penglihatan yang kurang bila itu disebabkan karena kekurangan vitamin A
(Melenotte et al., 2012).

2. Pertumbuhan dan Perkembangan

Vitamin A dibutuhkan untuk perkembangan tulang dan sel epitel yang membentuk email dalam
pertumbuhan gigi. Pada kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dan bentuk tulang
tidak normal. Pada anak–anak yang kekurangan vitamin A, terjadi kegagalan dalam
pertumbuhannya.  Dimana vitamin A dalam hal ini berperan sebagai asam retinoat (Tansuğ N, et
al., 2010).

3. Reproduksi

Pembentukan sperma pada hewan jantan serta pembentukan sel telur dan perkembangan janin
dalam kandungan membutuhkan vitamin A  dalam bentuk retinol. Hewan betina dengan status
vitamin A rendah mampu hamil akan tetapi mengalami keguguran atau kesukaran dalam
melahirkan. Kemampuan retinoid mempengaruhi perkembangan sel epitel dan kemampuan
meningkatkan aktivitas sistem kekebalan diduga berpengaruh dalam pencegahan kanker kulit,
tenggorokan, paru-paru, payudara dan kandung kemih (Knutson dan Dame, 2011).

4. Fungsi Kekebalan

Vitamin A berpengaruh terhadap fungsi kekebalan tubuh pada manusia. Dimana kekurangan
vitamin A dapat menurunkan respon antibody yang bergantung pada limfosit yang berperan
sebagai kekebalan pada tubuh seseorang (Almatsier, 2008).

5.Perkembangan Jantung

Defek kardiak dan cabang aorta diamati sebagai bagian dari sindroma kekurangan vitamin A.
singkat kata, peranan vitamin A dalam perkembangan jantung mamalia meliputi  pembentukan
pipa pola jantung dan lingkaran, ruang dan katup saluran keluar, trabekulasi ventrikel,
diferensiasi kardiomiosit dan pengembangan pembuluh koroner (Knutson dan Dame, 2011).

6.Perkembangan Ginjal dan Saluran Kencing Kekurangan vitamin A pada kehamilan dapat
berkorelasi dengan kekurangan jumlah nefron sub-klinis dan sedikit defisit nefron yang tidak
disadari pada saat lahir, tapi mungkin bisa berkontribusi dalam jangka panjang terjadinya gagal
ginjal dan hipertensi (Knutson dan Dame, 2011).

7.Diafragma

Fungsi diafragma sebagai otot utama respirasi dan sebagai pembatas antara rongga dada dan
perut. Hernia diafragma kongenital (CDH) terjadi pada sekitar satu dari 3000 kelahiran, dan
berhubungan dengan kematian neonatal yang tinggi. Vitamin A sangat penting bagi
perkembangan diafragma normal, dan telah disimpulkan bahwa gangguan sinyal retinoid dapat
berkontribusi pada etiologi dari gangguan manusia (Knutson dan Dame, 2011).

8.Paru dan Saluran Nafas Atas serta Aliran Udara

Defek Respirasi termasuk agenesis paru kiri, hypoplasia paru bilateral, dan agenesis
esophagotracheal septum digambarkan dalam sindroma KVA awal namun dikarakteristikkan
sebagai kelainan yang jarang terjadi. Paru berkembang dari foregut endoderm selama
perekembangan awal embrio. RA dari mesoderm splanchnic di sekitar endoderm foregut telah
penting ditemukan untuk pembentukan tunas paru primordial. Sebuah laporan terbaru di New
England Journal of Medicine menunjukkan bahwa, di daerah endemik dengan defisiensi vitamin
A (retinol), anak-anak yang ibunya menerima suplementasi vitamin A sebelum, selama, dan
selama 6 bulan setelah kehamilan memiliki fungsi paru-paru yang lebih baik ketika mereka diuji
pada 9 sampai 11 tahun daripada anak-anak yang ibunya menerima suplemen beta karoten atau
plasebo. Selain itu, mereka menemukan bahwa periode di mana suplementasi dengan vitamin A
yang paling penting adalah dari kehamilan usia postnatal dari 6 bulan (Knutson dan Dame,
2011).

2.4  Faktor Risiko Kekurangan Vitamin A

Sebagai permasalahan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin A terjadi didalam lingkungan


sosial, ekonomi, dan ekologi yang miskin dan penduduknya tinggal di negara yang ekonomiya
sedang berkembang serta mengalami transisi. Pengaruh relatif faktor kasusal pada tingkat makro
maupun mikro dapat sangat bervariasi antar negara bahkan antar wilayah dalam negara yang
sama. Oleh karena itu, kita harus memahami kondisi setempat ketika membuat rancangan
program intervensi yang tepat dan efektif secepatnya untuk memperbaiki situasi tersebut.
Walaupun begitu, ada beberapa faktor resiko dibaliknya yang cenderung menandai sebagian
besar situasi ketika defisiensi vitamin A lazim ditemukan.

Usia

Berbagai tingkat defisiensi vitamin A mulai dari bentuk subklinis hingga bentuk malnutrisi
dengan kebutaan yang berat (keratomalasia), dapat terjadi pada setiap usia jika keadaannya
cukup ekstrim. Namun demikian, sebagai persoalan kesehatan masyarakat, defisiensi vitamin A,
khususnya defisiensi yang berat, akan menyerang anak-anak dalam usia prasekolah. Keadaan ini
terjadi karena kebutuhan vitamin A bagi pertumbuhan pada anak-anak ini cukup tinggi.
Sementara asupan vitamin dari makanan seringkali rendah dengan tambahan beban pajanan
infeksi yang lebih besar. Insidens xeroftalmia kornea paling prevalen pada anak-anak yang
berusia 2-4 tahun. Pada anak-anak dibawah usia 12 bulan, penyakit kornea merupakan kejadian
yang relatif jarang dijumpai (terutama karena efek protektif pemberian ASI), tetapi keratomalasia
lebih sering terjadi diantara bayi-bayi yang hidup dalam kondisi sosial ekonomi yang rendah.
Prevalensi xeroftalmia ringan, terutama buta senja (SN) dan bercak bitot (XB) meningkat seiring
usia hingga usia prasekolah dan keterkaitan ini ternyata berbeda-beda diantara berbagai budaya
terlepas dari angka xeroftalmia yang spesifik menurut usia. Defisiensi vitamin A subklinis juga
sering ditemukan diantara anak-anak usia sekolah, remaja, dan dewasa muda pada komunitas
yang sama dan prevalensinya pada anak-anak kecil cukup tinggi.

Gender

Pada orang dewasa yang sehat, kadar retinol plasma maupun RBP (retinol-binding protein)
ternyata berada pada level 20% lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada wanita, kendati
signifikan fisiologi perbedaan ini masih belum jelas. Walaupun begitu, laki-laki umumnya
memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami buta senja dan bercak Bitot dibandingkan
perempuan selama usia prasekolah dan awal usia sekolah. Perbedaan gender ini tidak begitu jelas
dalam hal xeroftalmia yang berat. Perbedaan pada budaya pemberian makan dan perawatan
antara anak laki-laki dan perempuan dalam sebagian populasi dapat menkelaskan variasi
menurut gender ketika hal ini diamati.

Status Fisiologi

Dengan meningkatnya kebutuhan vitamin A selama periode pertumbuhan yang cepat, anak-anak
kecil merupakan kelompok yang paling rentan. Kebutuhan akan vitamin A juga meningkat
selama masa kehamilan dan menyusui; dengan demikian, ibu hamil dan menyusui dalam
populasi yang kehilangan haknya tidak mampu memenuhi kebutuhan yang meningkat selama
periode tertentu. Buta senja selama kehamilan dan laktasi terutama sering ditemukan di Asia
Selatan dengna kejadian buta senja sebesar 15%-20% dari semua kehamilan dan kemudian
berulang kembali pada kehamilan berikutnya; keadaan ini pada beberapa budaya dianggap
sebagai bagian dari kehamilan.

Diet

Penyebab dasar yang melandasi defisiensi vitamin A sebagai permasalahan kesehatan


masyarakat adlaha diet atau pola makan yang kurang mengandung vitamin, baik senyawa
karotenoid performed aatau provitamin A untuk memenuhi kebutuhan. Pada umumnya, ditempat
yang kondisi hidupnya buruk, diet seseorang akan bergantung pada makanan nabati yang lebih
murah tetapi secara hayati kurang mengandung vitamin A (sebagai karotenoid). Populasi yang
mengonsumsi beras sebagai makanan pokok dan serat pangan dalam kehidupan sehari-hari
ternyata sangat berisiko untuk mengalami defisiensi vitamin A. Dengan demikian, xeroftalmia
lebih sering ditemukan di Asia Selatan dan Asia Timur. Defisiensi vitamin A subklinis umumnya
terjadi ditempat yang kualitas makanannya relatif rendah akibat kendala pada kemampuan
mengakses makanan dan ketersediaan makanan, khususnya makanan hewani.Pemberian ASI,
kualitas makanan tambahan, dan kualitas diet anak semuanya merupakan faktor penting untuk
mempertahankan status vitamin A. Ada bukti jelas yang menunjukkan bahwa anak-anak yang
mendapatkan ASI menghadapi kemungkinan yang lebih kecil untuk mengalami defisiensi
vitamin A jika dibandingkan dengan anak-anak pada usia sama yang tidak memperoleh ASI.
Lebih lanjut, peningkatan frekuensi pemberian ASI juga memberikan efek protektif terhadap
xeroftalmia.Banyak penelitian epidemiologi mendukung pemberian makanan tambahan yang
tepat dan tindakan ini ternyata dapat melindungi anak-anak selama usia prasekolah terhadap
xeroftalmia. Konsumsi buah yang berwarna kuning (mangga dan pepaya) akan memberikan
perlindungan yang kuat pada anak berusia dua dan tiga tahun. Ketika pengaruh pemberian ASI
berkurang, sayuran yang berwarna hijau gelap memainkan peranan yang lebih penting bagi anak-
anak pada usia tiga tahun keatas. Sesudah masa bayi, konsumsi rutin makanan hewani yang
mengandung vitamin A preformed ( telur, produk susu, ikan dan hati) bersifat sangat protektif
terhadap kesehatan anak. Sebaliknya, dalam usia satu tahun pertama ketika anak disapih, anak-
anak yang menderita xeroftalmia ternyata lebih sedikit mendapat makanan yang kaya akan
vitamin A secara teratur dibandingkan dengan anak  anak yang tidak menderita xeroftalmia.
Konsumsi sayuran berwarna hijau gelap ataubuah dan sayuran yang berwarna kuning disertai
dengan penurunan risiko xeroftalmia sebesar 4-6 kali lipat, sementara efek konsumsi telur,
daging, ikan, dan susu yang hanya dilakukan sekali-kali disertai dengan peningkatan risiko
sebesar  2-3 kali lipat . Pola makan pada saudara kandung yang usianya lebih muda pada dua
tahun pertama kehidupannya ternyata serupa dengan pola makan kasus xeroftalmia dalam
keluarga yang sama; Kenyataan ini mencerminkan buruknya diet secara kronis pada rumah
tangga yang berisiko tinggi. Defisiensi vitamin A paling sering ditemukan pada polpulasi
penduduk; yang mengonsumsi sebagian kebutuhan vitamin A mereka dari sumber karotenoid
provitamin dengan sedikit lemak yang terkandung dalam makanan mereka.
Kebiasaan makan yang spesifik menurut budaya dan sejumlah tabuh atau larangan dalam
pemberian makanan anak, remaja dan ibu hamil serta menyusui sering kali membatasi konsumsi
makanan yang berpotensi sebagai  sumber vitamin A yang baik. Namun demikian, kurangnya
komsumsi yang kaya akan vitamin A bukan berarti ketersediaan makanan tersebut dalam sebuah
rumah tangga juga mengalami kekurangan. Bagaimana anak-anak mengkomsumsi makanan dan
dengan siapa anak-anak itu makan, dapat memperngaruhi resikonya untuk terkena defisiensi
vitamin A. Sejumlah penelitian egnoghrafi secara rinci dilaksanakan oleh kelompok Johns
Hopkins University dan lainnya memperlihatkan bahwa anak-anak desa di Nepal memiliki
peluang dua kali lebih besar untuk mengkomsumsi sayuran, buah, kacang-kacangan, daging atau
ikan serta produk susu ketika mereka makan bersama keluarga dibandingkan ketika mereka
makan sendiri. Ironisnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola kaum ibu memastikan
kecukupan makanan bagi anak-anak mereka pada sebagian budaya dapat menjadi factor
predisposisi untuk terjadinya difisiensi vitamin A pada ibu sendiri. Sebagai contoh, para ibu
hamil di Nepal yang menderita buta senja ternyata mengalami penurunan peluang sepenuhnya
untuk mengkomsumsi makanan yang kaya akan vitamin A, khususnya selama musim kemarau
yang kering akan langka panga. Di Indonesia, ketika terjadi krisis ekonomi, para ibu telah
mengorbankan asupan telur mereka demi memenuhi kebutuhan giza anaka-anaknya.

Pola Penyakit

Keterkaitan antara penyakit infeksi dan status vitamin A merupakan persoalan kompleks yang
telah ditinjau secara luas. Difisiensi vitamin A akan meningkatkan risiko morbiditas penyakit
infeksi dan sebaliknya, penyakit infeksi merupakan predisposisi terjadinya difisiensi vitamin A.
Beberapa jenis infekssi seperti diare, infeksi pernafasan, dan campak akan disertai bentuk
tertentu difisiensi vitamin A yang dapat berupa penurunan kadar retinol serum atau peningkatan
resiko xeroktalmia. Selanjutnya, frekuensi, durasi, dan intensitas penyakit infeksi secara
langsung atau tidak langsung turut meningkatkan keretangan terhadap keadaan difisiensi vtamin
A.Keberaradaan KEP akan lebih meningkatkan resiko xeroktalmia yang urutan intensitasnya
hamper sama seperti penyakit diare dan pernafasan. Protein pengikat retinol (RBP; RETINOL
BINDING PROTEIN) dapat menurun ketika KEP sehingga mengurangi ketersediaan vitamin A
dalam darah. Selama episode penyakit infeksi, penurunan kadar vitamin A dalam serum
menggambarkan secara parsial respon yang tidak spesifik terhadap keadaan demam ketika
sintesis RBP yang juga merupakan protein fase akut yang negative itu berkurang. Kadar retinol
dalam serum kembali normal setelah terjadi kesembuhan.

Cacing usus seperti  Giardia serta Ascaris juga dilaporkan sebagai penyebab penurunan absorpsi
vitamin  A, dengan demikian dapat turut menimbulkan defisiensi vitamin A. Salah satu laporan
tidak berhasil memperlihatkan kehilangan vitamin A sesudah pemberian oral vitamin A kepada
anak-anak yang menderita askariasis. Walaupun begitu, infeksi parasit harus diatasi ketika kita
menghadapi populasi dengan persoalan defisiensi, dapat disertai dengan xeroftalmia.

Kondisi sosioekonomi

Dalam pengertian kesehatan masyarakat. Kemiskinan terutama terjadi penyebab  defisiensi


vitamin, sekalipun tidak selalu demikian,. Pada umumnya,  defisiensi vitamin A ditemukan
terutama di negara-negara yang perekonomiannya  relatif miskin. Sejumlah penelitaian
memperlihatkan bahwa keluarga di negara-negara yang perekonomiannya relatif memiliki lahan
yang lebih sempit, kondisi perumahan yang lebih buruk,  hewan peliharaan yang lebih sedikit,
dan kemampuan ekonomi yang lebih rendah (diukur berdasarkan lebih sedikitnya barang yang
dimiliki seperti radio, arloji, atau sepeda). Meskipun indikator status sosioekonomi  yang rendah
ditemukan (di Bangladesh) berkaitan dengan risiko xeroftalmia yang 1,5-2,3 kali lebih tnggi,
namun karakteristik ini tidak selalu dengan sendirinya meramalkan kejadian xeroftalmia. Tingkat
pendidikan yang rendah pada ayah  atau ibu dalam keadaan ini dapat dibedakan, merupakan
faktor risiko yang lain.

Pengelompokan

Kejadian defisiensi vitamin A cenderung  mengelompok (clustering) ketinbang tersebar secara


rata. data dari berbagai negara menunjukkan bahwa tanda-tanda klinis defisiensi mengelompok i
dalam provinsi atau Kabupaten, Kecamatan, Desa dan bahkan rumah tangga. Memperlihatkan
pengelompokan defisiensi  vitami A berdasrkan distrik di Bangladesh. Pengelompokkan di
dalam negara pada dasarnya berhubungan denga faktor ekologi serta budaya yang semakin
diperparah oleh infrastruktur yang tidak dibangun dengan baik, dan pengelompokkan di dalam
rumah tangga serta masyarakat terjadikarena praktik-praktik serta lingkungan yang tidak
kondusif bagi pola makan dankesehatan yang memadai. Bukti menunjukkan bahwa
besaran  pengelompokkan didalam rumah tangga jauh melebihi didalam desa, dan bahwa faktor
rumah tangga inilah yang menjelaskan banyak tentang pengelompokkan ini ketimbang penyakit
infeksi. Identifikasi kelompom-kelompok  defisiensi  vitamin A dapat memfasilitasi
implementasi program intervensi dan jika seorang anak ditemukan dengan xeroftalmia, saudara
kandungnya harus ditangani sebagai kasus suspect defisiensi vitamin A pula.

2.5  Penyebab Terjadinya Kekurangan Vitamin A

Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A
pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis
yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik bagi mata. Vitamin A diperlukan retina
mata untuk pembentukan rodopsin dan pemeliharaan diferensiasi jaringan epitel. Gangguan gizi
kurang vitamin A dijumpai pada anak-anak yang terkait dengan : kemiskinan, pendidikan
rendah, kurangnya asupan makanan sumber vitamin A dan pro vitamin A (karoten), bayi tidak
diberi kolostrum dan disapih lebih awal, pemberian makanan artifisial yang kurang vitamin
A. Pada anak yang mengalami kekurangan energi dan protein, kekurangan vitamin A terjadi
selain karena kurangnya asupan vitamin A itu sendiri juga karena penyimpanan dan transpor
vitamin A pada tubuh yang terganggu.

Kelompok umur yang terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi
usia 6-11 bulan dan kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun). Sedangkan yang lebih
berisiko menderita kekurangan vitamin A adalah bayi berat lahir rendah kurang dari 2,5 kg, anak
yang tidak mendapat ASI eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun, anak yang tidak
mendapat makanan pendamping ASI yang cukup, baik mutu maupun jumlahnya, anak kurang
gizi atau di bawah garis merah pada KMS, anak yang menderita penyakit infeksi (campak, diare,
TBC, pneumonia) dan kecacingan, anak dari keluarga miskin, anak yang tinggal di dareah
dengan sumber vitamin A yang kurang, anak yang tidak pernah mendapat kapsul vitamin A dan
imunisasi di posyandu maupun puskesmas, serta anak yang kurang/jarang makan makanan
sumber vitamin A.

Terjadinya kekurangan vitamin A berkaitan dengan berbagai faktor dalam hubungan yang
kompleks seperti halnya dengan masalah kekurangan kalori protein (KKP). Makanan yang
rendah dalam vitamin A biasanya juga rendah dalam protein, lemak dan hubungannya antara hal-
hal ini merupakan faktor penting dalam terjadinya kekurangan vitamin A.
Kekurangan vitamin A bisa disebabkan seorang anak kesulitan mengonsumsi vitamin A dalam
jumlah yang banyak, kurangnya pengetahuan orang tua tentang peran vitamin A dan kemiskinan.
Sedangkan untuk mendapatkan pangan yang difortifikasi bukan hal yang mudah bagi penduduk
yang miskin. Karena, harga pangan yang difortifikasi lebih mahal daripada pangan yang tidak
difortifikasi.

Pembedahan pada usus atau pankreas juga akan memberikan efek kekurangan vitamin A. Bayi-
bayi yang tidak mendapat ASI mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kekurangan
vitamin A , karena ASI merupakan sumber vitamin A yang baik. Kekurangan vitamin A
sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, gangguan
absorpsi karena kekurangan asam empedu (Suhardjo, 2002).

Penyebab lain KVA pada balita dikarenakan kurang makan sayuran dan buah-buahan berwarna
serta kurang makanan lain sumber vitamin A seperti : daun singkong, bayam, tomat, kangkung,
daun ubi jalar, wortel, daun pepaya, kecipir, daun sawi hijau, buncis, daun katu, pepaya, mangga,
jeruk, jambu biji, telur ikan dan hati. Akibatnya menurun daya tahan tubuh terhadap serangan
penyakit (Depkes RI, 2005)

2.6 Tanda-tanda dan Gejala Klinis Kekurangan Vitamin A

KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel dari organ-organ seluruh
tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ lain. Akan tetapi gambaran gangguan secara
fisik dapat langsung terlihat oleh mata. Kelainan kulit pada umumnya terlihat pada tungkai baeah
bagian depan dan lengan atas bagian belakang, kulit nampak kering dan bersisik. Kelainan ini
selain diebabkan oleh KVA dapat juga disebabkan kekurangan asam lemak essensial, kurang
vitamin golongan B atau KEP.

Gejala klinis KVA pada mata akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung
lama. gejala tersebut akan lebih cepat muncul jika menderita penyaki campak, diare, ISPA dan
penyakit infeksi lainnya.Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai berikut

1.Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel batang retina. Pada keadaan
ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang yang remang-remang setelah lama berada di
cahaya yang terang. Penglihatan menurun pada senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat
lingkungan yang kurang cahaya.

2.Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang mengkilat atau terlihat sedikit
kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan permukaan kasar dan kusam.

3.Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah tanda-tanda XI A ditambah


dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti busa sabun atau keju terutama celah mata sisi
luar. Bercak ini merupakan penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada
penderita xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan prevalensi kurang vitamin A pada
masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda pada XI B adalah, tampak kekeringan meliputi
seluruh permukaan konjunctiva, konjunctiva tampak menebal, berlipat dan berkerut.

4.Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut sampai kornea, kornea tampak
suram dan kering dengan permukaan tampak kasar.

5.Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak seperti bubur dan dapat
terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi kornea.Keratomalasia dan tukak kornea dapat
berakhir dengan perforasi dan prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang
dapat menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat mengakibatkan
keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-tahap awal xeroftalmia.

6.Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak menjadi putih atau bola mata
tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik
atau jaringan parut. Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun
dengan operasi cangkok kornea.

7.Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B, X2 biasanya dapat sembuh


kembali normal dengan pengobatan yang baik. Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat
darurat yang harus segera diobati karena dalam beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A
dan X3 B bila diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea cukup luas sehingga menutupi seluruh
kornea.Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah memenuhi kebutuhan vitamin A yang
cukup untuk tubuh serta mencegah penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan
secara umum (Wardani, 2012).

2.7  Akibat Kekurangan Vitamin A

Tubuh memerlukan asupan vitamin yang cukup sebagai zat pengatur dan memperlancar proses
metabolisme dalam tubuh. Sebagai vitamin yang larut dalam lemak, vitamin A membangun sel-
sel kulit dan memperbaiki sel-sel tubuh, menjaga dan melindungi mata, menjaga tubuh dari
infeksi, serta menjaga pertumbuhan tulang dan gigi. Karena fungsi tersebut, vitamin A sangat
bagus dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak. Vitamin A juga berperan dalam
epitil, misalnya pada epitil saluran pencernaan dan pernapasan serta kulit. Vitamin A berkaitan
erat dengan kesehatan mata. Vitamin A membantu dalam hal integritas atau ketahanan retina
serta menyehatkan bola mata. Vitamin A fungsinya tak secara langsung mengobati penderita
minus, tapi bisa menghambat minus. Kekurangan vitamin A menyebabkan mata tak dapat
menyesuaikan diri terhadap perubahan cahaya yang masuk dalam retina. Sebagai konsekuensi
awal terjadilah rabun senja, yaitu mata sulit melihat kala senja atau dapat juga terjadi saat
memasuki ruangan gelap. Bila kekurangan vitamin A berkelanjutan maka anak akan mengalami
xerophtalmia yang mengakibatkan kebutaan. Selain itu kekurangan vitamin A menyebabkan
tubuh rentan terhadap infeksi bakteri dan virus. Tanpa vitamin A, sistem pertahanan tubuh akan
hilang.Ini memicu tubuh rentan terserang penyakit.

Vitamin A bisa terserap dalam tubuh yang kondisinya baik. Anak usia balita sangat rentan
kekurangan vitamin A karena kondisi tubuhnya rentan terhadap penyakit, seperti diare atau
infeksi pencernaan. Untuk itu peran ibu sangat penting dalam menjaga ketahanan tubuh bayi
yakni dengan memberikan ASI eksklusif, agar mempunyai ketahanan tubuh yang
cukup.Kebutuhan vitamin A yang cukup dalam tubuh, dapat diketahui dengan cara menganalisis
makanan yang dikonsumsi sehari-hari dan melihat kondisi tubuh. Jika tubuh anak sering terkena
penyakit, seperti diare, busung lapar atau gangguan saluran pernapasan, maka secara otomatis,
asupan vitamin A-nya kurang (Zulkarnaen, 2012).Selain itu, dampak kekurangan Vitamin A bagi
balita antara lain:

1.Hemarolopia atau kotok ayam (rabun senja).


2.Frinoderma, pembentukan epitelium kulit tangan dan kaki terganggu, sehingga kulit tangan dan
kaki bersisik.

3.Pendarahan pada selaput usus, ginjal dan paru-paru.

4.Kerusakan pada bagian putih mata mengering dan kusam (Xerosis konjungtiva), bercak seperti
busa pada bagian putih mata (bercak bitot), bagian kornea kering dan kusam (Xerosis kornea),
sebagian hitam mata melunak ( Keratomalasia ), Seluruh kornea mata melunak seperti bubur
(Ulserasi Kornea) dan Bola mata mengecil / mengempis (Xeroftahalmia Scars).

5.Terhentinya proses pertumbuhan.

6.Terganggunya pertumbuhan pada bayi.

7. Mengakibatkan campak yang berat yang berkaitan dengan adanya komplikasi pada anak-anak
serta menghambat penyembuhan. (Melenotte et al,2012)Namun demikian perlu juga
diperhatikan bahwa pemberian dosis Vitamin A yang terlalu tinggi  dalam waktu yang lama
dapat menimbulkan akibat yang kurang baik antara lain:

1. Hipervitaminosis A pada anak-anak dapat menimbulkan anak tersebut cengeng, pada sekitar
tulang yang panjang membengkak, kulit kering dan gatal-gatal.

2. Hipervitaminosis pada orang dewasa menimbulkan sakit kepala, mual-mual dan diare.
(Sugiarno, 2010).

2.8   Pencegahan dan Penanggulangan  Kekurangan Vitamin A

Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh
yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh
(meni ngkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare, dan penyakit
infeksi lain) (Depkes RI, 2009)

Pada ibu hamil dan menyusui, vitamin A berperan penting untuk memelihara kesehatan ibu
selama masa kehamilan dan menyusui. Buta senja pada ibu menyusui, suatu kondisi yang kerap
terjadi karena kurang vitamin A (KVA). Berhubungan erat pada kejadian anemia pada ibu,
kekurangan berat badan, kurang gizi, meningkatnya resiko infeksi dan penyakit reproduksi, serta
menurunkan kelangsungan hidup ibu hingga dua tahun setelah melahirkan (Dinkes Jateng, 2007)

Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan tinggal di Negara
maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas dalam tubuhnya (hanya cukup
memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu). Di Negara berkembang, pada bulan-bulan
pertama kehidupannya, bayi sangat bergantung pada vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh
sebab itu, sangatlah penting bahwa ASI mengandung cukup vitamin A. Anak-anak yang sama
sekali tidak mendapatkan ASI akan beresiko lebih tinggi terkena Xeropthalmia dibandingkan
dengan anak-anak yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka waktu tertentu. Berbagai
studi yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas memperlihatkan hasil yang berbeda-beda.

Anak-anak usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah melahirkan,
menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada anak-anak tersebut dan
waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena ISPA. Ibu hamil dan menyusui seperti
halnya juga anak-anak, berisiko mengalami KVA karena pada masa tersebut ibu membutuhkan
vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan produksi ASI.

Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses Komunikasi
Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman. Namun disadari bahwa
penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi kapsul
vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu
pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.

a.Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000 SI (warna biru).
Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.

b.Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis 200.000 SI (warna
merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.

c. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul vitamin A dosis
200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi memperoleh vitamin A yang cukup melalui
ASI (Depkes RI, 2009).
d.Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama kehamilan sebagai bagian
dari antenatal care rutin untuk mencegah maternal and infant morbidity dan mortality. Namun,
pada daerah dimana terdapat masalah kesehatan publik yang berat yang berkaitan dengan
kekurangan vitamin A, maka suplementasi  vitamin A direkomendasikan untuk mencegah rabun
senja. Secara khusus, wanita hamil dapat mengkonsumsi hingga 10,000 IU vitamin A setiap
harinya atau vitamin A hingga 25,000 IU setiap minggu. Suplementasi dapat dilanjutkan hingga
12 minggu selama kehamilan hingga melahirkan. Hal ini perlu ditekankan bahwa WHO
mengidentifikasi populasi berisiko sebagai mereka yang prevalensi menderita rabun senja ≥5%
pada wanita hamil atau  ≥5% pada anak – anak yang berusia 24–59 bulan.( McGuire, 2012)

e. Ibu nifas: suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah direkomendasikan untuk mencegah
morbiditas dan mortalitas  pada ibu dan bayi. ( McGuire S. 2012)

Kekurangan makan makanan bergizi yang berlarut-larut, selain membuat orang menjadi kurus
juga kekurangan vitamin-vitamin, termasuk kekurangan vitamin A. penyakit usus yang menahun
akan mengakibatkan penyerapan vitamin A dari usus terganggu. Untuk melakukan pengobatan
harus berobat pada dokter dan biasanya dokter akan memberikan suntikan vitamin A setiap hari
sampai gejalanya hilang. Untuk mencegah kekurangan vitamin A makanlah pepaya, wortel dan
sayur-sayuran yang berwarna ( Hassan, 2008).

Program nasional pemberian suplemen vitamin A adalah upaya penting untuk mencegah
kekurangan vitamin A di antara anak-anak Indonesia. Tujuan Program ini adalah untuk
mendistribusikan kapsul vitamin A pada semua anak di seluruh wilayah Indonesia dua kali
dalam satu tahun. Setiap Februari dan Agustus, kapsul vitamin A didistribusikan secara gratis
kepada semua anak yang mengunjungi Posyandu dan Puskesmas. Vitamin A yang terdapat
dalam kapsul tersebut cukup untuk membantu melindungi anak-anak dari timbulnya beberapa
penyakit yang pada gilirannya akan membantu menyelamatkan penglihatan dan kehidupan
mereka ( Maryam, 2010 ).

Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam satu sampai dua minggu.
Dianjurkan bila diagnosa defisiensi vitamin A ditegakkan maka berikan vitamin A 200.000 IU
peroral dan pada hari kesatu dan kedua. Belum ada perbaikan maka diberikan obat yang sama
pada hari ketiga. Biasanya diobati gangguan proteinkalori mal nutrisi dengan menambah vitamin
A, sehingga perlu diberikan perbaikan gizi.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1.Vitamin A adalah salah satu zat gizi dan golongan vitamin yang sangat diperlukan oleh tubuh
yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh
(meningkatkan daya tahan tubuh untuk melawan penyakit, khususnya diare dan penyakit
infeksi).

2.KekuranganVitaminA(KVA)adalah penyakityang disebabkan oleh kurangnya asupan
vitaminAyangmemadai.Halini dapatmenyebabkan  rabun senja, xeroftalmia dan jika kekurangan 
berlangsung parah dan berkepanjangan akan mengakibatkan keratomalasia.

3.Selain berfungsi pada sistem penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan dan perkembangan,
reproduksi, dan pencegahan kanker, vitamin A juga berfungsi dalam sistem kekebalan (anti
infeksi).

4.Faktor risiko kekurangan vitamin A adalah usia, gender, status fisiologis, diet, pola penyakit,
kondisi sosialekonomi, dan pengelompokan.

5.Arisman (2002) menyatakan bahwa KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A
pada hati dan organ-organ tubuh lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawayang.

6.KVA bisa timbul karena menurunnya cadangan vitamin A pada hati dan organ-organ tubuh
lain serta menurunnya kadar serum vitamin A dibawah garis yang diperlukan untuk mensuplai
kebutuhan metabolik bagi mata. Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi WHO sebagai
berikut :

a.Buta senja = XN.

b.Xerosis konjunctiva = XI A.

c.Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B.

d.Xerosis kornea = X2.

e. Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B.

f. Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea.

g.Xeroftalmia Fundus (XF).

7.Kekurangan vitamin A menyebabkan mata tak dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan
cahaya yang masuk dalam retina. Sebagai konsekuensi awal terjadilah rabun senja, yaitu mata
sulit melihat kala senja atau dapat juga terjadi saat memasuki ruangan gelap. Bila kekurangan
vitamin A berkelanjutan maka anak akan mengalami xerophtalmia yang mengakibatkan
kebutaan.

8.Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses Komunikasi
Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman. Namun disadari bahwa
penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi kapsul
vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu
pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.

9.Hati, telur, dan keju merupakan sumber-sumber vitamin A yang baik. Vitamin A juga terdapat
dalam beta-karoten serta karotenoid lainnya. Tubuh manusia dapat mensintesa vitamin A dari
karoten atau pro vitamin A yang terdapat di sayuran dan buah-buahan yang berwarna, seperti
wortel, tomat, apel, semangka, dan sebagainya.

10.Halati (2006) menyatakan bahwa angka kecukupan gizi (AKG) anak balita sekitar 350
Retinol Ekuivalen (RE). Angka ini dihitung dari kandungan vitamin A dalam makanan nabati
atau hewani yang dikonsumsi.
3.2 Saran

Timbulnyaberbagaipenyakitakibatkekurangan vitamin A
karenakurangnyaperhatianterhadapkesehatanmasing-masingindividudankeluarga. Maka
untukmencegahataupunmenanggulangiterjadinyapeningakatan kekurangan vitamin A,
penulis menyarankanuntuklebihbanyakmengomsumsibuah-buahan, biji-bijian, sayur-
sayurandanjugahewani yang banyakmengandung vitamin
A. Dengandemikian, akanmengurangiresikoterjadinyapenyakitakibat kekurangan Vitamin A.
DAFTAR PUSTAKA

Arisman. 2002. Gizi dalam daur kehiduan.Bagian Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas
Palembang. Proyek peningkatan Penelitian Pendidikan Tinggi. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi.

Desi dan Dwi 2009. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta. Nuha Medika. Departemen
Kesehatan RI, Konsumsi Kapsul Vitamin A pada Ibu Nifas.

Depkes RI, 2009. Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta.

Haryadi, Hendri. 2011 . Makalah Kekurangan Vitamin A “Ilmu Gizi”. Diakses dari http://handri-
haryadi.blogspot.com

Iskandar, Zulkarnaen. 2012. Kekurangan Vitamin A. Diakses


dari http://kuliahiskandar.blogspot.com.

Maryam,Siti dkk (2010). Asuhan Keperawatan pada Lansia. Trans Info Medika, Jakarta.

Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah, Semarang. Dinas Kesehatan Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah 2007.

Sugiamo. 2010. “Defesiensi Vitamin A”

Anda mungkin juga menyukai