Anda di halaman 1dari 38

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa salah satunya ditentukan oleh

ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang

memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, produktif

serta memiliki kecerdasan yang tinggi. Peningkatan kualitas SDM ini sangat

terkait dengan peningkatan status gizi nasional, dimana rendahnya status gizi akan

menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan,

menurunkan produktivitas, menurunkan daya tahan serta meningkatkan

mortalitas, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan jumlah SDM

berkualitas. Oleh karena itu, investasi di sektor sosial (gizi,kesehatan dan

pendidikan) termasuk salah satu upaya perbaikan maupun peningkatan status gizi

masyarakat (Dwinta et al, 2022; Anwar, 2018).

Status gizi merupakan luaran dari konsumsi, absorbsi, dan pemanfaatan

makanan yang ditunjukkan pada kondisi tubuh (Putri dan Mahmudiono, 2020).

Salah satu faktor yang memengaruhi tingkat kesehatan individu adalah status gizi

yang baik. Penilaian status gizi ini memiliki peran untuk mengetahui ada tidaknya

masalah pada status gizi seseorang, yang dilakukan melalui pengukuran dari

beberapa parameter yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan standard atau

rujukan yang telah ditentukan (Ariani et al., 2021). Penilaian status gizi ini

meliputi pengukuran antropometri, pengumpulan informasi mengenai riwayat


medis secara klinis dan biokimia, praktik diet, jenis pengobatan yang sedang

dijalani, dan situasi ketahanan pangan (Putri dan Mahmudiono, 2020).

Asupan gizi yang cukup sangat penting pada lima tahun pertama (usia

balita) untuk dapat memastikan pertumbuhan anak yang sehat, terbentuknya organ

tubuh dengan fungsi yang tepat, terciptanya sistem kekebalan tubuh yang kuat,

dan berkembangnya sistem neurologis dan kognitif kearah yang lebih baik (Putri

dan Mahmudiono, 2020). Gizi pada masa lima tahun pertama akan mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan anak kedepannya. Pada masa ini tumbuh

kembang sel-sel otak anak begitu pesat sehingga membutuhkan asupan nutrisi dan

stimulus yang mendukung secara optimal (Anggraeni et al., 2021). Kasus

kekurangan gizi rawan terjadi pada kelompok usia balita sehingga perhatian perlu

diberikan pada kelompok usia ini. Hal ini dikarenakan balita sangat peka terhadap

gangguan pertumbuhan serta bahaya yang menyertainya (Putri dan Mahmudiono,

2020).

Dampak yang dapat timbul akibat kekurangan gizi pada lima tahun

pertama adalah perkembangan otak dan pertumbuhan fisik yang terganggu

sebagai dampak jangka pendek, sedangkan dampak jangka panjang yang dapat

timbul adalah risiko tinggi munculnya penyakit tidak menular pada usia dewasa

(Ekayanthi dan Suryani, 2019). Seseorang dengan tinggi badan, berat badan, dan

IMT di bawah rata-rata pada awal kehidupannya yang diikuti dengan peningkatan

berat badan yang cepat pada anak-anak selanjutnya berpotensi mengalami

penyakit kardiovaskular, termasuk penyakit jantung koroner (CHD), penyakit

serebrovaskular, hipertensi (tekanan darah tinggi), dan penyakit vaskular perifer


(PVD) (Putri dan Mahmudiono, 2020). Gangguan pertumbuhan akibat

kekurangan gizi pada masa anak-anak menyebabkan overweight dan obesitas di

masa dewasa dengan risiko lebih besar terkena penyakit kardiovaskular

(Nursyamsi et al., 2022).

Menurut data WHO (2012), jumlah penderita gizi kurang di dunia

mencapai 104 juta anak dan keadaan gizi kurang masih menjadi penyebab

sepertiga dari seluruh penyebab kematian anak di seluruh dunia (Yanti et al.,

2022). Asia Selatan merupakan daerah yang memiliki prevalensi gizi kurang

terbesar di dunia, yaitu sebesar 46 %, diikuti dengan daerah sub Sahara Afrika

sebesar 28 %, Amerika Latin/Caribbean sebesar 7%, dan yang paling rendah

terdapat di Eropa Tengah, Timur, dan Commonwealth of Independent States

(CEE/CIS) sebesar 5% (Jasmawati dan Setiadi, 2020). Menurut (World Health

Organization, 2016) sekitar 7,7% atau 52 juta anak di bawah 5 tahun secara

global mengalami kejadian gizi kurang, persentasi anak di bawah 5 tahun dengan

status gizi kurang tertinggi terdapat di Asia Selatan yakni sebesar 15,4%, di

osceania sebesar 9,4%, di Asia Tenggara sebesar 8,9%, di Afrika Barat sebesar

8,5% dan persentasi anak di bawah 5 tahun dengan status gizi kurang terendah

terdapat di Amerika Utara sebesar 0,5%. Keadaan gizi kurang pada anak balita

juga dapat di jumpai di Negara berkembang, salah satunya termasuk di Negara

Indonesia (Melsi et al., 2022).

Berdasarkan data Riskesdas Tahun 2018 prevalensi Nasional status gizi

kurus dan sangat kurus pada balita sebesar 10,2%, prevalensi gizi kurang sebesar

13,8%, prevalensi balita dengan berat badan kurang dan sangat kurang adalah
sebesar 17,7%, serta prevalensi balita pendek dan sangat pendek sebesar 30,8%

(Monika et al., 2021). Menurut standar WHO, suatu wilayah bisa dikatakan

kategori baik apabila prevalensi balita pendek kurang dari 20% dan prevalensi

balita kurus kurang dari 5%. Sedangkan suatu wilayah dikatakan mengalami

masalah gizi akut jika prevalensi balita pendek kurang dari 20% dan prevalensi

balita kurus lebih dari sama dengan 5%. Sehingga apabila ditinjau dari data

tersebut membuktikan bahwa posisi status gizi balita di Indonesia masih termasuk

dalam masalah kesehatan masyarakat apabila dilihat dari ambang batas masalah

gizi nasional. Oleh karena itu, dibutuhkan program peningkatan kualitas gizi

balita agar dapat menurunkan jumlah balita gizi kurang, salah satunya melalui

program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) (Aghadiati dan Ardianto, 2022).

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Pemulihan merupakan sebuah

program intervensi yang dilaksanakan oleh pemerintah pada kelompok usia balita

yang ditujukan sebagai tambahan asupan selain makanan pokok sehari-hari untuk

mengatasi permasalah kekurangan gizi. Program PMT Pemulihan ditetapkan

untuk membantu proses pemenuhan kecukupan gizi pada masa balita khususnya

balita kurus berupa biskuit MT balita yang termasuk dalam jenis PMT pabrikan.

Biskuit PMT Pemulihan diformulasikan memiliki kandungan minimum berupa

160 kalori, 3,2-4,8 gram protein, dan 4-7,2 gram lemak setiap 40 gram biskuit.

Berdasarkan petunjuk teknis pemberian makanan tambahan, sasaran utama

pemberian makanan tambahan adalah balita usia 6-59 bulan, dikategorikan balita

kurus berdasarkan hasil pengukuran berat badan menurut panjang/tinggi badan


(BB/PB atau BB/TB) bernilai kurang dari minus dua standar deviasi (<-2 SD)

dengan lama waktu pemberian adalah 90 hari makan sesuai aturan konsumsi.

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Pemulihan ini termasuk program

yang efektif dalam upaya penanggulangan permasalan gizi kurang pada usia

balita. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Rini et al (2017)

yang menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan pada perubahan status gizi

balita sebelum dan sesudah pemberian PMT Pemulihan menurut indeks

antropometri BB/U, dimana berdasarkan indeks BB/TB menunjukkan setelah

pemberian PMT Pemulihan, prevalensi balita yang sangat kurus menurun dari

100% mejadi 40,9%, sedangkan berdasarkan indeks BB/U dari 86.4% balita

dengan berat badan sangat kurang menurun menjadi 59,1%. Penelitian yang

dilakukan Fitriyanti dan Mulyanti (2012) juga menunjukkan hasil yang serupa

yaitu terdapat perbedaan status gizi balita sebelum dan sesudah pemberian

makanan tambahan pemulihan, dimana perbedaan status gizi balita bendasarkan

indeks antropometri BB/TB ditunjukkan dengan prevalensi balita sangat kurus

yang semula 100% setelah pemberian PMT menjadi balita normal sebesar 18,2%,

balita kurus sebesar 40.9%, dan balita sangat kurus 40.9% .

Berdasarkan uraian masalah, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

mengenai “Efektivitas Program Pemberian Makanan Tambahan Pada Balita Gizi

Kurang di Puskemas”.
1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah Bagaimana Efektivitas Program Pemberian Makanan

Tambahan Pada Balita Gizi Kurang di Puskemas ?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui efektivitas program pemberian makanan tambahan

pada balita gizi kurang di puskemas.

1.3.2. Tujuan Umum

a) Mengetahui status gizi balita sebelum mendapatkan PMT berupa

biskuit di Puskesmas.

b) Mengetahui status gizi balita sesudah mendapatkan PMT berupa biskuit

di Puskesmas.

c) Mengetahui pengaruh pemberian makananan tambahan (PMT) berupa

biskuit terhadap status gizi balita.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

dan

pengalaman bagi peneliti sendiri dalam memahami kaitan serta

gambaran

efektivitas program pemberian makanan tambahan pada balita yang

kekurangan gizi.
2. Bagi Instansi atau Puskesmas

Diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai efektivitas

program PMT pada balita dan dapat menjadi bahan acuan perencanaan

untuk pembinaan kesehatan sebagai upaya untuk mengatasi gizi buruk

pada balita

3. Bagi Keluarga Balita Gizi Buruk

Memberikan masukan dan informasi pada keluarga perlunya

asupan makanan yang adekuat agar status gizi selama pertumbuhan

balita berjalan optimal.

4. Bagi Pendidikan

Sebagai referensi keilmuan mengenai gizi, khususnya

gambaran

program PMT pada balita gizi kurang serta dapat meningkatkan

pengetahuan dan wawasan bagi mahasiswa, pembaca pada umumnya

dan bagi peneliti selanjutnya.


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Tentang Balita


2.1.1. Definisi Balita

Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan dan memiliki

karakteristik spesifik berupa proses pertumbuhan dan perkembangan yang

sangat pesat dan disertai dengan perubahan fisik dan fungsi tubuh sehingga

memerlukan zat-zat gizi yang jumlahnya lebih banyak dengan kualitas

yang tinggi. Selain itu, balita termasuk kelompok individu yang rentan gizi

serta mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan asupan makanan

yang dibutuhkan. Konsumsi makanan memegang peranan penting dalam

pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak sehingga konsumsi makanan

berpengaruh besar terhadap status gizi anak untuk mencapai pertumbuhan

fisik dan kecerdasan anak (Khairani, 2017; Wilujeng dan Supriliyah,

2013).
Anak balita adalah anak yang telah menginjak usia di atas satu

tahun atau juga dapat disebut sebagai kelompok individu yang berusia di

bawah lima tahun (Utaminingtyas, 2020). Menurut Achmad (2010), balita

adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita) dan anak pra sekolah

(3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih tergantung penuh kepada orang

tua untuk melakukan kegiatan penting, seperti mandi, buang air dan

makan. Perkembangan berbicara dan berjalan sudah bertambah baik,

namun kemampuan lain masih terbatas. Masa balita merupakan periode

penting dalam proses tumbuh kembang manusia. Perkembangan dan

pertumbuhan pasa masa itu menjadi penentu keberhasilan pertumbuhan

dan perkembangan anak pada periode selanjutnya. Masa tumbuh kembang

di usia ini merupakan masa yang berlangsung cepat dan tidak akan pernah

terulang kembali (irreversible), oleh karena itu sering disebut golden age

atau masa keemasan (Izah et al., 2018; Ag dan Amelia, 2021).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menjelaskan

balita merupakan usia dimana anak mengalami pertumbuhan dan

perkembangan yang pesat. Proses pertumbuhan dan perkembangan setiap

individu berbeda-beda, bisa cepat maupun lambat tergantung dari beberapa

faktor, yaitu nutrisi, lingkungan dan sosial ekonomi keluarga (Popang,

2022).
2.1.2. Karakteristik Balita

Balita merupakan anak usia kurang dari lima tahun, sehingga

dapat dikatakan bahwa bayi usia di bawah satu tahun juga termasuk ke

dalam golongan ini. Balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua,

yaitu anak usia lebih dari satu tahun sampai tiga tahun yang yang dikenal

dengan balita dan anak usia lebih dari tiga tahun sampai lima tahun yang

dikenal dengan usia pra sekolah (Meikasari dan Mustikawati, 2021).

Berdasarkan karakterisik, balita terbagi dalam dua kategori,

yaitu:

1. Anak Usia 1-3 Tahun

Usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif artinya anak

menerima makanan yang disediakan orang tuanya. Laju pertumbuhan

usia balita lebih besar dari usia prasekolah, sehingga diperlukan

jumlah makanan yang relatif besar. Perut yang lebih kecil

menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali

makan lebih kecil bila dibandingkan dengan anak yang usianya lebih

besar oleh sebab itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil

dengan frekuensi sering (Simanungkalit dan Wilianti, 2021).

2. Anak Usia prasekolah (3-5 tahun)

Usia 3-5 tahun anak menjadi konsumen aktif. Anak sudah

mulai memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini berat badan

anak cenderung mengalami penurunan, disebabkan karena anak


beraktivitas lebih banyak dan mulai memilih maupun menolak

makanan yang disediakan orang tuanya (Simanungkalit dan Wilianti,

2021).

2.1.3. Kebutuhan Gizi Balita

Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk anak dibagi menjadi: anak

usia 6-11 bulan dengan rata-rata berat badan 9,0 kg dan tinggi badan 72 cm;

anak usia 1-3 tahun dengan rata-rata berat badan 13,0 kg dan tinggi badan

92 cm dan anak usia 4-6 tahun dengan rata-rata berat badan 19,0 kg dan

tinggi badan 113 cm. Angka kecukupan energi untuk anak usia 1-3 tahun

adalah sebesar 1.350 kkal/orang/hari dan usia 4-6 tahun adalah sebesar 1400

kkal/orang/hari. Dianjurkan agar jumlah energi yang diperlukan diperoleh

dari 50-60% karbohidrat, 25-35% lemak, dan 10-15% protein (Kemenkes

RI, 2019; Aria, 2022). AKG anak dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Angka Kecukupan Gizi Anak


Kelompok BB TB E P Lemak (gram) KH Serat Air
Umur (Kg) (cm) (kkal) (gram) Total Omega Omega 6 (gram (gram) (mL)
3 )
6-11 bulan 9 72 800 15 35 0.5 4.4 105 11 600
1-3 tahun 13 92 1350 20 45 0.7 7 215 19 1150
4- 6 tahun 19 113 1400 25 50 0.9 10 220 20 1650
Sumber : Angka Kecukupan Gizi, 2019

1. Energi

Kebutuhan energi anak secara individu didasarkan pada

kebutuhan energi untuk metabolisme basal, kecepatan pertumbuhan,


dan aktivitas. Energi untuk metabolisme basal bervariasi sesuai

jumlah dan komposisi jaringan tubuh yang aktif secara metabolic serta

bervariasi berdasarkan umur dan gender. Aktifitas fisik memerlukan

energi di luar kebutuhan untuk metabolisme basal. Aktifitas fisik

adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem

penunjangnya. Selama aktifitas fisik, otot membutuhkan energi di luar

metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru

memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan zat-zat gizi dan

oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan zat sisa dari tubuh

(Purnamasari et al., 2016).

Sumber energi berkonsentrasi tinggi adalah bahan makanan

sumber lemak, seperti lemak dan minyak, kacang-kacangan dan biji-

bijian. Setelah itu bahan makanan sumber karbohidrat, seperti padi-

padian, umbi-umbian, dan gula murni. Semua makanan yang dibuat

dari dan dengan bahan makanan tersebut merupakan sumber energi.

Energi merupakan kemampuan atau tenaga untuk melakukan kerja

yang diperoleh dari zat-zat gizi penghasil energi. Berdasarkan hasil

Angka Kecukupan Gizi (2019), angka kecukupan energi untuk anak

usia 6-11 bulan adalah sebesar 800kkal/orang/hari, anak berusia 1-3

tahun adalah sebesar 1350kkal/orang/hari, sedangkan untuk anak

berusia 4-6 tahun adalah sebesar 1400kkal/orang/hari (Angka

Kecukupan Gizi, 2019).

2. Karbohidrat
Karbohidrat-zat tepung / pati-gula adalah makanan yang

dapat memenuhi kebutuhan energi, dan energi yang terbentuk dapat

digunakan untuk melakukan gerakan-gerakan tubuh baik yang

disadari maupun yang tidak disadari misal, gerakan jantung,

pernapasan, usus, dan organ-organ lain dalam tubuh. Pangan sumber

karbohidrat misalnya serealia, biji-bijian, gula, buah-buahan,

umumnya menyumbang paling sedikit 50% atau separuh kebutuhan

energi keseluruhan. Anjuran konsumsi karbohidrat menurut Angka

Kecukupan Gizi (2019) sehari bagi anak usia 6-11 bulan sebesar

105gram, anak usia 1-3 tahun sebesar 215 gram, dan untuk usia anak

4-6 tahun sebesar 220 gram (Angka Kecukupan Gizi, 2019).

3. Protein

Kebutuhan protein anak termasuk untuk pemeliharaan

jaringan, perubahan komposisi tubuh, dan pembentukan jaringan baru.

Selama pertumbuhan, kadar protein tubuh meningkat dari 14,6% pada

umur satu tahun menjadi 18-19% pada umur empat tahun, yang sama

dengan kadar protein orang dewasa. Kebutuhan protein untuk

pertumbuhan diperkirakan berkisar antara 1-4 g/kg per penambahan

jaringan tubuh (Anggita, 2020).

Protein diperlukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan, dan

perbaikan jaringan tubuh, serta membuat enzim pencernaan dari zat

kekebalan yang bekerja untuk melindungi tubuh balita. Protein

bermanfaat sebagai presekutor untuk meurotransmitter demi


perkembangan otak yang baik nantinya. Kebutuhan protein menurut

Angka Kecukupan Gizi (2019), untuk anak usia 6-11 bulan sebesar 15

gram, anak usia 1-3 tahun sebesar 20 gram, dan anak usia 4-6 bulan

sebesar 25 gram (Podungge dan Rasyid, 2018).

Penilaian terhadap asupan protein anak harus didasarkan

pada: (1) kecukupan untuk pertumbuhan, (2) mutu protein yang

dimakan, (3) kombinasi makanan dengan kandungan asam amino

esensial yang saling melengkapi bila dimakan bersama, (4) kecukupan

asupan vitamin, mineral, dan energi (S R Widya, 2016).

4. Lemak

Lemak merupakan sumber energi dengan konsentrasi yang

cukup tinggi. Balita membutuhkan lebih banyak lemak dibandingkan

orang dewasa karena tubuh mereka menggunakan energi yang lebih

secara proporsional selama masa pertumbuhan dan perkembangan

mereka. Angka kecukupan lemak untuk anak usia 6-11 bulan sebesar

35 gram, usia 1-3 tahun sebesar 45 gram, dan anak usia 4-6 tahun

sebesar 50 gram (Angka Kecukupan Gizi, 2019).

5. Serat

Serat adalah bagian dari karbohidrat dan protein nabati yang

tidak dipecah dalam usus kecil dan penting untuk mencegah sembelit,

serta gangguan usus lainnya. Serat dapat membuat perut anak menjadi

cept penuh dan terasa kenyang, menyisakan ruang untuk makanan


lainnya sehingga sebaiknya tidak diberikan secara berlebih.

Kecukupan serat untuk anak usia 6-11 bulan sebesar 11 gram/hari,

anak usia 1-3 tahun adalah 19 gram/hari, sedangkan anak 4-6 tahun

adalah 20 g/hari (Angka Kecukupan Gizi, 2019).

6. Vitamin dan Mineral

Vitamin adalah zat organik kompleks yang dibutuhkan dalam

jumlah yang sangat kecil untuk beberapa proses penting yang

dilakukan di dalam tubuh. Fungsi vitamin adalah untuk membantu

proses metabolisme, yang berarti kebutuhannya ditentukan oleh

asupan energi, karbohidrat, protein, dan lemak. Mineral adalah zat

anorganik

yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi. Mineral penting

untuk proses tumbuh kembang secara normal. Kekurangan konsumsi

terlihat pada laju pertumbuhan yang lambat, mineralisasi tulang yang

tidak cukup, cadangan besi yang kurang, dan anemia (Fenti et

al.,2018).

2.1.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita

Faktor yang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi

status gizi adalah asupan makanan dan penyakit infeksi. Beberapa faktor

yang melatarbelakangi kedua faktor tersebut, misalnya faktor ekonomi dan

keluarga (Soekirman, 2012).

1. Ketersediaan dan Konsumsi Pangan


Penilaian konsumsi pangan rumah tangga atau secara

perorangan merupakan cara pengamatan langsung yang dapat

menggambarkan pola konsumsi penduduk menurut daerah, golongan

sosial ekonomi dan sosial budaya. Konsumsi pangan lebih sering

digunakan sebagai salah satu teknik untuk memajukan tingkat keadaan

gizi. Penyebab masalah gizi yang pokok di tempat paling sedikit dua

pertiga dunia adalah kurang cukupnya pangan untuk pertumbuhan

normal, kesehatan dan kegiatan normal. Kurang cukupnya pangan

berkaitan dengan ketersediaan pangan dalam keluarga. Tidak

tersedianya pangan dalam keluarga yang terjadi terus menerus akan

menyebabkan terjadinya penyakit kurang gizi (Yeni, 2020)

Gizi kurang merupakan keadaan yang tidak sehat karena

tidak cukup makan dalam jangka waktu tertentu. Kurangnya jumlah

makanan yang dikonsumsi baik secara kualitas maupun kuantitas

dapat menurunkan status gizi. Apabila status gizi tidak cukup maka

daya tahan tubuh seseorang akan melemah dan mudah terserang

infeksi (Soekirman, 2012).

2. Infeksi

Penyakit infeksi dan keadaan gizi anak merupakan dua hal

yang saling mempengaruhi. Dengan infeksi, nafsu makan anak mulai

menurun dan mengurangi konsumsi makanannya, sehingga berakibat

berkurangnya zat gizi ke dalam tubuh anak. Dampak infeksi yang lain

adalah muntah dan mengakibatkan kehilangan zat gizi. Infeksi yang


menyebabkan diare pada anak dapat mengakibatkan cairan dan zat

gizi di dalam tubuh berkurang. Terkadang orang tua juga melakukan

pembatasan makan akibat infeksi yang diderita sehingga

menyebabkan asupan zat gizi sangat kurang sekali bahkan bila

berlanjut lama dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Soekirman,

2012).

3. Pengetahuan Gizi

Pengetahuan tentang gizi adalah kepandaian memilih

makanan yang merupakan sumber zat-zat gizi dan kepandaian dalam

mengolah bahan makanan. Status gizi yang baik penting bagi

kesehatan setiap orang, termasuk ibu hamil, ibu menyusui dan

anaknya. Pengetahuan gizi memegang peranan yang sangat penting

dalam penggunaan dan pemilihan bahan makanan dengan baik

sehingga dapat mencapai keadaan gizi yang seimbang (Soekirman,

2012).

4. Higiene Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan yang buruk akan menyebabkan anak

lebih mudah terserang penyakit infeksi yang akhirnya dapat

mempengaruhi status gizi. Sanitasi lingkungan sangat terkait dengan

ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta

kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Semakin tersedia air

bersih untuk kebutuhan sehari-hari, maka semakin kecil risiko anak

terkena penyakit kurang gizi (Soekirman, 2012).


2.2. Tinjauan Tentang Status Gizi
2.2.1. Definisi Status Gizi

Status gizi adalah keadaan yang diakibatkan oleh keseimbangan

antara asupan zat gizi dari makanan dengan kebutuhan zat gizi yang

diperlukan untuk metabolisme tubuh. Setiap individu membutuhkan

asupan zat gizi yang berbeda antara individu, hal ini tergantung pada usia

orang tersebut, jenis kelamin, aktifitas tubuh dalam sehari, berat badan dan

lain-lain (Alpin, 2021).

Status gizi termasuk salah satu faktor yang sangat berpengaruh

pada kualitas sumber daya manusia karena sangat mempengaruhi

kecerdasan, produktifitas dan kreatifitas. Dalam upaya peningkatan status

gizi, pada hakikatnya harus dimulai sedini mungkin pada usia anak

sekolah, karena pada usia ini anak berada pada masa awal belajar yang

dapat mempengaruhi proses belajar pada masa yang akan datang. Status

gizi anak sekolah perlu diperhatikan untuk menunjang kondisi fisik otak

yang merupakan syarat agar anak dapat mempunyai kecerdasan tinggi

(Andriani dan Wirjatmadi, 2012).

Masalah gizi merupakan masalah multi dimensi yang

dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, seperti faktor ekonomi,

pendidikan, sosial budaya, pertanian dan kesehatan.

2.2.2. Penilaian Status Gizi

Penilaian status gizi adalah interpretasi dari data yang

didapatkan dengan menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi


populasi atau individu yang beresiko atau dengan status gizi buruk.

Menurut Supariasa dan Bakri (2014), penilaian status gizi dapat dilakukan

secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung penilaian status

gizi di antaranya adalah antropometri, klinis, biokimia dan biofisik.

Pengukuran status gizi anak yang paling banyak digunakan adalah

pengukuran antropometri (Soekirman, 2012).

2.2.2.1. Antropometri

Secara umum, antropometri adalah ukuran tubuh manusia.

Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan

dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh

dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Parameter yang diukur antara

lain Berat Badan, Tinggi Badan, LILA, Lingkar Kepala dan Lingkar

Dada. Indeks antropometri bisa merupakan rasio dari satu pengukuran

terhadap satu atau lebih pengukuran yang dihubungkan dengan umur

(Supariasa dan Bakri, 2014).

Pada metode antropometri dikenal dengan Indeks

Antropometri. Indeks antropometri adalah kombinasi antara beberapa

parameter, yang merupakan dasar dari penilaian status gizi. Beberapa

indeks telah diperkenalkan seperti tinggi badan menurut umur (TB/U),

berat badan menurut umur (BB/U) dan berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB).

Indikator berat badan berdasarkan umur (BB/U) bertujuan

untuk mengukur berat badan sesuai dengan usia anak. Penilaian BB/U
dipakai untuk mencari tahu kemungkinan seorang anak mengalami berat

badan kurang, sangat kurang atau lebih. Indikator tinggi badan

berdasarkan umur (TB/U) bertujuan untuk mengukur tinggi badan sesuai

dengan usia anak. Penilaian TB/U dipakai untuk megindentifikasi

penyebab jika anak memiliki tubuh pendek. Sedangkan Indikator berat

badan berdasarkan tinggi badan (BB/TB) bertujuan untuk mengukur

berat badan sesuai dengan tinggi badan anak. Pengukuran ini yang

umumnya digunakan untuk mengelompokkan status gizi anak. Dalam

pemakaian untuk menilai status gizi, antropometri disajikan dalam

bentuk indeks yang dilakukan dengan variabel lain. Variabel tersebut

adalah umur, berat badan, dan tinggi badan (Supariasa dan Bakri, 2014).

2.2.2.2. Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk

menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-

perubahan yang terjadi kemudian dihubungkan dengan ketidakcukupan

zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel, seperti kulit, mata,

rambut dan mukosa oral pada organ-organ yang dekat dengan tubuh,

seperti kelenjar tiroid.

Penggunaan metode ini umumnya untuk survey klinis secara

cepat (rapid clinical survey). Survei ini dirancang untuk mendeteksi

secara

cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat

gizi. Disamping itu digunakan untuk mengetahui tingkat status gizi


seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu tanda (sign) dan

gejala (symptom) atau riwayat penyakit (Supariasa, 2012).

2.2.2.3. Biokimia

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan

spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai

macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan, antara lain darah,

urin, tinja dan beberapa jaringan tubuh yang lainnya, seperti hati dan

otot. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan

akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Banyak gejala

klinis yang

kurang spesifik, maka penentuan kimia faal dapat lebih banyak menolong

untuk menentukan kekurangan gizi yang spesifik (Supariasa, 2012).

2.2.2.4. Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan

status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan

melihat perubahan struktur dari jaringan. Umumnya dapat digunakan

dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of

night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap

(Supariasa, 2012).

Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung, di

antaranya adalah survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor

ekologi.
2.2.2.5. Survey Konsumsi Makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi

secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang

dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan

gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga

dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan kelebihan dan

kekurangan zat gizi (Supariasa, 2012).

2.2.2.6. Statistik Vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan

menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian

berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian akibat penyebab

tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya

dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung

pengukuran status gizi masyarakat (Supariasa, 2012).

2.2.2.7. Faktor Ekologi

Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi

beberapa faktor fisik, biologis, dan lingkungan budaya. Jumlah makanan

yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah,

irigasi dan lain-lain. Indeks antropometri berdasarkan BB/U dengan nilai

ambang batas menggunakan Z-Score dan kemudian di interpretasi

menggunakan Growth Chart WHO 2006, karena pengukuran tersebut

dinilai lebih tepat dan efisien dalam menentukan balita gizi kurang

(Supariasa, 2012).
2.3. Konsep Gizi Buruk
2.3.1. Definisi Gizi Kurang

Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan

tingkat kesehatan dan keserasian antara perkembangan fisik dan

perkembangan mental. Tingkat keadaan gizi normal tercapai bila

kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Gizi (Nutrition) adalah suatu proses

organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal

melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme

dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan,untuk mempertahankan

kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta

menghasilkan energi (Festy, 2018).

Gizi kurang adalah suatu keadaan dimana berat badan balita

tidak sesuai dengan usia yang disebabkan oleh karena konsumsi gizi

yang tidak mencukupi kebutuhan dalam waktu tertentu. Gizi kurang

merupakan suatu masalah gizi yang disebabkan karena kurangnya asupan

gizi baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang. Jenis penyakit

masalah gizi kurang berdasarkan jenis zat gizi apa yang kurang

dikonsumsi (Setyawati, 2018).

2.3.2. Faktor Penyebab Gizi Kurang pada Balita

Menurut (Irianti, 2018), faktor-faktor yang menyebabkan

status gizi kurang pada balita yaitu :

1. Pengetahuan Ibu
Pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh cukup tidaknya

informasi dan pengetahuan orang lain, dan pengalaman yang didapat.

Pengetahuan ibu merupakan salah satu penyebab terjadinya gizi

kurang pada balita karena pengetahuan ibu yang rendah

mengakibatkan pertumbuhan balita tidak baik dan mengakibatkan

kekurangan gizi. Ibu kurang mendapatkan informasi mengenai

bagaimana cara memilih bahan makanan yang tepat untuk balita,

bagaimana memasak yang baik dan benar, serta bagaimana cara

memilih menu makanan yang baik untuk keluarga. Untuk itu ibu

sebaiknya mencari informasi baik dari buku ataupun tenaga kesehatan.

2. Perekonomian

Perekonomian orang tua yang rendah salah satu yang

menyebabkan terjadinya gizi kurang pada balita. Ibu dengan

perekonomian keluarganya yang rendah tetap dapat memberikan

makanan yang bergizi seperti tempe, tahu, dan telur sebagai pengganti

ikat dan daging. Karena kadar gizi didalamnya sama. Oleh karena itu,

tidak hanya makanan yang mahal yang memiliki gizi yang baik,

menjaga pola hidup sehat juga dapat meningkat kesehatan keluarga.

3. Jarak Kelahiran

Jarak kelahiran yang yang terlalu rapat dapat menyebabkan

terjadinya gizi kurang pada balita. Untuk tidak terjadinya balita gizi

kurang maka orang tua haruslah mengatur jarak kelahiran anaknya.


Agar mereka bisa menghidupi keluarganya dengan baik khususnya

dapat memberikan gizi yang terbaik buat balitanya.

2.3.3. Dampak Gizi Kurang pada Balita

Masalah gizi pada balita dapat memberi dampak terhadap

kualitas sumber daya manusia, sehingga jika tidak diatasi dapat

menyebabkan lost generation. Kekurangan gizi pada dapat

mengakibatkan gagal tumbuh kembang, meningkatnya angka kematian

dan kesakitan serta penyakit terutama pada kelompok usia rawan gizi

yaitu balita. Dampak lain akibat gizi kurang pada balita adalah penurunan

daya tahan, menyebabkan hilangnya masa hidup sehat

balita,,terganggunya fungsi otak secara permanen seperti perkembangan

IQ dan motorik yang terhambat,serta dampak yang lebih serius adalah

timbulnya kecacatan, tingginya angka kesakitan dan percepatan kematian

(Rahman et al, 2016).

2.4. Solusi Permasalahan Gizi Buruk dalam Islam

Sejak lahir hingga dewasa Islam telah mengatur tentang makanan

dan minuman, agar gizi yang baik dan seimbang untuk tubuh terpenuhi

dengan sempurna. Hal itu dimulai dengan anjuran memberikan asupan ASI

mulai lahir hingga umur 2 tahun. Sebagaimana telah disebutkan didalam Al

qur'an Allah telah berfirman:


Artinya : Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun

penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban

ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang

patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.

Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula

seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun

(berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih

dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka

tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan

anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu

memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah

kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang

kamu kerjakan". (Al Baqarah: 233).

Di dalam QS Al Baqarah Ayat 233 ini di jelaskan bahwa masa dua

tahun adalah masa yang paling di butuhkan seorang anak dalam proses
pemenuhan nutrisi yang ada dalam ASI melalui kegiatan menyusui. Hal ini

selain menjadi kemaslahatan bagi anak juga memiliki keuntungan bagi ke dua

orangtua. Dalam ayat ini juga di tuliskan bahwa “seorang ayah berkewajiban

memberi makan dan pakaian pada ibu dengan cara ma'ruf, artinya seorang

ayah wajib memberikan nafkah kepada seorang perempuan yang memberikan

ASI nya kepada anaknya dengan cara atau jalan yang di rasa baik. Dengan

jumlah yang tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit. Karena Jika terlalu

banyak maka di khawatirkan membebani sang ayah, dan jika terlalu sedikit

akan di khawatirkan merugikan sang ibu (Mardianto dan Lubis, 2022)..

Terkait tentang ini, maka Islam sangat memperhatikan pendidikan

islam sejak dini. Karena dengan asupan ASI yang secara konsisten diberikan

oleh Ibunya kepada anaknya selama dua tahun. Maka seorang anak pun

akan mendapatkan pendidikan yang baik hingga dewasa. Karena kandungan

ASI yang kaya akan lemak dan nutrisi bukan hanya membuat bayi lebih cepat

kenyang tetapi juga menjadi cerdas dan sehat. Selain itu, ASI yang halal dan

toyyib juga akan membuat seorang bayi diharakan akan mendapatkan

pendidikan yang baik, akhlak yang baik dan juga jasmani yang baik dan kuat

(Mardianto dan Lubis, 2022)..

Rasulullah SAW menganjurkan umat Muslim untuk selalu

mengonsumsi makanan yang halal dan bergizi. Hal ini tercantum dalam ayat

Alquran dan hadits berikut.

Umat Muslim dilarang mengonsumsi makanan haram dan

diharuskan makan makanan yang halal. Makanan yang halal adalah yang
didapat dan diolah sesuai dengan syariat Islam serta bahan makanan itu

sendiri dari bahan-bahan yang halal dan toyyib (baik). Selain halal, makanan

yang

dikonsumsi juga sebaiknya bergizi agar bermanfaat untuk kesehatan tubuh.

Bagi muslim, hukum memakan makanan halal merujuk pada Al-Qur'an surat

Al-Baqarah ayat 172.

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang

baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada

Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah."

Selain itu, Allah SWT juga berfirman dalam Alquran surat Al-

Baqarah ayat 168 agar manusia tidak mengikuti langkah setan untuk

mengonsumsi makanan yang diharamkan. Sebab, Allah telah memberikan

makanan yang halal dan lagi baik di bumi (Mardianto dan Lubis, 2022).
Artinya : "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik

yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-

langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu".

Abu Hurairah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim,

menceritakan Sabda Rasulullah SAW terkait akibat jika umat Islam

mengkonsumsi makanan yang tidak halal. Salah satunya adalah doa yang tak

dikabulkan.

Artinya : Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang

baik. Dan sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kepada

kaum mukminin dengan sesuatu yang Allah perintahkan pula

kepada para rasul. Maka Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:

"Wahai para rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik dan

kerjakanlah amal shalih." (Al-Mu'minun: 51). Dan Allah SWT

berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah kalian


dari rezeki yang baik-baik yang telah Kami berikan kepada kalian."

(Al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah SAW menyebutkan

seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan

dirinya kusut

dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya

berdoa: "Wahai Rabb-ku, wahai Rabbku," namun makanannya

haram, minumannya haram dan pakaiannya haram dan kenyang

dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan

dikabulkan?" (HR Muslim).

Maka kalimat "makanlah dari makanan yang baikbaik dan

kerjakanlah amal shalih" disini dimaksudkan dengan memakan makanan yang

baik, maka gizi yang baik akan terpenuhi dan pendidikan yang baik juga akan

mudah didapatkan oleh seseorang. Sehingga karakter pribadi yang

berakhlakul karimah akan diraih (Mardianto dan Lubis, 2022).


2.5. Makanan Tambahan
2.5.1. Definisi Makanan Tambahan

Makanan tambahan merupakan makanan yang diberikan

kepada balita untukmemenuhi kecukupan gizi yang diperoleh balita dari

makanan sehari-hari yang diberikan ibu (Suantari, 2022).

Masa bayi merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan

yang membutuhkan zat gizi. Konsumsi zat gizi yang berlebihan juga

membahayakan kesehatan. Konsumsi energidan protein yang berlebihan

misalnya, akan menyebabkan kegemukan sehingga beresiko terhadap

penyakit. Untuk mencapai kesehatan yang optimal disusun Angka

Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 Tentang Angka

Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia (Suantari,

2022)..

Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada sasaran perlu

dilakukan secara benar sesuai aturan konsumsi yang dianjurkan.

Pemberian makanan tambahan yang tidak tepat sasaran, tidak sesuai

aturan konsumsi, akan menjadi tidak efektif dalam upaya pemulihan

status gizi sasaran serta dapat menimbulkan permasalahan gizi. Makanan

Tambahan Balita adalah suplementasi gizi berupa makanan tambahan

dalam bentuk biskuit dengan formulasi khusus dan difortifikasi dengan

vitamin dan mineral yang diberikan kepada bayi dan anak balita usia 6-

59 bulan dengan kategori kurus. Bagi bayi dan anak berumur 6-24 bulan,
makanan tambahan ini digunakan bersama Makanan Pendamping Air

Susu Ibu (MP-ASI) (Suantari, 2022).

Makanan tambahan diberikan sebagai :

1. Makanan Tambahan Penyuluhan adalah makanan tambahan yang

diberikan untuk mencegah terjadinya masalah gizi.

2. Makanan Tambahan Pemulihan adalah makanan tambahan yang

diberikan untuk mengatasi terjadinya masalah gizi yang diberikan

selama 90 hari makan

2.5.2. Syarat Makanan Tambahan

Makanan Tambahan Balita adalah suplementasi gizi berupa

makanan tambahan dalam bentuk biskuit dengan formulasi khusus dan

difortifikasi dengan vitamin dan mineral yang diberikan kepada bayi dan

anak balita usia 6-59 bulan dengan kategori kurus. Bagi bayi dan anak

berumur 6-24 bulan, makanan tambahan ini digunakan bersama Makanan

Pendamping Air Susu Ibu (MPASI).Tiap kemasan primer (4 keping/40

gram) Makanan Tambahan Balita mengandung minimum 160 Kalori, 3,2-

4,8 gram protein, 4-7,2 gram lemak. Makanan Tambahan Balita diperkaya

dengan 10 macam vitamin (A, D, E, K, B1, B2, B3, B6, B12, Asam Folat)

dan tujuh macam mineral yaitu, Besi, Iodium, Seng, Kalsium, Natrium,

Selenium, dan Fosfor (Doren et al., 2019).

2.5.3. Waktu Pemberian Makanan Tambahan

Makanan tambahan (MT) diberikan mulai usia anak enam

bulan, karena pada usia ini otot dan syaraf di dalam mulut anak sudah
cukup berkembang untuk mengunyah, menggigit, menelan makanan

dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka memasukkan sesuatu kedalam

mulutnya dan suka terhadap rasa yang baru. Dan faktor – faktor yang

dapat mempengaruhi pemberian makanan meliputi, tingkat pengetahuan

orang tua, sosial, ekonomi dan budaya keluarga (Munjidah dan Rahayu,

2020).

Prinsip Dasar Pemberian Makanan Tambahan Anak Balita

adalah untuk memenuhi kecukupan gizi agar mencapai berat badan sesuai

umur. Ketentuan Pemberian :

1. MT diberikan pada balita 6-59 bulan dengan kategori kurus yang

memiliki status gizi berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB dibawah -2

Sd.

2. Tiap bungkus MT Balita berisi 4 keping biskuit (40 gram)

3. Usia 6 -11 bulan diberikan 8 keping (2 bungkus) per hari

4. Usia 12-59 bulan diberikan 12 keping (3 bungkus) per hari

5. Pemantauan pertambahan berat badan dilakukan tiap bulan di Posyandu

6. Bila sudah mencapai status gizi baik, pemberian MT pemulihan pada

Balita dihentikan. Selanjutnya mengonsumsi makanan keluarga gizi

seimbang.

7. Dilakukan pemantauan tiap bulan untuk mempertahankan status gizi

baik.
8. Biskuit dapat langsung dikonsumsi atau terlebih dahulu ditambah air

matang dalam mangkok bersih sehingga dapat dikonsumsi dengan

menggunakan sendok.

9. Setiap pemberian MT harus dihabiskan (Kementrian Kesehatan RI,

2018).

2.6. Kerangka Teori

Krisis Ekonomi,
Politik dan Sosial

Pengangguran, Inflasi, kurang


pangan, kemiskinan

Kurang pemberdayaan wanita dan keluarga, kurang


pemanfaatan sumberdaya masyarakat

Kurang Pendidikan,
pengetahuan, dan ketrampilan

Tidak cukup Pola asuh anak Sanitasi dan air


persediaan pangan tidak memadai bersih kurang
dasar tidak

Makanan tidak adekuat Penyakit Infeksi

Gizi Kurang
Sumber : UNICEF 1998 dalam Suhri 2014

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, D. S. (2010). Ilmu gizi. Jakarta: Dian Rakyat.


Ag, K. M., & Amelia, N. (2021). Perkembangan KognitifAnak Usia Dini: Teori
Dan Praktik. Prenada Media.
Aghadiati, F., & Ardianto, O. (2022). Status Gizi dan ASI Eksklusif dengan
Kejadian Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Puding. Jurnal Ilmu Gizi
dan Dietetik, 1(2), 149-155.
AKG.2019. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Untuk Masyarakat.
Indonesia. Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28.
Alpin, A. (2021). Hubungan Karakteristik Ibu dengan Status Gizi Buruk Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Tawanga Kabupaten Konawe. Nursing Care and
Health Technology Journal (NCHAT), 1(2), 87-93.
Anggita Nooragni, (2020) Kajian Kualitas Dan Kuantitas Konsumsi Makan Pada
Balita Di Desa Terong Dlingo Kabupaten Bantul Yogyakarta. skripsi thesis,
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
Anggraeni, L. D., Toby, Y. R., & Rasmada, S. (2021). Analisis Asupan Zat Gizi
Terhadap Status Gizi Balita. Faletehan Health Journal, 8(02), 92-101.
Anwar, I. F. (2018). Gizi Dan Stimulasi Untuk Pertumbuhan Dan Perkembangan
Optimal Pada Anak Usia Dini. Pangan Dan Gizi Untuk Kesehataan Dan
Kesejahteraan Masyarakat, 1.
Aria, L. (2022). Gambaran Pemenuhan Gizi Pada Kasus Stunting Di Dusun 4
Desa Kincang, Kecamatan Rakit Kabupaten Banjarnegara. Jurnal Ilmiah
Medsains, 8(1), 39-44.
Ariani, A., Nurulfuadi, N., Aiman, U., Nadila, D., & Rakhman, A. (2021).
Pelatihan Pengukuran Antropometri Di Kelurahan Lambara. Jurnal
Dedikatif Kesehatan Masyarakat, 2(1), 12-17.
Doren, W. K., Regaletha, T. A., & Dodo, D. O. (2019). Evaluasi Program
Pemberian Makanan Tambahan Pemulihan (PMT-P) terhadap Status Gizi
Buruk Balita di Puskesmas Oepoi Kota Kupang. Lontar: Journal of
Community Health, 1(3), 111-118.
Dwinta, S., Rahmah, A. M., & Utami, N. A. T. (2022). Efektivitas Hukum
Pelayanan Gizi Bagi Pasien Rawat Inap Anak Di Rumah Sakit Tentara
Wijayakusuma Purwokerto. Soedirman Law Review, 4(2).
Ekayanthi, N. W. D., & Suryani, P. (2019). Edukasi Gizi pada Ibu Hamil
Mencegah Stunting pada Kelas Ibu Hamil. Jurnal Kesehatan, 10(3), 312-
319.
Fenti, F., Widodo, A., & Jamaluddin, J. (2018). Analisis kandungan vitamin B
pada ikan sidat (Anguilla marmorata (Q.) Gaimard) fase elver asal Danau
Poso. Ghidza: Jurnal Gizi dan Kesehatan, 2(2), 49-54.

Festy, P. (2018). Buku ajar gizi dan diet. UMSurabaya Publishing.


Fitriyanti, F., & Mulyati, T. (2012). Pengaruh pemberian makanan tambahan
pemulihan (pmt-p) terhadap status gizi balita gizi buruk di dinas kesehatan
Kota Semarang Tahun 2012 (Doctoral dissertation, Diponegoro University).

Irianti, B. (2018). Faktor-Faktor yang Menyebabkan Status Gizi Kurang Pada


Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sail Pekanbaru Tahun 2016. Midwifery
Journal: Jurnal Kebidanan UM. Mataram, 3(2), 95-98.
Izah, N., Bakhar, M., & Andari, I. D. (2018). Pengaruh penggunaan aplikasi
stimulasi tumbuh kembang terhadap pengetahuan ibu dan pertumbuhan
balita umur 9–24 bulan. Siklus: Journal Research Midwifery Politeknik
Tegal, 7(2), 328-331.
Jasmawati, J., & Setiadi, R. (2020). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status
Gizi Balita: Systematic Review. MMJ (Mahakam Midwifery Journal), 5(2),
99-106.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018. Riset Kesehatan Dasar Tahun
2018. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan RI. 2019. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2019 Tentang Angka Kecukupan Gizi Yang
Dianjurkan Untuk Masyarakat Indonesia. Jakarta:Kementeruan Kesehatan
Republik Indonesia
Khairani, N. (2017). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dan Status Sosial
Ekonomi Keluarga dengan Status Gizi Balita yang Berkunjung ke
Puskesmas Rimbo Kedui Kabupaten Seluma. CHMK Nursing Scientific
Journal, 1(2).

Mardianto, M., & Lubis, F. M. (2022). Makanan dan Gizi Dalam Pendidikan
Islam.
Meikasari, L., & Mustikawati, N. (2021, December). Literature Review:
Gambaran Status Gizi Pada Anak Usia 0 Sampai 5 Tahun Di Masa Pandemi
Covid-19. In Prosiding Seminar Nasional Kesehatan (Vol. 1, pp. 1660-
1668).
Melsi, R., Sudarman, S., & Syamsul, M. (2022). Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Status Gizi Kurang Pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Panambungan Kota Makassar. Jurnal Promotif Preventif, 5(1),
23-31.
Monika, A., Simbolon, D., & Wahyu, T. (2021). Hubungan Cakupan Imunisasi
Dasar dan Asi Eksklusif dengan Status Gizi Balita di Indonesia (Analisis
data Riskesdas 2018). Journal of Nutrition College, 10(4), 335-342.
Munjidah, A., & Rahayu, E. P. (2020). Perbedaan Pemberian MP-ASI Menu
Tunggal dan 4 (Empat) Kwadran terhadap Status Pertumbuhan Anak.
Jurnal Ners dan Kebidanan (Journal of Ners and Midwifery), 7(1), 059-064.

Nursyamsi, N., Nurlinda, A., & Ikhtiar, M. (2022). Karakteristik Balita Stunting
di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Pakkae Kabupaten Barru. Journal of
Muslim Community Health, 4(3), 165-175.
Podungge, Y., & Rasyid, P. S. (2018). Pengaruh Pemberian Bubur Labu Kuning
dan Daging Ayam Terhadap Peningkatan BB pada Bayi Gizi Kurang.
Gorontalo Journal of Public Health, 1(1), 046-052.
Popang, C. T. (2022). Analisis Kenaikan Berat Badan Balita Selama Pandemi
Covid-19 Di Puskesmas Sanoba Kabupaten Nabire Tahun 2022. Jurnal
Ilmiah Obsgin: Jurnal Ilmiah Ilmu Kebidanan & Kandungan P-ISSN: 1979-
3340 e-ISSN: 2685-7987, 14(4), 124-131.
Purnamasari, D. U., Dardjito, E., & Kusnandar, K. (2016). Hubungan Jumlah
Anggota Keluarga, Pengetahuan Gizi Ibu Dan Tingkat Konsumsi Energi
Dengan Status Gizi Anak Sekolah Dasar. Kesmas Indonesia, 8(2), 49-56.
Putri, A. S. R., & Mahmudiono, T. (2020). Efektivitas pemberian makanan
tambahan (PMT) Pemulihan pada status gizi balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Simomulyo, Surabaya. Amerta Nutrition, 4(1), 58-64.
Rahman N,, Hermiyanty, Lilis Fauziah. (2016). Faktor Risiko Kejadian Gizi
Kurang pada Balita Usia 24-59 Bulan di Kelurahan Taipa Kota Palu.
Preventif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2), 6-6.
Rini, I., Pangestuti, D. R., & Rahfiludin, M. Z. (2017). Pengaruh pemberian
makanan tambahan pemulihan (PMT-P) terhadap perubahan status gizi
balita gizi buruk tahun 2017 (Studi di Rumah Gizi Kota Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat (Undip), 5(4), 698-705
S R Widya Areta Humaniora Justisia, 101411223005 (2016) Mutu Organoleptik,
Kadar Protein, Dan Nilai Ekonomi Nugget Substitusi Ikan Lele (Clarias
batrachus) Dan Kacang Merah (Vigna angularis) Sebagai Snack Batita.
Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Setyawati, V. A. V., & Hartini, E. (2018). Buku ajar dasar ilmu gizi kesehatan
masyarakat. Deepublish.
Simanungkalit, H. M., & Wilianti, G. (2021). Aromaterapi citronella oil terhadap
peningkatan nafsu makan pada balita usia 1-5 tahun di Posyandu Tulip
Kelurahan Pahandut Palangka Raya. Jurnal Skala Kesehatan, 12(1), 59-64.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat.
Direktorat Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan Nasional.
Suantari, N., Marhaeni, G., & Lindayani, K. (2022). Hubungan Pemberian
Makanan Tambahan dengan Peningkatan Berat Badan Bayi Usia 6-12
Bulan. Jurnal Ilmiah Kebidanan (The Journal Of Midwifery), 10(2), 101-
108.
Suhri, Putri Amalia Alyani. "The Effect Of Supplement Feeding’s To Nutritional
Status Of Children 6–59 Months In Working Area Of Andoolo Utama
Public Health Centres Buke Subdistric South Of Konawe Regency
November–December 2014.

Supariasa, I D.N., Bachyar Bakri., & Ibnu F. (2014). Penilaian Status Gizi.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Supariasa, I. (2012). Pendidikan & konsultasi gizi. EGC.


Utaminingtyas, F. (2020). Efektivitas penyuluhan kesehatan terhadap tingkat
pengetahuan ibu tentang gizi seimbang pada balita di kelurahan tingkir lor,
kota salatiga. Jurnal Medikes (Media Informasi Kesehatan), 7(1), 171-184.
Wilujeng, R., & Supriliyah, P. (2013). Hubungan Sikap Ibu Dalam Memberikan
Makanan Dengan Status Gizi Batita Usia 1-3 Tahun Di Desa Puton
Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Jurnal Metabolisme, 2(4), 1-5.

Wirjatmadi, B., & Andriani, M. (2012). Peranan gizi dalam siklus kehidupan.
Prenadamedia Group, Jakarta.
Yanti, E., Apriyeni, E., Rahayuningrum, D. C., & Ibrahim, I. (2022). Status Gizi
Bayi (6-12 bulan) Ditinjau Dari Berat Badan Lahir Di Posyandu Bougenvile
I Wilayah Kerja Puskesmas Andalas. Jurnal Kesehatan Medika Saintika,
13(1), 88-93.
Yeni Febrianti, P031713411040 (2020) Gambaran Status Ekonomi Keluarga
Terhadap Status Gizi Balita (BB/U) di Kecamatan Rumbai Pesisir Kota
Pekanbaru. Diploma thesis, Poltekkes Kemenkes Riau.

Anda mungkin juga menyukai