TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
Stunting atau pendek merupakan salah satu indikator untuk mengukur status gizi
kronik yang menghambat pertumbuhan dan disebabkan oleh malnutrisi jangka panjang.
Batasan stunting menurut WHO yaitu tinggi badan menurut umur berdasarkan Z-score
sama dengan atau kurang dari -2 SD di bawah rata-rata standar. Berdasarkan Keputusan
berdasarkan usianya. Indeks ini dapat mengidentifikasi anak-anak yang pendek atau
sangat pendek karena kekurangan gizi atau sering sakit. Nilai Z untuk kategori pendek
adalah -3 SD sampai <-2 SD, dan kategori sangat pendek <-3 SD. (KEMENKES, 2020)
Balita pendek (stunting) adalah status gizi yang didasarkan pada PB/U atau TB/U
dimana dalam standar antropomettri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut
berada pada ambang batas (Z-score) <-2 SD sampai -3 SD (pendek/stunted) dan <-3
SD (sangat pendek/ severely stunted) (R. Kemenkes, 2016). Stunting adalah masalah
kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi kurang dalam waktu cukup lama
akibat pemberian makanan yang tidak sesuaidengan kebutuhan gizi, stunting dapat terjadi
mulai masih janin dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun
(Sandjojo, 2017).
Stunting yang telah terjadi bila tidak diimbangi dengan catch-up growth (tumbuh
kematian, dan hambatan pada pertumbuhan baik motoric maupun mental. Stunting
dibentuk oleh growth faltering dan catch-up growth yang tidak memadai yang
mengungkapkan bahwa kelompok balita yang lahir dengan berat badan normal dapat
(Kusharisupeni, 2008)
tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat
pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah
stunting (pendek) dan severely stunting (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat
diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu
dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek
adalah 16 balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut
Reference Study) tahun 2005, nilai zscorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan
sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD. Tinggi badan dalam keadaan
normal akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur. Pertumbuhan tinggi badan
tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam
waktu yang pendek. Pengaruh kekurangan zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak
dalam waktu yang relatif lama sehingga indeks ini dapat digunakan untuk
menggambarkan status gizi pada masa lalu. (Supariasa, 2001) Status gizi pada balita
dapat dilihat memalui klasifikasi status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U dapat
Tabel 1. Klasifikasi Status Gizi berdasarkan PB/U atau TB/U Anak Umur 0-60 Bulan
(PB/U,TB/U)
Normal -2 SD sampai 2 SD
Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh
faktor gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling
menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Secara lebih detil, beberapa
faktor yang menjadi penyebab stunting dapat digambarkan sebagai berikut2 : (TNP2K,
2017)
mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah
ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa
60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara
ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping
berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis makanan baru
pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang
tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh dan
(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan
Posyandu semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak
belum mendapat akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2
dari 3 ibu hamil belum mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta
dari 3 anak usia 3-6 tahun belum terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak
Usia Dini).
komoditas makanan di Jakarta 94% lebih mahal dibanding dengan di New Delhi,
India. Harga buah dan sayuran di Indonesia lebih mahal daripada di Singapura.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar
(BAB) diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air
minum bersih
Penilaian status gizi balita paling sering dilakuakn dengan cara penilaian
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat
energi (Siagian, 2010). Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan adalah
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) yang dinyatakan denganstandar deviasi unit z (Z score)
berbagai faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah
gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah, atau masyarakat bahkan
keluarga karena anak tidak tampak sakit. Terjadinya kurang gizi tidak selalu didahului
oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti kurang gizi pada dewasa.
Hal ini berarti dalam kondisi pangan melimpah masih mungkin terjadi kasus kurang gizi
pada anak balita. Kurang gizi pada anak balita bulan sering disebut sebagai kelaparan
anak mungkin disebabkan oleh fakta bahwa mereka belum terpapar pada 1.000 hari
pertama kehidupan, sehingga perhatian khusus harus diberikan karena hal tersebut
Keterlambatan perkembangan juga bisa disebabkan karena belum melewati masa emas
yang dimulai dari 1000 hari pertama kehidupan, sedangkan golden period adalah proses
tumbuh kembang anak dalam 1000 hari pertama. Selama ini, nutrisi bayi dalam
kandungan dan ASI akan berdampak jangka panjang bagi kehidupan orang dewasa. Hal
ini mungkin berlebihan untuk menghindari keterlambatan perkembangan dan status gizi
yang buruk pada anak . Menurut beberapa penelitian, terjadinya stunting pada anak
merupakan proses kumulatif yang terjadi selama masa kehamilan, masa 38 kanak-kanak
dan seluruh siklus hidup. Proses keterlambatan perkembangan anak dan kemungkinan
2019)
2.3 Faktor – Faktor Penyebab Stunting
agricultural dan sisitem pangan, kondisi air (sanitasi), dan lingkgan. Kondisi
kehamilan, dan laktasi. Selain itu juga dipengaruhi perawakan ibu yang pendek,
infeksi, kehamilan muda, kesehatan jiwa, IUGR dan persalinan premature, jarak
persalinan yang dekat, dan hipertensi. Lingkungan rumah, dapat dikarenakan oleh
stimulasi dan aktivitas yang tidak adekuat, penerapan asuhan yang buruk,
foods. Praktik pemberian makan yang tidak memadai, meliputi pemberian makan
yang jarang, pemberian makan yang tidak adekuat selama dan setelah sakit,
konsistensi pangan yang terlalu ringan, kuantitas pangan yang tidak mencukupi,
Bukti keragaman diet yang lebih bervariasi dan konsumsi makanan dari
diet yang diperkaya nutrisi pelengkap, akan meningkatkan asupan gizi dan
menerapkan ASI eksklusif, dan penghentian dini konsumsi ASI (Antonio and
(delayed initation) akan meningkatkan kematian bayi (Smith et al., 2017). ASI
maupun minuman lain, baik berupa airputih, jus, atau susu selain ASI. Pemberian
ASI eksklusif selama enam bulan pertama untuk mencapai tumbuh kembang
Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan jangka
panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir dengan kejadian stunting pada
balita di Kelurahan Kalibaru. (Paramitha, 2012) Bayi yang lahir dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi
dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada pertumbuhan dan
itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi hipotermi. Banyak penelitian yang telah
meneliti tentang hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting diantaranya yaitu
penelitian yang dilakukan di Yogyakarta menyatakan hal yang sama bahwa ada
hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting. (Sartono, 2013) Selain itu,
Jenis kelamin menentukan pula besar kecilnya kebutuhan gizi untuk seseorang.
Pria lebih banyak membutuhkan zat tenaga dan protein dibandingkan wanita. Pria lebih
sanggup mengerjakan pekerjaan berat yang tidak biasa dilakukan wanita. Selama masa
bayi dan anak-anak, anak perempuan cenderung lebih rendah kemungkinannya menjadi
stunting dan severe stunting daripada anak laki-laki, selain itu bayi perempuan dapat
bertahan hidup dalam jumlah lebih besar daripada bayi laki-laki dikebanyakan Negara
Stunting pada masa balita akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya
yang sulit diperbaiki. Pertumbuhan fisik berhubungan dengan genetik dan faktor
lingkungan. Faktor genetik meliputi tinggi badan orang tua dan jenis kelamin. Tinggi
badan ayah dan ibu yang pendek merupakan risiko terjadinya stunting. Kejadian
stunting pada balita usia 6-12 bulan dan usia 3-4 tahun secara signifikan berhubungan
dengan tinggi badan ayah dan ibu. Hasil penelitian Rahayu ada hubungan antara tinggi
badan ayah dan ibu terhadap kejadian stunting pada balita. (Arifin, 2012) Jesmin et al
mengemukakan bahwa tinggi badan ibu merupakan faktor yang berpengaruh langsung
terhadap anak yang stunting. Penelitian Candra, dkk juga mengemukakan bahwa
tingga badan ayah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stunting pada anak
usia 1-2 tahun. Anak yang memiliki tinggi badan ayah < 162 cm memiliki
keluarga adalah jumlah uang yang dihasilkan dan jumlah uang yang akan dikeluarkan
untuk membiayai keperluan rumah tangga selama satu bulan. Pendapat keluarga yang
menjadi dampak jangka pendek dan dampak jangka panjang (Antonio and Weise,
2012).
bahasa.
unachieved potencial
Sensitif pada sasaran 1000 hari pertama kehidupan seorang anak sampai berusia 6
tahun (Sandjojo, 2017).
stunting seperti asupan makanan, infeksi,status gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan
dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan
stunting. Kerangka keguatan intervensi gizi spesifik umunya dilakukan pada sektor
kesehatan. Intervensi spesifik bersifat jangka pendek, hasilnya dapat dicatat dalamwaktu
2. Intervensi dengan sasaran Ibu Menyusui dan anak usia 0-6 bulan:
colostrum)
Merupakan ASI yang keluar dari hari pertama sampa hari ke empat
tambahan lain pada bayi berumur nol smapi enam bulan (Rahmawati, 2010)
3. Intervensi dengan sasaran Ibu menyusui dan Anak usia 7-23 bulan :
kangkung, bayam, seledri, daun bawang, kacang hijau, tahu, tempe, kacang
bulan yang diukur dengan telentang. Bila anak umur 0 sampai 24 bulan diukur
dengan berdiri, maka hasil pengukurannya dikoreksi dengan mengurangkan 0,7 cm.
Pengukuran tinggi badan (TB) digunakan untuk anak umur di atas 24 bulan yang
diukur berdiri. Bila anak umur diatas 24 bulan diukur telentang, maka hasil
(2010) kategori dan ambang batas status gizi anak sebagai berikut :
Standar panjang badan atau tinggi badan menurut umur (Kemenkes, 2010)
Tabel 2.7 Standar tinggi badan laiki-laki menurut umur 0-24 bulan
Tabel 2.8 Standar tinggi badan laki-laki menurut umur 24-60 bulan
Tabel 2.9 Standar tinggi badan perempuan menurut umur 0-24 bulan
perencanaan kegiatan dan evaluasi kinerja serta intervensi apa yang akan
melaporkan data gizi baik data sasaran tiap individu, status gizi melalui
modul e-PPGBM, data PMT yang bersumber dari APBN maupun dari
PMT dan juga cakupan kinerja secara agregat sebagai laporan rutin melalui
status gizi individu dan kinerja program gizi secara cepat, akurat, teratur dan
- modul
Berbasis Masyarakat)
3. Mengetahui secara cepat balita gizi buruk yang harus dirujuk atau
dilakukan tindakan;
yaitu:
Administrator 1. e-PPGBM
2. Konsumsi PMT
3. Distribusi PMT
5. Manajemen Data
7. Data Provinsi
8. Data Kabupaten
9. Data Kecamatan
3. Distribusi PMT
5. Manajemen Data
7. Data Kabupaten
8. Data Kecamatan
9. Data Desa/Kelurahan
2. Konsumsi PMT
3. Distribusi PMT
5. Manajemen Data
7. Data Kecamatan
8. Data Desa/Kelurahan
2. Konsumsi PMT
3. Distribusi PMT
6. Data Desa/Kelurahan
2.8 Keaslian Penelitian
Stunting
Pemberian PMT Bumil
KEK
C. HIPOTESIS
Ada hubungan intervensi gizi spesifik dengan kejadian stunting melalui aplikasi
sigizi terpadu