Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Keadaan gizi kurang dapat ditemukan pada setiap kelompok masyrakat.


Pada hakekatnya keadaan gizi kurang dapat dilihat sebagau suatu proses kurang
asupan makanan ketika kebutuhan normal terhadap satu atau beberapa zat gizi tidak
terpenuhi atau zat-zat gizi tersebut hilang dengan jumlah yang lebih besar daripada
yang diperoleh.

Stungting merupakan keadaan tubuh yang pendek dan sangat pendek hingga
melampaui deficit -2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan. Stunting dapat
di diagnose melalui indeks antropometri tinggi badan menurut umur dan
mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan
dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak
memadai atau kesehatan.

Retardasi pertumbuhan atau stunting pada anak-anak di negara berkembang


terjadi terutama sebagai akibat dari kekurangan gizi kronis dan penyakit infeksi
yang mempengaruhi 30 persen dari anak-anak usia di bawah lima tahun.

Menurut Kemenkes 2010 bahwa standar antropometri penilaian status gizi


anak, pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks
panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang
merupakan istilahnya adalah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek).

Di Indonesia diperkirakan 7,8 juta anak mengalami stunting, data ini


berdasarkan laporan yang dikeluarkan UNICEF dan memposisikan Indonesia
masuk ke dalam 5 besar negara dengan jumlah anak yang mengalami stunting
tinggi. Hasil Riskesdes 2010, secara nasional prevelensi kependekan pada anak
umur 6-12 tahun di Indonesia adalah 35,6 persen yang terdiri dari 15,1 persen
sangat pendek dan 20 persen pendek, masih tidak jauh berbeda dengan pada anak
balita. Prevelensi kependekan pada kelompok umur 6-12 tahun, 13-15 tahun dan
16-18 tahun masih tinggi yaitu masih di atas 30%, tertinggi pada umur 6-12 tahun
yaitu 35,6% persen dan terendah pada kelompok umur 16-18 tahun yaitu 31,2 %.

Provinsi Papua Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia terutama


di kawasan timur Indonesia menunjukkan peningkatan angka kejadian stunting,
yang prevelensi anak pendek dan sangat pendek (TB/U) di atas prevelensi nasional
yaitu 39,4% pada hasil Riskesdes 2007 dan meningkat tahun 2010 sebesar 49,2%.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi
Stunting merupakan istilah para nutrinis untuk penyebutan anak
yang tumbuh tidak sesuai dengan ukuran yang semestinya (bayi
pendek). Stunting (tubuh pendek) adalah keadaan tubuh yang sangat pendek
hingga melampaui defisit 2 SD dibawah median panjang atau tinggi badan
populasi yang menjadi referensi internasional. Stunting adalah keadaan
dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah, atau keadaan dimana tubuh
anak lebih pendek dibandingkan dengan anak – anak lain seusianya (MCN,
2009). Stunted adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD),
ditandai dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan
kegagalan dalam mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia
anak. Stunted merupakan kekurangan gizi kronis atau kegagalan
pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang
untuk gizi kurang pada anak.
Stunting didefinisikan sebagai indikator status gizi TB/U sama
dengan atau kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) dibawah rata-
rata standar atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan
dengan anak – anak lain seusianya (MCN, 2009) (WHO, 2006).

2.2. Epidemologi
Diperkirakan terdapat 162 juta balita pendek pada tahun 2012, jika tren berlanjut
tanpa upaya penurunan, diproyeksikan akan menjadi 127 juta pada tahun 2025.
Sebanyak 56% anak pendek hidup di Asia dan 36% di Afrika.
Persentase Balita Pendek di Indonesia Tahun 2007, 2010 dan 2013

Sumber: Riskesdas 2007, 2010,2013, Kemenkes RI

Gambar di atas memperlihatkan persentase status gizi balita pendek


(pendek dan sangat pendek) di Indonesia Tahun 2013 adalah 37,2%, jika
dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) tidak
menunjukkan penurunan/ perbaikan yang signifikan. Persentase tertinggi
pada tahun 2013 adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7%),
Sulawesi Barat (48,0%) dan Nusa Tenggara Barat (45,3%) sedangkan
persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau (26,3%), DI
Yogyakarta (27,2%) dan DKI Jakarta (27,5%). Pada tahun 2015
Kementerian Kesehatan melaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) yang
merupakan studi potong lintang dengan sampel dari rumah tangga yang
mempunyai balita di Indonesia. Hasil mengenai persentase balita pendek
adalah sebagai berikut
Persentase Balita Pendek di Indonesia Tahun 2015

Sumber: PSG 2015, Kemenkes RI


Menurut hasil PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk
kategori pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa
Tenggara Timur dan Sulawesi Barat. Menurut WHO, prevalensi balita
pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau
lebih. Karenanya persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dan
merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan
beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia juga
tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%),
Thailand (16%) dan Singapura (4%)(UNSD, 2014). Global Nutrition Report
tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara
117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan
overweight pada balita

2.3. Penyebab Stunting


Menurut beberapa penelitian, kejadian stunted pada anak merupakan
suatu proses kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan
sepanjang siklus kehidupan. Pada masa ini merupakan proses terjadinya
stunted pada anak dan peluang peningkatan stunted terjadi dalam 2 tahun
pertama kehidupan.
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab
tidak langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan
perkembangan janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin
mengalami intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir
dengan kurang gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan
perkembangan.
Anak-anak yang mengalami hambatan dalam pertumbuhan
disebabkan kurangnya asupan makanan yang memadai dan penyakit infeksi
yang berulang, dan meningkatnya kebutuhan metabolic serta mengurangi
nafsu makan, sehingga meningkatnya kekurangan gizi pada anak. Keadaan
ini semakin mempersulit untuk mengatasi gangguan pertumbuhan yang
akhirnya berpeluang terjadinya stunted (Allen and Gillespie, 2001).
Gizi buruk kronis (stunting) tidak hanya disebabkan oleh satu
faktor saja seperti yang telah dijelaskan diatas, tetapi disebabkan
oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan
satu sama lainnnya. Terdapat tiga faktor utama penyebab stunting
yaitu sebagai berikut :

1. Asupan makanan tidak seimbang (berkaitan dengan


kandungan zat gizi dalam makanan yaitu karbohidrat,
protein,lemak, mineral, vitamin, dan air).
2. Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR),
3. Riwayat penyakit.

2.4. Factor yang mempengaruhi stunting


Beberapa faktor yang terkait dengan kejadian stunted antara lain
kekurangan energi dan protein, sering mengalami penyakit kronis, praktek
pemberian makan yang tidak sesuai dan faktor kemiskinan. Prevalensi
stunted meningkat dengan bertambahnya usia, peningkatan terjadi dalam
dua tahun pertama kehidupan, proses pertumbuhan anak masa lalu
mencerminkan standar gizi dan kesehatan.
Menurut laporan UNICEF (1998) beberapa fakta terkait stunted dan
pengaruhnya antara lain sebagai berikut :
1. Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia
enam bulan, akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua
tahun. Stunted yang parah pada anak-anak akan terjadi
deficit jangka panjang dalam perkembangan fisik dan mental
sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah,
dibandingkan anak- anak dengan tinggi badan normal. Anak-anak
dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering
absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik.
Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak
dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
2. Stunted akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembanangan
anak. Faktor dasar yang menyebabkan stunted dapat mengganggu
pertumbuhan dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunted
adalah bayi berat lahir rendah, ASI yang tidak memadai,
makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang, dan infeksi
pernapasan. Berdasarkan penelitian sebagian besar anak-anak
dengan stunted mengkonsumsi makanan yang berada di bawah
ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga miskin
dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah
pinggiran kota dan komunitas pedesaan
3. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang.
Anak stunted pada usia lima tahun cenderung menetapsepanjang
hidup, kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa
remaja dan kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted
dan mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan
produktivitas, sehingga meningkatkan peluang melahirkan
anak dengan BBLR. Stunted terutama berbahaya pada perempuan,
karena lebih cenderung menghambat dalam proses pertumbuhan dan
berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan

2.5. Penilaian Stunting secara Antropometri


Untuk menentukan stunted pada anak dilakukan dengan cara
pengukuran. Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak
usia di atas 2 tahun. Antropometri merupakan ukuran dari tubuh,
sedangkan antropometri gizi adalah jenis pengukuran dari beberapa bentuk
tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi, yang
digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein dan energi.
Antropometri dilakukan untuk pengukuran pertumbuhan tinggi badan dan
berat badan (Gibson, 2005).
Standar digunakan untuk standarisasi pengukuran berdasarkan
rekomendasi NCHS dan WHO. Standarisasi pengukuran ini
membandingkan pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi atau
Z-score untuk usia dan jenis kelamin yang sama pada anak- anak. Z-score
adalah unit standar deviasi untuk mengetahui perbedaan antara nilai
individu dan nilai tengah (median) populasi referent untuk usia/tinggi yang
sama, dibagi dengan standar deviasi dari nilai populasi rujukan. Beberapa
keuntungan penggunaan Z-score antara lain untuk mengiidentifikasi nilai
yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan perbedaan usia, juga
memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara statistik dari
pengukuran antropometri.
Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur (stunted)
adalah penting dalam mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-anak
pada wilayah dengan banyak masalah gizi buruk. Dalam menentukan
klasifikasi gizi kurang dengan stunted sesuai dengan ”Cut off point”,
dengan penilaian Z-score, dan pengukuran pada anak balita berdasarkan
tinggi badan menurut Umur (TB/U) Standar baku WHO-NCHS

2.6. Dampak Stunting


Stunting dapat mengakibatkan penurunan intelegensia (IQ),
sehingga prestasi belajar menjadi rendah dan tidak dapat melanjutkan
sekolah. Bila mencari pekerjaan, peluang gagal tes wawancara
pekerjaan menjadi besar dan tidak mendapat pekerjaan yang baik, yang
berakibat penghasilan rendah (economic productivity hypothesis) dan tidak
dapat mencukupi kebutuhan pangan. Karena itu anak yang menderita
stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang lebih pendek saja, tetapi
juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak setelah dewasa,
sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari aspek estetika,
seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari yang
tubuhnya pendek.
Stunting yang terjadi pada masa anak merupakan faktor risiko
meningkatnya angka kematian, kemampuan kognitif, dan perkembangan
motorik yang rendah serta fungsi-fungsi tubuh yang tidak seimbang (Allen
& Gillespie, 2001). Gagal tumbuh yang terjadi akibat kurang gizi pada
masa-masa emas ini akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya dan
sulit diperbaiki.
Masalah stunting menunjukkan ketidakcukupan gizi dalam jangka
waktu panjang, yaitu kurang energi dan protein, juga beberapa zat gizi
mikro.

2.7. Penanganan Stunting


Pilar penanganan stunting

PILAR 2 PILAR 3
Kampanye PILAR 4
PILAR 1 Konvergensi,
nasional berfokus Koordinasi, dan Mendorong
Komitmen dan pada pemahaman,
Konsolidasi Kebijakan
Visi Pimpinan perubahan
Program “Nutritrional
Tertinggi Negara perilaku,komitmen
politik dan
Nasional Daeran Food Security”
akuntabilitas dan Masyarakat

PILAR 5

Pemantauan dan
Evaluasi

Pilar 1: Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara. Pada pilar ini,
dibutuhkan Komitmen dari Presiden/Wakil Presiden untuk
mengarahkan K/L terkait Intervensi Stunting baik di pusat maupun
daerah. Selain itu, diperlukan juga adanya penetapan strategi dan
kebijakan, serta target nasional maupun daerah (baik provinsi
maupun kab/kota) dan memanfaatkan Sekretariat Sustainable
Development Goals/SDGs dan Sekretariat TNP2K sebagai lembaga
koordinasi dan pengendalian program program terkait Intervensi
Stunting.
Pilar 2: Kampanye Nasional berfokus pada Peningkatan Pemahaman,
Perubahan Perilaku, Komitmen Politik dan Akuntabilitas.
Berdasarkan pengalaman dan bukti internasional terkait program
program yang dapat secara efektif mengurangi pervalensi stunting,
salah satu strategi utama yang perlu segera dilaksanakan adalah
melalui kampanye secara nasional baik melalui media masa,
maupun melalui komunikasi kepada keluarga serta advokasi secara
berkelanjutan.
Pilar 3: Konvergensi, Koordinasi, dan Konsolidasi Program Nasional,
Daerah, dan Masyarakat. Pilar ini bertujuan untuk memperkuat
konvergensi, koordinasi, dan konsolidasi, serta memperluas
cakupan program yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga
(K/L) terkait. Di samping itu, dibutuhkan perbaikan kualitas dari
layanan program yang ada (Puskesmas, Posyandu, PAUD,
BPSPAM, PKH dll) terutama dalam memberikan dukungan kepada
ibu hamil, ibu menyusui dan balita pada 1.000 HPK serta
pemberian insentif dari kinerja program Intervensi Stunting di
wilayah sasaran yang berhasil menurunkan angka stunting di
wilayahnya. Terakhir, pilar ini juga dapat dilakukan dengan
memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan
Dana Desa untuk mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke
intervensi prioritas Intervensi Stunting.
Pilar 4: Mendorong Kebijakan “Food Nutritional Security”. Pilar ini
berfokus untuk (1) mendorong kebijakan yang memastikan akses
pangan bergizi, khususnya di daerah dengan kasus stunting tinggi,
(2) melaksanakan rencana fortifikasi bio-energi, makanan dan
pupuk yang komprehensif, (3) pengurangan kontaminasi pangan,
(4) melaksanakan program pemberian makanan tambahan, (5)
mengupayakan investasi melalui Kemitraan dengan dunia usaha,
Dana Desa, dan lain-lain dalam infrastruktur pasar pangan baik
ditingkat urban maupun rural.
Pilar 5: Pemantauan dan Evaluasi. Pilar yang terakhir ini mencakup
pemantauan exposure terhadap kampanye nasional, pemahaman
serta perubahan perilaku sebagai hasil kampanye nasional stunting,
pemantauan dan evaluasi secara berkala untuk memastikan
pemberian dan kualitas dari layanan program Intervensi Stunting,
pengukuran dan publikasi secara berkala hasil Intervensi Stunting
dan perkembangan anak setiap tahun untuk akuntabilitas, Result-
based planning and budgeting (penganggaran dan perencanaan
berbasis hasil) program pusat dan daerah, dan pengendalian
program-program Intervensi Stunting

2.8. Zat gizi mikro yang berperan untuk menghindari stunting


a. Kalsium
Kalsium berfungsi dalam pembentukan tulang serta gigi, pembekuan
darah dan kontraksi otot. Bahan makanan sumber kalsium antara lain : ikan
teri kering, belut, susu, keju, kacang-kacangan.
b. Yodium
Yodium sangat berguna bagi hormon tiroid dimana hormon tiroid
mengatur metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan tubuh. Yodium
juga penting untuk mencegah gondok dan kekerdilan. Bahan makanan
sumber yodium : ikan laut, udang, dan kerang.
c. Zink
Zink berfungsi dalam metabolisme tulang, penyembuhan luka,
fungsi kekebalan dan pengembangan fungsi reproduksi laki-laki. Bahan
makanan sumber zink : hati, kerang, telur dan kacang-kacangan.
d. Zat Besi
Zat besi berfungsi dalam sistem kekebalan tubuh, pertumbuhan otak,
dan metabolisme energi. Sumber zat besi antara lain: hati, telur, ikan,
kacang-kacangan, sayuran hijau dan buah-buahan.
e. Asam Folat
Asam folat terutama berfungsi pada periode pembelahan dan
pertumbuhan sel, memproduksi sel darah merah dan mencegah anemia.
Sumber asam folat antara lain : bayam, lobak, kacang-kacangan, serealia
dan sayur-sayuran.

2.9. Usaha pemerintah dalam masalah stunting


Selama ini pemerintah sudah berusaha mengurangi Gizi buruk,
terutama pertumbuhan yang terhambat, merupakan sebuah masalah
kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia. Untuk mengatasi tantangan
itu, UNICEF mendukung sejumlah inisiatif di tahun 2012 untuk
menciptakan lingkungan nasional yang kondusif untuk gizi. Ini meliputi
peluncuran Gerakan Sadar Gizi Nasional (Scaling Up Nutrition – SUN) dan
mendukung pengembangan regulasi tentang pemberian ASI eksklusif,
rencana nasional untuk mengendalikan gangguan kekurangan iodine,
panduan tentang pencegahan dan pengendalian parasit intestinal dan
panduan tentang suplementasi multi-nutrient perempuan dan anak di Klaten,
Jawa Tengah.
Manajemen masyarakat tentang gizi buruk akut dan pemberian
makan bayi dan anak menjelma menjadi sebuah paket holistic untuk
menangani gizi buruk, sementara pengendalian gizi anak dan malaria
ditangani bersama untuk mencegah pertumbuhan yang terhambat (stunting)
(Laporan Tahuna Unicef Indonesia, 2012).
Untuk membantu pemerintah dalam melakukan perbaikan gizi pada
balita Stunting, menurut Unicef Indonesia perhatian khusus harus diberikan
pada:
1. Penciptaan dan penguatan mekanisme koordinasi nasional dan
daerah untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional Pangan
dan Gizi, dan untuk melakukan koordinasi dengan sektor-sektor non-
gizi.
2. Pengembangan, pemantauan dan penegakan peraturan nasional untuk
mengawasi pemasaran produk pengganti ASI.
3. Revisi standar minimal pelayanan kesehatan untuk mencakup aksi-
aksi dan sasaran gizi,seperti aksi-aksi yang berhubungan dengan
konseling gizi, makanan pendamping ASI dan gizi ibu.
4. Penguatan sistem informasi kesehatan untuk meningkatkan keandalan
data, promosi pengawasan suportif terhadap program kesehatan dan
gizi, dan promosi penggunaan data oleh petugas kesehatan secara
terus-menerus untuk meningkatkan dampak program.
5. Penguatan program fortifikasi pangan nasional dengan memperbarui
standar fortifikasiuntuk terigu, pengharusan fortifikasi minyak, dan
peningkatan penegakan legislasi yang ada; tentang iodisasi garam.
6. Implementasi langkah-langkah untuk merekrut, mengembangkan dan
mempertahankan ahli gizi yang memenuhi syarat, termasuk insentif
bagi mereka yang bekerja di daerah-daerah yang kurang terlayani.
BAB III

KESIMPULAN

Stunted adalah tinggi badan yang kurang menurut umur (<-2SD), ditandai
dengan terlambatnya pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam
mencapai tinggi badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted merupakan
kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan digunakan
sebagai indikator jangka panjang untuk gizi kurang pada anak.
Stunting dapat didiagnosis melalui indeks antropometrik tinggi badan
menurut umur yang mencerminkan pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan
pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi
yang tidak memadai dan atau kesehatan.
Faktor gizi ibu sebelum dan selama kehamilan merupakan penyebab tidak
langsung yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
janin. Ibu hamil dengan gizi kurang akan menyebabkan janin mengalami
intrauterine growth retardation (IUGR), sehingga bayi akan lahir dengan kurang
gizi, dan mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan.Beberapa faktor
yang terkait dengan kejadian stunted antara lain kekurangan energi dan protein,
sering mengalami penyakit kronis, praktek pemberian makan yang tidak sesuai dan
faktor kemiskinan.
Untuk menentukan stunted pada anak dilakukan dengan cara pengukuran.
Pengukuran tinggi badan menurut umur dilakukan pada anak usia di atas 2 tahun.
Antropometri merupakan ukuran dari tubuh, sedangkan antropometri gizi adalah
jenis pengukuran dari beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur
dan tingkatan gizi, yang digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan protein
dan energi. Anak yang menderita stunting berdampak tidak hanya pada fisik yang
lebih pendek saja, tetapi juga pada kecerdasan, produktivitas dan prestasinya kelak
setelah dewasa, sehingga akan menjadi beban negara. Selain itu dari aspek estetika,
seseorang yang tumbuh proporsional akan kelihatan lebih menarik dari yang
tubuhnya pendek.
DAFTAR PUSTAKA

Infodatin. Situasi Balita Pendek. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI. 2016

Laporan tahunan Unicef Indonesia 2012. Ringkasan Kajian Kesehatan Univef


Indonesia. Oktober 2012.

Laporan Tahunan Indonesia 2013. Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan


Dasar 2013

100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Sekretariat


Wakil Presiden RI. 2017

http://www.unicef.org/indonesia/id/AG_-_B_Ringkaan_Kajian_Gizi.pdf

http://www.indonesian_publichealth.com/2013/dampak_dan_penyebab_stunted.ht
ml

http://www.stbm-indonesia.org/dkconten.php?id=5433

http://kualitasnews.com/stunting-dan-dampak-kehidupannya-kedepan/

http://catatanseorangahligizi.wordpress.com/2012/01/06/stunting/

Anda mungkin juga menyukai