KEDOKTERAN KELUARGA
Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Pasien
GIZI BURUK
Oleh:
Nurul Amaliyah, S.Ked
Pembimbing :
dr. Nungki Mahesarani
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas Tutorial Klinik dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Muhammadiyah Makassar.
PEMBIMBING
DAFTAR ISI
BAB IV PEMBAHASAN.....................................................................................29
BAB V LAMPIRAN............................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA 45
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usia balita merupakan periode pertumbuhan dan perkembangan
yang sangat pesat. Oleh karena itu, kelompok usia balita perlu mendapat
perhatian, karena merupakan kelompok yang rawan terhadap kekurangan
gizi.1
Gizi buruk merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan
nutrisi, atau nutrisinya di bawah standar. Gizi buruk masih menjadi
masalah yang belum terselesaikan sampai saat ini. Gizi buruk banyak
dialami oleh bayi dibawah lima tahun (balita). Masalah gizi buruk dan
kekurangan gizi telah menjadi keprihatinan dunia sebab penderita gizi
buruk umumnya adalah balita dan anak-anak yang tidak lain adalah
generasi generus bangsa. Kasus gizi buruk merupakan aib bagi pemerintah
dan masyarakat karena terjadi di tengah pesatnya kemajuan zaman.
Dengan alasan tersebut, masalah ini selalu menjadi program penanganan
khusus oleh pemerintah.2
Keadaan gizi masyarakat Indonesia pada saat ini masih belum
menggembirakan. Berbagai masalah gizi seperti gizi kurang dan gizi
buruk, kurang vitamin A, anemia defisiensi besi, gangguan akibat kurang
Yodium dan gizi lebih (obesitas) masih banyak tersebar di kota dan desa di
seluruh tanah air. Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan tersebut
antara lain adalah tingkat kemampuan keluarga dalam menyediakan
pangan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga, pengetahuan dan
perilaku keluarga dalam meilih, mengolah, dan membagi makanan di
tingkat rumah tangga, ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi dasar
serta ketersediaan dan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan dan gizi
masyarakat yang berkualitas.3
Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium
Development Goals (MDGs) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48
indikator, menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan
kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Dua dari
lima indikator sebagai penjabaran tujuan pertama MDGs adalah
menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita (indikator keempat)
dan menurunnya jumlah penduduk dengan defisit energi (indikator
kelima).4
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami perbaikan. Hal
ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi buruk pada anak
balita dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010.
Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi buruk masih
relatif besar.1
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi
provinsi NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila
dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi tahun
2015 sebesar 20% dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di
atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui target nasional
2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa
prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011).
Sedangkan menurut data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009
prevalensi gizi buruk di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010 turun menjadi
4,77.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat
badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah severely
underweight (Kemenkes RI, 2011), sedangkan menurut Depkes RI 2008,
keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-
tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.1,4
B. Etiologi
Menurut Hasaroh, (2010) masalah gizi pada balita dipengaruhi
oleh berbagai faktor, baik faktor penyebab langsung maupun faktor
penyebab tidak langsung. Menurut Depkes RI (1997) dalam Mastari
(2009), faktor penyebab langsung timbulnya masalah gizi pada balita
adalah penyakit infeksi serta kesesuaian pola konsumsi makanan dengan
kebutuhan anak, sedangkan faktor penyebab tidak langsung merupakan
faktor sepertitingkat sosial ekonomi, pengetahuan ibu tentang kesehatan,
ketersediaan pangan ditingkat keluarga, pola konsumsi, serta akses ke
fasilitas pelayanan. Selain itu,pemeliharaan kesehatan juga memegang
peranan penting. Di bawah ini dijelaskan beberapa faktor penyebab tidak
langsung masalah gizi balita, yaitu:
a. Tingkat Pendapatan Keluarga.
Tingkat penghasilan ikut menentukan jenis pangan apa yang
disediakan untuk konsumsi balita serta kuantitas ketersediaannya.
Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan kesehatan dan
kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan status gizi
yang berlawanan hampir universal.Selain itu diupayakan menanamkan
pengertian kepada para orang tua dalam hal memberikan makanan
anak dengan cara yang tepat dan dalam kondisi yang higienis.
e. Asupan makanan
Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup
atau salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang
salah. Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan balita adalah air, energi,
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral. Memilih makanan
yang tepat untuk balita harus menentukan jumlah kebutuhan dari setiap
nutrien,menentukan jenis bahan makanan yang dipilih, dan
menentukan jenis makanan yang akan diolah sesuai dengan hidangan
yang dikehendaki.
f. Penyakit penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat
rentan terhadap penyakit. Seperti lingkaran setan, penyakit-penyakit
tersebut justru menambah rendahnya status gizi anak. Penyakit-
penyakit tersebut adalah:
1. Diare persisten : sebagai berlanjutnya episode diare selama 14
hari atau lebih yang dimulai dari suatu diare cair akut atau
berdarah (disentri). Kejadian ini sering dihubungkan dengan
kehilangan berat badan dan infeksi non intestinal.
2. Tuberkulosis : Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob yang
dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh
hidup lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang
tinggi. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, karena itu
penularannya terjadi pada malam hari. Tuberkulosis ini dapat
terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di
luar paru.
3. HIV AIDS : HIV merupakan singkatan dari ’Human
Immunodeficiency Virus’. HIV merupakan retrovirus yang
menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia dan
menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Infeksi virus ini
mengakibatkan terjadinya penurunan sistem kekebalan yang
terus-menerus, yang akan mengakibatkan defisiensi kekebalan
tubuh.
h. Kelengkapan imunisasi
Kelompok yang paling penting untuk mendapatkan imunisasi
adalah bayi dan balita karena meraka yang paling peka terhadap
penyakit dan sistem kekebalan tubuh balita masih belum sebaik
dengan orang dewasa. Apabila balita tidak melakukan imunisasi, maka
kekebalan tubuh balita akan berkurang dan akan rentan terkena
penyakit. Hal ini mempunyai dampak yang tidak langsung dengan
kejadian gizi. Imunisasi tidak cukup hanya dilakukan satu kali tetapi
dilakukan secara bertahap dan lengkap terhadap berbagai penyakit
untuk mempertahankan agar kekebalan dapat tetap melindungi
terhadap paparan bibit penyakit.
i. ASI
Hanya 14% ibu di Indonesia yang memberikan air susu ibu (ASI)
eksklusif kepada bayinya sampai enam bulan. Rata-rata bayi di
Indonesia hanya menerima ASI eksklusif kurang dari dua bulan.
C. Epidemiologi
Data Susenas menunjukkan bahwa jumlah balita yang BB/U <-
3SD Z-score WHO-NCHS sejak tahun 1989 meningka tdari 6,3% menjadi
7,2% tahun 1992 dan mencapai puncaknya 11,6 % padatahun 1995. Upaya
pemerintahan tara lain melalui Pemberian Makanan Tambahan dalam
Jaring Pengaman Sosial (JPS) dan peningkatan pelayanan gizi melalui
pelatihan-pelatihan Tatalaksana Gizi Buruk kepada tenaga kesehatan,
berhasil menurunkan angka gizi buruk menjadi 10,1 % pada tahun 1998;
8,1% tahun 1999 dan 6,3 % tahun 2001. Namun pada tahun 2002 terjadi
peningkatan kembali menjadi 8% dan pada tahun 2003 menjadi 8,15 %.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala
klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus-kwashiorkor) umumnya disertai
dengan penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA). Tuberkulosis (TB) serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO
menunjukkan bahwa 54 % angka kesakitan pada balita disebabkan karena
gizi buruk, 19 % diare, 19% ISPA, 18% perinatal, 7% campak, 5% malaria
dan 32 % penyebab lain.5
Masalah gizi pada anak balita di Indonesia telah mengalami
perbaikan. Hal ini dapat dilihat antara lain dari penurunan prevalensi gizi
buruk pada anak balita dari 5,4% pada tahun 2007 menjadi 4,9% pada
tahun 2010. Meskipun terjadi penurunan, tetapi jumlah nominal anak gizi
buruk masih relatif besar.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi
provinsi NTB untuk gizi buruk dan kurang adalah 24,8%. Bila
dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi tahun
2015 sebesar 20% dan target MDG untuk NTB sebesar 24,8% berada di
atas nasional yang 18,5% maka NTB belum melampaui target nasional
2015 sebesar 20%. Berdasarkan Riskesdas tahun 2010, dikatakan bahwa
prevalensi gizi buruk NTB sebesar 10,6% (Tim Penyusun, 2011).
Sedangkan menurut data hasil pemantauan status gizi (PSG) tahun 2009
tahun 2009 prevalensi gizi buruk di NTB sebesar 5,49 dan tahun 2010
turun menjadi 4,77. 1
b. Kwashiorkor
Penampilan tipe kwashiorkor seperti anak yang gemuk (suger
baby), bilamana dietnya mengandung cukup energi disamping
kekurangan protein, walaupun dibagian tubuh lainnya terutama
dipantatnya terlihat adanya atrofi. Tampak sangat kurus dan atau
edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh.
Walaupun defisiensi kalori dan nutrien lain mempersulit gambaran
klinik dan kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena
masukan protein tidak cukup bernilai biologis baik. Dapat juga karena
penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik,
kehilangan protein abnormal pda proteinuria (nefrosis), infeksi,
perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein, seperti pada
penyakit hati kronik .6
Kwashiorkor merupakan sindrom klinis akibat dari defisiensi
protein berat dan masukan kalori tidak cukup. Dari kekurangan
masukan atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka
metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi
vitamin dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-
gejala tersebut. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling
menonjol di dunia saat ini terutama berada di daerah industri belum
bekembang.6
Bentuk klinik awal malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi
letargi, apatis atau iritabilitas. Bila terus berlanjut, mengakibatkan
pertumbuhan tidak cukup, kurang stamuna, kehilangan jaringan
muskuler, meningkatnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Imunodefisiensi sekunder merupakan salah satu dari manifestasi yang
paling serius dan konstan. Pada anak dapat terjadi anoreksia,
kekenduran jaringan subkutan dan kehilangan tonus otot. Hati
membesar dapat terjadi awal atau lambat, sering terdapat infiltrasi
lemak. Udem biasanya terjadi awal, penurunan berat badan mungkin
ditutupi oleh udem, yang sering ada dalam organ dalam sebelum dapat
dikenali pada muka dan tungkai. Aliran plasma ginjal, laju filtrasi
glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun. Jantung mungkin
kecil pada awal stadium penyakit tetapi biasanya kemudian membesar.
Pada kasus ini sering terdapat dermatitis. Penggelapan kulit tampak
pada daerah yang teriritasi tetapi tidak ada pada daerah yang terpapar
sinar matahari. Dispigmentasi dapat terjadi pada daerah ini sesudah
deskuamasi atau dapat generalisata. Rambut sering jarang dan tipis dan
kehilangan sifat elastisnya. Pada anak yang berambut hitam,
dispigmentasi menghasilkan corak merah atau abu-abu pada warna
rambut (hipokromotrichia) .6
Infeksi dan infestasi parasit sering ada, sebagaimana halnya
anoreksia, mual, muntah, dan diare terus menerus. Otot menjadi lemah,
tiois, dan atrofi, tetapi kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak
subkutan. Perubahan mental, terutama iritabilitas dan apati sering ada.
Stupor, koma dan meninggal dapat menyertai.6
Berikut ciri-ciri dari kwashiorkor secara garis besar adalah :
a. Perubahan status mental : cengeng, rewel, kadang apatis
b. Rambut tipis kemerahan seperti warna rambut jagung dan mudah
dicabut, pada penyakit kwashiorkor yang lanjut dapat terlihat
rambut kepala kusam.
c. Wajah membulat dan sembab
d. Pandangan mata anak sayu
e. Pembesaran hati, hati yang membesar dengan mudah dapat diraba dan
terasa kenyal pada rabaan permukaan yang licin dan pinggir yang
tajam.
f. Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas
c. Marasmik-Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik
kwashiorkor dan marasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal.
Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan < 60%
dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema,
kelainan rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi
terlihat pula.4
E. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis,
antropometri dan pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk
berbeda-beda tergantung dari derajat dan lamanya deplesi protein dan
energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh karena adanya
kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. Gejala klinis gizi
buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan hanya
pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan
dengan anak yang sehat.2
Diagnosis ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran
antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila :
BB/TB kurang dari -3SD (marasmus)
Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh
tubuh(kwashiorkor : BB/TB > -3SD atau marasmik-kwashiorkor :
BB/TB < -3SD.
Jika BB/TB ata BB/PB tidak dapat diukur dapat digunakan tanda
klinis berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak
mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu lengan
pantat dan pah; tulang iga terlihat jelas dengan atau tanpa adanya edema.7
Pada setiap anak gizi buruk dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Anamnesis terdiri dari anamnesia awal dan lanjutan.
Anamnesis awal (untuk kedaruratan) :
Kejadian mata cekung yang baru saja muncul
Lama dan frekuensi diare dan muntah serta tampilan dari bahan
muntah dan diare (encer/darah/lender)
Kapan terakhir berkemih
Sejak kapan kaki dan tangan teraba dingin
Bila didapatkan hal tersebut di atas, sangat mungkin anak mengalami
dehidrasi dan/atau syok, serta harus diatasi segera.
Anamnesis lanjutan (untuk mencari penyebab dan rencana tatalaksana
selanjutnya, dilakukan setelah kedaruratan tertangani)
Diet (pola makan)/ kebiasaan makan sebelum sakit
Riwayat pemberian ASI
Asupan makanan dan minuman yang dikonsumsi beberapa hari
terakhir
Hilangnya nafsu makan
Kontak dengan campak atau tuberculosis paru
Pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir
Batuk kronik
Kejadian dan penyebab kematian saudara kandung
Berat badan lahir
Riwayat tumbuh kembang
Riwayat imunisasi
Apakah ditimbang setiap bulan
Lingkungan keluarga (untuk memahami latar belakang social anak)
Diketahui atau tersangka infeksi HIV.7
Pemeriksaan Fisik
Apakah anak tampak sangat kurus, adakah edema pada kedua
punggung kaki. Tentukan status gizi dengan menggunakn BB/TB-PB
Tanda dehidrasi : tampak haus, mata cekung, turgor buruk
Tanda syok (akral dingin, CRT lambat, nadi lemah dan cepat),
kesadaran menurun
Demam (suhu aksilar ≥ 37,5 C) atau hipotermi (suhu aksilar <35,5 C)
Frekuensi dan tipe pernafasan : pneumonia atau gagal jantung
Sangat pucat
Pembesaran hati dan ikterus
Adakah perut kembung, bising usus melemah atau meningkat, tanda
asites
Tanda defisiensi vitamin A (bercak bitot, ulkus kornea, keratomalasia)
Ulkus pada mulut
Fokus infeksi : THT, paru, kulit
Lesi kulit pada kwashiorkor
Tampilan tinja
Tanda dan gejala infeksi HIV
5. Penatalaksanaan
Berikut disertakan alur pemeriksaan anak dengan gizi buruk
Berikut juga disertakan salah satu tatalaksana anak dengan gizi buruk tanpa tada bahaya
atau tanda penting tertentu.
20
Bagan 3. Pemberian Cairan dan Makanan Untuk Stabilisasi
Dalam proses pengobatan KEP berat terdapat 3 fase, adalah fase stabilisasi, fase
transisi dan fase rehabilitasi. Petugas kesehatan harus trampil memilih langkah mana
yang cocok untuk setiap fase. Tatalaksana ini digunakan baik pada penderita
kwashiorkor, marasmus maupun marasmik-kwarshiorkor.
1. Tahap Penyesuaian
Tujuannya adalah menyesuaikan kemampuan pasien menerima makanan hingga
ia mampu menerima diet tinggi energi dan tingi protein (TETP). Tahap penyesuaian ini
dapat berlangsung singkat, adalah selama 1-2 minggu atau lebih lama, bergantung pada
kemampuan pasien untuk menerima dan mencerna makanan. Jika berat badan pasien
kurang dari 7 kg, makanan yang diberikan berupa makanan bayi. Makanan utama
adalah formula yang dimodifikasi. Contoh: susu rendah laktosa +2,5-5% glukosa +2%
tepung. Secara berangsur ditambahkan makanan lumat dan makanan lembek. Bila ada,
berikan ASI.
Jika berat badan pasien 7 kg atau lebih, makanan diberikan seperti makanan
untuk anak di atas 1 tahun. Pemberian makanan dimulai dengan makanan cair,
kemudian makanan lunak dan makanan biasa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pemberian energi dimulai dengan 50 kkal/kg berat badan sehari.
21
b. Jumlah cairan 200 ml/kg berat badan sehari.
c. Sumber protein utama adalah susu yang diberikan secara bertahap dengan
keenceran 1/3, 2/3, dan 3/3, masing-masing tahap selama 2-3 hari. Untuk
meningkatkan energi ditambahkan 5% glukosa, dan
d. Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering, adalah 8-10 kali sehari tiap 2-3
jam.
Bila konsumsi per-oral tidak mencukupi, perlu diberi tambahan makanan lewat
pipa (per-sonde)
2. Tahap Penyembuhan
Bila nafsu makan dan toleransi terhadap makanan bertambah baik, secara
berangsur, tiap 1-2 hari, pemberian makanan ditingkatkan hingga konsumsi mencapai
150-200 kkal/kg berat badan sehari dan 2-5 gram protein/kg berat badan sehari.
3. Tahap Lanjutan
Sebelum pasien dipulangkan, hendaknya ia sudah dibiasakan memperoleh
makanan biasa yang bukan merupakan diet TETP. Kepada orang tua hendaknya
diberikan penyuluhan kesehatan dan gizi, khususnya tentang mengatur makanan,
memilih bahan makanan, dan mengolahnya sesuai dengan kemampuan daya belinya.
Suplementasi zat gizi yang mungkin diperlukan adalah :
a. Glukosa biasanya secara intravena diberikan bila terdapat tanda-tanda
hipoglikemia.
b. KCl, sesuai dengan kebutuhan, diberikan bila ada hipokalemia.
c. Mg, berupa MgSO4 50%, diberikan secara intra muskuler bila terdapat
hipomagnesimia.
d. Vitamin A diberikansebagaipencegahansebanyak 200.000 SI peroralatau
100.000 SI secara intra muskuler. Bilaterdapatxeroftalmia, vitamin A
diberikandengandosis total 50.000 SI/kg beratbadandandosismaksimal
400.000 SI.
e. Vitamin B dan vitamin C dapat diberikan secara suntikan per-oral. Zatbesi
(Fe) dan asam folat diberikan bila terdapat anemia yang biasanya menyertai
KKP berat.
22
Tabel 1.Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk
BAB III
23
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
1. Nama : An. N
2. Usia : 4 tahun 6 bulan
3. Jenis kelamin : Perempuan
4. Agama : Islam
5. Pekerjaan :-
6. Alamat : Jl. Kumala II
7. Suku : Makassar
8. Tanggal Pemeriksaan : 6 Agustus 2020
B. Anamnesis
Seorang pasien anak perempuan usia 4 tahun 6 bulan datang ke UGD
Puskesmas Jongaya dengan keluhan demam yang dialami sejak 1 minggu lalu.
Demam sering dirasakan sejak usia 3 tahun. Selain itu pasien sering terlihat lemas
dan pucat, perut pasien membuncit sejak kurang lebih satu tahun lalu dan memberat
1 bulan terakhir. batuk kadang-kadang, flu kadang-kadang, menggigil (-). Muntah
(+), nafsu makan pasien menurun. BAK biasa. BAB kadang encer (+), lendir (+),
ampas (+).
C. Anamnesis Keluarga :
a. Bentuk Keluarga
24
Keluarga terdiri dari kepala keluarga (KK) yang merupakan
pasien. Ny R 33 tahun sebagai anak ke dua dari kakek dan nenek pasien,
dari anak kedua. Ny. R 30 tahun sebagai anak ke tiga, Tn. D 31 tahun
sebagai menantu. An. M 12 tahun sebagai anak pertama dari anak ketiga,
An. R 11 tahun sebagai anak kedua dari anak ketiga. Ny. I 25 tahun
kakak pertama pasien dan An. N 4 tahun sebagai anak ke tiga yang
anak pertama dari anak ke lima. Tn. W 35 tahun sebagai anak pertama,
keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak kandung, juga sanak
saudara lainnya, baik menurut garis vertical (ibu, bapak, kakek, nenek,
mantu, cucu, cicit), maupun menurut garis horizontal (kakak, adik, ipar)
25
perkawinan antara suami dan istri.
b. Fungsi Keluarga
1) Fungsi biologis
2) Fungsi Psikologis
3) Fungsi Sosial
perkembangan anak.
4) Fungsi Ekonomi
keluarga.
26
kebutuhan keluarga.
biologis keluarga belum mampu memenuhi kebutuhan gizi dengan baik, dari
segi ekonomi kurang baik dikarenakan anak mereka yang tidak mendapatkan
2. Siklus Keluarga
ke dalam tahap ke yaitu orang tua usia pensiunan. Dimana keluarga ini memiliki
C. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tidak dilakukan
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak ada
E. Diagnosis Banding
1. Kwasiorkor
2. Marasmus
3. Marasmik kwasiorkor
F. Diagnosis Kerja
Gizi buruk
G. Terapi
Farmakologi
multivitamin
Non Farmakologi
27
Edukasi kepada orang tua/ keluarga pasien mengenai penyakit pasien
Mencari tahu penyebab kekurangan gizi pada anak dan memberi nasihat sesuai
dengan penyebab tersebut.
Memberikan edukasi pada orang tua untuk memberi makanan yang sehat bergizi
kontrol berat badan setiap bulan
H. Prognosis
Dubia ad bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Genogram
28
B. Apgar Keluarga
29
Respons
TOTAL
Skoring : Hampir selalu=2 , kadang-kadang=1 , hampir tidak pernah=0
Total skor
8-10 = fungsi keluarga sehat
4-7 = fungsi keluarga kurang sehat
0-3 = fungsi keluarga sakit
Dari tabel APGAR keluarga diatas total nilai skoringnya adalah 7, ini menunjukan fungsi
keluarga kurang sehat.
30
C. Mandala of Health
GAYA HIDUP
Pemenuhan kebutuhan
primer tidak dapat
tercukupi dengan baik.
LINGK. PSIKO-SOSIO-EKONOMI
PERILAKU KESEHATAN
Orangtua pasien jarang memberikan makanan sehat dan bergizi Pendapatan keluarga kurang.
Perilaku orang tua yang memberikan MPASI sebelum usia 6 bulan Tingkat pendidikan orang tua yang rendah.
Kurangnya pengetahuan ibu tentang merawat dan mengasuh bayi
PASIEN
Datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu. Demam sering dirasakan sejak usia 3 tahun. Perut membuncit (+), lemas (+), nafsu makan menurun.
S : 38,3 C
BB = 10
U = 52 bulan
SG= <-3 SD
LING. FISIK
Lingkungan fisik rumah kurang baik.
FAKTOR BIOLOGI
Riwayat infeksi sebelumnya
KOMUNITAS
Pemukiman padat penduduk 31
D. Status Keluarga
32
Kedudukan
Nama dalam L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Ket
keluarga
Kepala
Tn. J Keluarga / L 65 th Tamat SD Tidak ada
kakek pasien
Ibu Rumah
Ny. H nenek pasien P 60 th Tamat SMP
Tangga
Ibu Rumah
Ny. R Anak ketiga P 30 th Tamat SMP
Tangga
Suami anak
Tn D L 31 th Tamat SMA Wiraswasta
ketiga
Anak
An. M pertama dari P 12 th SD Pelajar
anak ketiga
Anak kedua
An R dari anak L 11 th SD Pelajar
ketiga
Anak
pertama dari
An. S P 8 th SD Pelajar
anak
keempat
Anak ketiga
dari anak
An N P 4th - -
keempat /
pasien
Ibu Rumah
Ny. S Anak kelima P 22 th Tamat SMP
Tangga
33
Suami anak
Tn. S L 37 th Tamat SMP Wiraswasta
kelima
F. Diagnosa Holistik (Multiaksial)
1. Aksis I
Aspek Personal (alasan kedatangan, harapan, kekhawatiran)
a. Alasan berobat :Tubuh pasien demam dialami satu minggu, perut
membuncit. Disertai adanya batuk berlendir, flu, muntah.
b. Harapan :Berobat dengan harapan keluhan teratasi, dan dapat pulih
kembali.
c. Kekhawatiran :Takut terjadi komplikasi yang berat.
2. Aksis II
Aspek Klinis (diagnosis kerja dan diagnosis banding)
a. Diagnosa Kerja : Gizi buruk
b. Diagnosa Banding : kwashiorkor, marasmus, kwashiorkor-marasmik
3. Aksis III
Aspek Faktor Intrinsik (faktor-faktor internal yang dapat mempengaruhi
masalah kesehatan pasien)
a. Pola makan pasien, pasien tidak mendapatkan gizi yang seimbang.
Makanan yang dimakan tidak mengandung gizi seimbang
b. Gaya hidup pasien; pasien makan 3 kali sehari dengan menu seadanya,
terkadang dengan sayur dan tahu tempe, namun sering kali hanya
menggunakan bubur nasi dan garam.
c. Kurangnya pengetahuan orang tua pasien tentang pola hidup sehat
4. Aksis IV
Aspek Psikososial Keluarga (faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi
masalah kesehatan pasien)
a. Kurangnya kesadaran terhadap pencegahan penyakit
b. Status pendidikan yang rendah
c. Kurangnya kesadaran dalam menjaga pola makan yang baik.
5. Aksis V
Aspek Fungsional (tingkat kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari
baik di dalam maupun di luar rumah, fisik maupun mental)
34
Secara aspek fungsional, pasien mengalami kesulitan dalam hal fisik
dan mental untuk melakukan aktifitas di dalam maupun di luar rumah.
G. Rencanan Penanganan
Rencana penanganan berdasarkan aksis yang diberikan kepada pasien dan
keluarga pasien adalah sebagai berikut :
1. Aspek personal : Menganjurkan pasien dan keluarga pasien untuk kontrol ke
puskesmas apabila ditemukan gejala yang sama serta menjelaskan agar tetap
mengonsumsi obat hingga sembuh. Hasil yang diharapkan adalah kondisi
pasien membaik dan mampu melakukan aktivitas seperti biasanya setiap hari.
2. Aspek klinik : Menganjurkan pasien dan keluarga pasien untuk makan makanan
yang lebih bergizi dan menerapkan perilaku Hidup Bersih dan Seahat serta
istirahat yang cukup. Menimbang berat badan setiap bulan.
3. Aspek resiko internal :Menganjurkan kepada keluarga pasien untuk menjaga
kebersihan makanan yang akan dikelola, dan memberikan makanan yang
seimbang untuk pasien dan keluarga
4. Aspek psikososial keluarga :Menjelaskan kepada keluarga pasien dan pasien
tentang penyakit yang diderita pasien dan memberikan dukungan agar selalu
menjaga pola makan dan hidup sehat. Hasil yang diharapkan adalah pasien
dan keluarga pasien dapat memahami dengan baik tentang penyakit yang
sedang diderita pasien sehingga dapat mengupayakan pencegahan untuk
penyakit tersebut.
5. Aspek Fungsional : Menganjurkan kepada keluarga pasien dan pasien untuk
menjaga kondisi fisik. Hasil yang diharapkan adalah kondisi pasien dan
keluarga lebih sehat dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.
35
kesehatan yang
keluarga
Cara mencapai
Jarak puskesmas dengan kediaman pasien
sarana pelayanan Naik bentor
tidak terlalu jauh
kesehatan tersebut
Kualitas pelayanan
dirasakan
36
6. Menggunakan jamban sehat. Tidak 0
Total jawaban ya 4
Interpretasi: Total skor adalah 4 yang berarti keluarga ini tidak menerapkan PHBS
dengan baik.
BAB V
LAMPIRAN
37
38
DAFTAR PUSTAKA
39
Kesehatan Ibu dan Anak.
2. Krisnansari, Diah. 2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4,
nomor 1.
3. Depkes RI 2007. Pedoman Pendampingan Keluarga Menuju Kandarzi. Jakarta :
Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat.
4. KEMENKES RI 2016. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2016. Available at :
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-indonesia/
profil-kesehatan-indonesia.2016.pdf
40