Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH EPIDEMIOLOGI

“GANGGUAN KEKURANGAN VITAMIN A”

Dosen Pengampu :
Irma, SKM.,M.Kes

Disusun Oleh :
KELOMPOK II
1. Rafika (210305501025)
2. Merindas pidun (210305501019)
3. Nur Azhimatunnisa (210305501055)
4. Dave Bima Samma (210305501037)

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
MAKASSAR
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat petunjuk dan
hidayah-Nya sehingga makalah Epidemiologi Gangguan Akibat Kekurangan Vitamin
A dapat kami selesaikan dengan baik dan tepat waktu

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Epidemiologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan dan
pengetahuan tentang Gangguan Akibat Kekurangan Vitamin A bagi para pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Irma, SKM.,M.Kes selaku dosen
pengampu mata kuliah Epidemiologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah wawasan dan pengetahuan kami mengenai Gangguan Akibat Kekurangan
Vitamin A .

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Mengingat keterbatasan pengetahuan, pengalaman dan kemampuan dalam


penulisan makalah ini sehingga tak luput dari kekurangan. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai bahan evaluasi agar
kedepannya dapat lebih baik lagi.

Makassar, 30 September 2022

Penulis,

Kelompok II

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................4
A. Besar dan Luas Masalah (Prevalensi)..............................................4
B. Gejala/Tanda-tanda Kekurangan Vitamin A..................................5
C. Program Pencegahan dan Penanggulangan.....................................6
D. Anjuran Gizi Pada Penderita Rabun Senja.......................................8
E. Intervensi Gangguan Akibat Kekurangan Vitamin A Berbasis
Makanan...............................................................................................10
F. Vitamin A dan Daya Tahan Tubuh................................................11
BAB III LITERATUR REVIEW...................................................................14
A. Jurnal Nasional.................................................................................15
B. Jurnal Internasional..........................................................................19
BAB IV PENUTUP..........................................................................................22
A. Kesimpulan.......................................................................................22
B. Saran.................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah


gizi utama. Meskipun KVA tingkat berat (xeropthalmia) sudah jarang
ditemui, tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum
menampakkan gejala nyata, masih menimpa masyarakat luas terutama
kelompok balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan
memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium.

Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang pertama ditemukan.


Secara luas, vitamin A merupakan nama generik yang menyatakan semua
retinoid dan precursor/ provitamin A/ karetonoid yang mempunyai aktivitas
biologi sebagai retinol

Vitamin A adalah zat gizi yang paling esensial, hal itu dikarenakan
konsumsi makanan kita belum mencukupi dan masih rendah sehingga harus
dipenuhi dari luar. Kekurangan vitamin A (KVA) akan meningkatkan
kesakitan dan kematian, mudah terserang penyakit infeksi seperti diare,
radang paru-paru, pneumonia, dan akhirnya kematian. Akibat lain yang paling
serius dari kekurangan vitamin A (KVA) adalah rabun senja yaitu betuk lain
dari xeropthalmia termasuk kerusakan kornea mata dan kebutaan. Vitamin A
bermanfaat untuk menurunkan angka kesakitan angka kematian, karena
vitamin A dapat meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi
seperti campak, diare, dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut)
(Almatsier,2009). Kelompok umur yang terutama mudah mengalami
kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi usia 6 – 11 bulan dan kelompok
anak balita usia 12 – 59 bulan (1 – 5 tahun).

1
Pada balita vitamin A sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang
dan gigi yang kuat, untuk penglihatan yang normal, membantu memelihara
kulit yang sehat dan mencegah lapisan mulut, hidung, paru-paru dan saluran
kencing dari kuman penyakit. Vitamin A yang diberikan pada balita juga
berfungsi untuk mengatur sistem kekebalan (immunesystem), dimana sistem
kekebalan badan ini membantu mencegah atau melawan penyakit dengan
membuat sel darah putih yang menghapuskan bakteri dan virus. Akibat lain
yang lebih serius dari kekurangan vitamin A adalah buta senja dan
xeropthalmia karena terjadi kekeringan pada selaput lendir dan selaput bening
kornea mata. Upaya perbaikan status vitamin A harus dimulai pada balita
terutama pada anak yang menderita kekurangan vitamin A.

Kesadaran seseorang akan pentingnya vitamin A pada balita terlihat


dari pengetahuan yang ia miliki, salah satu penyebab timbulnya masalah
kekurangan vitamin A adalah prilaku atau sikap ibu yang tidak memberikan
vitamin A kepada anaknya. Hal tersebut dilandasi oleh kurangnya
pengetahuan akan pentingnya pemberian vitamin A. Ketika seorang berada di
tingkatan pengetahuan yang lebih tinggi maka perhatian akan pentingnya
pemberian vitamin A juga lebih tinggi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat disimpulkan rumusan masalah:

1. Besar dan Luas Masalah (Prevalensi)


2. Gejala/Tanda-tanda Kekurangan Vitamin A
3. Program Pencegahan dan
Penanggulangan 4.Anjuran Gizi pada
penderita Rabun Senja
5. Intervensi Gangguan Akibat Kekurangan Vitamin A berbasis Makanan
6.Vitamin A dan Daya Tahan Tubuh

2
C. Tujuan

a. Tujuan Umum
Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai kesehatan
reproduksi remaja.
b. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Besar dan Luas Masalah (Prevalensi)
2. Untuk mengidentifikasi Gejala/Tanda-tanda Kekurangan Vitamin A
3. Untuk mengidentifikasi Program Pencegahan dan Penanggulangan
4. Untuk mengidentifikasi anjuran Gizi pada penderita Rabun Senja
5. Untuk mengidentifikasi Intervensi Gangguan Akibat Kekurangan
Vitamin A berbasis Makanan
6. Untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan mengenai Vitamin
A dan Daya Tahan Tubu

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Besar dan Luas Masalah (Prevalensi)

Prevalensi kurang vitamin A pada balita secara signitifikan terus menurun,


prevalensi xerophthalmia pada tahun ( penyakit mata kekurangan vitamin A
yang ditandai dengan mata kering) 1992 sebesar 0,35%, di bawah batas
masalah Kesehatan masyarakat, dan turun secara sifnitifikan dibandingkan
dengan tahun 1978(1,3%). Dari berbagai studi prevalensi kurang vitamin A
subklinis ( serum retinol ,20ug/dl) juga menunjukkan penurunan yang sangat
signitifikan, yaitu dari 14,6% pada tahun 2007 (survei gizi mikro) menjadi
0,8% pada tahun 2011.

Strategi penanggulangan kurang vitamin A dilaksanakan secara komprehensif,


terdiri dari pemberian sublemen kapsul vitamin A dosis tinggi setiap bulan
februari dan agustus, penyuluhan gizi seimbang untuk meningkatkan konsumsi
bahan pangan sumber vitamin A .
Pencapaiyan rata-rata cakupan vitamin A pada balita 6-59 bulan sampai
dengan bulan februari 2012 sebesar 82,8%. Meskipun sudah mencapai target
nasional tahun 2012 yaitu sebesar 80%, namun masih terdapat 13 provinsi yang
belum mencapai target.

4
Tabel, prevalensi anak yang mendapatkan vitamin A

1.Jurnal Pendukung

Judul : Studi Prevalensi Defisensi Vitamin A Dan Zat Gizi Lainnya Di Indonesia Bagian Timur
Tahun : 1991
Volume dan halaman : vol.1. No.04
Penulis : DR. Ig. Tarwotjo dan DR. Muhilal

Hasil dan pembahasan :

Masalah Kurang Vitamin A

Prevalensi xeroftalmia meliputi X1B,X2/X3 serta XS disajikan pada table berikut ini.
Provinsi n X1B X2/x3
Maluku 6.79 0,1 0,0
Irian jaya 4.339 0,25 0,0
NTT 5.360 0,0 0,0
Timor Timur 5.163 0,27 0,14
Jumlah 21.660 0,14% 0,03

Distribusi serum vitamin A (ug/dl) dapat dilihat pada table berikut di bawah ini :
provinsi n <10 10-15 15-20 >20 X5± SD
Maluku 508 12,4 33,3 23,6 30,7 18,41± 11,25
Irian jaya 484 13,6 31,0 23,0 31,4 17,28± 7,49
NTT 536 9,1 24,6 24,8 42,0 20,16± 10,52
Timor Timur 347 14,7 17,9 21,1 46,0 20,75± 10,95
Jumlah 1.869 12,3 27,4 23,4 36,9 19,75± 10,95

Dari kedua tabel di atas terungkap bahwa xeroftalmia bukan merupakan masalah Kesehatan
masyrakat di provinsi maluku, irian jaya, dan nusa tenggara timur. Namun di timor timur masih
menjadi masalah. Temuan ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati, sebab meskipun kasus xeroftalmia
Langkah, tetapi berdasarkan data serum vitamin A ternyata di 4 provinsi ini defisiensi vitamin A
masih merupakan masalah Kesehatan masyarakat. Untuk menghindari munculnya kembali kasus
xeroftalmia, program penanggulangan defisiensi vitamin A masih perlu terus dilakukan.

5
Penanggulangn makanan sumber vitamin A masih perlu digalakkan melalui Pendidikan gizi atau
pemasaran social. Pemberian prevarat vitamin A diutamakan untuk daerah yang ada kasus
xeroftalmia.

6
B. Gejala/Tanda-tanda Kekurangan Vitamin A

KVA adalah kelainan sistemik yang mempengaruhi jaringan epitel


dari organ organ seluruh tubuh, termasuk paru-paru, usus, mata dan organ
lain. Akan tetapi gambaran gangguan secara fisik dapat langsung terlihat oleh
mata.Kelainan kulit pada umumnya terlihat pada tungkai baeah bagian depan
dan lengan atas bagian belakang, kulit nampak kering dan bersisik. Kelainan
ini selain diebabkan oleh KVA dapat juga disebabkan kekurangan asam lemak
essensial, kurang vitamin golongan B atau KEP. Gejala klinis KVA pada mata
akan timbul bila tubuh mengalami KVA yang telah berlangsung lama. gejala
tersebut akan lebih cepat muncul jika menderita penyaki campak, diare, ISPA
dan penyakit infeksi lainnya.Gejala klinis KVA pada mata menurut klasifikasi
WHO sebagai berikut :

1) Buta senja = XN. Buta senja terjadi akibat gangguan pada sel
batang retina. Pada keadaan ringan, sel batang retina sulit beradaptasi di ruang
yang remang-remang setelah lama berada di cahaya yang terang. Penglihatan
menurun pada senja hari, dimana penderita tidak dapat melihat lingkungan
yang kurang cahaya.
2) Xerosis konjunctiva = XI A. Selaput lendir mata tampak kurang
mengkilat atau terlihat sedikit kering, berkeriput, dan berpigmentasi dengan
permukaan kasar dan kusam.
3) Xerosis konjunctiva dan bercak bitot = XI B. Gejala XI B adalah
tanda-tanda XI A ditambah dengan bercak bitot, yaitu bercak putih seperti
busa sabun atau keju terutama celah mata sisi luar. Bercak ini merupakan
penumpukan keratin dan sel epitel yang merupakan tanda khas pada penderita
xeroftalmia, sehingga dipakai sebagai penentuan prevalensi kurang vitamin A
pada masyarakat. Dalam keadaan berat tanda-tanda pada XI B adalah, tampak
kekeringan meliputi seluruh permukaan konjunctiva, konjunctiva tampak
menebal, berlipat dan berkerut.

7
4) Xerosis kornea = X2. Kekeringan pada konjunctiva berlanjut
sampai kornea, kornea tampak suram dan kering dengan permukaan tampak
kasar.
5) Keratomalasia dan Ulcus Kornea = X3 A ; X3 B. Kornea melunak
seperti bubur dan dapat terjadi ulkus. Pada tahap ini dapat terjadi perforasi
kornea.Keratomalasia dan tukak kornea dapat berakhir dengan perforasi dan
prolaps jaringan isi bola mata dan membentuk cacat tetap yang dapat
menyebabkan kebutaan. Keadaan umum yang cepat memburuk dapat
mengakibatkan keratomalasia dan ulkus kornea tanpa harus melalui tahap-
tahap awal xeroftalmia.
6) Xeroftalmia Scar (XS) = jaringan parut kornea. Kornea tampak
menjadi putih atau bola mata tampak mengecil. Bila luka pada kornea telah
sembuh akan meninggalkan bekas berupa sikatrik atau jaringan parut.
Penderita menjadi buta yang sudah tidak dapat disembuhkan walaupun
dengan operasi cangkok kornea.
7) Xeroftalmia Fundus (XF). Tampak seperti cendolXN, XI A, XI B,
X2 biasanya dapat sembuh kembali normal dengan pengobatan yang baik.
Pada stadium X2 merupakan keadaan gawat darurat yang harus segera diobati
karena dalam beberapa hari bisa menjadi keratomalasia. X3A dan X3 B bila
diobati dapat sembuh tetapi dengan meninggalkan cacat yang bahkan dapat
menyebabkan kebutaan total bila lesi pada kornea cukup luas sehingga
menutupi seluruh kornea.Prinsip dasar untuk mencegah xeroftalmia adalah
memenuhi kebutuhan vitamin A yang cukup untuk tubuh serta mencegah
penyakit infeksi. Selain itu perlu memperhatikan kesehatan secara umum.
C. Program Pencegahan dan Penanggulangan

Vitamin A adalah salah satu zat gizi dari golongan vitamin yang
sangat diperlukan oleh tubuh yang berguna untuk kesehatan mata (agar dapat
melihat dengan baik) dan untuk kesehatan tubuh (meni ngkatkan daya tahan

8
tubuh untuk melawan penyakit misalnya campak, diare, dan penyakit infeksi
lain).

Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A


melalui proses Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang
paling aman. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera
memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi kapsul vitamin A
masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih
bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.

1) Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan
dosis 100.000 SI (warna biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak
pada bulan Februari dan Agustus.
2) Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan
dosis 200.000 SI (warna merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara
serentak pada bulan Februari dan Agustus.
3) Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu
kapsul vitamin A dosis 200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi
memperoleh vitamin A yang cukup melalui ASI.
4) Wanita hamil : suplemen vitamin A tidak direkomendasikan selama
kehamilan sebagai bagian dari antenatal care rutin untuk mencegah maternal
and infant morbidity dan mortality. Namun, pada daerah dimana terdapat
masalah kesehatan publik yang berat yang berkaitan dengan kekurangan
vitamin A, maka suplementasi vitamin A direkomendasikan untuk mencegah
rabun senja. Secara khusus, wanita hamil dapat mengkonsumsi hingga 10,000
IU vitamin A setiap harinya atau vitamin A hingga 25,000 IU setiap minggu.
Suplementasi dapat dilanjutkan hingga 12 minggu selama kehamilan hingga
melahirkan. Hal ini perlu ditekankan bahwa WHO mengidentifikasi populasi
berisiko sebagai mereka yang prevalensi menderita rabun senja ≥5% pada

9
wanita hamil atau ≥5% pada anak – anak yang berusia 24–59 bulan.(
McGuire, 2012)
5) Ibu nifas: suplementasi vitamin A pada ibu nifas tidaklah
direkomendasikan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas pada ibu dan
bayi.
Program nasional pemberian suplemen vitamin A adalah upaya
penting untuk mencegah kekurangan vitamin A di antara anak-anak
Indonesia. Tujuan Program ini adalah untuk mendistribusikan kapsul vitamin
A pada semua anak di seluruh wilayah Indonesia dua kali dalam satu tahun.
Setiap Februari dan Agustus, kapsul vitamin A didistribusikan secara gratis
kepada semua anak yang mengunjungi Posyandu dan Puskesmas. Vitamin A
yang terdapat dalam kapsul tersebut cukup untuk membantu melindungi anak-
anak dari timbulnya beberapa penyakit yang pada gilirannya akan membantu
menyelamatkan penglihatan dan kehidupan mereka

Pemberian vitamin A akan memberikan perbaikan nyata dalam satu


sampai dua minggu. Dianjurkan bila diagnosa defisiensi vitamin A ditegakkan
maka berikan vitamin A 200.000 IU peroral dan pada hari kesatu dan kedua.
Belum ada perbaikan maka diberikan obat yang sama pada hari ketiga.
Biasanya diobati gangguan proteinkalori mal nutrisi dengan menambah
vitamin A, sehingga perlu diberikan perbaikan gizi.

D. Anjuran Gizi pada penderita Rabun Senja

Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang vital untuk menjaga


kesehatan. Vitamin A tidak hanya bertanggung jawab pada kesehatan mata,
tapi juga kekebalan tubuh. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan
rendahnya respons imun, kesuburan, ganggguan pada pertumbuhan, serta
rendahnya perkembangan mental. Selain itu kelainan pada mata
(xcrophthalmia) dan buta senja merupakan sebagian contoh kekurangan

10
vitamin A Xerophthalmia yang tidak segera diobati dapat menyebabkan
kebutaan. Salah satu upaya untuk mencegah kekurangan vitamin A adalah
dengan mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin A, seperti nabati
(karoten), hewani (retinol). Sayuran berdaun hijau (kangkung, bayam, daun
pepaya, dll), buah-buahan yang berwarna orange (wortel, pepaya). susu,
daging, hati, telur. Vitamin A juga dapat ditemukan di suplemen. seperti susu
bubuk, kapsul vitamin A.

Menurut hasil temuan para ahli di bawah koordinasi WHO (tahun


2000) dan pertemuan-pertemuan yang dikoorinasi oleh IVACG (International
Vitamin A Consultative Group), anjuran pemberian vitamin A adalah sebagai
berikut:

1. Bayi 0 hingga 6 bulan adalah sebanyak 3 x 50.000 IU.


2. Bayi 6 hingga 11 bulan adalah sebanyak 100.000 IU (kapsul biru).
3. Bayi 12 hingga 59 bulan adalah sebanyak 200.000 IU (kapsul merah)
4. Ibu masa nifas adalah sebesar 400.000 IU (2X 200.000 IU pada hari yang
berbeda).
5. Ibu setelah masa nifas (ada juga kemungkinan sebagian hamil) adalah
sebesar 10.000 IU/ hari atau 25.000 IU/ minggu (Hutahuruk 2009).
Tujuan pada diet untuk penderita rabun senja adalah memberikan
makanan yang cukup sesuai kebutuhan untuk mencapai status gizi normal dan
memberikan makanan sumber vitamin A untuk mengoreksi kurang vitamin A.
Syarat diet pada penderita rabun senja adalah

a. Energi
Energi diberikan cukup untuk mencegah pemecahan protein menjadi
sumber energi dan untuk penyembuhan. Pada kasus gizi buruk, diberikan
bertahap mengikuti fase stabilisasi, transisi dan rehabilitasi, yaitu 80-100
kalori/kg BB, 150 kalori/ kg BB dan 200 kalori/ kg BB.

11
b. Protein
Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam pembentukan
Retinol Binding Protein (RBP) dan Rodopsin. Pada gizi buruk diberikan
bertahap, yaitu 1 D 1,5 gram/ kg BB/hari; 2 D 3 gram/ kg BB/hari dan 3 D 4
gram/ kg BB/ hari

c. Lemak
Lemak diberikan cukup agar penyerapan vitamin A optimal.
Pemberian minyak kelapa yang kaya akan asam lemak rantai sedang
(MCT=Medium Chain Tryglycerides). Penggunaan minyak kelapa sawit yang
berwarna merah dianjurkan.

E. Intervensi Gangguan Akibat Kekurangan Vitamin A berbasis Makanan

Di negara-negara berkembang, kecenderungan anak-anak mengalami


defisiensi vitamin A cukup banyak. Sebagai contoh, di Kongo, Afrika,
terdapat 0,7% anak terindikasi rabun senja, 7,7% memiliki titik-titik bitot
pada mata (Samba et al. [28]). Di Indonesia pada tahun 2008 terdapat
pernyataan bahwa setiap satu menit, terdapat satu orang yang mengalami
kebutaan akibat gizi buruk, utamanya karena kurang vitamin A (Nadya [18]).
Intervensi vitamin A perlu dilakukan utamanya di daerah pedesaan yang
asupan gizinya tidak imbang disebabkan oleh kemiskinan atau
keterbelakangan. Serum β-karoten balita di Kalimantan timur setelah
intervensi vitamin A menurut Setyahartini [31] meningkat sebesar 30-80 µg/dl
setelah balita mengkonsumsi daging buah labu setara 250-400 µg ekivalen
retinol. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa dua
minggu pasca intervensi vitamin A dalam dosis tinggi, kadar retinol, retinol
terikat protein, hemoglobin, hematokrit, besi darah, dan transferrin meningkat
(Bloem et al. [7]).

12
Model-model intervensi vitamin A menurut WHO [39] terbagi ke
dalam tiga kategori: (a) suplementasi, (b) fortifikasi, dan (c) diversifikasi diet.
Suplementasi dilakukan setiap enam bulan untuk balita berusia 6 bulan hingga
5 tahun. Penyediaan vitamin A dosis tinggi terbukti aman, murah, dan efisien
dalam mencegah defisiensi vitamin A dan ketahanan balita.

Suplementasi juga dapat diberikan kepada ibu menyusui untuk


meingkatkan kemampuan bertahan hidup bayi pada usia sangat muda. Selain
itu, suplementasi vitamin A bagi ibu juga mengembalikan konsentrasi vitamin
A yang umumnya terkikis dalam periode kehamilan dan menyusui (WHO
[39]).

Fortifikasi dilakukan di beberapa negara untuk meningkatkan kontrol


ketersediaan vitamin A dalam jangka panjang. Produk-produk yang dapat
difortifikasi adalah gula, minyak goreng, susu, margarin, makanan balita, dan
beberapa jenis tepung. Dalam banyak kasus, fortifikasi baru akan memberikan
hasil lebih lama dibandingkan suplementasi. Fortifikasi bertujuan sebagai alat
untuk menjaga ketersediaan vitamin A setelah proses suplementasi dilakukan,
utamanya di negara-negara Amerika latin untuk anak-anak berusia 6 hingga
24 bulan. Kontrol fortifikasi dilakukan secara reguler melalui lembaga seperti
posyandu (WHO [39]).

Diversifikasi diet dilakukan dengan meningkatkan konsumsi sumber-


sumber makanan nabati. Diversifikasi makanan ini berpengaruh terhadap 80%
dari intake vitamin A di masyarakat negara maju. Peningkatan diversifikasi
asupan dari sumber-sumber nabati perlu dilakukan dikarenakan
bioavailabilitas dari vitamin A asal nabati sangat baik, misalnya dari buah dan
sayuran (WHO [39]).

F. Vitamin A dan Daya Tahan Tubuh.

13
Vitamin A adalah salah satu jenis vitamin larut lemak. Vitamin ini
ditemukan pada tahun 1916 dan saat ini dikenal dengan beberapa jenis nama
atau isoform, retinol, retinal dan asam retinoat. Dari ketiga jenis isoform
vitamin A tersebut, retinol adalah jenis vitamin A yang memiliki bentuk yang
aktif dan memiliki peran biologis yang penting bagi tubuh. DI dalam tubuh
manusia, terjadi turnover atau perubahan jenis vitamin A dari bentuk yang
satu ke bentuk yang lainnya. Retinol dapat dibentuk dari retinal dan retinal
dapat membentuk asam retinoat. Selain 3 jenis isoform vitamin A tersebut
juga dikenal jenis komponen bioaktif yang disebut sebagai carotenoid.
Beberapa jenis carotenoid adalah molekul pro-vitamin A atau dapat diubah
menjadi vitamin A. Meskipun demikian hanya beberapa jenis carotenoid yang
dapat diubah menjadi vitamin A, salah satunya adalah beta-caroten.
Carotenoid yang tidak dapat diubah menjadi vitamin A adalah likopen,
zeaxantin dan lutein.

Vitamin A banyak terdapat pada produk-produk makanan hewani


sedangkan sumber pro-vitamin A banyak terdapat pada produk-produk
makanan nabati. Sumber vitamin A banyak terdapat pada hati dan jeroan
hewan, ikan laut dalam serta produk olahan susu. Sumber olahan hewani yang
sudah mengalami pengurangan lemak seperti susu rendah lemak biasanya
mengalami penurunan kandungan vitamin A. Saat ini, banyak produk-produk
makanan seperti minyak dan margarin yang terfortifikasi vitamin A. Pada
produk makanan nabati, pro vitamin A banyak terdapat pada bahan makanan
yang berwarna kuning, oranye. Pro-vitamin A juga banyak terdapat pada
daun-daun hijau seperti bayam dan kangkung.

Vitamin A bekerja untuk mengendalikan beberapa proses bagi tubuh.


Hal ini dilakukan dengan interaksi antara metabolit vitamin A seperti asam
retinoat dengan reseptor asam retinoat di nukleus sel. Vitamin ini berfungsi
untuk melakukan pengaturan terhadap diferensiasi sel. Salah satu dampak

14
yang diberikan adalah ketika tubuh mengalami defisiensi vitamin A dapat
mengganggu mukosa epitel. Salah satu bukti dari dampak ini adalah
ditemukan pada individu yang mengalami kekurangan vitamin A mudah
untuk mengalami infeksi paoteng pada mata, sistem pernafasan dan saluran
pencernaan (Sommer et al, 1984; Barreto et al, 1994). Sebagai tambahan,
pemberian suplementasi vitamin A pada anak juga dapat menurunkan
kejadian infeksi.

Peran vitamin A sebagai salah satu zat gizi penting dalam


pembentukan sistem imun diketahui sejak abad ke 20. Pada masa itu peneliti
mengkaji efek dari diit yang tidak memiliki vitamin A terhadap status
kesehatannya. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa anjing yang
kekurang vitamin A dalam diitnya mengalami infeksi saluraan pernapasan
serta gangguan tulang. Hasil studi ini kemudian didukung oleh penelitian pada
tikus. Baru pada abad ke 21, peneliti-peneliti di bidang gizi kemudian
mengkaji manfaat dari vitamin A pada ststus imunitas manusia dengan
menggunakan metode randomized controlled trial. Hasil dari penelitian itu
diketahui bahwa pemberian supementasi mampu menguraangi angka
kemaatian dan kesakitan terutama yang diakibatkan oleh infeksi.

Vitamin A berhubungan dengan kompetensi sistem imun serta sel-sel


efektor dari komponen sistem imun. Pada individu yang mengalami defisiensi
vitamin A ditemukan menurunnya kemampuan sistem imun yang ditandai
oleh rendahkan kemampuan fagositosis dan oksidatif dari makrofag. Kondisi
kekurangan vitamin A juga dapat menurunkan jumlah dan aktivitas dari sel
natural killer. Terdapat beberapa mekanisme yang menjelaskan peran dari
vitamin A terhadap efektor sistem imun ini. Salah satu penjelasannya adalah
bahwa aktivasi reseptor asam retinoat dapat memicu proses proliferasi.
Vitamin A juga diketahui dapat menginduksi perkembangan dan diferensiasi
Th1 dan Th2.

15
Asam retinoat merupakan turunan dari vitamin A yang memiliki peran
terhadap beberapa sistem fisiologis tubuh manusia, seperti fungsi imunologis.
Di dalam tubuh terdapat 2 jenis asam retinoat yaitu all-trans-asam retinoat dan
9-cis asam retinoat yang memiliki fungsi dalam pengaturan eksresi gen. Salah
satu efek dari pengaturan ekpresi gen ini berkaitan dengan proliferasi dan
diferensiasi sel-sel leukosit. Selain itu , asam retinoat juga memiliki beberapa
pengaruh pada komponens sistem imun lain seperti sel dendritik, monosi
(Muhilal, 1991)
Muhilal, T. d. (1991). Studi Prevalensi Defisiensi Vitamin A dan Zat Gizi Lainnya di Indonesia
Bgian Timur. Media Litbangkes Vol.1 No.04, 50-54.
t/makrofag, sel B dan sel T.

Kaitan vitamin A dalam fungsi sistem imun dapat dilihat dari asosiasi
defisiensi vitamin A dengan penyakit infeksi. Dari eksperimen diketahui
retinoat dapat menstimulasi respon imun (McLaren, 2001).

Efek kekurangan vitamin A terhadap pertahanan tubuh sebagai berikut


(Semba, 2002) :

1. Keratin yang abnormal pada saluran pernapasan, saluran


genitourinary dan permukaan mata
2. Kehilangan silia dari respiratori epithelium
3. Kehilangan mikrofili dari usus kecil
4. Penurunan sel goblets dan produksi mucin dalammucosal epitel
5. Rusaknya fungsi neutropil
6. Rusaknya fungsi sel Natural Killer (NK) dan penurunan jumlah sel
NK7. Rusaknya aspek hematopoiesis
8. Perubahan T helper tipe 1 dalam respon imun
9. Penurunan jumlah dan fungsi limfosit B
10. Rusaknya respon antibodi terhadap T-cell dependen dan antigen
independen.

16
BAB III
LITERATUR REVIEW

A. Jurnal Nasional
1) Jurnal “Hubungan Pengetahuan Ibu dengan pemberian Vitamin A
pada Balita di wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Uncang Kota
Batam tahun 2020”
Judul : Hubungan Pengetahuan Ibu dengan pemberian Vitamin A
pada Balita di wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Uncang Kota
Batam tahun 2020
Jurnal : Menara Ilmu
Halaman : 53-59
Tahun : 2020
Penulis : Mariyana, & Sarmauli F.S
Reviewer : Rafika
Tanggal : 02 Oktober 2022
Penelitian dari jurnal ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
pengetahuan ibu dengan pemberian vitamin A pada balita di wilayah kerja
kota batam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini Jenis yang peneliti
gunakan adalah analitik yang bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat
pengetahuan ibu dan dorongan tenaga kesehatan terhadap pemberian Vitamin
A pada balita, adapun desain penelitian dilakukan menggunakan desain cross
sectional yaitu sebuah penelitian yang dilakukan dalam sekali waktu saja.
Tidak ada pengulangan dalam pengambilan data.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa dari 98 responden ada 53


responden (45,9%) yang tidak memberikan Vitamin A , yang memiliki
pengetahuan kurang 49 responden (84,5%), dan yang memiliki pengetahuan
baik 4 responden (10,0%). Sedangkan yang memberikan vitamin A sebanyak

17
45 responden (54,1%), yang memiliki pengetahuan kurang 9 responden
(15,5%) dan responden yang memiliki pengetahuan baik 36 responden
(90,0%)

Dari hasil analisis statistic antara pengetahuan ibu dengan pemberian


vitamin A dengan perhitungan SPSS, pada tabel chi-square didapatkan bahwa
nilai pvalue 0,000 maka probabilita <0,05, sehingga Ho ditolak dan Ha
diterima. . Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan pemberian vitamin A.

Berdasarkan hasil penelitian terlihat dari kuesioner tentang


pengetahuan vitamin A juga dapat diperoleh dari sumber hewani seperti susu,
mentega, minyak ikan dan kuning telur dari 98 responden yang menjawab
benar sebanyak 47 responden dan menjawab salah sebanyak 51 responden.
Dan apakah ibu memberikan vitamin A pada balita di bulan Agustus tahun
2020 didapatkan ada 53 responden yang tidak memberikan vitamin A pada
balitanya. 9 responden yang berpengetahuan kurang tetapi tetap memberikan
vitamin A pada balitanya dikarenakan dibagikan oleh kader yang datang
kerumah dan ibu tidak menolak jika balitanya diberikan vitamin A. 4
responden yang berpengetahuan baik tetapi tidak memberikan vitamin A pada
balitanya dikarenakan ibu bekerja.

Menurut penulis dari hasil kuesioner yang telah diisi oleh ibu yang
memiliki balita di dapatkan ada hubungan bermakna antara pengetahun ibu
dengan pemberian vitamin A, dimana ibu mendapatkan sumber informasi
yang diperoleh melalui tenaga kesehatan, pengalaman pribadi, pengalaman
orang lain, media cetak seperti buku, majalah, Koran, dan poster sedangkan
media elektronik seperti televise dan radio. Vitamin A merupakan suatu
vitamin yang berfungsi dalam system penglihatan, fungsi pembentukan
kekebalan tubuh dan fungsi reproduksi.Vitamin A merupakan zat gizi yang

18
penting (essensial) bagi manusia karena zat gizi ini tidak dapat dibuat oleh
tubuh, sehingga harus dipenuhi dari luar.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Berdasarkan hasil penelitian


dan pengolahan data yang telah dilaksanakan oleh penelitian mengenai
Hubungan Pengetahuan Ibu Dengan Pemberian Vitamin A Pada Balita Di
Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Uncang Pada Tahun 2020 dari 98
responden dapat disimpulkan.

a. Distribusi frekuensi ibu yang memiliki pengetahuan kurang diwilayah kerja


puskesmas Tanjung Uncang tentang pemberian vitamin A sebanyak 58 orang
( 59,2%).
b. Distribusi frekuensi ibu di wilayah kerja puskesmas Tanjung Uncang yang
tidak memberikan vitamin A sebanyak 53 orang (54,1%).
c. Adanya hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan pemberian
vitamin A pada balita di peloleh nilai p-value sebesar 0,000 di Wilayah Kerja
Puskesmas Tanjung Uncang Kota Batam Tahun 2020.

2) Jurnal "Indeks massa tubuh rendah pada awal kerhamilan dan


defisiensi vitamin A pada trimester kedua sebagai faktor risiko
gangguan pertumbihan linier pada bayi lahir"
Judul: Indeks massa tubuh rendah pada awal kerhamilan dan
defisiensi vitamin A pada trimester kedua sebagai faktor risiko
gangguan pertumbihan linier pada bayi lahir.
Jurnal: Jurnal Gizi Pangan
Halaman: 191-200
Penulis: Pusparini, Fitrah Ernawati, Hardinsyah, & Dodik Briawan
Reviewer: Rafika
Tanggal: 03 Oktober 2022

19
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor
risiko terkait status gizi kehamilan pada pertumbuhan linier bayi baru
lahir. Metode Penelitian ini merupakan analisis data sekunder dari
penelitian longitudinal yang dilakukan Pusat Teknologi Terapan
Kesehatan dan Epidemiologi Klinik (PT2TKEK), sehingga persetujuan
etik mengacu pada penelitian induk yang didapatkan dari Komisi Etik
Badan Litbang Kesehatan, nomor: LB.02.01/5.2/KE.233/2015. Orangtua
anak menandatangani informed consent sebagai persetujuan menjadi
subjek penelitian.

Dari penelitian ini didapatkan hasil Peran vitamin A pada


pertumbuhan linier janin pada manusia dan hewan hingga saat ini masih
sulit dibuktikan, beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan
tersebut. menunjukkan bahwa peran vitamin A dan asam retinoat pada
pertumbuhan manusia secara langsung pada lempeng pertumbuhan dan
secara tidak langsung membantu sekresi hormon pertumbuhan (growth
hormone) dan hormon tiroid. Secara epidemiologi, terdapat hubungan
antara kadar serum vitamin A dan stunting pada anak batita, 16% dan 42%
anak batita stunting memiliki kadar serum vitamin A marginal dan di
bawah normal.

Data konsumsi pangan ibu hamil dalam penelitian ini tidak


menunjukkan hubungan yang bermakna dengan gangguan pertumbuhan
linier bayi lahir. Hal ini kemungkinan disebabkan data konsumsi pada
penelitian induk dikumpulkan dengan metode recall 24 jam dilakukan satu
kali pada tiap trimester, sehingga tidak mencerminkan asupan
harian.metode food recall 24 jam yang valid bila dilakukan lebih dari dua
kali untuk mendapatkan data asupan makanan yang lengkap terutama
makanan yang dikonsumsi pada hari khusus. Selain itu, asupan zat gizi
yang diperoleh dari metode food recall 24 jam tergantung pada

20
kemampuan responden maupun pewawancara memberikan dan
menterjemahkan perkiraan porsi makanan yang akurat. Keterbatasan lain
dalam penelitian ini adalah tidak tersedia data penggunaan suplemen tablet
tambah darah pada ibu hamil sehingga tidak dapat dilakukan analisis
pengaruh pemberian zat besi maupun folat yang didapatkan dari tablet
tambah darah ibu hamil.

Kesimpulan dalam penelitian ini Hasil penelitian ini menunjukkan


bahwa defisiensi vitamin A pada trimester kedua kehamilan dan IMT awal
kehamilan rendah adalah faktor risiko gangguan pertumbuhan linier bayi
yang dilahirkan. Hal ini menunjukkan pentingnya status gizi yang baik
dalam mempersiapkan kehamilan untuk mencegah gangguan pertumbuhan
linier bayi. Perlu penelitian dengan desain yang lebih komprehensif dan
kuat untuk menganalisis faktor gizi yang memengaruhi pertumbuhan
linier.

B. Jurnal Internasional

Judul : Prevalence of Vitamin A Deficiency in School Going Children in


Rural Area
Jurnal : International Journal of Research and Review
Halaman : 1-4
Tahun : 2021
Penulis : Kishor P.K, Smita K.K, Santosh Y, Vishakha T &, Sharayu A.
Reviewer : Rafika
Tanggal : 03 Oktober 2022
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi prevalensi defisiensi
vitamin A pada anak sekolah dasar dalam kaitannya dengan status sosial
ekonomi. Metode dalam penelitian ini menggunakan Sebuah studi cross-
sectional berbasis masyarakat dilakukan pada 600 anak sekolah berusia antara

21
5-15 tahun dari sekolah tertentu dimasukkan dalam penelitian terlepas dari
jenis kelamin mereka dan status imunisasi vitamin A sebelumnya dimasukkan
dalam penelitian di pusat kesehatan yang terletak di pedesaan. Kajian
dilakukan untuk mengumpulkan informasi sesuai proforma yang telah
dirancang sebelumnya yang mencakup data identifikasi, status sosial
ekonomi, riwayat diet dan pemeriksaan mata.

Hasil dari penelitian ini didapatkan Ada dokumentasi substansial


tentang prevalensi, defisiensi vitamin A pada anak-anak usia prasekolah;
Tingkat kekurangan vitamin A pada anak-anak kelompok usia yang lebih tua
atau remaja belum banyak mendapat perhatian. Penelitian ini dilakukan pada
anak-anak sekolah dasar (5-15 tahun) dari daerah pedesaan di distrik
Amravati Maharashtra untuk melihat prevalensi kekurangan vitamin A.

Dalam penelitian kami saat ini dari 600 anak berusia antara 5-15
tahun, prevalensi kekurangan vitamin A diamati pada 34 (5,7%) anak-anak
yang lebih rendah dari prevalensi kekurangan vitamin A (9,1%) di antara
anak-anak sekolah di Aligarh yang dilaporkan oleh Sachdewa dkk.

Kami memiliki jumlah kasus tertinggi yang diamati pada kelompok


usia 11 hingga 15 tahun (58,8%). Prevalensi defisiensi vitamin A lebih tinggi
pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki dan perbedaan yang
diamati signifikan secara statistik mungkin karena tingginya kebutuhan
kebutuhan gizi pada remaja dan kelompok usia pubertas lebih tinggi pada
anak perempuan daripada anak laki-laki dan berdampak tinggi di daerah
pedesaan. Pengamatan serupa dilakukan dengan Chauhan et al dan
Bhattacharya et al.Hubungan kekurangan vitamin A dan konsekuensinya
dengan status sosial ekonomi lebih tinggi pada kelas IV dan V, dibandingkan
pada kelas sosial kelas III yang mirip dengan laporan sebelumnya dari
Chauhan et al dan Pal et al

22
Hasil penelitian ini sangat menyarankan bahwa skrining anak sekolah
untuk penyakit mata harus dilakukan secara berkala dan harus menjadi salah
satu aspek utama dari program kesehatan pendidikan. Untuk itu, guru sekolah
harus berorientasi dan terlatih dalam mengidentifikasi masalah mata yang
umum terjadi pada anak sekolah sehingga anak tersebut dapat dirujuk untuk
segera ditangani. Mereka juga harus mengomunikasikan kesadaran tentang
kebersihan mata di antara anak-anak sekolah. Dengan cara ini terjadinya
penyebab kebutaan yang dapat dicegah di kalangan anak sekolah akan
diminimalkan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Penelitian ini menyimpulkan


bahwa adanya morbiditas okular dalam kaitannya dengan kekurangan vitamin
A diamati pada siswa dengan kelas sosial ekonomi rendah dan siswa kurus.
Pencegahan, pengenalan dini, pengobatan segera penyakit mata dengan
skrining rutin siswa dan pendidikan gizi di sekolah pasti akan menurunkan
risiko kelainan mata.

23
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan

Kekurangan vitamin A adalah sala satu penyebab kebutaan tertinggi di


dunia dengan estimasi 250.000-500.000 anak mengalami kebutaan setiap
tahun. Defisiensi vitamin A berkaitan dengan morbilitas dan mortalitas serta
menyebabkan 2% kematian pada anak dibawah usia 5 tahun. Gejala/Tanda-
tanda Kekurangan Vitamin A yaitu terutama pada Gejala klinis KVA pada
mata menurut klasifikasi WHO yaitu Buta senja,Xerosis Xerosis, Xerosis
kornea, Xeroftalmia, dan Xeroftalmia Fundus (XF).

Upaya pencegahan atau penanggulangan dari masalah ini yaitu dengan


Program nasional pemberian suplemen vitamin A adalah upaya penting untuk
mencegah kekurangan vitamin A di antara anak-anak Indonesia. Tujuan
Program ini adalah untuk mendistribusikan kapsul vitamin A pada semua
anak di seluruh wilayah Indonesia dua kali dalam satu tahun. Setiap Februari
dan Agustus, kapsul vitamin A didistribusikan secara gratis kepada semua
anak yang mengunjungi Posyandu dan Puskesmas. Kemudian anjuran gizi
pada penderita rabun senja yaitu dengan Syarat diet pada penderita rabun
senja adalah Energi, Energi diberikan cukup untuk mencegah pemecahan
protein menjadi sumber energi dan untuk penyembuhan. Pada kasus gizi
buruk, diberikan bertahap mengikuti fase stabilisasi, transisi dan rehabilitasi,
yaitu 80-100 kalori/kg BB, 150 kalori/ kg BB dan 200 kalori/ kg BB.
kemudian Protein, Protein diberikan tinggi, mengingat peranannya dalam
pembentukan Retinol Binding Protein (RBP) dan Rodopsin. Pada gizi buruk
diberikan bertahap, yaitu 1 D 1,5 gram/ kg BB/hari; 2 D 3 gram/ kg BB/hari
dan 3 D 4 gram/ kg BB/ hari dan yang terakhir yaitu Lemak, Lemak diberikan
cukup agar penyerapan vitamin A optimal. Pemberian minyak kelapa yang

24
kaya akan asam lemak rantai sedang (MCT=Medium Chain Tryglycerides).
Penggunaan minyak kelapa sawit yang berwarna merah dianjurkan.

Vitamin A adalah salah satu jenis vitamin larut lemak. Vitamin ini
ditemukan pada tahun 1916 dan saat ini dikenal dengan beberapa jenis nama
atau isoform, retinol, retinal dan asam retinoat. Peran vitamin A sebagai salah
satu zat gizi penting dalam pembentukan sistem imun diketahui sejak abad ke
20.

B. Saran

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya


penulis akan lebih fokus dan deatils dalam menjelaskan makalah di atas
dengan sumber-sumber yang lebih banyak dan tentunya dapat dipertanggung
jawabkan.

Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga bisa
untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang telah
dijelaskan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Freitag, H. (2021). Imunologi Gizi. Yogyakarta: Gadjah Mada University


Press.

Kadir, S. (2021). Gizi Masyarakat. Yogyakarta: Absolute Media.

Kemenkes.( 2021). Buku Saku. Hasil Studi Status Gizi Indonesia(SSGI).


Tingkat Nasional,Provinsi, dan Kabupaten/Kota Tahun 2021.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia .168 hal.

Muhilal, T. d. (1991). Studi Prevalensi Defisiensi Vitamin A dan Zat Gizi


Lainnya di Indonesia Bgian Timur. Media Litbangkes Vol.1 No.04,
50-54.

Nur Laila, M. U. (2021). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian


Vitamin A Pada Balita. Prosiding Seminar Nasional UNMUS, Vol.4, 1525-
1535.

Prasetyaningsih. (2019). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu dengan . Jurnal


Kesehatan Komunitas, 106-109.

Rizal Sanif, R. N. (2017). Vitamin A dan Perannya Dalam Siklus Sel. Jurnal
Kesehatan Universitas Sriwijaya, Vol.4 No.2, 83-88.

S.A, P. (2013). Kekuranagan Vitamin A (KVA) dan Infeksi. The Indonesian Journal
Of Health Science,Vol.3,No.2, 207-2010.

Sari, R. P. (2022). Konsep Pencegahan dan Penanganan Kurang Kalori


Protein(KKP),Kekurangan Vitamin,Anemiadan Cacingan. Samarinda:
Universitas Mulawarman.

26

Anda mungkin juga menyukai