Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH FLU BURUNG

TENTANG KONSEP GIZI BURUK DAN KELEBIHAN GIZI

Dosen Pembimbing : Ns. Tomi Jepisa, M.Kep

Keperawatan VIII B

Kelompok : 1. Willy Febrianti


2. Winta Hilyati
3. Sisi Mardia
4. Witra Sofiana

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


ALIFAH PADANG
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan karunianya
sehingga makalah ini dapat terwujud. Paparan materi yang kami sajikan dalam makalah ini
mengacu pada “konsep gizi buruk, analisis data gizi buruk, dan masalah kelbihan gizi atau
obesitas”.
Makalah ini kami buat dengan sebaik-baiknya agar dapat dimengerti oleh seluruh
pembacanya. Namun kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga
saran pembaca sangat kami harapkan untuk pembuatan makalah berikutnya.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat terselesaikan pada waktu yang telah ditentukan. Harapan kami kiranya
makalah ini bermanfaat serta meningkatkan mutu dan daya saing pendidikan kesehatan.

Padang, 31 Maret 2020

Kelompok
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan ...................................................................................................................1
A. Latar Belakang ..............................................................................................................1
B. Tujuan Penulisan ...........................................................................................................1
BAB II Tinjauan Pustaka ..........................................................................................................2
A. Konsep Masalah Gizi Buruk .........................................................................................2
B. Analisis Data Gizi Buruk ..............................................................................................9
C. Konsep Masalah Kelebihan Gizi atau Obesitas ...........................................................10
BAB III PENUTUP .................................................................................................................18
A. Kesimpulan ..................................................................................................................18
B. Saran ............................................................................................................................18
DAFTAR
PUSTAKA...............................................................................................................19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Masalah gizi buruk pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat sejak
dahulu. Krisis ekonomi yang terjadi sejak tahun 1997 sampai saat ini masih belum dapat
ditanggulangi dengan baik. Hal ini menyebabkan jumlah keluarga miskin semakin
banyak dan daya beli terhadappangan menurun. Lebih lanjut, ketersediaan bahan
makanan dalam keluarga menjadi terbatas yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan
terjadinya gizi kurang bahkan gizi buruk. Kekurangan gizi merupakan faktor utama yang
menyebabkan kematian bayi dan balita.
Masalah gizi umumnya disebabkan oleh dua faktor utama, yakni infeksi penyakit
dan rendahnya asupan gizi akibat kekurangan ketersediaan pangan ditingkat rumah
tangga atau pola asuhan yang salah. Masalah gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita
merupakan masalah yang perlu ditanggulangi. Balita merupakan salah satu kelompok
yang rentanterhadap masalah kesehatan, terutama masalah gizi kurang atau buruk. Hal
ini disebabkan karena pada saat fase balita akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Balita juga cenderung susah makan dan asupanzat gizi yang tidak
baik.
Masalah pengetahuan masyarakat yang rendah tentang makanan bayi dapat
mengakibatkan terjadinya kekurangan gizi pada bayi. Fakta menunjukkan bahwa para
ibu yang menyusui bayinya masih beranggapan bahwa ASI dapat memenuhi kebutuhan
bayi sampai si anak dapat mengajukan permintaan untuk makan sendiri. Sebaliknya,
apabila orang tua sudah memberikan makanan tambahan maka pemberian ASI sering
kali tidak sesuai dengan kualitas dan kuantitasnya sehingga dapat menimbulkan gizi
kurang
B. Tujuan Penulisan
1. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep masalah gizi buruk
2. Mahasiswa mampu menjelaskan analisis data gizi buruk
3. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep masalah kelebihan gizi atau obesitas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Masalah Gizi Buruk


1. Definisi Gizi Buruk

Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat
badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight
(gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk). Balita disebut gizi
buruk apabila indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) kurang dari -3 SD.
Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah teknis yang umumnya
dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk adalah
bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.

2. Faktor penyebab gizi buruk

WHO menyebutkan bahwa banyak faktor dapat menyebabkan gizi


buruk, yang sebagian besar berhubungan dengan pola makan yang buruk,
infeksi berat dan berulang terutama pada populasi yang kurang mampu. Diet
yang tidak memadai, dan penyakit infeksi terkait erat dengan standar umum
hidup, kondisi lingkungan, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar
seperti makanan, perumahan dan perawatan kesehatan. Banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya gizi buruk, diantaranya adalah status sosial
ekonomi, ketidaktahuan ibu tentang pemberian gizi yang baik untuk anak,
dan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
a. Konsumsi zat gizi

Konsumsi zat gizi yang kurang dapat menyebabkan


keterlambatan pertumbuhan badan dan keterlambatan perkembangan
otak serta dapat pula terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan
tubuh terhadap penyakit infeksi (Krisnansari d, 2010). Selain itu faktor
kurangnya asupan makanan disebabkan oleh ketersediaan pangan,
nafsu makan anak,gangguan sistem pencernaan serta penyakit infeksi
yang diderita (Proverawati A, 2009).
b. Penyakit infeksi

Infeksi dan kekurangan gizi selalu berhubungan erat. Infeksi


pada anak-anak yang malnutrisi sebagian besar disebabkan kerusakan
fungsi kekebalan tubuh, produksi kekebalan tubuh yang terbatas dan
atau kapasitas fungsional berkurang dari semua komponen seluler dari
sistem kekebalan tubuh pada penderita malnutrisi (RodriquesL, 2011)
c. Pengetahuan ibu tentang gizi dan kesehatan

Seorang ibu merupakan sosok yang menjadi tumpuan dalam


mengelola makan keluarga. pengetahuan ibu tentang gizi balita
merupakan segala bentuk informasi yang dimiliki oleh ibu mengenai
zat makanan yang dibutuhkan bagi tubuh balita dan kemampuan ibu
untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari (Mulyaningsih F,
2008). Kurangnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan
berkurangnya kemampuan untuk menerapkan informasi dalam
kehidupan sehari-hari yang merupakan salah satu penyebab terjadinya
gangguan gizi (Notoadmodjo S, 2003). Pemilihan bahan makanan,
tersedianya jumlah makanan yang cukup dan keanekaragaman
makanan ini dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang
makanan dan gizinya. Ketidaktahuan ibu dapat menyebabkan
kesalahan pemilihan makanan terutama untuk anak balita (Nainggolan
J dan Zuraida R, 2010).
d. Pendidikan ibu

Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin


mudah diberikan pengertian mengenai suatu informasi dan semakin
mudah untuk mengimplementasikan pengetahuannya dalam perilaku
khususnya dalam hal kesehatan dan gizi (Ihsan M.Hiswani, Jemadi,
2012). Pendidikan ibu yang relatif rendah akan berkaitan dengan sikap
dan tindakan ibu dalam menangani masalah kurang gizi pada anak
balitanya (Oktavianis, 2016).
e. Pola asuh anak

Pola asuh anak merupakan praktek pengasuhan yang


diterapkan kepada anak balita dan pemeliharaan kesehatan (Siti M,
2015). Pola asuh makan adalah praktik-praktik pengasuhan yang
diterapkan ibu kepada anak balita yang berkaitan dengan cara dan
situasi makanPola asuh yang baik dari ibu akan memberikan
kontribusi yang besar pada pertumbuhan dan perkembangan balita
sehingga akan menurunkan angka kejadian gangguan gizi dan begitu
sebaliknya (Istiany,dkk, 2007).
f. Sanitasi

Sanitasi lingkungan termasuk faktor tidak langsung yang


mempengaruhi status gizi. Gizi buruk dan infeksi kedua – duanya
bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan
sanitasi buruk (Suharjo, 2010). Upaya penurunan angka kejadian
penyakit bayi dan balita dapat diusahakan dengan menciptakan
sanitasi lingkungan yang sehat, yang pada akhirnya akan memperbaiki
status gizinya (Hidayat T, dan Fuada N, 2011).
g. Tingkat pendapatan

Tingkat pendapatan keluarga merupakan faktor eksternal yang


mempengaruhi status gizi balita (Mulyana DW, 2013). Keluarga
dengan status ekonomi menengah kebawah, memungkinkan konsumsi
pangan dan gizi terutama pada balita rendah dan hal ini
mempengaruhi status gizi pada anak balita ( Supariasa IDN, 2012).
Balita yang mempunyai orang tua dengan tingkat pendapatan kurang
memiliki risiko 4 kali lebih besar menderita status gizi kurang
dibanding dengan balita yang memiliki orang tua dengan tingkat
pendapatan cukup (Persulessy V, 2013).
h. Ketersediaan pangan

Kemiskinan dan ketahanan pangan merupakan penyebab tidak


langsung terjadinya status gizi kurang atau buruk (Roehadi S, 2013).
Masalah gizi yang muncul sering berkaitan dengan masalah
kekurangan pangan, salah satunya timbul akibat masalah ketahanan
pangan ditingkat rumahtangga, yaitu kemampuan rumahtangga
memperoleh makanan untuk semua anggotanya (Sobila ET, 2009).
i. Jumlah anggota keluarga

Jumlah anggota keluarga berperan dalam status gizi seseorang.


Anak yang tumbuh dalam keluarga miskin paling rawan terhadap
kurang gizi. apabila anggota keluarga bertambah maka pangan untuk
setiap anak berkurang, asupan makanan yang tidak adekuat
merupakan salah satu penyebab langsung karena dapat menimbulkan
manifestasi berupa penurunan berat badan atau terhambat
pertumbuhan pada anak, oleh sebab itu jumlah anak merupakan faktor
yang turut menentukan status gizi balita (Faradevi R, 2017).
j. Sosial budaya

Budaya mempengaruhi seseorang dalam menentukan apa yang


akan dimakan, bagaimana pengolahan, persiapan, dan penyajiannya
serta untuk siapa dan dalam kondisi bagaimana pangan tersebut
dikonsumsi. Sehingga hal tersebut dapat menimbulkan masalah gizi
buruk (Arifn Z, 2015).

3. Klasifikasi Gizi Buruk

Gizi buruk berdasarkan gejala klinisnya dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

a. Marasmus

Marasmus terjadi disebabkan asupan kalori yang tidak cukup.


Marasmus sering sekali terjadi pada bayi di bawah 12 bulan. Pada
kasus marasmus, anak terlihat kurus kering sehingga wajah seperti
orangtua, kulit keriput, cengeng dan rewel meskipun setelah makan,
perut cekung, rambut tipis, jarang dan kusam, tulang iga tampak jelas
dan pantat kendur dan keriput (baggy pant).
b. Kwashiorkor

Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein yang


berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi
namun asupan protein yang inadekuat (Liansyah TM, 2015).
Beberapa tanda khusus dari kwashiorkor adalah: rambut berubah
menjadi warna kemerahan atau abu-abu, menipis dan mudah rontok,
apabila rambut keriting menjadi lurus, kulit tampak pucat dan
biasanya disertai anemia, terjadi dispigmentasi dikarenakan habisnya
cadangan energi atau protein. Pada kulit yang terdapat dispigmentasi
akan tampak pucat, Sering terjadi dermatitis (radang pada kulit),
terjadi pembengkakan, terutama pada kaki dan tungkai bawah
sehingga balita terlihat gemuk. Pembengkakan yang terjadi
disebabkan oleh akumulasi cairan yang berlebihan. Balita memiliki
selera yang berubah-ubah dan mudah terkena gangguan pencernaan
(Arvin Ann M, 2000).
c. Marasmus-Kwashiorkor

Memperlihatkan gejala campuran antara marasmus dan


kwashiorkor. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein
dan energi untuk pertumbuhan normal. Pada penderita berat badan
dibawah 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor
seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit serta kelainan biokimia
(Pudjiadi S, 2010).
B. Analisis Masalah Gizi Buruk
Masalah gizi buruk pada anak balita yang meningkat akhir-akhir ini telah
membangunkan pemegang kebijakan untuk melihat lebih jelas bahwa anak balita
sebagai sumber daya untuk masa depan ternyata mempunyai masalah yang sangat
besar. Berdasarkan angka human development index (HDI), Indonesia menduduki
peringkat ke 112 di dunia. Tidak tertutup kemungkinan peringkat ini akan bergeser
ke posisi lebih rendah (memburuk) apabila kondisi ini tidak ditangani secara cepat
dan tepat.
Kasus gizi buruk yang meningkat dan sangat ramai dibicarakan sejak
ditemukan di NTB, telah membuka mata kita tentang masalah gizi anak balita.
Kenyataan di lapangan, setelah NTB, hamper seluruh daerah di Indonesia segera
melaporkan adanya kasus gizi buruk di wilayahnya. Fenomena ini kemungkinan
berkaitan dengan pengalokasian dana yang digulirkan oleh pemerintah (Pusat)
untuk penanggulangan kasus gizi buruk. Ironis memang.
Gizi buruk merupakan kejadian kronis dan bukan kejadian yang tiba-tiba.
Pertanyaan yang timbul adalah di mana laporan hasil pemantauan status gizi
berada dan ke mana laporan tersebut dikirimkan selama ini? Secara teknis,
mestinya laporan tersebut berada di Dinas Kesehatan (untuk Daerah) dan
Departemen Kesehatan (untuk Pusat). Secara teknis pula, lembaga-lembaga
tersebut bertanggungjawab atas kajian data hasil pemantauan yang dilakukan
secara berkala mulai dari tingkat Puskesmas, dengan Posyandu sebagai ujung
tombak sumber informasi. Demikian pula institusi rumah sakit, merupakan unit
pelayanan yang juga turut berkontribusi atas tersedianya informasi kasus tersebut
karena berkaitan dengan fungsinya sebagai pusat rujukan kasus.
Keterlambatan penanganan kurang gizi memunculkan masalah serius yang
berimplikasi pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Namun secara
bersamaan, dia mengatakan Indonesia juga mengalami masalah gizi lebih dengan
kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
C. Konsep Masalah Kelebihan Gizi Atau Obesitas
1. Pengertian Obesitas
Obesitas adalah penumpukan lemak yang berlebihan atau abnormal
yang dapat menggangu kesehatan (WHO,2017). Penyebab utama terjadinya
obesitas yaitu ketidakseimbangan antara asupan energi dengan pengeluaran
energi (Betty, 2004). Obesitas adalah kondisi yang ditandai gangguan
keseimbangan energi tubuh yaitu terjadi keseimbangan energi positif yang
akhirnya disimpan dalam bentuk lemak di jaringan tubuh (Nelm, et, al
2011). Sehingga obesitas adalah terjadinya penumpukan lemak dalam tubuh
yang abnormal dalam kurun waktu yang lama dan dikatakan obesitas bila
nilai Z-scorenya >2SD berdasarkan IMT/U umur 5-18 tahun (Kemenkes,
2010).
2. Fisiologis Obesitas
Zat gizi makro dan mikro menghasilkan energi yang diperlukan oleh
tubuh. Asupan zat gizi makro yaitu karbohidrat, protein dan lemak bila di
konsumsi berlebihan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Asupan
lemak lebih banyak menghasilkan energi dibandingkan dengan karbohidrat
atau protein. Setelah makan, lemak dikirim kejaringan adiposa untuk
disimpan sampai dibutuhkan kembali sebagai energi. Oleh karena itu asupan
lemak berlebih akan lebih mudah menambah berat badan. Kelebihan asupan
protein juga dapat diubah menjadi lemak tubuh. Asupan protein yang
melebihi kebutuhan tubuh, maka asam amino akan melepas ikatan
nitrogennya dan diubah melalui serangkaian reaksi menjadi trigiserida.
Kelebihan karbohidrat akan disimpan dalam bentuk glikogen dan lemak.
Glikogen akan disimpan didalam hati dan otot. Kemudian lemak akan di
simpan disekitar perut dan dibawah kulit (Kharismawati, 2010).

3. Pengukuran Obesitas dan Dampak Obesitas


Pengukuran status gizi dapat dilakukan dengan metode antropometri.
Metode ini menggunakan pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan,
dan tebal lapisan kulit. Pengukuran tersebut bervariasi menurut umur dan
kebutuhan gizi. Antropometri dapat memberikan informasi tentang riwayat
gizi masa lampau. Tingkat obesitas dapat dihitung menggunakan Indeks
Massa Tubuh (IMT) sebagai berikut :
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)
𝐼𝑀𝑇 =

𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚)2

Keterangan :

IMT : Indeks Massa Tubuh


BB : Berat Badan
TB : Tinggi Badan

Jika nilai IMT telah diketahui, kemudian dihitung menggunakan baku


antropometri WHO 2007 nilaiz-score IMT/U dengan rumus sebagai berikut :

𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝑠𝑢𝑏𝑗𝑒𝑘 − 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛


𝑍 − 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒 =

𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑠𝑖𝑚𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑢 𝑟𝑢𝑗𝑢𝑘𝑎𝑛

Dampak Obesitas
Obesitas yang terjadi pada masa remaja ini perlu mendapatkan
perhatian, sebab obesitas yang timbul pada waktu anak dan remaja bila
kemudian berlanjut hingga dewasa akan sulit di atasi. Beberapa dampak
yang terjadi dalam jangka panjang menurut Damayanti, 2008 diantaranya
adalah sebagai berikut :
a. Sindrom resistensi insulin
Bagi anak yang mengalami kegemukan sekitar perut, terutama yang
bertipe buah apel, umumnya mengalami penurunan jumlah insulin dalam
darah. Akibatnya hal tersebut memicu anak terserang Diabetus Millitus tipe 2.
Penderita DM tipe 1 selain memiliki kadar glukosa yang tinggi, juga memiliki
kadar insulin yang tinggi atau normal. Keadaan inilah yang disebut sindrom
resistensi insulin atau sindrom X.
b. Tekanan Darah Tinggi
Obesitas adalah salah satu penyebab utama yang mempengaruhi tekanan
darah. Sekitar 20-30% anak yang kegemukan mengalami hipertensi.
Dikatakan hipertensi jika mengalami tekanan darah tinggi yaitu systole lebih
besar dari 140 mmHg, dan diastole lebih besar dari 90 mmHg.
c. Penyakit Jantung Koroner
Penyakit yang terjadi akibat penyempitan pembuluh darah koroner.Risiko
terkena penyakit jantung koroner semakin meningkat seiring dnegan perubahan
terjadinya penambahan berat badan yang berlebihan. Penyakit jantung koroner
tidak selalu akibat kegemukan, tetapi diperburuk oleh faktor risiko lain yang
terjadi pada masa kanak- kanak seperti hipertensi, kolesterol tinggi dan
diabetes.
d. Gangguan pernafasan seperti asma, nafas pendek, menggorok saat tidur
dan tidur apnue (terhentinya pernafasan untuk sementara waktu ketika
sedang tidur). Hal ini disebabkan karena penimbunan lemak yang
berlebihan di bawah diagragma dalam dinding dada yang menekankan
paru-paru
e. Gangguan tulang persendian
Beban tubuh anak yang terlalu berat mengakibatkan gangguan ortopedi
dan gangguan lain yang sering dirasakan adalah nyeri punggung bawah dan
nyeri akibat radang sendi.

4. Faktor Risiko Obesitas


Faktor risiko obesitas dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebagian besar
faktor risiko obesitas yaitu jenis kelamin, faktor genetik dan faktor
lingkungan, antara lain aktivitas fisik, asupan makan, sosial ekonomi (Putri,
2015).Di bawah ini adalah faktor – faktor risiko terjadinya obesitas :
a. Keturunan

Faktor keturunan juga dapat mempengaruhi pembentukan lemak


tubuh. Seseorang mempunyai faktor keturunan yang cenderung
membangun lemak tubuh lebih banyak dibandingkan orang lain. Bawaan
sifat metabolisme ini menunjukkan adanya gen bawaan pada kode untuk
enzim lipoprotein lipase (LPL) yang lebih efektif. Enzim ini memiliki
suatu peranan penting dalam proses mempercepat penambahan berat
badan karena enzim ini bertugas mengontrol kecepatan trigiserida dalam

darah yang dipecah-pecah menjadi asam lemak dan disalurkan ke sel-sel


tubuh untuk di simpan sehingga lama kelamaan menyebabkan
penambahan berat badan (Purwati, 2005)
Parental fatness merupakan faktor keturunan yang berperan besar.
Jika kedua orang tua obesitas, 80% anaknya akan menderita obesitas,
namun jika salah satu orang tuanya obesitas maka kejadian obesitas 40%
dan bila kedua orang tuanya tidak obesitas maka prevalensinya menjadi
14% (Pramudita, 2011).Sehingga faktor keturunan orang tua menderita
obesitas mempengaruhi kejadian obesitas pada anak.
Faktor keturunan akan menentukan jumlah unsur sel lemak dalam
lemak yang melebihi ukuran normal, sehingga secara otomatis akan
diturunkan kepada bayi selama kandungan. Sel lemak pada kemudian
hari akan menjadi tempat penyimpanan kelebihan lemak atau ukuran sel
lemak akan mengecil tetepi masih tetap berada di tempatnya (Henuhili,
2010).
b. Konsumsi Makan

Konsumsi makan adalah semua jenis makanan dan minuman yang


dikonsumsi setiap hari (Palupi, 2014). Secara biologis makanan berfungsi
memenuhi kebutuhan energi, zat gizi dan komponen kimiawi yang
dibutuhkan tubuh yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.
Metabolisme zat gizi yang terjadi di dalam tubuh berperan menghasilkan
energi, membangun sel, dan memelihara keseimbangan elektrolit dan
sistem daya tahan tubuh (Kusfriyandi, 2017).
Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.
Status gizi yang optimal apabila tubuh memperoleh cukup zat – zat gizi
yang dapat digunakan secara efisien (Almatsier, 2009). Obesitas muncul
pada usia remaja cenderung berlanjut ke dewasa dan lansia (Arisman,
2010).
1. Konsumsi Karbohidrat
Karbohidrat merupakan zat makanan yang paling cepat mensuplai
energi sebagai bahan bakar tubuh, terutama saat kondisi tubuh lapar.
Setelah makanan yang mengandung karbohidrat dikonsumsi, karbohidrat
akan segeara dioksidasi untuk memenuhi kebutuhan energi. Karbohidrat
akan menyumbang 4 kalori di dalam makanan.
Mengkonsumsi karbohidrat dalam jumlah yang berlebih dapat
menyebabkan faktor risiko obesitas. Konsumsi obesitas melebihi
kecukupan akan disimpan dalam tubuh berbentuk lemak atau jaringan
lain yang akan menimbulkan masalah kesehatan.

2. Konsumsi Lemak

Lemak dalam tubuh yaitu lipoprotein (mengandung trigiserida,


fosfolipid, dan kolestreol) yang berhubungan dengan protein. Lemak
akan menghasilkan kalori tertinggi dibandingkan dengan zat gizi makro
lainnya yaitu sebesar 9 kalori didalam makanan. Sumber utama lemak
adalah minyak tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa, kelapa sawit, kacang
tanah, kacang kedelai, jagung dan sebagainya) (Doloksaribu, 2017).
Lemak lebih banyak menghasilkan energi dibandingkan dengan
karbohidrat atau protein.Setelah makan, lemak dikirim kejaringan
adiposa untuk disimpan sampai dibutuhkan kembali sebagai energi. Oleh
karena itu konsumsi lemak berlebih akan lebih mudah menambah berat
badan (Kharismawati, 2010).
3. Konsumsi Protein

Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang penting bagi tubuh
selain karbohidrat dan lemak.Protein selain berguna sebagai sumber energi,
protein juga dapat berfungsi untuk memelihara sel-sel didalam tubuh pada
masa pertumbuhan.Makanan yang tinggi protein biasanya memiliki lemak
yang tinggi pula sehingga dapat menyebabkan obesitas (Damayanti, 2017).
Protein akan menyumbang energi sebesar 4 kalori didalam makanan.
Kelebihan asupan protein juga dapat diubah menjadi lemak tubuh.
Konsumsi protein yang melebihi kebutuhan tubuh, maka asam amino akan
melepas ikatan nitrogennya dan diubah melalui serangkaian reaksi menjadi
trigiserida (Kharismawati, 2010).

c. Sosial Ekonomi

Faktor ekonomi yang cukup dominan dalam konsumsi pangan


adalah pendapatan keluarga dan harga pangan. Meningkatnya
pendapatan akan meningkatkan peluang untuk membeli pangan dengan
kualitas dan kuantitas yang lebih baik, sebaliknya penurunan pendapatan
keluarga akan menyebabkan menurunnya daya beli pangan baik secara
kualitas maupun kuantitas (Nurfatimah, 2014).
Meningkatnya taraf hidup (kesejahteraan) masyarakat, pengaruh
promosi iklan, serta kemudahan informasi, dapat menyebabkan
perubahan gaya hidup dan timbulnya kebutuhan psikogenik baru
dikalangan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Tingginya
pendapatan yang tidak diimbangi dengan pengetahuan gizi yang cukup,
akan menyebabkan seseorang menjadi sangat konsumtif dalam pola
makannya sehari – hari, sehingga pemilihan suatu bahan makanan lebih
didasarkan pada pertimbangan selera dibandingkan dari aspek gizi
(Sulistyoningsih, 2011).
Pemilihan bahan makanan yang salah akan menyebabkan
kurangnya asupan buah sayur sehari-hari. Mengkonsumsi buah sayur
merupakan upaya yang dapat mencegah terjadinya kejadian obesitas,
karena dapat mengurangi rasa lapar tetapi tidak menimbulkan lemak
(Musadat, 2010). Konsumsi sayur dan buah adalah bagian dari stategi
dalam mengontrol kegemukan dan obesitas (He et al, 2004). Penelitian
Drapeau 2004 menyatakan bahwa konsumsi makanan tinggi serat,
seperti konsumsi buah-buahan dan sayuran berhubungan dapat
mencegah kenaikan berat badan.
d. Jenis Kelamin

Kebutuhan zat gizi antara laki-laki dan perempuan berbeda.


Perbedaan ini disebabkan karena jaringan penyusun tubuh dan
aktivitasnya. Jaringan lemak pada perempuan cenderung lebih tinggi dari
pada laki-laki. Sedangkan laki-laki cenderung lebih banyak memiliki
jaringan otot. Hal ini menyebabkan lean body mass laki-laki menjadi
lebih tinggi dari pada perempuan (Sulistyoningsih, 2011).

Obesitas lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan


dengan laki – laki disebabkan proporsi lemak tubuh pada wanita lebih
tinggi dan banyak tersimpan di daerah panggul dibandingkan pria yang
tersimpan di perut (Anggraini, 2012). Menurut WHO 2000, perempuan
lebih cenderung mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan perempuan terhadap
asupan makan sumber karbohidrat yang lebih banyak sebelum masa
pubertas, sementara kecenderungan laki-laki mengkonsumsi makanan
kaya protein. Kebutuhan zat gizi anak laki – laki berbeda dengan anak
perempuan dan biasanya lebih tinggi karena anak laki-laki memiliki
aktivitas fisik yang lebih tinggi (Sari, 2011)
Hasil penelitian Sartika, 2011 menyatakan bahwa anak usia 5-15
tahun, laki – laki memiliki resiko obesitas sebesar 1,4 kali dibandingkan
dengan perempuan. Hal ini disebabkan kemungkinan wanita lebih sering
membatasi makanan yang dikonsumsi untuk mendapatkan tubuh idaman
mereka yaitu tinggi langsing.
e. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah pergerakan tubuh dihasilkan oleh otot rangka
yang mengeluarkan energi.Penggunaan energi bervariasi tergantung tingkat
aktivitas fisik dan pekerjaan yang berbeda.Aktivitas fisik berguna untuk
melancarkan peredaran darah dan membakar kalori.Aktivitas fisik akan
membakar energi yang masuk, sehingga jika asupan kalori berlebih serta
kurangnya aktivitas fisik yang dilakukan akan menyebabkan tubuh
mengalami kegemukan. Aktivitas fisik dapat menurunkan risiko hipertensi,
penyakit jantung koroner, stroke, diabetes (Widiantini dan Tafal, 2014).
Hasil penelitian Suryaputra dan Nadhiroh, 2012 terdapat perbedaan yang
bermakna pula pada aktivitas fisik remaja obesitas dengan non obesitas,
dimana sebagian besar anak yang obesitas hanya memiliki aktivitas ringan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut
umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely
underweight (gizi buruk). Balita disebut gizi buruk apabila indeks Berat Badan menurut
Umur (BB/U) kurang dari -3 SD. Gizi buruk (severe malnutrition) adalah suatu istilah
teknis yang umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Gizi buruk
adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun.
Keterlambatan penanganan kurang gizi memunculkan masalah serius yang
berimplikasi pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Namun secara bersamaan, dia
mengatakan Indonesia juga mengalami masalah gizi lebih dengan kecenderungan yang
semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Obesitas adalah kondisi yang ditandai gangguan keseimbangan energi tubuh yaitu
terjadi keseimbangan energi positif yang akhirnya disimpan dalam bentuk lemak di
jaringan tubuh (Nelm, et, al 2011). Sehingga obesitas adalah terjadinya penumpukan
lemak dalam tubuh yang abnormal dalam kurun waktu yang lama dan dikatakan
obesitas bila nilai Z-scorenya >2SD berdasarkan IMT/U umur 5-18 tahun (Kemenkes,
2010).

B. Saran

Agar kelompok memahami dan menjelaskan konsep gizi buruk, analisis data gizi
buruk dan obesitas yang dapat dijadikan panduan dalam perkuliah flu burung.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, M & B. Wirjatmadi. 2014. Gizi dan Kesehatan Balita (Peranan Mikrozinc pada
Pertumbuhan Balita). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Arisman. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan.Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Kartasapoetra & Marsetyo. 2010. Ilmu Gizi. Jakarta : Rineka Cipta
Moehji, S. 2003. Ilmu Gizi.Jakarta; Papas sinar Sinanti-Bharatara
Sulistyoningsih, H. 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Supariasa, I.D.N,Bakri, B, Fajar, I. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai