Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah gizi kurang masih tersebar luas di negara-negara berkembang termasuk di


Indonesia, masalah yang timbul akibat asupan gizi yang kurang diantaranya Kurang Energi
Protein (KEP), Kekurangan Vitamin A (KVA), Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(GAKY), dan Anemia. Selain masalah gizi kurang, akhir-akhir ini ditemukan juga dampak
dari konsumsi berlebih atau gizi lebih, tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga pada anak
dan balita.
Masalah yang sering muncul adalah obesitas (berat badan berlebih), yang akan diikuti
dengan timbulnya penyakit seperti jantung koroner, diabetes melitus, stroke, dan yang
lainnya. Gizi juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan otak dan perilaku,
kemampuan bekerja dan produktivitas serta daya tahan terhadap penyakit infeksi
(Sulistyoningsih, 2011).
Gizi kurang banyak menimpa balita sehingga golongan ini disebut golongan rawan
gizi. Gizi kurang berdampak langsung terhadap kesakitan dan kematian, gizi kurang juga
berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan intelektual dan produktivitas. Anak yang
kekurangan gizi pada usia balita, akan tumbuh pendek dan mengalami gangguan
pertumbuhan serta perkembangan otak yang berpengaruh pada rendahnya tingkat kecerdasan
(Adisasmito, 2008).
Masa balita merupakan masa yang sangat penting karena merupakan masa yang kritis
dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang 2 berkualitas. Enam bulan masa
kehamilan dan dua tahun pasca kelahiran merupakan masa emas dimana sel-sel otak sedang
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Menurut UNICEF (1998), anak
yang menderita kurang gizi (stunted) berat, mempunyai rata-rata IQ 11 point lebih rendah
dibanding rata-rata anak yang tidak stunted (Hadi, 2005)
Status gizi pada balita dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor langsung dan faktor
tidak langsung. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi balita ialah penyakit infeksi
dan asupan makan balita, sedangkan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi

1
balita diantaranya ialah pendidikan, pengetahuan, ketrampilan keluarga dan ketahanan
pangan yang berkaitan dengan kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup, baik jumlah maupun gizinya serta
pemanfaatan pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan, dengan penyebab dasar struktur
atau kondisi ekonomi (Adisasmito, 2008).
Terdapat hubungan yang bermakna antara status sosial keluarga dengan status gizi
balita. Proporsi balita yang gizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan status
sosial. Semakin kecil pendapatan, semakin tinggi persentase balita yang kekurangan gizi,
semakin tinggi status sosial, semakin rendah persentase gizi buruk.
Status sosial merupakan salah satu unsur yang dapat mempengaruhi status gizi secara
tidak langsung. Hal ini menyangkut daya beli keluarga untuk memenuhi ketersediaan pangan
dalam rumah tangga 3 atau kebutuhan konsumsi makan untuk kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan anak (Adisasmito, 2008).
Faktor lain, selain status sosial yang mempengaruhi status gizi balita adalah faktor
pengetahuan ibu mengenai gizi. Ibu adalah seseorang yang paling dekat dengan anak
haruslah memiliki pengetahuan tentang gizi. Pengetahuan minimal yang harus diketahui ialah
pentingnya makanan bagi pertumbuhan atau kesehatan balita, pemilihan bahan makanan dan
usia menyusui bayi sampai usia penyapihan. Pengetahuan tersebut diharapkan akan
menjamin balita dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Kurangnya pengetahuan gizi
dan kesehatan orang tua, khususnya ibu merupakan salah satu penyebab kekurangan gizi
pada balita (Suhardjo, 1996).
Peranan ibu dalam melindungi keadaan gizi anak adalah dengan meningkatkan
pengetahuannya mengenai gizi (pengetahuan gizi). Gangguan gizi bisa diakibatkan oleh
kurangnya pengetahuan gizi dalam upaya menerapkan informasi dalam kehidupan sehari-hari
(Furqan, 2008).
Pengetahuan gizi ibu berdampak terhadap ketahanan pangan keluarga, dimana
pemilihan bahan makanan keluarga sangat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi ibu, ibu yang
mempunyai pengetahuan gizi kurang, akan memilih bahan makanan yang kurang sesuai
dengan persyaratan gizi, sehingga akan berdampak buruk terhadap pemberian makan dan
asupan makan balita yang akan mempengaruhi status gizi balita (Adisasmito, 2008).

2
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2010 prevalensi anak
balita gizi buruk menurun sebanyak 0,5% yaitu dari 18,4% pada tahun 2007 menjadi 17,9%
pada tahun 2010. Prevalensi anak balita pendek yang menurun sebanyak 1,2% yaitu dari
36,8% pada tahun 2007 menjadi 35,6% pada tahun 2010, dan prevalensi anak balita kurus
menurun sebanyak 0,3% yaitu 13,6% pada tahun 2007 menjadi 13,3% pada tahun 2010.
Berdasarkan data tersebut meskipun prevalensi masalah gizi berkurang, akan tetapi
masih terdapat balita dengan status gizi buruk dan hal ini masih menjadi masalah.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang
“Hubungan Antara Status Sosial Keluarga Dan Pengetahuan Gizi Ibu Dengan Gizi Balita di
poli anak RSU MOH NOER”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah
“Apakah ada Hubungan Antara Status Sosial Keluarga dan Pengetahuan Gizi Ibu Dengan
Gizi Balita di Poli Anak RSU MOH.NOER?”

1.3. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara status sosial keluarga dan pengetahuan gizi ibu dengan
status gizi balita di poli anak RSU MOH NOER.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan status sosial keluarga balita di poli anak RSU MOH NOER.

b. Mendeskripsikan pengetahuan gizi ibu dari balita di poli anak RSU MOH NOER.

c. Mendeskripsikan status gizi balita di poli anak RSU MOH NOER.

3
d. Menganalisis hubungan antara status sosial keluarga dengan status gizi balita di poli
anak RSU MOH.NOER.

e. Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi balita di poli
anak RSU MOH.NOER.

1.4. Manfaat Penelitian

a. Bagi Pembaca Penelitian ini menambah pengetahuan serta memberikan informasi kepada
pembaca mengenai masalah kesehatan khususnya faktor yang mempengaruhi status gizi
balita.
b. Bagi poli anak RSU MOH.NOER penelitian ini memberikan gambaran pada pihak
instansi kesehatan setempat mengenai status gizi balita di wilayah pamekasan, sebagai
bahan evaluasi program kesehatan yang ada.

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup materi pada penelitian ini dibatasi pada pembahasan mengenai status sosial
keluarga, pengetahuan gizi ibu dan status gizi balita di poli anak RSU MOH.NOER.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Gizi buruk atau malnutrisi adalah sebuah kondisi serius yang terjadi ketika asupan
makanan seseorang tidak sesuai dengan jumlah nutrisi yang dibutuhkan. Gizi buruk juga dapat
berarti:

 Gizi kurang: tidak cukup mendapatkan nutrisi. Ini berarti seseorang tidak mencukupi
asupan protein, kalori, vitamin, atau mineral yang dibutuhkannya. Efek dari kekurangan
asupan ini adalah gizi kurus atau wasting, stunting, dan berat badan kurang.
 Gizi lebih: mendapatkan nutrisi tertentu yang berlebihan. Konsumsi protein, lemak atau
kalori yang berlebihan juga berimbuh kepada malnutrisi. Pada kondisi ini, yang terjadi
adalah berat badan berlebih atau obesitas.
 Gizi buruk bisa mengakibatkan masalah kesehatan yang serius, mulai dari stunting,
diabetes, hingga penyakit jantung.

2.2. Tanda dan Gejala

Ciri-ciri dan gejala gizi buruk berbeda sesuai dengan apakah seseorang mempunyai gizi
kurang atau gizi lebih.

Ciri-ciri dan gejala gizi kurang : pada seseorang dengan gizi kurang yang ekstrem, tampilan fisik
akan sangat kentara. Namun, secara umum berikut adalah gejala dari gizi kurang:

 Penurunan berat badan yang tidak disengaja. Kehilangan 5-10% berat tubuh dalam waktu
6 bulan merupakan tanda utama dalam gizi buruk.
 Berat badan rendah, orang dengan indeks massa tubuh (IMT) dibawah 18,5 kg/m2
berisiko malnutrisi. (IMT adalah rasio antara berat badan (kg) dan tinggi badan (m)
kuadrat)
 Kurang nafsu makan dan minum
 Merasa lelah sepanjang waktu
 Merasa lebih lemah

5
 Sering sakit dan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh
 Rambut dan kulit kering
 Pada anak, tidak tumbuh seperti yang diharapkan atau tidak menambah berat badan
seperti yang diharapkan

Pada beberapa tipe gizi kurang, ada gejala khas yang ditunjukkan.

Pada kasus defisiensi protein yang parah atau dikenal sebagai busung lapar, maka perut
akan membesar oleh karena cairan yang terperangkap di tubuh.

Tipe lainnya, yaitu marasmus terjadi ketika kekurangan asupan kalori sehingga otot serta
lemak menyusut drastis dan wasting.

Ciri-ciri dan gejala gizi lebih

Ciri-ciri utama gizi lebih adalah kelebihan berat badan dan obesitas. Namun, berat badan
berlebih bukan berarti kebutuhan vitamin dan mineral terpenuhi. Ini karena makanan yang sering
dikonsumsi orang dengan gizi lebih adalah makanan yang dikategorikan sebagai junk food.
Makanan ini meskipun mengandung banyak kalori, namun sebenarnya tidak bergiz

2.3. faktor Risiko

 Orang dengan kondisi kesehatan jangka panjang yang mempengaruhi nafsu makan, berat
badan atau seberapa baik nutrisi dapat diserap oleh usus. Seperti penyakit Crohn.
 Orang yang sulit menelan
 Orang yang terisolasi sosial, memiliki mobilitas terbatas atau pendapatan yang rendah
 Orang yang membutuhkan energi tambahan dengan fibrosis kistik, pulih dari cedera atau
luka bakar.

6
2.4. Epidemiologi

Menurut Gibson (2005), pengertian gizi buruk merupakan salah satu klasifikasi status gizi
berdasarkan pengukuran antropometri. Status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan
oleh keseimbangan asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari
variabel-variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/ panjang badan, lingkar kepala,
lingkar lengan dan panjang tungkai.
Sedangkan menurut Pedoman Pelaksanaan Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk
Depkes RI (2008), gizi buruk adalah suatu keadaaan kurang gizi tingkat berat pada anak
berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < -3 standar deviasi WHO-NCHS
dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor.

Kita tentu sudah paham beberapa tanda khas kejadian gizi buruk ini. Antara lain
dikemukanakan oleh Gibson (2005), tanda-tanda gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga katagori, antara lain marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor.

Beberapa tanda klinis kejadian marasmus, antara lain:

1. Badan nampak sangat kurus


2. Wajah seperti orang tua
3. Cengeng dan atau rewel
4. Kulit tampak keriput, jaringan lemak subkutis sedikit bahkan (pada daerah pantat tampak
seperti memakai celana longgar (baggy pants)
5. Perut cekung, Iga gambang
6. Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis) dan diare
Beberapa tanda klinis kejadian Kwashiorkor, antara lain:

1. Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki


2. Wajah membulat (moon face) dan sembab
3. Pandangan mata sayu
4. Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit dan
mudah rontok

7
5. Perubahan status mental, apatis, dan rewel
6. Pembesaran hati
7. Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk
8. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
Sedangkan gambaran klinis Marasmus Kwashiorkor, pada dasarnya merupakan campuran
dari beberapa gejala klinis marasmus dan kwashiorkor.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak jangka pendek gizi buruk
terhadap tumbuh kembang anak, antara lain anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara
dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan
skor intelligence quotient (IQ), penurunan perkembangn kognitif, penurunan integrasi sensori,
gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya
prestasi akademik di sekolah. Gizi buruk yang tidak dikelola dengan baik, pada fase akutnya
akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi ancaman hilangnya sebuah
generasi penerus bangsa.

Kita harus dapat memastikan bahwa kejadian gizi buruk harus dapat dideteksi secara dini
agar tidak terlambat melakukan intervensi. Usaha deteksi ini dapat dilakukan antara lain melalui
intensifikasi pemantauan pertumbuhan dan identifikasi faktor risiko yang erat dengan KLB gizi
buruk seperti campak dan diare. Peran Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD
KLB) Gizi Buruk adalah sebagai penyedia informasi yang sangat vital dalam rangka mencegah
dan menanggulangi KLB gizi buruk. SKD KLB gizi buruk merupakan upaya peningkatan
kewaspadaan terhadap ancaman terjadinya gizi buruk dan faktor-faktor yang mempengaruhi nya
melalui surveilans dan informasi nya di manfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap
kesiapsiagaan, upaya pencegahan dan penanggulangan KLB secara cepat dan tepat.

Secara epidemiologi, beberapa faktor penyebab gizi buruk dipelajari untuk membantu
penanggulangan masalah secara lebih efektif. Misalnya model penyebab yang dikembangkan
Unicef (1990), digunakan secara luas untuk memahami penyebab masalah gizi (malnutrition).
Dalam kerangka tersebut, penyebab masalah gizi dibagi dalam tiga tahapan, yaitu penyebab
langsung, penyebab tidak langsung dan penyebab mendasar.

8
Terdapat dua penyebab masalah gizi pada faktor penyebab langsung, yaitu asupan gizi yang
kurang dan penyakit infeksi. Sedangkan pada penyebab tidak langsung, disebabkan oleh tiga
faktor besar, yaitu tidak cukup pangan, pola asuh yang tidak memadai, dan sanitasi, air
bersih/pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai. Sementara Penyebab mendasar atau akar
masalah gizi adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang
mempengaruhi ketersediaan pangan, pola asuh dalam keluarga dan pelayanan kesehatan serta
sanitasi yang memadai, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita.

Beberapa rumusan yang telah dirumuskan pemerintah dalam upaya penanggulangan masalah
gizi buruk ini, sesuai Depkes RI (2005), meliputi beberapa kegiatan berikut :

1. Meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan bulanan balita di
posyandu.
2. Meningkatkan cakupan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di puskesmas / RS dan
rumah tangga.
3. Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan pemulihan (PMT-P) kepada balita kurang gizi
dari keluarga miskin.
4. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi kepada
anak (ASI/MP-ASI).
5. Memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A) kepada semua balita

Refference, antara lain :

1. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Depkes RI
2005.
2. Pedoman Pelaksanaan Respon Cepat Penanggulangan Gizi Buruk. Depkes RI (2008).
3. Gibson, R.S. 2005. Principles of Nutrition Assesment.

2.5. Terapi

Pengobatan tergantung pada kesehatan seseorang dan derajat malnutrisi. Saran diet
berupa:

 Konsumsi makanan yang kaya akan kalori dan protein

9
 Makan cemilan diantara waktu makan
 Minuman tinggi kalori
 Jika diet yang disarankan tidak membantu, maka dokter, suster dan ahli diet akan
menyarankan untuk mengonsumsi nutrisi tambahan dalam bentuk minuman atau
suplemen. Jika seseorang memiliki kesulitan makan yang tidak dapat diatasi dengan
perubahan seperti konsumsi makanan halus atau berkuah, perawatan lain dapat
direkomendasikan seperti:
 Selang makanan
 Nutrisi yang diberikan melalui infus

2.6. Cara Pencegahan

Cara terbaik untuk mencegah gizi buruk adalah dengan diet yang sehat dan seimbang.
Makanan bervariasi termasuk:

 Perbanyak sayuran dan buah-buahan


 Perbanyak roti, nasi, kentang, atau yang mengandung tepung
 Susu dan produk mengandung susu
 Daging, ikan, telur, kacang-kacangan dan sumber protein

10
BAB III

Metode Penelitian

3.1. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah analitik observasional dengan rancangan
case control study yaitu suatu penelitian analitik yang menyangkut bagaimana faktor risiko
ditelusuri dengan menggunakan pendekatan retrospektif yaitu efek (gizi buruk pada balita)
diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko diidentifikasi denganmembandingkan antara
kelompok kasus dengan kelompok kontrol.Rancangan bergerak dari akibat/efek (penyakit)
kemudian ditelusuri faktorrisiko atau penyebabnya.

3.2. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitin ini dilaksanakan pada bulan 11 sampai bulan 12 tahun 2014 dikabupaten buton

3.3. Populai dan Sampe1.

a. Populasi penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah anak balita yang mengalami gizi buruk.

b. Sampel penelitiana.
1. kasus
Kasus adalah balita dengan status gizi buruk yang ada di wilayahKabupaten
Buton sebanyak 23 orang, hal ini berdasarkan pada pengukuran antropometri BB/U.
2. Kontrol
Kontrol merupakan balita dengan status gizi baik (berdasarkanhasil pengukuran
antropometri BB/U) dengan jumlah balita sebanyak 23 orang. Kontrol diperoleh dari
tetangga terdekat dari kasus dengan karakteristik sama dengan kasus melalui proses
matching umur dan jenis kelamin. Matching pada kontrol didasarkan pada hanya dua
karakteristik untuk memudahkan mendapatkan kontrol, karena pengambilan banyak

11
faktor yang harus disamakan dengan kasus akan menyebabkan kesulitan untuk
menentukan kontrol.
3. Teknik pengambilan sampel
Pada penelitian ini pemilihan sampel dilakukan secara total sampling yaitu semua
populasi dijadikan sebagai sampel. Adapun jumlah sampel pada penelitian ini adalah
23 orang kemudian kontrol 23 orang, sehingga untuk total keseluruhannya adalah
46orang.
4. Responden
Pada penelitian ini responden adalah ibu dari balita yang terpilih menjadi sampel dan
bersedia untuk menjadi responden pada penelitian ini.

3.4. Variabel Penelitian

a. Variabel bebas (independent variable) yaitu pola makan, pengetahuangizi ibu,


tingkat pendapatan dan penyakit infeksi
b. Variabel terikat ( dependent variable) yaitu kejadian gizi buruk pada balita.

3.5. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif Status Gizi

a. Status Gizi

Status gizi adalah gambaran keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi, dilakukan dengan pengukuran BB/U dan dibandingkan dengan standar
WHO-NCHS dengan simpang baku Z-Score. Adapun kriteria objektifnya yaitu :

1) Gizi baik : Bila Z-Score ≥ -2 SD sampai +2 SD

2) Gizi buruk : Bila Z-Score < -3 SD

b. Pola makan

Pola makan adalah kebiasaan makan dari balita yang memberikangambaran mengenai
macam makanan dan frekuensi makan seseorang balita. Pola makan diukur melalui nilai dari
kuesioner. Adapun kriteriaobjektifnya adalah sebagai berikut :

1) Cukup : Bila pola makan balita > 50 % daritotal skor jawaban benar

12
2) Kurang : Bila pola makan balita ≤ 50 % dari total skor jawaban benar

Kriteria penilaian didasarkan atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitusebanyak 8


pertanyaan dan setiap pertanyaan di berikan nilai 1 (satu) jika menjawab benar dan nilai 0 (nol)
jika menjawab salah, sehingga diperolehskor nilai :

Skor tertinggi : 8 x 1 = 8 (100 %)

Skor terendah : 8 x 0 = 0 (0 %)

Kemudian diukur dengan menggunakan rumus menurut Sudjana (2002) sebagai berikut :

R
I=
K

I = Interval kelas

R = Range atau kisaran yaitu nilai tertinggi

nilai terendah = 100 % - 0 % = 100 %

K = Kategori

= Jumlah kategori sebanyak 2 yaitu cukup dan kurang

100 %
I=
2

I = 50 %

c. Pengetahuan Ibu Tentang Gizi

Merupakan pengetahuan responden (ibu balita) tentang hal-hal yang berhubungan dengan
gizi, yang diukur melalui nilai dari daftar pertanyaan/kuesioner. Adapun kriteria objektifnya
adalah sebagai berikut :

1) Cukup : Bila pengetahuan gizi ibu > 50 % daritotal skor jawaban benar
2) Kurang : Bila pengetahuan gizi ibu ≤ 50 % dari total skor jawaban benar.Kriteria
penilaian didasarkan atas jumlah pertanyaan keseluruhan yaitu sebanyak 12 pertanyaan

13
dan setiap pertanyaan di berikan nilai 1 (satu) jika menjawab benar dan nilai 0 (nol) jika
menjawab salah, sehingga diperolehskor nilai :
Skor tertinggi : 12 x 1 = 12 (100 %)
Skor terendah : 12 x 0 = 0 (0 %)
Kemudian diukur dengan menggunakan rumus menurut Sudjana (2002)sebagai berikut :
R
I=
K
I = Interval kelas
R = Range atau kisaran yaitu nilai tertinggi – nilai terendah
= 100 % - 0 % = 100 %
K = Kategori= Jumlah kategori sebanyak 2 yaitu cukup dan kurang
100 %
I= = 50 %
2

d. Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan adalah jumlah pendapatan perkapita yang diperoleholeh kepala


keluarga, istri, anak maupun anggota keluarga lainnya yang tinggal pada rumah tangga tersebut
yang dinilai dalam bentuk uang dan barang yang dinilai dengan uang (rupiah) kemudian dibagi
dengan jumlah anggota keluarga. Tingkat pendapatan perkapita keluarga pada tiap rumah tangga
dinilai berdasarkan standar Upah Minimum Kabupaten Buton Tahun 2009. Adapun kriteria
objektifnya sebagai berikut :

1) Cukup = Bila pendapatan keluarga ≥ Rp. 810.000,- per bulan.

2) Kurang = Bila pendapatan keluarga < Rp. 810.000,- per bulan.

(Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Buton, 2012).

3.6. Pengumpulan Data

1. PemberianInformed Consent (Formulir Persetujuan)

Setiap responden dalam penelitian ini akan dimintai persetujuan denganmengisi lembar
informed consent yang berisikan tujuan, manfaat dankejelasan tentang kerahasiaan subyek.

14
2. Sumber Data
a. Data primer

Data primer diperoleh dengan wawancara secara langsung dengan orangtua balita (ibu)
yang menggunakan alat bantu berupa kuesioner. Data yang dikumpulkan berupa identitas
responden, identitas sampel (tidak termasuk balita gizi buruk), pola makan, pengetahuan gizi ibu,
tingkat pendapatandan penyakit infeksi.

b. Data sekunder
Data sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi SulawesiTenggara, Dinas Kesehatan
Kabupaten Buton, Dinas Sosial, Tenaga Kerjadan Transmigrasi Kabupaten Buton serta
instansi lain yang berhubungandengan penelitian ini. Data yang dikumpulkan antara lain :
data jumlahkasus balita gizi buruk di Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2012 ,data jumlah
kasus balita gizi buruk di Kabupaten Buton tahun 2012, dan dataUpah Minimum Kabupaten
Buton tahun 2012.

3.7. Teknik Analisis Data

Analisis data dilakukan sebagai berikut :

1. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan secara deskriptif dari masing-masingvariabel dengan
menggunakan tabel distribusi frekuensi disertai penjelasan.
2. Analisis bivariat
Untuk menguji hipotesis nol (Ho) digunakan analisis bivariat (Odds Ratio) dengan
menggunakan tabel 2x2 dengan formulasi sebagai berikut :

Faktor Risiko Kejadian buruk pada balita jumlah


Kasus kontrol
Faktor Risiko (+) a b a+b
Faktor Risiko (-) c d c+d
jumlah a+c b+d a+b+c+d

15
16
a xd
OR = (Multono, 2000)
bxc

Keterangan :

a : jumlah kasus dengan resiko (+)

b : jumlah kontrol dengan resiko (+)

c : jumlah kasus dengan resiko (-)

d : jumlah kontrol dengan resiko (-)

Menurut Multono (2000), estimasi Coefisien Interval (CI) ditetapkan pada tingkat kepercayaan
95 % dengan interpretasi :

a. Jika OR > 1, merupakan faktor risiko terjadinya kasus.


b. Jika OR = 1, bukan faktor risiko terjadinya kasus.
c. Jika OR < 1, merupakan faktor risiko proteksi/ perlindungan terjadinyakasus.

Nilai OR dikatakan bermakna apabila nilai lower limit dan upperlimit tidak mencakup nilai 1
(Ho ditolak). Untuk menentukan apakah nilaiOR yang diperoleh mempunyai pengaruh
kemaknaan maka harus dihitung nilai batas bawah (lower limit) dan nilai batas atas (upper limit).
Untuk mengetahui batas atas dan batas bawah tersebut dapat digunakan rumus :

Upper limit : OR x e+f

Lower limit : OR x e-f

Di mana,

E = log nature (2,72) (Chandra, 1996)

3.8. Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk tabel, gambar dan selanjutnya dinarasikan.

3.9.Etika Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dengan desain case control yang tidakdilakukan
perlakuan terhadap subjek penelitian , sehingga tidak ada kemungkinan resiko yang dapat
membahayakan /merugikan subjek penelitian. Namun, untuk memperhatikan etika profesional

17
dalam penelitian , maka harus dipertimbangkan adalah menyangkut privasi subjek penelitian
yang meliputi identitas yang diperoleh dari subjek penelitian akan dijaga kerahasiaannya

18

Anda mungkin juga menyukai