Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Usia balita merupakan masa di mana proses pertumbuhan dan
perkembangan terjadi sangat pesat. Pada masa ini balita membutuhkan
asupan zat gizi yang cukup dalam jumlah dan kualitas yang lebih banyak,
karena pada umumnya aktivitas fisik yang cukup tinggi dan masih dalam
perubahan belajar. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi
dan penyakit. Anak balita dengan kekurangan gizi dapat mengakibatkan
terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual
serta mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Status gizi
merupakan indikator kesehatan yang penting bagi balita karena anak usia di
bawah lima tahun merupakan kelompok yang rentan terhadap kesehatan dan
gizi yang dampak fisiknya diukur secara antropometri dan dikategorikan
berdasarkan standar baku WHO dengan indeks BB/U (Berat Badan/Umur),
TB/U (Tinggi Badan/Umur) dan BB/TB (Berat Badan/Tinggi Badan)1.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2002 melaporkan
bahwa 54% kematian balita di seluruh dunia disebabkan secara langsung
maupun tidak langsung oleh gizi kurang dan gizi buruk. Angka ini belum
banyak berubah pada data WHO tahun 2011, yang melaporkan bahwa 45%
kematian balita di seluruh dunia terkait dengan malnutrisi. Jenis malnutrisi
terbanyak pada balita di Indonesia adalah perawakan pendek (stunted) dan
sangat pendek (severely stunted). Perawakan pendek karena kekurangan gizi
disebut stunting, sedangkan yang disebabkan faktor genetik atau familial
disebut short stature2.
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di
bawah lima tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu
pendek untuk usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan
dan pada masa awal setelah bayi lahir akan tetapi, kondisi stunting baru
nampak setelah bayi berusia 2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat
pendek (severely stunted) adalah balita dengan panjang badan (PB/U) atau
tinggi badan (TB/U) menurut umurnya dibandingkan dengan standar baku
WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) 2006. Sedangkan
definisi stunting menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah anak
balita dengan nilai z-scorenya kurang dari -2SD/standar deviasi (stunted) dan
kurang dari -3SD (severely stunted)2,3.
Di Indonesia, sekitar 37% (hampir 9 Juta) anak balita mengalami
stunting (Riset Kesehatan Dasar/ Riskesdas 2013) dan di seluruh dunia,
Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar.
Balita/Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan
memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih
rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat beresiko pada menurunnya
tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat
menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan
memperlebar ketimpangan3.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan membuat
100 Kabupaten/Kota prioritas untuk stunting, dimana pemilihan
Kabupaten/Kota tersebut berdasarkan indikator yang telah ditetapkan
diantaranya jumlah balita stunting, prevalensi stunting dan tingkat
kemiskinan. Dari 100 Kabupaten/Kota terdapat 1000 desa yang menjadi
prioritas stunting, dimana pemilihan 10 desa di masing-masing
Kabupaten/Kota tersebut berdasarkan indikator yang telah ditetapkan
diantaranya jumlah penduduk desa, jumlah penduduk miskin desa, tingkat
kemiskinan desa dan penderita gizi buruk desa. Provinsi Jawa Tengah yang
masuk kedalam 100 Kabupaten/Kota prioritas diantaranya adalah Banyumas
dan desa yang berada di Kabupaten Banyumas yang terpilih menjadi 1000
desa prioritas stunting adalah Gunungwetan, Karanglewas dan Gentawangi
yang berada di Kecamatan Jatilawang. Di Banyumas pada tahun 2013
kejadian stunting sebesar 33,49% (49.138 jiwa). Kecamatan Jatilawang
mencatat jumlah kejadian stunting pada desember 2018 adalah sebanyak 81
jiwa3.
B. Tujuan
Untuk mengetahui insiden terjadinya stunting pada anak usia di bawah 5 tahun
dengan cara mengenal faktor risiko yang terkait khususnya di Kecamatan
Jatilawang.
C. Manfaat
Bagi Evaluator
Meningkatkan pengetahuan tentang pentingnya kejadian Stunting pada anak
khususnya di kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas.
Bagi Puskesmas
Meningkatkan kesadaran masyarakat akan risiko stunting pada anak usia
dibawah 2 tahun
Bagi Masyarakat
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang stunting sehingga
dapat mencegah kejadian stunting pada anak dan menambah pengetahuan
tentang faktor dan dampak stunting pada kehidupan balita ( balita pendek )
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Sejak lahir sampai usia 2 tahun, bayi mengalami perkembangan otak


yang pesat, demikian pula dengan pertumbuhan linear. Batita perempuan
mencapai 50% tinggi badan dewasa pada usia 18 bulan, sedangkan laki-laki pada
usia 2 tahun. Usia 0-2 tahun juga merupakan masa kritis perkembangan
adipositas. Komposisi tubuh berubah sesuai usia. Perubahan perlemakan tubuh
seiring usia dapat ditunjukkan dengan metode radiografi, pengukuran tebal lipatan
kulit, atau indeks massa tubuh. Indeks massa tubuh merupakan parameter turunan
(surrogate) perlemakan tubuh yang paling umum digunakan. Seorang anak
mengalami peningkatan IMT yang cepat selama tahun pertama kehidupannya.
Setelah 9 sampai 12 bulan, IMT menurun dan mencapai titik terendah (nadir)
pada usia 5-6 tahun. Selanjutnya terjadi peningkatan IMT selama masa remaja.
Titik di mana perlemakan tubuh (direpresentasikan oleh IMT) kembali meningkat
setelah mencapai titik nadir disebut adiposity rebound2.
Kekurangan atau kelebihan zat gizi pada periode usia 0-2 tahun
umumnya ireversibel dan akan berdampak pada kualitas hidup jangka pendek dan
jangka panjang. Stunting akan mempengaruhi perkembangan otak jangka panjang
yang selanjutnya berdampak pada kemampuan kognitif dan prestasi pendidikan.
Selain itu, pertumbuhan linear akan mempengaruhi daya tahan tubuh serta
kapasitas kerja2.
Masalah anak pendek (stunting) merupakan salah satu permasalahan gizi
yang dihadapi di dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang.
Stunting menjadi permasalahan karena berhubungan dengan meningkatnya risiko
terjadinya kesakitan dan kematian, perkembangan otak suboptimal sehingga
perkembangan motorik terlambat dan terhambatnya pertumbuhan mental4.
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering)
akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari
kehamilan sampai usia 24 bulan. Indikator yang digunakan untuk
mengidentifikasi balita stunting adalah berdasarkan indeks Tinggi badan menurut
umur (TB/U) menurut standar WHO child growth standart dengan kriteria
stunting jika nilai z score TB/U<-2 Standard Deviasi (SD)5.
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya
disebabkan oleh faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak
balita. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi
stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa faktor yang menjadi penyebab
stunting dapat digambarkan sebagai berikut2,3:
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik
Termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum
dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan
informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak
mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif dan 2 dari 3 anak usia 0-24
bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). Data
Riskesdas 2010 memperlihatkan bahwa hanya 15,3% bayi di Indonesia yang
mendapatkan ASI eksklusif 6 bulan, bahkan pada bulan pertama hanya 39,8%
bayi yang masih mendapatkan ASI eksklusif. MP-ASI diberikan/mulai
diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk
mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi
kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta
membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak
terhadap makanan maupun minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care
(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan
pembelajaran dini yang berkualitas
Informasi yang dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia
menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu semakin menurun dari
79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang
memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya
akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-
6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga/keluarga ke makanan bergizi
Hal ini dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong
mahal. Menurut beberapa sumber (RISKESDAS 2013, SDKI 2012,
SUSENAS), komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan
di New Delhi, India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal
daripada di Singapura. Terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga
dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi
Data yang diperoleh di lapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di
Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah
tangga belum memiliki akses ke air minum bersih.
Beberapa penyebab seperti yang dijelaskan di atas, telah berkontibusi
pada masih tingginya pervalensi stunting di Indonesia dan oleh karenanya
diperlukan rencana intervensi yang komprehensif untuk dapat mengurangi
pervalensi stunting di Indonesia. Pada 2010, gerakan global yang dikenal dengan
Scaling-Up Nutrition (SUN) diluncurkan dengan prinsip dasar bahwa semua
penduduk berhak untuk memperoleh akses ke makanan yang cukup dan bergizi.
Pada 2012, Pemerintah Indonesia bergabung dalam gerakan tersebut melalui
perancangan dua kerangka besar Intervensi Stunting3.
Gerakan SUN merupakan upaya baru untuk menghilangkan kekurangan
gizi dalam segala bentuknya. Prinsip gerakan ini adalah semua orang memiliki
hak atas pangan dan gizi yang baik. Hal ini merupakan suatu yang unik karena
melibatkan berbagai kelompok masyarakat yang berbeda-beda baik pemerintah,
swasta, LSM, ilmuwan, masyarakat sipil dan PBB secara bersama-sama
melakukan tindakan kolektif untuk peningkatan gizi. Intervensi yang dilakukan
pada SUN adalah intervensi spesifik dan intervensi sensitif6.
Intervensi spesifik adalah tindakan atau kegiatan yang dalam
perencanaannya ditujukan khusus untuk kelompok 1000 hari pertama kehidupan
(HPK) dan bersifat jangka pendek. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan pada
sektor kesehatan, seperti imunisasi, PMT ibu hamil dan balita, monitoring
pertumbuhan balita di Posyandu, suplemen tablet besi-folat ibu hamil, promosi
ASI Eksklusif, MP-ASI, dan sebagainya. Sedangkan intervensi sensitif adalah
berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan yang ditujukan pada
masyarakat umum. Beberapa kegiatan tersebut adalah penyediaan air bersih,
sarana sanitasi, berbagai penanggulangan kemiskinan, ketahanan pangan dan gizi,
fortifikasi pangan, pendidikan dan KIE Gizi, pendidikan dan KIE Kesehatan,
kesetaraan gender, dan lain-lain3,7.
Pada awal tahun 2013, terdapat 33 negara SUN bagi 59 juta anak stunting
yang mewakili sekitar sepertiga dari semua anak stunting di dunia. Tingkat rata-
rata pengurangan stunting per tahun di 33 negara tersebut adalah 1,8 %. WHO
merekomendasikan pengurangan stunting 3,9 % per tahun dalam rangka
memenuhi target global pengurangan stunting pada tahun 2025 sebesar 40%6.
Intervensi efektif dibutuhkan untuk mengurangi stunting, defisiensi
mikronutrien dan kematian anak . Jika diterapkan pada skala yang cukup maka
akan mengurangi (semua kematian anak) sekitar seperempat dalam jangka
pendek. Dari intervensi yang tersedia, konseling tentang pemberian ASI dan
fortifikasi atau suplementasi vitamin A dan seng memiliki potensi terbesar untuk
mengurangi beban morbiditas dan mortalitas anak. Peningkatan makanan
pendamping ASI melalui strategi seperti penyuluhan tentang gizi dan konseling
gizi, suplemen makanan di daerah rawan pangan secara substansial dapat
mengurangi stunting dan beban terkait penyakit. Intervensi untuk gizi ibu
(suplemen folat besi, beberapa mikronutrien, kalsium, dan energi dan protein yang
seimbang) dapat mengurangi risiko berat badan lahir rendah sebesar 16%.
Direkomendasikan pemberian mikronutrien untuk anak-anak seperti suplementasi
vitamin A (dalam periode neonatal dan akhir masa kanak-kanak), suplemen zinc,
suplemen zat besi untuk anak-anak di daerah malaria tidak endemik, dan promosi
garam beryodium. Untuk intervensi pengurangan stunting jangka panjang, harus
dilengkapi dengan perbaikan dalam faktor-faktor penentu gizi, seperti kemiskinan,
pendidikan yang rendah, beban penyakit dan kurangnya pemberdayaan
perempuan3,7.
BAB III
ANALISIS SITUASI

A. Deskripsi Situasi, Kondisi Puskesmas, dan Wilayah Kerjanya


1. Keadaan Geografi
Kecamatan Jatilawang merupakan salah satu bagian wilayah
Kabupaten Banyumas yang memiliki luas wilayah sekitar 4.815,92 Ha/
48,16 km2 dan berada pada ketinggian 21 m dari permukaan laut dengan
curah hujan 2.650 mm/tahun. Kecamatan Jatilawang memiliki batas
wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah utara : Kecamatan Purwojati
b. Sebelah selatan : Kabupaten Cilacap
c. Sebelah timur : Kecamatan Rawalo
d. Sebelah barat : Kecamatan Wangon

Gambar II.1. Denah Wilayah Puskesmas Jatilawang


Kecamatan Jatilawang terdiri atas 11 desa, 33 dusun, 56 RW dan
350 RT. Desa terluas adalah Desa Gunungwetan yaitu 718,44 Ha,
sedangkan desa tersempit adalah Desa Karanganyar dengan luas 205 Ha.
Bila dilihat dari jaraknya maka desa Gunungwetan merupakan desa terjauh
dengan jarak 5 km dari pusat kota Jatilawang dan Desa Tunjung adalah
desa terdekat dengan jarak 0,15 km. Sebagian besar tanah pada Kecamatan
Jatilawang dimanfaatkan sebagai tanah sawah dengan rincian:
a. Tanah sawah : 1.637 Ha
b. Tanah pekarangan : 591.02 Ha
c. Tanah kebun : 1.565 Ha
d. Kolam : 9 Ha
e. Hutan negara : 433 Ha
f. Perkebunan rakyat : 142 Ha
g. Lain-lain : 245,17 Ha
2. Keadaan Demografi
a. Pertumbuhan Penduduk
Jumlah penduduk Kecamatan Jatilawang pada tahun 2017
adalah 72.485 jiwa yang terdiri dari laki-laki 32.602 jiwa (44,98%)
dan perempuan sebanyak 39.883 jiwa (55,02%) dengan jumlah
rumah tangga 16.492. Jumlah penduduk terbanyak yaitu di desa
Tinggarjaya sebesar 11.476 jiwa atau sebesar 15,83% dari
keseluruhan jumlah penduduk Kecamatan Jatilawang. Desa
Margasana merupakan desa dengan jumlah penduduk terkecil yaitu
2.278 atau hanya sebesar 3,14% dari keseluruhan jumlah penduduk.
b. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur
Jumlah penduduk menurut golongan umur di Kecamatan
Jatilawang dibagi menjadi 16 kelompok umur dengan variasi yang
tidak begitu besar. Penduduk terbanyak ada pada kelompok umur
20-24 tahun yaitu sebesar 6.995 jiwa atau 9,65% dan sebagian besar
penduduk berada pada usia produktif. Berikut rincian jumlah
penduduk menurut golongan umur:
Tabel II.1 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur dan Jenis
Kelamin di Kecamatan Jatilawang tahun 2017
Kelompok Umur Laki-
Perempuan Jumlah
(tahun) laki
0–4 2.989 2.974 5.963
5–9 2.974 2.925 5.899
10 – 14 3.097 3.091 6.188
15 – 19 3.396 3.199 6.406
20 – 24 2.111 3.599 6.995
25 – 29 2.001 2.021 4.132
30 – 34 2.126 2.024 4.025
35 – 39 2.593 2.094 4.220
40 – 44 2.231 2.145 4.738
45 – 49 2.146 2.304 4.535
50 – 54 2.401 2.165 4.311
55 – 59 2.401 2.208 4.609
60 – 64 1.347 1.496 2.843
65 – 69 1.569 1.569 3.136
70 – 74 1.224 1.224 2.426
> 75 1.040 1.040 2.059
Jumlah 36.407 35.038 72.485
Sumber : Kecamatan Jatilawang dalam Angka Tahun 2017

c. Kepadatan Penduduk
Kepadatan penduduk di Kecamatan Jatilawang pada tahun
2017 yaitu sebesar 1.506,34 jiwa/km2. Desa terpadat adalah Desa
Tinggarjaya sebesar 2.002,79 jiwa/km2, sedangkan Desa
Karanglewas merupakan desa dengan kepadatan penduduk terendah
yaitu 591,44 jiwa/km2.
3. Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya
a. Agama
Sebagian besar masyarakat Jatilawang adalah pemeluk
agama Islam yaitu sebesar 70.497 orang (99,50%), sedangkan
lainnya adalah pemeluk agama Katolik, Protestan, Budha, dan
Hindu.
Tabel II.2 Jumlah Penduduk menurut Agama di Kecamatan
Jatilawang Tahun 2017
Persentase
No. Agama Jumlah Pemeluk (%)
1 Islam 72.127 99,50%
2 Kristen Protestan 155 0,21%
3 Kristen Katolik 196 0,27%
4 Budha 4 0,005%
5 Hindu 2 0,002%
Sumber: Kecamatan Jatilawang dalam Angka Tahun 2017

b. Mata pencaharian penduduk


Mata pencaharian penduduk usia 15 tahun ke atas menurut
lapangan pekerjaan di Kecamatan Jatilawang Tahun 2017 adalah
pertanian dengan jumlah 17.153, pertambangan dan penggalian 518,
industry 4.585, listrik, gas, dan air 575, kontruksi 3.076,
perdagangan 9.937, angkutan dan komunikasi 2.251, lembaga
keuangan 338, serta jasa-jasa 5.071.
c. Tingkat pendidikan penduduk
Data pendidikan penduduk berdasarkan data tahun 2017,
pendidikan penduduk di kecamatan Jatilawang terbanyak adalah
tamat Sekolah Dasar (SD). Rincian data pendidikan penduduk adalah
sebagai berikut:

Tabel II.3 Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan Kecamatan


Jatilawang Tahun 2017
N Jumlah
o Tingkat Pendidikan penduduk
1 Tidak/Belum tamat SD 14.937
2 SD/MI 23.473
3 SLTP/MTS 7.051
4 SLTA/MA 7.952
5 Akademi/Universitas 664
Sumber: Kecamatan Jatilawang dalam Angka Tahun 2017
4. Program Kesehatan Puskesmas Jatilawang
a. Program Kerja
Program kerja yang dilaksanakan di Puskesmas Jatilawang
pada tahun 2017 meliputi kegiatan sebagai berikut:
1) Pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) essensial
a) Pelayanan promosi kesehatan termasuk UKS
b) Pelayanan kesehatan lingkungan
c) Pelayanan KIA-KB yang bersifat UKM
d) Pelayanan gizi yang bersifat UKM
e) Pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit
f) Pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat
2) Pelayanan Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)
pengembangan
a) Pelayanan kesehatan lansia
3) Pelayanan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)
a) Pelayanan pemeriksaan umum
b) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut
c) Pelayanan KIA-KB yang bersifat UKP
d) Pelayanan gawat darurat
e) Pelayanan gizi yang bersifat UKP
f) Pelayanan persalinan
g) Pelayanan rawat inap
b. Sumber daya puskesmas
1) Sarana dan prasarana
a) Puskesmas pembantu : 2 buah
b) PKD : 19 buah
c) Posyandu : 95 buah
2) Sumber dana
a) Dana dari pemerintah daerah : APBD I dan II
b) Bantuan operasional kesehatan : BOK
c. Ketenagaan
Jumlah tenaga kesehatan pada Puskesmas Jatilawang pada
tahun 2017 berjumlah 72 orang dengan rincian sebagai berikut:

Tabel 2.4 Jenis Ketenagaan di Puskesmas Jatilawang Tahun 2018


No Jenis Ketenagaan Jumlah
(orang)
I Puskesmas Induk
1 Kepala Puskesmas 1
2 Kasubag TU 1
3 Dokter 3
4 Dokter gigi 1
5 Ahli gizi 2
6 Petugas Promkes 2
7 Apoteker 2
8 Asisten Apoteker 1
9 Perawat 13
10 Perawat Gigi 1
11 Bidan 5
12 Petugas Kesehatan 2
Lingkungan
13 Analis Kesehatan 2
14 Pranata Lab 1
15 Pengadministrasi 11
Umum
16 Pengadministrasi 1
Keuangan/Akuntan
17 Tenaga Kebersihan 2
18 Tenaga Pengemudi 2
II Puskesmas Pembantu
1 Bidan 2
2 Perawat 0
3 Tenaga Administrasi 0
III Bidan di Desa
1 Bidan Desa 17
B. Capaian Program dan Derajat Kesehatan Masyarakat
1. STATUS GIZI BAYI BARU LAHIR
Berdasarkan hasil kegiatan program gizi, pada tahun 2017 tercatat
43 bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dari 1105 bayi lahi hidup
atau sebesar 3,9%. Desa dengan BBLR tertinggi adalah desa Bantar (8
orang), kedungwringin (7 orang) dan desa pekuncen (7 orang) dari seluruh
BBLR di kecamatan Jatilawang.
2. STATUS GIZI BALITA
Pada tahun 2017 tercatat ada 4416 balita, yang ditimbang sebanyak
3602 balita atau sebesar 81,6%. Ini berarti sudah melebihi target IIS tahun
2010 sebesar 80 %.
Untuk balita bawah garis merah atau BGM ditemukan kasus
sebanyak 35 balita atau sebesar 1 % dari seluruh balita yang ditimbang,
berarti sudah dibawah target IIS yaitu sebesar <15%.
3. PELAYANAN KESEHATAN ANAK PRA SEKOLAH DAN USIA
SEKOLAH
a. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak Balita Dan Pra Sekolah
Selama tahun 2017 telah dilakukan pemeriksaan deteksi dini
tumbuh kembang anak pada 3483 anak balita (pra sekolah) dari 3458
anak (99,3%). Angka ini sudah melampaui target IIS tahun 2010
sebesar 95%.
4. PENYELENGGARAAN PERBAIKAN GIZI MASYARAKAT
a. Pemantauan Pertumbuhan Balita
1) Balita ditimbang (D/S)
Selama tahun 2017, balita yang ada sebanyak 4416 balita dan yang
ditimbang sebanyak 3602 balita atau sebesar 81,6%. Angka ini
sudah melampaui target IIS tahun 2010 yaitu 80%.
2) Balita Bawah Garis Merah atau BGM
Dari seluruh balita yang ada, terdapat 35 balita BGM atau sebesar
1%. Berarti sesuai dengan target IIS tahun 2010 yaitu sebesar
<15%.
5. PELAYANAN GIZI
a. Bayi 6-11 Bulan Dapat Kapsul Vitamin A
Dari 4509 bayi umur 6-11 bulan yang ada, bayi telah mendapatkan
kapsul vitamin A sebanyak 450 balita atau sebesar 98%. Cakupan ini
diatas IIS tahun 2010 yaitu sebesar 95%.
b. Balita 12-48 bulan Dapat Kapsul Vitamin A
Dari 3505 balita usia 12-48 bulan yang ada, sebanyak 3500 balita
(99,89%) mendapat kapsul vitamin A sebanyak 2 kali yaitu pada bulan
Februari dan Agustus. Cakupan ini sudah diatas IIs tahun 2010 yaitu
sebesar 95%.
c. Ibu Hamil Mendapat 90 Tablet Fe
Dari 1242 ibu hamil yang ada, sebanyak 1200 mendapat 90 tablet Fe
selama masa kehamilannya atau sebesar 96,6%. Cakupan ini sudah
diatas IIS tahun 2010 yaitu sebesar 90%.
BAB IV
ANALISIS SWOT

1. Strength
a. Wilayah Kecamatan jatilawang yang tidak terlalu luas sehingga dapat
dilakukan pemantauan dengan lebih mudah
b. Kader yang sudah banyak dan tersebar diseluruh desa di kecamatan
Jatilawang, sehingga lebih mudah jika dilakukan penyuluhan maupun
pelatihan.
2. Weakness
a. Gizi ibu-ibu hamil yang relatif masih rendah di kecamatan Jatilawang,
sehingga berdampak pada meningkatnya angka stunting
b. Dari keseluruhan desa di kecamatan Jatilawang, baru 5 desa yang
dinyatakan ODF, sehingga pengaruh lingkungan ini dampak
berdampak pada meningkatnya angka stunting, dikarenakan higienitas
dari tempat balita tumbuh dapat dikatakan kurang dilihat dari angka
desa yang sudah ODF
c. Gizi dari para remaja putri yang tidak terpantau, sehingga persiapan
gizi untuk hamil dan menyusui menjadi relative kurang atau bahkan
tidak terukur, sehingga berdampak pada janin dan bayi yang akan
dilahirkan.
d. Para remaja putri yang menikah dini, menyebabkan kurangnya
kesiapan fisik maupun edukasi bagi para calon ibu dalam hal memiliki
momongan, sehingga perlakuan yang akan diberikan kepada calon
bayinya nanti berasal dari ajaran orang-orang tua jaman dulu yang
belum diketahui manfaat maupun bahayanya.
e. Masih rendahnya pemberian ASI eksklusif 6 bulan kepada bayi baru
lahir, dari data yang ada,di Kecamatan jatilawang baru sekitar 50%
bayi yang sudah mendapat ASI eksklusif
3. Opportunity
a. Sudah terdapat media-media di Puskemas yang dapat mendukung
dalam kegiatan promotif dan preventif, seperti LCD, sound
system,dan aula pertemuan. Sehingga diharapkan kegiatan promotif
dan preventif dapat terlaksana dengan baik.
b. Sudah terdapatnya program-program yang mengharuskan petugas
puskesmas maupun kader untuk turun langsung ke lapangan, sehingga
sudah terjalin hubungan antara puskesmas dengan desa-desa yang
harapannya jika akan dilakukan penyuluhan maupun pelatihan, akan
lebih mudah untuk mengumpulkan target yang diinginkan
c. Sudah terdapatnya bidan-bidan desa di seluruh desa di Jatilawang,
sehingga pemantauan diharapkan akan dapat lebih mendalam, dan
pengawasan akan dapat dilakukan mulai dari pra nikah hingga
memiliki anak, untuk mencegah meningkatnya angka stunting.
d. Program imunisasi anak bawah dua tahun yang sudah berjalan dengan
teratur, sehingga kebutuhan imunisasi para baduta diharapkan
terpenuhi dengan semestinya.
4. Threat
a. Pengetahuan dan kesadaran para ibu muda yang masih kurang,
sehingga memeriksakan kandungannya / ANC hanya sebagai suatu
kewajiban saja, bukan suatu kesadaran diri
b. Paradigma di masyarakat yang mana jika memiliki anak yang kecil
tidak sesuai umurnya/ pertumbuhannya terhambat, menganggapnya
sebagai suatu gen keturunan, sehingga membiarkan saja anaknya,
tidak berkonsultasi ke Puskesmas maupun dokter.
BAB V
PEMBAHASAN ISU STRATEGIS DAN
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

A. Pembahasan Isu Strategis


Berdasarkan penemuan kasus stunting di Kecamatan Jatilawang
didapatkan presentase kejadian stunting adalah sebesar 21% (81 jiwa). Angka
tersebut lebih kecil dari maksimal batasan nasional yaitu sebesar 37,3%, yang
artinya angka stunting Kecamatan Jatilawang lebih sedikit dari target
maksimal yang menderita stunting menurut target nasional. Meskipun
kejadian stunting di Kecamatan Jatilawang tida melebihi batasan nasional
(37.3%), tetapi sudah melebihi batasan WHO (< 20%). Berdasarkan data dari
nasional, terdapat 3 desa di Kecamatan Jatilawang yang menjadi 1000 desa
prioritas stunting, yaitu Desa Gentawangi, De. Masih terdapatnya kejadian
stunting di Kecamatan Jatilawang dapat disebabkan beberapa diantaranya
faktor lingkungan, ASI eksklusif, gizi ibu hamil dan gizi remaja. Faktor
lingkungan dapat dilihat dari desa yang sudah ODF (Open Defecation Free).
Hanya 5 desa yang sudah ODF di Kecamatan Jatilawang. Kejadian stunting
semata-mata tidak fokus terhadap gizi saja, tetapi faktor lingkungan juga
memiliki peran penting dalam kejadian stunting. Intervensi gizi saja belum
cukup untuk mengatasi masalah stunting.
Penemuan penyebab kasus stunting di Kecamatan Jatilawang tersebut
sesuai dengan teori yang ada bahwa faktor sanitasi dan kebersihan lingkungan
berpengaruh pula untuk kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang anak,
karena anak usia di bawah dua tahun rentan terkena berbagai infeksi dan
penyakit. Paparan terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang dapat
menyebabkan infeksi bakteri kronis. Infeksi tersebut, disebabkan oleh praktik
sanitasi dan kebersihan yang kurang baik, membuat gizi sulit diserap oleh
tubuh. Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu gangguan
saluran pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan
kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Sebuah riset menemukan
bahwa semakin sering seorang anak menderita diare, maka semakin besar pula
ancaman stunting untuknya. Saat anak sakit, lazimnya selera makan mereka
pun berkurang, sehingga asupan gizi makin rendah sehingga, pertumbuhan sel
otak yang seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak
menjadi terhambat. Dampak dari anak yang mengalami hambatan dari
pertumbuhan sel otaknya, terancam menderita stunting, yang mengakibatkan
pertumbuhan mental dan fisiknya terganggu, sehingga potensinya tak dapat
berkembang dengan maksimal. Penelitian lain menunjukkan potensi stunting
berkurang jika ada intervensi yang terfokus pada perubahan perilaku dalam
sanitasi dan kebersihan. Adapun akses terhadap sanitasi yang baik
berkontribusi dalam penurunan stunting sebesar 27%. Untuk memotong rantai
buruknya sanitasi dan kebersihan serta kaitannya dengan stunting, ibu hamil
dan anak perlu hidup dalam lingkungan yang bersih. Dua cara utama adalah
dengan tidak buang air besar sembarangan, serta mencuci tangan dengan
sabun7,8.
Penyebab kedua yang membuat Kecamatan Jatilawang masih terdapat
kejadian stunting adalah ASI eksklusif. Data Riskesdas 2010 memperlihatkan
bahwa hanya 15,3% bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI eksklusif 6
bulan, bahkan pada bulan pertama hanya 39,8% bayi yang masih mendapatkan
ASI eksklusif. Kecamatan Jatilawang sendiri hanya sekitar 50% bayi yang
mendapat ASI eksklusif. Rendahnya pemberian ASI juga menjadi pemicu
kejadian stunting. Sesuai dengan teori yang ada bahwa ASI merupakan nutrisi
terbaik karena bukan hanya berperan sebagai makanan namun juga
mengandung komponen bioaktif. ASI memiliki komponen imunologis yang
dapat melindungi bayi dari patogen di lingkungan melalui mekanisme spesifik
berupa antibodi (IgA, IgG dan IgM) dan non-spesifik yang meliputi laktoferin,
lisozim, efek antiviral dan antiprotozoa dari asam lemak bebas dan
monogliserida. ASI memiliki banyak manfaat, misalnya meningkatkan
imunitas anak terhadap penyakit, infeksi telinga, menurunkan frekuensi diare,
konstipasi kronis dan lain sebagainya. Kurangnya pemberian ASI dan
pemberian MP-ASI yang terlalu dini dapat meningkatkan risiko terjadinya
stunting terutama pada awal kehidupan. Besarnya pengaruh ASI eksklusif
terhadap status gizi anak membuat WHO merekomendasikan agar
menerapkan intervensi peningkatan pemberian ASI selama 6 bulan pertama
sebagai salah satu langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets
2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah lima tahun2,9.
Penyebab yang ketiga masih terdapatnya kejadian stunting di Kecamatan
Jatilawang adalah gizi ibu hamil. Kecamatan Jatilawang masih terdapat ibu
hamil dengan gizi kurang. Hal itu dilihat dari banyaknya ibu hamil dengan Hb
rendah. Penyebab ini sesuai dengan teori bahwa gangguan pertumbuhan dapat
berawal dari dalam kandungan. Janin yang tumbuh dalam kandungan ibu yang
mengalami kurang gizi kronis (KEK) akan beradaptasi dengan lingkungannya.
Penyesuaian pertumbuhan janin tersebut menyebabkan pertumbuhan yang
tidak optimal atau retardasi yang dikenal dengan istilah intra uterine growth
retardation (IUGR).
Anemia ibu hamil juga sering dihubungkan dengan kelahiran prematur
dan BBLR. Selain pengaruh KEK pada kehamilan, hasil Riskesdas 2013
menunjukkan proporsi ibu hamil dengan anemia di Indonesia mencapai
37,1%. Kondisi ini tentunya akan memperparah resiko BBLR dan
pertumbuhan stunting pasca lahir. Gizi ibu dan status kesehatan sangat penting
sebagai penentu stunting. Seorang ibu yang kurang gizi lebih mungkin untuk
melahirkan anak terhambat, mengabadikan lingkaran setan gizi dan
kemiskinan4,10. Gizi remaja juga dapat menjadi pengaruh terhadap kejadian
stunting, kaitan gizi remaja dengan kejadian stunting adalah dengan
pemberian tablet Fe tiap minggu. Remaja yang mengalami anemia dan apabila
dia hamil muda, maka akan menjadi meningkatkan angka anemia ibu hamil.

B. Prioritas Masalah
Daftar I Jumlah
No T R Prioritas
Masalah P S RI DU SB PB PC IxTxR
1 Terdapatnya
81 anak
yang 5 5 5 1 5 5 1 4 4 61.71 I
mengalami
Stunting
2 Kurangnya
gizi saat
awal
4 4 4 2 5 4 1 5 3 51.42 II
kehamilan
dan saat
hamil
3 Masih
kurangnya
desa yang
sudah ODF 4 4 4 3 4 5 1 3 3 32.14 IV
di
Kecamatan
Jatilawang
4 Kurangnya
pemberian
3 3 4 2 3 5 1 4 4 48 III
ASI
eksklusif
C. Fishbone
D. Plan of Action
No Prioritas Masalah Plan of Action
1 Terdapatnya 81 anak yang Harus dilakukan Surveilans gizi dan
mengalami Stunting pemantauan status gizi balita dan ibu hamil
secara rutin dan real time. Untuk itu perlu ada
tools atau alat bantu untuk mencatat dan
melaporkan gizi berbasis masyarakat.
2 Kurangnya gizi saat awal Penyuluhan tentang gizi seimbang seperti,
kehamilan dan saat hamil pemberian PMT ibu hamil KEK, pemberian
tablet tambahdarah, pemeriksaan kehamilan,
imunisasi TT, pemberian vitamin A pada ibu
nifas.
3 Kurangnya pemberian ASI penyuluhan tentang pentingnya pemberian ASI
eksklusif Eksklusif selama 6 bulan pada ibu hamil dan ibu
nifas serta pemantauan tumbuh dan kembang
anak tiap bulan oleh petugas kesehatan dan kader
desa.
4 Masih kurangnya desa yang sudah Penyuluhan tentang Perilaku hidup bersih dan
ODF di Kecamatan Jatilawang sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap
rumah tangga.
A. Kesimpulan
Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth
faltering) akibat akumulasi ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama
mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan. Indikator yang digunakan untuk
mengidentifikasi balita stunting adalah berdasarkan indeks Tinggi badan
menurut umur (TB/U) menurut standar WHO child growth standart dengan
kriteria stunting jika nilai z score TB/U<-2 Standard Deviasi (SD).
Untuk menentukan stunted pada anak dilakukan dengan cara
pengukuran. Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak
usia di atas 2 tahun. Antropometri merupakan ukuran dari tubuh,
sedangkan antropometri gizi adalah jenis pengukuran dari beberapa bentuk
tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi, yang
digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein dan energi.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin
dalam kandungan dengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi
bagi ibu hamil, artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang
cukup gizi, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau
kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja
sampai umur 6 bulan (eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan
pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas
selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi zat gizi
berupa kapsul vitamin A.
B. Saran
Penanggulangan Masalah gizi harus diprioritaskan pada Ibu Hamil dan anak
BADUTA (Bawah Dua Tahun) karena Baduta adalah Windows Oportunity
untuk masalah pembangunan sumber daya manusia indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Welasasih & Wirjatmadi (2012) Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan
Status Gizi Balita Stunting. The Indonesian Journal of Public Health. 8 (3):
99–104
2. Ikatan Dokter Indonesia (2015) Praktik Pemberian Makan Berbasis Bukti
pada Bayi dan Batita di Indonesia untuk Mencegah Malnutrisi. Jakarta, IDAI
3. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (2017) 100
Kabupaten/Kota Prioritas untuk Anak Kerdil (Stunting). Jakarta, Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
4. Unicef Indonesia (2013) Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak, Oktober 2012.
Akses www.unicef.org Tanggal 16 Desember 2013
5. Bloem MW, Pee SD, Hop LT, Khan NC, Laillou A, Minarto, Pfanner RM,
Soekarjo D, Soekirman, Solon JA, Theary C, Wasantwisut E (2013) Key
Strategies to Further Reduce Stunting In Southeast Asia: Lessons From The
ASEAN Countries Workshop. Food and Nutrition Bulletin, 34(2)
6. Scaling Up Nutrition, 2013. Country Progress in scaling Up Nutrition.
Januari 2013 Akses scalingupnutrition.org/resources tanggal 26 Desember
2013
7. Republik Indonesia, 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Sadar Gizi dalam
rangka Seribu Hari Kehidupan (1000 HPK) versi 5 September 2012. Diakses
dari http://www.kgm.bappenas.go.id tanggal 16 Desember 2013.
8. Millenium Challenge Account Indonesia (2016) Stunting dan Masa Depan
Indonesia. Jakarta, MCA
9. WHO (2014) WHO Global Nutrition Targets 2025: Stunting Policy Brief.
Geneva, World Health Organization.
10. Ni Ketut Aryastami & Ingan Tarigan (2017) Kajian Kebijakan dan
Penanggulangan Masalah Gizi Stunting di Indonesia. Buletin Penelitian
Kesehatan, 45(4), 233-240

Anda mungkin juga menyukai