Anda di halaman 1dari 25

Mata Kuliah Epidemiologi Gizi

MAKALAH

DEFISIENSI VITAMIN A

Dosen:

Yana listyawardhani, SST., M.K.M.

Kelompok 6:

Wildan Imamudin 184102003


Irma Dewi Lestari 184102010
Vira Paujiah Nuriyah 184102018
Dhea Berlia Sribudiutami 184102032
Dhea Arofatunnisa 184102040
Karlina 184102046

PROGRAM STUDI GIZI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2021
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Alloh Swt yang telah melimp
ahkan rahmat-Nya, maka pada hari ini makalah yang berjudul “DEFISIENSI VIT
AMIN A” dapat diselesaikan. Secara garis besar, makalah ini berisi tentang hal ya
ng berhubungan dengan Devisiensi Vitamin A.
Secara garis besar lingkup makalah ini terdiri dari tiga bab, yaitu: Bab I
mengenai latar belakang, rumusan, tujuan dan manfaat; Bab II mengenai
Landasan Teoritis, yang terdiri dari: Definisi Survailens, kejadian masalah gizi ter
baru, sumber data dan variable, analisis, pedomann pemantauan, mekanisme penc
atatan dan pelaporan; dan Bab III berupa kesimpulan dan saran.
Kami kelompok 6 sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah p
engetahuan dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi
agar makalah ini bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam peny
usunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami. Untu
k itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

COVER .................................................................................................................. i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………… ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah ................................................................................. 3

C. Tujuan ................................................................................................... 4

D. Manfaat ……………………………………………………………….. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5

A. Definisi Survaeilans... ......................................................................... 5


B. Kejadian Masalah Gizi Terbaru........................................................... 6
C. Sumber Data dan Variabel Survailan …….......................................... 9
D. Analisis Sederhana Faktor – Faktor Resiko ...................................... 10
E. Pedoman Pemantauan ....................................................................... 13
F. Mekanisme Pencatatan …………….................................................. 14

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 20

A. Kesimpulan ........................................................................................ 20
B. Saran .................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 21

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Vitamin A dalam makanan yang berasal dari sumber-sumber nabati dan
hewani dengan variasi yang sangat luas cukup untuk memenuhi kebutuhan vit
amin A harian manusia. Anak yang memenuhi kecukupan vitamin A per hari
mempunyai status vitamin A lebih tinggi daripada anak yang asupan vitamin
A dibawah kecukupan vitamin A per hari. Hal ini tidak jauh beda dengan pen
elitian yang dilakukan di Brazil yang menyebutkan bahwa semakin rendah sta
tus vitamin A maka dapat diindikasikan terjadi ketidakcukupan asupan vitami
n A. Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan kondisi gangguan kesehatan a
kibat tidak terpenuhinya kebutuhan vitamin A di dalam tubuh. KVA termasuk
defisiensi mikronutrien yang paling banyak terjadi pada anak-anak di berbaga
i belahan dunia, terutama yang tinggal di negara berkembang.
Vitamin A berperan pada pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi reproduksi
5,6 Status vitamin A yang normal mengindikasikan bahwa individu tidak me
miliki konsekuensi patologis dan fisiologis akibat dari defisiensi vitamin A se
rta mempunyai cadangan vitamin A yang cukup untuk mengantisipasi dari pe
rubahan metabolisme akibat infeksi, penurunan absorbsi zat gizi karena diare,
dan penurunan nafsu makan.7 Anak dengan status defisiensi vitamin A tingka
t subklinis (<0.7 μmol/L) akan meningkatkan risiko kematian akibat infeksi m
aupun non-infeksi.
Defisiensi vitamin A selalu menjadi salah satu masalah kesehatan bagi
negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Defisiensi vitamin A dan in
feksi saling berinteraksi yaitu ketika yang satu kambuh, kerentanan terhadap
yang lain akan meningkat. Tanda-tanda klinis seperti xeropthalmia dan rabun
senja sudah jarang ditemui. Namun dampak yang ditimbulkan akibat defsiens
i vitamin A terhadap angka kejadian infeksi masih perlu diperhatikan. Peneliti
an yang dilakukan di Turki menyebutkan 64% dari 11 anak yang mengalami
defisiensi vitamin A terpapar infeksi.12 Selain itu, pada penelitian yang dilak
uan di Kolumbia anak yang mempunyai serum retinol <10 μg/dL berhubunga
n dengan peningkatan risiko kejadian diare disertai muntah.13 Hasil penelitia

1
2

n ini menyebutkan tidak terdapat perbedaan antara status vitamin A dengan m


orbiditas. Infeksi dapat menimbulkan defisiensi vitamin A melalui berbagai c
ara menurut penyebab, durasi dan intensitas infeksi, serta status vitamin A dal
am tubuh hospes pada saat onset infeksi.
Data WHO menunjukkan bahwa KVA memengaruhi sekitar 85 juta (7
persen) anak usia sekolah dan merupakan masalah kesehatan pada lebih dari s
etengah negara di dunia, terutama di Afrika dan Asia Tenggara. WHO mempe
rkirakan 250.000 hingga 500.000 anak yang menderita KVA mengalami kebu
taan setiap tahunnya. Setengah dari mereka meninggal dunia dalam kurun wa
ktu 12 bulan akibat kehilangan penglihatan (WHO, 2011; SHN, 2020). Seme
ntara itu di Indonesia, masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gu
nung es”, yang hanya sedikit tampak di permukaan, namun KVA secara subkl
inis masih banyak ditemui (Depkes, 2003; Kemenkes, 2015). Di Indonesia, 1
dari 2 balita kemungkinan besar mengalami KVA. Riskesdas (2018) melapor
kan bahwa hanya sekitar 53,5 persen anak usia 6–59 bulan dalam 12 bulan ter
akhir yang kebutuhannya terhadap vitamin A terpenuhi melalui pemberian ka
psul vitamin A.
KVA dapat menyebabkan berbagai penyakit yang tergolong sebagai nutri
tion related diseases, menyerang berbagai macam anatomi dan fungsi dari org
an tubuh, seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan epitelism
e selsel kulit, menyebabkan terjadinya gagal tumbuh, serta risiko tinggi terhad
ap xerophthalmia dan kebutaan (Depkes, 2003). Asupan vitamin A pada anak
yang tidak tercukupi dapat meningkatkan prevalensi terhadap stunting (badan
pendek/ kerdil), underweight (berat badan rendah), dan wasting (badan kurus)
lebih tinggi dibandingkan anak yang memperoleh vitamin A secara cukup. Ri
skesdas (2018) melaporkan data prevalensi di Indonesia untuk stunting sebesa
r 30,8 persen, underweight sebesar 17,7 persen, dan wasting sebesar 10,2 pers
en. KVA juga dapat memicu dampak yang lebih serius yaitu dapat menyebab
kan gangguan penglihatan (rabun senja) dan meningkatkan risiko penyakit ser
ta mortalitas akibat infeksi seperti campak dan diare pada usia anak-anak (W
HO, 2011).
Makanan sehari-hari yang dapat dijadikan sebagai sumber preformed vi
3

tamin A berasal dari pangan hewani di antaranya hati, ikan, telur, susu, dan ke
ju (Depkes 2003; WHO 2009). Namun, bagi masyarakat berpenghasilan rend
ah, pemenuhan vitamin A melalui pangan hewani tersebut cukup sulit karena
harganya yang relatif mahal. Konsumsi pangan yang kurang dari 80 persen an
gka kecukupan gizi (AKG) secara berkepanjangan, secara umum disebabkan
oleh kemiskinan, yaitu saat keluarga tidak mampu memberikan makanan yan
g cukup (Depkes, 2003).
Surveilans Gizi adalah proses pengamatan masalah dan program gizi se
cara terus menerus baik situasi normal maupun darurat, meliputi : pengumpul
an, pengolahan, analisis dan pengkajian data secara sistematis serta penyebarl
uasan informasi untuk pengambilan tindakan sebagai respons segera dan teren
cana. Surveilans Gizi pada awalnya dikembangkan untuk mampu mempredik
si situasi pangan dan gizi secara teratur dan terus-menerus sehingga setiap per
ubahan situasi dapat dideteksi lebih awal (dini) untuk segera dilakukan tindak
an pencegahan. Sistem tersebut dikenal dengan Sistem Isyarat Tepat Waktu u
ntuk Intervensi atau dalam bahasa Inggris disebut Timely Warning Informatio
n and Intervention System (TWIIS), yang kemudian lebih dikenal dengan na
ma Sistem Isyarat Dini untuk Intervensi (SIDI).
Surveilans gizi sangat berguna untuk mendapatkan informasi keadaan g
izi masyarakat secara cepat, akurat, teratur dan berkelanjutan, yang dapat digu
nakan untuk menetapkan kebijakan gizi. Informasi yang digunakan mencakup
indikator pencapaian gizi masyarakat serta informasi lain yang belum tersedia
dari laporan rutin. Adanya surveilans gizi akan dapat meningkatkan efektivita
s kegiatan pembinaan gizi dan perbaikan masalah gizi masyarakat yang tepat
waktu, tepat sasaran, dan tepat jenis tindakannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan lata belakang di atas maka beberapa masalah, diantaranya :
1. Apa definisi surveilan ?
2. Apa masalah gizi gizi terbaru ?
3. Bagaimana data dan variabel surveilan aktual dan potensial ?
4. Bagaimana analisis faktor-faktor resiko defisiensi vitamin A yang dap
at terjadi?
4

5. Babagaimana pedoman pemantauan surveilan gizi pada kasus defisien


si vitamin A?
6. Bagaimana mekanisme pencatatan dan pelaporan surveilan gizi pada k
asus defisiensi vitamin A ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi surveilan
2. Untuk mengetahui masalah gizi gizi terbaru
3. Untuk mengetahui data dan variabel surveilan aktual dan potensial dal
am kasus defisiensi vitamin A
4. Untuk mengetahui hasil analisis faktor-faktor penyebab defisiensi vita
min A yang dapat terjadi
5. Untuk mengetahui pedoman pemantauan surveilan gizi pada kasus def
isiensi vitamin A
6. Untuk mengetahui mekanisme pencatatan dan pelaporan surveilan gizi
pada kasus defisiensi vitamin A.
D. Manfaat
1. Dapat memberikan penjelasan definisi dan gambar konsep surveilan gi
zi
2. Memberikan gambaran masalah gizi pada kasus defisiensi vitamin A b
eserta faktor-faktor penyebab dan solusinya
3. Memberikan tambahan wawasan kepada pembaca akan defisiensi vita
min A dan solusi cara menanggulanginya.
4. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pemecahan masalah kesehat
an serta gambaran pedoma manajemen survailan gizi tekhusus dalam
dunia kesehatan dibidang gizi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Devinisi Survailens
Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus meneru
s dan sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interpretasi da
ta dan diseminasi informasi hasil interpretasi data bagi mereka yang membutu
hkan. Secara umum dalam dunia kesehatan, surveilans merupakan kegiatan y
ang dilakukan untuk mengawasi kesehatan, baik perorangan maupun komunit
as. Dalam kesehatan kerja misalnya, surveilans kesehatan kerja dilakukan den
gan pemantauan kesehatan pekerja yang sistematis danterus menerus sehubun
gan dengan bahaya di tempat kerja, misalnya surveilans dan pemantauan med
is terhadap karyawan yang dilakukan suatu klinik di Malaysia. Kegiatan surve
ilans ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja, yang meliputi pemeriksaan kesehatan prakerja dan prapenempatan, pe
mantauan biologis dan pemantauan efek biologis, pemantauan efek kesehatan,
investigasi penyakit atau keracunan kerja termasuk pemeriksaan di tempat ke
rja, pemberitahuan tentang penyakit akibat kerja dan keracunan, penilaian kec
acatan, kembali ke ujian kerja, dan analisis perlindungan asuransi kesehatan.
Pengertian surveilans epidemiologi yaitu kegiatan untuk memonito
r frekuensi dan distribusi penyakit di masyarakat. Frekuensi penyakit adalah j
umlah orang yang menderita suatu penyakit didalam suatu populasi, sedangka
n distribusi penyakit adalah siapa saja yang menderita dilihat dari berbagai ka
rakteristik, baik umur, jenis kelamin, lokasi kejadian dan waktu terjadinya pe
nyakit tersebut. Dalam Kesehatan Masyarakat, sebelum tahun 1950, surveilan
s diartikan sebagai upaya pengawasan secara ketat kepada penderita penyakit
menular, sehingga penyakitnya dapat ditemukan sedini mungkin dan diisolasi
secepatnya serta dapat diambil langkah-langkah pengendalian seawal mungki
n.Surveilans Kesehatan Masyarakat dapat didefinisikan sebagai upaya rutin d
alam pengumpulan, analisis dan diseminasi data yang relevan yang diperluka
n untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan masyarakat. Surveilans keseha
tan masyarakat adalah bentuk aplikasi dari epidemiologi deskriptik maupun a
nalitik yang merupakan proses pengumpulan data kesehatan yang mencakup t

5
6

idak saja pengumpulan informasi secara sistematik, tetapi juga melibatkan an


alisis, interpretasi, penyebaran, dan penggunaan informasi kesehatan. Surveila
ns gizi adalah proses pengamatan masalah dan program gizi secara terus men
erus baik situasi normal maupun darurat, meliputi : pengumpulan, pengolahan,
analisis dan pengkajian data secara sistematis serta penyebarluasan informasi
untuk pengambilan tindakan sebagai respons segera dan terencana.
B. Kejadian Masalah Gizi Terbaru
Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah gizi
utama. Meskipun KVA tingkat berat (xeropthalmia) sudah jarang ditemui,
tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala
nyata, masih menimpa masyarakat luas terutama kelompok balita. KVA
tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin
A dalam darah di laboratorium. Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai
fenomena “gunung es” yaitu masalah xeropthalmia yang hanya sedikit
tampak dipermukaan. Padahal KVA subklinis yang ditandai dengan
rendahnya kadar vitamin A dalam darah masih merupakan masalah besar
yang perlu mendapat perhatian. Hal ini menjadi lebih penting lagi, karena erat
kaitannya dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan kematian pada
balita. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa KVA sangat berhubungan
dengan tingkat infeksi terutama pada balita yang nantinya juga sangat
berpengaruh pada status gizi, status kesehatan, angka morbiditas dan
mortalitas balita. Vitamin A juga memilki peranan penting dalam fungsi
normal sistem kekebalan tubuh.Oleh karena itu pada saat terjadi defisiensi
vitamin A fungsi normal system kekebalan tubuh (imunologis) terganggu,
akibatnya tingkat infeksi bibit penyakit ke dalam tubuh juga akan meningkat.
Menurut Sunita Almatsier (2003), kekurangan vitamin A meningkatkan
resiko anak terhadap penyakit infeksi seperti penyakit saluran pernafasan dan
diare, meningkatkan angka kematian karena campak, serta menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan.
Survei nasional pada xeroftalmia I tahun 1978 menunjukkan angka-
angka xeroftalmia di Indonesia sebesar 1,34% atau sekitar tiga kali lipat lebih
tinggi dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO (X16 < 0,5%).
7

Kemudian pada tahun 1992 survei nasional pada xeroftalmia II dilaksanakan,


prevalensi KVA mampu diturunkan secara berarti dari 1,34% menjadi 0,33%.
Namun secara subklinis, prevalensi KVA terutama pada kadar serum retinol
dalam darah (< 20 mcg/100 ml) pada balitasebesar 50%, ini menyebabkan
anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan
menurunnya tingkat kekebalan tubuh sehingga mudah terserang penyakit
infeksi (Azwar, 2004).Akibatnya menjadi sangat tergantung dengan kapsul
vitamin A dosis tinggi. Menurut hasil survey pemantauan status gizi dan
kesehatan tahun 1998-2002, yang menunjukkan bahwa sampai tahun 2002,
sekitar 10 juta (50%) anak Indonesia terancam kekurangan vitamin A, karena
tidak mengkonsumsi makanan mengandungvitamin A secara cukup.
Defisiensi vitamin A diperkirakan mempengaruhi jutaan anak di seluruh
dunia. Sekitar 250.000-500.000 anak-anak di negara berkembang menjadi
buta setiap tahun karena kekurangan vitamin A, dengan prevalensi tertinggi di
Asia Tenggara dan Afrika. Dengan tingginya prevalensi kekurangan vitamin
A, WHO telah menerapkan beberapa inisiatif untuk suplementasi vitamin A
di negara-negara berkembang. Beberapa strategi termasuk asupan vitamin A
melalui kombinasi pemberian ASI, asupan makanan, fortifikasi makanan, dan
suplemen. Melalui upaya WHO dan mitra-mitranya, yang diperkirakan 1,25
juta kematian sejak 1998 di 40 negara karena kekurangan vitamin A telah
dihindari (Anonim, 2011). Sementara itu pada Mei 2003 berdasarkan data
WHO ditemukan bahwa hingga kini masih ditemukan 3 propinsi yang paling
banyak kekurangan vitamin A yaitu : Propinsi Sulawesi Selatan tingkat
prevalensi hingga 2,9%, propinsi Maluku 0,8% dan Sulawesi Utara sebesar
0,6%.
Vitamin A merupakan salah satu gizi penting yang larut dalam lemak
dan disimpan dalam hati, tidak dapat dibuat oleh tubuh, sehingga harus
dipenuhi dari luar (essensial), berfungsi untuk penglihatan, pertumbuhan dan
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit . Hasil kajian berbagai
studi menyatakan bahwa vitamin A merupakan zat gizi yang essensial bagi
manusia, karena zat gizi ini sangat penting dan konsumsi makanan kita
cenderung belum mencukupi dan masih rendah sehingga harus dipenuhi dari
8

luar (Kemenkes RI, 2011).Vitamin A bermanfaat untuk menurunkan angka


kematian dan angka kesakitan, karena itu vitamin A dapat meningkatkan daya
tahan tubuh terhadap penyakit infeksi seperti campak, diare, dan ISPA.
Akibat lain yang berdampak sangat serius dari KVA adalah buta senja dan
manifestasi lain dari xeropthalmia termasuk kerusakan kornea dan kebutaan
(Depkes RI, 2009). Sebanyak 190 juta anak usia 5 tahun kebawah mengalami
kekurangan Vitamin A, bahkan World Health Organization (WHO )
memperkirakan terdapat 250 juta anak prasekolah yang mengalami kebutaan
dan separuh anak ini kemudian meninggal dalam jangka waktu 12 bulan
akibat kekurangan Vitamin A. Separuh negara di dunia memiliki
permasalahan kondisi kekurangan vitamin A. Permasalahan defesiensi
(kondisi kekurangan) vitamin A merupakan salah satu permasalahan utama
kesehatan masyarakat yang dialami oleh negara miskin dan berkembang
tarkait kondisi kekurangan vitamin A ini terdapat satu kematian dari 4
kematian anak yang disebabakan oleh kekurangan vitamin A. Kekurangan
vitamin A juga meningkatkan resiko kematian ibu. Permasalahan ini terutama
dialami oleh negara-negara di Afrika dan Asia Tenggara termasuk Indonesia
(Karnadi, 2014). Hasil studi masalah gizi mikro di 10 kota pada 10 propinsi
tahun 2006, diketahui xeropthalmia pada balita sebesar 0,14 %. Namun
menurut studi yang sama diketahui ada sebanyak 14,6% anak balita dengan
kadar serum retinol < 20μ.g/dl, dan cakupan kapsul vitamin A secara nasional
pada anak umur 6-59 bulan hanya sebesar 69,8% (Riskesdas, 2010). Temuan
ini merupakan indikasi bahwa kekurangan vitamin A apabila tidak diatasi
dapat menjadi masalah kesehatan masyarakat (Kemenkes RI, 2011). Anak
yang mengalami Kurang Energi Protein (KEP) atau gizi buruk biasanya
menderita kekurangan Vitamin A sebagai akibat asupan zat gizi yang kurang,
termasuk salah satunya yaitu vitamin A. Penelitian yang dilakukan oleh
Murage, et al. tahun 2008 di Kenya menunjukkan anak yang tidak diberi
Vitamin A 75% lebih berisiko menderita underweight dibanding yang
diberikan Vitamin A (Murage, et al., 2012).
Penanggulangan KVA di Indonesia, khususnya pada balita 6-59
bulan, Departemen kesehatan RI bekerja sama dengan Helen Keller Indonesia
9

(HKI). Strategi penanggulangan hingga saat ini dilaksanakan melalui


pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi pada bayi, balita dan bayi nifas.
Pada balita diberikan dua kali setahun dengan dosis 100 ribu IU untuk bayi
umur 6-11 bulan dan 200 ribu IU untuk anak 12-59 bulan. Saat ini Depkes
bekerja sama dengan HKI melaksanakan kegiatan kapasiti bullding untuk
program vitamin A di 20 kabupaten di 9 provinsi. Disamping itu Depkes juga
melakukan kerja sama dengan UNICEF untuk uji coba pemberian 2 kapsul
vitamin A dosis tinggi padaibu nifas di 5 provinsi binaan UNICEF. Alasan
pemilihan daerah fokus ini dilihat dari rendahnya asupan vitamin A yang
dilihat dari sampel darah (Depkes RI, 2009).
C. Sumber data dan Variabel Surveilans
Pada penilaian pendahuluan data yang telah dikumpulkan dapat
dipergunakan untuk menggambarkan kelompok berisiko. Pada waktu yang
bersamaan sumber data lain yang ada harus pula diidentifikasi sambil
menentukan syarat-syarat sebuah sumber data. Sumber data dapat
diklasifikasikan sebagai berikut: a. Data yang dicatat belum lama berselang
atau tersedia secara potensial dalam rangka sistem pengumpulan yang sedang
dilaksanakan. b. Data tambahan/baru yang didapat melalui dinas-dinas yang
ada (dinas pertanian, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya). Tipe-tipe data
dari sumber yang ada dan biasa digunakan dalam sistem surveilans gizi dapat
diperlihatkan pada tabel berikut:
Tabel 1.1 Sumber Data dan Variabel Surveilans Gizi

Variabel 
No. Sumber 
Actual Potensial

1. Klinik Kesehatan BB, TB, umur , prevalensi Pekerjaan,


penyakit, cakupan jarak klinik
imunisasi

2. Sekolah BB, TB, umur Jarak sekolah


dari rumah

3. Laporan Administrasi Angka kelahiran dan Pekerjaan, BB


kematian lahir

4. Sensus, demografi, Demografi, sosial


10

perumahan, pertanian ekonomi, petanian,


lingkungan

5. Survey Rumah Tangga Variabel sosial ekonomi BB. TB, umur

6. Laporan Pertanian Produksi pertanian (hasil, Sumber daya


area) pertanian

D. Analisis Faktor – Faktor Resiko


Beberapa tahapan penting dalam kegiatan survailans adalah analisis
data, interpretasi data, dan penyajian hasil analisis data survailans. Analisis
situasi gizi dan faktor risiko bertujuan untuk mempelajari masalah gizi yang
ada di tingkat kabupaten atau kota dan mengidentifikasi faktor risiko atau
determinan masalah gizi di kabupaten atau kota tersebut.Dalam menganalisis
data, perlu memahami faktor risiko masalah gizi, identifikasi faktor risiko
masalah gizi, teknik analisis sederhana faktor-faktor risiko, analisis, dan
interpretasi hasil analisis situasi gizi. 
Langkah analisis sederhana faktor-faktor risiko masalah gizi adalah
melakukan identifikasi faktor-faktor risiko masalah gizi. Seorang petugas
surveilans gizi harus memiliki pemahaman terhadap faktor-faktor penyebab
terjadinya masalah gizi di masyarakat. Dalam kerangka konsep terjadinya
masalah gizi di masyarakat yang dikembangkan oleh UNICEF menunjukkan
bahwa ada dua hal yang mempengaruhi secara langsung yaitu: asupan zat gizi
yang rendah dan kejadian penyakit infeksi. Kedua faktor tersebut saling
mempengaruhi, bila seseorang mengalami kekurangan gizi akan
meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi. Demikian pun jika seseorang
mengalami penyakit infeksi maka akan meningkatkan risiko kekurangan gizi
karena akan mengalami gangguan penyerapan zat gizi dalam tubuh sebagai
akibat penyakit infeksi. Kedua faktor tersebut terkait dengan faktor-faktor
lainnya yang merupakan faktor penyebab tak langsung terhadap terjadinya
gizi kurang.
a. Faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi
Faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi terbagi dalam dua kelom
pok yaitu faktor di tingkat rumah tangga atau keluarga dan faktor di
11

tingkat masyarakat. Pada tingkat rumah tangga faktor-faktor yang m


empengaruhi asupan zat gizi di antaranya adalah:
1. Jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi seseorang aka
n mempengaruhi jumlah zat gizi yang masuk ke dalam tubuh.
2. Ketersediaan makanan di tingkat rumah tangga akan mempen
garuhi jumlah makanan yang dikonsumsi oleh anggota rumah
tangga.
3. Daya beli keluarga atau kemampuan keluarga untuk membeli
bahan makanan akan mempengaruhi ketersediaan bahan mak
anan di tingkat keluarga atau rumah tangga.
4. Pendapatan keluarga dan harga bahan makanan dapat mempe
ngaruhi kemampuan daya beli keluarga terhadap bahan maka
nan.
5. Jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lain da
pat mempengaruhi pendapatan keluarga.
6. Tingkat pendidikan kepala keluarga dan anggota keluarga lai
n dapat mempengaruhi perolehan kesempatan kerja atau jenis
pekerjaan yang diperoleh.

Pada tingkat masyarakat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi as


upan zat gizi meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Ketersediaan bahan makanan di masyarakat terkait dengan f


luktuasi harga bahan makanan. Bila ketersediaan bahan mak
anan kurang maka harga akan meningkat.
2. Kegagalan produksi bahan makanan terkait dengan kehilang
an pekerjaan bagi buruh tani yang dapat berakibat pada rend
ahnya pendapatan.
3. Persentase penduduk berpendidikan rendah terkait dengan k
esempatan kerja dan jenis pekerjaan yang diperoleh. Makin
banyak penduduk yang berpendidikan rendah maka akan se
makin banyak penduduk yang berpenghasilan rendah.
4. Harga bahan makanan.
5. Persentase penduduk berpenghasilan rendah.
12

6. Persentase penduduk miskin.


7. Rata-rata jumlah anggota keluarga, makin banyak rumah ta
ngga dengan jumlah anggota keluarga yang besar maka sem
akin berat beban penyediaan bahan makanan bagi penduduk.
b. Faktor yang mempengaruhi penyakit infeksi
Sebagaimana faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi, kejadian p
enyakit infeksi juga terdiri dari dua faktor yaitu faktor di tingkat kel
uarga atau rumah tangga dan faktor di tingkat masyarakat.Faktor ya
ng mempengaruhi kejadian penyakit infeksi di tingkat keluarga meli
puti hal-hal sebagai berikut:
1. Kesehatan lingkungan rumah akan berakibat pada rentan tid
aknya terhadap penyakit infeksi anggota keluarga.
2. Hygiene perorangan yang ditunjukkan dengan perilaku Pola
Hidup Bersih dan Sehat akan mempengaruhi kerentanan ind
ividu terhadap kejadian penyakit infeksi.
3. Perilaku menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, beber
apa anggota masyarakat masih menggunakan pelayanan kes
ehatan kepada tenaga bukan kesehatan seperti dukun meski
pun sarana pelayanan kesehatan telah tersedia di wilayah ter
sebut.
4. Keadaan ekonomi keluarga, status ekonomi lemah akan ber
pengaruh kepada cara memilih pelayanan kesehatan apakah
ke dokter, paramedic, atau dukun.
5. Tingkat pendidikan rendah, hal itu terkait dengan masalah e
konomi keluarga yang juga terkait dengan akses ke pelayan
an kesehatan, dan
6. Sumber air minum keluarga, kebutuhan air bersih dari sumb
er yang bersih dan sehat merupakan kebutuhan mutlak kelu
arga agar terhindar dari penyakit infeksi.

Faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit infeksi pada tingkat


masyarakat meliputi hal-hal sebagai berikut:
13

1. Persentase rumah tangga yang memiliki lingkungan rumah


sehat
2. Persentase rumah tangga yang memiliki jamban keluarga
3. Persentase keluarga yang berperilakuhidupbersih dan seha
t
4. .Persentase penduduk yang berpendidikan rendah
5. Persentase penduduk miskin
6. .Ketersediaan tenaga kesehatan
7. .Ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan.

Dari beberapa faktor penyebab terjadinya masalah gizi ada beberap


a yang sama antara faktor yang menyebabkan terjadinya asupan zat
gizi dengan faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit infeksi.
Artinya satu faktor penyebab dapat berakibat pada dua keadaan yait
u rendahnya asupan zat gizi dan/atau kejadian penyakit infeksi, sep
erti tingkat pendidikan, status ekonomi, dan pendapatan keluarga.

E. Pedoman Pemantaun
Pemantauan adalah salah satu fungsi penting dalam pelaksanaan
kegiatan ini untuk mengetahui permasalahan saat pelaksanaan kegiatan
sehingga dapat segera dilakukan upaya pemecahan masalah. Kegiatan
pemantauan pemberian kapsul vitamin A dilakukan di posyandu dan
puskesmas dengan melakukan supervisi dan mencatat hasil pemantauan
kegiatan. Ada 3 alat pemantauan yang digunakan dalam kegiatan ini:
1. Daftar/checklist supervisi sebelum pelaksanaan untuk memantau
persiapan pelaksanaan
2. Daftar/checklist supervisi saat pelaksanaan yang sedang berlangsung,
mengidentifikasi kendala di lapangan serta menentukan langkah tindak
lanjut yang harus segera dilakukan.
3. RCA (Rapid Convenient Assesment) atau penilaian cepat setelah
kegiatan dilakukan untuk mengetahui apakah seluruh sasaran pada
daerah tersebut sudah diimunisasi sekaligus sebagai upaya validasi
cakupan crash program yang dilaporkan.
F. Mekanisme Pencatatan dan Pelaporan
14

Pencatatan dan pelaporan bertujuan untuk mencatat dan melaporkan has


il pelaksanaan surveilans gizi secara berjenjang. Pengelola kegiatan gizi atau t
enaga surveilans gizi di dinas kesehatan kabupaten/Kota merekap laporan pel
aksanaan surveilans gizi dari puskesmas/kecamatan, rumah sakit dan masya
rakat/media kemudian melaporkan ke dinas kesehatan provinsi dan Direktorat
Bina Gizi Masyarakat
Laporan rekapitulasi cakupan pemberian ASI Eksklusif 0-6 bulan, pem
berian kapsul vitamin A pada balita dan konsumsi garam beryodium di tingka
t rumah tangga disampaikan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Bi
na Gizi Masyarakat setiap 6 bulan (Maret dan September). Laporan dapat disa
jikan dalam bentuk narasi, tabel, grafik, dan peta atau bentuk penyajian infor
masi lainnya. Berikut adalah beberapa contoh penyajian data dalam bentuk ta
bel, grafik, dan peta.
Contoh Tabel 1.1 Cakupan Distribusi Kapsul Vitamin A Balita Usia 60—59 b
ulan di Kabupaten “X” bulan Februari dan Agustus.

Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2016


15

Berikut adalah contoh penyajian data dengan grafik Cakupan Distribusi Kaps
ul Vitamin A Balita Usia 6—59 bulan di Kabupaten ”X” bulan Februari dan
Agustus Tahun 2011 yang terdiri dari 12 kecamatan atau puskesmas.

Gambar 1.1 Cakupan Distribusi Kapsul Vitamin A


Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2016

Gambar 1.1 Cakupan Distribusi Kapsul Vitamin A Balita Usia 6—59 b


ulan di Kabupaten “X” bulan Februari dan Agustus tahun 2011. Berdasarkan
contoh pada table dan grafik di atas dapat dilihat cakupan distribusi kapsul vit
amin A di Kabupaten “X” pada umumnya meningkat dari 75% pada bulan Fe
bruari menjadi 83% pada bulan Agustus. Namun ada beberapa wilayah puske
smas yang cakupan distribusinya pada bulan Agustus lebih rendah daripada b
ulan Februari seperti Puskesmas Tenjolaya, Tirtamulya, dan Sukamaju (gamb
ar 1) atau Puskesmas B, J, dan K dalam tabel 1.1. Untuk kepentingan disemi
nasi hasil surveilans gizi penyajian informasi juga dapat berupa tabel yang me
mperlihatkan pencapaian dua indikator yang saling terkait, baik antar indikato
r gizi maupun indikator gizi dengan indikator program terkait lainnya seperti t
erlihat dalam tabel contoh 2 berikut ini.
Contoh :
Tabel 1.2. Cakupan Distribusi Kapsul Vitamin A dan Penimbangan (D/S) di
Kabupaten “X” tahun 2011
16

Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2016

Untuk lebih memperlihatkan “hubungan” dua indikator tersebut data cakupan


vitamin A dan cakupan D/S dapat disajikan dalam bentuk kuadran kedua indi
kator tersebut seperti pada Gambar 1.2 berikut.
17

Gambar 1.2 
Distribusi Puskesmas menurut Kuadran Pencapaian D/S terhadap Cakupan
Vitamin A di Kabupaten “X” Tahun 2011
Sumber : Kementerian Kesehatan RI, 2016

Keterangan Gambar:
Kuadran I
1. Puskesmas dengan cakupan D/S tinggi (>70%) dan cakupan vitamin
A tinggi (>78%).
2. Terdapat tiga puskesmas di kuadran I yang menunjukkan adanya
keterpaduan penimbangan balita dan pemberian kapsul vitamin A di
posyandu.
Kuadran II
1. Puskesmas dengancakupan vitamin A tinggi (>78%) tetapi cakupan
D/S rendah (<70%).
2. Terdapat tiga puskesmas di kuadran II yang menunjukkan
kemungkinan aktivitas sweeping lebih tinggi dan kurang
memanfaatkan kegiatan pemberian kapsul vitamin A di posyandu.
Kuadran III
1. Puskesmas dengan cakupan vitamin A rendah (<78%) tetapi cakupan
D/S tinggi (>70%).
2. Terdapat tiga puskesmas di kuadran III, hal itu menunjukkan dua
kemungkinan pertama perlu diklarifikasi apakah terjadi keterbatasan
persediaan kapsul vitamin A sehingga balita yang sudah datang ke
posyandu tidak mendapat vitamin A. kemungkinan kedua adalah jika
18

ketersediaan vitamin A cukup berarti pemberian kapsul vitamin A


tidak terpadu dengan kegiatan penimbangan balita di posyandu.
Kuadran IV
1. Puskesmas dengan cakupan kapsul vitamin A rendah (<78%) dan D/S
juga rendah (<70%).
2. Terdapat tiga puskesmas di kuadran IV yang memerlukan
pendampingan dan pembinaan kepada pengelola kegiatan gizi di
puskesmas. Dari contoh grafik di atas puskesmas pada kuadran IV
perlu mendapat prioritas pembinaan.
Laporan hasil surveilans gizi dapat juga dalam bentuk diagram peta
sehingga lebih memperlihatkan wilayah mana yang sudah tercapai targetnya
dan yang belum. Untuk membuat laporan dengan menyajikan data berupa
grafik peta perlu dibuat dulu dalam bentuk tabel. Contoh penyajian informasi
dalam bentuk peta dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Alur Pelaporan :
Laporan hasil surveilans gizi disampaikan secara berjenjang. Laporan
kegiatan surveilans gizi di tingkat kabupaten/kota disampaikan ke Dinas
Kesehatan Provinsi dan Direktorat Gizi Masyarakat sesuai dengan frekuensi
pelaporan.
Dinas Kesehatan Provinsi melaporkan hasil surveilans gizi ke
Direktorat Gizi Masyarakat sesuai dengan frekuensi pelaporan. Umpan balik
hasil kegiatan surveilans gizi disampaikan secara berjenjang dari pusat ke
provinsi setiap tiga bulan. Umpan balik dari provinsi ke kabupaten/kota dan
dari kabupaten/kota ke puskesmas sesuai dengan frekuensi pelaporan pada
setiap bulan berikutnya. Mekanisme dan alur pelaporan, umpan balik serta
koordinasi pelaksanaan surveilans gizi digambarkan sebagai berikut.
19

Gambar 1.3 Alur Pelaporan dan Umpan Balik serta Koordinasi


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dapat diambil simpulan sebagai berikut:
Surveilans adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus dan
sistematik dalam bentuk pengumpulan data, analisis data, interpretasi data da
n diseminasi informasi hasil interpretasi data bagi mereka yang membutuhkan.
Pengertian surveilans epidemiologi yaitu kegiatan untuk memonitor frekuens
i dan distribusi penyakit di masyarakat. Frekuensi penyakit adalah jumlah ora
ng yang menderita suatu penyakit didalam suatu populasi, sedangkan distribu
si penyakit adalah siapa saja yang menderita dilihat dari berbagai karakteristi
k, baik umur, jenis kelamin, lokasi kejadian dan waktu terjadinya penyakit ter
sebut.
Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama.
Kekurangan vitamin A (KVA) merupakan kondisi gangguan kesehatan akibat
tidak terpenuhinya kebutuhan vitamin A di dalam tubuh. KVA termasuk defis
iensi mikronutrien yang paling banyak terjadi pada anak-anak di berbagai bel
ahan dunia, terutama yang tinggal di negara berkembang. KVA sangat
berhubungan dengan tingkat infeksi terutama pada balita yang nantinya juga
sangat berpengaruh pada status gizi, status kesehatan, angka morbiditas dan
mortalitas balita.
Sumber data dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Data yang dicatat
belum lama berselang atau tersedia secara potensial dalam rangka sistem
pengumpulan yang sedang dilaksanakan. b. Data tambahan/baru yang didapat
melalui dinas-dinas yang ada (dinas pertanian, kesehatan, pendidikan, dan
sebagainya).
Faktor yang mempengaruhi asupan zat gizi dan penyakit infeksi terbagi dala
m dua kelompok yaitu faktor di tingkat rumah tangga atau keluarga dan fakto
r di tingkat masyarakat. Dari beberapa faktor penyebab terjadinya masalah giz
i ada beberapa yang sama antara faktor yang menyebabkan terjadinya asupan
zat gizi dengan faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit infeksi. Artinya
satu faktor penyebab dapat berakibat pada dua keadaan yaitu rendahnya asupa

20
21

n zat gizi dan/atau kejadian penyakit infeksi, seperti tingkat pendidikan, status
ekonomi, dan pendapatan keluarga.
Kegiatan pemantauan pemberian kapsul vitamin A dilakukan di posyandu dan
puskesmas dengan melakukan supervisi dan mencatat hasil pemantauan
kegiatan. Ada 3 alat pemantauan yang digunakan dalam kegiatan ini yaitu
Daftar/checklist supervisi sebelum pelaksanaan, daftar/checklist supervisi saat
pelaksanaan dan RCA (Rapid Convenient Assesment) atau penilaian cepat. L
aporan rekapitulasi cakupan pemberian ASI Eksklusif 0-6 bulan, pemberian k
apsul vitamin A pada balita dan konsumsi garam beryodium di tingkat rumah
tangga disampaikan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktorat Bina Gizi M
asyarakat setiap 6 bulan (Maret dan September).
B. Saran
C.
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI. (2016). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Bulan Kapsul


Vitamin A Terintegrasi Program Kecacingan dan Crash Program
Campak. Jakarta.
Maryuningsih, D R., Nurtama, B., Wulandari, N. 2021. Pemanfaatan Karotenoid
Minyak Sawit Merah untuk Mendukung Penanggulangan Masalah Kek
urangan Vitamin A di Indonesia. PANGAN, Vol. 30 No. 1 April 2021 :
65 – 74
Zulfi, A Z., Rachmat, M. 2017. Surveilans Gizi. Kemenkes RI. Pusat Pendidikan
Sumber Daya Manusia Kesehatan. Badan Pengembangan dan Pember
dayaan Sumber Daya Manusia .Kesehatan Edisi 2017

22

Anda mungkin juga menyukai