Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH GIZI DAN DIET

“CACINGAN DAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN (KKP)”

DOSEN PEMBIMBING :

Wiradianto Putro, S.KEP.MPH

Disusun Oleh:

DEO RAMAWIN 191101012

DEVFY ANGGRAINI 191101014

HEVI NATASYA TRIANA 191101031

LUKMAN MULIA RAMADHAN 191101038

NURUL ANNISA RAMADHANTI 191101050

VIDA ROLANDA 191101079

YULI HIDAYATI 191101087

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PONTIANAK

JURUSAN KEPERAWATAN SINGKAWANG

PRODI D-III KEPERAWATAN

TAHUN 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, kami sebagai penyusun dari makalah GIZI DAN DIET yang berjudul
“PENYAKIT CACINGAN DAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN” dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat.
Pada makalah ini saya akan membahas pemenuhan tugas online mata kuliah
GIZI DAN DIET dengen materi PENYAKIT CACINGAN DAN KEKURANGAN
KALORI PROTEIN. Makalah ini disusun sebagai bukti pertanggung jawaban
penyusun atas tugas yang telah diberikan oleh dosen mata kuliah.
Kami sebagai penyusun sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna dan banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun dari pembaca sangat saya harapkan demi perbaikan pada
penyusunan makalah ini, sehingga dapat menjadi makalah yang sempurna.
Akhirnya penyusun berharap semoga makalah ini dapat hadir ditengah-tengah
para pembaca sebagai bahan acuan bermakna, guna meningkatkan pemahaman
tentang gangguan pemenuhan kebutuhan aktivitas.

Singkawang, Mei 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................iii

BAB I.............................................................................................................................1

PENDAHULUAN.........................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG MASALAH...................................................................1

B. RUMUSAN MASALAH...................................................................................2

C. TUJUAN MASALAH........................................................................................2

BAB II...........................................................................................................................3

PEMBAHASAN............................................................................................................3

A. PENGERTIAN CACINGAN.............................................................................3

B. PENCEGAHAN CACINGAN...........................................................................4

1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)...........................................................4

2. Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk )............................................................6

3. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang).........7

C. PENANGANAN CACINGAN..........................................................................9

D. PENGERTIAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN....................................9

E. PENCEGAHAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN................................10

F. PENANGANAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN...............................10

BAB III........................................................................................................................12

PENUTUP...................................................................................................................12

A. KESIMPULAN................................................................................................12

B. SARAN.............................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Kecacingan adalah masalah kesehatan yang masih banyak ditemukan.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 1,5 miliar
orang atau 24% dari populasi dunia terinfeksi Soil Transmitted Helminths (STH).
Infeksi tersebar luas di daerah tropis dan subtropis, dengan jumlah terbesar
terjadi di sub-Sahara Afrika, Amerika, Cina dan Asia Timur (WHO, 2013). Di
Indonesia sendiri prevalensi kecacingan di beberapa kabupaten dan kota pada
tahun 2012 menunjukkan angka diatas 20% dengan prevalensi tertinggi di salah
satu kabupaten mencapai 76,67% (Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI,
2013).
Banyak dampak yang dapat ditimbulkan akibat infeksi cacing. Cacingan
mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaan (digestif), penyerapan (absorbsi),
dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi cacing dapat menimbulkan
kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta kehilangan darah. Selain dapat
menghambat perkembangan fisik, kecerdasan dan produktifitas kerja, dapat
menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Menteri
Kesehatan RI, 2006).
Protein merupakan senyawa polimer yang terbentuk dari monomer-monomer
asam amino yang dihubungkan langsung oleh ikatan peptida antara asam amimo
satu dengan asam amino lainnya. Asam amino tersusun dari unsur C, H, O N,
dan kadang-kadang S serta P. Protein merupakan komponen yang sangat penting
dalam proses metabolisme darah. Protein termasuk makromolekul penyusun
bagian terbesar tubuh setelah air, yaitu seperlima bagian tubuh.Protein dapat kita
peroleh dari hewan (protein hewani) maupun tumbuhan (protein nabati). Sumber
protein hewani antara lain ikan, daging, susu, dan telur, sedangkan sumber
protein nabati antara lain padi-padian, kacang-kacangan, dan sayuran.
Pada intinya tubuh kita membutuhkan gizi protein yang cukup untuk
beraktivitas.Rata-rata standar kecukupan gizi sehari adalah 45 gram.Tingkat
kebutuhan protein dipengaruhi oleh bobot dan ukuran badan, umur, jenis
kelamin, penyakit, satuan gizi makan, kondisi tubuh, sifat protein yang dimakan,
masa kehamilan, dan status emosional. Bila tubuh kekurangan atau kelebihan
protein maka akan mengalami gangguan kesehatan kemudian menjadi penyakit
kekurangan atau kelebihan protein. Umumnya hal ini disebabkan oleh pola
makan yang tidak sehat.Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat

1
sosial ekonomi rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat
menyebabkan Kwasiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun (balita).
Setidaknya ada 4 faktor yang melatarbelakangi penyakit kurang kalori protein
(KKP), yaitu: masalah sosial, ekonomi, biologi, dan lingkungan. Kemiskinan,
salah satu determinan sosial-ekonomi, merupakan akar ketiadaan pangan, tempat
mukim yang berjejalan, kumuh, dan tidak sehat serta ketidakmampuan
mengakses fasilitas kesehatan.Komponen biologi yang menjadi latar belakang
KKP, antara lain, malnutrisi, penyakit infeksi, serta diet rendah energi dan
protein.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas maka dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan cacingan?
2. Bagaimana pencegahan cacingan?
3. Bagaimana penanganan cacingan?
4. Apa pengertian kekurangan kalori protein?
5. Bagaimana pencegahan kekurangan kalori protein?
6. Bagaimana penanganan kekurangan kalori protein?
C. TUJUAN MASALAH
Dari rumusan masalah diatas maka dapat disimpulkan tujuan masalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian cacingan
2. Untuk memahami pencegahan cacingan
3. Untuk mempelajari penanganan cacingan
4. Untuk memahami pengertian kekurangan kalori protein
5. Untuk mengetahui pencegahan kekurangan kalori protein
6. Untuk mempelajari penanganan kekurangan kalori protein

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN CACINGAN
Penyakit cacingan merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing
yang hidup sebagai parasit didalam tubuh manusia. Seseorang dapat terinfeksi
penyakit kecacingan ketika telur, atau larva masuk ke dalam tubuh, menjadi
cacing dewasa dan bertelur didalam tubuh. Seseorang dapat dengan mudah
terinfeksi oleh cacing ketika hidup dalam lingkungan yang tidak bersih, memiliki
sanitasi yang buruk, dan kebiasaan yang tidak higienis. Definisi infeksi
kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi satu atau lebih cacing
parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus.
Penyakit cacingan merupakan salah satu masalah terbesar yang berdampak
pada jutaan anak sekolah dasar. Cacing parasit tersebut mengonsumsi nutrisi
anak yang di inanginya, yang bisa menyebabkan malnutrisi atau keterlambatan
dalam tumbuh dan berkembang. Cacing parasit juga dapat merusak jaringan
organ tubuh ditempat yang ditinggali, yang mana dapat menyebabkan sakit perut,
diare, obstruksi usus, anemia, ulcer, dan masalah kesehatan lainnya. Masalah
tersebut bisa berdampak pada pembelajaran anak dan memperlambat
perkembangan kognitifnya, yang berujung memiliki performa yang buruk dalam
penerimaan pelajaran di sekolah. Tidak jarang juga jika infeksi menahun dan
berat dapat berakibat kematian, jika penanganan tidak dilakukan dengan cepat.
Sangat perlu diperhatikan bahwa stunting pada anak yang diakibatkan oleh
penyakit cacingan tidak dapat dideteksi dengan mudah karena gejala memburuk
berangsur pada waktu yang semakin lama dan sering diremehkan oleh
masyarakat. Penyakit cacingan dapat merusak kenyamanan dan potensi belajar
dari jutaan anak di berbagai negara berkembang.
Penyakit cacingan dapat dibedakan dari penyebab infeksi lainnya seperti
bakteri dan virus. Mengetahui perbedaan ciri-ciri gejala tersebut dapat
memudahkan dan membuat tenaga kesehatan dapat mengobati secara efektif.
Diantaranya, yaitu:
1. Cacing usus dewasa tidak dapat menginfeksi manusia secara langsung,
melainkan telur atau larva yang masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau
masuk melewati mulut, tergantung dari spesies.
2. Cacing usus berangsur-angsur bertambah banyak di dalam tubuh inangnya
seiring bertambahnya waktu. Jadi onset dari penyakit ini berjalan pelan dan

3
sering tidak terdeteksi. Ketika seseorang yang terinfeksi cacing mencapai
tingkatan sedang ke berat, gejala dari penyakit kronik akan muncul.
3. Keparahan dari penyakit yang disebabkan oleh cacing usus tergantung dari
jumlah cacing didalam tubuh, dan umur seseorang yang terinfeksi.
4. Ada beberapat obat yang dapat membunuh beberapa spesies dari cacing usus
dengan menggunakan single dose. Terinfeksi ulang juga sering terjadi.
Karena hanya dengan perawatan obat tanpa memperbaiki sanitasi dan
kebersihan lingkungan pasien tidak akan memutus penyebaran penyakit
cacingan.
5. Penyakit cacingan tidak tersebar dengan rata di dalam suatu komunitas.
Sebagai contoh, dari semua kecacingan yang berjumlah 70 persen, mungkin
hanya terdeteksi 30 persen dari suatu komunitas.
B. PENCEGAHAN CACINGAN
1. Mencuci Tangan Sebelum Makan
Penularan cacing dapat terjadi secara oral, maka sebagai
pencegahannya menghindari tangan dalam keadaan kotor, karena
kemungkinan adanya kontaminasi telur-telur cacing, dan membiasakan
mencuci tangan sebelum makan.
2. Memasak Sayur-Sayuran Terlebih Dahulu
Menghindarkan sayur-sayuran yang mentah yang tidak dimasak
terlebih dahulu dan jangan membiarkan makanan terbuka begitu saja,
sehingga debu-debu yang berterbangan dapat mengkotaminasi makanan
tersebut ataupun dihinggapi serangga yang membawa telur-telur tersebut.
3. Mengadakan Penyaluran Pembuangan Feses Yang Teratur
Untuk menekan volume dan lokasi aliran telur-telur melalui feses ke
tanah dan dari tanah kembali melalui berbagai jalan ke penduduk, maka
pencegahannya dengan mengadakan penyaluran pembuangan feses yang
teratur dan sesuai dengan syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan
kesehatan dan tidak boleh mengotori air permukaan, untuk mencegah agar
tanah tidak terkontaminasi telur-telur cacing.
4. Minum Obat Cacing
Pencegahan dengan meminum obat anti cacing setiap 6 bulan,
terutama yang beresiko tinggi terkena infeksi cacing ini, seperti petani, anak-
anak sering bermain pasir, pekerja kebun, dan pekerja tambang (orang-orang
yang terlalu sering berhubungan dengan tanah.
Pencegahan cacingan ini dapat terbagi menjadi berbagai pencegahan sesuai
dengan jenis cacing tersebut. Beberapa jenis cacing yang sering menyebabkan
infeksi kecacingan :
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

4
a) Morfologi
Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara Nematoda
lainnya. Cacing betina memiliki ukuran besar dan panjang. Manusia
merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-
30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm, kadang-kadang sampai 39 cm
dengan diameter 3-6 mm. Pada stadium dewasa hidup di rongga usus
halus, cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari,
terdiri dari telur yang dibuahi dan telur yang tidak dibuahi.
Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi tumbuh menjadi
bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Ascaris lumbricoides
memiliki 4 macam telur yang dapat dijumpai dalam feses yaitu telur fertil
(telur yang dibuahi), infertil (telur yang tidak dibuahi), decorticated (telur
yang sudah dibuahi tetapi kehilangan lapisan albuminnya) dan telur
infektif (telur yang megandung larva) (Prianto et al., 2006).
b) Siklus hidup
1) Cacing dewasa hidup di saluran usus halus, seekor cacing betina
mampu menghasilkan telur sampai 240.000 perhari yang akan keluar
bersama feses.
2) Telur yang sudah dibuahi mengandung embrio dan menjadi infective
setelah18 hari sampai beberpa minggu di tanah.
3) Tergantung pada kondisi lingkungan (kondisi optimum, lembab,
hangat, tempat teduh).
4) Telur infektif tertelan.
5) Masuk ke usus halus dan menetas mengeluarkan larva yang kemudian
menembus mucosa usus, masuk kelemjar getah bening dan aliran
darah dan terbawa sampai ke paru-paru.
6) Larva mengalami pendewasaan di dalam paru-paru (10-14),
menembus dinding alveoli, naik ke saluran pernafasan dan akhirnya
terlelan kembali. Ketika mencapai usus halus, larva tumbuh menjadi
cacing dewasa. Waktu yang diperlukan mulai tertelan telur infeksi
sampai menjadi cacing dewasa sekitar 2-3 bulan. Cacing dewasa
dapat hidup 1 sampai 2 tahun dalam tubuh (O’lorcain, 2006).
c) Patogenesis
Patogenesis berkaitan dengan jumlah organisme yang menginvasi,
sensitifitas individu, bentuk perkembangan cacing, migrasi larva dan
status nutrisi individu. Migrasi larva dapat menyebabkan eosinophilia dan
kadang-kadang reaksi alergi. Bentuk dewasa dapat menyebabkan
kerusakan pada organ akibat invasinya dan mengakibatkan patogenesis
yang lebih berat (Soedarmo, 2010).

5
d) Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang dapat muncul akibat infeksi dari cacing Ascaris
lumbricoides antara lain rasa tidak enak pada perut, diare, nausea,
vomiting, berat badan menurun dan malnutrisi. Bolus yang dihasilkan
oleh cacing dapat menyebabkan obstruksi intestinal, sedangkan larva
yang migrasi dapat menyebabkan pneumonia dan eosinophilia
(Soedarmo, 2010).
e) Epidemiologi
Infeksi yang disebabkan oleh cacing A. lumbricoides disebut
Ascariasis. Di Indonesia kejadian Ascariasis tinggi, frekuensinya antara
60% sampai 90% terutama terjadi pada anak-anak. A. lumbricoides
banyak terjadi pada daerah iklim tropis dan subtropis khususnya negara-
negara berkembang seperti Asia dan Afrika (Soedarmo, 2010).
f) Diagnosis
Diagonsis dapat ditegakkan dengan mengidentifikasi adanya telur pada
feses dan kadang dapat dijumpai cacing dewasa keluar bersama feses,
muntahan ataupun melalui pemeriksaan radiologi dengan kontras barium
(Soedarmo, 2010).
g) Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana
pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan
dengan tanah yaitu dengan cara cuci bersih tangan sebelum makan dan
sesudah makan, mencuci sayur-sayuran dan buah-buahan yang ingin
dimakan, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati
penderita (Soedarmo, 2010).
2. Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk )
a) Morfologi
Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cacing
dewasa berbentuk cambuk dengan 2/5 bagian posterior tubuhnya tebal
dan 3/5 bagian anterior lebih kecil. Cacing jantan memiliki ukuran lebih
pendek (3-4cm) daripada betina dengan ujung posterior yang melengkung
ke ventral. Cacing betina memiliki ukuran 4-5 cm dengan ujung posterior
yang membulat. Memiliki bentuk oesophagus yang khas (Schistosoma
oesophagus). Telur berukuran 30-54 x 23 mikron dengan bentukan yang
khas lonjong seperti tong (barrel shape) dengan dua mucoid plug pada
kedua ujung yang berwarna transparan (Prianto et al., 2006).
Cara infeksi adalah telur yang berisi embrio tertelan manusia, larva
aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi dewasa
dan menetap. Telur yang infektif akan menjadi larva di usus halus pada

6
manusia. Larva menembus dinding usuu halus menuju pembuluh darah
atau saluran limpa kemudian terbawa oleh darah sampai ke jantung
menuju paru-paru Onggowaluyo, 2002).
b) Manifestasi Klinik
Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama
terjadi karena kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons
alergi. Keadaan ini erat hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi,
umur dan status kesehatan umum dari hospes (penderita). Gejala yang
ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala pada infeksi
ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit
perut, mual dan berat badan turun (Onggowaluyo, 2002).
c) Epidemiologi
Penyebaran geografis T. trichuira sama A. lumbricoides sehingga
seringkali kedua cacing ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes.
Frekuensinya di Indonesia tinggi, terutama di daerah pedesaan,
frekuensinya antara 30%-90%. Angka infeksi tertinggi ditemukan pada
anak–anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trikuriasis adalah
kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur
berkembang baik pada tanah liat, lembab dan teduh (Onggowaluyo,
2002).
d) Patogenesis
Cacing dewasa lebih banyak ditemukan di caecum tetapi dapat juga
berkoloni di dalam usus besar. Cacing ini dapat menyebabkan inflamasi,
infiltrasi dan kehilangan darah (anemia). Pada infeksi yang parah dapat
menyebabkan rectal prolapse dan defisiensi nutrisi (Soedarmo, 2010).
e) Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan memperbaiki cara dan sarana
pembuangan feses, mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan
dengan tanah yaitu dengan cara cuci bersih tangan sebelum makan dan
sesudah makan, mencuci sayur-sayuran dan buah-buahan yang ingin
dimakan, menghindari pemakaian feses sebagai pupuk dan mengobati
penderita (Soedarmo, 2010).
3. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)
Terdapat dua spesies hookworm yang sangat sering menginfeksi
manusia yaitu: “The Old World Hookworm” yaitu Ancylostoma duodenale
dan “The New World Hookworm” yaitu Necator americanus (Hotez, 2004).
a) Morfologi
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, cacing melekat
pada mukosa usus dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan

7
baik. Cacing ini berbentuk silindris dan berwarna putih keabuan. Cacing
dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm sedangkan betina berukuran 10
sampai 13 mm. Cacing N.americanus betina dapat bertelur ±9000
butir/hari sedangkan cacing A.duodenale betina dapat bertelur ±10.000
butir/hari. Bentuk badan N.americanus biasanya menyerupai huruf S
sedangkan A.duodenale menyerupai huruf C. Rongga mulut kedua jenis
cacing ini besar. N.americanus berbentuk seperti plat dari kitin (mirip
keratin penyusun kuku), sedangkan pada A.duodenale terdapat dua
pasang gigi ( Safar, 2010).
Infeksi pada manusia dapat terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva
yang ada di tanah. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur
sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan
kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan di
dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai
dari keluarnya telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah,
telur tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3
hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit
dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah ( Safar, 2010).
Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke
paruparu. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus
lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk, larva ikut tertelan dan masuk ke
dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Siklus hidup
Larva cacing tambang pada suhu hangat dan lembab mengalami
pertumbuhan dalam 3 tahap. Pada tahap ahir, larva-larva ini akan naik ke
permukaan tanah. Dengan bentuk tubuh yang runcing di bagian atas,
larva ini akan masuk menembus kulit dan ikut ke dalam aliran darah
sampai ke organ hati. Melalui pembuluh darah larva ini akan terbawa ke
paru-paru. Larva cacing tambang kemudian bermigrasi ke bagian
kerongkongan dan kemudian tertelan. Larva kemudian menuju usus halus
dan menjadi dewasa dengan menghisap darah penderita. Cacing tambang
bertelur di usus halus yang kemudian dikeluarkan bersama dengan feses
ke alam dan akan menyebar kemana-mana (Gracia, 2006).
b) Manifestasi Klinis
Gambaran klinis walaupun tidak khas, tidak cukup mendukung untuk
memastikan untuk dapat membedakan dengan anemia karena defisiensi
makanan atau karena infeksi cacing lainnya. Secara praktis telur cacing
Ancylostoma duodenale tidak dapat dibedakan dengan telur Necator
americanus. Untuk membedakan kedua spesies ini biasanya dilakukan
tekhnik pembiakan larva (Onggowaluyo, 2002). Larva cacing tambang

8
kemudian bermigrasi ke bagian kerongkongan dan kemudian tertelan.
Larva kemudian menuju usus halus dan menjadi dewasa dengan
menghisap darah penderita. Cacing tambang bertelur di usus halus yang
kemudian dikeluarkan bersama dengan feses ke alam dan akan menyebar
kemanamana (Gracia, 2006).
c) Patogenesis
Larva cacing menembus kulit akan menyebabkan reaksi erythematous.
Larva di paru-paru akan menyebabkan perdarahan, eosinophilia, dan
pneumonia. Kehilangan banyak darah dapat menyebabkan anemia
(Soedarmo, 2010).
d) Epidemiologi
Hookworm menyebabkan infeksi pada lebih dari 900 juta orang dan
mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 7 Liter. Cacing ini ditemukan
di daerah tropis dan subtropis. Kondisi yang optimal untuk daya tahan
larva adalah kelembaban sedang dengan suhu berkisar 23°-33°C.
Kejadian infeksi cacing ini terjadi pada anak-anak (Soedarmo, 2010).
e) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan memutus rantai lingkaran hidup
cacing sehingga dapat mencegah perkembangannya menjadi larva
infektif, mengobati penderita, memperbaiki cara dan sarana pembuangan
feses dan memakai alas kaki (Soedarmo, 2010).
C. PENANGANAN CACINGAN
PROMOSI KESEHATAN
Kegiatan promosi kesehatan sebagaimana dimaksud , dilaksanakan dengan
strategi advokasi, pemberdayaan masyarakat, dan kemitraan, yang ditujukan
untuk:
a. meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang tanda dan gejala Cacingan
serta cara penularan dan pencegahannya;
b. meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat guna memelihara kesehatan
dengan cara: - 1. cuci tangan pakai sabun; 2. menggunakan air bersih untuk
keperluan rumah tangga; 3. menjaga kebersihan dan keamanan makanan; 4.
menggunakan jamban sehat; dan 5. mengupayakan kondisi lingkungan yang
sehat;
c. meningkatkan perilaku mengkonsumsi obat cacing secara rutin terutama bagi
anak balita dan anak usia sekolah; dan
d. meningkatkan koordinasi institusi dan lembaga serta sumber daya untuk
terselenggaranya reduksi Cacingan.

9
SURVEILANS CACINGAN
Surveilans Cacingan dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap data yang
dikumpulkan melalui:
a. penemuan kasus Cacingan; Penemuan kasus dilakukan secara aktif dan
pasif .Penemuan kasus Cacingan secara dilaksanakan melalui pendekatan keluarga
/penjaringan anak sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Penemuan kasus Cacingan
secara pasif dilaksanakan melalui laporan pasien yang berobat di fasilitas pelayanan
kesehatan.
b. survei faktor risiko . Survei faktor risiko dilaksanakan dengan menggunakan
kuesioner terstruktur kepada anak sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah
c. survei prevalensi Cacingan. Survei prevalensi Cacingan dilaksanakan melalui
pemeriksaan tinja secara terpilih (sampling) pada anak sekolah dasar atau madrasah
ibtidaiyah

PENGENDALIAN FAKTOR RESIKO


Pengendalian faktor risiko dilakukan melalui kegiatan: menjaga kebersihan
perorangan; dan menjaga kebersihan lingkungan.

PENANGANAN PENDERITA
Penanganan Penderita dilakukan melalui:
a. pengobatan Penderita;
b. penanganan komplikasi Cacingan; dan
c. konseling kepada Penderita dan keluarga. (2)
Penanganan dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan.

POPM CACINGAN
POPM Cacingan ditujukan untuk menurunkan prevalensi Cacingan pada daerah
kabupaten/kota. Penentuan prevalensi Cacingan pada daerah kabupaten/kota
ditetapkan berdasarkan survei sebagai berikut:
a. prevalensi tinggi apabila prevalensi Cacingan di atas 50% (lima puluh persen);
b. prevalensi sedang apabila prevalensi Cacingan 20% (dua puluh persen) sampai
dengan 50% (lima puluh persen); dan
c. prevalensi rendah apabila prevalensi Cacingan dibawah 20% (dua puluh persen

POPM Cacingan dilakukan pada anak balita, anak usia pra sekolah, dan anak usia
sekolah di daerah kabupaten/kota dengan prevalensi tinggi dan sedang.Dalam hal
daerah kabupaten/kota dengan prevalensi rendah dilakukan pengobatan secara selektif

10
POPM Cacingan dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan:
a. bulan vitamin A;
b. pemberian makanan tambahan anak balita, anak usia pra sekolah, dan anak usia
sekolah;
c. usaha kesehatan sekolah; dan/atau
d. program kesehatan lain.
POPM Cacingan dilaksanakan dua kali dalam 1 (satu) tahun untuk daerah
kabupaten/kota dengan prevalensi tinggi dan satu kali dalam 1 (satu) tahun untuk
daerah kabupaten/kota dengan prevalensi sedang. Pelaksanaan POPM Cacingan wajib
dilakukan secara terus menerus sampai terjadi penurunan prevalensi di bawah 10%
(sepuluh persen). Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah
Daerah kabupaten/kota melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan POPM
Cacingan. Pemantauan dilakukan setiap tahun terhadap pelaksanaan POPM Cacingan.
Evaluasi dilakukan setelah 5 (lima) tahun berturut-turut pelaksanaan POPM

PENGERTIAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN


Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang
kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan
protein kurang dalam waktu yang cukup lama (Ngastiyah, 1997). Kurang kalori
protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan adanya
defisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi
protein maupun energi (Sediatoema, 1999).
Protein merupakan suatu senyawa polimer yang dibentuk dari monomer-
monomer asam amino yang dihubungkan oleh ikatan peptida antara asam amino
satu dengan yang lainnya.Sifat dari berbagai macam protein tergantung pada
jumlah asam amino yang menyusunnya, disamping itu juga dipengaruhi oleh
rantai samping dari masing-masing asam amino. Protein adalah senyawa organik
yang banyak dijumpai kalam semua makhluk hidup.
Setiap sel yang hidup tersusun oleh protein.Protein merupakan bahan
pembangun tubuh yang utama.Protein tersusun atas senyawa organic yang
mengandung unsur-unsur karbon, hydrogen, oksigen, dan nitrogen.Unsur
nitrogen (N) adalah ciri protein yang membedakan dari karbohidrat dan lemak.
Protein merupakan bahan baku sel dan jaringan karena merupakan komponen
penting dari otot, kulit, dan tulang.

11
Berdasarkan gejalanya, KEP dibagi menjadi dua jenis, yaitu KEP ringan dan KEP
berat. Kejadian KEP ringan lebih banyak terjadi di masyarakat, KEP ringan sering terjadi
pada anak-anak pada masa pertumbuhan. Gejala klinis yang muncul diantaranya adalah
pertumbuhan terganggu atau terhenti, kenaikan berat badan berkurang atau terhenti,
ukuran lingkar lengan atas (LILA) menurun, dan maturasi tulang terhambat
KWASHIORKOR
Kwashiorkor adalah keadaan yang diakibatkan oleh kekurangan makanan sumber
protein. Tipe ini banyak dijumpai pada anak usia 1 sampai 3 tahun. Gejala utama
kwashiorkor adalah pertumbuhan terhalang dan badan bengkak, tangan, kaki, serta
ajah tambak sembab dan ototnya kendur. Wajah tampak bengong dan pandangan
kosong, tidak aktif dan sering menangis. Rambut menjadi berwarna lebih terang atau
coklat tembaga. Perut buncit, serta kaki kurus dan bengkok. Karena adanya
pembengkakan, maka tidak terjadi penurunan berat badan, tetapi pertambahan tinggi
terhambat. Lingkar kepala mengalami penurunan. Serum albumin selalu rendah. .
Penderita kwashiorkor diikuti dengan munculnya edema dan terkadang menjadi asites.
Selain itu juga terjadi atrofi otot sehingga penderita terlihat lemah

MARASMUS
Marasmus adalah gejala kelaparan yang hebat karena makanan yang dikonsumsi
tidak menyediakan energi yang cukup untuk mempertahankan hidupnya sehingga
badan menjadi sangat kecil dan tinggal kulit pembalut tulang. Marasmus biasanya
terjadi pada bayi berusia setahun pertama. Hal ini terjadi apabila ibu tidak dapat
menyusui karena produksi ASI sangat rendah atau ibu memutuskan untuk tidak
menyusui bayinya. Tanda-tanda marasmus yaitu: (a) Berat badan sangat rendah, (b)
Kemunduran pertumbuhan otot (atrophi), (c) Wajah anak seperti orang tua (old face),
(d) Ukuran kepala tidak sebanding dengan ukuran tubuh, (e) Cengeng dan apatis
(kesadaran menurun), (f) Mudah terkena penyakit infeksi, (g) Kulit kering dan berlipat-
lipat karena tidak ada jaringan lemak di bawah kulit, (h) Sering diare, (i) Rambut tipis
dan mudah rontok.

Faktor penyebab
Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori maupun protein, yang berarti
kurangnya konsumsi makanan yang mengandung kalori maupun protein, hambatan
utilisasi zat gizi. Adanya penyakit infeksi dan investasi cacing dapat memberikan
hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat-zat gizi yang menjadi dasar timbulnya
KEP. Penyebab langsung KEP dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan KEP yaitu cacar air, batuk rejang,
TBC, malaria, diare, dan cacing, misalnya cacing Ascaris lumbricoides dapat
memberikan hambatan absorbsi dan hambatan utilisasi zat-zat gizi yang dapat

12
menurunkan daya tahan tubuh yang semakin lama dan tidak diperhatikan akan
merupakan dasar timbulnya KEP.
2. Konsumsi makan
KEP sering dijumpai pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun dimana pada usia
tersebut tubuh memerlukan zat gizi yang sangat tinggi, sehingga apabila
kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh akan menggunakan cadangan zat
gizi yang ada di dalam tubuh, yang berakibat semakin lama cadangan semakin
habis dan akan menyebabkan terjadinya kekurangan yang menimbulkan
perubahan pada gejala klinis.
3. Kebutuhan energi
Kebutuhan energi tiap anak berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh metabolisme
basal tubuh, umur, aktivitas, fisik, suhu, lingkungan serta kesehatannya. Energi
yang dibutuhan seseorang tergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis
kelamin, umur, aktivitas fisik, dan kondisi psikologis.
4. Kebutuhan protein
Protein merupakan zat gizi penting karena erat hubungannya dengan
kehidupan.
5. Pengetahuan Ortu
Pengetahuan orangtua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh dan kembang anak, karena dengan pengetahuan yang baik maka
orangtua dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara
pengasuhan anak yang baik. Seorang ibu dengan pengetahuan yang baik akan
dapat merencanakan menu makan yang sehat dan bergizi bagi dirinya dan
keluarganya. Pengetahuan ibu tentang cara memperlakukan bahan pangan
dalam pengolahan dengan tujuan membersihkan kotoran, tetapi sering kali
dilakukan berlebihan sehingga merusak dan mengurangi zat gizi yang
dikandungnya.
6. Tingkat pendapatan dan pekerjaan orangtua
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak,
karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer
seperti makanan maupun yang sekunder. Tingkat pendapatan juga ikut
menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli. Keluarga yang pendapatannya
rendah membelanjakan sebagian besar untuk serealia, sedangkan keluarga
dengan pendapatan yang tinggi cenderung membelanjakan sebagian besar
untuk hasil olah susu. Jadi, penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas
dan kualitas makanan. Antara penghasilan dan gizi jelas ada hubungan yang
menguntungkan. Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan
kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status
gizi yang berlaku hampir universal.
7. Besar anggota keluarga

13
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial ekonominya
cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatian dan kasih sayang yang
diterima anak, lebih-lebih kalau jarak anak terlalu dekat. Adapun pada keluarga
dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang, jumlah anak yang banyak akan
mengakibatkan kurangnya kasih sayang dan perhatian pada anak, juga
kebutuhan primer seperti makanan, sandang, papan tidak terpenuhi.

D. PENCEGAHAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN


Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya kekurangan kalori protein pada
anak usia balita (bawah 5 tahun) menurut Sjahmin M merupakan gabungan dari
beberapa tindakan pencegahan seperti berikut
1. Pemberian air susu ibu (ASI) secara baik dan tetap disertai pengawasan berat
badan bayi secara teratur dan terus-menerus.
2. Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti air
susu sepanjang Ibu masih mampu menghasilkan ASI terutama di bawah usia
6 bulan. Dimulainya pemberian makanan tambahan mengandung berbagai
macam zat gizi (kalori, protein, vitamin, dan mineral) secara lengkap sesuai
dengan kebutuhan mulai bayi mencapai usia 6 bulan.
3. Pemberian kekebalan melalui imunisasi guna melindungi anak dari
kemungkinan menderita penyakit tertentu.
4. Melindungi anak dari kemungkinan menderita diare (muntaber) dan
kekurangan cairan (dehidrasi) dengan jalan menjaga kebersihan
menggunakan air masak untuk minum dan mencuci alat pembuat susu dan
makanan bayi serta penyediaan oralit.
5. Mengatur jarak kehamilan agar ibu cukup waktu untuk merawat dan
mengatur makanan bayi terutama pemberian ASI.
E. PENANGANAN KEKURANGAN KALORI PROTEIN
Penanganan KKP berat Secara garis besar, penanganan KKP berat
dikelompokkan menjadi pengobatan awal dan rehabilitasi. Pengobatan awal
ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, sementara fase
rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi. Upaya pengobatan,
meliputi : Pengobatan/pencegahan terhadap hipoglikemi, hipotermi, dehidrasi.
Pencegahan jika ada ancaman perkembangan renjatan septik Pengobatan infeksi
Pemberian makanan Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain, seperti
kekurangan vitamin, anemia berat dan payah jantung.

14
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Definisi infeksi kecacingan menurut WHO (2011) adalah sebagai infestasi
satu atau lebih cacing parasit usus yang terdiri dari golongan nematoda usus.
Pencegahan cacingan ini dapat terbagi menjadi berbagai pencegahan sesuai
dengan jenis cacing tersebut. Beberapa jenis cacing yang sering menyebabkan
infeksi kecacingan yaitu Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides), Trichuris
trichiura ( Cacing Cambuk ), Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus
(Cacing Tambang). Penanganan cacingan ini yaitu rutin untuk meminum obat
cacing setiap 6 bulan satu dosis yang sesuai dan dianjurkan oleh tenaga medis.
Jika sudah mengetahui terkena cacingan, segera bawa ke dokter agar dapat
diperiksa lebih lanjut kejadian cacingan yang menyerang anggota keluarga.
Sehingga bisa mendapatkan obat cacingan yang diresepkan dan sesuai.
Kekurangan kalori protein adalah defisiensi gizi terjadi pada anak yang
kurang mendapat masukan makanan yang cukup bergizi, atau asupan kalori dan
protein kurang dalam waktu yang cukup lama (Ngastiyah, 1997). Kurang kalori
protein (KKP) adalah suatu penyakit gangguan gizi yang dikarenakan adanya
defisiensi kalori dan protein dengan tekanan yang bervariasi pada defisiensi
protein maupun energi (Sediatoema, 1999).
B. SARAN
Sebaiknya pengobatan diberikan kepada seluruh anggota keluarga untuk
mencegah atau mewaspadai terjadinya cacingan tersebut.  Selama masa
pengobatan hindari penularan cacingan ke anggota keluarga lain dengan cara
mencuci tangan dengan sabun setiap habis ke toilet atau sebelum menyentuh
makanan, hindari juga untuk menutup mulut dengan tangan yang belum
dicuci. Menjaga kebersihan diri adalah salah satu kunci untuk mencegah
timbulnya cacingan kembali.
Bagi Masyarakat (Wanita hamil dan anak). Diharapkan Masyarakat (Wanita
hamil dan anak) untuk memperhatikan pola makan sehari-hari dengan
mempertimbangkan asupan gizi khususnya protein agar kebutuhan tubuh akan
nutrisi yang satu ini terpenuhi. Dengan demikian, kita dapat menghindari
penyakit kurang kalori protein (KEP).
Bagi Lembaga/ Kader Kesehatan. Baik pihak kader maupun organisasi/
lembaga kesehatan untuk menantiasa meningkatkan pelayanan kesehatan dengan
mengadakan sistem kesehatan yang efektif, efisien, dan optimal serta senantiasa

15
mengadakan pemantauan status gizi keluarga atau masyarakat.Sehingga, masalah
gizi buruk (KEP) dapat diminimalisasi.
Bagi Pemerintah. Kepada pemerintah hendaknya senantiasa melakukan
program kerja yang dapat meningkatkan masalah ekonomi bangsa.Karena pada
dasarnya perekonomian adalah akar masalah dari timbulnya masalah gizi buruk
di sebuah negara.Selain itu, pemerintah ikut andil dalam mencanangkan
program-program kesehatan dengan tujuan meningkatkan gizi masyarakat secara
global.

16
DAFTAR PUSTAKA
NN. 2011. Kecacingan. http://bahankuliahkesehatan.blogspot.com

Wikipedia. 2011. Kecacingan. http://id.wikipedia.org/

Wahyudi, Didik. 2012. Pencegahan Infeksi Cacing. 


http://aaknasional.wordpress.com/

Alkhatiri, Saleh. 1996. Penuntun Hidup Sehat Menurut Ilmu Kesehatan


Modern. Surabaya: Airlangga University Perss.

Arisman. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran


EGC.

Irianto, Kus dan Kusno Waluyo. 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung: Yrama
Widya.

Pribadi, Arif. 2010. Biology 2. Jakarta: Yudhistira.

Sukardji, Kartini. 2003. Pengkajian Status Gizi. Jakarta: Pusat Diabetes dan Lipid
RSCM/FKUI dan Instalasi Gizi RSCM.

Marilynn. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan; pedoman untuk perencanaan dan


pendokumentasian perawatan pasien: Jakarta : EGC. 12

17

Anda mungkin juga menyukai