TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1 Definisi Stunting
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur
panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya
berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang
berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005,
nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-
scorenya kurang dari -3SD. 6
Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik merupakan suatu bentuk lain dari
kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi
sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Anak yang mengalami stunting sering
terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun sebenarnya tinggi
badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya.
Stunting terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis terutama selama 1.000 hari
pertama kehidupan anak, disebabkan oleh asupan zat-zat gizi yang tidak cukup atau
penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya. Stunting dapat juga terjadi
sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi yang sangat kurang saat masa
kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang, rendahnya kualitas makanan
sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat menghambat pertumbuhan.7
4
2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan
lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di
Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling
sedikit di Asia Tengah (0,9%).3
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
Prevalensi balita stunting Di Kalimantan Selatan, berdasarkan hasil Pemantauan
Status Gizi (PSG) tahun 2017 mencapai 34,2%, dengan uraian seperti berikut Kota
Banjarbaru (29,1%), Kota Banjarmasin (31,5%), Tapin (45,7%), Kota Baru
(46,7%). Sedangkan berdasarkan pemantauan status gizi (PSG) balita Puskesmas
Rawat Inap Cempaka tahun 2018, angka stunting berdasarkan TB/U pada balita
(umur 0-59 bulan) di cankupan wilayah kerja Puskesmas Cempaka Banjarbaru
tahun 2018 mencapai 40%.4,5
5
Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut
dalam setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang
mengalami kekurangan energy kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang
(stunting) dan berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya.
Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan masa emas tumbuh
kembangnya dari tanpa penanggulangan yang memadai kelompok ini dikuatirkan
lost generation. Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu diwaspadai dengan
seksama, selain dampak terhadap tumbuh kembang anak kejadian ini biasanya tidak
berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi mikro.8
6
c. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat menganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunting pada
usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan
anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi
wanita dewasa yang stunting dan mempngaruhi secara langsung pada
kesehatan dan prduktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak
BBLR. Stunting terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih
cenderung menghambat dalm proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar
meninggal saat melahirkan.
7
dilihat pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Standar ini mengacu
pada Standar World Health Organization tahun 2005. Penilaian menggunakan Z-
score sebagai cut-off point untuk menentukan status antropometri anak yang
disusun dalam tabel dibawah ini : 6
Ambang Batas (Z-score) Kategori
< -3 SD Sangat Pendek
-3 SD sampai dengan < -2 SD Pendek
-2 SD sampai dengan 2 SD Normal
> 2 SD Tinggi
8
Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) harus diberikan kepada
anak sejak usia 6 bulan karena dengan ASI saja (jumlah dan komposisi ASI mulai
berkurang) tidak mampu mencukupi kebutuhan anak. Pada anak umur 1-2 tahun,
ASI hanya berfungsi sebagai pendamping makanan utama. Namun, ASI tidak harus
digantikan oleh makanan utama. Pemberian ASI dan MP-ASI yang terlalu dini juga
berhubungan dengan kejadian stunting pada anak.12
Rendahnya pemberian ASI merupakan ancaman bagi tumbuh kembang
anak yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan kualitas sumber
daya manusia secara umum. Masalah gizi kurang juga berkaitan dengan faktor
umur dan jenis kelamin. Umur anak 6 bulan merupakan titik awal timbulnya
masalah gizi kurang, hal ini disebabkan karena pada usia enam bulan kandungan
zat gizi ASI sudah mulai berkurang, sedangkan pemberian MP-ASI tidak
mencukupi. Pertumbuhan setelah usia 6 bulan lebih dipengaruhi oleh pola asuh
makan ibu yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI maupun perawatan
kesehatan.13
Penelitian Arifin (2012), hasil uji statistik di peroleh p value=0,0001, di
simpulkan terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian stunting.
Sedangkan hasil analisis di peroleh nilai OR=3,7 (CI 95% ; 1,740-7,940), artinya
bahwa balita dengan ASI tidak eksklusif mempunyai risiko 3,7 kali lebih besar
terkena stunting dibandingkan balita dengan ASI Eksklusif.14
9
negara berkembang. Di negara miskin, prevalensi pada jenis kelamin perempuan
sebesar 30,0% dan di negara berkembang sebesar 21,1%. Prevalensi pada jenis
kelamin laki-laki di negara miskin sebesar 41,7% dan di negara berkembang
sebesar 24,1%. Tahun 2009 UNICEF melaporkan, terdapat sekitar 195 juta anak
yang hidup di negara miskin dan berkembang mengalami stunting. Standar hidup
yang layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat ekonomi). Pendapatan
keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
makanan. Tingkat pendapatan akan menunjukkan jenis pangan yang akan dibeli.
Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena orang dengan
pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan yang
cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan
sehat Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih berisiko mengalami
stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan risiko
terjadinya malnutrisi.17,18,19
Kemiskinan ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi
kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan
pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok
minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai
kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis
kemiskinan. Tahun 2017 garis kemiskinan Kota Banjarbaru adalah Rp 539.608,-
sedangkan jumlah penduduk miskin sebanyak 11.540 orang atau 4.68%. Upah
minimum Kota Banjarbaru untuk tahun 2017 adalah Rp 2.258.000,-.20,21
Penelitian yang dilakukan oleh Lubis RA tahun 2017 di SD Negeri no.
060929 Kecamatan Medan Johor menyatakan bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting dan risiko
terjadinya stunting pada siswa yang pendapatan keluarga rendah 3,059 kali lebih
besar dibandingkan siswa yang pendapatan keluarga tinggi. Hasil Riskesdas tahun
2015 menyatakan prevalensi stunting pada balita akan naik 0,19% dengan sifat
hubungan positif pada penduduk dengan status ekonomi terendah. Sedangkan pada
kelompok penduduk dengan status ekonomi teratas prevalensi balita stunting akan
lebih rendah 0,26 persen dengan sifat hubungan negatif. Penelitian Arifin (2012),
hasil uji statistik diperoleh p value=0,007, maka dapat disimpulkan terdapat
10
hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting. Hasil analisis
diperoleh nilai OR=2,8 (CI 95% ; 1,315-5,996), artinya bahwa balita dengan
pendapatan keluarga rendah mempunyai risiko 2,8 kali lebih besar mengalami
stunting dibanding balita dengan pendapatan keluarga tinggi.14,22
11
2.3.5 Tingkat Pendidikan Orang Tua
Menurut Notoatmodjo (2010) pendidikan adalah upaya persuasi atau
pembelajaran kepada masyarakat, agar masyarakat mau melakukan tindakan-
tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah- masalah), dan
meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan
kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran, sehingga
perilaku tersebut diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap
(langgeng), karena didasari oleh kesadaran.28
Tingkat pendidikan memengaruhi seseorang dalam menerima informasi.
Orang dengan tingkat pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah dalam
menerima informasi daripada orang dengan tingkat pendidikan yang kurang.
Informasi tersebut dijadikan sebagai bekal ibu untuk mengasuh balitanya dalam
kehidupan sehari- hari. Namun tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin
apakah dia mampu atau tidak dalam menyusun makanan yang memenuhi
persyaratan gizi, sedangkan tingkat pengetahuan gizi seseorang terutama
pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh dalam pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan serta gizi anak balitanya.29,30
2.3.6 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melaui indra
pendengaran (telinga), dan indra penglihatan (mata). Pengetauan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.28
Penelitian Munawaroh (2006), di dapatkan bahwa tingkat pengetahuan gizi
ibu baik dengan pola makan balitanya tidak baik 41,5%, dan pola makan balitanya
baik 89,8%, sedangkan pengetahuan gizi ibu kurang baik dengan pola makan
balitanya tidak baik 58,5%, dan pola makan balitanya baik 10,2% (OR=12,5). Pola
makan baik pada kasus 36% dan kontrol 82%, sedangkan pola makan tidak baik
12
pada kasus 64% dan kontrol 18% (OR=8,1). Pengetahuan gizi baik pada kasus 52%
dan pada kontrol 88%, sedangkan pengetahuan kurang baik pada kasus 48% dan
pada kontrol 12% (OR=6,8). Dari hasil penelitian terdapat kesimpulan, ada
hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dan pola makan balita dengan status
gizi balita. 31
13
vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.
Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada sikap dan perilaku
pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu
tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya
kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh
pada pertumbuhan tubuh dan otak anak. 33
14
1) Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan
didampingi oleh pemberian MP-ASI.
2) Menyediakan obat cacing.
3) Menyediakan suplementasi zink.
4) Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan.
5) Memberikan perlindungan terhadap malaria.
6) Memberikan imunisasi lengkap.
7) Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
Intervensi Gizi Sensitif Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi
Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan
tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari PertamaKehidupan (HPK).
a. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih.
b. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi.
c. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan.
d. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB).
e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
g. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.
h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal.
i. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
j. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi
pada Remaja.
k. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
l. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.
15