Anda di halaman 1dari 55

LIMFOMA SEREBRAL

Laksamana Abimanyu B
1810221040

Pembimbing :
dr. Agus Budi S, Sp.BS

SMF ILMU BEDAH


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
LIMFOMA

 Limfoma atau disebut juga kanker kelenjar getah


bening adalah sejenis kanker yang tumbuh akibat
mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang
sebelumnya normal.
 Hal ini berakibat sel abnormal nenjadi ganas.
 Seperti halnya limfosit normal, limfosit ganas 
tumbuh  pada berbagai organ dalam tubuh
termasuk kelenjar getah bening, limpa, sumsum
tulang, darah maupun organ lainnya contoh
saluran cerna, paru, kulit dan tulang.
 Kepustakaan lain menyebutkan bahwa
Limfoma adalah setiap kelainan neoplastik
jaringan limfoid.
 Dimana sel darah putih  (membelah)
abnormal dengan cepat  ganas  Limfosit
abnormal yang semakin banyak ini (kemudian
disebut limfoma)  terkumpul di kelenjar getah
bening  bengkak.
 Karena sistem limfatik menyerupai peredaran
darah yang bersikulasi ke seluruh tubuh
membawa getah bening, maka penyakit
limfoma juga dapat terbentuk di mana saja.
 Limfoma pada otak jarang dialami oleh orang
dengan kadar sel CD4 yang tinggi.
 Gejala utama dari limfoma susunan saraf
pusat (SSP)  sakit kepala dan demam.
 Serangan sakit kepala yang hebat juga sering
terjadi.
 Sepertiga orang yang mengalami limfoma
SSP merasakan gangguan bicara (aphasia),
pandangan kabur dan gangguan kepekaan
atau pun koordinasi gerakan pada satu sisi
tubuh.
 Menurut Mayo clinic, tanda awal limfoma
SSP bisa dideteksi di mata, 11% dari orang
yang diketahui terserang limfoma SSP
ternyata mengalami uveitis (radang pada
selaput mata dan bagian di sekeliling mata)
yang didahului dengan gejala lainnya selama
berbulan-bulan sampai tahunan.
 Jika terapi kortikosteroid tidak menyembuhkan
uveitis  biopsi cairan vitreus mata 
menunjukkan adanya infiltrasi sehingga
diagnosa limfoma SSP dengan secepatnya
diketahui dan dapat segera diobati dengan
memeriksakan mata secara rutin.
BAB II
TINJAUAN PUNTAKA
SISTEM LIMFATIK

Pembuluh limfe
 Sistem limfatik memiliki jaringan terhadap
pembuluh-pembuluh limfe. Pembuluh-pembuluh
limfe  bercabang-cabang ke semua jaringan
tubuh.
Limfe
 Pembuluh-pembuluh limfe membawa cairan
jernih yang disebut limfe. Limfe terdiri dari sel-sel
darah putih, khususnya limfosit seperti sel B dan
sel T.
Nodus Limfatikus
 Pembuluh-pembuluh limfe terhubung ke sebuah massa kecil
dan bundar dari jaringan yang disebut nodus limfatikus.
Nodus limfatikus dipenuhi sel-sel darah putih. Nodus
limfatikus menangkap dan membuang bakteri atau zat-zat
berbahaya lainnya yang berada di dalam limfe.
Bagian sistem limfe lainnya
 Bagian sistem limfe lainnya terdiri dari tonsil, timus, dan
limpa. Sistem limfatik juga ditemukan di bagian lain dari
tubuh yaitu pada lambung, kulit, dan usus halus.
FISIOLOGI
 Sistim limfatik adalah suatu bagian penting dari
sistem kekebalan tubuh, membentengi tubuh
terhadap infeksi dan berbagai penyakit, termasuk
kanker.
 Cairan getah bening bersirkulasi melalui pembuluh
limfatik  membawa limfosit  mengelilingi tubuh.
 Pembuluh limfatik melewati KGB KGB berisi
sejumlah besar limfosit dan bertindak seperti
penyaring, menangkap organisme yang
menyebabkan infeksi seperti bakteri dan virus.
PERAN SEL T DAN B

 Sel T dan sel B keduanya berperan penting


dalam mengenali dan menghancurkan
organisme penyebab infeksi seperti bakteri
dan virus.
 Dalam keadaan normal, kebanyakan limfosit
yang bersirkulasi dalam tubuh adalah sel T 
berperan mengenali dan menghancurkan sel
tubuh yang abnormal.
 Sel B mengenali sel dan materi ‘asing’ (sebagai
contoh, bakteri yang telah menginvasi tubuh).
Jika sel ini bertemu dengan protein asing
(sebagai contoh, di permukaan bakteri),
mereka memproduksi antibodi, yang kemudian
‘melekat’ pada permukaan sel asing dan
menyebabkan kerusakan.
 Karena limfosit bersirkulasi ke seluruh tubuh,
limfoma (kumpulan limfosit abnormal) juga
dapat terbentuk di bagian tubuh lainnya selain
di kelenjar getah bening.
 Limpa dan sumsum tulang adalah tempat yang
terbentuknya limfoma di luar kelenjar getah
bening yang sering, tetapi pada beberapa
orang limfoma terbentuk di perut, hati atau
yang jarang sekali di otak.
 Bahkan, suatu limfoma dapat terbentuk di
mana saja. Seringkali lebih dari satu bagian
tubuh terserang oleh penyakit ini. Limfoma
pada otak dikategorikan kedalam jenis tumor
intrakranial.
TUMOR INTRAKRANIAL

 Suatu massa abnormal yang ada di dalam


tengkorak yang disebabkan oleh multiplikasi
sel-sel yang berlebihan dan menyebabkan
adanya proses desak ruang.
 Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang
bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna), membentuk massa dalam ruang
tengkorak kepala (intracranial) atau di
sumsum tulang belakang (medulla spinalis).
 Neoplasma pada jaringan otak dan
selaputnya dapat berupa tumor primer
maupun metastase.
 Apabila sel-sel tumor berasal dari jaringan
otak itu sendiri, disebut tumor otak primer
dan bila berasal dari organ-organ lain
(metastase) seperti ; kanker paru, payudara,
prostate, ginjal dan lain-lain, disebut tumor
otak sekunder.
KLASIFIKASI
1. Klasifikasi tumor berdasarkan asal sel
a. Neuroepitelial (Glioma)
- Astrositoma
Astrositoma pilositik, grade I
Astrositoma difusa, grade II
Astrositoma anaplastik, grade III
Glioblastoma, grade IV
- Oligodendroglioma
- Ependimoma
- Choroid plexus papilloma atau karsinoma
- Tumor neuronal dan neuronal-glial
- Tumor parenkim pineal
- Tumor embrional
b. Tumor intrakranial lainnya
- Meningioma : tumor meningen
- Tumor vaskular : hemangioblastoma
- Primary CNS limfoma
- Tumor germ cell : germinoma, teratoma
- Tumor pituitari
- Tumor saraf perifer : neurilemmoma, schwannoma,
neurofibroma
- Developmental tumor : DNET, kraniofaringioma,
kista koloid, kista epidermoid dan dermoid
- Tumor metastatik : tumor payudara dan tumor bronkus
merupakan tumor terbanyak yang bermetastasis di otak.
2. Klasifikasi berdasarkan keganasan
a. Tumor jinak
• Astrositoma : Astrositoma pilositik (WHO grade
I), Low-grade astrositoma (WHO grade II),
Oligodendroglioma (WHO grade II), Pleomorfik
xanthoastrositoma (WHO grade II).
• Meningioma (WHO grade I)
• Papilloma plexus koroidalis (WHO grade I)
• Hemangioblastoma (WHO grade I)
• Ependimoma (WHO grade I-II)
b. Tumor ganas
• Astrositoma anaplastik (WHO grade III) dan
Glioblastoma (WHO grade IV)
• Limfoma serebral primer (WHO grade IV)
• Oligodendroglioma anaplastik (WHO grade III)
• Ependimoma anaplastik (WHO grade III)
• Tumor neuroektodermal primitif (PNET) (WHO
grade IV)
• Sarkoma serebral primer (WHO grade IV)
3. Klasifikasi tumor berdasarkan lokasi.
a. Regio supratentorial
• Kista koloid di ventrikel ketiga
• Kraniofaringioma (WHO grade I)
• Adenoma pituitari (WHO grade I)
• Tumor pineal : germinoma (WHO grade III),
pineositoma (WHO grade I), dan
pineoblastoma (WHO grade IV)
b. Regio infratentorial
• Neuroma akustik (WHO grade I)
• Kordoma
• Paraganglioma : pheochromositoma,
simpatetik paraganglioma (kemodetektoma)
LIMFOMA SEREBRAL
 Kasus limfoma yang melibatkan SSP sangat
jarang ditemukan, persentasenya kurang dari
3% dari semua jenis tumor SSP, dimana sekitar
setengah dari jenis limfoma ini adalah limfoma
serebral primer.
 Peningkatan kejadian limfoma serebral dapat
dikaitkan setidaknya dua faktor yang jelas
diketahui, yaitu the Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) dan penggunaan terapi
imunosupresif.
 Namun, juga terdapat peningkatan insiden
limfoma serebral primer yang tidak dapat
dijelaskan pada pasien imunokompeten.
 Limfoma serebral primer terjadi pada sekitar
10% penderita AIDS dan berhubungan
dengan virus Epstein Barr.
 Limfoma serebral dapat juga bersifat
sekunder yang diakibatkan oleh limfoma
sistemik. Pada studi besar mengenai pasien
dengan limfoma sistemik, terdapat 30%
pasien yang memperlihatkan gambaran klinis
dan patologis keterlibatan otak.
 Namun, hampir semua kasus terkait dengan
relaps atau penyakit sistemik yang progresif.
GAMBARAN KLINIS

 Lokasi paling sering limfoma otak adalah


pada lobus frontal, diikuti lobus temporal,
lobus parietal dan deep nuclei.
 Tumor juga dapat muncul di serebelum dan
batang otak, dapat soliter atau multipel.
 Limfoma serebral primer tidak memiliki
gejala dan tanda yang khas, gambaran klinis
limfoma serebral mirip dengan tumor
intrakranial lainnya seperti peningkatan TIK,
tanda-tanda neurologis fokal dan epilepsi.
 Gambaran klinis paling sering karena
keterlibatan lobus frontal seperti kehilangan
ingatan, sering lupa dan perubahan afek.
 Sekitar 10% pasien dengan limfoma otak
primer memperlihatkan gambaran klinis
kejang.
 Pada lesi yang multiple, gejala dan tanda
klinis dapat bervariasi.
 Gambaran limfoma serebral primer yang
timbul pada pasien immunodefisiensi
(termasuk Limfoma serebral primer yang
terkait AIDS) tidak berbeda jika dibandingkan
dengan pasien limfoma serebral primer yang
imunokompeten.
PATOGENESIS PADA PASIEN HIV/AIDS

 Manifestasi HIV/AIDS pada otak dimulai dari


virus HIV  masuk ke otak sejak awal infeksi,
dalam keadaan normal, virus sulit masuk ke
dalam otak karena adanya mekanisme
proteksi berupa BBB.
 Virus dapat menembus BBB melalui sel yang
terinfeksi untuk menggantikan sel imun yang
mengelilingi suplai darah di otak  Sel imun yang
terinfeksi lebih mudah bermigrasi ke dalam
jaringan.
 Mikroglia dan astrosit yang terinfeksi l dapat
meluas ke sel-sel sekitar  sehingga semakin
mengganggu BBB.
 Bagian otak yang paling banyak terinfeksi HIV
terutama daerah subkortikal dan frontostriatal,
termasuk ganglia basalis, substansia alba yang
dalam, dan daerah hipokampal.
 Manifestasi neurologis HIV/AIDS dapat berupa
1. ensefalopati,
2. demensia,
3. meningitis aseptik,
4. neuropati saraf kranialis maupun perifer, dan
mielopati.

Prognosis pasien pasien ini kurang baik


meskipun mendapatkan terapi yang maksimal.
Pada penderita AIDS, manifestasi neurologis
terjadi pada sekitar 40-60% pasien.
PEMERIKSAAN PENUNJANG

 CT scan menunjukkan hipodens, isodens atau


terkadang hiperdens pada gambaran tumor.
 Sebagian besar limfoma serebral primer
timbul di daerah periventrikular.
 Saat ini MRI menjadi pilihan pemeriksaan
penunjang untuk limfoma serebral primer.
 Lesi pada otak biasanya bersifat hipointense
hingga isointense pada T1-weighted images
dan isointense hingga hyperintense pada T2-
weighted images.
 Gambaran tumor terlihat setelah injeksi
intravena gadolinium.
 Dari pemeriksaan CT/MRI pada limfoma
serebral primer didapatkan lesi massa
multipel (kurang dari 5) dengan ring
enhancement homogen, memiliki pusat
nekrotik, dan dikelilingi sedikit edema.
 Lokasi lesi paling banyak di subependimal
dan dapat meluas melewati korpus kalosum.
Hasil dapat diperjelas dengan menggunakan
zat kontras gadolinium.
 Meskipun pemeriksaan CSF dapat ditemukan
jumlah limfosit yang abnormal, tetapi karena
dikhawatirkan terjadi peningkatan tekanan
intrakranial maka pungsi lumbal tidak
dilakukan pada sebagian besar pasien.
 Hasil sitologi cairan serebrospinal terdapat
peningkatan protein dan jumlah sel dan
kadang-kadang didapatkan sel limfoma.
 PCR dari cairan serebrospinal dan didapatkan
peningkatan DNA virus Epsteinn Barr.
 Untuk diagnosis definitif dilakukan biopsi untuk
konfirmasi hasil pemeriksaan yang lain.
 Untuk pengobatannya dilakukan kemoradioterapi
untuk mendapatkan hasil maksimal.
PENATALAKSANAAN

Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan


manajemen tatalaksana limfoma serebral
primer adalah sebagai berikut :
 Diagnosis secara histologis
 Memastikan bahwa penyakit hanya terbatas
pada otak
 Mengeksklusi penyakit yang mendasari dan
mengetahui faktor predisposisi
 Terapi yang tepat.
Terapi Bedah
 Belum ada bukti yang jelas bahwa kraniotomi
dengan eksisi limfoma lebih unggul untuk
memperoleh diagnosis jaringan yang akurat
menggunakan biopsi stereotaktik.
 Harus dicatat bahwa penggunaan awal
kortikosteroid untuk mengobati edema serebral
dapat membuat penilaian histologis menjadi sulit
karena sensitivitas limfoma serebral primer
terhadap steroid.
Radioterapi
 Limfoma serebral primer biasanya radiosensitif
dengan tingkat respons klinis hingga 80%.
 Namun, pengobatan radioterapi kranial
sebagai terapi limfoma serebral primer saja
sangat jarang menghasilkan long-term
survivors, meskipun tingkat respons yang tinggi
dan peningkatan median survival time hingga
15 bulan.
Kemoterapi
 Obat yang paling sering digunakan dalam terapi
limfoma non-Hodgkin sistemik antara lain,
metotreksat, kortikosteroid, anthracyclines,
alkaloid vinca, agen cytosine, arabinoside dan
alkylating.
 Telah dilaporkan bahwa median survival time
mencapai 44 bulan. Namun, pemberian
metotreksat setelah radioterapi meningkatkan
risiko leukoencephalopathy dengan konsekuensi
gangguan dan kerusakan neuropsikologis yang
serius.
 Pemberian radiasi post kemoterapi masih
diperdebatkan karena mengingat keefektifan
kemoterapi terutama pada pasien usia lanjut.
BAB III
KESIMPULAN
 Limfoma yang melibatkan SSP sangat jarang
ditemukan, persentasenya kurang dari 3% dari
semua jenis tumor SSP, dimana sekitar
setengah dari jenis limfoma ini adalah limfoma
serebral primer.
 Peningkatan kejadian limfoma serebral dapat
dikaitkan setidaknya dua faktor yang jelas
diketahui, yaitu the Acquired Immune Deficiency
Syndrome (AIDS) dan penggunaan terapi
imunosupresif.
 Limfoma serebral primer  tidak memiliki
gejala dan tanda yang khas, gambaran klinis
mirip dengan tumor intrakranial lainnya seperti
peningkatan TIK, tanda-tanda neurologis fokal
dan epilepsi.
 Dari pemeriksaan CT/MRI pada limfoma
serebral primer didapatkan lesi massa multipel
(kurang dari 5) dengan ring enhancement
homogen, memiliki pusat nekrotik, dan
dikelilingi sedikit edema.
 Lokasi lesi paling banyak : subependimal 
meluas melewati korpus kalosum. Hasil dapat
diperjelas dengan menggunakan zat kontras
gadolinium.
 Prinsip-prinsip tatalaksana limfoma serebral
primer adalah diagnosis secara histologis,
memastikan bahwa penyakit hanya terbatas
pada otak, mengeksklusi penyakit yang
mendasari dan predisposisi, terapi yang tepat :
bedah, radioterapi, dan kemoterapi
DAFTAR PUSTAKA
 Harsono. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis, ed 4. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
 Harsono. 2000. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
 Manji H., Connolly S., Doward N., Kitchen N., Mehta A., Wills A., 2008. Oxford
Handbook of Neurology. Oxford University Press: London.
 Mardjono M, Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis Dasar, ed 14. PT. Dian Rakyat. Jakarta.
 Sari DK., 2007. Brain Cancer. Universitas Islam Indonesia : Jakarta.
 Ballentine JR. Non Hodgkin Lymphoma, Available at
http://emedicine.medscape.com/article/203399-overview
 Alarcone P. Hodgkin Lymphoma. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/987101-overview#a0101
 Stoppler MC. Hodgkin Lymphoma. Available at (
http://www.medicinenet.com/Hodgkin’s disease/article.htm)
 Kaye,HA 2005, Essential Neurosurgery thirs edition. Blackwell Publishing.
 Satyanegara, 2014. Ilmu Bedah Saraf edisi V. Gramedia Pustaka Utama
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai