PENDAHULUAN
Gizi memegang peranan penting dalam siklus hidup manusia. Usia 0-24
bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga kerap
diistilahkan dengan periode emas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat
diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang
sesuai untuk tumbuh kembang optimal (Depkes RI, 2006). Masalah gizi kurang
masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Tinggi badan
menurut umur dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena merupakan
estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik atau disebut juga stunting
(Adisasmito, 2008).
Stunting didefinisikan sebagai keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek
hingga melampaui defisit -2 SD di bawah median panjang atau tinggi badan.Stunting
juga sering disebut sebagai Retardasi Pertumbuhan Linier (RPL) yang muncul pada
dua sampai tiga tahun awal kehidupan dan merupakan refleksi dari akibat atau
pengaruh dari asupan energy dan zat gizi yang kurang serta pengaruh dari penyakit
infeksi, karena dalam keadaan normal, berat badan seseorang akan berbanding lurus
atau linier dengan tinggibadannya.
Ada 178 juta anak didunia yang terlalu pendek berdasarkan usia
dibandingkan dengan pertumbuhan standar WHO. Prevalensi anak stunting di
seluruh dunia adalah 28,5% dan di seluruh negara berkembang sebesar 31,2%.
Prevalensi anak stunting dibenua Asia sebesar 30,6% dan di Asia Tenggara sebesar
29,4%. Permasalahan stunting di Indonesia menurut laporan yang dikeluarkan oleh
UNICEF yaitu diperkirakan sebanyak 7,8 juta anak mengalami stunting, sehingga
UNICEF memposisikan Indonesia masuk kedalam 5 besar negara dengan jumlah
anak yang mengalami stunting tinggi.
1.3. Tujuan
a. Tujuan Umum
Melakukan evaluasi stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Kedaloman yang
bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan program perbaikan gizi pada tahun-
tahun berikutnya.
b. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya keadaan status gizi balita (stunting) di Wilayah Kerja Puskesmas
Kedaloman.
2. Diketahuinya masalah-masalah yang menyebabkan terjadinya stunting di
Wilayah Kerja Puskesmas Kedaloman.
3. Tersusunnya cara penyelesaian masalah stunting di Wilayah Kerja Puskesmas
Penengahan.
1.4. Manfaat
a. Bagi Penulis
Dapat mengaplikasikan ilmu kedokteran mengenai evaluasi pertumbuhan dan
perkembangan status gizi balita dan keadaan stunting pada balita.
b. Bagi Puskesmas
Dapat mengatasi masalah stunting dengan cara melaksanakan berbagai alternatif
pemecahan masalah yang telah disusun.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Status gizi diartikan sebagai keadaan gizi seseorang yang diukur atau dinilai
pada satu waktu. Penilaian status gizi pada dasarnya merupakan proses
pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data
penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian
dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Komponen penilaian status
gizi meliputi asupan pangan, pemeriksaan biokimiawi, pemeriksaan klinis
dan riwayat mengenai kesehatan, pemeriksaan antropometris, dan data
psikososial. Anamnesis tentang asupan pangan merupakan tahap penilaian
status gizi yang paling sulit. Komponen anamnesis asupan pangan mencakup
ingatan pangan 24 jam, kuesioner frekuensi pangan, riwayat pangan, catatan
pangan, pengamatan, dan konsumsi pangan keluarga.
a) Ingatan pangan 24 jam diartikan sebagai kegiatan mengingat kembali dan
mencatat jumlah serta jenis pangan dan minuman yang telah dikonsumsi
selama 24 jam. Metode ini merupakan metode pengumpulan data yang
paling banyak dan paling mudah digunakan.
b) Kuesioner frekuensi pangan (Food frequency Questionnaire/FFQ). Tujuan
mengisi FFQadalah melengkapi data yang tidak dapat diperoleh melalui
ingatan 24 jam. Data yang didapat dengan FFQ merupakan data frekuensi
yakni beberapa kali sehari, seminggu, atau sebulan. Pada umumnya FFQ
digunakan untuk meranking orang berdasarkan besaran asupan zat gizi,
tetapi tidak dirancang untuk memperkirakan asupan secara absolut.
Kelemahan cara ini adalah tidak dapat menghasilkan data kuantitatif
tentang asupan pangan karena pangan yang disantap tidak diukur dan
1
pengisian kuesioner hanya mengandalkan ingatan.
c) Riwayat pangan (dietary history). Dengan cara ini data yang diperoleh
akan lebih lengkap. Keterangan yang didapat melalui metode ini adalah
keadaan ekonomi, kegiatan fisik, latar belakang etnis dan budaya, pola
makan dan kehidupan rumah tangga, nafsu makan, kesehatan gigi dan
mulut, alergi makanan dan makanan yang tidak disukai, keadaan saluran
pencernaan, penyakit menahun, obat yang digunakan, perubahan berat
badan, serta masalah pangan dan gizi. Metode riwayat pangan ini
merupakan penerapan ketiga komponen anamnesis asupan pangan yaitu
ingatan pangan 24 jam, kuesioner frekuensi pangan, dan catatan pangan.
d) Catatan pangan (food records). Catatan pangan harus rinci termasuk
bagaimana cara makanan dipersiapkan dan dimasak.
e) Pengamatan. Pengamatan langsung terhadap apa yang dimakan merupakan
cara yang paling tepat, meskipun membutuhkan waktu lebih lama dan
biaya lebih tinggi. Cara ini cocok diterapkan pada pasien rawat inap di
rumah sakit.
f) Konsumsi pangan keluarga. Cara ini meliputi kunjungan keluarga secara
berkala dengan mencatat jumlah, serta jenis bahan makanan yang dibeli
dan mencatat lamanya bahan tersebut habis. Cara ini lazim digunakan
dalam penelitian survei.
2
meliputi persentase, persentil, dan z-skor atau simpangan baku terhadap nilai
median acuan. Sedangkan indeks antropometri yang sering digunakan yaitu
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks antropometri ini berguna
dalam pengklasifikasian status gizi.8,9
2.2 Stunting
2.2.1Definisi
Stunting atau malnutrisi kronik merupakan bentuk lain dari kegagalan
pertumbuhan. Definisi lain menyebutkan bahwa pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan menurut umur
(PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan padanan
istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Kategori status
gizi berdasarkan indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi
badan menurut umur (TB/U) anak umur 0-60 bulan dibagi menjadi sangat
pendek, pendek normatinggi. Sangat pendek jika Z-score < -3 SD, pendek
jika Z-score -3 SD sampai dengan -2 SD normal jika Z-score -2 SD sampai
dengan 2 SD dan tinggi jika Z-score > 2 SD. Seorang anak yang mengalami
kekerdilan (stunted) sering terlihat seperti anak dengan tinggi badan yang
normal, namun sebenarnya mereka lebih pendek dari ukuran tinggi badan
normal untuk anak seusianya. Stunting sudah dimulai sejak sebelum kelahiran
disebabkan karena gizi ibu selama kehamilan buruk, pola makan yang buruk,
kualitas makanan juga buruk, dan intensitas frekuensi menderita penyakit
sering. Berdasarkan ukuran tinggi badan, seorang anak dikatakan stunted jika
tinggi badan menurut umur kurang dari -2 z score berdasarkan referensi
internasional WHO-NCHS. Stunting menggambarkan kegagalan
3
pertumbuhan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama, dan dihubungkan
dengan penurunan kapasitas fisik dan psikis, penurunan pertumbuhan fisik,
dan pencapaian di bidang pendidikan rendah.13,14
4
c. ASI mature
ASI matang merupakan ASI yang keluar pada sekitar hari ke-14 dan
seterusnya, komposisi relatif konstan.Pada ibu yang sehat dengan produksi
ASI cukup, ASI merupakan makanan satu-satunya yang paling baik dan
cukup untuk bayi sampai umur enam bulan, Tidak menggumpal jika
dipanaskan.
5
protein unsur whey. Perbandingan protein unsur whey dan casein dalam
ASI adalah 65 : 35, sedangkan dalam PASI 20 : 80. Artinya protein pada
PASI hanya sepertiganya protein ASI yang dapat diserap oleh sistem
pencernaan bayi dan harus membuang dua kali lebih banyak protein yang
sukar diabsorpsi. Hal ini yang memungkinkan bayi akan sering menderita
diare dan defekasi dengan feces berbentuk biji cabe yang menunjukkan
adanya makanan yang sukar diserap bila bayi diberikan PASI.
c. Lemak
Kadar lemak dalam ASI pada mulanya rendah kemudian meningkat
jumlahnya. Lemak dalam ASI berubah kadarnya setiap kali diisap oleh
bayi dan hal ini terjadi secara otomatis. Komposisi lemak pada lima menit
pertama isapan akan berbeda dengan hari kedua dan akan terus berubah
menurut perkembangan bayi dan kebutuhan energi yang diperlukan.
Jenis lemak yang ada dalam ASI mengandung lemak rantai panjang
yang dibutuhkan oleh sel jaringan otak dan sangat mudah dicerna karena
mengandung enzim Lipase. Lemak dalam bentuk Omega 3, Omega 6 dan
DHA yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel-sel jaringan otak.
Susu formula tidak mengandung enzim, karena enzim akan mudah
rusak bila dipanaskan. Dengan tidak adanya enzim, bayi akan sulit
menyerap lemak PASI sehingga menyebabkan bayi lebih mudah terkena
diare. Jumlah asam linoleat dalam ASI sangat tinggi dan perbandinganya
dengan PASI yaitu 6 : 1. Asam linoleat adalah jenis asam lemak yang
tidak dapat dibuat oleh tubuh yang berfungsi untuk memacu
perkembangan sel syaraf otak bayi
d. Mineral
ASI mengandung mineral yang lengkap walaupun kadarnya relatif
rendah, tetapi bisa mencukupi kebutuhan bayi sampai berumur 6 bulan.
Zat besi dan kalsium dalam ASI merupakan mineral yang sangat stabil dan
mudah diserap dan jumlahnya tidak dipengaruhi oleh diet ibu. Dalam
PASI kandungan mineral jumlahnya tinggi tetapi sebagian besar tidak
dapat diserap, hal ini akan memperberat kerja usus bayi serta mengganggu
keseimbangan dalam usus dan meningkatkan pertumbuhan bakteri yang
6
merugikan sehingga mengakibatkan kontraksi usus bayi tidak normal.
Bayi akan kembung, gelisah karena obstipasi atau gangguan metabolisme.
e. Vitamin
ASI mengandung vitamin yang lengkap yang dapat mencukupi
kebutuhan bayi sampai 6 bulan kecuali vitamin K, karena bayi baru lahir
ususnya belum mampu membentuk vitamin K. Kandungan vitamin yang
ada dalam ASI antara lain vitamin A, vitamin B dan vitamin C.
7
4. Lysosim, enzym yang melindungi bayi terhadap bakteri (E. coli dan
salmonella) dan virus. Jumlah lysosim dalam ASI 300 kali lebih
banyak daripada susu sapi.
5. Sel darah putih pada ASI pada 2 minggu pertama lebih dari 4000 sel
per mil. Terdiri dari 3 macam yaitu: Brochus-Asociated Lympocyte
Tissue (BALT) antibodi pernafasan, Gut Asociated Lympocyte
Tissue (GALT) antibodi saluran pernafasan, dan Mammary
Asociated Lympocyte Tissue (MALT) antibodi jaringan payudara
ibu.
6. Faktor bifidus, sejenis karbohidrat yang mengandung nitrogen,
menunjang pertumbuhan bakteri lactobacillus bifidus. Bakteri ini
menjaga keasaman flora usus bayi dan berguna untuk menghambat
pertumbuhan bakteri yang merugikan.
b. Aspek Psikologik
1. Rasa percaya diri ibu untuk menyusui : bahwa ibu mampu menyusui
dengan produksi ASI yang mencukupi untuk bayi. Menyusui
dipengaruhi oleh emosi ibu dan kasih saying terhadap bayi akan
meningkatkan produksi hormon terutama oksitosin yang pada
akhirnya akan meningkatkan produksi ASI.
2. Interaksi Ibu dan Bayi: Pertumbuhan dan perkembangan psikologik
bayi tergantung pada kesatuan ibu-bayi tersebut.
3. Pengaruh kontak langsung ibu-bayi : ikatan kasih sayang ibu-bayi
terjadi karena berbagai rangsangan seperti sentuhan kulit (skin to
skin contact). Bayi akan merasa aman dan puas karena bayi
merasakan kehangatan tubuh ibu dan mendengar denyut jantung ibu
yang sudah dikenal sejak bayi masih dalam rahim.
c. Aspek Kecerdasan
1. Interaksi ibu-bayi dan kandungan nilai gizi ASI sangat dibutuhkan
untuk perkembangan system syaraf otak yang dapat meningkatkan
kecerdasan bayi.
8
2. Penelitian menunjukkan bahwa IQ pada bayi yang diberi ASI
memiliki IQ point 4.3 point lebih tinggi pada usia 18 bulan, 4-6 point
lebih tinggi pada usia 3 tahun, dan 8.3 point lebih tinggi pada usia
8.5 tahun, dibandingkan dengan bayi yang tidak diberi ASI.
d. Aspek Neurologis
1. Dengan menghisap payudara, koordinasi syaraf menelan, menghisap
dan bernafas yang terjadi pada bayi baru lahir dapat lebih sempurna.
e. Aspek Ekonomis
1. Dengan menyusui secara eksklusif, ibu tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk makanan bayi sampai bayi berumur 4 bulan. Dengan
demikian akan menghemat pengeluaran rumah tangga untuk
membeli susu formula dan peralatannya
f. Aspek Penundaan Kehamilan
1. Dengan menyusui secara eksklusif dapat menunda haid dan
kehamilan, sehingga dapat digunakan sebagai alat kontrasepsi
alamiah yang secara umum dikenal sebagai Metode Amenorea
Laktasi (MAL).
9
Adapun waktu yang baik dalam memulai pemberian MP-ASI pada bayi
adalah umur 6 bulan. Pemberian makanan pendamping pada bayi sebelum umur
tersebut akan menimbulkan risiko sebagai berikut :
- Rusaknya sistem pencernaan karena perkembangan usus bayi dan pembentukan
enzim yang dibutuhkan untuk pencernaan memerlukan waktu 6 bulan. Sebelum
sampai usia ini, ginjal belum cukup berkembang untuk dapat menguraikan sisa
yang dihasilkan oleh makanan padat.
- Tersedak disebabkan sampai usia 6 bulan, koordinasi syaraf otot
(neuromuscular) bayi belum cukup berkembang untuk mengendalikan gerak
kepala dan leher ketika duduk dikursi. Jadi, bayi masih sulit menelan makanan
dengan menggerakan makanan dari bagian depan ke bagian belakang mulutnya,
karena gerakan ini melibatkan susunan refleks yang berbeda dengan minum
susu.
- Meningkatkan resiko terjadinya alergi seperti asma, demam tinggi , penyakit
seliak atau alergi gluten (protein dalam gandum).
- Batuk, penelitian bangsa Scotlandia adanya hubungan antara pengenalan
makanan pada umur 4 bulan dengan batuk yang berkesinambungan.
- Obesitas, penelitian telah menghubungkan pemberian makanan yang berlebih di
awal masa perkenalan dengan obesitas dan peningkatan resiko timbulnya
kanker, diabetes dan penyakit jantung di usia lanjut (Lewis, 2003).
10
atau hati, sepotong tempe atau tahu dan sayuran seperti wortel
dan bayam, serta buah tomat dan air kaldu.
3. Makanan bayi kalengan, yang diperdagangkan dan dikemas dalam
kaleng, karton, karton kantong (sachet) atau botol : untuk jenis
makanan seperti ini perlu dibaca dengan teliti komposisinya yang
tertera dalam labelnya (Lewis, 2003).
Menurut WHO Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang dianggap baik
adalah apabila memenuhi beberapa kriteria hal berikut :
1. Waktu pemberian yang tepat, artinya MP-ASI mulai diperkenalkan
pada bayi ketika usianya lebih dari 6 bulan dan kebutuhan bayi akan
energi dan zat-zat melebihi dari apa yang didapatkannya melalui ASI
2. Memadai, maksudnya adalah MP-ASI yang diberikan memberikan
energi,protein dan zat gizi mikro yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi anak.
3. Aman, makanan yang diberikan bebas dari kontaminasi
mikroorganisme baik pada saat disiapkan, disimpan maupun saat
diberikan pada anak.
Akibat dari kurang menyusui dan risiko pemberian makanan tambahan
terlalu lambat :
1. Anaktidak mendapat makanan ekstra yang dibutuhkan mengisi
kesenjangan energi dan nutrient.
2. Anak berhenti pertumbuhannya atau tumbuh lambat.
3. Pada anak risiko malnutrisi dan defisiensi mikro nutrient meningkat.
Pemberian makan setelah bayi berusia 6 bulan memberikan perlindungan
besar dari berbagai penyakit. Hal ini disebabkan imunitas bayi > 6 bulan sudah
lebih sempurna dibandingkan dengan umur bayi < 6. Pemberian MP-ASI dini
sama saja dengan mebuka gerbang masuknya berbagai jenis kuman penyakit.
Hasil riset menunjukan bahwa bayi yang mendapatkan MP-ASI sebelum berumur
6 bulan lebih banyak terserang diare, sembelit, batuk pilek dan panas
dibandingkan bayi yang mendapatkan ASI eksklusif.
Selain itu pada tahun 2002, Morten El et Jama melakukan penelitian pada
3.253 orang di Denmark. Mereka yang disusui kurang dari 1 bulan IQ-nya lebih
11
rendah dari yang disusui setidaknya 7 hingga 9 bulan. Ini menunjukkan terdapat
korelasi antara lamanya pemberian ASI dan tingkat IQ ( Anonim, 2009).
Saat memberikan makanan, ingatlah mengenai: Frekuensi, Jumlah,
Kepekatan, Variasi, Pemberian makan secara Aktif/Responsif, dan Kebersihan.
1. Frekuensi: Berikan makan pada bayi 2-3 kali sehari.
2. Jumlah : Disesuaikan dengan usia bayi
3. Kepekatan: Harus cukup pekat/kental untuk diberikan dengan tangan
4. Variasi: Mulai dengan makanan pokok (jagung, gandum, nasi, padi-
padian, kentang, ubi), pisang atau kentang yang dilumatkan.
5. Pemberian makan secara aktif/responsif : bayi mungkin perlu waktu untuk
terbiasa dengan makanan lain selain ASI. Ibu harus sabar dan memberikan
dorongan kepada bayi untuk mau makan. Jangan memaksa bayi untuk
makan. Gunakan piring tersendiri untuk memberi makan bayi untuk
memastikan ia makan seluruh makanan yang diberikan.
6. Kebersihan: Kebersihan yang baik penting untuk menghindari diare dan
penyakit lain. Menjaga kebersihan dengan beberapa cara :
Gunakan sendok dan cangkir bersih untuk memberikan makanan atau
cairan pada bayi.
Simpan makanan yang akan diberikan kepada bayi di tempat yang
aman dan bersih.
Cuci tangan Ibu dengan sabun sebelum menyiapkan makanan/
memberikan makan bayi.
Cuci tangan Ibu dan bayi sebelum makan.
Cuci tangan Ibu dengan sabun setelah ke toilet dan setelah
membersihkan kotoran bayi.
Frekuensi dan Jumlah Pemberian MP-ASI
Umur Frekuensi Jumlah
6-9 bulan 3 x makanan lumat + Secara bertahap
ASI ditingkatkan sampai 2/3
mangkuk ukuran 250 ml
tiap makan
9-12 bulan 3 x makanan lembek ¾ mangkuk ukuran 250
12
+ 2 x makanan selingan ml
+ ASI
12-24 bulan 3 x makanan keluarga + Semangkuk penuh ukuran
2 x makanan selingan + 250 ml
ASI
13
Bayi dengan masa kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat badan
sesuai dengan berat badan untuk usia kehamilan. Kepala relatif lebih
besar dari badannya, kulit tipis, transparan, lemak subkutan kurang,
tangisnya lemah dan jarang,.
2. Dismaturitas/Kecil Masa Kehamilan (KMK)
Bayi dengan berat badan kurang dari berat badan yang seharusnya
untuk usia kehamilan, hal tersebut menunjukkan bayi mengalami
retardasi pertumbuhan intrauterine.
14
infeksi, karena daya tahan tubuh BBLR yang masih rendah. Selain itu, keadaan
organ-organ BBLR yang belum matang merupakan faktor resiko terjadinya
necrotizing enterocolitis (NEC) pada BBLR. Kejadian NEC tertinggi pada bayi
berat lahir < 1500 gram. Bayi yang lahir dengan kisaran berat badan antara
2000 – 2500 gram memiliki resiko kematian neonatal 4 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan kisaran berat badan 2500 – 3000
gram dan 10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan
kisaran berat badan 3000 – 3500 gram (IDAI, 2004).
Kematangan fungsi organ khususnya saluran cerna, sangat menentukan
jenis dan cara pemberian nutrisi pada BBLR. Kondisi klinis seringkali
merupakan faktor penentu, apakah nutrisi enteral atau parenteral yang akan
diberikan. Ketersediaan enzim pencernaan baik untuk karbohidrat, protein,
maupun lemak sangat berkaitan dengan masa gestasi. Kemampuan
pengosongan lambung (gastric emptying time) lebih lambat pada bayi BBLR
daripada bayi cukup bulan. Demikian pula fungsi mengisap dan menelan (suck
and swallow) masih belum sempurna, terlebih bila bayi dengan masa gestasi
kurang dari 34 minggu (IDAI, 2004).
Penyebab terjadinya BBLR secara umum bersifat multifaktorial.
Namun, penyebab terbanyak yang mempengaruhi adalah kelahiran prematur.
Bayi prematur harus dipersiapkan agar dapat mencapai tahapan tumbuh
kembang yang optimal seperti bayi yang lahir cukup bulan sehingga akan
diperoleh kualitas hidup bayi yang lahir prematur secara optimal pula. Salah
satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan asupan
nutrisi yang mencukupi untuk proses tumbuh kejar pada bayi prematur yang
lebih cepat dari bayi cukup bulan (IDAI, 2004).
Bayi berat lahir rendah (BBLR) memerlukan penanganan yang tepat
untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Penanganan BBLR meliputi
hal-hal berikut :
1. Mempertahankan suhu dengan ketat. BBLR mudah mengalami
hipotermia. Oleh karena itu, suhu tubuhnya harus dipertahankan dengan
ketat.
15
2. Mencegah infeksi dengan ketat. Dalam penanganan BBLR harus
memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi karena sangat
rentan. Salah satu cara pencegahan infeksi, yaitu dengan mencuci
tangan sebelum memegang bayi.
3. Pengawasan nutrisi dan ASI. Refleks menelan pada BBLR belum
sempurna. Oleh karena itu, pemberian nutrisi harus dilakukan dengan
hati-hati.
4. Penimbangan ketat. Penimbangan berat badan harus dilakukan secara
ketat karena peningkatan berat badan merupakan salah satu status
gizi/nutrisi bayi dan erat kaitannya dengan daya tahan tubuh (Saifuddin,
2002).
16
memungkinkan pemberian kalori lebih banyak dengan volume lebih kecil,
menguntungkan bila kapasitas lambung terbatas. Namun minggu-minggu awal
kehidupan, dukungan nutrisi lengkap sulit pada Very Low Birth Weight
(VLBW), karena toleransi makan yangmemerlukan restriksi cairan. Juga
mensuplai cukup air untuk ekskresi metabolit dan elektrolit dari formula (IDAI,
2004)
Bayi dapat mencapai full enteral feeding (~150 – 180 mL/kg/hari), kira-
kira 2 minggu untuk bayi 1000 gram pada waktu lahir dan kira-kira 1 minggu
untuk bayi 1000 – 1500 gram dengan menerapkan protokol evidence-based
feeding. Dapat dicatat bahwa beberapa bayi, terutama yangkurang dari 1000
gram, tidak akan mentolerir volume yang lebih besar dari pemberian makan
(seperti 180 mL/kg/hari atau lebih). Pencapaian yang cepat dari full enteral
feedingakan menyebabkan pelepasan yang lebih awal dari kateter pembuluh
darah dan berkurangnya kejadian sepsis serta komplikasi yang berkaitan
dengan kateter (Dutta et al., 2015).
Frekuensi dari pemberian makan diakukan pemberian makan setiap 3
jam sekali untuk bayi > 1250 gram. Angka kejadian dari intoleransi makanan,
apnea, hipoglikemik, dan necrotizing enterocolitis (NEC) tidak terlalu berbeda,
tetapi waktu rawat dalam pemberian makan setiap 3 jam sekali, menjadi
berkurang. Waktu untuk memulai, volume, serta durasi disarankan volume
minimal dari pemberian susu (10 – 15 mL/kg/day). Hal ini dilakukan pada 24
jam pertama kehidupan. Jika pada 24 – 48 jam, tidak ada ASI maupun susu
donor, pertimbangkan susu formula. Pengenalan lebihdini pada pemberian
makan awal dibandingkan dengan bayi yang dipuasakan, tidak menunjukkan
hasil yang signifikan pada kejadian NEC (Dutta et al., 2015).
17
Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) (Notoatmodjo, 2007).
Pengetahuan gizi adalah sesuatu yang diketahui tentang makanan dalam
hubungannya dengan kesehatan optimal. Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan
tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua
zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi
bahan makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau
status gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup zat gizi yang
dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami kekurangan
satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi lebih terjadi apabila tubuh
memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga menimbulkan efek
yang membahayakan (Almatsir, 2004).
2.4.1 Tingkat pengetahuan
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif menurut Notoadmodjo
(2007) mempunyai enam tingkatan, yaitu:
o Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Disebut juga dengan istilah recall
(mengingat kembali) terhadap suatu yang spesifik terhadap suatu
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima.
o Memahami
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan
secara benar, tentang obyek yang diketahui dan dapat
menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang
telah paham terhadap obyek atau materi tersebut harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan,
dan sebagainya terhadap obyek yang dipelajari.
o Aplikasi
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi
yang telah dipelajari pada situasi atau konsulidasi riil (sebenarnya).
Aplikasi ini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum,
18
rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi
yang lain.
o Analisa
Analisa adalah kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
obyek ke dalam komponen, tetapi masih di dalam struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitan satu sama lain.
Kemampuan analisa ini dapat dilihat dari penggunaan kata karena
dapat menggambarkan, membedakan, dan mengelompokkan.
o Sintesis
Sintesis menunjukkan pada suatu kemampuan untuk melaksanakan
atau menghubungkan bagian suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi yang ada.
o Evaluasi
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian ini berdasarkan suatu keriteria yang ditentukan sendiri
atau menggunakan kriteria yang telah ada sebelumnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah sebagai berikut :
Faktor Internal
Umur
Semakin cukup umur tingkat kemampuan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir maupun bekerja.
Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih
dewasa akan dipercaya dari orang yang belum cukup umur
(Notoatmojo, 2007).
IQ (Intelegency Quotient)
Intelegency adalah kemampuan untuk berfikir abstrak. Untuk
mengukur intelegency seseorang dapat diketahui melalui IQ
(Intelegency Quotient) yaitu skor yang diperoleh dari sebuah
alat tes kecerdasan. Individu yang memiliki intelegency rendah
19
maka akan diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula
(Sunaryo, 2004).
Keyakinan (Agama)
Agama sebagai suatu keyakinan hidup yang masuk ke dalam
konstruksi kepribadian seseorang yang sangat berpengaruh
dalam cara berfikir, bersikap, berkreasi, dan berperilaku
individu (Sunaryo, 2004).
Faktor Eksternal
Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang
terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-
cita tertentu. Kegiatan pendidikan formal maupun informal
berfokus pada proses belajar mengajar, dengan tujuan agar
terjadi perubahan perilaku yaitu dari tidak tahu menjadi tahu,
dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan dari tidak dapat
menjadi dapat. Maka, makin tinggi pendidikan seseorang
makin mudah menerima informasi sehingga makin banyak
pula pengetahuan yang dimiliki (Sunaryo, 2004).
Informasi
Pengetahuan dapat dipengaruhi oleh adanya informasi dari
sumber media sebagai sarana komunikasi yang dibaca atau
dilihat, baik dari media cetak maupun elektronik seperti
televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain (Azwar,
2003).
Sosial Budaya
Sistem sosial budaya yang ada di masyarakat dapat
mempengaruhi dari sikap dalam menerima informasi
(Notoatmodjo, 2007).
Pekerjaan
Adanya suatu pekerjaan pada seseorang akan menyita banyak
waktu dan tenaga untuk menyelesaikan pekerjaan yang
20
dianggap penting dan memerlukan perhatian tersebut, sehingga
masyarakat yang sibuk hanya mempunyai sedikit waktu
memperoleh informasi (Notoatmodjo, 2007).
2.4.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap
tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial
(Notoatmodjo, 2007). Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial dalam
buku Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa sikap itu merupakan
pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau
aktivitas, akan tetapi merupakan prediposisi suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku
yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek
lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo,
2007). Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan
menurut Notoatmodjo 2007 yaitu :
Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek).
Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap,
karena dengan suatu usaha unutk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar
atau salah, adalah berarti orang itu menerima ide tersebut.
Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah.
Bertanggung Jawab (Responsible)
21
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Pengalaman pribadi
Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila
pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan
lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi
dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.
Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang
konformis atau searah dengan sikap seseorang yang dianggap
penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan
untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting
tersebut.
Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu
masyarakat asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari
kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap
berbagai masalah.
Media massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media
komunikasi lainnya, berita yang seharusnya factual disampaikan
secara objektif berpengaruh terhadap sikap konsumennya.
Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga
agama sangat menentukan sistem kepercayaan. Tidaklah
mengherankan apabila pada gilirannya konsep tersebut
mempengaruhi sikap.
Faktor emosional
22
Bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang
berfungsi sebagai penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego.
2.4.3 Perilaku
23
o Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai
tujuan sementara
o Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan
komponen yang telah lama tersusun itu
Menurut Green dalam buku Notoatmodjo (2007), kesehatan
seseorang dipengaruhi oleh faktor perilaku dan non perilaku. Perilaku
sendiri dipengaruhi oleh lima domain utama yaitu pengetahuan, sikap,
nilai, kepercayaan, dan faktor demografis. Faktor enabling terkait dengan
akses terhadap pelayanan dan informasi kesehatan. Faktor enabling juga
berasal dari komitmen pemerintah dan masyarakat terhadap suatu objek
perilaku kesehatan. Faktor reinforcing berasal dari kelompok atau inividu
yang dekat dengan seseorang, termasuk keluarga, teman, guru, dan
petugas kesehatan.
Secara lengkap 3 faktor utama yang mempengaruhi perubahan
perilaku tersebut dapat diterangkan sebagai berikut:
- Faktor-faktor prediposisi (predisposing factor)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat
terhadap kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem yang
dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi,
dan sebagainya. Contohnya agar seorang waria mau
menggunakan kondom diperlukan pengetahuan dan kesadaran
waria tersebut tentang kondom. Di samping itu, kadang-kadang
kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga dapat
mendorong atau menghambat waria untuk menggunakan
kondom.
- Faktor- faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana
atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya tempat
pembelian kondom, tempat konsultasi, tempat berobat,
ketersediaan kondom atau kemudahan mendapat kondom dan
sebagainya. Untuk perilaku sehat masyarakat memerlukan
24
sarana dan prasarana yang pendukung misalnya pengguaan
kondom. Waria yang mau menawarkan kondom, tidak hanya
karena dia tahu dan sadar manfaat kondom saja, melainkan
waria tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh
kondom. Fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau
memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-
faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
- Faktor-faktor penguat (reinforcing factor)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh
masyarakat, tokoh agama, sikap, dan perilaku petugas termasuk
petugas kesehatan, undang-undang peraturan-peraturan baik
dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan
kesehatan.
Ukuran Tinggi Badan digunakan untuk anak umur diatas 24bulan yang
diukur berdiri. Bila anak berumur lebih dari 24 bulan diukur terlentang,
maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.
Sedangkan Panjang badan digunakan untuk anak umur 0- 24 bulan yang
diukur terlentang. Bila anak umur 0-24 bulan diukur berdiri maka hasil
pengukurannya dikoreksi dengan menambahkan 0,7 cm. Menurut WHO (Z
score) bila Tinggi badan atau panjang badan menurut umur <-3 SD maka
dikategorikan sangat pendek, -3 SD sampai dengan <-2 SD dikategorikan
pendek, -2 SD sampai dengan 2 SD dikategorikan normal, dan bila > 2 SD
maka dikategorikan Tinggi.
25
BAB III
BAHAN DAN METODE EVALUASI
26
Melakukan evaluasi pengukuran tinggi badan anak setelah 1
bulan dari intervensi.
3.2 Bahan
1. Laporan bulanan posyandudi Wilayah Kerja, Puskesmas Kedaloman
Periode juli - September 2018.
2. Hasil pengukuran tinggi badan balita di Posyandu Wilayah Kerja
Puskesmas Kedaloman.
27
3. Membandingkan pencapaian keluaran program dengan tolak ukur
keluaran.
Bila terdapat kesenjangan, ditetapkan sebagai masalah.Setelah diketahui
tolak ukur, selanjutnya adalah membandingkan hasil pencapaian keluaran
Puskesmas (output) dengan tolak ukur tersebut. Bila pencapaian keluaran
Puskesmas tidak sesuai dengan tolak ukur, maka ditetapkan sebagai
masalah.
4. Menetapkan prioritas masalah
Masalah-masalah pada komponen output tidak semuanya dapat diatasi
secara bersamaan mengingat keterbatasan kemampuan Puskesmas. Selain
itu adanya kemungkinan masalah-masalah tersebut berkaitan satu dengan
yang lainnya dan bila diselesaikan salah satu masalah yang dianggap
paling penting, maka masalah lainnya dapat teratasi pula. Oleh sebab itu,
ditetapkanlah prioritas masalah yang akan dicari solusi untuk
memecahkannya.
5. Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan
Untuk menentukan penyebab masalah yang telah diprioritaskan tersebut,
maka dibuatlah kerangka konsep masalah. Hal ini bertujuan untuk
menentukan faktor-faktor penyebab masalah yang telah diprioritaskan
tadi yang berasal dari komponen sistem yang lainnya, yaitu komponen
input, proses, lingkungan dan umpan balik. Dengan menggunakan
kerangka konsep diharapkan semua faktor penyebab masalah dapat
diketahui dan diidentifikasi sehingga tidak ada yang tertinggal.
6. Identifikasi penyebab masalah
Berbagai penyebab masalah yang terdapat pada kerangka konsep
selanjutnya akan diidentifikasi. Identifikasi penyebab masalah dilakukan
dengan membandingkan antara tolak ukur atau standar komponen-
komponen input, proses, lingkungan dan umpan balik dengan pencapaian
di lapangan. Bila terdapat kesenjangan, maka ditetapkan sebagai
penyebab masalah yang diprioritaskan tadi.
28
7. Membuat alternatif pemecahan masalah
Setelah diketahui semua penyebab masalah, dicari dan dibuat beberapa
alternatif pemecahan masalah.Alternatif-alternatif pemecahan masalah
tersebut dibuat untuk mengatasi penyebab-penyebab masalah yang telah
ditentukan.Alternatif pemecahan masalah ini dibuat dengan
memperhatikan kemampuan serta situasi dan kondisi Puskesmas.
8. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah
Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, maka
akan dipilih satu cara pemecahan masalah (untuk masing-masing
penyebab masalah) yang dianggap paling baik dan memungkinkan.
29
BAB IV
Gambaran Puskesmas Kedaloman
30
Padang.
b.Sebelah Timur berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas
Sumanda.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah kerja Puskesmas
Gisting.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Puskesmas Talang
Padang.
31
Tabel 1. Luas Wilayah Puskesmas Kedaloman
Tahun 2017
NO Nama Pekon Luas (Km²)
1 Banjar Negeri 16.5
2 Kedaloman 12.2
3 Ciherang 10.4
4 Way Halom 9.5
5 Suka Banjar 8,3
6 Suka Raja 7.9
7 Suka Mernah 7.3
8 Darussalam 6.7
9 Penanggungan 5.3
10 Suka Damai 4.5
11 Pariaman 3.8
12 Banjar Agung 2.6
Jumlah 38.1
32
Kondisi budaya dan keagamaan yang demikian sangat besar
pengaruhnya terhadap corak kepemimpinan. Pemimpin informal
yang berlatar belakang agama seperti Kyai dan Ketua Adat masih
memiliki peran atau pengaruh yang sangat besar dalam
masyarakat. Demikian juga terhadap pengambilan keputusan
berperilaku dalam kesehatan.
33
Jumlah penduduk dalam wilayah kerja Puskesmas Kedaloman
tersebar dalam 12 pekon dengan kepadatan yang berbeda.
34
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
35
34 An.Na Perempuan 11/04/2016 Banjar Negeri 8,6 78 -2,-3 Stunting
35 An.Ke Perempuan 11/03/2013 Banjar Negeri 13,1 90 -3 Stunting
36 An.Al Laki-Laki 09/09/2015 Banjar Negeri 10 86 -2,-3 Stunting
37 An.M fa Laki-LAki 08/08/2016 Pariaman 11,5 81 <-2 Stunting
38 An.As Perempung 06/06/2016 Pariaman 82 69 -2,-3 Stunting
39 An.Ar Laki-Laki 26/09/2017 Pariaman 6,5 65 -2,-3 Stunting
Dari tabel diatas didapatkan 39 anak yang mengalami stunting di wilayah kerja
puskesmas Kedaloman. Dan 6 orang balita mengalami stunting di pekon
Kedaloman. Perhitungan stunting pada tabel tersebut ditentukan dengan
menggunakan rumus TB/U dan dicocokan hasilnya menggunakan tabel standar
antropometri penilaian status gizi anak yang dikeluarkan oleh Menteri kesehatan
RI.
Setelah mendapatkan data awal tinggi badan, dilakukan wawancara kepada orang
tua dari balita yang mengalami stunting untuk mengetahui faktor resiko apa saja
yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak mereka dan saya mengambil
orang tua balita di pekon kedaloman.
36
1. Pelayanan kesehatan
(ANC, post natal, dan
pembelajarn diri yang
berkualitas)
No NAMA JK
Kunsumsi Aktif pada
supleme&zat program
besi pada ibu posyandu &
hamil imunisasi
1 An. De L YA YA
2 An. Am L YA TIDAK
3 An. Hab L YA YA
4 An. As P YA TIDAK
5 An.Ma L YA YA
6 An. Ad L YA YA
2. Makanan bergizi
No NAMA JK anemia/sakit Mengkonsumsi
selama kehamilan makanan bergizi
1 An. De L TIDAK YA
2 An. Am L TIDAK YA
3 An. HAb L TIDAK YA
4 An. As P TIDAK TIDAK
5 An.Ma L TIDAK TIDAK
6 An. Ad L TIDAK YA
37
3. Air bersih dan sanitasi
Jenis Tersedia sumber air
No NAMA Memiliki jamban
kelamin bersih di lingkugan
pribadi (keluarga)
rumah
1 An. De L YA TIDAK
2 An. Am L YA YA
3 An. Hab L TIDAK TIDAK
4 An. As P TIDAK YA
5 An.Ma L YA YA
6 An. Ad L TIDAK YA
38
Pembahasan
Stunting disebabkan oleh factor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan
oleh factor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak
balita.Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi
prevalensi stunting oleh karena perlu dilakukannya pada 1000 hari
pertama kehidupandari anak balita. Pada 6 anak yang mengalami stunting
di pekon kedaloman wilayah kerja puskesmas kedaloman terdapat 4 faktor
dominan yang diperkirakan menjadi penyebab terjadinya stunting tersebut,
keempat factor tersebut diantaranya adalah:
1. Pemberian MPASI ( Usia Makan Pertama)
2. Pemberian Makanan Bergizi
3. Sanitasi dan Penggunaan Air Bersih
4. Frekuensi Kunjungan Posyandu (D/S)
39
kehidupan, yaitu ASI dan MPASI.Pola pemberian makanan dapat
mempengaruhi kualitas konsumsi makanan balita, sehinggadapat
mempengaruhi status gizi balita.11Pemberian ASI yang kurang dari 6
bulan, dan pemberian MPASI terlalu dini dapat meningkatkan resiko
stunting karenasaluran pencernaan bayi belum sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. 12
Pada penelitian lain, disebutkan bahwa bayi atau anak harus makan lebih
sering daripada orang dewasa. Kuantitas dan jenis makanan yang
diberikan kepada anak dan frekuensi pemberian makan adalah faktor
penting yang berhubungan dengan stunting. Anak- anak yang
mengonsumsi jumlah makanan yang relatif besar (>600 mL/hari)
mempunyai skor PB/U yang lebih tinggi dibandingkan anak-anak dengan
konsumsi yang kurang (<600 mL/hari). Anak-anak yang diberi makan <3
mangkok sedang (<200 mL) per hari mempunyai skor PB/U yang lebih
rendah dibandingkan dengan anak-anak yang diberi makan >3 mangkok
sedang (>200 mL). Oleh karena itu, konsumsi MP-ASI dengan jumlah
yang kecil dan frekuensi yang kurang menjadi salah satu penyebabpenting
kejadian stunting.19
40
Masalah yang kedua adalah mengenai pemberian makanan bergizi pada
anak.Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai makanan bergizi
sangatlah berpengaruh terhadap pemilihan makanan yang diberikan setiap
harinya kepada anak tersebut. Di Desa wilayah kerja puskesmas
kedaloman sendiri masih banyak orang tua yang beranggapan bahwa
makanan bergizi adalah makanan yang berasal dari bahan-bahan masakan
yang tergolong mahal, sedangkan sebagian besar dari mereka merupakan
keluarga dengan tingkat ekonomi menengah kebawah sehingga dengan
adanya mindset tersebut akan menjadikan beban kepada orang tua dalam
menyediakan makanan bergizi untuk anak.Gizi yang cukup diperlukan
untuk menjamin pertumbuhan optimal dan perkembangan bayi dan
anak.Kebutuhan gizi sehari-hari ini digunakan untuk menjalankan dan
menjaga fungsi normal tubuh.Oleh karena itu, bayi dan anak
membutuhkan asupan yang adekuat. Gizi seimbang harus diterapkan sejak
anak usia dini hingga usialanjut.Air susu ibu (ASI) adalah satu-satunya
makanan yang mengandung semuazat gizi yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan bayi 0-6 bulan. ASI eksklusif tanpaditambah cairan atau
makanan lain merupakan makanan pertama dalamkehidupan manusia yang
bergizi seimbang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh fitri (2012)
didapatkan bahwa rendahnya pemberian ASI eksklusif menjadi salah satu
pemicu terjadinya stunting pada anak balita, sebaliknya pemberian ASI
yang baik oleh ibu akan membantu menjaga keseimbangan gizi anak
sehingga tercapai pertumbuhan anak yang normal.(33)
Namun sesudah usia 6 bulan kebutuhan gizi bayi meningkat dan harus
ditambah bahan makanan lain sehingga ASI tidak lagi bergizi
seimbang.Pada usia 6 bulan sudah diberikan makanan tambahan
pendamping ASI (MP-ASI). Hal ini sudah boleh dilakukan karena bayi
sudah mempunyai reflek mengunyah dengan pencernaaan yang lebih kuat.
Makanan tambahan diberikan dalam bentuk lumat dan rendah serat,
misalnya pisang yang dilumatkan, sari jeruk, labu, papaya dan biscuit yang
41
dilumatkan dengan susu. Pola pemberian dilakukan secara bertahap
sebanyak 2 sendok makan per waktu makan dan diberikan 2 kali sehari.
Kenalkan setiap jenis makanan 2-3 hari baru lanjutkan mengenalkan jenis
makanan yang lain.Pada usia 7 bulan mulai dikenalkan bubur tim saring
dengan campuran sayuran dan protein hewani-nabati. Sehingga pola
menunya terdiri dari buah lumat, bubur susu dan tim saring. Mulai usia 8
bulan sudah bisa diberi tim cincang untuk membantu merangsang
pertumbuhan gigi, meskipun belum tumbuh gigi, bayi dapat mengunyah
dengan gusi. Untuk meningkatkan kandungan gizi, makanan pada usia ini
dapat ditambah minyak. Minyak akan menambah kalori dan meningkatkan
penyerapan vitamin A dan zat gizi lain. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sulistianingsih bahwa ada hubungan asupan vitamin
A dengan kejadian stunting pada balita. Berdasarkan nilai OR diperoleh
sebesar 10,00 hal ini dapat diartikan bahwa balita yang kurang asupan
protein 10 kali lebihberisiko menderita stunting bila dibandingkan dengan
balita yang cukup asupan vitamin A.(34)
Pada usia 9 bulan secara bertahap mulai dikenalkan makanan yang lebih
kental dan berikan makanan selingan 1 kali sehari. Makanan selingan
berupa: bubur kacang hijau, pudding susu, biscuit susu. Kemudian
kepadatan makanan ditingkatkan mendekati makanan keluarga, mulai dari
tim lunak sampai akhirnya nasi pada usia 12 bulan. Pada penelitian yang
berjudul Faktor yang mempengaruhi stunting pada balita di pedesaan dan
perkotaan didapatkan bahwa hubungan umur pertama pemberian MP-ASI
dengan kejadian stunting pada anak balita menunjukkan praktek
pemberian MP-ASI pada anak balita merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita yang berada di daerah
pedesaan dan perkotaan. Penelitian ini sesuai dengan Depkes yang
menyatakan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masakehidupan bayi
antara lain disebabkan oleh kekurangan gizi sejak bayi, pemberian MP-
ASI terlalu dini atau terlalu lambat, MP-ASI tidak cukup gizinya sesuai
42
kebutuhan bayi atau kurang baiknya pola pemberiannya menurut usia, dan
perawatan bayi yang kurang memadai.(35)
Pada usia 1-5 tahun anak sudah harus makan seperti pola makan keluarga,
yaitu: sarapan, makan siang, makan malam dan 2 kali selingan. Porsi
makan pada usia ini setengah dari porsi orang dewasa. Pemberian
makanan pun harus diperhatikan dan bervariasi, makanan yang diberikan
meliputi makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah.Usahakan energi,
protein, lemak dan semua zat gizi terpenuhi. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Sulistianingsih dikatakan bahwa balita yang kurang asupan
protein akan 17,5 kali lebih berisiko menderita stunting bila dibandingkan
dengan balita yang cukup asupan protein.(35)Pada penelitian lain yang
berjudul Faktor risiko stunting pada balita (24-59) bulan di Sumatera
dikatakan bahwa proporsi balita dengan tingkat asupan lemak yang rendah
mengalami stunting lebih banyak dibandingkan proporsi balita dengan
asupan lemak cukup. Secara statistik, hasil penelitian menunjukkan
terdapat hubungan antara asupan lemak dengan kejadian stunting pada
balita.Balita dengan tingkat asupan lemak rendah 1.31 kali lebih berisiko
mengalami stunting diban-dingkan balita dengan tingkat asupan lemak
cukup. Hal ini sesuai dengan hasil survei di Cina tahun 2006 yang
menunjukkan kejadian stunting pada anak usia kurang dari lima tahun
dikaitkan dengan asupan energi, protein, dan lemak.(34)
Masalah ketiga adalah mengenai sanitasi dan penggunaan air bersih yang
lebihdi fokuskan ke masalah ketersediaan jamban sehat di desa wilayah
kerja puskesmas kedaloman.Dari hasil wawancara dengan orang tua
masih didapatkan beberapa rumah tidak memiliki jamban sehat dan masih
menggunakan jamban cemplung bahkan tidak memiliki jamban.Jenis
jamban yang tidak layak (bukan jamban leher angsa) mempunyai
kecenderungan untuk menderita stunting 1,3 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan badutayang mempunyai jamban yang layak. Sumber
air yangtidak terlindung mengakibatkan meningkatnya resiko baduta untuk
43
stunting 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan sumber air yang
terlindung.
44
Faktor pemungkin mencakup akses masyarakat terhadap fasilitas
posyandu. Tidak adanya posyandu, jauhnya jarak posyandu ketempat
tinggal atau hari buka posyandu yang tidak rutin merupakan salah satu
sebab mengapa orang tua tidak memanfaatkan posyandu. Akses terhadap
fasilitas pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya
perilaku kesehatan.
45
3. Mengadakan kegiatan evaluasi setiap 2x dalam 1 tahun dengan
pengadaan lomba balita gizi Stunting yang tujuanya untuk
memotivasi ibu agar lebih memperhatikan balitanya dalam hal
tumbuh kembang dan status gizi anak setiap waktu.
4. serta mengajarkan orang tuanya tentang cara memasak dan
mengolah makanan yang ada di daerah desa masing sehingga dapat
memanfaatkan pangan yang secara benar kemudian disuapkan
kepada balitanya.
5. Membentuk Tim PIL ( Penyayang Ibu HAmil) melakukan
penimbangan dan pemeriksaan ANC Ibu haml dan melakukan
pemantauan kondisi ibu hingga ibu partus
46
BAB VI
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH
Media intervensi:
wawancara
Media evaluasi:
wawancara
3. Sanitasi dan Penggunaan Edukasi mengenai PHBS dan Orang tua lebih
Air Bersih penyakit kecacingan pada mengerti mengenai
anak serta edukasi mengenai PHBS serta deteksi
pentingnya konsumsi obat dini kecacingan pada
cacing secara rutin. anak.
47
pentingnya mendata anak
balitanya yang ditimbang di
luar posyandu untuk
melaporkannya pada
posyandu/puskesmas.
Edukasi mengenai
Pemanfaatan kader posyandu
untuk mendata ke rumah-
rumah.
Media intervensi:
Penyuluham
48
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan Evaluasi pertumbuhan dan perkembangan gizi, terdapat balita
yang mengalami keadaan stunting di wilayah Puskesmas Kedaloman .
2. Faktor penyebab masalah utama yang telah diidentifikasi adalah masalah
pemberian makanan bergizi, pemberian MP-ASI, sanitasi dan penggunaan
air bersih, serta frekuensi kunjungan balita ke posyandu.
3. Alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan secara
berkesinambungan meliputi memberikan edukasi kepada ibu ataupun
keluarga mengenai makanan bergizi, pemberian MP-ASI, mengenai
sanitasi dan air bersih, serta pentingnya kunjungan posyandu untuk
mengetahui perkembangan dan pertumbuhan balita dengan menyediakan
media leaflet atau poster di wilayah kerjapuskesmas Kedaloman.
7.2 Saran
1. Petugas kesehatan dan masyarakat hendaknya lebih memberikan perhatian
dalam mendeteksi pertumbuhan dan perkembangan balita terutama yang
berhubungan dengan stunting balita.
2. Mengaktifkan Progam GEMES ( Gerakan Mencegah Stunting)
3. Optimalisasi fungsi posyandu untuk pemantauan status gizi balita stunting
4. Membantu akses komunikasi antara keluarga gizi buruk dengan Team
Program GEMES
49
DAFTAR PUSTAKA
50
11. WHO. Nutritions : Complementary feeding.2011. available at :
http://www.who.int/nutrition/topics/complementary feeding/en/index.html
12. UNICEF.Complementary Feeding. 2008. Available at :
http://www.unicef.org/nutrition/index_24826.html
13. Immunizations-general overview.2010. Available at :
http://health.nytimes.com/health/guides/specialtopic/immunizations-
general-overview/overview.html
14. UNICEF. Low birthweight : country, regional, and global estimate.2004.
Available at:
http://www.unicef.org/publications/files/low_birthweight_from_EY.pdf
15. Children at Risk of stunting and wasting. Available at :
http://www.dairyglobalnutrition.org/content.cfm?ItemNumber=88374
16. Depkes RI.Sistem Kesehatan Nasional. 2004. Available at :
http://www.depkes.go.id/downloads/SKN+.PDF
17. Reyes L,Manalich R. Long term consequences of low birth weight.2005.
Available at:
http://www.nature.com/ki/journal/v68/n97s/pdf/4496408a.pdf
18. Abuya AA,Kimani KJ,Elijah OO. Influence of maternal educationon
child health in Kenya.2010. Available at :
http://paa2010.princeton.edu/download.aspx?submissionId=100182
19. Frost MB, Forste R, Haas DW.Maternal education and child nutritional
status in Bolivai : finding links. Social science and Medicine,60,395-
407.2005. Available at :
http://www.hawaii.edu/hivandaids/Maternal_Educations_and_Child_Nutri
tional_Status_in_Bolivia_Finding_the_Links.pdf
20. Shrestha SS, Findeis JL. Maternal human capital and childhood and
stunting in Nepal.2007.Available at :
http://ageconsearch.umn.edu/bitsream/9723/1/sp07sh02.pdf
21. Supriasa DN ,Bakri B,Fajar I.Penilaian Status Gizi.Jakarta : Buku
Kedokteran,2001.
22. UNICEF, WFP,WHO.Asia-Pacific Regional Workshop on the reduction
of Stunting Through Improvement of Complementary Feeding and
51
Maternal Nutrition.2010.Available at :
http://www.unicef.org/eapro/WorkshopReport_ReductionOfStunting_201
0-06-07_FINAL.pdf
23. UNICEF. Improving Child Nutrition.2013. Available at :
http://www.unicef.org/media/files/nutrition_report_2013.pdf
24. UNICEF INDONESIA. Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak.2012.
Available at : http://www.unicef.org/indonesia/id/A6_-
_B_Ringkasan_Kajian_Gizi.pdf
25. Medscape. Malnutrition. Author: Harohalli R Shashidhar; Chief Editor:
Jatinder Bhatia, MBBS.2013. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/985140-overview#aw2aab6b2b5aa
26. Dinkes DIY. Profil Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta.Yogyakarta:
Dinas Kesehatan,2008.
27. Muljati S, dkk. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
Underweight pada usia anak 24-59 bulan di Nanggroe Aceh Darussalam
Analisis data surkesda NAD2006. Bogor : Puslitbang Gizi Bogor,2008.
52
32. Fitri. Berat Lahir Sebagai Faktor DominanTerjadinya Stunting Pada Balita
(12-59Bulan) Di Sumatera (Analisis Data Riskesdas 2010).
Depok:Universitas Indonesia. 2012.
33. Sulistianingsih, Yanti. Kurangnya Asupan Makanan sebagai Penyebab
Kejadian Balita Pendek (Stunting). Lampung : STIKES Muhammadiyah
Pringsewu. 2015: Vol (5) : 71-75
34. Hendra A, Miko A dan Hadi A. Kajian Stunting Pada Anak Balita Ditinjau
dariPemberian ASI Eksklusif, MP-ASI, Status Imunisasi dan Karakteristik
Keluarga diKota Banda Aceh. JKIN. November 2010:Vol (6): 169-184
35. Oktarina, Sudiarti. Faktor Risiko Stunting pada Balita (24-59 bulan)Di
Sumatera. Depok : Universitas Indonesia. November 2013: vol (8) : 175-
180
53