Anda di halaman 1dari 5

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stunting
1. Definisi
Stunting/pendek merupakan kondisi kronis yang menggambarkan
terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi dalam jangka waktu yang lama.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang
Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat
pendek adalah status gizi yang didasarkan pada Indeks Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan istilah stunted
(pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek adalah balita dengan
status gizi berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umur bila dibandingkan
dengan standar baku WHO, nilai Z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan
sangat pendek jika nilai Z-scorenya kurang dari -3SD (Kemenkes,RI 2016).
Stunting pada anak merupakan indikator utama dalam menilai kualitas modal
sumber daya manusia di masa mendatang. Gangguan pertumbuhan yang diderita
anak pada awal kehidupan, dapat menyebabkan kerusakan yang permanen (Anisa,
2012).

2. Etiologi
Masalah balita pendek menggambarkan masalah gizi kronis, dipengaruhi dari
kondisi ibu/calon ibu, masa janin dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang
diderita selama masa balita. Dalam kandungan, janin akan tumbuh dan berkembang
melalui pertambahan berat dan panjang badan, perkembangan otak serta organ-organ
lainnya. Kekurangan gizi yang terjadi dalam kandungan dan awal kehidupan
menyebabkan janin melakukan reaksi penyesuaian. Secara paralel penyesuaian
tersebut meliputi perlambatan pertumbuhan dengan pengurangan jumlah dan
pengembangan sel-sel tubuh termasuk sel otak dan organ tubuh lainnya. Hasil reaksi
penyesuaian akibat kekurangan gizi di ekspresikan pada usia dewasa dalam bentuk
tubuh yang pendek (Menko Kesra, 2013).

3. Diagnosis dan Klasifikasi


Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur
panjang dan tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar dan hasilnya berada
di bawah normal. Secara fisik balita akan lebih pendek dibandingkan balita
seumurnya (Kemenkes,RI 2016).
Kependekan mengacu pada anak yang memiliki indeks TB/U rendah. Pendek
dapat mencerminkan baik variasi normal dalam pertumbuhan ataupun defisit dalam
pertumbuhan. Stunting adalah pertumbuhan linear yang gagal mencapai potensi
genetik sebagai hasil dari kesehatan atau kondisi gizi yang suboptimal (Anisa, 2012).
Berikut klasifikasi status gizi stunting berdasarkan tinggi badan/panjang badan
menurut umur ditunjukkan dalam tabel 2.1.
Tabel 2.1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks (PB/U)/(TB/U)
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Panjang Badan menurut Sangat Pendek <-3SD
Umur (PB/U) atau
Pendek -3SD sampai dengan <-2SD
Tinggi Badan menurut
Umur Normal -2SD sampai dengan 2SD
(TB/U)
*Anak Umur 0-60 Bulan Tinggi >2SD
Sumber: Standar Antropometri Penilaiaan Status Gizi Anak (Kemenkes RI, 2011)

4. Faktor- faktor yang mempengaruhi kejadian stunting


WHO (2013) membagi penyebab terjadinya stunting pada anak menjadi 4
kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan dan
komplementer yang tidak adekuat, menyusui dan infeksi.
a. Faktor keluarga dan rumah tangga
Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan
faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat
prekonsepsi, kehamilan dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi,
kehamilan pada usia remaja, kesehatan mental, Intrauterine Growth Retardation
(IUGR) dan kelahiran preterm, jarak kelahiran yang pendek dan hipertensi.
Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat,
perawatan yang kurang, sanitasi dan pasokan air yang tidak adekuat, akses dan
ketersediaan pangan yang kurang, alokasi dalam rumah tangga yang tidak sesuai
dan edukasi pengasuh yang rendah.
b. Faktor makanan komplementer yang tidak adekuat
Faktor penyebab stunting yang kedua adalah makanan komplementer
yang tidak adekuat , dan dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah,
cara pemberian yang tidak adekuat dan keamanan makanan dan minuman.
Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah,
keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang
rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi dan makanan komplementer
yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa
frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak
adekuat ketika sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus dan
pemberian makanan yang rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan
minuman dapat berupa makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan
yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman. Penelitian
Meilyasari (2013) menyatakan bahwa pemberian MP-ASI terlalu dini
meningkatkan resiko penyakit infeksi seperti diare, karena MP-ASI yang
diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Pemberian MP-ASI yang
terlalu dini, Faktor penyebab stunting yang kedua adalah makanan komplementer
yang tidak adekuat , dan dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah,
cara pemberian yang tidak adekuat dan keamanan makanan dan minuman.
Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang
rendah, keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani
yang rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi dan makanan
komplementer yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak
adekuat berupa frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan
yang tidak adekuat ketika sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang
terlalu halus dan pemberian makanan yang rendah dalam kuantitas. Keamanan
makanan dan minuman dapat berupa makanan dan minuman yang
terkontaminasi, kebersihan yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan
yang tidak aman. Penelitian Meilyasari (2013) menyatakan bahwa pemberian
MP-ASI terlalu dini meningkatkan resiko penyakit infeksi seperti diare, karena
MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Pemberian
MP-ASI yang terlalu dini,
c. Faktor Menyusui (ASI eksklusif)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI eksklusif
adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan sampai enam bulan,
tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain
(kecuali obat, vitamin dan mineral). Air Susu Ibu adalah makanan terbaik dan
alamiah untuk bayi. ASI adalah cairan ajaib yang diciptakan Tuhan khusus untuk
bayi. Pemberian ASI adalah pemenuhan hak bagi ibu dan anak. ASI tidak dapat
tergantikan dengan makanan dan minuman yang lain. ASI mengandung unsur-
unsur gizi yang sangat berperan dalam pemenuhan nutrisi bayi. Sampai usia 6
bulan, bayi direkomendasikan hanya mengkonsumsi ASI secara eksklusif.
d. Faktor Infeksi
Faktor keempat adalah infeksi klinis dan sub klinis, seperti infeksi pada
usus, antara lain diare, enviromental enteropathy, infeksi cacing, infeksi
pernafasan (ISPA) dan malaria menjadikan nafsu makan yang kurang akibat
infeksi dan inflamasi. Infeksi bisa berhubungan dengan gangguan gizi melalui
beberapa cara, yaitu mempengaruhi nafsu makan, menyebabkan kehilangan
bahan makanan karena muntah – muntah/diare, dan mempengaruhi metabolisme
makanan. Gizi buruk atau infeksi menghambat reaksi imunologis yang normal
dengan menghabiskan sumber energi di tubuh. Adapun penyebab utama gizi
buruk yakni penyakit infeksi pada anak seperti ISPA, diare, campak, dan
rendahnya asupan gizi akibat kurangnya ketersedian pangan di tingkat rumah
tangga atau karena pola asuh yang salah (Putra, 2015).
Penelitian di Bengkulu menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
pemberian ASI eksklusif dengan kejadian stunting pada anak umur 2-3 tahun.
Kejadian stunting pada anak umur 2-3 tahun mungkin disebabkan beberapa faktor
yaitu status asupan energi, protein dan zat gizi mikro serta kondisi penyakit
infeksi (Irfan, 2008).

5. Dampak Stunting
Stunting mengakibatkan otak seorang anak kurang berkembang. Ini berarti 1
dari 3 anak Indonesia akan kehilangan peluang lebih baik dalam hal pendidikan dan
pekerjaan dalam sisa hidup mereka. Stunting bukan semata pada ukuran fisik pendek,
tetapi lebih pada konsep bahwa proses terjadinya stunting bersamaan dengan proses
terjadinya hambatan pertumbuhan dan perkembangan organ lainnya, termasuk otak
(Achadi, 2016).
Dampak buruk dari stunting dalam jangka pendek bisa menyebabkan
terganggunya otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan
metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat
ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar,
menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, risiko tinggi munculnya
penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke
dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat
pada rendahnya produktifitas ekonomi (Kemenkes RI, 2016).

6. Upaya Pencegahan Stunting


Intervensi gizi saja belum cukup untuk mengatasi stunting, diperlukan
intervensi dari berbagai sektor, antara lain :
a. Pencegahan stunting dengan sasaran ibu hamil
1) Memperbaiki gizi dan kesehatan ibu hamil merupakan cara terbaik dalam
mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga
apabila mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), perlu diberikan makanan
tambahan bagi ibu hamil tersebut.
2) Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah (TTD), minimal 90
tablet selama kehamilan.
3) Kesehatan ibu harus selalu dijaga agar tidak sakit.
b. Pencegahan stunting pada saat bayi lahir
1) Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan segera melakukan IMD
setelah bayi lahir
2) Bayi sampai dengan usia 6 bulan diberi ASI secara eksklusif.
c. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
1) Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI (MP-
ASI) dan ASI tetap dilanjutkan sampai bayi berumur 2 tahun.
2) Bayi dan anak memperoleh kapsul Vitamin A dan imunisasi dasar lengkap
d. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat
strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan.
e. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus diupayakan oleh setiap rumah
tangga termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas santasi serta
menjaga kebersihan lingkungan. PHBS menurunkan kejadian sakit terutama
penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk perumbuhan teralihkan
kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, zat gizi sulit diserap oleh tubuh
dan terhambatnya pertumbuhan (Kemenkes RI, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Achadi, E.L. 2016. Investasi Gizi 1000 HPK dan Produktivitas Generasi Indonesia.
Disampaikan pada: Lokakarya dan Seminar Ilmiah “Peran Profesi Dalam Upaya
Peningkatan Status Kesehatan dan Gizi Pada Periode 1000 HPK” 12-13 November
2016. Jakarta.

Anisa P. 2012 Faktor -Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting Pada Balita Usia
25 - 60 Bulan di Kelurahan Kalibaru Depok Jakarta: Universitas Indonesia

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2016. Riset Kesehatan Dasar 2010.


Kementerian Kesehatan RI, Jakarta

Kemenkes RI. 2011. Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.

Meilyasari, F & Isnawati, M. 2014. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Balita Usia 12
bulan di Desa Purwokerto. Journal of Nutrition College, Volume 3, Nomor 2, Tahun
2014, Halaman 16-25 Diakses dari : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnc

Menko Kesra. 2013. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
Dalam Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK).

Putra, O. 2015. Pengaruh BBLR Terhadap Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-60 Bulan
di Wilayah Kerja Puskesmas Pauh Pada Tahun 2015. Skripsi. Universitas Andalas.

Irfan, S. 2008. Hubungan antara Pemberian ASI eksklusif dengan Kejadian Stunting pada
anak umur 2-3 tahun di Kabupaten Seluma Propinsi Bengkulu tahun 2008.Tesis.
Universitas Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai