Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Stunting (pendek) merupakan resultan dari berbagai gangguan kesehatan yang


terjadi selama masa kritis tumbuh kembang anak yaitu baik pada kehidupan intrauterin
sampai tahun-tahun pertama kehidupan (1000 hari pertama kehidupan). Stunting
merupakan efek kumulatif dari kemiskinan yang berkepanjangan, status gizi buruk
baik ibu dan balita, dan infeksi berulang terutama selama usia bayi-balita.1
Stunting diidentifikasi dengan membandingkan tinggi seorang anak dengan
standar tinggi anak pada populasi yang normal sesuai dengan usia dan jenis kelamin
yang sama. Anak dikatakan pendek jika tingginya berada dibawah -2 SD dari standar
WHO 2005.Anak-anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk
tumbuh menjadi dewasa yang kurangpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan
terhadap penyakit tidak menular. Oleh karena itu anak pendek merupakan prediktor
buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya
menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang.2
Stunting merupakan tragedi yang tersembunyi. Pendek terjadi karena dampak
kekurangan gizi kronis selama 1.000 hari pertama kehidupan anak.Ancaman
permasalahan gizi di dunia, ada 165 juta anak dibawah 5 tahun dalam kondisi pendek
dan 90% lebih berada di Afrika dan Asia. Target global adalah menurunkan stunting
sebanyak 40% pada tahun 2025 (WHA, 2012). Untuk itu dibutuhkan penurunan 3,9%
per tahun. Target global yang tercapai adalah menurunkan stunting 39,7% dari tahun
1990 menjadi 26,7% pada tahun 2010. Dalam jangka waktu 20 tahun tersebut dapat
diturunkan 1,6% per tahun. Penurunan yang sangat kecil terjadi di Afrika (40%
menjadi 38%). Sedangkan penurunan yang cukup besar terjadi di Asia (dari 49%
menjadi 28%), sekitar 2,9% per tahun. Penurunan yang terbesar ada di Tiongkok, pada
tahun 1990 sebesar 30% menjadi 10% pada tahun 2011.2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut UNICEF-WHO-The Word Bank: 2012 joint report, Stunting adalah
restriksi pertumbuhan linear untuk usia dengan TB/U <-2 SD (perawakan pendek)
sesuai populasi reverensi, tanpa memandang etiologi.1
Berat dan panjang badan lahir Salah satu indikator status gizi bayi lahir adalah
panjang badan waktu lahir disamping berat badan waktu lahir. Panjang bayi lahir
dianggap normal antara 48-52 cm. Jadi panjang lahir <48 cm tergolong bayi stunting.
Namun bila kita ingin mengaitkan panjang badan lahir dengan risiko mendapatkan
penyakit tidak menular waktu dewasa nanti, WHO menganjurkan nilai batas > 50 cm.2
Bayi baru lahir dengan berat lahir kurang dari persentil 10 untuk masa
kehamilan dapat merupakan bayi small for gestational age (SGA) atau bayi yang
mengalami intrauterine growth restriction (IUGR) . IUGR dibagi menjadi tipe 1 (tipe
simetris, tipe proporsional atau stunting) dan tipe 2 (tipe asimetris, disproporsional atau
wasting) tergantung masa terjadinya gangguan. Sebanyak 20-30% di antara bayi
dengan IUGR merupakan tipe stunting, di tandai dengan penurunan ukuran semua
organ karena gangguan hiperplasia.3
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat dari kekurangan gizi
kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi
dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting
baru nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek
(severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U)
menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre
Growth Reference Study) 2006. Sedangkan definisi stunting menurut Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) adalah anak balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -
2SD/standar deviasi (stunted) dan kurang dari – 3SD (severely stunted).4

2
2.2 Epidemiologi
Stunting diperkirakan sebagai penyebab kematian 14% sampai 17% balita di
dunia pada tahun 2011. Diperkirakan angka stunting dunia pada tahun 2020 akan
mencapai 21,8%. Prevalensi stunting di Indonesia pada tahun 2010 adalah 35,6%.
Riskesdas 2013 memperlihatkan stunting di Indonesia 37,2%. Bila prevalensi antara
30-39% dan serius bila prevalensi >40%. Meskipun stunting sering ditemukan pada
usia kurang dari 2 tahun, gangguan pertumbuhan dapat terjadi kapan saja pada masa
anak-anak hingga pubertas.Laporan prevalensi terbaru dari International Policy
Research pada tahun 2016 menyebutkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia adalah
36,4% merupakan ranking terburuk urutan ke 108 dari 132 negara.1.4
Gambaran nasional kondisi bayi lahir di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 1.
Dapat dilihat ada 10,2 persen bayi baru lahir dengan berat badan <2500 gram, dan 4,8
persen dengan berat badan >4000 gram. Untuk panjang badan 20,2 persen bayi baru
lahir memiliki panjang badan < 48 cm dan 3,3 persen bayi dengan panjang badan>52
cm.2

Gambar 1. Proporsi bayi lahir menurut berat badan dan panjang badan, Riskesdas
2013.2

3
Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami stunting
(Riset Kesehatan Dasar/ Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia, Indonesia adalah negara
dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua
Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal,
menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat
beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting
akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
memperlebar ketimpangan.4

Gambar 2. Gambaran Situasi Stunting di Indonesia dan Tingkat Global.4

4
2.3 Sindrom Stunting
Proses stunting dapat terjadi pada berbagai siklus kehidupan anak yang dimulai
sejak kehidupan intra uterin dan berlangsung setidaknya selama 2 tahun pertama
kehidupan. Masa antara konsepsi hingga saat ulang tahun kedua (1000 hari pertama
kehidupan) ditengarai sebagai masa kritis tumbuh kembang anak.1
Gangguan pertumbuhan intrauterin dapat menyebabkan gangguan
pertumbuhan janin yang proposional (apabila gangguan terjadi sejak trimester dua).
Pertumbuhan janin diatur melalui interaksi yang kompleks antara status nutrisi ibu,
sinyal endokrin-metabolik, serta perkembangan plasenta. Ukuran bayi baru lahir
menjadi cerminan lingkungan intrauterin. Tinggi badan ibu dihubungkan dengan
ukuran janin dan stunting pascanatal sehingga membentuk siklus stunting antar
generasi.1

Gambar 1. Sindrom stunting1,3

5
Jalur hijau menunjukan periode antara konsepsi dan 2 tahun (1000 hari pertama)
ketika stunting dan kemungkinan semua patologi yang berhubungan paling responsif
terhadap atau dapat dicegah dengan intervensi. Jalur kuning menunjukan periode
antara 2 tahun dan pertengan masa kanak-kanak dan selama pertumbuhan cepat remaja
ketika terjadi beberapa kejar tumbuh dalam pertumbuhan linear, walaupun efek dalam
periode ini pada komponen lain dari sinrom stunting (misalnya fungsi kognisi dan
imun) lebih kurang jelas.1
Jalur kuning pendek sebelum konsepsi menunjukan bukti bahwa intervensi diet
dengan wanita yang stunted selama periode prekonsepsi memperbaiki luaran
kelahiran. Jalur merah menunjukan periode ketika sindrom stunting tanpak tidak
responsif terhadap intervensi. Kotak biru menunjukan faktor penyebab atau pemberat
yang spesifik usia. Kotak putih menggambarkan luaran usia spesifik yang umum.1
Antara 2 tahun dan masa dewasa, jalur pecah untuk menunjukan : garis putus-
putus, anak stunted yang lingkungannya mempunyai akses makanan yang berlebih,
menyebabkan kelebihan berat badan, garis utuh : anak stunted yang lingkungannya
kekurangan makanan.1

2.4 Faktor Penyebab Stunting


Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting
oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak
balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting dapat
digambarkan sebagai berikut:4
 Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan
ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta
setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan
bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara
ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping
Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita

6
berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru
pada bayi, MP- ASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak
lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.4
 Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal
Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal
Care dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan
dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran
anak di Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan
anak belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah
2 dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta
masih terbatasnya akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1
dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia
Dini).4
 Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi. Hal ini
dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.
Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012, SUSENAS),
komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi,
India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura.
Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga dicatat telah berkontribusi
pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.4
 Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar
(BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air
minum bersih.4

7
2.5 Waktu terjadinya stunting
Stunting yang dimulai intrauterin ditemukan pada 20% bayi baru lahir.
Sebanyak 80% stunting terjadi karena faktor gizi dan infeksi dan ditemukan pada umur
6-18 bulan. Masa dalam kandungan sampai dua tahun pertama dalam kehidupan
disebut sebagai 1000 hari pertama kehidupan, dianggap sebagai masa kritis seorang
anak dapat mengalami stunting.3

2.6 Hubungan Malnutrsi dengan Stunting


a. Fisiologi lempeng pertumbuhan
Pertumbuhan linear terjadi karena adanya pemanjangan tulang panjang
akibat proses kondrogenesis osifikasi pada lempeng pertumbuhan. Lempeng
pertumbuhan adalah lapisan tipis tulang rawan yang terdapat pada kedua ujung
tulang panjang. Lempeng pertumbuhan terdiri dari 3 zona yaitu :1
 Zona rehat : berfungsi sebagai penyimpangan progenitor kondrosit
 Zona proliferasi : pada zona ini kondrosit tersusun secara kolumnar dan
berproliferasi dengan kecepatan tinggi.
 Zona hipertrofi : sel mengalami hipertrofi dan mensekresikan matriks
ekstraseluler yang kemudian mengalami kalsifikasi. Sel-sel hipertrofi
terminal (yang berada dekat metafisis) mengalami apoptosis dan
menyebabkan munculnya lacuna. Lacuna ini kemudian disi oleh sel-sel
osteoclas dan osteoblast sehingga terjadi kalsifikasi yang mengakibatkan
diafisis memanjang yang secara klinis terlihat sebagai pemanjangan tulang
panjang.

8
Gambar 3. Lempeng pertumbuhan epifisis1

Kecepatan kondrogenesis yang identik dengan kecepatan pertumbuhan


linear diatur oleh interaksi yang kompleks antara nutrisi, hormonal, sitokin
inflamasi, faktor pertumbuhan lokal (parakrin), matriks ekstraselular, dan protein
intraselular. Dengan demikian mutasi pada gen-gen yang berperan pada
kondrogenesis lempeng pertumbuhan dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan.1
Pada defisiensi kalori, sebagian besar efek pada lempeng pertumbuhan
dimediasi oleh sistem endokrin seperti pada penurunan kadar IGF-1, steroid seks
dan tiroid serta peningkatan glukokortikoid. Malnutrisi dapat juga menurunkan
respon lempeng pertumbuhan karena fibroblast growth factor(FGF) yang
meningkat pada keadaan asupan rendah kalori menghambat kerja hormon
pertumbuhan pada kondrosit.1
Sitokin inflamasi seperti Tumor Necrosis Factor- α (TNF-α), interleukin-
1β, dan interleukin-6 menghambat kondrogenesis dan menekan sekresi IGF-1.
Regulasi kondrogenesis oleh faktor parakrin di lempeng pertumbuhan seperti
parathyroid hormone related protein (PTHrP)Indian hedgehog (Ihh) menyebabkan

9
terjadinya proliferasi dan deferensiasi kondrosit maupun deferensiasi osteoblas.
Faktor transkripsi Runx2 di matriks ekstraselular berperan pada zona hipertrofi.1
b. Faktor aksis hormon pertumbuhan
Pertumbuhan prenatal tergantung terutama pada gizi ibu, sementara
pertumbuhan postnatal dikendalikan oleh interaksi reseptor GH (GHR)/GH yang
meransang produksi IGF-1. Gangguan aksis GH/IGF-1 menyebabkan sindrom
defisiensi IGF-1 yang ditendai dengan retadarsi pertumbuhan karena kegagalan
produksi berasal dari abnormalitas genetik, malformasi hipotalamus atau hipofisis,
trauma, inflamasi, tumor, radiasi, gangguan psikososial dan abnormalitas
neurosekretori.1
c. Catch-up growth (kejar tumbuh)
Kejar tumbuh yaitu suatu fase pertumbuhan linear yang cepat sebagai
respon terhadap hambatan pertumbuhan yang terjadi sebelumnya. Akselerasi
pertumbuhan yang terjadi bertujuan untuk mengembalikan pola pertumbuhan anak
ke pola pertumbuhan sebelum sakit. Akselerasi pertumbuhan tersebut dapat
demikian cepatnya sehingga melewati kecepatan tumbuh normal yang biasa terjadi
pada anak seusia maupun ras dan jenis kelaminnya.1
Sebagaimana diketahui setiap anak setelah usia 18-24 bulan telah
mempunyai jalur pertumbuhan tetap yang akan menjadi acuan dalam monitoring
pertumbuhan linear. Jalur pertumbuhan tersebut dikenal sebagai kanalisasi. Pada
fenomena kejar tumbuh anak akan kembali ke jalur atau kanal tersebut sehingga
potensi genetiknya tetap terjaga. Fenomena kejar tumbuh seringkali sulit dibedakan
pada usia pubertas, karena pada usia pubertas perpindahan jalur merupakan hal
yang lazim akibat adanya akselerasi pertumbuhan fase pubertas.1

10
2.7 Diagnosis
Penentuan stunting diperlukan :5
a. Anamnesis
Anamnesis yang teliti tentang berat badan waktu lahir dan umur kehamilan, TB
ibu dan ayah, penyakit kronis, anamnesis makanan, perlakuan salah terdapat anak,
dan sebagainya.
Riwayat masalah pertumbuhan
 Pertama kali diketahui ada masalah dengan tinggi badan, perubahan tinggi
badan dari waktu ke waktu.
 Ukuran bayi dikaitkan dengan umur kehamilan : BB, PB, lingkar kepala.
 Perkembangan pubertas : mulai ada tanda-tanda seks sekunder dan
perkembangannya.
Kehamilan dan kejadian perinatal
 Tanda-tanda retardasi pertumbuhan intrauterin akibat infeksi, obat-obatan,
rokok, alkohol.
 Kehamilan, letak kepala/bokong, cara persalinan, kondisi saat lahir.
 Masalah pascanatal, seperti hipoglikemia (hipopituitarism kongenital),
ikterus (hipotiroidism), floppiness dan kesulitan makan (sindrom prader-
Willi), puffy hands and feet (sindrom turner)
Riwayat medik
 Masalah yang terkait dengan sindrom tertentu seperti pada sindrom turner
 Gejala endrokrin seperti pada hipotiroidism.
 Gejala dari tumor di sekitar kelenjar pituitari
 Penyakit sistemik
 Pengobatan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan, seperti kortikosteroid,
radioterapi
Riwayat keluarga
 Tinggi Badan orang tua dan saudaranya

11
 Umur pada saat pubertas pada orangtua
 Kawin antar keluarga, untuk mencari faktor genetic

b. Pemeriksaan fisik
 Pengukuran : Berat badan, tinggi badan saat berdiri, tinggi duduk, lingkar
kepala
 TB dalam hubungannnya dengan TB sebelumnya (kecepatan pertumbuhan
TB), TB orangtua, stadium pubertas, berat badan
 Komposisi tubuh : lemak subkutan dan masa otot
 Gambaran yang tidak biasa atau dismorfik pada wajah, mata, hidung, telinga,
mulut, rambut, leher, ekstremitas atas, tangan, telapak tangan, jari, kaki atau
kulit.
 Gejala dari sindrom tertentu seperti pada sindrom Turner atau Noonan
 Gejala dari kelainan endokrin tertentu seperti hipotiroidisme, defisiensi
hormon pertumbuhan atau kebanyakan kortikosteroid.
 Gejala penyakit sistemik

Pemeriksaan Antropometri
Untuk menilai status gizi balita, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap
balita dikonversikan ke dalam nilai terstandar (Zscore) menggunakan baku National
Center for Health Stantistic/center for diseases control (NCHS/CDC) antropometri
balita WHO 2005. Selanjutnya berdasarkan nilai Zscore dari masing-masing indikator
tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut:2.5.9
1. Berat Badan terhadap Umur (BB/U) (Indonesia)
a. Klasifikasi menurut WHO Child Growth Standards 2005
Cara : Z-score
Klasifikasi: contoh BB/TB
 0 (median) : normal

12
 +1 : Possible risk overweight
 +2 : Overweight
 +3 : Obese
b. Klasifikasi menurut Gomez
Baku Boston
Cara : % terhadap median
Klasifikasi:
 90% : normal
 90-75% : malnutrisi ringan (Grade 1)
 75-61% : malnutrisi sedang (Grade 2)
 </= 60% : malnutrisi berat (Grade 3)
2. Tinggi Badan terhadap Umur (TB/U)
a. CDC/WHO
Baku : NCHS
Cara : % terhadap median
Klasifikasi :
 >/= 90% : Normal
 <90% : stunted/malnutrisi kronis
3. Berat Badan terhadap Tinggi Badan (BB/TB)
a. Waterlow
Baku : Boston
Cara : % terhadap median
Klasifikasi :
 110-90% : Normal
 90-80% : malnutrisi ringan
 80-70 % : malnutrisi sedang
 <70% : malnutrisi berat
b. CDC/WHO

13
Baku : NCHS
Cara : % terhadap median
Klasifikasi :
 80-85% ; malnutrisi sedang
 <80% : Wasting/malnutrisi akut

c. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium :
 Darah rutin
 Gula darah
 Tes fungsi hati
 Tes fungsi tiroid
 Elektrolit, BUN, serum kreatinin
 Kariotipe

Imaging :
 Bone Age
 Bone survey

2.8 Penatalaksanaan
a. Target WHO
Pada tahun 2010, jumlah anak berumur kurang dari 5 tahun yang mengalami
stunting adalah 171 juta anak, 167 juta di antaranya tinggal di negara berkembang.
The Word Health Assembly Resolution mencanangkan pengurangan 40% jumalh
stunting berumur kurang dari 5 tahun atau menjadi sekitar 100 juta anak pada tahun
2025, yang di adopsi oleh WHO. Target tersebut dibuat berdasarkan data dari 148
negara dan keberhasilan beberapa negara mengatasi stunting.

14
Di Indonesia, proyeksi prevalensi stunting pada tahun 2025 adalah 23,4% atau
4.397.500 anak.Apa bila ingin mencapai target tersebut, diperlukan penurunan
prevalensi sebesar 3,9% pertahun. Namun, dengan kecepatan penurunan prevalensi
stunting seperti sekarang, target tersebut tidak akan tercapai, dan pada tahun 2025
tetap ada 127 juta anak di bawah 5 tahun yang mengalami stunting.3
b. Beberapa asupan mengenai upaya komprehensif untuk menurunkan
prevalensi stunting
 Pemerintah atau Departemen Kesehatan
Kegagalan penurunan prevalensi stunting karena faktor politis, ekonomi,
dan kurangnya edukasi.3
 Suplementasi
Berbagai program suplementasi telah di teliti, penelitian terhadap 2187 anak
berumur 6-23 bulan di China dengan menggunakan suplementasi protein,
lemak, yodium, karbohidrat, multivitamin, asam folat, zinc dan kalium tidak
mengurangi stunting. Di Indonesia suplementasi dengan suplemen berbasis
lemak memperbaiki pertumbuhan linier dan mengurangi prevalensi stunting
setelah suplementasi 6 bulan. Suplementasi harus diformulasikan dengan
rapat untuk mengoptimalkan pertumbuhan tulang dan jaringan, tanpa
kelebihan deposit lemak.3.8
 Orangtua
Edukasi kepada orangtua dengan cara yang mudah dan benar dapat
mengurangi kejadian stunting. Namun edukasi yang tidak dapat dimengerti
tidak mempengaruhi kejadian stunting. IDAI harus harus membuat program
edukasi untuk orangtua yang komprehensif.

Penatalaksanaan stunting pada defisiensi hormon pertumbuhan


Anak dengan defisiensi hormon pertumbuhan mempunyai gambaran klinis
yang bervariasi tergantung dari beratnya defisiensi yang di gambarkan oleh hasil test

15
hormon pertumbuhan. Biasanya digunakan pemeriksaan stimulasi dengan
menggunakan insulin,arginin, levodopa, klonidin, ataupun latihan fisik. Anak dengan
pertumbuhan subnormal harus dicurigai mengalami defisiensi hormon pertumbuhan.

Kriteria anak mengalami defisiensi hormon pertumbuhan :6


 TB di bawah persentil 3 atau -2SD
 Kecepatan tumbuh dibawah P25
 Usia tulang terlambat >2 tahun
 Kadar GH <7 ng/ml pada 2 jenis uji provokasi
 IGF-1 rendah
 Tidak ada kelainan dismorfik tulang atau sindrom tertentu

Pengobatan hormon pertumbuhan bisa dimulai segera setelah diyakini tidak


terdapat massa intracranial. Hormon pertumbuhan diberikan secara subkutan dengan
dosis 2 IU/m2/hari atau 25-100 µg/kg/hari pada usia pubertas. Dosis yang lebih tinggi
juga di perlukan untuk sindrom Turner dan perawakan pendek akibat IUGR. Terapi
diberikan sebanyak 6 kali per minggu. Evaluasi dilakukan setiap 3 atau 6 bulan.
Peningkatan tinggi badan serta peningkatan kecepatan pertumbuhan merupakan
indikator evaluasi yang penting.
Untuk meningkatkan kepatuhan , penyesuaian dosis, serta keamanan
pengobatan diperlukan pemeriksaan IGF-1, IGFBP3 setiap tahun. Terapi hormon
dihentikan apabila lempeng epifisis telah menutup atau respon terapi tidak adekuat.
Ciri respon terapi yang tidak adekuat adalah bila pertambahan kecepatan pertumbuhan
kurang dari 2 cm pertahun.6

2.9 Pencegahan stunting


a. Intervensi Gizi Spesifik

16
Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari
Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting.7
Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil:
1. Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi kekurangan
energi dan protein kronis.
2. Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat.
3. Mengatasi kekurangan iodium.
4. Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil.
5. Melindungi ibu hamil dari Malaria.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan:
1. Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI /colostrum).
2. Mendorong pemberian ASI Eksklusif.
Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:
1. Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh
pemberian MP-ASI.
2. Menyediakan obat cacing.
3. Menyediakan suplementasi zink.
4. Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan.
5. Memberikan perlindungan terhadap malaria.
6. Memberikan imunisasi lengkap.
7. Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.

b. Intervensi Gizi Sensitif


Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan tidak
khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari PertamaKehidupan (HPK).
1. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih.
2. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi.
3. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan.

17
4. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB). 5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
5. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
6. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.
7. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal.
8. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
9. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi pada
Remaja.
10. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
11.
Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.4

18
BAB III
KESIMPULAN

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat dari kekurangan gizi
kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya. Proses stunting dapat terjadi pada
berbagai siklus kehidupan anak yang dimulai sejak kehidupan intra uterin dan
berlangsung setidaknya selama 2 tahun pertama kehidupan. Masa antara konsepsi
hingga saat ulang tahun kedua (1000 hari pertama kehidupan) ditengarai sebagai masa
kritis tumbuh kembang anak.Diperlukan penatalaksanaan yang komprehensif untuk
menurunkan prevalensi stunting pada bayi dan anak di Indonesia

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Batubara, JRL, Tridjaja, AAPB, Pulungan AB. Failure to Thrive dan Stunting
dalam Buku Ajar Endokrinologi Anak.Ed:2; Jakarta; Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2018;hal 50-65.
2. Stunting di indonesia Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya
http://www.persagibandung.org/2018/02/pendek-stunting-di-indonesia
masalah.html [Diakese 28 Mei 2019]
3. Lestari ED, Triasmoro T, & Andriastuti M. Stunting Effects on Cognitive
Development dalam Implementing Advances in Pediatric for Better Child Health.
Kongres Nasional ilmu kesehatan anak XVII Jogjakarta. KONIKA XVII, Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2017:hal 3-12.
4. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting) buku
ringkasan stunting, Agustus; 2017
http://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Binder_Volume1.pdf
[Diakses 28 Mei 2019]
5. Soetjiningsih, Ranuh G. Tumbuh Kembang Anak. Ed 2; Denpasar ; Penerbit Buku
Kedokteran; 2013 hal 131-144.
6. Batubara JRL, Tridjaja, AAPB, Pulungan AB. Pertumbuhan dan Gangguan
Pertumbuhan dalam Buku Ajar Endokrinologi Anak.Ed:1; Jakarta; Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2018;hal 29-40.
7. Buku Saku Desa Dalam Penangan Stunting. Kementerian desa, pembangunan
Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi; 2017
http://siha.depkes.go.id/portal/files_upload/Buku_Saku_Stunting_Desa.pdf
[Diakses 28 Mei 2019]

20
8. Susanto J. C Defisiensi Yodium dan GAKI dalam Buku ajar Nutrisi Pediatrik dan
Penyakit metabolik ed 1; Jakarta; Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2010: hal 156.
9. Sjarif, D. R and Hendarto, A. Antropometri Anak dan Remaja dalam Buku ajar
Nutrisi Pediatrik dan Penyakit metabolik ed 1; Jakarta; Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2010:hal 29.
10. Irwansyah I, Ismail D, Hakimi M. Kehamilan Remaja dan Kejadian Stunting Anak
Usia 6-23 Bulan di Lombok Barat, Desember; 2015. BKM Journal of Community
Medicine and Peblic Health. Vol: 32; 6 hal xx-xx

21

Anda mungkin juga menyukai