Anda di halaman 1dari 40

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT TUTORIAL KLINIK

FAKULTAS KEDOKTERAN AGUSTUS 2020


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

KEDOKTERAN KELUARGA
Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Pasien

GIZI BURUK

Oleh:
Nurul Amaliyah, S.Ked

Pembimbing :
dr. Nungki Mahesarani

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama / NIM : Nurul Amaliyah, S.Ked/10542057114

Judul : Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Pasien Gizi Buruk

Telah menyelesaikan tugas Tutorial Klinik dalam rangka kepaniteraan klinik pada

bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Makassar.

Makassar, Agustus 2020

PEMBIMBING

dr. Nungki Mahesarani

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................3

BAB III LAPORAN KASUS...............................................................................22

BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................29

BAB V LAMPIRAN............................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat
perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan
gizi.1
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan
nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi
masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak
dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan
kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi
buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah
generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah
dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman.
Dengan alasan tersebut, masalah ini selalu menjadi program penanganan
khusus oleh pemerintah.2
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum
menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi
buruk, kurang vitamin A, anemia defisiensi besi, gangguan akibat kurang
Yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di
seluruh tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut
antara lain adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan
pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan
perilaku keluarga dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di
tingkat rumah tangga, ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar
serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi
masyarakat yang berkualitas.3
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium
Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48
indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan
kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari
lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah
menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita (indikator keempat)
dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (indikator
kelima).4
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal
ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak
balita dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010.
Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih
relatif besar.1
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi
provinsi NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila
dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi tahun
2015 sebesar 20% dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di
atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui target nasional
2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa
prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011).
Sedangkan menurut data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009
prevalensi gizi buruk di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi
4,77.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat
badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely
underweight (Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008,
keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-
tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4

B. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi
oleh berbagai faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor
penyebab tidak langsung. Menurut Depkes RI (1997) dalam Mastari
(2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi pada balita
adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan
kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan
faktor sepertitingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan,
ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke
fasilitas pelayanan. Selain itu,pemeliharaan kesehatan juga memegang
peranan penting. Di bawah ini dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak
langsung masalah gizi balita, yaitu:
a. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang
disediakan untuk konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya.
Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan
kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi
yang berlawanan hampir universal.Selain itu diupayakan menanamkan
pengertian kepada para orang tua dalam hal memberikan makanan
anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.

b. Tingkatan Pengetahuan Ibu tentang Gizi.


Suatu hal yang meyakinkan tentang pentingnya pengetahuan gizi
didasarkan pada tiga kenyataan yaitu:
 Status gizi cukup adalah penting bagi kesehatan dan kesejahteraan.
 Setiap orang hanya akan cukup gizi jika makanan yang
dimakannya mampu menyediakan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan tubuh yang optimal.
 Ilmu gizi memberikan fakta-fakta yang perlu sehingga penduduk
dapat belajar menggunakan pangan dengan baik bagi perbaikan
gizi.
Pengetahuan gizi yang baik akan menyebabkan seseorang mampu
menyusun menu yang baik untuk dikonsumsi. Semakin banyak
pengetahuan gizi seseorang,maka ia akan semakin memperhitungkan
jenis dan jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi.
Pengetahuan gizi yang dimaksud disini termasuk pengetahuan
tentang penilaian status gizi balita. Dengan demikian ibu bias lebih
bijak menanggapi tentang masalah yang berkaitan dengan gangguan
status gizi balita.

c. Tingkatan Pendidikan Ibu


Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi
rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, kebersihan pemeriksaan
kehamilan dan pasca persalinan, serta kesadaran terhadap kesehatan
dan gizi anak-anak dan keluarganya. Disamping itu pendidikan
berpengaruh pula pada factor social ekonomi lainnya seperti
pendapatan, pekerjaan, kebiasaan hidup, makanan, perumahan dan
tempat tinggal.
Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan gizi yang mereka
peroleh. Hal ini bias dijadikan landasan untuk membedakan metode
penyuluhan yang tepat. Dari kepentingan gizi keluarga, pendidikan
diperlukan agar seseorang lebih tanggap terhadap adanya masalah gizi
di dalam keluarga dan bias mengambil tindakan secepatnya.
Tingkat pendidikan ibu banyak menentukan sikap dan tindak-
tanduk menghadapi berbagai masalah, missal memintakan vaksinasi
untuk anaknya, memberikan oralit waktu diare, atau kesediaan menjadi
peserta KB. Anak-anak dari ibu yang mempunyai latar pendidikan
lebih tinggi akan mendapat kesempatan hidup serta tumbuh lebih baik.
Keterbukaan mereka untuk menerima perubahan atau hal baru guna
pemeliharaan kesehatan anak maupun salah satu penjelasannya.

d. Akses Pelayanan Kesehatan


Sistem akses kesehatan mencakup pelayanan kedokteran (medical
service)dan pelayanan kesehatan masyarakat (public health service).
Secara umum akses kesehatan masyarakat adalah merupakan
subsistem akses kesehatan, yang tujuan utamanya adalah pelayanan
preventif (pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan
sasaran masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa akses
kesehatan masyarakat tidak melakukan pelayanan kuratif (pengobatan)
dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya akses kesehatan dasar diarahkan kepada peningkatan
kesehatan danstatus gizi pada golongan rawan gizi seperti pada wanita
hamil, ibu menyusui, bayi dan anak-anak kecil, sehingga dapat
menurunkan angka kematian. Pusat kesehatan yang paling sering
melayani masyarakat, membantu mengatasi dan mencegah gizi kurang
melalui program-program pendidikan gizi dalam masyarakat. Akses
kesehatan yang selalu siap dan dekat dengan masyarakat akan sangat
membantu meningkatkan derajat kesehatan. Dengan akses kesehatan
masyarakat yang optimal kebutuhan kesehatan dan pengetahuan gizi
masyarakat akan terpenuhi.

e. Asupan makanan
Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup
atau salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang
salah. Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan balita adalah air, energi,
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Memilih makanan
yang tepat untuk balita harus menentukan jumlah kebutuhan dari setiap
nutrien,menentukan jenis bahan makanan yang dipilih, dan
menentukan jenis makanan yang akan diolah sesuai dengan hidangan
yang dikehendaki.

Sebagian besar balita dengaan gizi buruk memiliki pola makan


yang kurang beragam. Pola makanan yang kurang beragam memiliki
arti bahwa balita tersebut mengkonsumsi hidangan dengan komposisi
yang tidak memenuhi gizi seimbang. Berdasarkan dari keseragaman
susunan hidangan pangan, pola makanan yang meliputi gizi seimbang
adalah jika mengandung unsur zat tenaga yaitu makanan pokok, zat
pembangun dan pemelihara jaringan yaitu lauk pauk dan zat pengatur
yaitu sayur dan buah

f. Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat
rentan terhadap penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit
tersebut justru menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-
penyakit tersebut adalah:
1. Diare persisten : sebagai berlanjutnya episode diare selama 14
hari atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau
berdarah (disentri). Kejadian ini sering dihubungkan dengan
kehilangan berat badan dan infeksi non intestinal.
2. Tuberkulosis : Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang
dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh
hidup lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang
tinggi. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu
penularannya terjadi pada malam hari. Tuberkulosis ini dapat
terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di
luar paru.
3. HIV AIDS : HIV merupakan singkatan dari ’Human
Immunodeficiency Virus’. HIV merupakan retrovirus yang
menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia dan
menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang
terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan
tubuh.

Penyakit tersebut di atas dapat memperburuk keadaan gizi melalui


gangguan intake makanan dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi
esensial tubuh. Terdapat hubungan timbal balik antara kejadian penyakit
dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan
gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan
terhadap penyakit. Di sisi lain anak yang menderita sakit akan cenderung
menderita gizi buruk.
g. Berat Badan Lahir Rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir
kurang dari 2500 gram tanpa memandang masa gestasi sedangkan
berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 (satu) jam setelah
lahir. Pada BBLR zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit terutama penyakit infeksi. Penyakit ini
menyebabkan balita kurang nafsu makan sehingga asupan makanan
yang masuk kedalam tubuh menjadi berkurang dan dapat
menyebabkan gizi buruk.

h. Kelengkapan imunisasi
Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi
adalah bayi dan balita karena meraka yang paling peka terhadap
penyakit dan sistem kekebalan tubuh balita masih belum sebaik
dengan orang dewasa. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka
kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena
penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan
kejadian gizi. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi
dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit
untuk mempertahankan agar kekebalan dapat tetap melindungi
terhadap paparan bibit penyakit.

i. ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI)
eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di
Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan.

Selain ASI mengandung gizi yang cukup lengkap, ASI juga


mengandung antibodi atau zat kekebalan yang akan melindungi balita
terhadap infeksi. Hal ini yang menyebabkan balita yang diberi ASI,
tidak rentan terhadap penyakit dan dapat berperan langsung terhadap
status gizi balita. Selain itu, ASI disesuaikan dengan sistem
pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu
formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini pada bayi.
Susu formula sangat susah diserap usus bayi. Pada akhirnya, bayi sulit
buang air besar. Apabila pembuatan susu formula tidak steril, bayi
akan rawan diare.

Malnutrisi energi protein (MEP) merupakan salah satu dari


empat masalah gizi utama di Indonesia. Prevalensi yang tinggi terdapat
pada anak di bawah umur lima tahun (balita) serta pada ibu hamil dan
menyusui. Berdasarkan Riskesdas 2007, 13% balita menderita gizi
kurang dan 5,4% balita menderita gizi buruk. Pada Risdesdas 2010,
13% balita menderita gizi kurang sedangkan angka gizi buruk turun
menjadi 4,9%.

Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi protein,


MEP diklasifikasikan menjadi MEP derajat ringan-sedang (gizi
kurang) dan MEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum
menunjukkan gejala klinis yang khas, hanya dijumpai gangguan
pertumbuhan dan anak tampak kurus. Pada gizi buruk, di samping
gejala klinis didapatkan kelainan biokimia sesuai dengan bentuk klinis.
Pada gizi buruk didapatkan 3 bentuk klinis yaitu kwashiorkor,
marasmus, dan marasmik kwashiorkor, walaupun demikian
penatalaksanaannya sama.

C. Epidemiologi
Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U <-
3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi
7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya
pemerintahan tara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam
Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui
pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan,
berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998;
8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi
peningkatan kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala
klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai
dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO
menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada balita disebabkan karena
gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria
dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami
perbaikan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi
buruk pada anak balita dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada
tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi
buruk masih relatif besar.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi
provinsi NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila
dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi tahun
2015 sebesar 20% dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di
atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui target nasional
2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa
prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011).
Sedangkan menurut data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009
tahun 2009 prevalensi gizi buruk di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010
turun menjadi 4,77. 1

D. Klasifikasi Gizi Buruk


Terdapat 3 tipe gizi buruk adalah marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri
atau tanda klinis dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.
a. Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat.
Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak
terlihat lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit),
rambut mudah patah dan kemerahan, gangguan kulit, gangguan
pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya. Anak
tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan,
karena masih merasa lapar. Berikut adalah gejala pada marasmus
adalah :4
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar
lemak dan otot-ototnya, tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa
lapar

b. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger
baby), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping
kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama
dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau
edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran
klinik dan kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena
masukan protein tidak cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena
penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik,
kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi,
perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada
penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi
protein berat dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan
masukan atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka
metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi
vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-
gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling
menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah industri belum
bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi
letargi, apatis atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan
pertumbuhan tidak cukup, kurang stamuna, kehilangan jaringan
muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang
paling serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia,
kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati
membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi
lemak. Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin
ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam sebelum dapat
dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, laju filtrasi
glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin
kecil pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar.
Pada kasus ini sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak
pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar
sinar matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah
deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan
kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam,
dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna
rambut (hipokromotrichia) .6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya
anoreksia, mual, muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah,
tiois, dan atrofi, tetapi kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak
subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada.
Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah
dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat
rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan
terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang
tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas

c. Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal.
Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60%
dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema,
kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi
terlihat pula.4

E. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis,
antropometri dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk
berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan
energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya
kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi
buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya
pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan
dengan anak yang sehat.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
 BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)
 Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh
tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor :
BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda
klinis berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan
pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa adanya edema.7
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :
 Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
 Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lender)
 Kapan terakhir berkemih
 Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana
selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan tertangani)
 Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
 Riwayat pemberian ASI
 Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari
terakhir
 Hilangnya nafsu makan
 Kontak dengan campak atau tuberculosis paru
 Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
 Batuk kronik
 Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
 Berat badan lahir
 Riwayat tumbuh kembang
 Riwayat imunisasi
 Apakah ditimbang setiap bulan
 Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)
 Diketahui atau tersangka infeksi HIV.7

Pemeriksaan Fisik
 Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua
punggung kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
 Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
 Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat),
kesadaran menurun
 Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)
 Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung
 Sangat pucat
 Pembesaran hati dan ikterus
 Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda
asites
 Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)
 Ulkus pada mulut
 Fokus infeksi : THT, paru, kulit
 Lesi kulit pada kwashiorkor
 Tampilan tinja
 Tanda dan gejala infeksi HIV
5. Penatalaksanaan
Berikut disertakan alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk

Bagan 1. Alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk


Selain itu, berikut disertakan alur pelayanan anak gizi buruk di rumah sakit/puskesmas
perawatan.

Bagan 2. Alur Pelayanan Anak Gizi Buruk di Rumah Sakit/Puskesmas Perawatan

Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk tanpa tada bahaya
atau tanda penting tertentu.

20
Bagan 3. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Stabilisasi

Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana
yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga
ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini
dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien
kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama
adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2%
tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada,
berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan
untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair,
kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.

21
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3
jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde)

2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.

3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh
makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,
memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda
hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikansebagaipencegahansebanyak 200.000 SI peroralatau
100.000 SI secara intra muskuler. Bilaterdapatxeroftalmia, vitamin A
diberikandengandosis total 50.000 SI/kg beratbadandandosismaksimal
400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zatbesi
(Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai
KKP berat.

22
Tabel 1.Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk

BAB III

23
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
1. Nama : An. N
2. Usia : 4 tahun 6 bulan
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan :-
6. Alamat : Jl. Kumala II
7. Suku : Makassar
8. Tanggal Pemeriksaan : 6 Agustus 2020

B. Anamnesis
Seorang pasien anak perempuan usia 4 tahun 6 bulan datang ke UGD
Puskesmas Jongaya dengan keluhan demam yang dialami sejak 1 minggu lalu.
Demam sering dirasakan sejak usia 3 tahun. Selain itu pasien sering terlihat lemas
dan pucat, perut pasien membuncit sejak kurang lebih satu tahun lalu dan memberat
1 bulan terakhir. batuk kadang-kadang, flu kadang-kadang, menggigil (-). Muntah
(+), nafsu makan pasien menurun. BAK biasa. BAB kadang encer (+), lendir (+),
ampas (+).

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Berdasarkan pernyataan keluarga pasien, pasien pernah mengalami keluhan
yang sama dan memiliki riwayat batuk dan flu.

Riwayat Penyakit Keluarga dan Sosial:

Dalam keluarga pasien tidak memiliki riwayat penyakit yang sama.

C. Anamnesis Keluarga :

1. Bentuk & Fungsi Keluarga

a. Bentuk Keluarga

1) Bentuk Keluarga menurut Goldenberg

24
Keluarga terdiri dari kepala keluarga (KK) yang merupakan

Kakek pasien bernama Tn. J 65 tahun, Ny. H 60 tahun sebagai nenek

pasien. Ny R 33 tahun sebagai anak ke dua dari kakek dan nenek pasien,

Tn. N 40 tahun sebagai menantu, An. F 10 tahun sebagai anak pertama

dari anak kedua. Ny. R 30 tahun sebagai anak ke tiga, Tn. D 31 tahun

sebagai menantu. An. M 12 tahun sebagai anak pertama dari anak ketiga,

An. R 11 tahun sebagai anak kedua dari anak ketiga. Ny. I 25 tahun

sebagai anak ke empat yang merupakan ibu pasien, Tn A 30 tahun

sebagai menantu yang merupakan ayah pasien, An. S 8 tahun sebagai

kakak pertama pasien dan An. N 4 tahun sebagai anak ke tiga yang

merupakan pasien. Ny. S 22 tahun merupakan anak ke lima dari kakek

dan nenek pasien, Tn. S 37 tahun sebagai menantu. An C 1 tahun sebagai

anak pertama dari anak ke lima. Tn. W 35 tahun sebagai anak pertama,

Ny. P 30 tahun sebagai menantu. Anak ke enam bernama Tn. A 20

tahun. Bentuk keluarga adalah Keluarga besar (Extended Family) yaitu

keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak kandung, juga sanak

saudara lainnya, baik menurut garis vertical (ibu, bapak, kakek, nenek,

mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar)

yang berasal dari pihak suami atau istri.

2) Bentuk keluarga menurut Sussman

Menurut sussmann, bentuk keluarga ini adalah Keluarga

tradiional, yaitu keluarga yang pembentukannya sesuai atau tidak

melanggar norma-norma kehidupan masyarakat yang secara tradisional

dihormati bersama. Hal yang terpenting adalah keabsahan ikatan

25
perkawinan antara suami dan istri.

b. Fungsi Keluarga

1) Fungsi biologis

 Untuk meneruskan keturunan.

 Memelihara dan membesarkan anak.

 Memenuhi kebutuhan gizi keluarga.

 Memelihara dan merawat anggota keluarga.

2) Fungsi Psikologis

 Memberikan kasih sayang dan rasa aman.

 Memberikan perhatian diantara anggota keluarga.

 Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga.

 Memberikan Identitas anggota keluarga.

3) Fungsi Sosial

 Membina sosialisasi pada anak.

 Membentuk norma-norma perilaku sesuai dengan tingkat

perkembangan anak.

 Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.

4) Fungsi Ekonomi

 Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga. 

 Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi

26
kebutuhan keluarga.

 Menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan

datang, misalnya pendidikan anak-anak, jaminan hari tua.

Keluarga ini telah memenuhi sebagaian fungsi keluarga. Dari segi

biologis keluarga belum mampu memenuhi kebutuhan gizi dengan baik, dari

segi ekonomi kurang baik dikarenakan anak mereka yang tidak mendapatkan

pendidikan secara tuntas.

2. Siklus Keluarga

Tahapan siklus keluarga menurut Duvall pada keluarga Tn. JK termasuk

ke dalam tahap ke yaitu orang tua usia pensiunan. Dimana keluarga ini memiliki

6 orang anak. Dimana anak pertama sampai ke enam berusia dewasa.

C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tidak dilakukan
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak ada
E. Diagnosis Banding
1. Kwasiorkor
2. Marasmus
3. Marasmik kwasiorkor
F. Diagnosis Kerja
Gizi buruk

G. Terapi
Farmakologi
 multivitamin

Non Farmakologi
27
 Edukasi kepada orang tua/ keluarga pasien mengenai penyakit pasien
 Mencari tahu penyebab kekurangan gizi pada anak dan memberi nasihat sesuai
dengan penyebab tersebut.
 Memberikan edukasi pada orang tua untuk memberi makanan yang sehat bergizi
 kontrol berat badan setiap bulan

H. Prognosis
Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Genogram

28
B. Apgar Keluarga

29
Respons

KRITERIA PERTANYAAN Hampir


Hampir
Kadang tidak
selalu
pernah

Apakah pasien puas dengan keluarga


karena masing-masing anggota keluarga
Adaptasi √
sudah menjalankan kewajiban sesuai
dengan seharusnya

Apakah pasien puas dengan keluarga


karena dapat membantu memberikan
Kemitraan √
solusi terhadap permasalahan yang
dihadapi

Apakah pasien puas dengan kebebasan


yang diberikan keluarga untuk
Pertumbuhan √
mengembangkan kemampuan yang
pasien miliki

Apakah pasien puas dengan


Kasih Sayang kehangatan/kasih sayang yang √
diberikan keluarga

Apakah pasien puas dengan waktu yang


Kebersamaan disediakan keluarga untuk menjalin √
kebersamaan

TOTAL
Skoring : Hampir selalu=2 , kadang-kadang=1 , hampir tidak pernah=0
Total skor
8-10 = fungsi keluarga sehat
4-7 = fungsi keluarga kurang sehat
0-3 = fungsi keluarga sakit
Dari tabel APGAR keluarga diatas total nilai skoringnya adalah 7, ini menunjukan fungsi
keluarga kurang sehat.

30
C. Mandala of Health

GAYA HIDUP
Pemenuhan kebutuhan
primer tidak dapat
tercukupi dengan baik.

LINGK. PSIKO-SOSIO-EKONOMI
PERILAKU KESEHATAN
Orangtua pasien jarang memberikan makanan sehat dan bergizi Pendapatan keluarga kurang.
Perilaku orang tua yang memberikan MPASI sebelum usia 6 bulan Tingkat pendidikan orang tua yang rendah.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang merawat dan mengasuh bayi

PASIEN
Datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam sering dirasakan sejak usia 3 tahun. Perut membuncit (+), lemas (+), nafsu makan menurun.
S : 38,3 C
BB = 10
U = 52 bulan
SG= <-3 SD

PELAYANAN LINGK. KERJA


KESEHATAN Hygiene yang
Jarak rumah kurang
dengan tempat
pelayanan
kesehatan tidak
terlalu jauh.

LING. FISIK
Lingkungan fisik rumah kurang baik.
FAKTOR BIOLOGI
Riwayat infeksi sebelumnya

KOMUNITAS
Pemukiman padat penduduk 31
D. Status Keluarga

32
Kedudukan
Nama dalam L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Ket
keluarga

Kepala
Tn. J Keluarga / L 65 th Tamat SD Tidak ada
kakek pasien

Ibu Rumah
Ny. H nenek pasien P 60 th Tamat SMP
Tangga

Ibu Rumah
Ny. R Anak ketiga P 30 th Tamat SMP
Tangga

Suami anak
Tn D L 31 th Tamat SMA Wiraswasta
ketiga

Anak
An. M pertama dari P 12 th SD Pelajar
anak ketiga

Anak kedua
An R dari anak L 11 th SD Pelajar
ketiga

Anak Ibu Rumah


Ny. I P 25 th Tamat SD
keempat Tangga

Suami anak Buruh


Tn A L 30 th Tamat SD
keempat harian

Anak
pertama dari
An. S P 8 th SD Pelajar
anak
keempat

Anak ketiga
dari anak
An N P 4th - -
keempat /
pasien

Ibu Rumah
Ny. S Anak kelima P 22 th Tamat SMP
Tangga
33
Suami anak
Tn. S L 37 th Tamat SMP Wiraswasta
kelima
F. Diagnosa Holistik (Multiaksial)
1. Aksis I
Aspek Personal (alasan kedatangan, harapan, kekhawatiran)
a. Alasan berobat :Tubuh pasien demam dialami satu minggu, perut
membuncit. Disertai adanya batuk berlendir, flu, muntah.
b. Harapan :Berobat dengan harapan keluhan teratasi, dan dapat pulih
kembali.
c. Kekhawatiran :Takut terjadi komplikasi yang berat.
2. Aksis II
Aspek Klinis (diagnosis kerja dan diagnosis banding)
a. Diagnosa Kerja : Gizi buruk
b. Diagnosa Banding : kwashiorkor, marasmus, kwashiorkor-marasmik
3. Aksis III
Aspek Faktor Intrinsik (faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi
masalah kesehatan pasien)
a. Pola makan pasien, pasien tidak mendapatkan gizi yang seimbang.
Makanan yang dimakan tidak mengandung gizi seimbang
b. Gaya hidup pasien; pasien makan 3 kali sehari dengan menu seadanya,
terkadang dengan sayur dan tahu tempe, namun sering kali hanya
menggunakan bubur nasi dan garam.
c. Kurangnya pengetahuan orang tua pasien tentang pola hidup sehat
4. Aksis IV
Aspek Psikososial Keluarga (faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
masalah kesehatan pasien)
a. Kurangnya kesadaran terhadap pencegahan penyakit
b. Status pendidikan yang rendah
c. Kurangnya kesadaran dalam menjaga pola makan yang baik.
5. Aksis V
Aspek Fungsional (tingkat kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
baik di dalam maupun di luar rumah, fisik maupun mental)

34
Secara aspek fungsional, pasien mengalami kesulitan dalam hal fisik
dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di luar rumah.

G. Rencanan Penanganan
Rencana penanganan berdasarkan aksis yang diberikan kepada pasien dan
keluarga pasien adalah sebagai berikut :
1. Aspek personal : Menganjurkan pasien dan keluarga pasien untuk kontrol ke
puskesmas apabila ditemukan gejala yang sama serta menjelaskan agar tetap
mengonsumsi obat hingga sembuh. Hasil yang diharapkan adalah kondisi
pasien membaik dan mampu melakukan aktivitas seperti biasanya setiap hari.
2. Aspek klinik : Menganjurkan pasien dan keluarga pasien untuk makan makanan
yang lebih bergizi dan menerapkan perilaku Hidup Bersih dan Seahat serta
istirahat yang cukup. Menimbang berat badan setiap bulan.
3. Aspek resiko internal :Menganjurkan kepada keluarga pasien untuk menjaga
kebersihan makanan yang akan dikelola, dan memberikan makanan yang
seimbang untuk pasien dan keluarga
4. Aspek psikososial keluarga :Menjelaskan kepada keluarga pasien dan pasien
tentang penyakit yang diderita pasien dan memberikan dukungan agar selalu
menjaga pola makan dan hidup sehat. Hasil yang diharapkan adalah pasien
dan keluarga pasien dapat memahami dengan baik tentang penyakit yang
sedang diderita pasien sehingga dapat mengupayakan pencegahan untuk
penyakit tersebut.
5. Aspek Fungsional : Menganjurkan kepada keluarga pasien dan pasien untuk
menjaga kondisi fisik. Hasil yang diharapkan adalah kondisi pasien dan
keluarga lebih sehat dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

H. Data Sarana Pelayanan Kesehatan dan Lingkungan Keluarga


Kesimpulan tentang faktor pelayanan
Faktor Keterangan
kesehatan

Sarana pelayanan Puskesmas Pelayanan tidak menggunakan kartu KIS dan

35
kesehatan yang

digunakan oleh BPJS

keluarga

Cara mencapai
Jarak puskesmas dengan kediaman pasien
sarana pelayanan Naik bentor
tidak terlalu jauh
kesehatan tersebut

Tarif pelayanan Tidak


Semua pelayanan tidak menggunakan kartu
kesehatan yang memakai
jaminan kesehatan
dirasakan BPJS

Kualitas pelayanan

kesehatan yang Baik Kualitas pelayanan di puskesmas dirasa baik

dirasakan

J. Identifikasi Masalah Perilaku Hidup Bersih dan Sehat


No. Kriteria yang dinilai Jawaban Skor

1. Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan. Ya 1

2. Memberi ASI ekslusif. Ya 1

3. Menimbang balita setiap bulan. Ya 1

4. Menggunakan air bersih. Tidak 0

5. Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun. Tidak 0

36
6. Menggunakan jamban sehat. Tidak 0

7. Memberantas jentik di rumah sekali seminggu. Tidak 0

8. Makan buah dan sayur setiap hari. Tidak 0

9. Melakukan aktivitas fisik setiap hari. Ya 1

10. Tidak merokok di dalam rumah. Tidak 0

Total jawaban ya 4

Interpretasi: Total skor adalah 4 yang berarti keluarga ini tidak menerapkan PHBS
dengan baik.

BAB V
LAMPIRAN

37
38
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri kesehatan Republik Indonesia tentang


Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta : Dirjen Bina Gizi dan

39
Kesehatan Ibu dan Anak.
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4,
nomor 1.
3. Depkes RI 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kandarzi. Jakarta :
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
4. KEMENKES RI 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Available at :
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/
profil-kesehatan-indonesia.2016.pdf

40

Anda mungkin juga menyukai