Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stunting (pendek) merupakan salah satu masalah gizi didunia (WHO-


UNICEF-The World Bank, 2017). Stunting merupakan akibat dari kekurangan
gizi kronik yang terjadi dalam 1000 hari pertama kehidupan anak (Bloem, 2013).
Anak dibawah lima tahun dikatakan stunting jika sudah diukur panjang badan
menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) lalu dibandingkan
dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) dan
hasilnya berada dibawah -2 Standar Deviasi (SD) (UNICEF, 2013).

Stunting mempunyai efek jangka panjang seperti menurunnya kualitas hidup,


kesehatan dan ekonomi, sedangkan berkurangnya kemampuan koognitif dan
perkembangan mental juga merupakan dampak lain pada anak yang mengalami
stunting (WHO, 2014). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Picauly dan
Toy tahun 2013 di Kota Kupang, anak stunting pada umumnya memiliki prestasi
belajar kurang yaitu sebesar 41,18% dan setiap penurunan status gizi Tinggi
Badan menurut Umur (TB/U) anak sebesar 1 SD, maka prestasi belajar anak akan
turun sebesar 0,444 (Picauly dan Toy, 2013). Anak yang mengalami stunting
dalam 2 tahun pertama setelah kelahiran akan menyebabkan gangguan kesehatan,
rendahnya prestasi di sekolah dan meningkatkan resiko penyakit degeneratif
(Bloem, 2013).

Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K),


stunting disebebkan oleh berbagai faktor seperti pola pengasuhan yang kurang
baik meliputi pemberian makan dalam 2 tahun pertama setelah kelahiran, masih
kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan selama hamil dan setelah
melahirkan, kurangnya akses keluarga ke makanan bergizi, serta masih
terbatasnya akses air bersih dan sanitasi (TNP2K, 2017). Selain itu, sosial
ekonomi juga berpengaruh terhadap dengan kejadian stunting (Branca, 2016).
Menurut penelitian yang dilakukan di Jember, terdapat beberapa faktor yang
berhubungan dengan kejadian stunting seperti pendidikan ibu, pendapatan
keluarga, pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif, umur
pemberian MP-ASI, tingkat kecukupan zink dan zat besi, riwayat penyakit infeksi
serta faktor genetik (Aridiyah et al, 2015).

Menurut WHO, suatu wilayah mengalami masalah gizi khususnya stunting


jika angka kejadiannya lebih dari 20% (Kemenkes, 2018). Angka kejadian
stunting di suatu daerah mengindikasikan bahwa terdapat gangguan nutrisi yang
sudah berlangsung cukup lama (WHO, 2010). Menurut hasil Riskesdas tahun
2018 kejadian stunting ada 30,8%. Hasil dari data Dinas Kesehatan Provinsi Riau
menyebutkan bahwa presentsai Kabutan Indragliri Hulu dengan kejadian stunting
ada 33,7%. Kemudian hasil dari Puskesmas Air Molek skrining balita stunting ada
8 orang anak dari 33 orang balita.

Stunting dapat dicegah melalui pemberian makan pada bayi yang difokuskan
pada 1000 hari pertama kehidupan (Kemenkes, 2016). Berdasarkan hasil
penelitian, pemberian makan yang optimal dapat mencegah kematian pada balita
sekitar 13 % (WHO, 2009). Pemberian makan pada bayi berumur 0-6 sudah
cukup dengan Air Susu Ibu (ASI) tanpa tambahan apapun (ASI eksklusif). Mulai
usia 6 bulan sudah boleh diberi Makanan Pendamping ASI (MPASI) tetapi tetap
diiringi dengan pemberian ASI sampai umur 2 tahun (WHO,2003).

Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan mendukung


pertumbuhan dan perkembangan bayi serta dapat melindungi bayi dari berbagai
penyakit seperti pneumonia, infeksi saluran pernapasan dan pencernaan dan
sebagainya (American Academy of Pediatrics, 2012). Hasil penelitian Kumar dan
Singh (2015) menunjukkan penurunan tren kejadian stunting, wasting, dan
underweight pada anak yang mendapatkan ASI eksklusif. Menurut penelitian di
Malawian, bayi yang diberikan ASI eksklusif lebih tinggi 1,08 cm dan lebih berat
0,46 kg dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif (Kuchenbecker
et al,. 2015). Penelitian Kramer et al (2012) menunjukkan bahwa terjadi
pertambahan panjang badan 1 mm /bulan pada bayi umur 9 – 12 bulan yang
mendapat ASI eksklusif 6 bulan dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI
saja selama 3 bulan . Menurut penelitian Hendra (2013), bayi yang tidak diberi
ASI eksklusif beresiko 4 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan
dengan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Rohmatun (2014) bahwa terdapat pengaruh signifikan terhadap
kejadian stunting pada bayi yang tidak ASI eksklusif yaitu sebesar 61,7%.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah melakukan pengkajian pada keluarga diharapkan dapat mengetahu
dan memahami bagaimana mencegah stunting.
1.2.2 Tujuan Khusus
Memberikan informasi mengenai stunting yang terdiri dari :
1. Pengertian stunting.
2. Faktor yang menyebabkan terjadinya stunting.
3. Faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting.
4. Dampak Stunting.
5. Penilaian Stunting secara Antropometri.
6. Cara mencegah Stunting.
7. Zat Gizi mikro yang berperan untuk menghindari stunting.
8. Usaha pemerintah dalam masalah stunting.
1.3 Manfaat
1. Membantu meningkatkan derajat kesehatan keluarga terutama pada anak.
2. Membantu meningkatkan pengetahuan mengengai stunting
1.4 Sasaran
Pada kegiatan ini sasarannya adalah keluarga Tn.D yang memiliki anak
dengan keadaan stunting yang berumur 3 tahun.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Balita Pendek (Stunting)


Pembangunan kesehatan dalam periode tahun 2015-2019 difokuskan pada
empat program prioritas yaitu penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan
prevalensi balita pendek (stunting), pengendalian penyakit menular dan
pengendalian penyakit tidak menular. Upaya peningkatan status gizi masyarakat
termasuk penurunan prevalensi balita pendek menjadi salah satu prioritas
pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran pokok Rencana
Pembangunan jangka Menengah Tahun 2015 – 2019. Target penurunan prevalensi
stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah
menjadi 28% (RPJMN, 2015 – 2019). Oleh karenanya Infodatin yang disusun
dalam rangka Hari Anak – anak Balita tanggal 8 April ini mengangkat data yang
terkait dengan upaya penurunan prevalensi balita pendek.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan
pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut
Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely
stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang
balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan
status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila
dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference
Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat
pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.
Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis,
dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk
penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak
hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain
yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan.
Upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada
kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui,
dan Anak 0-23 bulan, karena penanggulangan balita pendek yang paling efektif
dilakukan pada 1.000 HPK. Periode 1.000 HPK meliputi yang 270 hari selama
kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi yang dilahirkan telah dibuktikan
secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh
karena itu periode ini ada yang menyebutnya sebagai "periode emas", "periode
kritis", dan Bank Dunia (2006) menyebutnya sebagai "window of opportunity".
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut,
dalam jangka pendek adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan,
gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan
dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya
kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga
mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan,
penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia
tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya
produktivitas ekonomi.
Upaya intervensi tersebut meliputi:
1. Pada Ibu hamil
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam
mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik,
sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah
mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan
tambahan kepada ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat
tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu
harus tetap dijaga agar ibu tidak mengalami sakit.
2. Pada saat bayi lahir
Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir
melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Bayi sampai dengan usia 6
bulan diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif)
3. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun
atau lebih. Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, imunisasi dasar
lengkap.
4. Memantau pertumbuhan Balita di posyandu merupakan upaya yang sangat
strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan
pertumbuhanWalaupun remaja putri secara eksplisit tidak disebutkan
dalam 1.000 HPK, namun status gizi remaja putri atau pra nikah memiliki
kontribusi besar pada kesehatan dan keselamatan kehamilan dan kelahiran,
apabila remaja putri menjadi ibu.
5. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap
rumah tangga termasukmeningkatkan akses terhadap air bersih dan
fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.PHBS menurunkan
kejadian sakit terutama penyakit infeksi yang dapat membuat energi
untukpertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi
infeksi, gizi sulit diserap oleh tubuhdan terhambatnya pertumbuhan.

Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi disebabkan
oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu dengan
yang lainnya.
Ada beberapa faktor utama penyebab stunting (UNICEF, 2007) yaitu :
a. Asupan makan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi
dalam makanan yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan
air)
b. Asupan ASI ekslusif kurang
c. Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR)
d. Riwayat penyakit (UNICEF, 2007).

2.2 Pentingnya Pemberian ASI (Air Susu Ibu) Terhadap Gizi Bayi-Balita
Air Susu Ibu merupakan sumber gizi yang paling sempurna, baik kualitas
maupun kuantitasnya dengan komposisi yang seimbang dan disesuaikan dengan
kebutuhan pertumbuhan bayi. ASI bukan sekedar sebagai makanan melainkan
juga sebagai suatu cairan yang terdiri dari sel-sel yang hidup (seperti darah). ASI
mengandung sel darah putih, antibodi, hormon, faktor-faktor pertumbuhan, enzim,
serta zat yang dapat membunuh bakteri dan virus. Menggunakan tata laksana
menyusui yang benar, ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi
kebutuhan tumbuh bayi normal sampai usia 6 bulan (Roesli, 2005).
ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-
kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. Pemberian
ASI eksklusif sejak lahir pada anak akan mempengaruhi masukan zat gizi anak
sehingga pertumbuhan anak juga akan berpengaruh. Dengan pemberian MP-ASI
(Makanan Pengganti-ASI) dini maka konsumsi energi dan zat gizi dari ASI akan
menurun yang berdampak pada kegagalan pertumbuhan bayi dan anak (Fikawati
et al., 2015). Status gizi balita merupakan hal penting yang harus diketahui oleh
setiap orangtua. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita
didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada usia emas ini bersifat
irreversible (tidak dapat pulih) (Marimbi, 2010).

2.3 Status Perkembangan Gizi Bayi-Balita Terkait Pemberian ASI di


Indonesia
Gizi merupakan suatu proses penggunaan makanan yang dikonsumsi
secaranormal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan,
metabolismedan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan serta menghasilkan
energi, untukmempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari
organ-organ (Proverawati A, 2009).
Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkatkesehatan
antara pertumbuhan fisik dan perkembangan mental. Tingkat keadaangizi normal
tercapai bila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Salah satu upayayang ditempuh
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yaitu denganpeningkatan
status gizi masyarakat. Penilaian status gizi dapat dilakukan secaralangsung dan
tidak langsung, salah satunya pengukuran antropometri (Budiyanto,2002).
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan
danpenggunaan zat-zat gizi. Status gizi ini menjadi penting karena merupakan
salahsatu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang
baikbagi seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga
terhadapkemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi masyarakat dapat
diketahuimelalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif
maupun kualitatif (Supariasa, 2001).
Status gizi erat kaitannya dengan pertumbuhan sehingga untuk mengetahui
pertumbuhan bayi, perlu memperhatikan status gizinya. Menurut pendapat
Menteri Kesehatan RI, Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M(K), status gizi
Indonesia saat ini lebih baik. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya cakupan
ASI Eksklusif dan menurunnya angka Balita pendek (stunting) di Indonesia.
Pemberian ASI eksklusif untuk bayi yang berusia kurang dari 6 bulan secara
global dilaporkan kurang dari 40%. Secara nasional cakupan ASI untuk bayi
sampai umur 6 bulan mengalami fluktuasi, hasil Survei Demografi dan Kesehatan
Indonesia (SDKI) menunjukkan cakupan ASI eksklusif bayi 0-6 bulan pada tahun
2002 sebesar 40%, tahun 2007 sebesar 32%, dan tahun 2012 sebesar 42% (Roesli,
2005; Depkes, 2014).
Namun, sekarang dunia kini mengakui bahwa Lancet Breastfeeding Series
2016 menyebutkan ASI Eksklusif kita meningkat dari sebelumnya 38%
(Riskesdas, 2013) naik menjadi 65%.
Sementara itu, keberhasilan lainnya adalah Indonesia berhasil menurunkan
angka stunting yang sebelumnya mencapai 37,2% (Riskesdas, 2013) menjadi
29,0% berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi di 496 Kabupaten/Kota dengan
melibatkan 165.000 balita sebagai sampelnya. Hasil ini diperkuat juga dengan
data UNICEF yang melakukan intervensi selama tiga tahun sejak 2011-2014 di
tiga Kabupaten di Indonesia (Sikka, Jayawijaya, Klaten) dan berhasil menurunkan
angka stunting sebesar 6%.
Perlu diketahui, stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan
oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Anak dengan stunting memiliki
kelemahan dan berkorelasi terhadap : IQ yang rendah, tinggi badan dan berat
badan tidak sesuai grafik perkembangan, serta rentan terhadap penyakit. Oleh
karena itu, masyarakat utamanya para remaja harus mengerti dan memahami
bagaimana merencanakan keluarga, utamanya mengenai nutrisi. Bagaimana
kesiapannya untuk menikah, hamil dan memiliki anak, serta bagaimana agar dapat
menjaga kecukupan nutrisi anak tersebut dan dirinya sendiri.

2.4 Upaya Pemerintah Dalam Peningkatan Gizi Bayi-Balita


Upaya perbaikan gizi sebaiknya dilakukan melalui pendekatan continuum of
care dengan fokus yang diutamakan adalah 1000 hari pertama kehidupan, yaitu
mulai dari masa kehamilan sampai anak berumur 2 tahun.Pemerintah telah
mengupayakan penanggulangan masalah gizi dengan mengembangkan suatu
program yaitu usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK). Kegiatan utama UPGK
adalah penyuluhan gizi melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat .
Ketiga masalah tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan,
dan keterampilan keluarga. Pokok permasalahan yang menyebabkan kurang gizi
pada balita adalah kurangnya pemberdayaan wanita dalam keluarga dan
kurangnya pemanfaatana sumberdaya masyarakat berkaitan dengan faktor
penyebab langsung dan tidak langsung (Azwar A, 2004). Kegiatan pengabdian
masyarakat berupa penyuluhan kesehatan tentang KADARZI akan meningkatkan
pengetahuan dan peranserta ibu tentang perilaku apa saja yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan gizi balitanya. Ibu akan dapat meningkatkan gizi balita dan
keluarganya dengan berperilaku sadar gizi, antara lain; memantau berat badan
balita secara teratur setiap bulan ke Posyandu, mengkonsumsi makanan yang
beraneka ragam, hanya mengkonsumsi garam beryodium, memberikan hanya Asi
saja kepada bayi sampai usia 6 bulan, serta mendapatkan dan memberikan
makanan tambahan bagi balitanya.
Kegiatan penyuluhan ini juga dilakukan untuk membantu mengatasi masalah
gizi makro. Strategi yang dilakukan untuk mengatasi masalah gizi makro adalah
melalui pemberdayaan keluarga di bidang kesehatan dan gizi, subsidi loangsung
berupa dana untuk pembelian makanan tambahan dan penyuluhan pada ibu balita
gizi buruk dan ibu hamil yang mengalami kurang gizi kronis (Depkes RI, 2006).
Disamping upaya tersebut diatas, Pemerintah juga melakukan sosialisasi
perbaikan pola asuh pemeliharaan balita, seperti promosi pemberian ASI secara
eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan dan rujukan dini kasus gizi kurang.
Karena sampai saat ini perilaku ibu dalam menyusui secara eksklusif masih
rendah yaitu baru mencapai 39% dari seluruh ibu yang menyusui bayi 0 – 6 bulan.
Hal tersebut merupakan penyebab tak langsung dari masalah gizi pada anak balita.
Menurut WHO, cara pemulihan gizi buruk yang paling ideal adalah dengan
rawat inap di rumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya sedikit anak dengan
gizi buruk yang di rawat di rumah sakit, karena berbagai alasan. Salah satu
contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap memerlukan biaya
yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi sehari-hari. Alternatif untuk
memecahkan masalah tersebutdengan melakukan penatalaksanaan balita gizi
buruk di posyandu dengan koordinasi penuh dari puskesmas. Oleh karena itu
Pemerintah membentuk Tim Asuhan Gizi yang terdiri dari dokter, perawat, bidan,
ahli gizi, serta dibantu oleh tenaga kesehatan yang lain. Diharapkan dapat
memberikan penanganan yang cepat dantepat pada kasus gizi buruk baik di
tingkat puskesmas maupun di rumah sakit, untuk membantu pemulihan kasus gizi
buruk pada anak balita.
Bidan sebagai tenaga kesehatan harus selalu memberikan konseling dan
penyuluhan tentang pentingnya pemberian gizi yang tepat sesuai dengan usia dan
perkembangannya. Konseling tentang gizi balita bisa dilakukan ketika posyandu
diadakan, ketika ibu balita berkunjung ke bidan desa untuk menggunakan KB.
Disamping itu hendaknya tenaga kesehatan selalu memberikan penyadaran
tentang pentingnya pemberian nutrisi tepat untuk balitanya. Hal itu bisa dilakukan
melalui penyuluhan rutin, penyebaran leaflet dan pemasangan spanduk yang
berhubungan dengan pemenuhan asupan nutrisi. Kegiatan ini diupayakan
dilakukan secara berkala dan terus menerus agar ibu termotivasi untuk
memberikan makanan tambahan sesuai dengan kebutuhan dan jadwal pemberian
makanan .
BAB 4
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Indonesia memiliki berbagai macam masalah dalam perkembangan gizi
seperti stuntingatau balita pendek, pemberian ASI, dan berbagai kendala lainnya
yang mengancam keselamatan dan kesehatan anak usia bayi dan balita. Untuk
mengatasi hal tersebut perlu adanya upaya pencegahan dari pemerintah maupun
masyarakat seperti pemberian penyuluhan akan pentingnya gizi dan sosialisasi
mengenai dampak negatif kurang gizi bagi mmasyarakat.

3.2 Saran
1. Pemerintah perlu gencar dalam melakukan perbaikan gizi pada bayi dan
balita
2. Pemerintah perlu meningkatkan mutu pangan pada masyarakat khusunya
bagi bayi dan balita agar berbagai masalah gizi bisa dicegah.
3. Pemerataan program bulan vitamin A di Puskesmas dan Posyandu di
seluruh Indonesia.
4. Pemberian penyuluhan kesehatan pada masa kehamilan bagi ibu hamil.
5. Meningkatkan kinerja program gizi dengan memperbaiki manajemen
perencanaan, pengadaan, distribusi, dan pengawasan bantuan 20 keranga
kebijakan 1000 hari pertama kehidupan suplemen tablet zat besi dan
pemeberian makan tambahan.
DAFTAR PUSTAKA

Bulletin. 2018. Jendela Data danInformasiKesehatan. Jakarta: Redaksi

Infodatein.2016.Situasi Balita Pendek Pusat Data dan Informasi Kementerian


Kesehatan RI. Jakarta.

PersatuanGizi Indonesia. 2018. Stop Stunting dengan Konseling Gizi. Jakarta:


Penebar Plus
https://books.google.co.id/books?id=8CMDwAAQBAJ&pg=PA149&dq=stu
nting+pada+balita&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjn4-
G1qM7hAhUZb30KHX6RDv0Q6AEILjAB#v=onepage&q=stunting%20pad
a%20balita&f=false. Diakses pada tanggal 13 April 2019.

Sudargo, toto., Aristasari, Tira&Afifah, Aulia. 2018. 1.000 Hari Pertama


Kehidupan
https://books.google.co.id/books?id=vI5eDwAAQBAJ&printsec=frontcover
&dq=stunting+pada+balita&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjdjZ_yrs7hAhWLu
48KHT62C-E4ChDoAQgtMAE#v=onepage&q&f=false

Susanti,Nila&Citerawati, YettiWira. 2018. NCP Komunitas. Malang: Wineka


Media
https://books.google.co.id/books?id=uWGIDwAAQBAJ&pg=PA14&dq=stu
nting+pada+balita&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjn4-
G1qM7hAhUZb30KHX6RDv0Q6AEIRTAG#v=onepage&q=stunting%20pa
da%20balita&f=false. Diaksespadatanggal 13 April 2019.

Anda mungkin juga menyukai