Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stunting
2.1.1 Definisi Stunting
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi
Anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada
indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur
panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya
berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang
berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan
standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005,
nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-
scorenya kurang dari -3SD. 6
Stunting (pendek) atau kurang gizi kronik merupakan suatu bentuk lain dari
kegagalan pertumbuhan. Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi
sejak lama, bukan seperti kurang gizi akut. Anak yang mengalami stunting sering
terlihat memiliki badan normal yang proporsional, namun sebenarnya tinggi
badannya lebih pendek dari tinggi badan normal yang dimiliki anak seusianya.
Stunting terjadi karena dampak kekurangan gizi kronis terutama selama 1.000 hari
pertama kehidupan anak, disebabkan oleh asupan zat-zat gizi yang tidak cukup atau
penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-duanya. Stunting dapat juga terjadi
sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi yang sangat kurang saat masa
kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang, rendahnya kualitas makanan
sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat menghambat pertumbuhan.7

2.1.2 Epidemiologi Stunting


Pada tahun 2017, sebanyak 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun

4
2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan
lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di
Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling
sedikit di Asia Tengah (0,9%).3
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health
Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan
prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR).
Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
Prevalensi balita stunting Di Kalimantan Selatan, berdasarkan hasil Pemantauan
Status Gizi (PSG) tahun 2017 mencapai 34,2%, dengan uraian seperti berikut Kota
Banjarbaru (29,1%), Kota Banjarmasin (31,5%), Tapin (45,7%), Kota Baru
(46,7%). Sedangkan berdasarkan pemantauan status gizi (PSG) balita Puskesmas
Rawat Inap Cempaka tahun 2018, angka stunting berdasarkan TB/U pada balita
(umur 0-59 bulan) di cankupan wilayah kerja Puskesmas Cempaka Banjarbaru
tahun 2018 mencapai 40%.4,5

2.1.3 Patofisiologi Stunting


Masalah gizi merupakan masalah multidimensi, dipengaruhi oleh berbagai
faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah gizi
pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah, atau masyarakat bahkan
keluarga karena anak tidak tampak sakit. Terjadinya kurang gizi tidak selalu
didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti kurang gizi
pada dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi pangan melimpah masih mungkin terjadi
kasus kurang gizi pada anak balita. Kurang gizi pada anak balita bulan sering
disebut sebagai kelaparan tersembunyi atau hidden hunger.8
Stunting merupakan reterdasi pertumbuhan linier dengan deficit dalam
panjang atau tinggi badan sebesar -2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan
pertumbuhan World Health Organization/National Center for Health Statistics
(WHO/NCHS). Stunting disebabkan oleh kumulasi episode stress yang sudah
berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang
kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh). 8

5
Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut
dalam setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang
mengalami kekurangan energy kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang
(stunting) dan berlanjut ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya.
Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan masa emas tumbuh
kembangnya dari tanpa penanggulangan yang memadai kelompok ini dikuatirkan
lost generation. Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu diwaspadai dengan
seksama, selain dampak terhadap tumbuh kembang anak kejadian ini biasanya tidak
berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi mikro.8

2.1.4 Dampak Stunting


Berdasarakan laporan UNICEF tahun 1998, beberapa fakta terkait stunting dan
pengaruhnya adalah sebagai berikut : 9
a. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam
bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun.
Stunting yang parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka panjang dalam
perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara
optimal di sekolah dibandingkan, dibandingkan anak-anak dengan tinggi
badan normal. Anak-anak dengan stunting cenderung lebih lama masuk
sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan
status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak
dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.

b. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak.


Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat menganggu pertumbuhan dan
perkembangan inteletual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir
rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare
berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar
anak-anak dengan stunting mengonsumsi makanan yang berbeda di bawah
ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga banyak, bertempat
tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas pedesaan.

6
c. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat menganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunting pada
usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup, kegagalan pertumbuhan
anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan kemudian tumbuh menjadi
wanita dewasa yang stunting dan mempngaruhi secara langsung pada
kesehatan dan prduktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak
BBLR. Stunting terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih
cenderung menghambat dalm proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar
meninggal saat melahirkan.

Akibat lainnya kekurangan gizi/stunting terhadap perkembangan sangat


merugikan performance anak. Jika kondisi buruk terjadi pada masa golden period
perkembangan otak (0-3 tahun) maka tidak dapat berkembang dan kondisi ini sulit
untuk dapat pulih kembali. Hal ini disebabkan karena 80-90% jumlah sel otak
terbentuk semenjak masa dalam kandungan sampai usia 2 (dua) tahun. Apabila
gangguan tersebut terus berlangsung maka akan terjadi penurunan skor tes IQ
sebesar 10-13 point. Penurunan perkembangan kognitif, gangguan pemusatan
perhatian dan manghambat prestasi belajar serta produktifitas menurun sebesar 20-
30%, yang akan mengakibatkan terjadinya loss generation, artinya anak-anak
tersebut hidup tetapi tidak bisa berbuat banyak baik dalam bidang pendidikan,
ekonomi dan lainnya. Generasi demikian hanya akan menjadi beban masyarakat
dan pemerintah, karena terbukti keluarga dan pemerintah harus mengeluarkan biaya
kesehatan yang tinggi akibat warganya mudah sakit. 10

2.2 Penilaian Status Gizi secara Antropometri


Pengukuran antropometri berdasarkan tinggi badan menurut umur berguna
untuk mengukur status nutrisi pada populasi, karena pengukuran pertumbuhan
tulang ini mencerminkan dampak kumulatif yang mempengaruhi status nutrisi yang
menyebabkan terjadinya stunting dan juga mengacu sebagai malnutrisi kronis. Cara
pengukuran antropometri pada anak dengan menggunakan grafik standar panjang /
tinggi badan menurut umur menurut WHO. Di Indonesia juga menggunakan baku
standar antropometri untuk menuntukan status antropometri anak, yang dapat

7
dilihat pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Standar ini mengacu
pada Standar World Health Organization tahun 2005. Penilaian menggunakan Z-
score sebagai cut-off point untuk menentukan status antropometri anak yang
disusun dalam tabel dibawah ini : 6
Ambang Batas (Z-score) Kategori
< -3 SD Sangat Pendek
-3 SD sampai dengan < -2 SD Pendek
-2 SD sampai dengan 2 SD Normal
> 2 SD Tinggi

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Balita


2.3.1 Berat Badan Lahir
Berat badan lahir adalah berat badan yang diukur pada satu jam pertama
setelah bayi dilahirkan. Berat badan lahir merupakan salah satu indikator dalam
tumbuh kembang anak hingga masa dewasanya dan menggambarkan status gizi
yang diperoleh janin selama dalam kandungan. Pada negara berkembang, berat bayi
lahir rendah (BBLR) masih menjadi salah satu permasalahan defisiensi zat gizi.
Bayi BBLR ialah bayi yang dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2.500 gram,
tanpa memandang masa gestasi. Berdasarkan klasifikasi masa kehamilan maka bayi
BBLR dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu BBLR prematur, bayi kecil untuk
masa kehamilan (KMK), dan Kombinasi prematur dan bayi kecil masa kehamilan.
Dampak lanjutan dari BBLR dapat berupa gagal tumbuh, stunting dan risiko
terjadinya malnutrisi.11

2.3.2 Pemberian ASI Eksklusif


Asupan makanan yang tepat bagi bayi dan anak usia dini (0-24 bulan) adalah
Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif. ASI Eksklusif yaitu pemberian ASI saja segera
setelah lahir sampai usia 6 bulan yang diberikan sesering mungkin. Pemberian ASI
Eksklusif selama 6 bulan pertama dapat menghasilkan pertumbuhan tinggi badan
yang optimal.10

8
Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) harus diberikan kepada
anak sejak usia 6 bulan karena dengan ASI saja (jumlah dan komposisi ASI mulai
berkurang) tidak mampu mencukupi kebutuhan anak. Pada anak umur 1-2 tahun,
ASI hanya berfungsi sebagai pendamping makanan utama. Namun, ASI tidak harus
digantikan oleh makanan utama. Pemberian ASI dan MP-ASI yang terlalu dini juga
berhubungan dengan kejadian stunting pada anak.12
Rendahnya pemberian ASI merupakan ancaman bagi tumbuh kembang
anak yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan kualitas sumber
daya manusia secara umum. Masalah gizi kurang juga berkaitan dengan faktor
umur dan jenis kelamin. Umur anak 6 bulan merupakan titik awal timbulnya
masalah gizi kurang, hal ini disebabkan karena pada usia enam bulan kandungan
zat gizi ASI sudah mulai berkurang, sedangkan pemberian MP-ASI tidak
mencukupi. Pertumbuhan setelah usia 6 bulan lebih dipengaruhi oleh pola asuh
makan ibu yang baik dalam pemberian ASI Eksklusif, MP-ASI maupun perawatan
kesehatan.13
Penelitian Arifin (2012), hasil uji statistik di peroleh p value=0,0001, di
simpulkan terdapat hubungan antara pemberian ASI dengan kejadian stunting.
Sedangkan hasil analisis di peroleh nilai OR=3,7 (CI 95% ; 1,740-7,940), artinya
bahwa balita dengan ASI tidak eksklusif mempunyai risiko 3,7 kali lebih besar
terkena stunting dibandingkan balita dengan ASI Eksklusif.14

2.3.3 Status Ekonomi


Status adalah keadaan atau kedudukan (orang, badan) dalam berhubungan
dengan masyarakat di sekelililingnya. Ekonomi adalah urusan keuangan rumah
tangga (organisasi, negara) di masyarakat. Istilah ekonomi biasanya berhubungan
dengan permasalahan kaya dan miskin. Status ekonomi adalah kedudukan
seseorang atau keluarga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan. Status
ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan harga barang
pokok.15,16
Salah satu faktor yang memengaruhi kurang gizi pada balita adalah tingkat
pendapatan atau sosial ekonomi keluarga. Data dari WHO (2005-2012), prevalensi
stunting antara laki-laki dan perempuan lebih tinggi di negara miskin daripada

9
negara berkembang. Di negara miskin, prevalensi pada jenis kelamin perempuan
sebesar 30,0% dan di negara berkembang sebesar 21,1%. Prevalensi pada jenis
kelamin laki-laki di negara miskin sebesar 41,7% dan di negara berkembang
sebesar 24,1%. Tahun 2009 UNICEF melaporkan, terdapat sekitar 195 juta anak
yang hidup di negara miskin dan berkembang mengalami stunting. Standar hidup
yang layak dihitung dari pendapatan per kapita (tingkat ekonomi). Pendapatan
keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas
makanan. Tingkat pendapatan akan menunjukkan jenis pangan yang akan dibeli.
Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena orang dengan
pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan yang
cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan
sehat Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih berisiko mengalami
stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang rendah, meningkatkan risiko
terjadinya malnutrisi.17,18,19
Kemiskinan ditentukan berdasarkan ketidakmampuan untuk mencukupi
kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan
pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok
minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai
kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah garis
kemiskinan. Tahun 2017 garis kemiskinan Kota Banjarbaru adalah Rp 539.608,-
sedangkan jumlah penduduk miskin sebanyak 11.540 orang atau 4.68%. Upah
minimum Kota Banjarbaru untuk tahun 2017 adalah Rp 2.258.000,-.20,21
Penelitian yang dilakukan oleh Lubis RA tahun 2017 di SD Negeri no.
060929 Kecamatan Medan Johor menyatakan bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting dan risiko
terjadinya stunting pada siswa yang pendapatan keluarga rendah 3,059 kali lebih
besar dibandingkan siswa yang pendapatan keluarga tinggi. Hasil Riskesdas tahun
2015 menyatakan prevalensi stunting pada balita akan naik 0,19% dengan sifat
hubungan positif pada penduduk dengan status ekonomi terendah. Sedangkan pada
kelompok penduduk dengan status ekonomi teratas prevalensi balita stunting akan
lebih rendah 0,26 persen dengan sifat hubungan negatif. Penelitian Arifin (2012),
hasil uji statistik diperoleh p value=0,007, maka dapat disimpulkan terdapat

10
hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting. Hasil analisis
diperoleh nilai OR=2,8 (CI 95% ; 1,315-5,996), artinya bahwa balita dengan
pendapatan keluarga rendah mempunyai risiko 2,8 kali lebih besar mengalami
stunting dibanding balita dengan pendapatan keluarga tinggi.14,22

2.3.4 Jumlah Anggota Keluarga


Anggota keluarga adalah mereka yang hidup dalam satu atap dan menjadi
tanggungan kepala rumah tangga yang bersangkutan. Sehingga jumlah anggota
keluarga adalah banyaknya seluruh anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga
sangat menentukan jumlah kebutuhan keluarga. Semakin banyak anggota keluarga
berarti semakin banyak pula jumlah kebutuhan yang harus dipenuhi.23,24
Rumah tangga miskin cenderung mempunyai jumlah anggota rumah tangga
yang lebih banyak karena rumah tangga miskin cenderung mempunyai tingkat
kelahiran yang tinggi. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga pada rumah tangga
miskin di Indonesia pada tahun 2008 yaitu 4,64 orang di mana tercatat 4,70 orang
di perkotaan dan 4,61 orang di perdesaan. Sedangkan rata-rata jumlah anggota
rumah tangga tidak miskin pada tahun yang sama sebesar 3,79 orang, di mana
tercatat 3,86 orang di perkotaan dan 3,74 orang di perdesaan. Indikasi ini
membuktikan bahwa rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin lebih tinggi
dibandingkan dengan rumah tangga tidak miskin. Jumlah anggota keluarga yang
hidup dalam satu rumah dan menjadi tanggungan kepala rumah tangga
dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu keluarga kecil (jumlah anggota keluarga
≤ 4 orang) dan keluarga besar (jumlah anggota keluarga > 4 orang). Tingkat
kematian anak pada rumah tangga miskin juga relatif tinggi sebagai akibat dari
kurangnya pendapatan dan akses kesehatan serta pemenuhan gizi anak
mereka.24,25,26
Jumlah anggota rumah tangga pada anak stunting cenderung lebih besar
dibandingkan jumlah anggota keluarga anak yang normal. Penelitian yang
dilakukan oleh Wahdah tahun 2015 di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat terdapat
lebih dari separuh (59,4%) subjek penelitian mempunyai mempunyai anggota
keluarga >4 orang sehingga merupakan faktor yang secara signifikan berhubungan
dengan kejadian stunting.19,27

11
2.3.5 Tingkat Pendidikan Orang Tua
Menurut Notoatmodjo (2010) pendidikan adalah upaya persuasi atau
pembelajaran kepada masyarakat, agar masyarakat mau melakukan tindakan-
tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah- masalah), dan
meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan
peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan
kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran, sehingga
perilaku tersebut diharapkan akan berlangsung lama (long lasting) dan menetap
(langgeng), karena didasari oleh kesadaran.28
Tingkat pendidikan memengaruhi seseorang dalam menerima informasi.
Orang dengan tingkat pendidikan yang lebih baik akan lebih mudah dalam
menerima informasi daripada orang dengan tingkat pendidikan yang kurang.
Informasi tersebut dijadikan sebagai bekal ibu untuk mengasuh balitanya dalam
kehidupan sehari- hari. Namun tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin
apakah dia mampu atau tidak dalam menyusun makanan yang memenuhi
persyaratan gizi, sedangkan tingkat pengetahuan gizi seseorang terutama
pengetahuan gizi ibu sangat berpengaruh dalam pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan serta gizi anak balitanya.29,30

2.3.6 Pengetahuan
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melaui indra
pendengaran (telinga), dan indra penglihatan (mata). Pengetauan seseorang
terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda.28
Penelitian Munawaroh (2006), di dapatkan bahwa tingkat pengetahuan gizi
ibu baik dengan pola makan balitanya tidak baik 41,5%, dan pola makan balitanya
baik 89,8%, sedangkan pengetahuan gizi ibu kurang baik dengan pola makan
balitanya tidak baik 58,5%, dan pola makan balitanya baik 10,2% (OR=12,5). Pola
makan baik pada kasus 36% dan kontrol 82%, sedangkan pola makan tidak baik

12
pada kasus 64% dan kontrol 18% (OR=8,1). Pengetahuan gizi baik pada kasus 52%
dan pada kontrol 88%, sedangkan pengetahuan kurang baik pada kasus 48% dan
pada kontrol 12% (OR=6,8). Dari hasil penelitian terdapat kesimpulan, ada
hubungan antara tingkat pengetahuan gizi ibu dan pola makan balita dengan status
gizi balita. 31

2.3.7 Sikap Ibu tentang Status Gizi


Sikap adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun
perasaan tidak mendukung (unfavorable) pada suatu objek. Sikap bersifat dan
berakhir pada nilai yang dianut dan terbentuk kaitannya dengan suatu objek. Sikap
merupakan perasaan positif atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan,
dipelajari dan diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada
respon seseorang terhadap objek, orang dan keadaan.32
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulasi atau objek, manisfestasi sikap tidak dapat langsung dilihat,
tetapi hanya bisa di tafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup, sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus
tertentu dalam kehidupan sehari-hari. 32
Sikap dan tindakan dalam kehidupan sehari-hari mempengaruhi gizi anak,
hal ini dapat dilihat dari konsumsi makanan yang diberikan kepada anak. Sikap ibu
disini maksudnya persepsi masyarakat terhadap penanganan gizi buruk yang
nantinya akan megakibatkan stunting pada anak, serta pandangan masyarakat
terhadap manfaat dan pelayanan yang diberikan posyandu maupun puskesmas.
Salah satu penyebab terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah masih rendahnya
sikap ibu sebagai orang tua dalam merawat yang sangat dominan dalam keluarga.
32

Stunting merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan


tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak
lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam
berpikir. Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam
kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran).
Penyebabnya karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan

13
vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.
Faktor ibu dan pola asuh yang kurang baik terutama pada sikap dan perilaku
pemberian makan kepada anak juga menjadi penyebab anak stunting apabila ibu
tidak memberikan asupan gizi yang cukup dan baik. Ibu yang masa remajanya
kurang nutrisi, bahkan di masa kehamilan, dan laktasi akan sangat berpengaruh
pada pertumbuhan tubuh dan otak anak. 33

2.4 Penanganan Stunting


Penangan stunting dilakukan melalui Intervensi Spesifik dan Intervensi
Sensitif pada sasaran 1.000 hari pertama kehidupan seorang anak sampai berusia 6
tahun. Intervensi Gizi Spesifik Intervensi yang ditujukan kepada ibu hamil dan anak
dalam 1.000 hari pertama kehidupan Kegiatan ini umumnya dilakukan oleh sektor
kesehatan Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalam
waktu relatif pendek Intervensi Gizi Sensitif Intervensi yang ditujukan melalui
berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan Sasarannya adalah
masyarakat umum, tidak khusus untuk sasaran 1.000 Hari Pertama Kehidupan.34
Intervensi Gizi Spesifik Ini merupakan intervensi yang ditujukan kepada
anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30%
penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan
pada sektor kesehatan.
a. Intervensi dengan sasaran Ibu Hamil:
1) Memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis.
2) Mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat.
3) Mengatasi kekurangan iodium.
4) Menanggulangi kecacingan pada ibu hamil.
5) Melindungi ibu hamil dari Malaria.
b. Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 Bulan:
1) Mendorong inisiasi menyusui dini (pemberian ASI
jolong/colostrum).
2) Mendorong pemberian ASI Eksklusif.
c. Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan Anak Usia 7-23 bulan:

14
1) Mendorong penerusan pemberian ASI hingga usia 23 bulan
didampingi oleh pemberian MP-ASI.
2) Menyediakan obat cacing.
3) Menyediakan suplementasi zink.
4) Melakukan fortifikasi zat besi ke dalam makanan.
5) Memberikan perlindungan terhadap malaria.
6) Memberikan imunisasi lengkap.
7) Melakukan pencegahan dan pengobatan diare.
Intervensi Gizi Sensitif Idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan
pembangunan diluar sektor kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi
Stunting. Sasaran dari intervensi gizi spesifik adalah masyarakat secara umum dan
tidak khusus ibu hamil dan balita pada 1.000 Hari PertamaKehidupan (HPK).
a. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Air Bersih.
b. Menyediakan dan Memastikan Akses pada Sanitasi.
c. Melakukan Fortifikasi Bahan Pangan.
d. Menyediakan Akses kepada Layanan Kesehatan dan Keluarga
Berencana (KB).
e. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
f. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
g. Memberikan Pendidikan Pengasuhan pada Orang tua.
h. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini Universal.
i. Memberikan Pendidikan Gizi Masyarakat.
j. Memberikan Edukasi Kesehatan Seksual dan Reproduksi, serta Gizi
pada Remaja.
k. Menyediakan Bantuan dan Jaminan Sosial bagi Keluarga Miskin.
l. Meningkatkan Ketahanan Pangan dan Gizi.

15

Anda mungkin juga menyukai